HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) DENGAN KEJADIAN CEDERA KEPALA DAN CEDERA LEHER DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Oleh: EBEN E. MANALU 127102005 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMUBEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018 Universitas Sumatera Utara
102
Embed
HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY
SCALE (FISS) DENGAN KEJADIAN CEDERA
KEPALA DAN CEDERA LEHER
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Oleh:
EBEN E. MANALU
127102005
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMUBEDAH
DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
Universitas Sumatera Utara
HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY
SCALE (FISS) DENGAN KEJADIAN
CEDERA KEPALA DAN CEDERA LEHER
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TESIS AKHIR
Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh keahlian dalam
bidang Ilmu Bedah
Oleh:
EBEN E. MANALU
127102005
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMUBEDAH
DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Hubungan Facial Injury Severity Scale (FISS) dengan
Cedera Kepala dan Cedera Leher di RSUP H. Adam Malik
Medan
Nama Mahasiswa : dr. Eben E. Manalu
NIM : 127102005
Program Studi : Ilmu Bedah
Konsentrasi : Divisi Bedah Plastik
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Utama Abdi Tarigan, SpBP-RE
NIP. 19710616200121001 NIP. 197105172008011008
dr. Frank Bietra Buchari, SpBP-RE
Ketua Program Studi Dekan Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
dr. Asrul, SpB-KBD NIP. 196607051997011001 NIP. 195604131987021001
dr. Liberti Sirait, SpB-KBD
Penguji III
NIP. 196806081999031010 dr. Suyatno, SpB(K)Onk
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Bedah
NIP. 196712072000121001 dr. Adi Muradi Muhar, SpB-KBD
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN
HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS)
DENGAN KEJADIAN CEDERA KEPALA DAN CEDERA LEHER
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam penelitian ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Mei 2018
dr. Eben E. Manalu
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK Latar Belakang Trauma maksilofasial merupakan trauma khusus karena dapat menyebabkan gangguan sejumlah fungsi penting pada wajah. Pasien dengan trauma maksilofasial sangat beresiko tinggi mengalami cedera kepala dan leher. Facial Injury Severity Scale (FISS) merupakan sistem penilaian klinis untuk melihat tingkat keparahan trauma maksilofasial, memprediksi nilai prognostik pasien trauma maksilofasial dan sebagai sarana penelitian. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara Facial Injury Severity Scale (FISS) dengan cedera kepala dan cedera leher di RSUP H. Adam Malik Medan. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional. Selama kurun waktu April sampai Mei 2018 didapatkan 31 pasien trauma maksilofasial berusia > 18 tahun dan telah dilakukan pemeriksaan Head CT Scan dan X Ray leher dimasukkan dalam penelitian ini. Pasien trauma maksilofasial yang mengalami hematom, ekskoriasi dan memiliki hasil pemeriksaan penunjang yang normal tidak ikut dalam penelitian ini. Variabel pada penelitian ini adalah FISS dan cedera kepala. Variabel cedera kepala dibagi menjadi lesi intrakranial dan GCS. Kemudian dilakukan analisis data untuk menilai korelasi antara FISS dengan GCS menggunakan uji korelasi Spearman dan untuk menilai hubungan FISS dengan lesi intrakranial menggunakan uji T tidak berpasangan. Hasil Penelitian
Dari 31 pasien trauma maksilofasial ini didapatkan 23 (74,2%) orang laki-laki, rerata umur 25,84 ± 11,45, rerata FISS adalah 3,00 ± 1,43, lokasi fraktur terbanyak pada mandibula 12 (38,7%) pasien, tidak dijumpai cedera leher pada seluruh pasien (100%), etiologi tersering karena kecelakaan lalu lintas khususnya pengendara sepeda motor sebanyak 30 (96,7%) pasien, tidak memakai helm 26 (83,9%) pasien, dan mengalami cedera kepala ringan sebanyak 27 (87,1%) pasien dengan rerata FISS cedera kepala ringan 3,07 ± 1,46. Rerata FISS tertinggi terdapat pada kelompok EDH (4,00 ± 1,00) dan open depressed fracture dengan pneumocephali (4,00 ± 1,45). Uji korelasi Spearman antara FISS dengan GCS menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (r = 0,276, p=0,133). Uji T tidak berpasangan untuk menilai hubungan FISS dengan lesi intrakranial menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p=0,610). Kesimpulan Tidak ada hubungan antara FISS dengan GCS dan lesi intrakranial. Kata Kunci: trauma maksilofasial, FISS, fraktur fasial, cedera kepala, cedera leher
