i HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO KONTRA PASAL 12 UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TESIS Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Studi Pascasarjana Program Magister Ilmu Religi Budaya Minat Khusus Ilmu Religi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Pembimbing Utama: Dr. G. Budi Subanar, SJ Pembimbing Kedua: Dr. St. Sunardi Oleh: Wakhit Hasim NIM: 02 6322 013 MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009
85
Embed
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARAKAJIAN WACANA ATAS PRO KONTRA PASAL 12 UU NO. 20 TAHUN 2003
TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
TESISDiajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir
Studi Pascasarjana Program Magister Ilmu Religi BudayaMinat Khusus Ilmu Religi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Pembimbing Utama:Dr. G. Budi Subanar, SJ
Pembimbing Kedua:Dr. St. Sunardi
Oleh:Wakhit Hasim
NIM: 02 6322 013
MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYAUNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2009
vi
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini kusembahkan untuk istriku…
vii
KATA PENGANTAR
Pada mulanya saya terlibat dengan beberapa rapat untuk merespon RUU Sisdiknas pada
semester awal tahun 2003. Pada waktu itu banyak sekali pihak yang merespon RU Sisdiknas dari
berbagai kalangan baik kalangan pakar pendidikan maupun masyarakat umum. Isu yang paling
hangat dan mengemuka diantara isu-isu lainnya yang mengiringi pembahasan RUU Sisdiknas itu
adalah isu penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah baik swasta maupun negeri.
Ada kecemasan yang menjalar pada khalayak ramai dengan munculnya isu ini.
Kecemasan itu bermula dari banyak arah dan banyak pihak. Pemerintah pengusul draft RUU
Sisdiknas mencemaskan adanya generasi yang hilang. Alasannya adalah adanya perubahan pola
perilaku di khalayak sejak munculnya reformasi. Kebebasan berekspresi yang dimungkinkan
oleh reformasi dianggap kebablasan. Maka kata ‘reformasi kebablasan’ sering terdengar dalam
percakapan umum. Jika hal ini tidak dikendalikan, pemerintah cemas jika generasi setelah
reformasi akan menjadi generasi yang tidak jelas arah tujuannya, generasi yang hilang.
Berbeda dengan pemerintah, kelompok-kelompok masyarakat juga memiliki kecemasan
berbeda-beda. Isu penyelenggaraan pendidikan agama yang diatur langsung oleh pemerintah
menyadarkan banyak pihak akan kemungkinan pemerintah intervensi ke dalam lembaga-
lembaga pendidikan. Sebagian yang lain cemas jika pendidikan agama diatur oleh pemerintah,
maka ruang privat dari agama-agama akan terancam. Sebagian yang lain cemas jika pendidikan
dibiarkan, maka akan banyak anak-anak yang mendapatkan pendidikan dari agama yang berbeda
akan terpengaruh dengan agama tersebut, yang biasanya diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan keagamaan tertentu. Mereka mengharap pemerintah mengatur itu supaya merasa
aman dari pengaruh pendidikan agama lain. Pendek kata ada yang pro dan ada yang kontra, dan
masing-masing memiliki pendukung cukup banyak di berbagai daerah di Indonesia.
Pengalaman terlibat rapat-rapat mengkritisi draft RUU Sisdiknas pada tahun 2003
tersebut membuat saya bertanya-tanya, apakah RUU Sisdiknas ini merupakan jawaban dari
kecemasan mereka, ataukah justru menambah kecemasan mereka? Sebetulnya bagaimana
pengaturan pendidikan agama dalam sebuah negara yang plural seperti di Indonesia ini supaya
dapat mendukung pertumbuhan kehidupan bersama yang baik? Namun setelah berdiskusi dengan
viii
kawan-kawan, bahkan dengan beberapa dosen di IRB, termasuk pak Nardi, saya justru lebih
tertarik dengan fenomena bagaimana masyarakat membicarakan hal ini dalam respon-respon
mereka? Apakah pembicaraan mereka memberikan dampak pembahasan yang lebih mendalam
terhadap isu utama pendidikan agama di Indonesia? Apakah komunikasi yang dilandasi rasa
cemas dari berbagai pihak ini akan mengantarkan pada hasil wacana yang sehat? Apakah para
pengambil kebijakan pada akhirnya mempertimbangkan wacana publik baik dan pro dan kontra
ini secara serius?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang membawa saya belajar teori wacana yang saya merasa
sulit, tapi tertarik. Tesis ini adalah latihan saya untuk belajar teori wacana, dan mencoba
menerapkan sesederhana munkin dalam mengkaji fenomena pro kontra UU Sisdiknas tahun
2003.
Saya berterima kasih untuk semua pihak yang mendorong saya berani menyelesaikan
studi ini dengan berbagai rasa cemas yang mendera, terutama untuk Romo Banar dan pak Nardi
yang membimbing saya dengan sabar. Terima kasih.
ix
ABSTRAK
Perumusan dan pembahasan RUU Sisdiknas sejak tahun 2001 hingga pengesahannya
menjadi UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 diwarnai oleh pro dan kontra dari berbagai pihak di
masyarakat. Wacana pro dan kontra muncul dari berbagai saluran baik media massa, gerakan
masyarakat terutama dari rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Wacana-
wacana ini berjalin berkelindan dan memberikan pengaruh satu dengan yang lain yang
mendorong secara cukup kuat terhadap respon masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra
terhadap UU Sisdiknas, baik melalui dialog, seminar, workshop, dan yang paling banyak
dipresentasikan oleh media adalah demonstrasi di berbagai kota.
Selain wacana-wacana dari berbagai saluran dan tatanan wacana, ada beberapa peristiwa
baik kewacanaan maupun non kewacanaan yang melatari dan pada kahirnya mempengaruhi
terhadap munculnya gejolak pro dan kontra. Pertama, perganitan rejim totaliter oleh rejim
demokrasi sejak tahun 1998, kedua, perubahan tatanan hukum ketatanegaraan dengan adanya
amandemen UUD 45 pertama hingga keempat, ketiga, konflik sosial politik yang terus
bergejolak di berbagai daerah, keempat, lemahnya penegakan hukum dan kelima, kebijakan yang
pro privatisasi.
Perubahan sosial yang diakibatkan oleh hubungan antar wacana dan pengaruh peristiwa
non kewacanaan lain diperlihatkan oleh gejolan pro dan kontra UU Sisdiknas yang hingga tahun
2003 terus berproses dan berkembang. Tatatan-tatanan wacana antara lain wacana pendidikan,
wacana manajemen pendidikan, wacana ekonomi (biaya) pendidikan, wacana sosial budaya
kebebasan berekspresi, wacana politik demokrasi dan reformasi menjadi wacana-wacana yang
muncul pada permulaan pro dan kontra. Wacana-wacana ini berjalin berkelindan dan
memunculkan wacana baru mengenai wilayah privat dan publik, kewenangan negara terhadap
agama dan peran agama terhadap kehidupan berbangsa. Keseluruhan wacana ini mendapatkan
respon, namun yang terutama mendominasi gerakan pro dan kontra adalah isu hubungan agama
dan Negara.
Wacana yang dikembangkan belum sampai pada tataran kritis publik atas konsep privat
dan publik terkait dengan penyelenggaraan pendidikan agama, namun memunculkan potensi
x
partisipasi publik terhadap kebijakan negara, terutama dalam hal pendidikan agama, yang
menggembirakan. Potensi resistensi atas dominasi wacana negara juga ditunjukkan atas adanya
wacana kontra terhadap UU Sisdiknas. Hal-hal tersebut memberikan kemungkinan atas
tumbuhnya kesadaran baru dan perubahan sosial. Namun demikian, terdapat fenomena penting
dari wacana pro dan kontra ini yaitu kecemasan dan kepanikan moral. Hubungan antar wacana
kurang berjalan dengan memadai, berjalan dengan reaktif dan emosional, tidak terlihat titik temu
acuan moralitas yang dibahas dengan pertimbangan yang mendalam dan berorientasi ke depan,
agen-agen yang terlibat memberikan respon atas yang lain dengan saling mencurigai. Media
masa yang memberikan saluran wacana, terutama berita, juga menjadi bagian dari agen
kecemasan publik atas penyelenggaraan pendidikan agama.
xi
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ------------------------------------------------------------------------------ i
HALAMAN PERSETUJUAN ------------------------------------------------------------------- ii
HALAMAN PENGESAHAN ------------------------------------------------------------------- iii
HALAMAN PERNYATAAN ------------------------------------------------------------------- iv
MOTTO --------------------------------------------------------------------------------------------- v
PERSEMBAHAN --------------------------------------------------------------------------------- vi
KATA PENGANTAR --------------------------------------------------------------------------- vii
ABSTRAK ---------------------------------------------------------------------------------------- ix
DAFTAR ISI ---------------------------------------------------------------------------------------xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang --------------------------------------------------------------------------- 1
B. Perumusan Masalah Penelitian -------------------------------------------------------- 6
C. Tujuan Penelitian ------------------------------------------------------------------------ 7
D. Kegunaan Penelitian -------------------------------------------------------------------- 8
E. Metodologi Penelitian ------------------------------------------------------------------ 8
F. Kerangka Analisis ------------------------------------------------------------------------ 8
G. Kajian Pustaka --------------------------------------------------------------------------- 18
H. Sistematika Pembahasan --------------------------------------------------------------- 22
BAB II
KRISIS MULTI DIMENSIONAL DAN SOLUSI NEGARA
A. Konteks Sosial Politik Era Reformasi ------------------------------------------------ 24
B. Wacana Negara Menjawab Tantangan Krisis --------------------------------------- 28
C. Respon Masyarakat --------------------------------------------------------------------- 31
D. Kesimpulan ------------------------------------------------------------------------------ 32
xii
BAB III
PASAL 12 UU SISDIKNAS DAN WACANA HUBUNGAN AGAMA DAN
NEGARA
A. Hubungan Agama dan Negara Belum Selesai ------------------------------------- 33
B. Model Hubungan Agama dan Negara ---------------------------------------------- 40
C. Kesimpulan ----------------------------------------------------------------------------- 42
BAB IV
AGAMA DALAM KEHIDUPAN PRIVAT DAN PUBLIK
A. Kehidupan Privat ----------------------------------------------------------------------- 43
B. Kehidupan Publik ---------------------------------------------------------------------- 47
C. Agama dan Politik --------------------------------------------------------------------- 51
D. Respon Masyarakat dan Kerentanan Agama dalam Politik ---------------------- 54
E. Kesimpulan ----------------------------------------------------------------------------- 63
BAB V
PERAN AGAMA DALAM MEMBENTUK MORAL BANGSA
A. Agama dan Pendidikan Moral ------------------------------------------------------- 64
B. Peran Masyarakat dan Negara------------------------------------------------------- 66
C. Demokrasi, Moralitas Bangsa dan Pendidikan Agama -------------------------- 67
D. Wacana Pendidikan Agama dan Kepanikan Moral------------------------------- 69
E. Kesimpulan --------------------------------------------------------------------------- 71
Bab VI
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan -------------------------------------------------------------------------- 72
B. Penutup ------------------------------------------------------------------------------ 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
KAJIAN WACANA ATAS PRO KONTRA PASAL 12 UU NO. 20
TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Pengantar
Pro dan kontra mengiringi pengesahan UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (untuk selanjutnya disebut UU Sisdiknas) menjadi wacana politik
hukum yang panas pada semester pertama tahun 2003 terutama menjelang disahkan
yang rencananya akan dilakukan pada Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2003.1
Pro kontra ini terutama mengenai pasal-pasal khusus tentang masalah pendidikan agama.
Pasal 12 ayat (1) bagian a. menyebutkan bahwa “setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama
yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.2 Pada bagian penjelasan
disebutkan bahwa “pendidik dan atau guru agama yang seagama dengan peserta
didik difasilitasi dan atau disediakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sesuai kebutuhan satuan pendidikan”.3
Pasal 12 ayat (1) diatas berhubungan dengan pasal 30 tentang penyelenggaraan
pendidikan keagamaan. Pasal 30 ayat (1) menyebutkan bahwa “pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk
agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, dan ayat (5) yang
menyebutkan bahwa “ketentuan mengenai pendidikan keagamaan diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah”.4
Pro dan Kontra ini mencuat sejak dikeluarkannya RUU versi pemerintah pada
tanggal 20 dan 28 April 2003 yang dipersiapkan sebagai tanggapan atas RUU Sisdiknas
yang telah diusulkan oleh DPR setahun sebelumnya, yakni tanggal 27 Mei 2002.
Pemerintah dalam mengeluarkan RUU ini tidak menyandingkannya dengan usulan
1 Kompas, 2 Mei 20032 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, PustakaWidyatama, tt., tt., hal. 123 Ibid., hal.554 Ibid., hal. 21 dan 22
2
aslinya dari DPR dan mempublikasikannya secara terpisah. Oleh karena itu masyarakat
tergerak hati dengan reaksi secara lebih substansial, kemudian secara tak terduga
menimbulkan reaksi dari sebagian masyarakat lain secara kontinyu melibatkan isu yang
menyentuh sentimen masyarakat akan agama5.
