1 HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PENERIMAAN DIRI PENDERITA GAGAL GINJAL TERMINAL Muhammad Dody Kurniawan Rina Mulyati INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada penderita gagal ginjal terminal yang menjalani terapi hemodialisa. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada penderita gagal ginjal terminal. Semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh semakin tinggi pula tingkat penerimaan diri subjek, demikian pula sebaliknya. Subjek dalam penelitian ini adalah para penderita gagal ginjal terminal yang menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, yang berusia antara 20 – 60 tahun. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode skala untuk mengetahui dukungan sosial yang dirasakan dan penerimaan diri yang diperoleh, untuk Skala Dukungan Sosial berjumlah 128 aitem, mengacu pada aspek-aspek dukungan sosial yang dikemukakan oleh House dan Kahn (1985) dan Skala Penerimaan Diri yang berjumlah 60 aitem mengacu pada delapan karakteristik penerimaan diri yang diungkapkan Sheerer (Cronbach, 1963). Data penelitian dianalisis dengan teknik uji korelasi statistik non-parametrik dari Spearman-rho karena sebaran data tidak normal dengan bantuan program SPSS versi 11.5. Hasilnya ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada penderita gagal ginjal terminal, dibuktikan dengan nilai korelasi sebesar 0,503 dengan p = 0,000 (p<0,01), yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat dukungan sosial yang dirasakan oleh penderita maka semakin tinggi pula tingkat penerimaan dirinya, begitu pula sebaliknya. Subjek umumnya memiliki tingkat penerimaan diri yang tergolong sedang. Kata kunci : Dukungan Sosial, Penerimaan Diri, Penderita Gagal Ginjal Terminal
25
Embed
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN …psychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Penyakit gagal ginjal terminal dapat menyerang baik laki-laki maupun
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PENERIMAAN DIRI
PENDERITA GAGAL GINJAL TERMINAL
Muhammad Dody Kurniawan
Rina Mulyati
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada penderita gagal ginjal terminal yang menjalani terapi hemodialisa. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada penderita gagal ginjal terminal. Semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh semakin tinggi pula tingkat penerimaan diri subjek, demikian pula sebaliknya. Subjek dalam penelitian ini adalah para penderita gagal ginjal terminal yang menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, yang berusia antara 20 – 60 tahun. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode skala untuk mengetahui dukungan sosial yang dirasakan dan penerimaan diri yang diperoleh, untuk Skala Dukungan Sosial berjumlah 128 aitem, mengacu pada aspek-aspek dukungan sosial yang dikemukakan oleh House dan Kahn (1985) dan Skala Penerimaan Diri yang berjumlah 60 aitem mengacu pada delapan karakteristik penerimaan diri yang diungkapkan Sheerer (Cronbach, 1963). Data penelitian dianalisis dengan teknik uji korelasi statistik non-parametrik dari Spearman-rho karena sebaran data tidak normal dengan bantuan program SPSS versi 11.5. Hasilnya ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada penderita gagal ginjal terminal, dibuktikan dengan nilai korelasi sebesar 0,503 dengan p = 0,000 (p<0,01), yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat dukungan sosial yang dirasakan oleh penderita maka semakin tinggi pula tingkat penerimaan dirinya, begitu pula sebaliknya. Subjek umumnya memiliki tingkat penerimaan diri yang tergolong sedang. Kata kunci : Dukungan Sosial, Penerimaan Diri, Penderita Gagal Ginjal Terminal
2
PENGANTAR
Latar Belakang Permasalahan
Penderita penyakit yang sudah sampai pada tahap terminal mengalami
peningkatan yang cukup fantastis. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan sekaligus
perawatan dan pengobatan yang dilakukan hanya sekedar untuk menjaga kondisi
fisik penderita dengan tujuan untuk memperpanjang usia penderita. Gagal ginjal
terminal dan berbagai jenis penyakit terminal lainnya seperti jantung, kanker,
diabetes mellitus dan HIV/AIDS (Taylor, 1995), kasusnya di seluruh dunia mengalami
peningkatan di atas 50% dan di Indonesia sendiri di tahun 2004 ditemukan
sebanyak 4500 kasus (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/10/0307.htm
030106) dan mengalami peningkatan 20% tiap tahunnya (Suhardjono, 2004).
Penyakit gagal ginjal terminal dapat menyerang baik laki-laki maupun
perempuan dan tidak mengenal batas usia. Umumnya penderita tidak menyadari
bahwa dirinya menderita penyakit gagal ginjal terminal dikarenakan penyakit ini
berlangsung bertahap dan memakan waktu bertahun-tahun seiring dengan
menurunnya fungsi ginjal dari penderita. Umumnya penderita baru mengetahui
bahwa dirinya menderita gagal ginjal ketika sudah sampai pada tahap terminal di
mana fungsi ginjalnya hanya tinggal kurang dari 10% (http://www.kompas.com),
dari sumber lain dikatakan kurang dari 5%.