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT Background Maxillofacial trauma is a special trauma because it can cause impairment of a number of important functions on the face. Patients with maxillofacial trauma are highly at risk for head and neck injury. Facial Injury Severity Scale (FISS) is a clinical assessment system to look at the severity of maxillofacial trauma, predict the prognostic value of maxillofacial trauma patients and as a research tool. The purpose of this study was to determine the relationship between Facial Injury Severity Scale (FISS) with head injury and neck injury at RSUP H. Adam Malik Medan. Methods This design of this study is an analytical study with cross sectional design. 31 patients who were diagnosed of having concomitant maxillofacial and head injury by appropriate skull X-Ray and CT Scan of brain were included in this study. Maxillofacial trauma patients who were experienced with hematoma, excoriation and had normal investigative results did not participate in the study. Information’s based on age, sex, mode of injury, pattern of facial and head injury, GCS score and type of head injury was taken for each case. The variables in this study were FISS and head injury. Variable head injuries are divided into intracranial lesions and GCS. The data between FISS and GCS were analyzed with Spearman correlation test and to assess the relationship of FISS with intracranial lesions using ANOVA test. Results 31 maxillofacial trauma patients which consist of 23 (74.2%) males participated in this study. Mean ± SD of patient’s age was 25.84 ± 11.45. The FISS scores was calculated for each patient (average FISS: 3.00 ± 1.43, range 1 to 6. Mandible was the most commonly fractured facial bone (38,7%). Majority of the patients had mild head injury (87,1%) and there was no cervical injury was present in all patients (100%). The most frequent etiology was due to traffic accidents, especially motorcyclists as many as 30 (96.7%) patients and did not wear helmet in 26 (83.9%) patients. The highest mean FISS patients based on the type of head injury was in mild head injury group (3.07 ± 1.46). The highest mean FISS was in the EDH group (4.00 ± 1.00) and open depressed fracture with pneumocephalus (4.00 ± 1.45). Spearman correlation test between FISS and GCS didn’t give statistically significant result and showed low correlation (r = 0,276, p = 0,133). The relation between FISS and intracranial lesions using T independent test did not show significant result (p = 0,610). Conclusion There is no relationship between Facial Injury Severity Scale (FISS) with GCS and intracranial lessions. Keywords : Maxillofacial injury, FISS, facial fracture, head injury, cervical injury
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
magister ini salah satu persyaratan tugas akhir untuk memperoleh keahlian dalam
bidang Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Tesis ini berjudul “Hubungan Antara Facial Injury Severity Scale
(FISS) dengan Cedera Kepala dan Cedera Leher di RSUP H. Adam Malik
Medan”. Dalam tesis ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung Sitepu,
S.H, M.Hum dan Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K) atas kesempatan yang telah diberikan
kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Bedah di
Fakutas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Plt. Ketua Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-KBD, dan Sekretaris Departemen,
dr. Doddy Prabisma Pohan, Sp.BTKV. Ketua Program Studi Ilmu Bedah, dr.
Edwin Saleh Siregar, Sp.B-KBD, dan Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah, dr.
Dedy Hermansyah, Sp.B(K)Onk.
3. dr. Utama Abdi Tarigan, Sp.BP, dr. Frank Bietra Buchari, Sp.BP-
RE(K), Dr. dr. Suzy Indarty, M.Kes, SpBS(K) selaku pembimbing saya yang
Universitas Sumatera Utara
telah bersedia membimbing dan mendidik serta menyediakan waktu, tenaga, dan
pemikirannya dalam membimbing saya menyelesaikan tesis ini.
4. dr. Asrul, SpB-KBD dan dr. Suyatno, Sp.B (K) Onk dan dr. Liberti
Sirait, SpB-KBD selaku penguji saya yang telah bersedia memberikan masukan
dan membimbing saya menyelesaikan tesis ini.
4. Prof. dr. Bachtiar Surya, Sp.B-KBD; Guru Besar di Departemen Ilmu
Bedah Digestif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
5. Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu
dan meluangkan waktu dalam membimbing statistik dari tulisan tugas akhir ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen FK Universitas Sumatera Utara yang telah
mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis.
7. RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan
kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian ditempat tersebut.
6. Para Senior dan sejawat program studi Bedah yang bersama-sama
menjalani suka duka selama pendidikan.
7. Para pegawai di lingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para
tenaga kesehatan yang berbaur berbagi pekerjaan memberikan pelayanan Bedah di
RSUP H. Adam Malik, RSU Pirngadi, dan di semua tempat selama penulis
menimba ilmu.
8. Rasa hormat dan terimakasih kepada kedua orang tua, Alm. Bapak
Maknur Manalu dan Alm. Ibu Basaria Sihombing, kedua mertua saya, Alm.
Universitas Sumatera Utara
Bapak Barita Siburian dan Ibu Ruqiah Aritonang yang telah memberikan doa,
dukungan, semangat dalam menjalani pendidikan ini.
9. Kepada abang, kakak, adik-adik dan seluruh keluarga besar, penulis
mengucapkan terimakasih atas pengertian dan dukungan yang diberikan selama
penulis menjalani pendidikan.
