HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN GISTING LAMPUNG SELATAN OLEH MARIA LIDIA LIANASARI 802012090 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
33
Embed
Hubungan antara Konsep Diri dengan Resiliensi pada Remaja ... · Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, ditemukan tewas dalam kondisi gantung diri di dalam kamar mandi yang diduga
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI
PADA REMAJA PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN
GISTING LAMPUNG SELATAN
OLEH
MARIA LIDIA LIANASARI
802012090
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai citivas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Maria Lidia Lianasari
Nim : 802012090
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW
hal bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royality freeright) atas karya ilmiah saya
berjudul:
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA
PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN GISTING LAMPUNG SELATAN
Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalihmedia
atau mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis
atau pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada Tanggal : 11 Desember 2015
Yang menyatakan,
Maria Lidia Lianasari
Mengetahui,
Pembimbing
Enjang Wahyuningrum. M.Si., Psi.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Maria Lidia Linasari
Nim : 802012090
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA
PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN GISTING LAMPUNG SELATAN
Yang dibimbing oleh:
Enjang Wahyuningrum. M.Si., Psi
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau
gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya
saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 11 Desember 2015
Yang memberi pernyataan,
Maria Lidia Lianasari
LEMBAR PENGESAHAN
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA
PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN GISTING LAMPUNG SELATAN
Oleh
Maria Lidia Lianasari
802012090
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal : 12 Januari 2016ptemb2015
Oleh:
Pembimbing,
Enjang Wahyuningrum. M.Si., Psi.
Diketahui Oleh, Disahkan Oleh,
Kaprogdi Dekan
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS. Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI
PADA REMAJA PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN
GISTING LAMPUNG SELATAN
Maria Lidia Lianasari
Enjang Wahyuningrum
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
i
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan resiliensi
pada remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan. Jenis penelitian ini
adalah kuantitatif korelasional dengan melibatkan 50 partisipan. Teknik pengambilan
sampel adalah menggunakan teknik snowball sampling. Karakteristik subjek pada
penelitian ini adalah remaja putus sekolah usia 12-21 tahun. Metode pengumpulan data
pada variabel konsep diri menggunakan skala Tennessee Self Concept Scale yang dibuat
oleh William H. Fitts. Pada variabel resiliensi dengan menggunakan skala Resilience
Quotient yang dibuat oleh Reivich dan Shatte (2002). Hasil penelitian ini menunjukkan
hasil adanya hubungan yang positif dan signifikan antara konsep diri dengan resiliensi.
Tingkat konsep diri remaja putus sekolah berada pada kategori tinggi dengan mean
sebesar 87,66, sedangkan tingkat resiliensi remaja putus sekolah berada pada kategori
tinggi dengan mean sebesar 63,32. Konsep diri memberikan sumbangan pengaruh
terhadap resiliensi sebesar 65,93%.
Kata kunci : konsep diri, resiliensi
ii
Abstract
This study aims to determine the relationship between self-concept and resilience in
adolescents of school dropout in the District Gisting, Lampung Selatan. This research is
a quantitative correlation with the involvement of 50 participants. The sampling
technique is using snowball sampling technique. The Characteristics of the subjects in
this study are young school dropouts aged 12-21 years. The data colletction method on
self-concept uses Tennessee Self Concept Scale made by William H. Fitts. Mean while,
the data collection method on the variables of resilience uses Resilience Quotient made
by Reivich and Shatte (2002). The results shows that there is a positive and significant
correlation between self-concept and resilience. Adolescents of school dropout self-
concept levels are on the high category with mean amounted to 87.66, while the level of
resilience in adolescents school drop out, at the high category with mean amounted to
63.32. Self concept give 65,93 % influence on resilience.
Keywords: self concept, resilience
1
PENDAHULUAN
Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam membentuk sikap dan
perilaku seseorang. Branata (2009) mengungkapkan bahwa pendidikan ialah usaha yang
sengaja diadakan, baik langsung maupun secara tidak langsung, untuk membantu anak
dalam perkembangannya mencapai kedewasaan. Pendidikan merupakan kebutuhan
dasar manusia khususnya pada kelompok usia remaja (Santrock, 2003). Remaja
merupakan masa peralihan dari masa kanak - kanak menuju masa dewasa, masa ini
merupakan masa yang amat baik untuk mengembangkan segala potensi positif yang
mereka miliki. Menurut Monks (2001) usia remaja berlangsung dari 12 sampai dengan
21 tahun, dengan pembagian: usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, usia 15-18
tahun adalah masa remaja madya, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Akan tetapi
beberapa remaja mengalami kendala dan rintangan dalam melewati masa menempuh
pendidikan itu hingga membuat mereka mengalami putus sekolah.
