Hubungan Antara Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi Dan Stres Psikologis Pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Fitri Tasliatul Fuad Miranda Diponegoro Zarfiel Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologispada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan alat ukur Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ) untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri di perguruan tinggi partisipan dan alat ukur Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25) untuk mengetahui tingkat stres psikologis partisipan. Partisipan dalam penelitian ini adalah 94 orang mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Teknik analisis data menggunakan pearson correlation untuk menjawab permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis (r = -.284). Kata Kunci: penyesuaian diri; perguruan tinggi; stres psikologis; mahasiswa tahun pertama ABSTRACK This research was conducted to determine the correlation between college adjustment and psychological distress on Faculty of Psychology University of Indonesia First-year Students. This research method use quantitative approach using Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ) to get the descriptive data about participant’s college adjustment and Hopnkins Sympton Checklist-25 (HSCL-25) to determine the level of psychological distress on participants. Participants in this study were 94 Faculty of Psychology University of Indonesia first-year students. Pearson Correlation analysis technique was used to answer the research problem. Result showed that there is negative and significant correlation between college adjustment and psychological distress on Faculty of Psychology University of Indonesia first-year students (r = -.284). Keyword: college adjustment, psychological distress, first-year college student Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
20
Embed
Hubungan Antara Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi Dan ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Hubungan Antara Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi Dan Stres
Psikologis Pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
Fitri Tasliatul Fuad
Miranda Diponegoro Zarfiel
Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang
signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres
psikologispada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan menggunakan alat ukur Student Adaptation to College
Questionnaire (SACQ) untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri di
perguruan tinggi partisipan dan alat ukur Hopkins Symptom Checklist-25
(HSCL-25) untuk mengetahui tingkat stres psikologis partisipan. Partisipan
dalam penelitian ini adalah 94 orang mahasiswa tahun pertama Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia. Teknik analisis data menggunakan
pearson correlation untuk menjawab permasalahan penelitian. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan
antara penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis (r = -.284).
Kata Kunci: penyesuaian diri; perguruan tinggi; stres psikologis;
mahasiswa tahun pertama
ABSTRACK
This research was conducted to determine the correlation between college
adjustment and psychological distress on Faculty of Psychology University
of Indonesia First-year Students. This research method use quantitative
approach using Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ) to get
the descriptive data about participant’s college adjustment and Hopnkins
Sympton Checklist-25 (HSCL-25) to determine the level of psychological
distress on participants. Participants in this study were 94 Faculty of
Psychology University of Indonesia first-year students. Pearson Correlation
analysis technique was used to answer the research problem. Result showed
that there is negative and significant correlation between college adjustment
and psychological distress on Faculty of Psychology University of Indonesia
first-year students (r = -.284).
Keyword: college adjustment, psychological distress, first-year college
student
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
PENDAHULUAN
Saat memasuki perguruan tinggi mahasiswa akan dihadapkan dengan banyak tantangan
baru dan harus menghadapi tantangan akademis yang berbeda dengan yang sebelumnya
(Goodwin, 2008). Mahasiswa baru sering memiliki masalah dalam beradaptasi dengan situasi
sosial, personal dan emosional yang baru (Chickering, 1969, dalam Downey, 2005). Selain itu
mahasiswa juga memiliki berbagai tugas perkembangan yang baru (Medalie, 1981, dalam
Downey, 2005) Berdasarkan teori perkembangan mahasiswa menurut Chickering dan
Schlossberg (1995) terdapat tujuh tugas perkembangan yang harus dijalani oleh mahasiswa,
yaitu mengembangkan kompetensi, mengatur emosi, berkembang dari autonomy menuju
interdependence, mengembangkan hubungan interpersonal yang lebih matang, menetapkan
identitas, mengembangkan tujuan hidup, dan mengembangkan integritas.