10. Terimakasih untuk istriku tercinta, dr. Lidya Siburian atas segala
pengorbanan, pengertian, dukungan semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam
segala suka duka mendampingi saya selama menjalani masa pendidikan yang
panjang ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan tesis ini masih banyak hal yang
harus disempurnakan. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan berupa saran
dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan
karuniaNya kepada kita semua, dan penulis berharap semoga tesis ini dapat
diterima dan memberikan informasi serta sumbangan pemikiran yang berguna
bagi semua pihak. Terima kasih
Medan, Mei 2018
Penulis,
dr. Eben E. Manalu
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... i SURAT KETERANGAN ....................................................................... ii PERNYATAAN ....................................................................................... iii ABSTRAK ............................................................................................... iv ABSTRACT ............................................................................................. v KATA PENGANTAR ............................................................................. vi DAFTAR ISI ............................................................................................ ix DAFTAR TABEL ................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xii BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 4 1.3 Hipotesis .............................................................................................. 4 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................... 5 1.4.2Tujuan Khusus ........................................................................... 5
BAB 3 METODE PENELITIAN ........................................................... 57 3.1 Jenis Penelitian .................................................................................... 57 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 57 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................... 57
3.3.1. Populasi Penelitian ................................................................... 57 3.3.2. Sampel Penelitian ..................................................................... 57
BAB 5 PEMBAHASAN .......................................................................... 74 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 80 6.1 Kesimpulan ......................................................................................... 80 6.2 Saran .................................................................................................... 81 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 83 LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 Facial Injury Severity Scale (FISS) 55
4.1 Karakteristik Subjek Penelitian 66
4.2 Tabel Rerata FISS Berdasarkan GCS 67
4.3 Tabel Rerata FISS Berdasarkan Lesi Intrakranial 68
4.4 Tabel Rerata FISS Berdasarkan Cedera Leher 68
4.5 Tabel Rertata FISS Berdasarkan Status Kesadaran 69
4.6 Hubungan Analisis Korelasi Spearman antara FISS dengan GCS
71
4.7 Hubungan antara FISS dengan Lesi Intrakranial Berdasarkan Uji T Tidak Berpasangan
72
4.8 Hubungan antara FISS dengan Status Kesadaran Berdasarkan Uji T Tidak Berpasangan
72
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1 Anatomi Maksilofasial 7 Gambar 2.2 Laserasi Wajah 11 Gambar 2.3 Anatomi Mandibula 12 Gambar 2.4 Fraktur Zigoma 13 Gambar 2.5 Tekanan pada Fraktur Dinding Orbita 15 Gambar 2.6 Fraktur Blow Out dan Blow In 16 Gambar 2.7 Fraktur Le Fort I, II, III (Proyeksi Anterior) 19 Gambar 2.8 Fraktur Le Fort I, II, III (Proyeksi Sagital) 20 Gambar 2.9 Fraktur Linera 43 Gambar 2.10 Fraktur Depresi Kranial 44 Gambar 2.11 Zona Leher 48 Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian 59 Gambar 3.2 Diagram Kerangka Teori 64
Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jumlah penduduk semakin bertambah setiap tahunnya sehingga meningkatkan
mobilitas penduduk baik di desa maupun di kota. Jumlah kendaraan bermotor pun
ikut meningkat seiring dengan kebutuhan transportasi. Pertambahan volume
kendaraan tersebut, meningkatkan resiko kecelakaan lalu lintas. Hal ini
berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pengendara dijalan raya dan
meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan lalu lintas. Dari data Kepolisian
Republik Indonesia, jumlah kecelakaan mencapai 4.404 kejadian. Dari Jumlah
korban kecelakaan sebanyak 6.887 orang, 1.607 orang diantaranya meninggal
dunia, 1.861 orang mengalami luka berat, dan 3.419 orang mengalami luka
ringan.
Trauma maksilofasial adalah trauma yang umum dihadapi di ruang gawat
darurat, dan didominasi oleh laki laki : perempuan sekitar 3:1. Namun demikian,
trauma maksilofasial memiliki signifikansi yang tinggi karena berbagai alasan.
Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan memiliki peran
penting dalam tampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan sejumlah
fungsi penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga
makan. Fungsi-fungsi ini sangat berpengaruh pada cedera dan berakibat kepada
kualitas hidup yang buruk (Singh, 2012). Cedera maksilofasial mencakup jaringan
lunak dan tulang-tulang yang membentuk struktur maksilofasial. Ada banyak
faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial diantaranya, seperti
1
Universitas Sumatera Utara
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan
akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi
penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas. Terjadinya kecelakaan lalu
lintas ini biasanya sering terjadi pada pengendara sepeda motor. Hal ini
dikarenakan kurangnya perhatian tentang keselamatan jiwa mereka pada saat
mengendarai sepeda motor di jalan raya, seperti tidak menggunakan pelindung
kepala (helm), kecepatan dan rendahnya kesadaran tentang beretika lalu lintas.