Penderita gagal ginjal terminal membutuhkan terapi pengganti ginjal (TPG)
untuk dapat menggantikan fungsi ginjalnya di mana sampai saat ini terdapat dua
macam terapi pengganti ginjal yaitu hemodialisis atau dalam istilah yang awam
dikenal dengan terapi cuci darah dan transplantasi ginjal yang dapat diperoleh dari
donor hidup maupun jenazah (Roesli, 2004).
3
Ketika seseorang divonis menderita gagal ginjal terminal maka ia harus
menjalankan terapi hemodyalisis secara rutin seumur hidup sebanyak satu sampai
tiga kali seminggu tergantung kondisi ginjal penderita. Mereka tidak hanya
mengalami penderitaan secara fisik namun juga penderitaan mental seperti
gangguan kecemasan, depresi atau bahkan psikotik. Umumnya gejala yang lebih
sering ditunjukkan oleh penderita adalah depresi dan kekecewaan Soewadi (Pitoyo,
2003), karena di satu sisi harus bergantung seumur hidup pada mesin dialisis dan di
sisi lain ia harus tetap menjalankan peran dan aktivitas dalam kehidupannya.
Kesulitan lain yang dialami penderita gagal ginjal terminal adalah untuk dapat
menjalani kehidupan dengan sebagaimana mestinya. Dari fakta yang ditemui di
lapangan, sebagian besar penderita gagal ginjal terminal harus menggunakan kursi
roda untuk dapat berjalan dalam jarak yang cukup jauh, jika ingin naik atau turun
dari tempat tidur harus digendong. Selain itu mereka juga sering mengeluhkan
banyak hal termasuk kondisi dan kemampuan fisik mereka yang sudah banyak
mengalami penurunan— mereka menjadi merasa tidak bisa mandiri sehingga
berpikiran bahwa dirinya hanya merepotkan orang lain, selain itu mereka juga
merasa bahwa dirinya tidak memiliki hal yang dapat dibanggakan. Jika kondisi ini
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang tanpa ada intervensi pada sisi
psikologis mereka, maka bisa menjadikan mereka sulit untuk menerima dirinya, tidak
menyenangi dirinya, mencemooh diri sendiri, merasa orang lain menjauhi dan
menghina dirinya, tidak percaya pada perasaan dan sikapnya sendiri. Gejala-gejala
yang ditunjukkan tersebut menurut Hurlock (1973) merupakan tanda rendahnya
tingkat penerimaan diri.
Penerimaan diri menurut Pannes (Hurlock, 1973) adalah tingkat di mana ia
menerima karakteristik pribadinya, ia merasa mampu dan mau untuk hidup
4
sebagaimana mestinya. Hurlock (1973), berpendapat bahwa individu yang menerima
karakteristik pribadinya, maka ia akan menyukai dirinya dan merasa orang lain juga
akan menyukai kualitas yang ada pada dirinya. Lebih lanjut Hjelle dan Ziegler (Sari
dan Nuryoto, 2002) mengatakan bahwa penerimaan diri adalah sikap individu
mencerminkan toleransi terhadap frustasi atau kejadian-kejadian yang
menjengkelkan dan toleransi terhadap kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus
menjadi sedih atau marah.
Kemampuan penerimaan diri yang dimiliki seseorang berbeda-beda
tingkatannya sebab kemampuan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain usia, latar belakang pendidikan, pola asuh orang tua dan dukungan sosial. Jika
mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Loscoco & Spitze (Taylor
dkk.,1994) yang mengatakan bahwa dukungan sosial membantu baik laki-laki
maupun perempuan untuk mengelola stres di tempat kerja, dapat disimpulkan
bahwa umumnya individu bisa lebih mudah menerima kondisi yang kurang
menguntungkan yang dialaminya jika ia mendapatkan bantuan dari orang-orang
terdekatnya. Selain itu dari hasil temuan yang ditemukan di lapangan sebagian besar
penderita mengungkapkan bahwa mereka menginginkan dirinya selalu ditemani oleh
anggota keluarga atau kerabat dekatnya dengan demikian mereka merasa bahwa
mereka dapat merasa nyaman dan tetap dihargai walaupun dengan kondisi penyakit
mereka. Bentuk dukungan bisa bermacam-macam seperti perhatian yang diberikan,
materi yang bisa berupa uang dan barang atau alat yang bisa bermanfaat bagi orang
tersebut, informasi terkait dengan masalah dan apresiasi atas perilaku yang bersifat
positif yang berhasil dilakukan si penderita.
