HUBUNGAN ANTARA PEER ATTACHMENT DENGAN REGULASI EMOSI SISWI DI BOARDING SCHOOL SMPIT NURUL ISLAM TENGARAN OLEH ALIN CHANDRA 802013101 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi. Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2017
31
Embed
HUBUNGAN ANTARA PEER ATTACHMENT DENGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13172/1/T1_802013101_Full... · remaja berinteraksi secara sosial dengan bermacam-macam orang, seperti
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUBUNGAN ANTARA PEER ATTACHMENT DENGAN
REGULASI EMOSI SISWI DI BOARDING SCHOOL
SMPIT NURUL ISLAM TENGARAN
OLEH
ALIN CHANDRA
802013101
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi.
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
HUBUNGAN ANTARA PEER ATTACHMENT DENGAN
REGULASI EMOSI SISWI DI BOARDING SCHOOL SMPIT
NURUL ISLAM TENGARAN
Alin Chandra
Rudangta Arianti Sembiring
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
i
Abstrak
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk
mengetahui signifikansi hubungan antara Peer Attachment dengan Regulasi
Emosi Siswi di Boarding School SMPIT Nurul Islam Tengaran. Penelitian ini
dilakukan pada siswi kelas VIII dan kelas IX SMPIT Nurul Islam Tengaran,
dengan mengggunakan teknik sampling jenuh. Metode penelitian yang dipakai
dalam pengumpulan data dengan menggunakan Skala Adolescent Emotion
Regulation Questionnaire (AERQ) dari Phillips dan Power (2007) yang
dikembangkan dari berbagai aspek menurut Gross & John 2003, Gratz &
Roemer, 2004, dan Shields & Cicchetti, 1997 yang terdiri dari pengabungan
empat domain respon-respon dari Garber dan Dogde (1991) dan Skala Inventory
of Parent and Peer Attachment (IPPA). Teknik analisa data menggunakan
Pearson Product Moment. Hasil penelitian ini diperoleh koefisien korelasi r =
0,432, N = 188, p > 0,05, one tails. Hasil tersebut menunjukkan adanya hubungan
positif yang signifikan antara Peer Attachment dengan Regulasi Emosi Remaja
yang menjadi siswi di Boarding School SMPIT Nurul Islam Tengaran.
Kata kunci : Peer Attachment, Regulasi emosi, Boarding school
ii
Abstract
This type of research is correlational research that aims to determine the
significance of the relationship between Peer Attachment with Emotion
Regulation in Boarding School Students SMPIT Nurul Islam Tengaran. Research
was conducted on students of class VIII and IX class SMPIT Nurul Islam
Tengaran, by using a saturated sampling technique. The research methods used in
data collection by using Scale Adolescent Emotion Regulation
Questionnaire (AERQ) of Phillips and Power (2007), which developed from
various aspects according to Gross & John, 2003, Gratz & Roemer, 2004, Shields
& Cicchetti, 1997 consisting of merging four domains responses from Garber and
dogde (1991) and Scale Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA). Data
analysis using Pearson Product Moment. The results of this study the correlation
coefficient r = 0.432, N = 188, p> 0.05, one tails. These results indicate a
significant positive relationship between Peer Attachment with Emotion
Regulation Teens who become students at the Boarding School SMPIT Nurul
Islam Tengaran.
Keywords: Peer Attachment, Emotion regulation, Boarding school
1
PENDAHULUAN
Sekolah memiliki pengaruh yang besar bagi anak dan remaja. Di sekolah,
remaja berinteraksi secara sosial dengan bermacam-macam orang, seperti guru,
teman sebaya, petugas tata usaha, dan lain-lain yang berasal dari beragam latar
belakang yang berbeda sosial. Ada berbagai macam jenis sekolah di Indonesia,
salah satunya adalah SMPIT (Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu) Nurul
Islam, sekolah IT atau Islam Terpadu dengan berbasis Boarding School yang di
dalamnya menerapkan pendekatan penyelenggaraan dengan memadukan
pendidikan umum dan pendidikan agama menjadi satu jalinan kurikulum.