Pasien dengan fraktur maksilofasial beresiko tinggi disertai dengan
cedera kepala yang menyebabkan terjadinya lesi intrakranial, memar otak, fraktur
tulang tengkorak. Fraktur tulang tengkorak dan memar dapat sebagai perdarahan
intrakranial dan dapat mengancam jiwa. Identifikasi dari lesi intrakranial pada
pasien dengan cedera maksilofasial sangat penting untuk meningkatkan
kelangsungan hidup pasien.Oleh karena itu penilaian trauma maksilofasial yang
disertai lesi intrakranial sangat penting untuk memahami cedera yang
mengakibatkan lesi intrakranial dan cedera maksilofasial. Fraktur kranial lebih
mudah terjadi pada tulang temporal dan parietal yang tipis, sphenoidal sinus,
foramen magnum, petrous temporal ridge, dan bagian dalam dari sphenoidal
wings pada basal kranial (Khan, 2013). Ketika kranium terkena impact pada
daerah yang luas, dapat terjadi deformitas (perubahan bentuk) dari tengkorak
dengan inward dan outward bending. Fraktur kranial linear yang terjadi pada
tulang temporal dapat memutuskan arteri meningea media yang berjalan di dalam
sebuah alur pada tulang temporal, sehingga terjadi lesi intrakranial
(Sastrodiningrat, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Adanya atau tidak adanya cedera tulang belakang leher memiliki implikasi
penting pada pasien trauma, mempengaruhi teknik manajemen saluran napas,
pilihan studi pencitraan diagnostik, pendekatan bedah, dan waktu untuk
memperbaiki fraktur wajah bersamaan. Studi selama dekade terakhir telah banyak
dilakukan untuk menjelaskan hubungan antara fraktur maksilofasial dan cedera
tulang belakang servikal. Memahami pola umum fraktur wajah, pola yang terkait
dengan cedera tulang belakang leher, dan bagaimana hal ini berhubungan dengan
etiologi seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh dan serangan, penting untuk
memungkinkan diagnosis, penyelidikan dan penatalaksanaan cepat cedera tulang
belakang leher oleh praktisi perawatan darurat dan ahli bedah saraf, dan
memfasilitasi perawatan tepat waktu dari trauma wajah yang mendasari oleh ahli
bedah maksilofasial. Kejadian lesi intrakranial akibat komplikasi dari
traumamaksilofasial sering terjadi. Penilaian klinis trauma maksilofasial
dipermudah dengan adanya sistem skoring yang bervariasi seperti Facial Injury
Severity Scale(FISS), Maxillofacial Injury Severity Scale (MFISS) dan lain-lain.
Selain untuk mempermudah komunikasi antara tenaga medis dalam penyampaian
kondisi klinis pasien, sistem skoring tersebut dapat memprediksi prognosis klinis
dan non klinis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh You N et al. tahun
2017, ditemukan pada pasien dengan trauma maksilofasial yang disertai dengan
trauma kepala ringan, dijumpai hasil FISS 3,78 ± 3,34, trauma kepala sedang
dengan FISS 5,77 ± 5,32, dan trauma kepala berat dengan FISS 5,76 ± 4,97. Dari
hasil penelitian tersebut, You N et al. menemukan adanya hubungan yang
bermakna antara nilai FISS dengan trauma kepala ringan dan berat (You N et al.,
Universitas Sumatera Utara
2017). Sedangkan dalam penelitian Ayu DK dan Kristaninta B tahun 2012, rata-
rata FISS pada pasien dengan trauma maksilofasial adalah 3,37 dan skor
terbanyak adalah 2,0 dengan penyebab dominan adalah kecelakaan sepeda motor
(81,4%) (Ayu DK, 2012). Menurut Davidson et al., Lucas et al., Sinclair D,
terdapat sebuah teori yang diterima secara luas bahwa akan ditemukan sebuah
cedera leher pada kejadian fraktur wajah dengan derajat persentase 1,3-4%.