Pendidikan tinggi adalah masa yang menekan bagi sebagian besar mahasiswa dimana
mereka harus melewati proses adaptasi pada lingkungan pendidikan dan sosial yang baru
(Misra & Castillo, 2004). Walaupun banyak mahasiswa yang berhasil menyesuaikan diri
dengan kehidupan perkuliahan, masih banyak yang mengalami gangguan emosi jangka
panjang dan depresi (Gall, Evans, & Bellerose, 2000; Wintre & Yaffe, 2000). Tinjauan
literatur menunjukkan bahwa terdapat mahasiswa sangat rentan mengalami stres (Ross,
Neibling, Heckert, 1999) dan berdasarkan hasil penelititan yang dilakukan Misra & McKean
(2000) ditemukan bahwa mahasiswa tahun pertama lebih mudah mengalami stres daripada
seniornya (Misra & McKean, 2000).
Mahasiswa, khususnya mahasiswa baru, merupakan kelompok yang paling mudah
mengalami stres (D’Zurilla & Sheedy, 1991, dalam Ross, Niebling, & Heckert, 1999). Stres
adalah bagian dari kehidupan mahasiswa dan dapat memberikan dampak yang besar pada
kemampuan mahasiswa untuk bertahan dengan kehidupan kampus (Dusselier, Dunn, Wang,
Shelley and Whalen, 2005; Greenberg, 1993, dalam Ong, Yap, Pun, 2008). Sebagian besar
mahasiswa mengalami psychological distress dikarenakan beberapa perubahan, seperti harus
meninggalkan rumah (tinggal sendiri), mandiri dalam mengambil keputusan, berkompetensi
dengan standar yang baru, perubahan jadwal tidur, perubahan kebiasaan makan,
meningkatnya beban tugas, semakin tingginya tuntutan akademis, berada pada lingkungan
yang baru dengan tanggung jawab baru, perubahan interaksi dengan keluarga dan perubahan
kehidupan sosial, adanya tanggung jawab finansial, bertemu orang baru, ide-ide baru, serta
godaan baru, semakin tingginya tingkat keputusan yang harus dipilih, merokok atau
penggunaan obat-obat terlarang, mulai menyadari identitas dan orientasi seksual, harus
mempersiapkan kehidupan setelah lulus kuliah, faktor-faktor psikologis seperti self esteem
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
yang rendah (Altmaier, 1983, dalam Pfeiffer, 2001; National Health Ministries USA, 2006;
Ross, Niebling, & Heckert, 1999). Beberapa dapat melihat perubahan tersebut sebagai
pengalaman yang positif, akan tetapi masih banyak yang merasa terancam oleh perubahan
tersebut (Pfeiffer, 2001).
Psychological distress dapat berakibat negatif pada kesehatan mahasiswa dan prestasi
akademisnya (Campbell & Svenson, 1992; Misra, McKean, West & Russo, 2000). Hasil
penelitian Fogle (2012) menyebutkan bahwa mahasiswa dengen tingkat stres tinggi memiliki
kebiasaan sehat dan prestasi akademis yang lebih buruk daripada mahasiswa dengan tingkat
stres rendah. Hasil penelitian ini juga didukung oleh berbagai penelitian lainnya yang
menyatakan bahwa stres berdampak negatif terhadap prestasi akademik mahasiswa (Hatcher
and Prus, 1991; Hammer, Grigsby and Woods, 1998; Trockel, Barnes and Egget, 2000;
Calderon, Hey and Seabert, 2001; Kelly, Kelly and Clanton, 2001, dalam Fogle, 2012). Hal
ini dikarenakan mahasiswa dengan tingkat stres tinggi kurang dapat fokus pada kegiatan
belajar dan tugas-tugas akademis. Dampak negatif stres lainnya adalah mahasiswa dengan
tingkat stres tinggi memiliki konflik harian yang lebih tinggi serta kesenangan harian yang
lebih rendah daripada mahasiswa dengan tingkat stres rendah.
Stres terjadi ketika adanya tuntutan yang membebani atau di luar batas kemampuan
seseorang. Terdapat dua sumber stres, yaitu physical stressor yang bersumber dari fisik
(demam tinggi, invasi mikroorganisme, luka fisik) dan pshychosocial stressor yang
bersumber dari kondisi sosial lingkungan, dapat merusak saat itu juga atau di masa
mendatang. Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perubahan kondisi
lingkungan dari SMA ke pendidikan tinggi dapat digolongkan menjadi psychosocial stressor
bagi mahasiswa. Dengan adanya berbagai perubahan tersebut mahasiswa dituntut untuk dapat
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru. Boyer (1987, dalam Fanti, 2005)
menyatakan bahwa kesuksesan mahasiswa dalam menyesuaikan diri di perguruan tinggi baru
secara signifikan dapat mempengaruhi keseluruhan kegiatan perkuliahannya.