Putus sekolah mencerminkan anak - anak usia sekolah yang sudah tidak
bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu sebelum
memperoleh ijazah. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Putus sekolah dapat terjadi pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan
menengah, ataupun pendidikan tinggi. Hal ini juga disampaikan oleh Wayman (2002)
yang menjelaskan putus sekolah sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan
anak muda yang meninggalkan sekolah sebelum waktu yang seharusnya. Data statistik
menunjukkan masih tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Jumlah siswa usia
wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun
2
pada tahun 2011 berjumlah 10,268 juta dan masih ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak
dapat melanjutkan ke tingkat SMA (Kompas, 2011).
Conger (1991) mengemukakan beberapa dampak yang akan terjadi jika seorang
remaja putus sekolah yakni harga diri rendah, merokok, minum-minuman beralkohol,
menggunakan obat-obatan terlarang dan kenakalan remaja. Hadiyanto (1996) juga
menambahkan tingginya angka putus sekolah dapat berakibat pada bidang-bidang
lainnya yang sangat merugikan masyarakat secara umum. Sebagai contoh, tingginya
angka putus sekolah menambah tingginya angka pengangguran yang mungkin dapat
berakibat terhadap tingginya kriminalitas atau gejolak sosial lainnya. Remaja putus
sekolah mengalami permasalahan ketika memasuki pasar tenaga kerja, masalah sosial
dan pendapatan yang memperburuk kondisi mereka untuk pindah ke jenjang karier.
Remaja putus sekolah lebih banyak menganggur, dan yang berhasil mendapatkan
pekerjaan mendapatkan upah lebih rendah dari pada yang memiliki ijazah. Wanita
muda yang putus sekolah lebih mungkin memiliki anak di usia muda dan lebih mungkin
menjadi orang tua tunggal (Adelman & Taylor, 2007).
Dalam menempuh pendidikan formal terdapat kendala-kendala yang
menghambat kelancaran dalam bersekolah hingga membuat mereka mengalami putus
sekolah. Penyebab terjadinya putus sekolah antara lain faktor ekonomi, faktor sosial
ataupun kendala ketidaknyamanan yaitu relasi terhadap teman ataupun relasi terhadap
lingkungan sekitar. Disamping adanya perasaan minder dan malu akan kekurangan yang
dimiliki sehingga menjadi hambatan untuk menyelesaikan pendidikan formal.
Christensen & Thurlow (2004) menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi hampir
sebagian besar siswa adalah masalah biaya pendidikan dan masalah relasi dengan guru
dan relasi dengan teman. Penelitian yang dilakukan oleh Rumberger (1995) juga
3
menjelaskan bahwa 50% alasan dari siswa yang keluar sekolah adalah kendala yang
berasal dari faktor ekonomi dan 35% kebanyakan karena masalah pribadi, seperti
kehamilan atau pernikahan. Anak putus sekolah, dari hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan Septiana & Wulandari (2012) faktor penyebabnya adalah pengalaman yang
tidak menyenangkan seperti takut pada guru, tidak naik kelas, dan lain-lain, serta
lingkungan seperti tingkat pendidikan orang tua rendah, rumah tangga bermasalah, dan
lain-lain. Dengan demikian, bisa dicermati bahwa pengalaman dan lingkungan yang
dialami mereka memengaruhi kondisi psikologis individu sehingga berdampak pada
sikap dan perilaku mereka yaitu memutuskan untuk berhenti sekolah.
Putus sekolah juga mengakibatkan remaja menjadi putus asa, pesimis, tidak ada
harapan dan melakukan bunuh diri. Kori Setiawan, warga Desa Banjarsari Kulon,
Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, ditemukan tewas dalam kondisi gantung
diri di dalam kamar mandi yang diduga karena putus sekolah (Suara Pembaruan, 2011).
Individu putus sekolah tidak mendapatkan pendidikan yang layak sehingga
kesejahteraan ekonomi dan sosialnya menjadi “terbatas” sepanjang hidupnya ketika
menjadi orang dewasa. Remaja yang melangkah keluar dari tangga pendidikan jauh
sebelum mereka mencapai tingkat karir yang profesional, sehingga membuat remaja
harus menggunakan cara mereka sendiri untuk mencari pekerjaan (Santrock, 2003).