Masalah-masalah yang diperdebatkan pada pasal-pasal mengenai pendidikan
agama dalam UU Sisdiknas terkait dengan dua hal. Pertama, apakah pendidikan agama
merupakan wilayah negara untuk mengaturnya, ataukah merupakan wilayah
otonomi orang tua peserta didik dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan.
Masalah kedua yang menjadi perdebatan mengiringi disahkannya UU Sisdiknas adalah
apakah pendidikan agama merupakan solusi bagi krisis moral bangsa.
a. Masalah pertama:
Kelompok pendukung UU Sisdiknas tidak secara eksplisit menekankan apakah
pendidikan agama merupakan wilayah publik atau privat, namun mereka menekankan
bahwa pasal ini merupakan pengakuan negara atas berbagai macam agama yang ada di
Indonesia sekaligus jaminan masing-masing peserta didik untuk mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya. Menurut kelompok ini negara telah
mengakui “pluralitas” agama dan hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan
agama yang dianutnya. Pengakuan peran negara atas pluralitas agama dan dukungan
kelompok ini terhadap pengesahan UU Sisdiknas dapat diartikan bahwa mereka
menyetujui pendidikan agama merupakan wilayah negara, atau setidak-tidaknya tidak
menolak ide bahwa pendidikan agama merupakan tanggungjawab negara. Kita dapat
bertanya seberapa besar negara diberi wewenang menjalankan pendidikan agama.
Apakah negara diserahi sepenuhnya pendidikan agama ini ataukah sebagian saja? Jika
sebagian saja, dapat pula ditanyakan dalam hal apa negara diserahi wewenang untuk
menyelenggarakan agama?
Menjawab masalah ini pemerintah menegaskan telah disediakan sekitar 70.000
tenaga pengajar agama yang siap diberikan pada satuan pendidikan yang membutuhkan.
Hal ini disampaikan oleh Hamzah Haz, ketika itu adalah wakil presiden RI, dengan
memberikan tanggapan bahwa perdebatan pendidikan agama seiring dengan pengesahan
5 Kompas, 2 Mei 2003
3
UU Sisdiknas hanya masalah teknis pengadaan guru. Alasannya, sebagian satuan
pendidikan yang berlatar belakang agama dipandang kesulitan dalam pengadaan guru
agama yang bukan dari kalangan agama penyelenggara satuan pendidikan.
Pernyataan pemerintah di atas perlu dikaji lebih jauh. Benarkah perdebatan yang
melibatkan gelombang masyarakat selama lebih kurang satu semester pada awal tahun
2003 ini sekedar masalah teknis, yaitu pengadaan guru agama? Penulis berasumsi ada
masalah yang lebih mendasar mengenai ketidakjelasan wilayah privat dan publik dalam
pendidikan agama. Batasan peran publik pemerintah dalam pendidikan agama belum
dibicarakan secara terbuka dengan keterlibatan masyarakat secara luas. Karena dialog
persoalan wilayah publik-privat agama ini belum begitu jelas6, kelompok-kelompok
keagamaan menyikapi dengan menggunakan anggapan mereka masing-masing. Seiring
dengan nuansa dialog yang belum terbuka bagi banyak kalangan, respon kelompok-
kelompok agama cukup berhadap-hadapan antara kelompok masyarakat yang setuju
pengesahan RUU Sisdiknas -yang mayoritas merupakan kelompok muslim- dan
kelompok yang menolaknya yang kebanyakan berasal dari kelomok non muslim,
terutama dari kalangan Katolik dan Kristen7.
Sebaliknya, kelompok penolak UU Sisdiknas berargumentasi bahwa pasal-pasal
tersebut merupakan bentuk pembatasan terhadap hak masyarakat untuk mengatur
urusannya sendiri. Agama merupakan masalah privat, merupakan urusan lembaga
pendidikan dan orang tua. Melalui pasal ini kebebasan untuk memilih pendidikan agama
tidak diakui, dan oleh karena itu merupakan bentuk intervensi negara atas pendidikan
agama. Argumen kelompok ini berkaitan dengan masalah privat dan publik lembaga
pendidikan agama. Jika pendidikan merupakan masalah privat, apakah lembaga
keagamaan penyelenggara pendidikan agama juga bisa disebut privat? Hal ini membawa
6 Usaha dialog antar agama di Indonesia sudah cukup banyak, bahkan telah melibatkan organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiah dan NU. Namun demikian masyarakat umum masih sangat mudahterpengaruh dengan masalah ketegangan hubungan antar agama, terutama karena media memberitakansentimen-sentimen ini, di mana banyak dari kalangan Kristen yang menolak dan banyak kalangan Islamyang setuju atas pengesahan UU Sisdiknas. Beberapa kalangan sampat mensinyalir adanya muatan politikatas pengesahan UU Sisdiknas ini sebagai agenda lebih lanjut dari pemberlakukan kembali Piagam Jakartayang sudah tidak berhasil diperjuangkan pada forum sebelumnya dalam pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar. Lihat. Harian Kompas, Jumat 2 Mei 20037 Beberapa kalangan yang menolak atau mendukung UU Sisdiknas dalam isu pendidikan agama sebetulnyatidak saja dari kalangan Islam dan Non Islam, namun juga kelompok pluralis baik Islam, Kristen, Katolik,Hindu dan beberapa kalangan berasal dari NGO/LSM. Kalangan Islam cenderung setuju denganpengesahan, kalangan non Islam dan pluralis cenderung menolak dengan alasan masing-masing.
4
kita kepada pertanyaan lebih mendasar, apa yang disebut wilayah privat? Apa pula yang
disebut wilayah publik? Dimana batas-batas keduanya, khususnya dalam masalah
penyelenggaraan pendidikan agama?
Dengan pembacaan berbeda dengan kelompok masyarakat pendukung UU
Sisdiknas, kelompok penolak justru menilai UU Sisdiknas tidak mengakui pluralitas
keyakinan dan agama yang sangat beragam di Nusantara sebab sejauh ini pemerintah
hanya mengakui agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha sebagai agama yang
resmi sah di Indonesia. Pendapat ini disampaikan oleh sebagian masyarakat Jawa Timur
yang berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Sisdiknas mengiringi akan disahkannya
RUU tersebut pada tanggal 2 Mei 2003. Selain agama yang tidak diakui pemerintah,
mereka juga mengatakan bahwa kelompok kepercayaan juga menghadapi masalah
serupa, tidak diakui oleh UU Sisidiknas No. 20 tahun 2003.8
Selain dua kelompok pendukung dan penolak UU Sisdiknas di atas, ada pendapat
yang mencoba memberi jalan tengah. Pengakuan negara atas agama diperlukan di
Indonesia agar tidak terjadi pemisahan tegas antara agama dan negara. Pemisahan tegas
antara agama dan negara membawa ironi mengenai pengakuan negara atas agama secara
tidak tuntas. Di satu sisi agama diakui haknya untuk berkembang dalam ruang privat
warga negara, di sisi lain belum tentu negara memberi pengakuan warga negara untuk
mempraktikkan pendirian agamanya di ruang publik, seperti pelarangan penggunaan
simbol agama di ruang publik, di pemerintah, di sekolah yang belum lama ini terjadi di
negara Perancis. Cita-cita kebaikan yang tidak dapat dicapai oleh negara diharapkan
dapat dicapai dalam agama, namun pada saat yang sama agama tidak diberikan ruang
untuk mencapai cita-cita kebaikan hidup itu pada ruang publik. Kendatipun pengakuan
Negara terhadap agama diperlukan, tetapi pengakuan ini tidak boleh diartikan sebagai
intervensi berlebihan dari negara ke wilayah agama. Jika intervensi ini terjadi akan ada
kecenderungan agama pihak yang berkuasa mendominasi aturan yang dalam sejarah telah
banyak menumpahkan darah masyarakat dan ulama. UU Sisdiknas memiliki
kecenderungan intervensi negara terhadap agama.9
8 Kompas, Jumat 2 Mei 20039 Sindhunata, Antara Negara dan Agama, Basis, Nomor 06-07, Tahun ke-52, Juli-Agustus 2003, hal. 3
5
b. Masalah kedua:
Masalah kedua yang menjadi perdebatan mengiringi disahkannya UU Sisdiknas
adalah apakah pendidikan agama merupakan solusi bagi krisis moral bangsa?
Pandangan masyarakat pendukung UU Sisdiknas terwakili oleh pernyataan resmi dari
pemerintah baik DPR maupun Depdiknas yang menjelaskan bahwa latar belakang
perumusan RUU Sisdiknas adalah untuk menjawab tiga masalah utama bangsa Indonesia,
pertama, mengatasi krisis moneter, ekonomi dan berkembangnya krisis multi
dimensional yang berujung pada krisis moral bangsa. Kedua, kecenderungan globalisasi
yang tidak dapat dielakkan, dan ketiga kecenderungan demokratisasi yang sudah dimulai
pada 22 Mei 1989 ketika rejim Suharto Tumbang. Pembahasan tesis ini ditempatkan pada
masalah pertama. Point pertama menjelaskan anggapan bahwa UU Sisdiknas, terutama
pendidikan agama, merupakan kunci bagi penyelesaian krisis moral bangsa.10
Tidak diragukan lagi bahwa agama berkepentingan dengan moral. Jika ada
moralitas seseorang bermasalah, masih banyak masyarakat mempercayai hal itu berkaitan
dengan kurangnya pendidikan agama. Dengan keyakinan ini terdapat asumsi dalam
kelompok yang setuju dengan pengesahan UU Sisdiknas bahwa moralitas bangsa juga
dapat diselesaikan dengan pendidikan agama. Bahkan terjadinya masalah moral ini
berujung pada pendidikan agama yang selama ini tidak benar. Namun kita dapat bertanya
sampai dimana kekuatan agama dalam menjamin moralitas bangsa menjadi baik? Apakah
krisis multidimensional yang dialami oleh bangsa Indonesia ini hanya diakibatkan oleh
pendidikan agama yang tidak beres? Ataukah ada penyebab lain misalnya kebijakan yang
diskriminatif, pemerintahan yang penuh korupsi, kolusi dan nepotisme? Apakah
pendidikan agama berkaitan dengan moralitas pemerintahan ataukah modus dan cara
pemerintahan yang justru memberikan peluang buruknya kinerja pemerintah yang
menyebabkan masyarakat tidak puas dan terjadi krisis? Penulis beranggapan diperlukan
kajian kembali mengenai perumusan masalah moral bangsa dan peran pendidikan agama
dalam menyelesaikan masalah moral bangsa.
10 Bdk. Darmaningtyas, Politisasi Pendidikan Agama di Sekolah , Basis, Nomor 06-07, Tahun ke-52, Juli-Agustus 2003, hal. 18
6
Bagi kelompok masyarakat yang menolak, berpendapat bahwa keyakinan krisis
bangsa dipersempit ke dalam krisis moral dan terutama krisis pendidikan agama yang
akan diselesaikan melalui UU Sisdiknas ini merupakan penyederhanaan masalah yang
jauh lebih besar. Masalah-masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia misalnya
korupsi, kolusi dan nepotisme Orde Baru yang masih berlanjut hingga saat ini.11
Baik bagi kelompok yang setuju maupun yang tidak setuju pengesahan UU
Sisdiknas, kiranya ada pertanyaan yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia yang
sampai saat ini masih sangat relevan karena masyarakat Indonesia sangat yakin dengan
peran agama dalam kehidupan sosial. Pertanyaan ini berujung pada keprihatinan bersama
bangsa Indonesia untuk penataan masyarakat yang lebih baik, adil dan damai, yaitu
seberapa jauh pendidikan agama dapat mendorong perbaikan moral bangsa? Masalah ini
ini membutuhkan refleksi mendalam mengenai pengalaman pendidikan agama sejauh
dilakukan dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia dan bagaimana kita memposisikan
agama dan pendidikannya untuk Indonesia kedepan dalam rangka mendukung kehidupan
berbangsa dan bernegara yang beradab.
Masalah yang lebih mendalam disampaikan oleh kalangan pakar dan sebagian
masyarakat yang kontra pengesahan UU Sisdiknas yaitu ketidakjelasan visi dari
pendidikan nasional. Hal ini tercermin dalam, sebagaimana disampaikan oleh Prof Dr.
HAR Tilaar, rumusan tujuan sistem pendidikan nasional (pasal 3) yang panjang dan sulit
dijabarkan dalam pasal operasional.12 UU Sisdiknas juga kehilangan ruh pendidikan,
menurut Ki Supriyoko, seperti kejujuran, cinta kasih, pengorbanan selayaknya kasih
sayang orang tua kepada anaknya.13 Menurut Ketua Umum Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI) Prof Dr Lily R Rilantono UU Sisdiknas tidak mempunyai konsep
mengenai PADU atau pendidikan dini usia, tidak memungkinkan mencerap nilai-nilai
modern.14
B. Perumusan Masalah
11 Ibid, hal. 19-20.12 Kompas, 1 April 200313 Kompas, 11 April 200314 Kompas, 17 Maret 2003
7
Masalah pendidikan agama merupakan yang menjadi isu utama yang diangkat
oleh gelombang protes atas pengesahan UU Sisdiknas diantara isu-isu lain seperti isu
ancaman disintegrasi bangsa, isu pluralisme agama, isu hubungan antar umat beragama
dan lain-lain. Penulis ingin merefleksikan masalah pendidikan agama ini yang tercermin
dari gelombang protes masyarakat mengiringi pengesahah UU Sisdiknas untuk
mendalami wacana hubungan antara agama dan negara di Indonesia. Wacana hubungan
agama dan negara penulis kaji melalui pembahasan terhadap pertanyaan-pertanyaan inti
sebagai berikut.