Menurut Lazarus (1976) penyesuaian diri merupakan proses-proses psikologis dimana
individu mengatur atau mengatasi berbagai tuntutan atau tekanan. Sedangkan menurut Eshun
(2006) penyesuaian diri merupakan sebuah respon individu terhadap perubahan yang terjadi
di lingkungan sekitarnya, serta dapat membantu individu mengatasi tuntutan-tuntutan dalam
kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pandangan Allport (1937, dalam Lazarus, 1976)
mengenai pengertian personality dalam adjustment, dapat diketahui bahwa setiap individu
memiliki cara penyesuaian diri yang unik terhadap lingkungannya. Hal ini berarti ada
individu yang dengan mudah dan cepatnya dapat menyesuaikan diri dan ada individu yang
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
membutuhkan waktu lama untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungannya.
Proses penyesuaian diri tersebut dapat memunculkan berbagai macam emosi yang kuat,
khususnya stress emotions, seperti marah, takut, cemas, merasa bersalah, dan malu (Lazarus,
1976).
Penyesuaian diri di perguruan tinggi (college adjustment) merupakan suatu proses
psikososial yang menjadi sumber stres pada mahasiswa dan membutuhkan kemampuan
coping pada berbagai area, yaitu area akdemis, sosial, personal-emosional, dan keterikatan
pada institusi (Baker & Siryk, 1989, dalam Hutz, Martin, & Beitel, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh L. M. Dahyan Davis pada tahun 2011
ditemukan bahwa mahasiswa tahun pertama memang banyak mengalami masalah
penyesuaian diri. Masalah penyesuaian diri yang paling banyak terjadi pada mahasiswa tahun
pertama antara lain mencemaskan ujian-ujian, tidak tahu bagaimana cara belajar yang efektif,
tidak bisa berkonsentrasi dengan baik, bermasalah ketika berbicara di depan kelas, mudah
sekali kehilangan konsentrasi saat bekerja, tidak memberi cukup waktu untuk belajar, lemah
dalam karya tulis, ingatan yang buruk, takut gagal di perguruan tinggi, mempunyai terlalu
banyak minat di luar bidang akademis, dan melupakan hal-hal yang sudah pernah dipelajari di
sekolah. Penelitian Davis (2011) hanya melihat apa saja masalah-masalah penyesuaian diri
yang dialami oleh mahasiswa akan tetapi belum mengelompokkan masalah-masalah tersebut
paling banyak terjadi pada area mana.
Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran penyesuaian diri
di perguruan tinggi dan stress psikologis yang dialami oleh mahasiswa tahun pertama
Psikologi UI dan apakah pernyesuaian diri di perguruan tinggi tersebut berkorelasi dengan
stres psikologis yang mereka alami. Beratnya beban akademis di Fakultas Psikologi membuat
mahasiswa Psikologi UI memiliki kecenderungan mengalami stres psikologis yang tinggi.
Dari pengalaman peneliti selama berkuliah di Fakultas Psikologi UI, sangat banyak
mahasiswa mengeluh merasa tertekan dengan beratnya beban akademis dan sedikitnya waktu
yang tersisa untuk dirinya sendirir. Selain itu juga banyak mahasiswa yang mengaku tidak
nyaman dan tidak betah berkuliah di Fakultas Psikologi UI bahkan setelah menjalani 7
semester perkuliahan. Hal ini dapat disebabkan karena masalah penyesuaian diri yang belum
teratasi sejak berada di tahun pertama perkuliahan.
Selain ingin mengetahui apakah penyesuaian diri di perguruan tinggi berhubungan stres
psikologis yang dialami oleh mahasiswa tahun pertama Psikologi UI, peneliti juga ingin
mengetahui masalah penyesuaian diri yang sering muncul pada mahasiswa tahun pertama.