Cohen dan Syme (1985) secara umum mendefinisikan dukungan sosial
sebagai suatu keadaan bermanfaat atau menguntungkan yang diperoleh individu dari
5
orang lain baik berasal dari hubungan sosial struktural yang meliputi keluarga/teman
dan lembaga pendidikan maupun berasal dari hubungan sosial yang fungsional yang
meliputi dukungan emosi, informasi, penilaian dan instrumental.
Mengacu pada pengertian dukungan sosial di atas, maka bisa diasumsikan
bahwa ketika seseorang dihadapkan pada masalah atau kesulitan hidup dan ia
mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya berupa tersedianya orang yang
dapat memberikan motivasi yang diperlukan ketika sedang “down”, mendengarkan
keluh kesah, memberikan informasi yang diperlukan, diajak berdiskusi dan bertukar
pikiran maka orang tersebut akan merasa lebih nyaman, merasa diperhatikan, serta
merasa memiliki tempat untuk berbagi keluh kesah yang dialami sehingga beban
psikologis yang terasa berat, jika harus ditanggung sendirian, bisa lebih ringan.
Demikian halnya jika dukungan sosial ini tidak ia peroleh, maka beban yang dialami
orang tersebut akan terasa lebih berat sehingga bisa memunculkan stres dan frustasi
saat menghadapi masa-masa sulitnya.
Asumsi di atas ternyata didukung oleh hasil penelitian yang menyebutkan
bahwa dukungan sosial secara efektif dapat mengurangi penyebab timbulnya stres
alat (instrumental support); (d). Dukungan penghargaan (self appraisal). Yang
kemudian masing-masing aspek dibagi lagi ke dalam tiga bagian berdasarkan sumber
dukungan, yaitu keluarga, teman dan tenaga medis.
Peneliti menyusun skala dukungan sosial yang terdiri 128 butir pernyataan.
Masing-masing aspek dijabarkan dalam pernyataan yang dibagi ke dalam pernyataan
favourable (bersifat mendukung) dan pernyataan unfavourable (bersifat tidak
mendukung).
Metode yang digunakan dalam penyusunan skala penelitian ini adalah
metode Likert dengan lima alternatif jawaban yaitu tidak pernah, pernah, kadang-
kadang, sering dan selalu. Ketentuan penilaian skor untuk jawaban pernyataan aitem
favourable adalah lima untuk jawaban selalu, empat untuk jawaban sering, tiga
untuk jawaban kadang-kadang, dua untuk jawaban pernah dan satu untuk jawaban
tidak pernah. Sedangkan untuk ketentuan penilaian skor untuk jawaban aitem
unfavourable adalah satu untuk jawaban selalu, dua untuk jawaban sering, tiga
untuk jawaban kadang-kadang, empat untuk jawaban pernah dan lima untuk
jawaban tidak pernah. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula
dukungan sosial yang dirasakan oleh penderita gagal ginjal terminal.
Tujuan dilakukannya analisis data adalah untuk memudahkan dalam
pembacaan data hasil penelitian yang masih berupa data kasar. Metode analisis data
dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan statistik.Teknik
statistik yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah teknik statistik
10
korelasi Spearman-Rho. Teknik ini digunakan karena dalam penelitian ini mencari
korelasi antara variabel tergantung dengan variabel bebas dan. Proses analisisnya
dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS for Windows 11.5.