Penelitian yang dilakukan oleh Beirne JC terdapat 6 kasus cedera tulang belakang
leher pada 582 pasien (1,04%) (Beirne JC,1995). Dalam penelitian ini akan
berpusat pada FISS sebagai salah satu sistem penilaian klinis trauma fasial yang
sahih dan dipakai di seluruh dunia. Saat ini di RSUP H. Adam Malik Medan
belum ada melakukan penelitian mengenai hubungan FISS sebagai penilaian
klinis traumamaksilofasial dengancedera kepala berdasarkan lesi intrakranial dan
skala kesadaran yang dipakai di seluruh dunia yaitu Glasgow Coma Scale (GCS),
dengan kejadian dan keparahan cedera leher.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui apakah ada hubungan antara Facial Injury Severity Scale(FISS)
dengan kejadian cedera kepaladan cedera leher di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3 Hipotesis
Ada hubungan antara Facial Injury Severity Scale(FISS) dengan kejadian
cedera kepaladan cedera leher di RSUP H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara Facial Injury Severity Scale(FISS) dengan
kejadian cedera kepaladan cedera leher di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial
berdasarkan rerata usia.
2. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial
berdasarkan rerata FISS.
3. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial
berdasarkan jenis kelamin.
4. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial
berdasarkan lokasi fraktur.
5. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial
berdasarkan etiologi.
6. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial
berdasarkan pemakaian helm.
7. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial
berdasarkan GCS dan rerata FISS berdasarkan GCS.
8. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial
berdasarkan lesi intrakranial dan rerata FISS berdasarkan lesi
intrakranial.
Universitas Sumatera Utara
9. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial
berdasarkan cedera leher dan rerata FISS berdasarkan cedera leher.
10. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial
berdasarkan status kesadaran dan rerata FISS berdasarkan status
kesadaran.
11. Mengetahui hubungan antara FISS dengan cedera kepala dan cedera
leher.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Divisi Bedah Plastik dan Rekonstruksi di RSUP H. Adam Malik Medan,
untuk mengetahui hubungan antara FISS dengan cedera kepala dan cedera
leher di RSUP H. Adam Malik Medan.
2. Meningkatkan keberhasilan penanganan trauma maksilofasial yang disertai
dengan cedera kepala dan cedera leher di bidang bedah plastik.
3. Memberikan masukanbagi penelitian selanjutnya untuk pengembangan
penelitian mengenai nilai FISS pada pasien dengan trauma maksilofasial.
BAB 2
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah
lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun,
besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa. Maksilofasial tergabung
tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah
manusia (Mansjoer, 2000).
Gambar 2.1 Anatomi Tulang maksilofasial
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tulang wajah terdapat rongga rongga yang membentuk rongga mulut
(cavum oris) dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (cavum orbita).
7
Universitas Sumatera Utara
Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian (Mansjoer 2000):
1. Bagian hidung terdiri atas:
Lacrima bone (tulang mata), letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut
mata. Os nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas, dan os
konka nasal(tulang karang hidung), letaknya didalam didalam rongga hidung dan
zugomet septum nasi (sekatrongga hidung) adalah sambungan tulang tapis yang
tegak (Boeis 2002).
2. Bagian rahang terdiri atas tulang tulang seperti:
Os maksilaris (tulang rahang atas), os zigomatikum (tulang pipi) yang terdiri
dari dua tulang kiri dan kanan, os palatum dan tulang langit langit, terdiri dari
dua buah tulang kiri dan kanan. Os mandibularis atau tulang rahang bawah,
terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu.
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, trauma dan akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas
adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat menyebabkan kematian
dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka
terbesar biasanya terjadi pada pria dengan usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi
yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak
disebabkan oleh kecelakaan lalulintas (Ghazali 2007).
2.2 Epidemiologi
Universitas Sumatera Utara
Dari data penelitian menunjukkan bahwa fraktur mandibula dan maksila
terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing masing sebesar 29,85% disusul
XII), dan ganglion stellata.Struktur vaskular berisiko termasuk arteri karotid
(umum, internal, eksternal) dan vertebralis dan vena vertebra, brakiosefalika, dan
jugularis (internal dan eksternal).Struktur visceral berisiko termasuk duktus
toraks, esofagus dan faring, dan laring dan trakea.Struktur kelenjar yang berisiko
termasuk kelenjar tiroid, paratiroid, submandibular, dan parotid. Untuk tujuan
klinis, leher dipartisi menjadi 3 zona (seperti yang ditunjukkan pada gambar di
bawah).
Gambar 2.11 Zona Leher
Zona I, pangkal leher, dibatasi oleh lubang torak inferior dan kartilago
krikoid superior.Struktur berisiko terbesar di zona ini adalah pembuluh darah
besar (pembuluh subklavia, vena brakiosefalika, arteri karotis komunis,
Universitas Sumatera Utara
lengkungan aorta, dan vena jugularis, trakea, esofagus, apeks paru, tulang
belakang leher, sumsum tulang belakang, dan akar saraf serviks. cedera yang
signifikan di wilayah zona I dapat disembunyikan dari pemeriksaan dada atau
mediastinum.