Peneliti ingin melanjutkan penelitian sebelumnya agar mendapatkan gambaran pada area
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
mana masalah penyesuaian diri paling banyak dialami oleh mahasiswa tahun pertama
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
TINJAUAN TEORITIS
Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Penyesuaian diri di perguruan tinggi (college adjustment) merupakan suatu proses
psikososial yang menjadi sumber stres pada mahasiswa dan membutuhkan kemampuan
coping pada berbagai area. Mahasiswa diharapkan untuk dapat menyesuaikan diri pada area
akademis, sosial, personal-emosional, dan keterikatan pada institusi (Baker & Siryk, 1989,
dalam Hutz, Martin, & Beitel, 2007).
Dimensi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
1. Academic adjustment, yaitu dimensi yang berhubungan dengan faktor akademis dan
pengalaman pembelajaran yang dialami mahaisiswa di pendidikan tinggi. Academic
adjustment juga dapat diartikan sebagai kesuksesan mahasiswa dalam melakukan
coping terhadap berbagai tuntutan dibidang akademis universitas termasuk motivasi,
peforma, dan lingkungan akademis (Baker & Siryk, 1999 dalam Taylor & Pastor,
2005). Skor yang rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa individu memiliki nilai
akademis yang rendah, kurang mampu mengatur dan mengontrol tuntutan akademis,
serta kurang realistis dalam menilai dirinya (Baker & Siryk, 1999, dalam Abdullah,
Elias, Mahyuddin & Uli, 2009)
2. Social adjustment, yaitu dimensi yang berhubungan dengan aspek sosial dari
lingkungan perguruan tinggi dan bagaimana mahasiswa berinteraksi di dalamnya.
Dimensi ini mengukur keberhasilan mahasiswa dalam melakukan coping terhadap
tuntutan interpersonal-sosial yang berhubungan dengan pengalaman di perguruan
tinggi (Baker & Siryk, 1989b, dalam Abe, Talbot, & Geehoed, 1998). Dimensi ini
meliputi kecenderungan mahasiswa untuk berinteraksi, sejauh mana mahasiswa
membina hubungan sosial dengan orang lain di kampusnya, bagaimana pengaturan
lingkungan sosial di sekitar mahasiswa, bagaimana ia mengatasi rasa rindunya dengan
keluarganya, serta bagaimana perasaan mahasiswa akan pengalaman-pengalaman
yang baru. Skor yang rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa mahasiswa kurang
berpartisipasi dalam kegiatan sosial di kampus, kurang memiliki keterampilan sosial,
memiliki rasa kesepian yang besar, memiliki social avoidance yang besar, sosial
distress, memiliki social self-concept yang rendah, serta merasa tidak memiliki
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
dukungan sosial (Baker & Siryk, 1999, dalam Abdullah, Elias, Mahyuddin & Uli,
2009).
3. Personal-Emotional Adjustment, yaitu dimensi yang berhubungan dengan aspek
psikologis dan fisik dari mahasiswa. Dimensi ini berfokus pada kondisi intrapsikis
mahasiswa selama penyesuainnya ke pendidikan tinggi, dan sejauh mana ia
mengalami tekanan psikologis secara umum serta gejala somatik seiring dengan
adanya masalah (Baker & Siryk, 1989b, dalam Abe, Talbot, & Geehoed, 1998).
Mahasiswa yang memiliki skor rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa ia lebih
emosional, memiliki tingkat psychological distress yang tinggi, memiliki lebih banyak
pengalaman hidup negatif (Baker & Siryk, 1999, dalam Abdullah, Elias, Mahyuddin
& Uli, 2009).
4. Goal Commitment / Institutional Adjustment, yaitu dimensi yang berkaitan dengan
komitmen mahasiswa demi mencapai tujuan akademisnya serta keterikatan mahasiswa
kepada institusi kampusnya. Dimensi ini melihat kepuasan mahasiswa secara
keseluruhan mengenai keberadaan mahasiswa di perguruan tinggi serta emosi atau
perasaan mahasiswa mengenai peruruan tinggi tempatnya menimba ilmu saat ini.