11
HASIL PENELITIAN
Setelah dilakukan pengambilan data terhadap subjek penelitian di Unit
Haemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, maka diperoleh gambaran sebagai
berikut :
Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia No. Rentang Usia Prosentase 1 20-30 tahun 18,18% 2 31-40 tahun 11,36% 3 41-50 tahun 31,81% 4 51 tahun ke atas 38,63% Total 100%
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Frekuensi Terapi Haemodialisa No. Frekuensi HD Fungsi Ginjal Prosentase 1 1 Kali Seminggu 50% 11,36% 2 2 Kali Seminggu Di bawah 50% 81,82% 3 3 Kali Seminggu 0 - 5% 6,82% Total 100%
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Fasilitas Asuransi yang Dimiliki No. Fasilitas ASKES Prosentase 1 ASKES Sosial 52,27% 2 ASKES Gakin 45,46% 3 Swasta 2,27% Total 100%
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Ada Atau Tidaknya Komplikasi Penyakit No. Komplikasi Prosentase 1 Ada 54,55% 2 Tidak Ada 45,45% Total 100%
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan No. Tingkat Pendidikan Prosentase 1 SMU 50% 2 Akademi 15,91% 3 Sarjana 34,09%
12
Total 100%
Deskripsi Data Penelitian Variabel Penerimaan Diri
Variabel Skor Yang Diperoleh (Empirik) Skor Yang Dimungkinkan (Hipotetik)
Min Max SD Mean Min Max Mean Penerimaan
Diri 126 274 34,501 205,023 60 300 180
Kategorisasi Data Tingkat Penerimaan Diri No. Kategorisasi Norma 1 Tinggi x = 220 2 Sedang 140 = x < 220 3 Rendah X < 140
Deskripsi Data Penelitian Variabel Dukungan Sosial
Variabel Skor Yang Diperoleh (Empirik) Skor Yang Dimungkinkan (Hipotetik)
Min Max SD Mean Min Max Mean Dukungan
Sosial 151 523 59,656 447,296 128 640 384
Kategorisasi Tingkat Dukungan Sosial
No. Kategorisasi Norma 1 Tinggi x = 469,3 2 Sedang 298,7 = x < 469,3 3 Rendah x < 298,7
Distribusi Skor Tingkat Penerimaan Diri Subjek Penelitian
No. Kategorisasi Norma Presentase 1 Tinggi x = 220 31,81% 2 Sedang 140 = x < 220 65,91% 3 Rendah X < 140 2,28%
Distribusi Skor Tingkat Penerimaan Diri Antara Subjek Laki-laki dan Perempuan
Subjek Laki-laki Subjek Perempuan No. Kategorisasi Norma Presentase Presentase
1 Tinggi x = 220 33,33% 27,27% 2 Sedang 140=x<220 66,67% 63,63% 3 Rendah x < 140 - 9,10%
Distribusi Skor Tingkat Dukungan Sosial Yang Diterima Subjek
No. Kategorisasi Norma Presentase
13
1 Tinggi x = 469,3 45,45% 2 Sedang 298,7 = x < 469,3 52,27% 3 Rendah x < 298,7 2,28%
Distribusi Perbedaan Tingkat Dukungan Sosial yang Diterima Antara Subjek laki-laki dan perempuan
Subjek Laki-laki Subjek Perempuan No. Kategorisasi Norma Presentase Presentase
1 Tinggi x = 469,3 45,45% 45,45% 2 Sedang 298,7=x<469,3 51,52% 54,55% 3 Rendah x < 298,7 3,03% -
1. Uji Hipotesis
Hasil analisis data menggunakan korelasi Spearman-rho pada program
komputer SPSS for windows 11.5, sebab dari hasil uji normalitas yang dilakukan
diperoleh sebaran yang tidak normal untuk variabel dukungan sosial. Hipotesis yang
menyatakan ada hubungan antara penerimaan diri dengan dukungan sosial memiliki
angka korelasi sebesar 0,503 dengan p = 0,000 (p<0,01), maka hipotesis penelitian
yang menyatakan ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan
diri dapat diterima.
2. Analisis Tambahan
a. Tidak terdapat perbedaan penerimaan diri subjek yang signifikan berdasarkan
frekuensi hemodialisa. Nilai F hitung 1.036 dengan probabilitas 0.853 (p<0.05).
b. Tidak ada perbedaan penerimaan diri yang signifikan antara subjek yang memiliki
komplikasi penyakit dengan yang tidak. Nilai t hitung untuk komplikasi penyakit
yang diderita oleh subjek adalah sebesar 0.555 dengan probabilitas 0.461
(p<0.05)
c. Terdapat perbedaan penerimaan diri subjek berdasarkan tingkat pendidikan. F
hitung adalah 5.136 dengan probabilitas 0.010 (p<0.05).
14
d. Tidak terdapat perbedaan penerimaan diri subjek yang signifikan berdasarkan
usia. Nilai F hitung adalah 0.408 dengan probabilitas 0.748 (p<0.05).
e. Tidak ada perbedaan penerimaan diri yang signifikan antara subjek yang sumber
pembiayaan terapi hemodialisanya berasal dari askes sosial maupun askes gakin.
Nilai t hitung 2.374 dengan probabilitas 0.131 (p<0.05).
f. Tidak ada perbedaan penerimaan diri yang signifikan antara subjek berdasarkan
jenis kelamin. Nilai t hitung 0.684 dengan probabilitas 0.413 (p<0.05).
g. Tidak terdapat perbedaan penerimaan diri subjek yang signifikan berdasarkan
lamanya sakit. Nilai F hitung adalah 0.082 dengan probabilitas 0.921 (p<0.05).