Pertama, bagaimana negara menjawab krisis multi dimensional dan krisis moral
bangsa melalui pengundangan UU Sisdiknas? Pertanyaan ini diajukan untuk memberikan
konteks bagi pasal 12 UU Sisdiknas dari sisi latar belakang dirumuskannya UU Sisdiknas
dan proses pembahasan serta struktur internal UU Sisdiknas.
Kedua, bagaimana kedudukan Pasal 12 dalam Wacana Hubungan Agama dan
Negara? Melalui pertanyaan ini diajukan konteks bahwa pembahasan mengenai
hubungan agama dan negara belum selesai. Pembahasan ini akan ditelusuri melalui
beberapa kajian mengenai kebijakan agama di Indonesia dari waktu ke waktu dan
konteks teologis yang melatari pro dan kontra UU Sisdiknas.
Ketiga, sejauh mana negara dapat mengurusi masalah agama? Melalui pertanyaan
ini akan diajukan pembahasan mengenai ruang publik dan privat, agama dalam wilayah
publik dan privat serta hubungan agama dengan politik/negara dan bagaimana pro kontra
UU Sisdiknas dalam memproduksi wacana tersebut.
Keempat, sejauh mana agama membentuk moral bangsa? Pertanyaan ini akan
mengeksplorasi peran spesifik agama dalam pendidikan moral bangsa meliputi kajian
masalah-masalah agama dan latar belakang masalah moralitas di Indonesia dan wacana
pendidikan agama yang diproduksi oleh pro dan kontra UU Sisdiknas.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dirancang untuk tujuan-tujuan sebagai berikut.
Pertama, memperoleh gambaran wacana pemerintah dalam menjawab masalah
krisis multidimensional yang berujung pada masalah moralitas bangsa melalui UU
Sisdiknas.
8
Kedua, memperoleh gambaran proses wacana hubungan agama dan negara
hingga munculnya pro kontra UU Sisdiknas, khususnya dari sisi pasal 13 UU Sisdiknas.
Ketiga, memperoleh gambaran wacana wilayah negara dalam mengatur agama
melalui perspektif privat dan publik yang terbangun dalam pro kontra UU Sisdiknas.
Keempat, memperoleh gambaran peran agama dalam membangun moral bangsa
melalui perspektif peran privat-publik agama.
D. Kegunaan penelitian
Hasil dari penelitian ini saya harapkan dapat memberikan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, menyumbangkan wacana perbedaan pendapat keagamaan dalam konteks negara
bangsa dari segi wilayah publik dan privat. Kedua, pengembangan dialog antara agama
dalam kaitannya dengan keterlibatan agama dalam politik. Ketiga, pengembangan
kebijakan yang memperhitungkan peran agama dan negara dalam pengembangan
kehidupan publik secara adil.
E. Metodologi Penelitian
E.1. Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengambil data dari sumber
data sebagai pemberitaan media masa dan rekaman proses rapat pembahasan UU
Sisdiknas di DPR. Pemberitaan media masa seputar pro kontra UU Sisdiknas diambil dari
tahun 2002 hingga semester pertama tahun 2003. Rekaman proses rapat-rapat DPR dalam
pembahasan UU Sisdiknas mulai dari usulan inisiatif hingga pembahasan di sidang
paripurna. Sumber data diperoleh dari: 1) koran harian dan majalah, baik cetak maupun
elektronik dan 2) gedung sekretariat DPR-MPR bagian pusat data.
E.2. Kerangka Analisis
9
Kerangka analisis thesis ini memakai pendekatan analisis wacana, terutama teori
wacana kritis dari Fairclough15, dan analisis sosial lain seperti analisis politik mengenai
hubungan masalah privat dan public dan analisis kepanikan moral.
Analisis ini Wacana merupakan salah satu dari pendekatan konstruksionisme
sosial yang kesemuanya memiliki titik temu dalam hal beberapa premis utama dan
asumsi mengenai bahasa dan subeknya.
Premis-Premis Utama
Premis-premis utama yang diyakini oleh pendekatan konstruksionime sosial
antara lain pertama, pengetahuan kita dan representasi akan dunia ini merupakan produk
wacana. Pengetahuan kita akan realitas dengan mengkategorikan berbagai hal dalam
bentuk pengertian-pengertian tidak benar-benar merupakan refleksi atas realitas itu
sendiri, melainkan produk dari cara kita memberi makna terhadapnya. Kedua, cara kita
memahami dunia dan memandang dunia bersifat khusus dan mungkin, artinya pandangan
dunia dan identitas kita bisa berbeda dan berubah sepanjang waktu, sebab kita adalah
manusia kultural dan historis. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan kaum
fundasionalis yang meyakini adanya pengetauan kokoh yang didasarkan atas metateori
yang lebih penting dari tindakan manusia yang bersifat kontekstual. Pandangan ini juga
bertentangan dengan pandangan kaum esensialis yang meyakini bahwa masyarakat
memiliki esensi dan sifat yang tetap dan otentik. Ketiga, cara kita memahami dunia
diciptakan dan dipertahankan oleh proses sosial, yakni melalui interaksi sosial tempat
kita membentuk kebenaran bersama dan menentukan mana yang benar dan mana yang
salah. Keempat, cara pandang kita terhadap dunia bahwa pengetahuan dan kebenaran
merupakan konstruksi sosial membawa konsekuensi-konsekuensi sosial berbeda dan
tidak mengenal bentuk tindakan sosial yang alami.16
Premis-premis faham konstruksionisme sosial di atas tidak dapat diartikan bahwa
seluruh identitas sosial selalu berubah dan tidak ajek sehingga tidak dapat dikenali.
Meskipun premis dasar mengatakan bahwa pada prinsipnya pengetahuan dan identitas
15 Penjelasan kerangka analisis ini didasarkan pada buku “Analisis Wacana; Teori dan Metode” karanganMarianne W. Jorgensen dan Louis J. Philips, diterjemahkan oleh Imam Suyitno, Lilik Suyitno dan Suwarna(Pustaka Pelajar: 2007)16 Ibid, hal. 8-10.
10
adalah bersifat mungkin, namun pengetahuan dan identitas sosial tersebut relatif tidak
fleksibel dalam situasi-situasi khusus dan bahwa bidang sosial termasuk bidang yang
lebih teratur dan terikat pada aturan.17
Asumsi Kebahasaan dalam Analisis Wacana
Pendekatan-pendekatan analisis wacana memiliki titik temu dalam pandangan
mengenai bahasa dan konsekuensinya terhadap wacana seperti berikut. Pertama, analisis
wacana mengambil pijakan dari pernyataan filsafat strukturalisme dan post strukturalisme
dalam bahasa. Akses kita terhadap realitas, berdasarkan pijakan filsafat ini, selalu melalui
bahasa. Melalui bahasa kita membuat representasi atas realitas, namun hal itu bukan
merupakan refleksi realitas murni, namun ada keterlibatan subyektif kita dalam
merepresentasikannya, sehingga kita juga memberikan kontribusi terhadap konstruksi
realitas itu. Obyek-obyek fisik dengan bagitu mendapatkan makna melalui wacana,
walaupun hal itu bukan berarti bahwa yang ada hanyalah representasi tanpa objek-objek
riil. Representasi dan objek riil ada, namun melalui wacanalah keduanya diproduksi
menjadi makna.18
Bahasa dalam hal ini tidak dipahami sebagai alat mengkomunikasikan keadaan
mental utama, perilaku atau fakta-fakta. Bahasa lebih merupakan alat untuk
menggerakkan, menyusun dunia sosial itu sendiri. Bahasa menata hubungan-hubungan
dan identitas-dentitas sosial, yakni perubahan-perubahan yang terjadi pada wacana
merupakan alat untuk mengubah dunia sosial. Perjuangan yang terjadi pada wacana pada
hakikatnya adalah perjuangan untuk mengubah dan membentuk realitas sosial.
Keyakinan kebahasaan ini didasarkan pada asumsi bahwa bahasa sebagai suatu
system tidak memiliki hubungan instrinsik dengan realita yang dirujukknya. Antara
bahasa dan maknanya terjadi dengan kebetulan melalui kesepakatan-kesepakatan. Makna
bahasa tidak ditentukan oleh kata, bunyi, atau benda rujukan dari makna itu.
Asumsi kebahasaan ini diambil dari teori Ferdinan de Saussure yang menyatakan
bahwa tanda (sign) terdiri dari dua sisi, bentuk (significant) dan isi (signifie), dan bahwa
hubungan keduanya bersifat arbitrer. Makna kata-kata hanyalah produk kesepakatan,
17 Ibid, hal. 11.18 Ibid, hal. 16
11
bukan secara hakiki ada dengan sendirinya. Kata “anjing” tidak berhubungan dengan
rujukan makna secara hakiki, tetapi karena diberikan oleh masyarakat untuk menandai
bahwa bunyi kata “anjing” merujuk pada hewan berkaki empat yang bisa menyalak.19
Saussure mengembangkan penelitian terhadap bahasa dan kebudayaan, dan
mengkategorikan struktur tanda di atas sebagai masalah pokok bahasa. Dia
mengkategorikan ada dua tataran bahasa, yaitu langue dan parole. Langue merupakan
struktur bahasa, yakni jaringan-jaringan tanda-tanda yang member makna, dan sifatnya
tetap tak bisa diganti-ganti. Sedangkan parole merupakan penerapan bahasa dalam situasi
kongkrit tertentu oleh pewicara. Parole selalu mengacu kepada langue sebagai struktur
acuan, sebab parole sangat rentan berubah-ubah sesuai situasi subyek dan sejarah.
Dengan dasar ini, Saussure mengusulkan langue sebagai perhatian utama analisis bahasa
untuk menghasilkan makna. Makna tentulah harus dihasilkan dari struktur yang tetap
yang menjadi pijakan bagi pengertian yang jelas dan memungkinkan adanya
komunikasi.20
Pemaknaan yang dihasilkan oleh struktur yang tetap model Saussure, darimana
istilah strukturalisme berasal, beroperasi pada beberapa gagasan bahwa: 1) tanda-tanda
mendapatkan makna bukan melalui hubungannya dengan realitas melainkan dari
hubungan intrernal dalam jaringan tanda-tanda, 2) jaringan tanda-tanda sebagai system
pemaknaan merupakan struktur yang stabil. Perumpamaan jaringan tanda-tanda dengan
struktur yang stabil dan tetap untuk menghasilkan makna adalah seperti jaring ikan,
dimana setiap tanda memiliki tempatnya sendiri pada masing-masing mata jaring. Posisi
mata jaring itu akan tetap pada tempatnya kendatipun kita menebarkannya, demikian pun
tanda-tanda untuk menghasilkan makna. Tempat tanda-tanda sudah tetap tak berubah
meskipun ditebarkan untuk menjaring makna, atau meskipun pemaknaan dilakukan
dengan berbagai cara.
Teori wacana mengambil gagasan jaringan tanda-tanda untuk menghasilkan
makna, namun tidak menyetujui pada gagasan bahwa bahasa merupakan struktur yang
tetap. Bahasa bukanlah struktur stabil, tak bisa berubah dan menyeluruh. Tanda masih
dapat memperoleh makna tidak perbedaannya dengan tanda lain, namun tanda yang
19 Ibid., hal. 17-18.20 Ibid, hal. 19
12
berbeda dengan tanda lain itu masih bisa berubah makna sesuai dengan konteks
penggunaan tanda itu sendiri. Misalnya kata “bekerja” pada satu saat merupakan
kebalikan dari kata “santai”, namun dalam konteks lain bisa berlawanan dengan kata
“pasivitas”. Kata-kata, sebagai tanda dalam jaringannya dengan kata lain, oleh karenanya
tidak memiliki makna yang tetap. Perumpamaannya tidak sesederhana “jaring ikan”
namun lebih menyerupai hubungan “antar jaring (internet)”, yang sewaktu-waktu bisa
berubah, terputus, tersambung dengan jaring lain yang menghasilkan makna yang terus
bisa diubah dan dikembangkan. Analisis wacana mengambil ide ini dari aliran
posstrukturalisme dalam bahasa.21
Analisis Wacana dan Kekuasaan
Analisis wacana kritis bertujuan untuk mengungkap hubungan sosial yang
timpang dan tidak adil agar dapat terlibat dalam advokasi perubahan sosial. Oleh karna
itu analisis wacana tidak dapat disebut netral nilai, sebab ada keberpihakan terhadap
entitas masyarakat yang dilemahkan dan dipinggirkan. Analisis dibangun dalam rangka
mengungkapkan bekerjanya huungan kekuasaan dalam praktik sosial kemasyarakatan.