Mahasiswa yang memiliki skor rendah pada dimensi ini berkemungkinan besar keluar
dari perguruan tinggi sebelum lulus dan kurang puas dengan pengalamannya di
perguruan tinggi (Baker & Siryk, 1999, dalam Abdullah, Elias, Mahyuddin & Uli,
2009).
Keberhasilan Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Menurut Baker, McNeil & Siryk (1985, dalam Waller 2009) ada beberapa kriteria
perilaku yang menunjukkan berhasilnya penyesuaian diri di perguruan tinggi pada seorang
mahasiswa, antara lain:
1. Mencapai performa akademis yang wajar bahkan baik.
2. Memanfaatkan sarana bantuan psikologis dan konseling yang ada di fakultas saat
diperlukan.
3. Menyelesaikan masa studi dalam rentang waktu yang ditentukan oleh fakultas.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi.
Faktor-faktor tersebut dalam digolongkan menjadi faktor pendukung dan faktor penghambat.
Menurut (Brag, Kim, & Rubin, 2005; Maton, Hrabowski, & Schmitt, 2000; Robbins &
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
Smith,1993; dalam Waller, 2009) faktor-faktor yang mendukung penyesuaian diri di
perguruan tinggi pada mahasiswa antara lain:
1. Prestasi akademis yang baik
Mahasiswa yang memiliki prestasi akademis yang baik cenderung memiliki kemampuan
penyesuaian diri di perguruan tinggi yang lebih baik daripada mahasiswa yang memiliki
prestasi akademis yang buruk. Mahasiswa yang memiliki prestasi akademis yang baik
tidak akan terlalu terkejut dengan perubahan tuntutan akademis yang berbeda di perguruan
tinggi sehingga mereka dapat menyesuaikan diri di perguruan tinggi dengan lebih baik.
2. Kesiapan masuk perguruan tinggi (college readiness)
Mahasiswa yang lebih siap untuk memsuki pendidikan tinggi memiliki kemampuan
penyesuaian diri yang lebih baik daripada mahasiswa yang belum siap memasuki
pendidikan tinggi. Kesiapan tersebut dapat berupa informasi yang dimilikinya mengenai
bagaimana sistem perkuliahan, informasi mengenai perguruan tinggi dan jurusan yang
akan dimasukinya, serta kesiapan mental mahasiswa tersebut untuk mengahadapi berbagai
perbedaan antara sekolah dan kuliah.
3. Hubungan yang dekat dan suportif, dan perasaan keterikatan dengan komunitas di kampus
Mahasiswa yang memiliki hubungan yang dekat dan suportif dengan keluarga, teman, dan
orang-orang di sekiltarnya akan memiliki kemampuan penyesuaian diri di perguruan
tinggi yang lebih baik daripada mahasiswa yang tidak memiliki hubungan yang dekat dan
suportif dengan orang-orang di sekitarnya. Hubungan yang dekat dan suportif tersebut
dapat memabntu mahasiswa melewati perubahan-perubahan yang dialaminya di
perguruan tinggi sehingga ia dapat menyesuaikan diri di perguruan tinggi dengan lebih
baik.
Faktor yang menghambat mahasiswa untuk menyesuaikan diri di perguruan tinggi dengan
baik (Orfield & Paul, 1988; dalam Waller 2009) antara lain:
1. Adanya pemisahan atau tidak baurnya pergaulan kampus
Adanya pemisahan atau tidak baurnya pergaulan di kampus dapat disebabkan oleh
terlalu ketatnya persaingan antar peer-group, tekanan senioritas, dan lain-lain.
2. Biaya kuliah yang mahal dan beban tanggungan hidup semasa kuliah
Masalah keuangan, yaitu biaya kuliah yang mahal dan besarnya beban tanggungan
hidup semasa kuliah dapat menghambat mahasiswa untuk dapat menyesuaikan dirinya
di perguruan tinggi dengan baik.
3. Tidak memadainya asistensi bagi mahasiswa yang tidak siap (unprepared)
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
Tidak semua mahasiswa tahun pertama siap untuk mulai berkuliah. Banyak
mahasiswa yang belum siap untuk menghadapi perubahan di pendidikan tinggi,
terutama bagi mahasiswa yang berasal dari daerah. Tidak adanya asistensi atau
bantuan bagi mahasiswa yang belum siap tersebut dapat menghambatnya dalam
menyesuaikan diri di perguruan tinggi.