Penelitian ini membuktikan bahwa tingkat penerimaan diri penderita gagal ginjal
terminal terkait dengan tersedianya dukungan sosial (r = 0,503 dengan p = 0,000)
di mana semakin besar dukungan sosial yang diterima oleh penderita gagal ginjal
terminal ternyata semakin meningkatkan penerimaan diri mereka dan semakin
rendahnya dukungan sosial maka semakin sulit para penderita tersebut untuk
menerima kondisi dan penyakitnya.
Penerimaan diri pada penelitian ini dikaitkan dengan dukungan sosial karena
dukungan sosial dapat bermanfaat bagi seseorang antara lain, dalam memperkuat
atau menaikkan perasaan harga dirinya, memberikan informasi yang relevan
terhadap masalah yang dihadapi dan alternatif penyelesaiannya, memberi nasehat
ataupun tuntunan, berfungsi bagi individu dalam melakukan bermacam-macam
aktifitas sosialnya, dan memberikan dorongan kepada individu dalam mengambil
keputusan serta memberikan keyakinan bahwa masalah yang dihadapi dapat
terselesaikan, Wills (Cohen dan Syme, 1985). Selanjutnya dukungan sosial dapat
dikatakan sebagai suatu keadaan di mana individu merasa diperhatikan, dicintai,
15
dihargai dan dipercayai oleh orang lain— berupa dukungan instrumental, dukungan
informatif, dukungan emosional dan penilaian yang bermanfaat bagi individu
tersebut sebab dukungan-dukungan tersebut dapat membantu individu untuk
memecahkan masalahnya. Penderita gagal ginjal terminal akan mengalami banyak
perubahan dalam kondisi fisik maupun psikologisnya diakibatkan oleh penyakit yang
dideritanya, oleh karena itu bagi penderita yang tidak dapat menerima perubahan-
perubahan tersebut antara lain akan menjadi membenci dirinya sendiri dan tidak
mempunyai kepercayaan akan perasaan dan sikapnya sendiri (Hurlock, 1973). Akan
tetapi berbeda halnya dengan penderita yang memperoleh dukungan sosial yang
tinggi karena penderita akan mampu untuk memperkuat atau menaikkan perasaan
harga dirinya yang diperoleh dari dukungan yang berasal dari lingkungan sekitarnya.
Dukungan sosial yang diperoleh dapat berupa saran-saran untuk mencari jalan
kesembuhan, kehangatan, perhatian, empati, semangat dan motivasi serta bantuan
materi dan alat kesehatan yang diperlukan. Melalui dukungan sosial tersebut
penderita akan dapat mengurangi tekanan psikologis yang diakibatkan oleh
penyakitnya (Brehm dan Kassin, 1990). Ketika penderita mampu untuk mengurangi
tekanan psikologis yang diakibatkan oleh penyakitnya maka penderita tersebut
mampu untuk dapat lebih menerima dirinya. Hal tersebut sejalan dengan hasil
penelitian yang diungkapkan oleh Sari dan Nuryoto (2002) yang mengatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri adalah terdiri dari dukungan sosial
dan pendidikan.
Dari angka korelasi 0,503 yang telah disebutkan di atas antara dukungan
sosial dengan penerimaan diri, maka dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini
penerimaan diri dipengaruhi oleh dukungan sosial sebesar 25,30% sementara itu
sebesar 74,70% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya lamanya sakit, tingkat
16
pendidikan, usia, jenis kelamin, frekuensi hemodialisa, ada tidaknya komplikasi
penyakit, pembiayaan terapi.
Oleh karena itu peneliti dalam penelitian ini mencoba melakukan analisis
tambahan mengenai faktor-faktor tersebut di atas untuk mengetahui apakah faktor-
faktor tersebut mampu memberikan pengaruh terhadap penerimaan diri penderita
gagal ginjal terminal.