Rembulan (2009) menguatkan bahwa di negara berkembang, faktor resiko yang dapat
menimbulkan gangguan jiwa adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan
(putus sekolah). Remaja yang mengalami putus sekolah juga berpotensi menjadi
pengangguran dari pada mereka yang lulus, hal ini dikarenakan tuntutan kerja pada
waktu yang akan datang membutuhkan pengetahuan dan kesiapan. Remaja yang gagal
menyelesaikan pendidikan akan menemukan kesulitan dalam mendapatkan dunia kerja.
4
Apabila bekerja, individu yang mengalami putus sekolah akan mendapat gaji di bawah
mereka yang mempunyai ijazah pendidikan. Remaja dengan tingkat pendidikan rendah
jarang mendapatkan kesempatan untuk dipromosikan ke jenjang karier yang lebih
tinggi, kurangnya pengalaman, keamanan kerja dan rendahnya performasi kerja
(Nuqosin, 2012).
Kondisi putus sekolah tidak bisa dihindarkan karena beberapa faktor, artinya
putus sekolah menjadi salah satu kondisi yang harus ditanggung oleh sebagian remaja.
Kondisi kehidupan yang harus dihadapi setelah mengalami putus sekolah, antara lain
adalah keterbatasan pengetahuan, keterbatasan akses informasi, keterbatasan akses
sosialisasi, dan kesempatan kerja yang terbatas karena tidak mempunyai ijazah sebagai
syarat administrasi. Kondisi-kondisi tersebut mengakibatkan remaja putus sekolah tidak
percaya diri untuk melakukan aktivitas tertentu karena merasa tidak mempunyai bekal
pengetahuan, tidak mempunyai harga diri, tidak termotivasi dan mempunyai konsep diri
negatif (Santrock, 2003).
Dari hasil wawancara dengan beberapa orang remaja putus sekolah di
Kecematan Gisting, Lampung Selatan, yang menunjukkan bahwa mereka tidak dapat
lolos dari cobaan hidup yang berupa penderitaan diri. Ketika remaja putus sekolah
mengadakan hubungan dengan lingkungan sosial, mereka cenderung menampakkan
sikap pendiam, perasaan minder dan rendah diri jika bergaul dengan teman-teman yang
sekolah, tertutup dengan lingkungan, karena takut jadi pembicaraan orang-orang, cemas
dan sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain bahkan jarang mengikuti kegiatan
sosial yang diadakan oleh masyarakat, malas untuk memikirkan masa depan.
Individu yang mengalami putus sekolah membutuhkan pengembangan
kepercayaan diri dan keyakinan akan kemampuan diri untuk beradaptasi terhadap
5
kesulitan hidup yang ada, bertahan dan segera bangkit kembali apabila menemui
kesulitan-kesulitan hidup serta mempunyai kehendak yang kuat dan mencari berbagai
alternatif cara positif untuk menggapai hidup yang lebih baik Rumberger (1995).
Remaja yang mengalami putus sekolah memiliki tanggung jawab untuk menyesuaikan
diri dan berperilaku sesuai strategi baru dengan menggunakan sumber daya yang
dimiliki walau terbatas.
Stoltz (2005) berpendapat bahwa pada dasarnya setiap orang memendam hasrat
untuk mencapai kesuksesan. Dalam meraih kesuksesan, diperlukan kemampuan
seseorang dalam berjuang menghadapi dan mengatasi masalah, hambatan, atau
kesulitan yang dimilikinya serta mengubahnya menjadi peluang keberhasilan dan
kesuksesan. Kesulitan, kemalangan sejatinya ditemui oleh setiap individu namun
dengan jenis dan intensitas yang berbeda-beda. Individu ada yang berhasil melewati
kesulitan dan kemalangan ada juga yang gagal dan terpuruk karena kesulitan dan
kemalangan itu. Menurut Stoltz (2005), individu yang memiliki kemampuan mengatasi
kesulitan tinggi akan mengarahkan segala potensi yang dimiliki untuk meraih
keberhasilan atau dapat memberikan hasil yang terbaik, serta selalu akan termotivasi,
dan mereka akan mengerjakan pekerjaan atau aktivitas sebaik mungkin, termasuk
mencari informasi serta memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia walau terbatas.