Stres Psikologis
Stres merupakan kondisi psikologis yang muncul dan dirasakan lebih kuat ketika
seseorang merasa tidak memiliki kapasitas unuk menghadapi tantangan lingkungannya secara
efektif (Lazarus, 1999). Menurut Selye (1979, dalam Rice, 1999) stres dapat dibagi menjadi
dua, yaitu eustress dan distress. Eustress merupakan pengalaman menyenangkan dan
memuaskan. Misalnya berpartisipasi dalam acara pernikahan, kompetisi dalam pertandingan
olahraga, dan ikut serta dalam produksi pertunjukan drama atau teater. Eustress dapat
meningkatkan kesadaran, kesiagaan, dan sering mengarah pada penampilan kognitif dan
tingkah laku tinggi. Sedangkan distress merupakan stress yang merusak atau tidak
menyenangkan. Pengalaman yang dialami dirasakan sebagai sesuatu yang negatif,
menyakitkan, dan sesuatu yang harus dihindari.
Distress memiliki berbagai dampak negatif bagi penderitanya. Salah satunya yaitu
individu yang mengalami distress mengalami sulit tidur dan tetap terjaga di malam hari
sehingga ia tidak bisa berkonsentrasi pada siang hari dan mengganggu pekerjaannya atau
menganggu sosialisasi dengan orang lain. Dampak lainnya adalah individu yang mengalami
distress dapat merasakan dampaknya berupa penyakit fisik seperti sakit kepala, sakit perut,
sakit punggung, dan berbagai bentuk malaise lainnya. Mereka biasanya menghabiskan banyak
biaya untuk mencari pertolongan medis padahal pihak media tidak dapat mendeteksi
penyebab fisik dari penyakit tersebut.
Bentuk Utama Stres Psikologis
Menurut Mirowsky & Ross (1989) distress dapat terlihat dalam dua bentuk utama,
yaitu depresi dan kecemasan. Depresi dapat berupa perasaan sedih, tidak bersemangat,
kesepian, putus asa, merasa tidak berharga, berharap mengalami kematian, sulit tidur,
menangis, dan merasa segala sesuatu yang dilakukannya adalah hal yang susah. Kecemasan
dapat berupa merasa tegang, gelisah, khawatir, mudah tersinggung, dan ketakutan. Depresi
dan kecemasan memiliki dua komponen, yaitu mood dan malaise. Mood merujuk pada
perasaan negatif seperti kesedihan dari depresi atau kekhawatiran dari kecemasan. Sedangkan
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
malaise merujuk pada kondisi tubuh, seperti lesu dan gangguan dari depresi atau penyakit
otonomi (sakit kepala, sakit perut, pusing) dan lesu dari kecemasan. Depresi dan kecemasan
saling berhubungan satu sama lain. Individu yang mengalami depresi biasanya juga
mengalami kecemasan, dan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu para ahli biasanya
meneliti kedua hal tersebut dan tidak membedakan keduanya sebagai dua hal yang berbeda.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Psikologis
Menurut Mirowsky & Ross (2003) terdapat lima pola dasar yang memengaruhi stres
psikologis, yaitu:
1. Gender.
Wanita memiliki kecenderungan mengalami stres psikologis yang lebih tinggi
daripada laki-laki. Hal ini bisa jadi disebabkan adanya perbedaan pilihan, nilai,
kepercayaan, kegiatan yang mereka lakukan, serta peran gender yang berbeda. Wanita
lebih dituntut untuk dapat mengurus rumah tangga dan membesarkan anak dengan
baik daripada laki-laki sehingga hal tersebut dapat menimbulkan stress psikologis.
Resiko munculnya stres psikologis pada wanita juga akan semakin besar apabila
wanita tersebut bekerja.