Zona II (seperti yang digambarkan pada gambar di bawah) meliputi
midportion leher dan daerah dari kartilago krikoid ke sudut mandibula.Struktur
penting di wilayah ini termasuk arteri karotid dan vertebralis, vena jugularis,
faring, laring, trakea, esofagus, dan tulang belakang leher dan sumsum tulang
belakang. Cedera Zona II cenderung menjadi yang paling jelas pada pemeriksaan
dan cenderung tidak okultisme. Selain itu, sebagian besar cedera arteri karotis
dikaitkan dengan cedera zona II.
Zona III adalah aspek superior leher dan dibatasi oleh sudut mandibula
dan pangkal tengkorak.Struktur yang beragam, seperti kelenjar ludah dan parotid,
esofagus, trakea, tubuh vertebral, arteri karotid, vena jugularis, dan syaraf mayor
(termasuk saraf kranial IX-XII), melintasi zona ini. Cedera di zona III dapat
menjadi sulit untuk diakses melalui pembedahan.
Trauma tumpul pada leher biasanya terjadi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor tetapi juga terjadi dengan cedera yang berhubungan dengan
olahraga (misalnya, penanganan jemuran), pencekikan, pukulan dari tinju atau
kaki, dan manipulasi berlebihan (yaitu, setiap operasi manual seperti perawatan
chiropraktik atau fisik penataan kembali atau reposisi tulang belakang).
Dalam kecelakaan kendaraan bermotor di mana pengemudi tidak
memakai sabuk pengaman, pengemudi berada dalam bahaya tubuh terdorong
Universitas Sumatera Utara
maju dengan leher dan kepala ekstensi, dan leher anterior akan terbentur terhadap
kolom kemudi. Pelindung bahumemberikan beberapa, meskipun tidak lengkap,
perlindungan terhadap trauma tumpul leher.
Energi yang didapat dari gaya yang langsung, dapat memotong
pembuluh darah. Rotasi yang berlebihan dan / atau hiperekstensi dari tulang
belakang leher menyebabkan distensi dan peregangan arteri dan vena yang
menyebabkan kerusakan geser dan trombosis yang dihasilkan. Trauma intraoral
dapat meluas ke suplai darah serebral. Fraktur tengkorak basilar dapat
mengganggu bagian intrapetrik arteri karotid. Dampak terhadap aspek anterior
leher yang terekspos dapat menghancurkan laring atau trakea, terutama pada
cincin krikoid, dan menekan esofagus terhadap kolom tulang belakang posterior.
Peningkatan tekanan intratrakeal terhadap glotis yang tiba tiba tertutup
(misal:penggunaan sabuk pengaman yang tidak tepat), atau akselerasi-deselerasi
cepat dapat menyebabkan cedera trakea.
Trauma leher menyebabkan 10% kematian di seluruh dunia dan
merupakan penyebab utama kematian pada orang muda (5-44 tahun) di negara
maju. Untuk patah tulang belakang yang terkait dengan trauma, tingkat kejadian
tahunan yang dilaporkan bervariasi dari 19 hingga 88 per 100.000 orang. dan,
untuk cedera medulla spinalis, dari 35 hingga 53 per juta orang.3–7 Antara 19%
dan 51% kasus trauma tulang belakang melibatkan cedera pada tulang belakang
leher (Mukherjee S, 2014). Pasien dengan cedera tulang belakang leher adalah
kelompok berisiko tinggi, dengan tingkat mortalitas tertinggi yang dilaporkan
pada trauma tulang belakang, karena cedera ini mungkin terkait dengan cedera
Universitas Sumatera Utara
tulang belakang. Selanjutnya, cedera pada tulang belakang leher dapat
mempersulit intubasi dan pengobatan operatif terkait cedera akibat imobilisasi
leher.
Cedera bersamaan pada pasien dengan trauma wajah tidak jarang dan
melibatkan kepala dan daerah leher yang berdekatan (Hills WM, 1993).