Pada faktor lamanya sakit diperoleh hasil (F=0.082; p=0.921) untuk
penerimaan diri dan (F=0.753; p=0.477) untuk dukungan sosial yang berarti bahwa
lamanya sakit tidak cukup memberikan dampak terhadap penerimaan diri dan
dukungan sosial penderita gagal ginjal terminal. Hal ini dikarenakan belum tentu
semakin lama seseorang menderita penyakit terminal maka semakin baik ia dalam
menerima keadaan dirinya dan memperoleh dukungan sosial yang lebih baik, bahkan
mungkin sebaliknya penderita tersebut akan merasa jenuh dan semakin stres, yang
juga berakibat penderita tersebut bersikap acuh tak acuh terhadap lingkungan
sekitarnya
Sedangkan pada faktor tingkat pendidikan diperoleh hasil (F=5.136;
p=0.010) di mana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang ternyata mampu
memberikan pengaruh yang positif terhadap kemampuan penderita gagal ginjal
terminal dalam menerima keadaan diri dan kondisi penyakitnya. Dengan tingkat
pendidikan yang semakin tinggi maka seseorang akan lebih mampu untuk dapat
mengenali kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik di masyarakat, Hurlock (1973). Hal
tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Sari dan Nuryoto (2002) yang
menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya
penerimaan diri adalah tingkat pendidikan. Selain berpengaruh pada kemampuan
17
menerima keadaan diri penderita gagal ginjal terminal, ternyata tingkat pendidikan
juga memiliki pengaruh terhadap tingkat dukungan sosial yang diperoleh penderita
gagal ginjal terminal, dari hasil analisis yang diperoleh (F=4.901; p=0.012) berarti
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan penderita maka akan semakin banyak pula
jumlah dukungan sosial yang diperolehnya, hal tersebut dapat terjadi karena
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin luas pula pergaulan dan
lingkungan sosialnya (Sari dan Nuryoto, 2002).
Untuk faktor usia diperoleh hasil (F=0.408; p=0.748) di mana ternyata pada
penelitian ini faktor usia tidak cukup memberikan dampak terhadap penerimaan diri
penderita gagal ginjal terminal. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Spivack,
dan Engel (Jersild, 1963) dalam penelitiannya menemukan bahwa tingkat
penerimaan diri seseorang semakin baik jika seiring dengan usianya. Hal ini
diakibatkan jumlah penderita gagal ginjal terminal yang menjadi responden dalam
penelitian ini hanya 44 orang dengan rentang usia 20 sampai dengan lebih dari 51
tahun, sehingga peneliti menyadari keberagaman responden di lapangan tidak dapat
dikontrol. Sementara untuk dukungan sosial diperoleh hasil (F=1.041; p=0.385)
yang juga menunjukkan bahwa faktor usia tidak memberikan dampak yang cukup
terhadap tingkat dukungan sosial yang diperoleh penderita gagal ginjal terminal.
Pada faktor jenis kelamin diperoleh hasil (t=0.684; p=0.413) untuk
penerimaan diri dan (t=0.112; p=0.739) untuk dukungan sosial di mana jenis
kelamin tidak cukup memberikan dampak baik terhadap kemampuan penderita gagal
ginjal terminal dalam menerima dirinya dan penyakit yang dideritanya maupun
dukungan sosial yang diperoleh mereka, hal ini diakibatkan jumlah responden yang
hanya 44 orang sehingga peneliti menyadari keterbatasan jumlah responden
mempengaruhi hasil analisis tambahan yang dilakukan.
18
Pada faktor frekuensi hemodialisa diperoleh hasil (F=1.036; p=0.853) di
mana frekuensi hemodialisa tidak memberikan dampak yang cukup dalam
kemampuan penderita gagal ginjal terminal dalam menerima keadaan diri dan
kondisi penyakitnya. Berbeda dengan variabel penerimaan diri, pada variabel
dukungan sosial diperoleh hasil (F=5.765; p=0.006) di mana faktor frekuensi
hemodialisa memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap jumlah dukungan
sosial yang diperoleh penderita gagal ginjal terminal, hal ini diakibatkan oleh semakin
tinggi frekuensi hemodialisa penderita dalam satu minggu maka semakin tinggi pula
jumlah interaksi antara penderita gagal ginjal terminal dengan tenaga paramedis
serta dengan penderita dan keluarga penderita yang lain hal ini secara langsung
memperluas lingkungan sosial penderita. sehingga memungkinkan penderita untuk
dapat memperoleh dukungan sosial yang lebih baik. Hal tersebut mendukung
ungkapan Wortman dan Conway (Farhati dan Rosyid, 1996) yang mengatakan
bahwa dukungan sosial dapat berasal dari partner, anggota keluarga, teman, dokter
serta ahli-ahli di bidang keahlian yang sesuai. Mengingat dari nilai mean yang
didapat bahwa ternyata yang paling banyak memperoleh dukungan sosial bukanlah
sujek dengan frekuensi HD tiga kali seminggu tetapi dua kali seminggu hal ini dapat
terjadi karena dukungan yang diperoleh berasal dari sumber dukungan yang bersifat
artifisial (dokter dan tenaga paramedis) sehingga hampir dapat dipastikan bahwa
dukungan yang diberikan sulit dirasakan oleh subjek, tidak bersifat spontan, terjadi
karena kebetulan dan cenderung terbebani Rook dan Dooley (Kuntjoro, 2002).