Garmezy dan Michael (dalam Pranandari, 2008) mengemukakan bahwa saat
menghadapi kesulitan hidup, sebagian individu gagal dan tidak mampu bertahan dimana
mereka mengembangkan pola-pola perilaku yang bermasalah. Sebagian lainnya bisa
bertahan dan mengembangkan perilaku adaptif bahkan lebih baik lagi bila mereka
berhasil keluar dari kesulitan dan menjalani kehidupan yang sehat. Resiliensi adalah
salah satu moderator yang dapat membantu memahami mengapa satu individu dapat
6
bereaksi negatif terhadap pengalaman negatif, sedangkan individu lain tidak mengalami
masalah apapun meskipun menghadapi tekanan yang berat. Menurut Reivich & Shatte
(2012) mengungkapkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan
tetap teguh dalam situasi sulit. Pada sisi inilah, mengatasi kesulitan memiliki aspek-
aspek yang dapat memberikan gambaran mengenai ketangguhan individu dalam
menghadapi hambatan, kesulitan atau kegagalan dan dapat memprediksi apakah ia tetap
terkendali dalam menghadapi situasi atau keadaan yang sulit seperti kesulitan setelah
mengalami putus sekolah. Keberhasilan dan kegagalan individu dalam menghadapi
kesulitan dan kemalangan ditentukan oleh kemampuan individu tersebut dalam
mengatasinya.
Reivich & Shatte (2012) berpendapat ada tujuh kemampuan yang dapat
membentuk resiliensi yaitu regulasi emosi yang merupakan kemampuan untuk tetap
tenang dalam kondisi yang penuh tekanan, pengendalian impuls yakni kemampuan
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam
diri seseorang, optimisme, individu yang resilien adalah individu yang optimis dan
individu memiliki harapan di masa depan dan percaya dapat mengontrol arah hidupnya,
empati yakni kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda psikologis dan emosi
dari orang lain, causal analysis yaitu merujuk pada kemampuan individu untuk secara
akurat mengidentifikasi penyebab-penyebab dari permasalahan individu, jika individu
tidak mampu memperkirakan penyebab dari permasalahannya secara akurat, maka
individu akan membuat kesalahan yang sama, efikasi diri yakni keyakinan pada
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif,
dan reaching out yaitu kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam
hidup dimana individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah
7
dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan
interpersonal dan pengendalian emosi. Dalam ketujuh kemampuan resiliensi melibatkan
pikiran dan perasaan individu untuk menentukan dan menilai secara mendalam masalah
yang dihadapi.
Dalam menyikapi permasalahan-permasalahan tersebut, mampu tidaknya remaja
dalam menyelesaikan permasalahannya tergantung pada kemampuan bertahan dalam
menghadapi permasalahan karena setiap individu memiliki kekuatan yang berbeda-
beda. Dan faktor yang mempengaruhi resiliensi salah satunya adalah konsep diri
Werner (1992). Sebuah konsep diri yang positif juga berkontribusi terhadap
kemampuan resiliensi. Menurut Evarall (2006) mengatakan bahwa remaja yang resilien
cenderung memiliki tujuan, harapan, dan perencanaan terhadap masa depan, gabungan
antara ketekunan dan ambisi dalam mencapai hasil yang akan diperoleh. Everall (2006)
juga mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi yaitu faktor individual
yang meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri, dan kompetensi
sosial yang dimiliki individu, faktor keluarga yang meliputi dukungan yang bersumber
dari orang tua, yaitu bagaimana cara orang tua untuk memperlakukan dan melayani
anak, yang terakhir yakni faktor komunitas yang meliputi kemiskinan dan keterbatasan
kesempatan kerja.
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan
atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Hurlock (1999) mengatakan bahwa konsep
diri bertambah stabil pada periode masa remaja. Konsep diri yang stabil sangat penting
bagi remaja karena hal tersebut merupakan salah satu bukti keberhasilan pada remaja
dalam usaha untuk memperbaiki kepribadiannya. Konsep diri didefinisikan sebagai
keseluruhan kesadaran atau persepsi mengenai diri yang diobservasikan, dialami dan
8
dinilai oleh individu sendiri (Fitts, 1971). Fitts (1971) juga mengatakan bahwa konsep
diri berpengaruh kuat dalam tingkah laku seseorang. Menurut Calhoun & Acocella
(1990) konsep diri terbagi menjadi dua jenis, yaitu konsep diri yang positif dan konsep
diri yang negatif.
Konsep diri yang positif membuat remaja akan terlihat lebih optimis, penuh
percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan
yang dialaminya. Sedangkan konsep diri yang negatif, yang meyakini dan memandang
bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, malang, gagal, tidak
menarik, tidak disukai, bahkan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Dengan konsep
diri yang positif remaja mampu melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi
keberhasilan dimasa yang akan datang (Hurlock, 1999).