Untuk itu analisis wacana berkempentingan terhadap analisis kekuasaan dan ideologi.
Analisis wacana kritis mengambil ide kekuasaan dari Foucault. Mitcheal Foucault
mengenalkan analisis kekuasaan dengan dua teori mengenai arkeologi dan genealogi.
Kajian arekeologi diambil karena adanya kaidah pemaknaan yang berlaku bahwa terdapat
kaidah yang menentukan mana kalimat yang diterima, mana kalimat yang benar dan
mana yang salah dalam epos sejarah tertentu. Wacana, bagi Foucault, merupakan
sekelompok pernyataan milik formasi kewacanaan yang sama, terdiri dari sejumlah kecil
pernyataan tempat ditetapkannya sekelompok kondisi eksistensi, bersifat historis,
memiliki batas, pembagian, transformasi, mode khusus temporalitasnya sendiri.
Pengetahuan yang dihasilkan dari wacana merupakan produk wacana. Kebenaran
ditentukan oleh rejim pengetahuan yang dari waktu ke waktu dapat berubah. Wacana,
dalam hal ini dimengerti sebagai sederet pernyataan yang relatif terikat pada kaidah
sehingga menentukan batas-batas pada apa yang memberikan makna.22
21 Ibid, hal. 20-2122 Ibid, hal. 24-25
13
Kekuasaan/pengetahuan dikembangkan oleh Foucault dalam kerja genealogisnya.
Kekuasaan tidak dipahami sebagai suatu miliki istimewa dari agen tertentu baik individu,
Negara atau struktur lainnya, namun kekuasaan tersebar dalam praktik-praktik sosial
yang berbeda. Kekuasaan tidak dipahami sebagai kekuatan yang bersifat menindas,
namun bersifat produktif; kekuasaan menyusu dan menghasilkan wacana, pengetahuan,
benda-benda dan subyeksitifitas pada setiap agen yang terlibat, tersebar. Misalnya,
wacana tindak kejahatan, melahirkan berbagai bidang yang memiliki lembaga sendiri,
misalnya penjara, agen misalnya penjahat, praktik tertentu misalnya pemasyarakatan.
Kekuasaan terikat dengan pengetahuan, satu sama lain saling mengandaikan, misalnya
kejahatan selalu mengandaikan adanya ilmu tentang kejahatan atau kriminologi.23
Kekuasaan memiliki kaitan erat dengan pengetahuan yang dilahirkan oleh proses
wacana. Wacana memproduksi subyek pengetahuan dan obyek yang diketahui. Dunia
pengetahuan, termasuk subyek dan obyeknya, dalam proses tertentu tersusun oleh
wacana. Karena pengetahuan merupakan produk wacana yang bersifat historis, maka
kebenaran yang dihasilkan juga kebenaran historis. Tidak ada kebenaran mutlak, namun
selalu ada kebenaran, atau efek kebenaran, yang dihasilkan oleh wacana. Kebebaran bagi
Foucault, merupakan prosedur untuk produksi, pengaturan dan difusi kalimat, dan
kebenaran dihasilkan oleh system kekuasaan.24
Analisis Wacana dan Ideologi
Analisis wacana kirits mengambil gagasan ideology dari Foucault yang
dikembangkan dari gurunya, Louis Althusser. Ideologi selalu terkait dengan ide
mengenai subyek dan gagasan imaginer bersama. Bagi Althusser, ideology merupakan
system representasi yang menyamarkan hubungan-hubungan kita yang sesungguhnya
satu sama lain dalam masyarakat dengan cara membangun hubungan-hubungan imajiner
antar orang-orang dan antar mereka sendiri dan formasi sosial. Hubungan yang dapat
dikatakan bukan hubungan semestinya ini mengendalikan semua aspek hubungan sosial.
Seseorang dibentuk dan menempati posisi sosial dalam proses bahasa yang wajar, namun
tanpa sadar dia telah menjadi subyek ideology karena memerankan diri dalam hubungan-
23 Ibid, hal 2624 Ibid hall 27.
14
hubungan sosial dimana ideology bekerja. Proses ini dinamakan interpelasi, yakni proses
bahasa yang dialami dalam membentuk suatu posisi sosial individu atau seseorang yan
dengan demikian dia menjadi subyek ideology. Misalnya cara hidup modern mengenai
kesehatan, membuat seseorang menyesuaikan diri untuk merawat kesehatan mereka
masing-masing dengan cara mengikuti berbagai prosedur yang disediakan oleh
masyarakat modern. Ideology modernitas mengajak orang sebagai subyek pelaku ide-ide
modernitas tanpa dapat dielak oleh individu tersebut dan dengan sendirinya menjadi
subyek ideology.
Dengan pengertian ini, Althusser menempatkan subjek yang lemah di hadapan
ideology. Keyakinan subyek tidak terpusat pada Althusser ini diambil oleh Foucault.
Subyek diciptakan dalam wacana, bukan menentukan wacana. Wacana bukan penuturan
subyek mandiri, namun subyek dibentuk oleh dan dalam wacana. 25
Posisi subyek yang lemah tanpa pilihan di hadapan ideology ini mendapatkan
kritik yang tajam pada tahun 1970-an. Pertama, dalam kajian sosial, komunikasi dan
analisis wacana telah lahir konsensus bahwa tesis ideology dominan telah meremehkan
kemampuan manusia dalam memberikan perlawanan terhadap ideologi. Subyek dan
agensi sebetulnya memiliki kemampuan untuk memberikan perlawanan terhadap
ideologi.
Kedua, pandangan Althusser yang menyatakan bahwa semua wacana
dikendalikan oleh sat ideologi yang utuh ditolak. Posisi Foucault telah menggeser
ideology Althusser bahwa walaupun individu diciptakan oleh wacana, namun pluralitas
wacana bisa saling bersaing satu dengan yang lain dengan beroperasinya kekuasaan
secara menyebar dan kreatif. Analisi wacana kritis menekankan bahwa subyek tidak
terinterpelasi hanya dalam satu posisi subyek, sebab wacana-wacana yang berbeda bisa
dikatakan member subyek posisi berbeda bahkan bertentangan satu dengan yang lain.
Analisis wacana kritis menekankan bahwa orangmenggunakan wacana sebagai
sumberdaya yang mereka gunakan dalam menciptakan konstelasi-konsteleasi baru kata-
katan, kalimat-kalimat, yang tidak pernah diucapkan sebelumnya. Hasilnya aka nada
wacana silangan baru, dan dengan demikian perubahan sosial dimungkinkan. Subjek
menjadi agen perubahan sosial. Bagi fairclough tindakan-tindakan kreatif individu secara
25 Ibid, hal 29-30.
15
komulatif menciptakan tatanan-tatanan wacama yang terstruktur. Dalam penelitian hal ini
penting dalam rangka untuk melacak praktik-praktik kewacanaan yang dinamis, tempat
para penggguna bahasa bertindak sebagai produsen dan produk kewacanaan dalam
perubahan sosial.
Ketiga, konsep ideologi, termasuk konsep Althusser, menyiratkan dapat
dicapainya kebenaran mutlak. Hal itu disebabkan keutuhan kerangka ideologi, dan tak
adanya kemungkinan individu untuk keluar dari ideologi. Hal ini dikritik menyebabkan
distorsi hubungan sosial yagn riil dan juga mendistorsi upaya untuk keluar dari ideologi.
Foucault menolak ideology, karena baginya kebenaran, subyek, dan hubungan antar
subyek dikonstruk oleh wacana secara historis. Teori wacana Laclau dan Moffe
mengadobsi pendapat Foucault ini sementara teori wacana kritis Fairclough masih
mempertahankan konsep ideologi untuk member ruang adanya wacana ideologis dan non
ideologis, dan untuk memberi ruang bahwa perjuangan keluar dari ideologi itu
mungkin.26
Praktik Wacana
Bagi analisis wacana kritis, termasuk analisis wacana Fairclough, fungsi wacana
atau praktik kewacanaan merupakan praktik sosial yang membentuk dunia sosial. Praktik
sosial mengisyaratkan tindakan itu bersifat kongkrit dimana indifidu dan konteks bersifat
terikat, namun juga bersifat tindakan ini terlembagakan dan terkat sosial, dan oleh karena
itu muncul regularitas. Fairclough lalu membedakan antara praktis sosial berupa konsep
wacana meliputi teks, pembicaraan dan system semiologis lainnya, dengan praktik sosial
lainnya yang non kewacanaan.Tiap jenis praktik sosial, baik praktik wacana maupun
praoktin non wacana, saling berhubungan secara dialektis untuk membentuk fakta sosial
dengan piranti logika masing-masing.27
26 Ibid, hal 32-3527 Ibid, hal. 36.
16
Prosedur Analisis Wacana Kritis Fairclough28
Analisis wacana kritis Fairclough mengacu pada yang disebut Tiga Dimensi
Fairclough. Tiga dimensi itu merupakan fokus dari analisis wacana kritis, meliputi Teks,
Praktik Kewacanaan dan Praktik Sosial. Teks meluputi semua fungsi pencitraan, tuturan
atau gabungan dari semuanya yang diperiksa melalui cirri-ciri kebahasaan. Praktik
Kewacanaan meliputi proses bagaimana teks itu diproduksi dan dikonsumsi oleh subyek
wacana dan Praktik sosial meliputi praktik kewacanaan dan non kewacanaan, yang
keduanya berkontribusi terhadap dunia ini.
PRAKTIK SOSIAL
PRAKTIK KEWACANAAN
Konsumsi teks
TEKS
Produksi Teks
Beberapa konsep turunan menjadi penting untuk menunjang operasi analisis tiga
dimensi meliptui: 1) wacana, 2) fungsi wacana, 3) peristiwa komunikaatif dan tatanan
wacana, 4) jenis wacana dan aliran wacana, 5) intertekstualitas.
Wacana dimaknai sebagai a) penggunaan bahasa sebagai praktik sosial, b) jenis
bahasa yang digunakan pada bidang sosial khusus misalnya dalam bidan politik,
28 Semua paparan mengenai prosedur analisis wacana kritis model Fairclough diambil dari buku “AnalisisWacana; Teori dan Metode” karangan Marianne W. Jorgensen dan Louis J. Philips, diterjemahkan olehImam Suyitno, Lilik Suyitno dan Suwarna (Pustaka Pelajar: 2007), hal. 114-172.
17
kesehatan, keamanan dan lain-lain, dan c) cara tutur yang member makana, berasal dari
pengalaman-pengalaman yang dipetik dari perspektif khusus, misalnya marxisme,
feminism, nasionalisme dan sebagainya. Wacana memiliki kontribusi terhadap realitas
melalui fungsi-fungsinya: a) membentuk identitas sosial (fungsi identitas), b) berfungsi
dalam hubungan-hubungan sosial (relasional) dan c) membangun system pengetahuan
dan makna (ideasional).
Wacana memiliki dimensi-dimensi misalnya peristiwa komunikatif tempat bahasa
digunakan dan tatanan wacana, yakni konfigurasi jenis wacana dalam lembaga sosial.
Dalam tatanan wacana terdapat praktik wacana khusus tempat diproduksinya teks dan
pembicaraan diproduksi, dikonsumsi dan diartikulasikan. Misalnya wacana pelayanan
kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Aliran wacana dimengerti sebagai penggunaan
khusus bahasa yang mendukung penyusunan bagi praktik sosial terntentu, misalnya iklan,
berita, wawancara dan sebagainya.
Intertekstualitas. Praktik sosial merupakan produk artikulasi bersama dengan
unsur-unsur yang berbeda, dimana unsur yang diartikulasikan merupakan moment
kewacanaan dan moment non kewacanaan. Peristiwa komunikatif, yakni semua jensi
praktik yang melibatkan system semiotis, memiliki hubungan dialektik dengan tatanan
wacana (yakni praktik kewacanaan pada suatu bidang tertentu) mempengaruhi praktik
sosial, baik berubah maupun status quo. Pada tatanan wacana, sifanya adalah kewacanaan
di satu bidang. Namun konfigurasi wacana-wacana berpotensi menimbulkan konflik
dibidang sosial tertentu. Wacana-wacana yang banyak dan berpotensi adanya konflik
menunjukkan hal penting dalam kerangka perubahan sosial, dimana wacana yang
dilakukan semakin banyak dan bercampur sementara teks yang dirujuk juga semakin
banyak melengkapi, berpengaruh satu dengan yang lainnya (intertekstualitas).
Intertenkstualitas mengacu pada kondisi tempat begantungnya peristiwa komunikatif
pada peritiwa-peristiwa terdahulu atau bisa disebut sebagai rantai tekstual.
Antar kewacanaan. Mengacu pada pengaruh kesejarahan terhadap satu teks dan
bagaimana pengaruh teks terhadap sejarah. Teks bergantung terhadap teks terdahulu dan
berkontribusi pada perkembangan sejarah.