Sedangkan pada faktor ada tidaknya komplikasi penyakit diperoleh hasil
(t=0.555; p=0.461) di mana ada tidaknya komplikasi dengan penyakit lain tidak
memberikan pengaruh yang cukup pada kemampuan penderita gagal ginjal terminal
dalam menerima keadaan dan kondisi penyakitnya. Dengan hanya mengidap
19
penyakit terminal para penderita gagal ginjal terminal sudah mengalami penderitaan
secara fisik dan mental seperti gangguan kecemasan, depresi atau bahkan psikotik
dan pada umumnya gejala yang lebih sering ditunjukkan oleh penderita adalah
depresi dan kekecewaan (Soewadi, 2003), karena di satu sisi harus bergantung
seumur hidup pada mesin dialisis dan di sisi lain ia harus tetap menjalankan peran
dalam kehidupannya yang menuntut dirinya untuk tetap dapat beraktifitas. Dari hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa baik memiliki komplikasi atau tidak penderita
gagal ginjal terminal sudah sulit untuk menerima keadaanya dan kondisi penyakitnya
sehingga ada atau tidak komplikasi penyakit tidak memberikan dampak yang cukup
berpengaruh. Sementara itu faktor ada tidaknya komplkasi untuk variabel dukungan
sosial diperoleh hasil (t=4.046; p=0.051) di mana faktor ada tidaknya komplikasi
juga tidak memberikan dampak yang cukup terhadap dukungan sosial yang diterima
oleh penderita gagal ginjal terminal.
Berikutnya pada faktor pembiayaan terapi, diperoleh hasil (t=2.374;
p=0.131) untuk penerimaan diri dan (t=3.059; p=0.088) untuk dukungan sosial, di
mana faktor pembiayaan terapi tidak memberikan dampak yang cukup, baik
terhadap kemampuan menerima keadaan diri dan kondisi penyakitnya maupun
jumlah dukungan sosial yang diperoleh. Hal ini diakibatkan oleh meskipun memiliki
nama jenis asuransi pembiayaan kesehatan yang berbeda namun pada dasarnya
fasilitas yang diperoleh untuk pembiayaan terapi hemodialisa bersifat sama, yang
membedakan hanya fasilitas pembiayaan pelayanan kesehatan yang lain di luar
terapi hemodialisa.
Pada penelitian yang dilakukan dalam waktu yang singkat ini peneliti merasa
bahwa terdapat beberapa kelemahan, pertama pada saat pengambilan data
penelitian, peneliti menyebar angket kepada para subjek pada saat subjek sedang
20
menjalani proses haemodialisa, umumnya ketika seorang pasien sedang menjalani
proses HD mereka merasakan keluhan-keluhan seperti pusing, mual, menggigil,
batuk-batuk, muntah, tidak mengerti bahasa Indonesia dan sebagainya, sehingga
ketika peneliti memberi petunjuk pengisian angket ada beberapa subjek yang tidak
dapat memperhatikan penjelasan dari peneliti dengan baik, namun umumnya para
subjek didampingi oleh keluarga yang mengantar atau menemani selama proses HD
tersebut sehingga peneliti dibantu oleh keluarga subjek dalam memberikan
penjelasan. Kedua, proses pengisian angket yang dilakukan oleh subjek umumnya
dilakukan di rumah, sehingga peneliti kurang dapat mengontrol bias yang terjadi
pada saat pengisian angket, walaupun ada beberapa subjek yang langsung mengisi
pada saat mereka menjalani proses HD.
Selama penelitian di lapangan peneliti melakukan pengamatan dan
wawancara dengan subjek, keluarga subjek dan tenaga perawat mengenai kondisi
yang biasanya dialami oleh penderita gagal ginjal terminal. Berdasarkan hasil
tersebut umumnya penderita gagal ginjal terminal memiliki keluhan dan kebiasaan
yang sama. Mereka cenderung putus asa menghadapi penyakit yang dideritanya
dengan menyadari seumur hidup mereka harus bergantung pada mesin dialisis
belum lagi kemunduran kondisi fisik yang signifikan dan efek samping dari penyakit
yang diderita sehingga menghambat aktifitas sehari-hari mereka, kondisi ini
umumnya terjadi pada pasien yang masih tergolong dalam usia produktif, walau ada
pula penderita yang tergolong pada usia lanjut mengalami hal ini. Kondisi ini terjadi
baik pada penderita laki-laki maupun perempuan. Hal yang menarik adalah ternyata
tidak semua penderita gagal ginjal merasa putus asa dengan keadaan fisiknya,
sebagian kecil dari mereka masih mampu melakukan aktifitasnya sehari-hari seperti
halnya orang lain, hal ini disebabkan oleh penderita tersebut dapat bekerjasama
21
dengan keadaan dirinya dan tidak lelah untuk berusaha mencari cara untuk menjaga
dan memperbaiki kesehatannya. Dengan kondisi organ penting dalam tubuh yang
sudah tidak dapat berfungsi mereka berusaha untuk menghindari segala sesuatu
yang dapat memperburuk kondisi fisiknya antara lain dengan mengkonsumsi obat-
obatan yang alami, dan yang terpenting mereka selalu berusaha menjaga hati untuk
dapat selalu menerima keadaan dirinya.