Hubungan antara cedera tulang belakang wajah dan servikal telah sering
dilaporkan (Sinclair D et al, 1988). Dua kriteria penting diperlukan untuk
penilaian akhir, evaluasi dari pasien oleh ahli bedah trauma dan ahli bedah
maksilofasial dan deskripsi cedera individu yang tepat. Kriteria ini penting dalam
trauma tulang belakang karena cedera seperti whiplash sering diabaikan dalam
penilaian keseluruhan. Tanpa kriteria ini, kejadian trauma leher terkait pada
cedera wajah bervariasi antara 1% dan 6% (Beirne JC et al, 1995). Karena
perbedaan mekanisme cedera untuk kedua wilayah, trauma kecepatan tinggi ke
kepala atau wajah harus dicurigai untuk kejadian gabungan (Haug RH, Foss J,
2000). Oleh karena itu, tulang belakang leher harus menyerap energi yang muncul
yang terhubung dengan batang tubuh. Sesuai dengan itu, kecelakaan lalu lintas
bertanggung jawab untuk sebagian besar kasus. Bahkan cedera kecil di kedua
wilayah dapat menyebabkan cacat jangka panjang,yang pada akhirnya akan
terhubung dengan beban sosial dan psikologis seperti kehilangan gigi bagian
depan dan bekas luka yang mengganggu penampilan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hackle W tahun 2001, 108 dari
206 subyekdengan trauma pada wajah mengalami setidaknya 1 trauma parah pada
wajah atau leher.23 dari mereka mengalami patah tulang / dislokasi di kedua
Universitas Sumatera Utara
wilayah. Untuk semua kemungkinan kombinasi trauma (berat dan ringan),
kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama. Kombinasi cedera wajah dan tulang
belakang ringan dominan pada usia 20 hingga 69 tahun; kombinasi dari cedera
wajah dan tulang belakang yang parahdicatat mulai dari usia 20 hingga 80+ tahun
kecuali untuk kelompok usia 50 hingga 59 tahun. Fraktur tulang zygomatic
dominan, diikuti oleh fraktur dinding orbital. Sebaliknya, fraktur ke tulang hidung
jelas dominan pada kelompok gabungan trauma tulang belakang wajah dan
servikal, diikuti oleh fraktur dinding orbital dan rahang atas.
Ada beberapa mekanisme trauma tulang belakang leher, masing-
masing diikuti dengan tipe fraktur atau dislokasinya, yaitu:
1. Cedera fleksi:
a. Simple wedge compression fracture tanpa disrupsi posterior.
b. Flexion teardrop fracture
c. Subluksasi anterior
d. Dislokasi facet bilateral
e. Clay-shoveler fracture
f. Dislokasi atlantoaxial anterior
2. Cedera rotasi fleksi
a. Dislokasi facet unilateral
b. Rotary atlantoaxial dislocation
3. Cedera ekstensi
a. Hangman fracture/ traumatic spondylolisthesis of C2
b. Extension teardrop fracture
Universitas Sumatera Utara
c. Fracture of the posterior arch of C1 / posterior neural arch fracture
4. Cedera kompresi vertikal (aksial)
a. Jefferson fracture (Burst fracture of the ring of C1
b. Burst fracture of the vertebral body
5. Cedera lebih dari satu atau kompleks
a. Fraktur odontoid
b. Fracture of transverse process of the C2 (lateral flexion)
c. Dislokasi antlantooksipital
d. Occipital condyle fracture (vertical compression with lateral bonding
2.16 Facial Injury Severity Scale (FISS)
Sistem penilaian telah muncul sejak tahun 1970-an untuk mengukurtingkat
keparahan pada pasien, khususnya pasien trauma. Sistem penilaian ini bertujuan
mencari nilai prognostik untuk pasien trauma agar menjadi alat ukur dalam
penanganan pasien dengan trauma pada wajah (Bagheri, 2006). Awalnya,
sebagian besar sistem penilaian hanya mengevaluasi trauma pada umumnya,
seperti Injury Severity Score (ISS), Trauma and Injury Severity Score (TRISS),
dan New Injury Severity Score (NISS). Sistem mencetak diyakini memiliki nilai
prediktif pada pasien trauma. Beberapa dari mereka mampu dikombinasikan skor
cedera sebelumnya dengan parameter fungsional wajah, seperti Maxillofacial
Injury Severity Score (MFISS) dan Mandible Injury Severity Score(MISS).
Sistem penilaian lainnya dibuat sederhana namun terbukti memiliki nilai
prediktif, seperti Facial Injury Severity Scale (FISS) dan Chinese Maxillofacial
Universitas Sumatera Utara
Trauma Registry, Analysis and Injury Severity Score System (CMISS). FISS
diperkenalkan oleh Bagheri di Jurnal Oral Maksilofasial Bedah 2006. Dalam
sistem penilaian ini, setiap situs fraktur dan luka gores di wajah akan menambah
poin untuk mendapatkan skor akhir. Bagheri, dengan total 247 pasien di ruang
kerjanya, juga menemukan FISS memiliki korelasi dengan biaya total operasi dan
lama tinggal (Bagheri, 2006).
Sistem skoring telah diperkenalkan sebagai alat untuk mencari nilai prognosis
pada pasien trauma. Trauma wajah memerlukan sistem skoring yang berbeda
karena banyak gangguan fungsi yang bisa ditimbulkan. Beberapa jurnal telah
melaporkan adanya sistem skoring untuk trauma maksilofasial seperti Skor Facial
Injury Severity Scale (FISS) dan Maxillofacial Injury Severity Score (MFISS).
FISS pertama kali diperkenakan oleh Bagheri et al tahun 2006. Komponen
penilaian dalam FISS terbagi menjadi 4, yaitu :mandible, Mid face, upper face
dan face laseration. Berikut adalah komponen penilaian FISS.