Fokus Analisis Wacana Kritis
18
Teks. Seperti disebutkan di atas, fokus analisis wacana terdapat pada tiga ranah,
teks, praktik wacana dan praktik sosial. Pada ranah teks, ciri-ciri linguistik menjadi
penting untuk dianalisis sebab hal ini mempengaruhi terhadap proses produksi dan
konsumsi teks. Ciri-ciri linguistik meliputi kosa kata, tata bahasa, entitias, koherensi dan
tergantung pada aliran wacana utnuk memproduksi wacana, dan penerima teks
menerapkan aliran wacana yang ada dalam mengonsumsi dan menafsirkan teks.
Konteks dalam Penelitian Ini
Penelitian ini berusaha mengeksplorasi hubungan kewacanaan antar satu wacana
dengan yang lain dalam rangka untuk mengidentifikasi potensi perubahan sosial yang
mungkin dari peristiwa wacana pasal 12 UU Sisdiknas tahun 2003. Pemeriksaan
kebahasaan dilakukan untuk melihat pola wacana, ideologi dan agen-agen wacana yang
muncul. Pemeriksaan juga dilakukan pada praktik wacana, terutama darimana mana
wacana bergulir, dilakukan dengan saluran wacana mana, oleh siapa, dan lalu bagaimana
konsumsi wacana dilakukan baik oleh golongan pro maupun kontra UU Sisdiknas 2003.
Praktik sosial lain akan diperiksa baik dari praktik kewacanaan meliputi proses
politik dan sejarah latar belakang, juga dari praktik non kewacanaan meliputi
ketersediaan infrastruktur politik penunjang berlakunya praktik wacana.
Analisis sosial selain analisis wacana juga didukung oleh analisis politik
mengenai pembagian ruang publik dan prifat, serta analisis mengenai kecenderungan
wacana moral, apakah bersifat visoner dan dingin atau reaktif dan panik.
Analisis Sosial Lainnya
Analisis sosial dalam kajian ini akan diperkuat dengan memanfaatkan teori privat-
publik dari Chocran dan teori kepaikan moral dari Kenneth Thompson. Kedua analisis ini
akan disajikan dalam bab tersendiri.
F. Kajian Pustaka
19
Mengkaji hubungan agama dan negara dalam wacana pro kontra UU Sisdiknas
mengasumsikan adanya berbagai persoalan dalam masyarakat mengenai hubungan agama
dan negara. Masalah-masalah sosial yang dialami oleh bangsa Indonesia sejak menjelang
runtuhnya rejim Suharto hingga era reformasi sangat banyak dan kompleks. Krisis
moneter pada tahun 1997 ditandai dengan likuidasi bank-bank bermasalah, berlanjut
menjadi krisis ekonomi secara lebih luas dengan naiknya harga kebutuhan pokok yang
tidak terkendali sehingga sangat menyengsarakan masyarakat. Kondisi ini memicu krisis
sosial secara lebih luas ditandai dengan unjuk rasa dimana-mana menuntut penurunan
harga, penyelesaian pengangguran, penuntasan KKN, pembubaran dwi fungsi ABRI,
pengadilan Suharto dan lain-lain. Kerusuhan-kerusuhan tak terkendalikan yang memaksa
presiden Suharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden pada tanggal 22 Mei tahun
1998.
Masalah-masalah ini muncul sebagai ujud dari salah urus pemerintahan yang
dipenuhi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, mandeknya mekanisme demokrasi,
system hukum yang masih diskriminatif, penegakan hukum yang lemah yang
kesemuanya memiliki dimensi moralitas yang kritis. Agama memiliki arti penting untuk
dibicarakan dalam konteks ini sebagai lembaga sosial yang berurusan dengan perbaikan
moral. Peran agama dalam perbaikan moral ini menjadi isu krusial dalam pro kontra UU
Sisdiknas. Agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal hal-hal yang
disandarkan pada kekuasaan yang adi kodrati yang berada di luar kontrol manusia.
Agama meliputi dimensi pikiran, perasaaan dan tindakan.29 Agama dalam penelitian ini
juga merujuk pada agama yang terorganisir, bukan suatu keyakinan individual tanpa
suatu komunitas keagamaan atau semisalnya.30 Selain itu demi kelancaran analisis dalam
penelitian ini cakupan arti agama juga meliputi kelembagaan agama, tokoh-tokoh dan
penganutnya.
Perhatian terhadap moral dalam kaitan dengan kehidupan politik bernegara
banyak dibahas dalam literatur etika politik, baik yang bersifat teoritis maupun analisis.
Secara teoritis banyak kajian mengaitkan antara agama dan negara dalam pengalaman-
29 Cochran, Clarke E., Religion in Public and Private Life. (New York and London: Roudledge, 1990) hal.7.30 Bdk. dengan Marsden, George M., Agama dan Budaya Amerika, alih bahasa oleh B. Dicky Soetadi(Jakarta: kerjasama Pustaka SInar Harapan dan USIS Jakarta, 1996), hal. 6
20
pengalaman masyarakat yang berbeda. Pengalaman masyararakat liberal misalnya dapat
dilihat dalam buku karya Robert Audi berjudul Agama dan Nalar Sekuler Dalam
Masyarakat Liberal (Yogyaikarta: UII Press, 2002) yang menjelaskan prinsip Pemisahan
Agama dan Negara, pandangan baik dari sisi agama maupun politik, dan usulan integrasi
agama, etika dan demokrasi. Muhammad Abid Al-Jabiri dalam bukunya berjudul Agama,
Negara dan Penerapan Syari’ah (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001) menjelaskan
konteks kemunculan dan perkembangan paham sekularisme dalam bentuk pemisahan
agama dan negara untuk membedakannya dengan pengalaman masyarakat Arab Islam
dalam dinamika hubungan agama dan negara. Menurutnya masyarakat Arab Islam tidak
mengalami sejarah pemisahan agama dan negara, sehingga ide sekularisme cukup asing.
Jika sekularisme muncul dipermukaan, maka sesungguhnya hal itu merupakan
representasi dari masalah-masalah regional Arab dalam kadar yang berbeda-beda di
negara-negara Arab, misalnya masalah kemerdekaan negara-negara Arab Timur dari
Kesultanan Turki Utsmani, diskriminasi kelompok minoritas, penerapan demokrasi yang
tidak berkembang dan lain-lain. Hal yang penting dicatat dari Al-Jabiri adalah usahanya
dalam penerapan etika politik dalam negara-bangsa modern dengan prinsip agama
sebagai perwujudan kebaikan umum (mashlahah) dan penghindaran keburukan
(madlarat).
Kajian agama dan negara cukup banyak memenuhi literatur Islam Indonesia,
namun yang relevan kaitan hubungan agama dengan negara dan peran agama dalam
kehidupan publik-privat tidak banyak. Jazim Hamidi dan M. Husin Abadi dalam buku
mereka berjudul Intervensi Negara terhadap Agama, Studi Konvergensi atas Politik
Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: UII Press,
2001) memberikan pengalaman kebijakan-kebijakan negara yang mendiskriminasi
kebebasan beragama di Indonesia. Anas Saidi dan kawan-kawan dalam bukunya berjudul
Menekuk Agama, Membangun Tahta, Kebijakan Agama Orde Baru (Jakarta: Desantara,
2004) memberikan studi kasus beberapa pengalaman diskriminasi agama di nusantara
yang dilakukan oleh rejim Orde Baru. Dalam buku ini juga diberikan wawasan
kebijakan-kebijakan mengenai agama pada masa Kolonial Belanda dan Jepang, masa
Orde Lama dan masa Orde Baru.
21
Dari tulisan-tulisan tersebut, kajian yang berbicara secara khusus mengenai
kehidupan privat, kehidupan publik, agama dalam kehidupan privat dan publik, batas
antara agama dan politik, masih belum banyak dilakukan. Kajian hubungan agama dan
negara dalam pengalaman pro kontra UU Sisdiknas ini diarahkan untuk mengeksplorasi
wacana kehidupan publik dan privat yang muncul darinya. Melalui konsep publik-privat
hubungan agama dan negara akan dikaji untuk melihat pandangan-pandangan mengenai
kewenangan agama dan politik (negara) dalam masalah publik dan privat.
Terkait dengan masalah rumusan pengertian, istilah negara penulis maksudkan
sebagai suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang
sah dan yang ditaati oleh rakyatnya. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik,
merupakan organisasi pokok dalam kekuasaan politik dan memiliki unsur-unsur wilayah,
penduduk, pemerintah dan kedaulatan.31 Sedangkan politik kami artikan secara lebih luas
sebagai hal-hal yang menyangkut penyebaran dan operasi kekuasaan, baik oleh negara
maupun satuan politik lainnya.32
Buku mengenai hubungan agama dan negara yang dijadikan acuan dalam thesis
ini adalah Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, karya Muhammad Abid Al-Jabiri,
alih bahasa oleh Drs. Mujiburrahman, MA. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001).
Dalam buku ini diperlihatkan konteks muncul dan berkembangnya gagasan pemisahan
agama dan negara serta posisi Islam dalam menghadapinya. Literatur mengenai
dinamikan hubungan agama dan negara di Indonesia penulis ambil dari karya Jazim
Hamidi S.H., M. Hum dan M. Husnu Abadi., S.h., M. Hum. berjudul Intervensi Negara
terhadap Agama, Studi Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi
Peradilan Agama di Indonesia. (Yogyakarta: UII Press, 2001) dan buku karya Anas
Saidi, (ed.) berjudul Menekuk Agama, Membangun Tahta, Kebijakan Agama Orde Baru
(Jakarta: Desantara, 2004).
Literatur mengenai publik dan privat penulis ambil dari buku karya Clarke E.
Cochran berjudul Religion in Public and Private Life (New York and London:
Roudledge, 1990) dan buku karya Dr.Haryatmoko berjudul Etika Politik dan Kekuasaan
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).
31 Budiardjo, Miriam, Prof., Dasar-Dasar Ilmu Politik. Hal. 8, 38, 41-44.32 Turner, Graeme, British Cultural Studies, An Introduction, (London and New York: Roudledge, 1996.
22
Literature mengenai moral dan pendidikan agama penulis ambil dari karya A.
Sudiarja, SJ berjudul Norma-norma di Taman Etika, dalam buku Sesudah Filsafat Esai-
Esai untuk Franz Magnis-Suseno (Yogyakarta: Kanisius, 2006), buku karya Kenneth
Thompson berjudul Moral Panics (London and New York:1998) dan karya Luther S.
Luedtke berjudul Mengenal Masyarakat dan Budaya Amerika Serikat (Jilid II), alih
bahasa oleh Hermoyo dan Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994) dan
buku berjudul Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam karya Ahmad A Sofyan dan
M. Roychan Madjid (Bandung: Titian Ilahi Press, 2003).
Kajian selanjutnya adalah kajian isi dari data-data yang telah dikumpulkan
mengenai hubungan agama dan negara dalam pro kontra UU Sisdiknas dari harian baik
cetak maupun elektronik dan dari rekaman proses rapat-rapat pembahasan UU Sisdiknasi
di DPR.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan kajian penelitian hubungan agama dengan negara dengan mengambil
kasus pro kontra UU Sisdiknas ini akan disusun dalam lima bab. Bab pertama adalah
pendahuluan, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, metodologi
penelitian, studi pustaka dan sistematika pembahasan.
Bab kedua membahas krisis multi dimensional bangsa dan solusi negara, berisi
konteks sosial politik era reformasi, wacana negara menjawab tantangan krisis, dan
respon masyarakat .
Bab ketiga membahas pasal 12 UU Sisdiknas dan wacana hubungan agama dan
negara, meliputi hubungan agama dan negara belum selesai, kebijakan negara atas
agama, respon masyarakat dan model hubungan agama dan negara.
Bab keempat membahas agama dalam kehidupan privat dan publik, meliputi
pembahasan pengertian publik dan privat, agama dan politik, respon masyarakat dan
kerentanan agama dalam politik.
Bab kelima membahas peran agama dalam membentuk moral bangsa, meliputi
pembahasan mengenai agama dan pendidikan moral, problem moral bangsa dan etika
politik, persoalan pendidikan agama di Indonesia, respon masyarakat dan pluralisme dan
pembaharuan pendidikan agama.
23
Bab keenam penutup, berisi kesimpulan dan rekomendasi.
24
BAB II
KRISIS MULTI DIMENSIONAL DAN SOLUSI NEGARA
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai bagaimana negara merespon masalah
krisis multidimensional dan bagaimana negara mengajukan cara penyelesaian melalui
perbaikan moral melalui inisiatif amandemen UU Sisdiknas. Dalam bab ini juga
dipaparkan mengenai respon masyarakat atas kebijakan negara dalam menyelesaikan
masalah krisis moral melalui pengesahan UU Sisdinas No. 20 tahun 2003.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 digagas pada tahun 2002 oleh tim khusus
yang disebut Komite Reformasi Pendidikan. Komite Reformasi Pendidikan ini
menghasilkan rancangan akademik yang selanjutnya menjadi dasar perumusan RUU
Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian disahkan menjadi UU Sisdiknas pada
tanggal 11 Juni 2003. Naskah akademik yang mendasari perumusan RUU Sisdiknas
dimaksudkan menjawab tiga masalah mendasar yaitu pertama, krisis ekonomi yang
berujung pada krisis moral, kedua, kecenderungan ekonomi yang tidak mungkin
dielakkan dan ketiga, kecenderungan demokratisasi yang muncul sejak tanggal 22 Mei
1998 ketika presiden Suharto lengser keprabon.1
Latar belakang masalah yang diajukan Komite Reformasi Pendidikan yang
kemudian mendasari perumusan RUU Sisdiknas perlu dicermati lebih lanjut untuk
mendefinisikan ulang persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia
sehingga membutuhkan UU Sisdiknas Baru menggantikan UU Sisdiknas lama, yaitu UU
No.2 tahun 1989.