22
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan di RS. PKU Muhammadiyah
Yogyakarta dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Subjek pada penelitian ini secara umum memiliki tingkat penerimaan diri yang
cukup.
2. Secara umum subjek dalam penelitian ini memperoleh dukungan sosial yang
cukup dari lingkungan sosialnya.
3. Semakin tinggi tingkat dukungan sosial yang diperoleh subjek maka semakin
tinggi pula tingkat penerimaan dirinya.
4. Perbedaan jenis kelamin, usia, komplikasi penyakit, frekuensi hemodialisa dan
pembiayaan terapi hemodialisa tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap penerimaan diri subjek.
5. Perbedaan latar belakang pendidikan memberikan pengaruh yang cukup
siginifikan terhadap penerimaan diri subjek Di mana untuk responden dengan
tingkat pendidikan SMA memiliki tingkat penerimaan diri yang rendah, untuk
akademi tergolong sedang dan sarjana memiliki tingkat penerimaan diri yang
tinggi.
6. Frekuensi hemodialisa dan latar belakang pendidikan memberikan pengaruh yang
cukup signifikan terhadap dukungan sosial yang diterima oleh subjek. Subjek
dengan frekuensi HD yang tinggi secara otomatis akan lebih sering berinteraksi
baik dengan tenaga paramedis maupun pasien dan keluarga pasien yang lain.
Sementara dengan semakin tinggi tingkat pendidikan subjek maka semakin luas
pula lingkungan pergaulannya.
23
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka peneliti mengajukan
saran-saran sebagai berikut :
1. Bagi Keluarga Dari Penderita Gagal Ginjal Terminal
? Mengingat dukungan sosial dapat meningkatkan penerimaan diri di mana hal itu
dapat membuat seseorang menyenangi dirinya sendiri, maka keluarga dari
penderita gagal ginjal terminal perlu menciptakan kondisi yang dapat membuat
penderita merasa nyaman antara lain seperti, memberikan perhatian,
mendengarkan keluh kesah mereka, menyediakan alat kesehatan atau obat yang
dibutuhkan— disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
? Tetap melibatkan penderita dalam kegiatan keluarga secara lebih intensif namun
yang tidak terlalu melelahkan.
? Membentuk perkumpulan keluarga penderita gagal ginjal terminal, dengan
tujuan dapat menjadi wadah bagi keluarga agar dapat saling bertukar pikiran
mengenai penanganan terhadap penderita gagal ginjal terminal.
2. Bagi Lembaga Kesehatan
? Mengingat frekuensi hemodialisa dapat meningkatkan dukungan sosial yang
diterima oleh subjek dan pada akhirnya meningkatkan penerimaan diri subjek
maka lembaga kesehatan, dalam hal ini para perawat dan dokter, perlu untuk
dapat memberikan dukungan mulai dari hal yang sepele seperti menanyakan
kabar dan kondisi yang sedang dirasakan sampai pada memberikan penjelasan
mengenai penyakit yang diderita dengan baik dan sejelas-jelasnya seperti,
memberi tahu cara untuk menangani kondisi pasien ketika sedang anfal di
rumah.
24
3. Bagi peneliti selanjutnya
? Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk lebih mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan penerimaan diri, dapat memperhatikan faktor lain yang dapat
dihubungkan dengan penerimaan diri antara lain kepribadian, tingkat religiusitas,
dan budaya.
? Mengantisipasi kelemahan penelitian yaitu pada saat pelaksanaan penelitian,
sebaiknya skala tidak dibawa pulang oleh subjek karena tidak semua dapat
kembali atau jika ingin subjek merasa nyaman dalam mengerjakan dan
memperoleh jaminan skala akan kembali sebaiknya datangi subjek ke rumahnya
di waktu-waktu senggangnya dan subjek dalam keadaan “sehat”. Disamping itu
peneliti selanjutnya sebaiknya lebih dapat memperhitungkan jumlah aitem pada
tiap skala yang digunakan agar tidak terlalu banyak mengingat kondisi kesehatan
subjek.
? Mengingat karakteristik subjek yang unik maka peneliti selanjutnya perlu
menggali lebih dalam sisi psikologis subjek dengan cara melakukan wawancara