Bagi remaja yang pendidikannya kurang atau dalam arti putus sekolah, remaja
tersebut merasa mempunyai keterbatasan mereka akan merasa dirinya rendah atau dapat
menyebabkan remaja yang memiliki konsep diri negatif, evaluasi diri yang dimilikinya
juga meliputi penilaian yang negatif terhadap dirinya, merasa tidak pernah cukup, baik
dengan apa yang dirasakannya dan selalu membandingkan apa yang akan dicapai
dengan yang dicapai orang lain. Konsep diri negatif cenderung membuat individu
bersikap tidak efektif, hal ini akan terlihat dari kemampuan menyelesaikan masalah dan
penguasaan lingkungan dalam masyarakat Hurlock (1999). Seharusnya remaja dalam
perkembangan yang baik, harus mampu mengenali dirinya sendiri, dan memiliki
kemampuan ke dalam diri sendiri, menentukan hidup dan mampu menangani masalah
yang sedang dihadapi.
Seseorang dengan konsep diri yang positif, prilakunya akan terlihat lebih
memiliki harga diri, dan cenderung melakukan hal-hal yang positif, dibandingkan yang
9
memiliki konsep diri negatif hal ini yang membuat remaja tersebut memiliki konsep diri
yang positif (Santrock, 2003). Remaja yang putus sekolah biasanya memiliki banyak
kecenderungan negatif, remaja yang putus sekolah cenderung lebih suka memukul,
kurang bisa menilai dirinya sendiri, mengabaikan peraturan yang ada di sekitarnya,
kurang memberikan kasih sayang pada orang yang ada disekitarnya, melecehkan orang
lain, menghina orang lain yang menurut mereka lebih rendah dari dirinya, tidak berlaku
adil pada sesama, tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada pada dirinya dan lain
sebagainya. Remaja yang putus sekolah ketika dilihat dari pergaulannya dengan
lingkungan yang kurang mendukung, yang membuat remaja lebih cenderung
memunculkan perilaku negatif atau mempunyai konsep diri yang negatif Sobur (dalam
Uliyah, 2014).
Menurut American Psychological Association (dalam Djudiyah, 2011) cara
pandang diri negatif terhadap diri sendiri serta perasaan tidak berharga pada diri remaja
akan berdampak pada perkembangan daya resiliensinya. Apabila remaja menganggap
bahwa hidup ini kejam, hanya membuat dirinya menderita dan merasa tidak berdaya
menghadapinya maka akan menyebabkan daya resilensinya tidak berkembang atau
cenderung rendah. Namun bila remaja berusaha mengatasi persoalan - persoalan yang
dihadapinya dan berusaha bangkit dari keterpurukannya serta berusaha menerima apa
yang dimilikinya saat ini maka daya resiliensinya akan dapat berkembang.
Menurut Fitts (1971), konsep diri terdiri dari 5 aspek yang meliputi, physical self
(persepsi individu terhadap keadaan dirinya secara fisik, kesehatan, dan penampilan
dirinya), moral - ethical self (persepsi individu mengenai hubungannya dengan Tuhan,
kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai - nilai moral yang
dipegangnya), personal self (persepsi individu mengenai keadaan pribadinya, yang
10
menyangkut sifat yang digunakan oleh dirinya dalam berhubungan dengan dunia luar),
family self (persepsi individu mengenai dirinya dengan interaksinya dengan keluarga
dan orang – orang terdekat), dan yang terakhir social self (persepsi individu mengenai
dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain di luar keluarganya secara umum).
Menurut Hurlock (1999), pembentukan konsep diri pada remaja dipengaruhi
oleh faktor - faktor antara lain usia kematangan, penampilan diri, nama dan julukan,
hubungan keluarga, teman-teman sebaya, kreativitas, dan cita-cita. Selain itu Fitts
(1971) mengungkapkan pula mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
yakni pengalaman, khususnya pengalaman interpersonal yang memunculkan perasaan
positif dan perasaan bernilai serta berharga, lalu yang kedua kompetensi dalam bidang –
bidang yang berarti bagi dirinya dan orang lain, serta yang ketiga adalah aktualisasi diri
atau atau implementasi dan realisasi dari potensi personal nyata dari seseorang apapun
bentuknya.