A. Konteks Sosial Politik Era Reformasi
Ada beberapa peristiwa penting melatari lahirnya UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas. Beberapa peristiwa sosial politik itu antara lain pertama, pergantian rejim
totaliter oleh rejim demokrasi, kedua, perubahan tatanan hukum ketatanegaraan, ketiga,
konflik sosial politik yang terus bergolak dan keempat, lemahnya penegakan hukum,
kelima, kebijakan privatisasi.
1 Dharmaningtyas, Politisasi Pendidikan Agama di Sekolah, Basis Nomor 07-08, Tahun ke-52, Juli-Agustus 2003, hal. 18
25
Pertama, pergantian rejim totaliter menuju demokrasi. Suharto turun dari
jabatannya sebagai presiden pada tanggal 22 Mei tahun 1998 setelah dituntut oleh
berbagai pihak masyarakat melalui berbagai macam unjuk rasa baik melalui demonstrasi
maupun cara-cara lainnya. Krisis moneter yang tidak cepat teratasi membawa dampak
yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya berupa hancurnya tatanan sosial ekonomi.
Nilai mata rupiah turun drastis setahap demi setahap sampai titik yang paling rawan di
atas angka 10 ribu rupiah. Pembangunan ekonomi menghadapi masalah kemacetan kredit
karena naiknya mata uang, larinya investor karena ketidakaman ekonomi, permainan jual
beli uang dan valas oleh para pemegang kapital, pelarian dana ke luar negeri,
dibubarkannya bank-bank yang tidak sehat. Hal-hal ini menyebabkan dunia ekonomi
tidak terkendali, harga-harga naik tidak terkontrol, masyarakat kesulitan mendapatkan
sembilan bahan pokok (sembako), banyak perusahaan gulung tikar sehingga
pengangguran ada di mana-mana dan terus naik. Beberapa usaha pemerintah untuk
memperbaiki kondisi ekonomi sepertinya berjalan sangat lambat karena salah satunya
tidak didukung dengan budaya hukum yang jujur. Banyak dana yang diatujukan untuk
perbaikan bank melalui bantuan BLBI malah menjadi lading korupsi oleh para pejabat
dan birokrasi terkait.
Gerakan mahasiswa bersama dengan masyarakat berada di garis depan dalam
menuntut kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat. Demonstrasi terjadi di mana-mana
hampir setiap hari. Masyarakat menuntut turunnya harga sembako, mahasiswa
memperkuat tuntutan masyarakat, menuntut pembubaran dwi fungsi ABRI dan menuntut
turunnya Suharto dari jabatannya sebagai presiden.
Wakil presiden Habibie dilantik oleh MPR menggantikan Suharto sebagai
presiden RI tahun 1998-1999. Habibie mengubah cara kepemimpinan totaliter
pendahulunya dengan cara yang lebih demokratis, terutama kelihatan dari peristiwa jajak
pendapat untuk masyarakat Timor Timur yang mendapatkan protes dari banyak pihak.
Hasilnya adalah lepasnya Timor-Timur dari kedaulatan Indonesia. Pada tahun 1999
pemilu diadakan untuk memilih calon legislatif dan presiden secara langsung. Tidak
kurang dari 48 partai politik menjadi peserta pemilu tahun 1999.2 Pemilu berikutnya
2 Kompas, Sabtu 6 Maret 1999.
26
adalah pemilu presiden yang dimenangkan oleh Gus Dur berpasangan dengan Megawati
Sukarnoputri.
Kedua, perubahan kelembagaan dan tata hukum yang menunjukkan desentralisasi
kekuasaan dan harapan proses demokratisasi politik. Dalam ketatanegaraan, terdapat
beberapa produk hukum dihasilkan pada masa ini yaitu Amandemen UUD 1945 dan
Undang-undang Otonomi Daerah. Amandemen UUD 1945 berlangsung selama empat
kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.3 Amandemen UUD 1945 konstitusi ini
mengubah tatanan politik dari pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan
politik. Konsekuensi Amandemen UUD 1945 adalah adanya perubahan kelembagaan
negara dan mekanisme ketatanegaraan. Secara kelembagaan, ada perubahan dalam
lembaga legislative. MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak lagi dikenal dan mulai
dikenalkan adanya parlemen yang terdiri dari DPR yang merupakan representasi dari
partai politik dan DPD yang merupakan representasi dari kepentingan lokal.
Lembaga judicativ juga berkembang dengan munculnya Mahkamah Konstitusi
yang berperan sebagai penjaga konstitusi. Ketidakjelasan tatanan hukum dan
penyelewengan terhadap konstitusi pada sebuah peraturan dapat diajukan perkaranya
melalui Mahkamah Konstitusi.
Dengan filosofi pemisahan kekuasaan dan pembaruan lembaga menjadi parlemen,
fungsi dan mekanisme pengawasan antar lembaga negara menjadi sangat efektif yang
sebelumnya tidak berjalan, terutama dari badan legislatif terhadap lembaga eksekutif.
Kini lembaga pengadilan juga tidak sulit untuk mengajukan perkara anggota DPR yang
melanggar aturan legislative ke pangadilan. Konsekuensi lainnya dari Amanndemen
UUD 1945 adalah runtuhnya mitos bahwa UUD 1945 tidak dapat diubah seperti yang
terjadi pada rejim Orde Baru.
Prestasi berikutnya adalah Undang-Undang Otonomi Daerah. Melalui undang-
undang ini wewenang pusat dibatasi secara sangat signifikan dari masa sebelumnya
menjadi lima wilyah yaitu pertahanan keamanan, keuangan dan viskal, agama, hukum
3 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam SatuNaskah (Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2004)
27
dan hubungan luar negeri. Melalui undang-undang ini pengelolaan berbagai hal
pembangunan dikonsentrasikan di daerah, termasuk pengelolaan pendidikan nasional.4
Prestasi hukum lainnya yang menonjol adalah diberlakukannya Undang-Undang
Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada tahun 2001 yang secara radikal menandai
berubahnya status keluarga dari wilayah hukum privat menjadi wilayah hukum publik
dalam hal kejadian kekerasan. Perspektif gender mendasari perumusan Undang-Undang
ini yang dipelopori oleh kelompok masyarakat sipil terutama dari gerakan perempuan.
Pada tahun 2001 juga dicanangkan gerakan pengarusutamaan gender dalam kebijakan
pemerintah.
Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Prestasi dalam perubahan kelembagaan
hukum dan mekanisme kearah yang lebih demokratis belum diimbangi dengan
penegakan hukum yang baik. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih mewarnai dunia
kekuasaan dan peradilan. Banyak kasus hukum tidak tuntas, para koruptor dibebaskan,
mafia peradilan merajalela. Indonesia mengalami krisis kepercayaan karena lembaga
peradilan sebagai senjata paling akhir menyelesaikan masalah hukum tidak dapat
berfungsi dengan baik. Namun sedikit demi sedikit penegakan hukum mulai dapat
dilakukan meskipun masih kurang memadai dibandingkan dengan perkara yang harus
diselesaikannya. Misalnya penuntasan kasus korupsi, sedikit demi sedikit para koruptor
diperkarakan di pengadilan di berbagai pengadilan baik di Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah. Oleh karena itu banyak pengamat masih melihat adanya upaya
tebang pilih dalam menyelesaikan kasus korupsi.
Keempat, kebijakan privatisasi. Pada tahun 2003 ditandatangi letter of intens
paket utang dari IMF sebesar 400 juta dolar AS oleh pemerintahan Megawati.
Peminjaman hutang luar negeri harus diikuti dengan penyesuaian struktural (structural
adjustment) berupa pembukaan pasar bagi investasi dan produk asing, pengurangan
subsidi dan pelaksanaan privatisasi BUMN. Ini menandakan bahwa pemeritnah belum
memperhatikan nasip masyarakat yang akan menanggung semua beban hutang di masa
depan, kekalahan dari pasar pihak asing yang bebas masuk Indonesia, kenaikan harga
minyak dan BBM disertai dengan kenaikan harga segala hal kebutuhan pokok di pasar,
dan hilangnya kekayaan rakyat dalam BUMN karena dialih statuskan menjadi milik
4 Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1999).
28
pribadi para pemodal besar. Privatisasi tidak saja dialami oleh perusahaan BUMN namun
juga oleh lembaga-lembaga pendidikan yaitu perguruan tinggi seperti yang sudah
dipelopori oleh UI dan UGM. Orang dengan kemampuan ekonomi biasa tidak akan
mampun sekolah di dua universitas tersebut karena berbeaya tinggi.
B. Wacana Negara Menjawab Tantangan Krisis
Pada rapat paripurna DPR RI tertanggal 27 September 2001 pemerintah sebagai
pengusul inisiatif amandemen UU Sisdiknas No. 2 tahun 1989 memberikan penjelasan
mengenai inti dari usulan inisiatif. Inisiatif ini didasarkan atas empat tantangan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia yaitu pertama, pemerataan pendidikan didasarkan atas
fakta adanya ketimpangan dan ketidakadilan dalam penyediaan budget pendidikan, kedua
relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia kerja untuk menjawab kebutuhan pekerjaan
bagi lulusan sekolah sampai tingkat perguruan tinggi yang semakin banyak menganggur,
ketiga peningkatan mutu pendidikan dimana Indonesia merupakan negara yang memiliki
skor rendah dibanding negara-negara Asia dan keempat, efisiensi pengelolaan pendidikan
melalui pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pada latar belakang di atas beberapa wacana dimunculkan sehubungan dengan
ekonomi, yakni biaya pendidikan, ketiga, wacana kualitas pendidikan, dimana mutu
pendidikan di Indonesia masih rendah, dan keempat, wacana manajemen pendidikan.
Wacana-wacana ini dijadikan sebagai latar belakang pentingnya UU Sisdiknas baru.
Namun selain isu yang secara formal merupakan alasan dasar usulan RUU Sisdiknas,
terdapat wacana yang penting untuk diperhatikan yaitu wacana pendidikan agama.
Pendidikan agama bukan merupakan alasan formal yang diwacanakan oleh
pemerintah. Namun wacana ini justru yang menggugah publik untuk terlibat karena sifat
kontroversialnya. Dalam rapat Paripurna DPR RI itu pemerintah menyampaikan bahwa
terdapat masalah besar yang mengancam kehidupan bangsa jika tidak segera dibenahi
melalui system pendidikan yang baru. Masalah itu adalah kemerosotan akhlak dan
ancaman adanya generasi yang hilang (lost generation). Bagi pemerintah, ancaman ini
tidak terlepas dari lemahnya system pendidikan sebelumnya yang lebih menggunakan
pendekatan kecerdasan otak daripada pendidikan agama.
29
Pemerintah juga menyampaikan mengenai wacana pendukung lainnya bagi
adanya UU Sisdiknas antara lain 1) tunttan reformasi, 2) demokratisasi, 3) otonomi, 4)
desentralisasi, 5) kemajuan teknologi dan industry. lainnya adalah mengenai tuntutan
reformasi berupa demokratisasi, otonomi dan desentralisasi dalam bidang pendidikan dan
tuntutan kemajuan teknologi dan industri.
Ketika pemerintah mengajukan usulan RUU Sisdiknas pada tahun 2001 di atas,
pemerintah telah memiliki lembaran yang dibacakan di depan siding paripurna DPR.
Kalimat-kalimat yang disusun dan disampaikan menunjukkan ketegasan pendapat dengan
memberikan latar belakang masalah, mengusulkan masalah, dan mengelaborasi masalah
dalam persidangan.
Wacana yang diproduksi pemerintah, dan kemudian diterima oleh DPR sebagai
bahan keputusan sidang memberikan makna yang tegas mengenai perlunya UU Sisdiknas
Baru. Ada hal yang menarik dari hubungan antar wacana yang disampaikan oleh
pemerintah, yakni menguatkan wacana pendidikan agama dibanding dengan wacana
lainnya. Hal ini dibuktikan dari respon masyarakat luas terhasap wacana pendidikan
agama tersebut.
Terdapat perubahan mendasar atas masalah yang dihadapi dunia pendidikan. Usul
pertama terkait dengan Inisiatif ini didasarkan atas empat tantangan yang dihadapi dunia
pendidikan namun beralih ke masalah di luar pendidikan. Bahkan kemudian tekanan
dialihkan kepada masalah pendidikan Agama! Rendahnya mutu pendidikan yang
menyebabkan merosotnya akhlak disebabkan karena pendidikan yang menekankan pada
pendekatan akal dan bukan pendekatan agama. Melalui hal ini pemerintah melupakan
masalah pendidikan umum dan masalah dibelokkan pada penekanan pendidikan agama
untuk menghindari kemungkinan hilangnya generasi karena tidak berakhlak.