Sekolah Islam Terpadu memberikan tantangan tersendiri bagi para
siswinya, terlebih yang berbasis boarding school selain menyediakan berbagai
fasilitas penginapan untuk siswanya, sistem yang di dalamnya juga berbeda
dengan sekolah pada umumnya. Sekolah Islam Tepadu berbasis boarding school
mengajarkan pendidikan umum pada siang harinya, kemudian pada malam hari di
isi dengan pendidikan agama. Setiap harinya, para siswa melakukan kegiatan
rutin, dimulai dari bangun tidur hingga malam hari. Hal tersebut menuntut siswa
yang berada di dalam sekolah tersebut harus mampu mengatur jadwal serta
mengelola emosi di dalam dirinya (Bamford, dalam Miranti 2012).
Pengolahan emosi dibutuhkan oleh para remaja mengingat remaja muda
dapat merasa seperti orang yang paling bahagia di suatu saat dan kemudian
merasa sebagai orang yang paling malang di saat lain. Remaja muda dapat
merajuk, tidak mengetahui bagaimana caranya mengekspresikan perasaan mereka
secara cukup. Agar emosi-emosi tersebut tidak meluas secara berlebihan maka
diperlukan pengolahan emosi yang disebut dengan regulasi emosi.
2
Beberapa contoh masalah dalam mengelola emosi dapat dilihat dari
kutipan wawancara yang peneliti lakukan dengan salah satu pengasuh di boarding
school SMPIT Nurul Islam Tengaran,’’Rata-rata pada betah disini, mungkin
memang kelas 7 itu memang perlu proses. Tapi hal-hal kayak gitu wajar ketika
kelas 8 atau kelas 9 kadang ingin keluar itu wajar, cuma yang melatarbelakangi
mereka ingin keluar kadang tidak kuatnya itu kadang tugas yang terlalu banyak,
kan macam-macam ini harus tahfidz (menghafal Al-qur’an) karna harus mencapai
target, kadang juga karena masalah pribadi’’.
Pengurus juga mengungkapkan,‘’Rata-rata tidak betah karena masalah
pribadi biasanya, kalau untuk karena sistem asrama tidak pernah. Kalau pribadi
mungkin sama temannya atau dia yang kurang bisa bersosialisasi sehingga
membuat dia itu agak minder jadi pendiam.’’(Wawancara pribadi, September
2016). Penggalan wawancara selanjutnya dengan anak-anak kelas 8 dan 9 :
‘’Saya pernah merasa sedih, sering bosan saat di asrama. Terkadang saya
susah mengungkapkan perasaan saya Kak. Apalagi kalau lagi banyak tugas, saya
pendam aja. Tapi teman deket saya biasanya bertanya kalau saya keliatan tidak
semangat gitu. Jadi ya saya langsung cerita sama dia.’’Ada juga yang
mengungkapkan,‘’Saya kalau bosen atau sedih gitu baca novel atau kalau tidak
masak mie. Kalau tidak, saya sering buat keseruan di kamar, becandaain temen
saya, jahilin temen saya. Kadang sih Kak, sampai nangis karena saya
menyembunyikan barangnya (tertawa).’’
Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat dilihat bahwa siswi kesulitan
mengeskpresikan emosi, kesulitan bersosialisasi, dan kesulitan mengelola emosi
selama berada di boarding school. Kemampuan mengelola dan mengekspresikan
3
emosi merupakan salah satu bagian dari kemampuan regulasi emosi seseorang,
selain proses monitoring dan evaluasi reaksi terhadap emosi (Thompson, 1994;
Zimmerman, 2001).
Telah dikembangkan sebuah regulasi emosi untuk remaja yang disebut
The Regulation of Emotions Questionnaire (AERQ) dari Phillips dan Power
(2007). The Regulation of Emotions Questionnaire (AERQ) ini menggunakan
struktur empat domain respon konseptualisasi pengaturan emosi dari Garber dan
Dogde (1991) yaitu (a). Domain Kognitif, domain ini mengacu pada setiap
aktivitas mental yang digunakan untuk mengatur intensitas atau durasi emosional.