Ada beberapa penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara konsep diri
dengan resiliensi, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2015) mengenai
hubungan antara konsep diri dan resiliensi remaja pada keluarga orang tua tunggal yang
didapatkan hasil bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara konsep diri dengan
resiliensi remaja pada orang tua tunggal yang artinya semakin positif konsep diri maka
resiliensi remaja semakin baik, sebaliknya semakin negatif konsep diri maka resiliensi
semakin buruk. Namun ada juga penelitiaan yang dilakukan oleh Hamid (2014)
mengenai hubungan antara konsep diri dengan resiliensi pada mahasiswa Fakultas
Psikologi angkataan 2010-2013 Universitas Islam Negri Malang, yang didapatkan hasil
pada angkatan 2012 bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri
dengan resiliensi. Dari paparan tersebut, peneliti bertujuan untuk meneliti adanya
11
hubungan positif antara konsep diri dengan resiliensi pada remaja putus sekolah di
Kecamatan Gisting, Lampung Selatan.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
korelasional dan ingin mengukur korelasi antara konsep diri dan resiliensi pada remaja
putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan.
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja putus sekolah yang berusia 12-21
tahun di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan yang berjumlah 50 orang. Teknik
pengambilan sampel partisipan menggunakan teknik snowball sampling.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
psikologi, yaitu instrumen yang dapat dipakai untuk mengukur atribut psikologis Azwar
(1999). Skala bertingkat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah skala likert.
Skala likert adalah skala yang mengukur kekuatan persetujuan dari pernyataan-
pernyataan untuk mengukur sikap atau perilaku. Skala yang digunakan dalam penelitian
ini berjumlah dua skala, yaitu:
a. Skala Konsep Diri
Dalam penelitian ini, alat ukur yang digunakan untuk mengukur konsep diri
yang dimiliki oleh subjek diadaptasi dari Tennessee Self Concept Scale (TSCS) yang
dikembangkan oleh William H. Fitts. Skala ini terdiri daru 40 item pernyataan.
Tennessee Self Concept Scale (TSCS) merupakan alat untuk mengukur konsep diri
secara umum yang berada dalam usia 12 tahun ke atas. Skala ini mengungkap 5
12
aspek yaitu, physical self, moral - ethical self, personal self, family self, dan social
self. Pengujian reliabilitas dilakukan lagi pada penelitian ini dengan menggunakan
data yang didapat dari sampel ketika pengambilan data dilakukan (try out terpakai).
Hasil uji seleksi item dan reliabilitas penentuan-penentuan item valid menggunakan
ketentuan dari Azwar (2010) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran
dapat dikatakan valid apabila ≥ 0,25 dan menunjukkan bahwa ada 10 item yang
gugur yaitu item 7, 12, 14, 15, 19, 28, 30, 32, 39, dan 40 dengan reliabilitas sebesar
0,898. Item-item dalam skala ini menggunakan pernyataan dengan empat pilihan
jawaban SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak
Setuju).
Tabel 1. Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Konsep Diri
No Aspek Item Favorable Item Unfavorable Jumlah
item valid
1 Physical self 1, 12*, 18, 23,
30*,
7* 3
2 Moral – ethnical self 2, 13, 19* 24, 3
3 Personal self 3, 5, 8, 15*, 27,
31, 35, 36,
4, 9, 14*, 20, 25,
26, 32*, 37, 38,
40*
14
4 Family self 10, 16, 21, 6, 28*, 33, 39* 5
5 Social self 11, 17, 29, 34 22 5
Total valid 30
13
b. Skala Resiliensi
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur resiliensi adalah skala resiliensi yang
diadaptasi dari Resilience Quotient (RQ) yang diungkapkan oleh Reivich dan
Shatte (2002). Item-item dalam skala disusun berdasarkan tujuh aspek resiliensi
oleh Reivich dan Shatte (2002). Skala ini terdiri dari 40 item. Pengujian reliabilitas
dilakukan lagi pada penelitian ini dengan menggunakan data yang didapat dari
sampel ketika pengambilan data dilakukan (try out terpakai). Hasil uji seleksi item
dan reliabilitas penentuan-penentuan item valid menggunakan ketentuan dari
Azwar (2010) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat
dikatakan valid apabila ≥ 0,25 dan menunjukkan bahwa ada 17 item yang gugur
yaitu item 6, 7, 10, 13, 14, 15, 18, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 32, 33, 34, dan 37 dengan
reliabilitas sebesar 0,866. Item-item dalam skala ini menggunakan pernyataan
dengan empat pilihan jawaban SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju),
STS (Sangat Tidak Setuju).
Tabel 2. Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Resiliensi