Penekanan RUU Sisdiknas yang dialihkan pada masalah pendidikan keagamaan
ini ada kaitannya dengan dua fenomena dalam dunia sosial politik mengiringi turunnya
rejim Suharto. Pertama, kepanikan moral yang menghantui masyarakat.5 Hal ini dapat
5 Kepanikan moral yang biasa dikaji oleh sosiologi biasanya mengacu pada keadaan tertentu yangdikhawatirkan masyarakat akan mengubah pola aturan moral lama terganggu, misalnya kriminalitas,aktifitas anak-anak muda pada musik jazz dan musik rocken role pada tahun 1950-an di Inggris yang yangdikhawatirkan membawa perilaku anti social dan promiskuitas, kebiasaan anak-anak muda minum di bar-
30
dilihat dari banyaknya ungkapan masyarakat mengenai ‘reformasi kebablasan’ jika
menyaksikan demonstrasi, kerusuhan-kerusuhan dan terutama pers yang semakin bebas
menayangkan adegan pornografi, baik cetak maupun elektroni. Kedua, kecenderungan
melihat merosotnya akhlaq dari tanggungjawab individual. Kemerosotan akhlaq tidak
dilihat sebagai hal yang bersifat struktural, dimana struktur budaya politik memberikan
situasi untuk berkembangnya sikap hipokrit dan mental korups karena tradisi militeristik
rejim Suharto yang masih berlanjut hingga era reformasi. Ada reduksi pengertian dan
kekaburan pemahaman mengenai hubungan agama dan struktur sosial, sehingga pilihan
perbaikan akhlak difokuskan pada pendidikan agama dengan sasaran individu-individu.
Dan pendidikan agama ini menjiwai UU Sisdiknas yang kemudian disahkan.
Catatan kedua, terdapat masalah kontradiktif dari hasil rapat DPR mengenai
jaminan pendidikan bagi warga negara di satu sisi dan kebijakan privatisasi dalam
pengelolaan pendidikan di sisi yang lain. Penyediaan subsidi pendidikan sebanyak 20%
dari total anggaran APBN merupakan jawaban atas klausul jaminan pendidikan untuk
rakyat. Namun pada sisi yang lain semangat demokratisasi yang dilandasi oleh kebijakan
otonomi daerah dan tuntutan globalisasi di dunia kerja diterjemahkan dengan
kecenderungan pengelolaan pendidikan yang mendorong semangat swastanisasi
pendidikan. Kecenderungan privatisasi dapat dilihat dari dua ide, pertama pendekatan
pelibatan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan dimaknai sebagai keterlibatan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan terutama faktor dana, dan kedua
pembuatan status badan hukum bagi universitas yang dimaknai sebagai otonomi dalam
pendapatan dan pengelolaan keuangan kampus, seperti yang sudah diterpakan oleh UGM
di Yogyakarta dan UI di Jakarta. Meskipun dalam rapat DPR hal ini dibicarakan,
pembahasannya tidak sampai pada inti masalah. Pada akhirnya semangat untuk
memberikan jaminan atas pendidikan bagi warga melalui subsidi 20% APBN tidak
memiliki kontribusi ketahanan masyarakat untuk masuk perguruan tinggi yang beayanya
sangat mahal. Sudah banyak contoh mahasiswa yang sudah diterima di UGM pada tahun
2003 tidak melanjutkan kuliahnya karena tidak kuat membayar dana pendidikan. Warga
bar yang dikhawatirkan mempengaruhi perilaku moralnya, gerakan perempuan dengan symbol bra-burnstahun 1960-an yang dikhawatirkan akan permissive terhadap seks, aktifitas pemalakan dari anak-anakmuda kulit hitam pada tahun 1970-an yang dikhawatrikan mengganggu ketertiban dan hukum (K.Thompson: 1999, 1).
31
negara akan terus berada dalam kerugian ketika kelembagaan hukum dan
penyelenggaraan pendidikan “dibiarkan” memakai mekanisme swastanisasi.6
C. Respon Masyarakat
Pada tahun 2002 banyak usulan dan dengar pendapat dari tokoh-tokoh elit
masyarakat ke DPR baik dari lembaga keagamaan maupun para pakar pendidikan dan
tokoh-tokoh masyarakat umum. Pada intinya ada harapan yang besar terhadap UU
Sisdiknas baru karena UU Sisdiknas 1989 sudah tidak memadai. Beberapa isu
dimunculkan seperti pentingnya agama, pendidikan usia dini, prinsip nasionalisme dan
NKRI, pentingnya konsep yang singkat dan padat dan sebagainya. Diantara ormas
keagamaan tersebut antara lain Ormas tersebut di antaranya Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia
(ICMI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia
(KWI), Perwalian Umat Buddha (Walubi), Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI),
dan Taman Siswa.7 Tokoh-tokoh yang terlibat merespon sejak awal antara lain wakil
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Sunarno dari Taman Siswa, Guru
Independen Indonesia (FGII) Bandung Kongres I FGII yang berlangsung di Bandung, 8-
11 Juli 2002, 26 organisasi guru independen dari seluruh Indonesia Ikatan Guru Honorer
Indonesia (IGHI) Sumatera Barat dan Persatuan Guru Tidak Tetap Indonesia (PGTTI)
Jawa Timur,8 dan sebagainya.
Masyarakat tidak banyak terlibat menanggapi usulan UU Sisdiknas baru sampai
awal Maret 2003 ketika pemerintah mengajukan rancangan tandingan UU Sisdiknas
tanpa menyertakan sandingannya dari versi DPR. Ketika berita itu dipublikasi, maka
respon terus mengalir baik yang pro maupun kontra sampai disahkannya UU Sisdiknas
No. 20 tahun 2003. Respon yang paling banyak dikeluarkan adalah soal pendidikan
agama dalam pasal 12 UU Sisdiknas.
Berita media masa sebagai saluran wacana respon masyarakat ini menunjukkan
dinamika yang menarik untuk dikaji. Pertama, proses komunikasi politik di dunia publik
mengenai RUU Sisdiknas pada mulanya telah diikuti oleh para elit masyarakat dari
6 Bdk. Dharmaningtyas, Ibid.7 Kompas, Kamis, 20 Juni 20028 Kompas, Sabtu, 13 Juli 2002
32
berbagai golongan di masyarakat. Dinamika wacana politik para elit tidak menujukkan
perubahan sosial secara partisipatif, namun ada kemungkinan akan terwujud kebijakan
pendidikan yang mengikat publik secara keseluruhan. Kedua, produksi wacana melalui
saluran media massa sangat berbeda dampak sosialnya dengan sosialisasi dengan cara
lain tanpa melibatkan media secara massif. Sosialisasi yang telah dilakukan pemerintah
meliputi 1) menyampaikan pendapat dalam rapat dengar pendapat, 2) menyampaikan
surat kepada dewan, 3) melalui forum sosialisasi yang dilakukan DPR kepada masyarakat
di 5 kota besar di Indonesia tidak cukup mengundang publik untuk terlibat secara itnens
kecuali elit-elit tertentu. Hal ini mengingatkan tentang peran media sebagai saluran
wacana dapat memproduksi wacana secara massif dan dikonsumsi publik secara dinamis.
Ketiga, wacana pendidikan agama yang mendominasi wacana publik yang dimunculkan
dari media massa mengundang publik secara antusias terlibat untuk merespon RUU
Sisdiknas sampai dengan pengundangannya.
D. Kesimpulan
Sebagai rangkuman dari pembahasan di atas ada beberaopa hal yang dihasilkan
dari pembahasan pada bab ini. Pertama wacana pemerintah untuk mengusulkan UU
Sisdiknas mendasarkan pada alas alasan peningkatan pendidikan dari sisi pemerataan,
beaya pendidikan yang memberatkan, manajemen efektifitas pendidikan dan tuntutan
reformasi untuk keterlibatan publik. Kedua, saluran wacana yang dipilih memberikan
dampak berbeda terhadap produksi dan konsumsi atas teks yang dihasilkan dalam
wacana. Publik merespon wacana pemerintah media masa memuat melalui berita
mengenai isu RUU Sisdiknas terutama dalam hal arah pendidikan agama. Ketiga, DPR
sebagai konsumen wacana dari pemerintah memproduksi wacana baru kepada melalui
media massa yang dikonsumsi oleh masyarakat dengan menghasilkan wacana dominan
baru yang mewarnai perspektif RUU Sisdiknas, yaitu pendidikan agama.
33
BAB III
PASAL 12 UU SISDIKNAS
DAN WACANA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
Bab ini membahas tentang wacana hubungan agama dan negara belum selesai
dipetik dari pelajaran pro dan kontra UU Sisdiknas. Pembahasan hubungan agama dan
negara juga akan melibatkan kajian mengenai akar kebijakan negara atas agama sejak
jaman Kolonial hingga rejim Orde Baru dan model-model hubungan agama dan negara
yang pernah ada. Penelusuran akar sejarah dan akar ideologis ini bertujuan untuk mencari
keterkaitan dan menguatkan ingatan mengenai hubungan agama dan negara sebagai
pijakan untuk menuju wacana hubungan agama dan negara secara lebih matang.
A. Hubungan Agama dan Negara Belum Selesai
Pro kontra pasal 12 UU Sisdiknas mengenai hak peserta didik memperoleh
pendidikan agama dari pengajar yang seagama mendapatkan respon yang luar biasa dari
masyarakat yang jarang terjadi di masa sebelumnya. Berbagai kelompok masyarakat dari
berbagai kalangan dan agama serta tokoh-tokoh masyarakat turut andil dalam
membicarakan, mendiskusikan, mengusulkan, mengkritik, menentang atau mendukung
terhadap UU Sisdiknas baik yang berkaitan secara khusus dengan pasal 12 atau secara
umum dengan keseluruhan batang tubuhnya. Pada waktu menjelang pengesahan UU
Sisdiknas ini pada tanggal 11 Juni 2003 reaksi masyarakat menyebar di berbagai kota di
Indonesia seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Flores, Meumere, Papua dan lain-lain.1
Pihak-pihak yang terlibat dalam pro kontra juga sangat beragam. Kelompok-
kelompok pendukung terdiri dari individu tokoh masyarakat dan agama dan organisasi-
organisasi kepemudaan, kemahasiswaan, sosial dan keagamaan. Beberapa yang
diidentifikasi penulis misalnya sebagai berikut:
1 www.mirifika.net., sepanjang bulan April 2003.
34
1. Kelompok Masyarakat Pro Kontra UU Sisdiknas2
No. Pihak Yang Mendukung UU Sisdiknas Pihak Yang Menolak UU Sisdiknas1. Aliansi Pemuda dan Pelajar Indonesia MPPN (Masyarakat Prihatin Pendidikan
Nasional) Jakarta2. PMII Kalimantan Selatan SMU Salam Kudus, SMU Methodist, PT S.
Thomas,3. Para Ulama Pesantren Liga Nasioanl Mahasiswa Untuk Demokrasi
(LMND) di Kupang NTT4. Wapres HAmzah Haz Gereja Masehi Injili Timor (GMIT)5. ForumKomunikasi Lembaga Dakwah, DKI,
43 orangSTFK Ledalero dan LSM Meumere
6. AM Fatwa, ketua fraksi reformasi 2000 pelajar di Bajawa Flores7. Din Syamsuddin, Sekjen MUI 5000 pelajar-mahasiswa (Katolik dan Islam) di
Ende Flores8. Ketua DPW Muhammadiah Jatim Prif Dr.
Fasichhul Lisan, juga Ketua MPP HAM yangberanggotakan AL-Irsyad Jatim, HMI Jatim,ICM Jatim, Al-FAlah, Persatuan GuruMuhammadiah,
Prof Dr H Abuddin Nata MA (dosen sejarahdan filsafat pendidikan Islam UIN SyarifHidayatullah)
Forum Lintas Agama (FLA) di Jawa Timur
Dr HA Fathoni Rodli (staf ahli bidangpendidikan Komisi VI DPR
Uskup Agung Kupang
Prof Dr Soedijarto, Ketua Ikatan SarjanaPendidikan (SIPI)
Gerakan Peduli Pendidikan Nasional (GPPN)
Wakil Presiden Hamzah Haz menyatakanMelalui Ketua Umum Al Irsyad Al IslamiahFaruk Zain Bajabir, mengutip pernyataanWapres di Jakarta
Markus Wanandi S.J., coordinator MasyarakatPrihatian Pendidikan Nasional, memimpin 200orang ke DPR,
Aliansi Pelajar Wonogiri (APW),(ditandatangani Ahmad Antoni, KetuaKomunitas Remaja Anti-Narkoba (Koran),Dhani Setiawan, Ketua Kesatuan Aksi PelajarMuslim Indonesia (Kapmi), Adam Palupi,Ketua Himpunan Pelajar Wonogiri (HPW),Siswanto, Ketua Ikatan Pelajar MuslimWonogiri (Ipmi), dan Muhamad Nur Wahid,Ketua Lingkar Studi Pelajar Kreatif (LSPK).