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian yang dilakukan oleh You M dkk tahun 2017, dengan
jumlah sampel sebesar 1.115 pasien yang datang dengan trauma tajam atau
tumpul, ditemukan hubungan yang signifikan antara perubahan nilai FISS dengan
lesi intra kranial swelling dan contusion. Sedangkan pada SDH, EDH, SAH, ICH,
dan IVH tidak terdapat hubungan signifikan (You N, 2017).Ayu Diah Kesuma
dan Kristaninta Bangun dalam penelitiannya di RSUPN Cipto Mangunkusumo,
mendapatkan rata-rata nilai FISS 3,37 ± 1,9 dengan nilai minimum 1 dan
maksimum 9. Kebanyakan pasien memiliki nilai FISS 2 (24.7%), dikarenakan
tingkat kejadian kecelakaan di Jakarta yang tinggi namun berenergi rendah yang
dipengaruhi kepadatan lalu lintas dan perilaku ketidakdisiplinan (Ayu, 2012).
Sebuah penelitian yang menarik dilakukan oleh dokter di King Saud University.
Ramalingam meneliti tentang peran FISS dalam menentukan beban finansial
pasien trauma maksilofasial di India. Didapatkan hasil skor FISS pasien
Mandible Dento Alveolar 1 point Each fracture of body/ramus/symphysis 2 point Each fracture: condyle/coronoid 1 point Mid Face Each midfacial fracture is assigned one point, unless part of a complex
Dento alveolar 1 point Le Fort I 2 points Le Fort II 4 points Le Fort III 6 points (Unilateral Le Fort fractures are assigned half the numeric value)
Naso-Orbital Ethmoid (NOE) 3 point Zygomatico Maxillary Complex (ZMC) 1 point Nasal 1 point Upper face Orbital roof/rim 1 point Displaced frontal sinus/bone fractures 5 points Non displaced fractures 1 point Facial laceration Over 10 cm long 1 point
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan korelasi positif dengan nilai (R = 0,845, P <0,01) dan durasi (R =
0,819, P <0,01) dari rawat inap. FISS tidak hanya menjadi indikator prediktif
keparahan cedera maksilofasial, tetapi juga indikator yang dapat diandalkan dari
beban ekonomi kepada pasien sebagai akibat dari cedera maksilofasial
(Ramalingam, 2015).
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Waktu penelitian
dilaksanakan setelah proposal penelitian disetujui komite etik.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita traumamaksilofasial yang
dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan yang dilakukan pemeriksaan Head CT
Scan dan X-ray leher.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah pasientrauma maksilofasial yang memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan yang dilakukan
pemeriksaan Head CT Scan dan X-ray leher.
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus:
n =� 𝑍𝑍𝑍𝑍+𝑍𝑍𝑍𝑍
0,5 ln �1+𝑟𝑟1−𝑟𝑟�
�2
+ 3 = � 1.96+0.842
0,5 ln �1+0.291−0.29�
�2
+ 3
Maka n = 25,4 + 3 = 28,4 = 29 Orang
57
Universitas Sumatera Utara
Keterangan:
n = jumlah sampel
Zα = deviat baku α (tingkat kesalahan tipe I) = 5 %, maka Zα = 1,96
Zβ = deviat baku β (tingkat kesalahan tipe II) = 20 %, maka Zβ = 0,842
r = 0.29 ( berdasarkan hasil penelitian sebelumnya) (Mbeba D, 2014)
Universitas Sumatera Utara
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria inklusi
Semua pasientrauma maksilofasial yang diakibatkan oleh trauma tumpul
yang dilakukan Head CT Scan dan X-ray leher usia ≥ 18 tahun
3.4.2 Kriteria eksklusi
Trauma maksilofasial yang hanya terjadi hematom dan eksoriasi setelah
dibuktikan dengan Head CT Scan dan X-ray leher.
3.5 Alur Penelitian
Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian
Data primer: Pasien trauma maksilofasial yang datang ke IGD
Kriteria inklusi dan ekslusi
Skor FISS
Cedera kepala (GCS dan lesi intrakranial)
Cedera Leher
Telah dilakukan pemeriksaan: Head CT Scan
• Face CT 3D • X-Ray Cervical
Universitas Sumatera Utara
3.6 Teknik Sampling
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah consecutive sampling, yaitu
pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian
dimasukkan kedalam penelitian dalam kurun waktu tiga tahun terakhir
3.7 Definisi Operasional
1) Facial Injury Severity Score (FISS) adalah sistem skoring yang digunakan
untuk mengevaluasi tingkat keparahan trauma maksilofasial.
2) Trauma maksilofasial adalah trauma yang meliputi sebagian, seluruh atau
hanya satu bagian dari wajah yang meliputi region frontal, zygomatica,