2. Status Pernikahan.
Orang yang belum menikah memiliki kecenderungan yang lebih besar mengalami
stres psikologis daripada orang yang belum menikah. Hal ini dikarenakan orang yang
belum menikah akan terhindar dari keterikatan hubungan sosial dan tanggung jawab
ekonomi pada keluarga. Keterikatan ini dapat membantu terbentuknya rasa aman,
perasaan memiliki, dan arah hidup bagi seseorang. Tanpa hal-hal tersebut seseorang
akan merasa kesepian, hidup tanpa arah, dan merasa tidak aman. Orang yang belum
menikah biasanya juga tinggal sendiri sehingga mereka memiliki kecenderungan yang
lebih tinggi dalam mengalami stres psikologis.
3. Perubahan yang tidak diinginkan
Stres psikologis dapat diasosiasikan dengan perubahan dari satu situasi ke siatusi
lainnya. Perubahan situasi yang tidak diinginkan pada seseorang dapat menimbulkan
stres psikologis. Aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari cenderung membentuk
suatu pola tertentu (kebiasaan) sehingga meminimalkan jumlah energi dan sumber
daya yang harus digunakan. Kebiasaan merupakan sesuatu yang mudah sehingga tidak
menimbulkan stres psikologis pada seseorang. Perubahan situasi yang muncul
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
menekan seseorang untuk menggunakan energi yang lebih besar untuk dapat
beradaptasi dengan perubahan tersebut. Mirowsky & Ross (1989) menemukan bahwa
semakin banyak perubahan negatif yang dialami seseorang maka akan semakin tinggi
stres psikologis yang dialaminya
4. Status sosial ekonomi.
Orang dengan status sosial ekonomi yang tinggi memiliki kecenderungan lebih rendah
dalam mengalami stres psikologisdaripada orang dengan status sosial ekonomi yang
rendah. Status sosial ekonomi yang tinggi akan meningkatkan kesehatan psikologis
seseorang, sedangkan status sosial ekonomi yang rendah akan meningkatkan stres
psikologis seseorang. Mirowsky & Ross (1989) menjelaskan bahwa anak yang berasal
dari keluarga dengan status sosial ekonomi yang rendah memiliki sedikit keuntungan,
sumber daya, dan kesempatan dibanding anak yang berasal dari keluarga dengan
sosial ekonomi yang tinggi. Mereka cenderung lebih sering menemui kegagalan
sehingga hal ini dapat menimbulkan stres psikologis.
5. Usia
Remaja merupakan tahapan usia yang paling sering mengalamai kecemasan dan
depresi, sedangkan dewasa madya paling sedikit mengalami depresi dan lansia paling
sedikit mengalami kecemasan. Remaja merupakan tahapan usia dimana banyak terjadi
berbagai perubahan sehingga remaja paling rentan mengalami stres. Orang berusia
dibawah 20 tahun cenderung memiliki tingkat anxiety dan anger yang tinggi dan
cenderung semakin menurun pada orang yang berusia lebih tua. Hal ini dikarenakan
pada usia muda mereka belum sejahtera secara ekonomi dan umumnya belum
menikah sehingga tidak mendapatkan dukungan emosional dari pasangan hidupnya.
METODE PENELITIAN
Variabel dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres
psikologis. Berdasarkan tipe aplikasinya, penelitian ini tergolong ke dalam applied research
karena teknik, prosedur, dan metode penelitian yang digunakan bertujuan untuk
mengumpulkan informasi mengenai berbagai aspek dari suatu situasi, permasalahan, atau
fenomena, sehingga informasi yang terkumpul dapat diaplikasikan untuk kegunaan lainnya.
Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan correlational research karena
penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan/asosiasi/ interdependensi antara dua atau
lebih aspek dari suatu situasi. Berdasarkan tipe informasi yang diperoleh, penelitian ini
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
merupakan penelitian kuantitatif karena informasi dikumpulkan melalui variabel-variabel
yang diolah dengan analisis kuantitaifKumar, 2005).
Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi
Universitas Indoensia. Jumlah partisipan adalah 94 orang. Alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini berbentuk kuesioner yang terdiri dari Student Adaptation to College
Questionnaire (SACQ) untuk mnegukur penyesuaian diri di perguruan tinggi dan Hopkins
Symptopm Checklist-25 (HSCL-25) untuk mengukur stres psikologis. Alat ukur SACQ
dikembangkan oleh Baker dan Siryk (1984) 59 item dengan rincian 24 item mengukur