Aktivitas mental dapat mencakup keyakinan, persepsi, imajinasi dan pikiran yang
timbul dari pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain di masa lalu, masa
sekarang dan masa depan. (b). Domain Behavioral, domain ini mengacu pada
tindakan yang dilibatkan dalam mengatur intensitas atau durasi emosional yang
tidak memiliki komponen interaksional atau sosial yang jelas, seperti misalnya
membaca, menonton tv dan mendengarkan musik. (c). Domain Fisiologis, domain
ini mengacu pada setiap sensasi tubuh, perasaan, tanggapan atau fungsi (misalnya,
bernafas atau berkeringat) yang berperan dalam mengatur intensitas atau durasi
emosional. (d). Domain Sosial, domain ini mengacu pada bagaimana interaksi
atau tanggapan seseorang dengan orang lain yang mengatur intensitas atau durasi
emosional. Fokus dari domain ini adalah dampak interpersonal terhadap
kemampuan untuk mengatur emosi. Hal ini dapat tercermin dalam pikiran dan
perilaku, namun ditempatkan dalam konteks sosial atau interaktif.
Banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Regulasi Emosi seorang
remaja diantaranya yaitu (a). Hubungan Antara Orangtua dan Anak, hubungan
4
remaja dengan orangtua sangat penting pada masa perkembangan remaja. Remaja
menginginkan pengertian yang bersifat simpatis, telinga yang peka dan orangtua
yang dapat merasakan anak-anaknya memiliki sesuatu yang berharga untuk
dibicarakan (Rice, 1999). Menurut Rice, affect yang berhubungan dengan emosi
atau perasaan yang ada di antara anggota keluarga bisa bersifat positif ataupun
negatif. Affect yang positif antara anggota keluarga merujuk pada hubungan yang
digolongkan pada emosi seperti kehangatan, kasih sayang, cinta dan sensitivitas
(Felson & Zielinski dalam Rice, 1999). (b). Umur dan jenis kelamin, selain itu
juga ada umur dan jenis kelamin. Seorang gadis yang berumur 7-17 tahun lebih
dapat melupakan tentang emosi yang menyakitkan daripada anak-anak laki-laki
yang juga seumuran dengannya (Salovery & Sluyter, 1997). Salovery & Sluyter,
(1997) menyimpulkan bahwa anak perempuan lebih banyak mencari dukungan
dan perlindungan dari orang lain untuk meregulasi emosi negatif mereka
sedangkan laki-laki menggunakan kekuatan fisik untuk meregulasi emosi negatif
mereka. (c). Hubungan interpersonal, salovery dan sluyter (1997) juga
mengemukakan bahwa hubungan interpersonal dan individual juga memengaruhi
regulasi emosi. Keduanya berhubungan dan saling memengaruhi sehingga emosi
meningkat bila individu yang ingin mencapai suatu tujuan berinteraksi dengan
lingkungan dan individu lainnya. Biasanya emosi positif meningkat bila individu
mencapai tujuannnya dan emosi negatif meningkat bila individu kesulitan dalam
mencapai tujuannya. Faktor-faktor lainnya menurut Salovery dan Sluyter (1997)
adalah permainan yang mereka mainkan, program televisi yang mereka tonton,
dan teman bermain mereka dapat memengaruhi perkembangan regulasi mereka.
5
Dari ketiga faktor tersebut hubungan interpersonal menjadi faktor yang
berkaitan dengan hasil wawancara dan pengalaman pribadi peneliti yang juga
pernah menjadi siswi di SMPIT Nurul Islam di mana hubungan dengan teman
menimbulkan masalah selama di asrama. Banyak konflik yang muncul dari
pertemanan yang melibatkan emosi. Selama di asrama interaksi yang banyak
terjadi adalah dengan teman, sehingga faktor hubungan interpersonal sangat
penting.
Memasuki masa remaja hingga dewasa, teman menjadi figur yang lebih
signifikan dibandingkan orangtua. Kelekatan antara individu dengan teman ini
dinamakan peer attachment. Menurut Youniss dan Smollar, Mueller dan Cooper
dalam Mönks (1992) menunjukkan betapa perlunya hubungan dengan peer dan
teman-teman bagi perkembangan anak (peer atau teman setingkat dalam
perkembangannya). Pada remaja awal kata peer biasanya berarti teman sebaya
karena remaja awal secara khusus berhubungan dengan mereka yang memiliki
usia yang sama.
Kelekatan (attachment) untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang
psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama Bowlby. Kemudian formulasi
yang lebih lengkap dikemukakan oleh Ainsworth pada tahun 1969. Kelekatan
merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui
interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya,
biasanya orang tua (Mc Cartney & Dearing, 2002)
Armsden & Greenberg (2007) menyusun IPPA (Inventory of parent and
peer Attachment) scales yang di dalamnya terdapat aspek komunikasi
(communication), aspek kepercayaan (trust) dan aspek keterasingan (alienation).
6
Ketika usia remaja, individu akan membentuk ikatan lebih erat dengan teman
sebayanya. Ikatan erat dengan teman-teman terbentuk karena adanya jalinan
komunikasi yang baik (Armsden, 1987; Armsden & Greenberg, 2007). Selain
komunikasi, kepercayaan juga merupakan suatu produk dari suatu hubungan yang
kuat, dimana kedua belah pihak merasa bisa bergantung satu sama lain (Armsden
& Greenberg, 2007).
Seperti data wawancara yang peneliti dapat, bahwa anak-anak sering cerita
dengan teman dekatnya maupun pengurus bila sedang merasa sedih atau bosan
saat di asrama. Hal ini membuktikan bahwa ada keterkaitan dengan relasi teman
sebaya dalam hal ini untuk memenuhi kebutuhan akan kelekatan (attachment).
Hasil penelitian Buhrmenster dikuatkan oleh temuan Nickerson & Nagle (2005)
bahwa pada masa remaja komunikasi dan kepercayaan terhadap orang tua
berkurang, dan beralih kepada teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan akan
kelekatan (attachment). Remaja juga membutuhkan afeksi dari remaja lainnya,
dan membutuhkan kontak fisik yang penuh rasa hormat. Remaja juga
membutuhkan perhatian dan rasa nyaman ketika mereka menghadapi masalah,
butuh orang yang mau mendengarkan dengan penuh simpati, serius dan
memberikan kesempatan untuk berbagi kesulitan dan perasaan seperti rasa marah,
takut, cemas dan keraguan (Cowie & Wallace, 2000). Remaja akan perlu
bergantung pada orang lain seperti rekan, saudara atau guru untuk memenuhi
kebutuhan kelekatan mereka ketika akses ke sosok kelekatan yang utama mereka
(orang tua) diblokir. Dalam hal ini pula saat mereka bersekolah, apalagi
bersekolah asrama (Boarding School) dan secara fisik dipisahkan dari orang tua
mereka.
7
Pada jurnal terdahulu yang juga membahas mengenai hubungan antara
peer attachment dengan regulasi emosi remaja yang menjadi siswa di boarding
school SMA 10 Samarinda menunjukkan hasil terdapat hubungan antara kedua
variabel namun dengan hasil korelasi yang rendah. Peneliti melakukan penelitian
dengan topik yang sama namun memiliki fenomena yang berbeda dari jurnal
terdahulu. Fenomena yang didapatkan oleh peneliti sekarang seperti yang sudah
dijelaskan pada data wawancara di atas. Pemilihan fenomena juga didapatkan dari
pengalaman pribadi peneliti yang pernah menjadi siswi di boarding school
SMPIT Nurul Islam di mana salah satu teman, memiliki banyak masalah selama
di boarding school terkait dengan pengendalian emosi dan pertemanan.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan, peneliti
tertarik untuk mengangkat hubungan antara peer attachment dengan regulasi
emosi remaja yang menjadi siswi di boarding school SMPIT Nurul Islam. Bahkan
dalam penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa strategi regulasi emosi
yang berbeda memiliki hubungan dengan tipe kelekatan seseorang individu