Yanti Muhtar, Forum Kumpul
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)Pekalongan
Beny Susetyo, Rohaniawan, Anggota/wakilGerakan Peduli Pendidikan Nasional Surabaya
Majelis Pengurus Pusat (MPP) IkatanCendekiawan Muslim Indonesia (ICMI): PjKetua Umum MPP ICMI Dr Muslimin
HAR Tilaar
2 Data-data ini diolah dari beberapa harian nasional dan lokal diantaranya harian 1) Kompas baik edisicetak maupun edisi Kompas Cyber Media, diakses melalui www.kompas.com, sejak Juni 2002-Juni 2003,2) harian Suara Pembaharuan yang diakses melalui www.suarapembaharuan.com, terutama untuk bulanMei-Juni 2003, 3) harian The Jakarta Post bulan Mei 2003, 4) harian Warta Kota bulan Mei-Juni 2003, 5)sebuah website yang aktif merelease perkembangan UU Sisdiknas sejak usulan hingga pengesahan yaituwww.mirifica.net.
35
NasutionKasi Madrasah dan Pendidikan Agama(Mapenda) Drs H Musthofa Achmad.
Masyarakat Prihatin Pendidikan Nasional(MPPN) di Jakarta, Bogor, Tangerang, danBekasi beranggota ribuan
Ketua PW Muhammadiyah Jatim Prof DrFasichul Lisan
Sekolah-sekolah swasta Kristen dan Katolik yangada di Medan di Surabaya,
Wakil Sekretaris Dewan Syuro DPP PKB DrKH Nur Iskandar Al Barsani (Gus Nur)
sekitar 300 orang dari 18 kabupaten/kota di JawaTimur yang tergabung dalam Gerakan PeduliPendidikan Nasional
BKS-PTIS pimpinan Drs Qomari Anwar MADewan Syuro DPP PKB
Forum Masyarakat Katolik Indonesia
Keuskupan Agung Jakarta,Prof Dr Ki Supriyoko (Taman Siswa)Gerakan Peduli Pendidikan Nasional Jawa Timur(beranggota lebih kurang 300 orang dari 18kabupaten/kota di Jawa Timur)
2. Sikap terhadap UU Sisdiknas dan dasar alasannya:3
Ada beberapa ide yang menjadi tema pro dan kontra terhadap UU Sisdiknas.
Diantara ide-ide tersebut terdapat tiga buah ide yang sama-sama diangkat oleh kelompok
pro dan kontra diantara tema yang lain, namun mereka berbeda pendapat dalam
menyikapinya. Tiga ide ini antara lain kesesuaian UU Sisdiknas dengan UUD 1945,
peran negara terhadap agama meliputi penyelenggaraan pendidikan dan jaminan agama
atas kebabasan beragama.
Mendukung UU Sisdiknas Karena: Menolak UU Sisdiknas Karena:1. Sesuai dengan UUD 1945 dan HAM- jaminan atas agama-agama
1. Tidak sesuai dengan UUD 1945- jaminan atas kebebasan beragama
2. Peran Negara:- mengakui hak pendidikan agama bagi
pemeluknya dengan guru seagama- mengakui keragaman/pluralitas agama
2. Peran Negara:- mengintervensi lembaga pendidikan
hingga soal teknis- diskriminiasi terhadap agama minoritas
dan kepercayaan3. Pendidikan agama sangat penting 3. Makna agama dipersempit secara formal
4. Visi tidak jelas, tidak mencerdaskankehidupan bangsa, terlalu jauh ke dalamagama5. Mendorong Politik Aliran6. Makna sempit dari nasionalisme7. Proses Tidak aspiratif, tidak akomodatif8. Bahaya Sparatisme dan disintegrasi
3 Diolah dari sumber yang sama dengan sumber-sumber pembahasan kelompok masyarakat pro dan kontraUU Sisdiknas di atas.
36
Analisis Tekstual
Berita media meliputi pro kontra UU Sisdiknas, terutama untuk pasal 12,
memberikan ruang yang sepadan. Hampir semua struktur kalimat meliputi standar
pembuatan berita yakni 5W + 1H, yaitu struktur kalimat memberikan informasi mengenai
apa, siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagiamana peristiwa itu terjadi. Dari sisi uraian
kalimat tidak ada tekanan yang cukup berbeda antara golongan pro dan kontra. Namun
dari sisi pemilihan kata dan wacana yang diangkat sebagai argumentasi cukup menarik
untuk diperhatikan sebagai di bawah ini.
Tiga buah ide yang sama-sama diangkat oleh kelompok pro dan kontra UU
Sisdiknas pada hakikatnya adalah wacana-wacana format RUU, wacana pluralism,
wacana nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan hubungan antar wacana di atas. Kendatipun
istilah yang digunakan sama, namun antara kelompok pro dan kelompok kontra UU
Sisdiknas memiliki rujukan makna yang berbeda antara satu sama lain.
Intekstualitas dan Antar Wacana
Masing-masing pihak pro dan kontra menggunakan wacana ini dengan cara yang
berbeda namun untuk menuju tujuan yang sama, yaitu wacana mereka dapat diterima
secara hegemonik oleh masyarakat. Runtutan peristiwa yang memanjang sampai satu
semester pada awal tahun 2003 juga memberikan kontribusi pada jalinan wacana, atau
anter wacana, untuk member pengaruh satu dengan yang lain. Kesamaan penggunaan
kata dalam memproduksi makna yang berbeda salah satunya merupakan bentuk bahwa
masing-msing pihak belajar kepada wacana pihak lain untuk membangun basis wacana
selanjutnya. Fairclough menyebut hal ini sebagai proses antar wacana yang
mempengaruhi terhadap praktik sosial, sementara Laclau akan menyebutnya sebagai
perjuangan kewacanaan.
Pasal 13 memberikan jaminan pemenuhan hak pendidikan agama bagi peserta
didik dengan pengajar yang seagama dengannya. Kelompok pendukung tampaknya
37
menganggap bahwa menghargai pluralitas agama dimaksudkan agama-agama yang
secara ‘resmi’ diakui di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu.
Sehingga dapat dimaknai peserta didik masing-masing sudah disediakan apa yang
dibutuhkannya, yaitu pendidikan agama dan guru agama. Wacana penguasa memperkuat
hal ini. Hamzah Haz sebagai wakil presiden ketika itu melokalisir masalah pro kontra ke
dalam masalah teknis yaitu pengadaan guru agama yang dikeluhkan sementara sekolah
swasta yang memiliki ciri keagamaan berbeda dengan siswa.
Kelompok penolak UU Sisdiknas melihat bahwa pengakuan pada lima agama
‘resmi’ berarti menyingkirkan agama-agama selain lima agama resmi tersebut yang
jumlahnya sangat banyak di seluruh penjuru Nusantara. Ide kelompok kontra ini
sayangnya tidak disambut dengan argumentasi yang lain dari kelompok pro UU
Sisdiknas. Komunikasi publik pada hakikatnya belum saling bersambung, belum
komunikatif. Efek dari wacana ini pada masyarakat umum akan ditentukan oleh ingatan
publik atas apa yang dimaksud dengan agama yang selama ini mereka terima dari wacana
dominan. Fakta pluralitas agama dan keyakinan di nusantara masih belum mendapatkan
ruang cukup luas dalam pro kontra UU Sisdiknas kendatipun sudah muncul untuk
beberapa saat.
Di samping dua sikap pro kontra yang saling berhadapan, ada pihak lain yang
tidak berada di dalam kedua klasifikasi sikap pro-kontra. Beberapa ide yang muncul dari
golongan yang tidak menentang atau menolak UU Sisdiknas, terkait dengan beberapa hal.
Hal tersebut meliputi sikap dan pandangan berikut: menuntut penangguhan, menuntut
revisi rancangan, memberi komentar mengani konsep yang masih kurang baik,
ketidakjelasan tidak memiliki konsep yang jelas mengenai arah pendidikan dan
sebagainya.
Kelompok ini merupakan memberikan kekayaan wacana lebih lanjut untuk
membangun hubungan antar wacana. Mereka sebagai produsen sekaligus konsumen dari
wacana ini merepresentasikan berbagai kepentingan masyarakat terhadap UU Sisdiknas.
38
3. Potensi Resistensi Masyarakat dalam Partisipasi Publik dalam Wacana Hubungan
Agama dan Negara
Peristiwa komunikatif melalui saluran berita mengenai UU Sisdiknas memberikan
banyak wacana yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Paling tidak ada dua
tatanan wacana politik dapat diidentifikasi, pertama partisipasi masyarakat dalam politik
dan kedua hubungan agama dan negara. Pertama masyarakat berpartisipasi sangat kuat
dalam mendorong adanya UU Sisdiknas seperti yang mereka inginkan masing-masing.
Ini menandakan adanya harapan kehidupan publik yang sehat secara politik. Kehidupan
publik yang sehat terutama ditandai oleh adanya kebebasan, kesetaraan dan partisipasi
aktif. 4
Partisipasi ini memunculkan munculnya budaya keterbukaan yang menandai alam
reformasi sejak tahun 1998, salah satunya adalah bucaya sikap tegas dan resistensi
terhadap wacana penguasa. Respon pemerintah terhadap mereka yang cenderung ingin
menilai masyarakat terlambat dari mereka, tidak menyurutkan gerakan pro kontra di
masyarakat yang semakin meluas. Justru dari respon pemerintah muncul kritik dari
masyarakat mengenai ketertutupan proses uji publik RUU Sisdiknas dan kritikan menenai
akses yang tidak memadai terhadap komunikasi politik antara DPR dan masyarakat.
Penjelasan pemerintah bahwa usaha sosialisasi yang telah dilakukan di beberapa kota
dinilai tidak memadai sehingga masyarakat melakukan kritik dan unjuk rasa mengenai
pilihan politiknya. Sampai akhir tahun 2002 sosialisasi hanya dilakukan di lima kota besa
meliputi Medan, Makasar, Denpasar, Surabaya dan Jakarta.5
Kedua, wacana agama dan negara menjadi pembicaraan yang mulai melibatkan
masyarakat luas. Wacana ini pada jamaknya menjadi konsumsi wacana di kalangan
tertentu, intelektual, negarawan, politisi. Namun dengan munculnya pro kontra UU
Sisdiknas, hubungan negara dan agama dipertanyakan ulang oleh masyarakat luas.
Pembicaraan ini belum mencapai kematangan ketika sampai pada UU Sisdiknas
diundangkan.6
4 Bandingkan dengan refleksi atas pemikiran etika politik Hannah Arendt oleh Dr. Haryatmoko, EtikaPolitik dan Kekuasaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003) hal. 154-215.5 Kompas, Jumat, 02 Mei 20036 Haryatmoko, Dr. ibid.
39
Hubungan antar agama dan negara salah satunya dapat diperiksa dari kebijakan
Negara atas agama dari waktu ke waktu. Bermula dari penafsiran Muhamad Yamin
terhadap pasal 29 UUD 1945 (ayat 2) sebelum diamandemen mengenai agama menjamin
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya. Agama itu antara lain Islam, Kristen,
Katolik, Hindu Bali dan agama Budha.7 Hal ini diperkuat oleh Penetapan Presiden
(Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan
Penyalah gunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan
bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.8 Pada tahun tahun 1973 Konghucu
dilarang kembali berdasarkan Memo No. M/039/XI/1973 dari NBKMC-BAKIN9, namun
direhabilitasi lagi pada oleh presiden Abdurrahman Wahid melalui Keppress No. 6/2000.
Hal ini diperkuat lagi oleh SK Menteri Dalam Negeri tahun 1974 yang mengharuskan
mencantumkan agama dalam KTP, sehingga semua orang terpaksa harus menyesuikan
diri dengan memeluk salah satu lima agama resmi. Namun hal ini sudah dianulir oleh
Presiden Wahid.10
Wacana seperti dilihat dalam media masa tidak sampai pada pengolahan secara
mendalam dan historis seperti ini. Hal ini tak lepas dari sifat media yang tidak
memberikan ruang berita yang memadai terhadap suatu wacana yang butuh pendalaman.
Namun demikian munculnya wacana seperti ini memberikan dorongan terhadap agen-
agen wacana seperi masyarakat yang tergabung dalam aksi-aski pro dan kontra untuk
mematangkan pendapat mereka di internal jaringan masing-masing. Rapat-rapat
persiapan demonstrasi merupakan ajang untuk menguatkan posisi politik masing-masing
pihak dan penguatan argumentasi mereka. Pertimbangan wacana dan strategi tidak dapat
dilepaskan dari respon mereka atas wacana pihak lain, sehingga terciptalah jalinan
wacana, pro dan kontra, yang memperkaya terhadap kemungkinan perubahan sosial yang
7 Hamidi, Jazim, S.H. M.HUM dan Abadi, M. Husnu, S.H.M.HUM, Intervensi Negara terhadsap AgamaStudi Konvergensi Atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia,(Yogyakarta: UII Press, 2001) hal. 12.8 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama9 Saidi, Anas (ed), Menekuk Agama, Membangun Tahta, Kenbijakan Agama Orde Baru, (Jakarta:Desantara, 2004), hal. 201.10 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
40
terjadi. Masyarakat paling tidak lebih peka terhadap kebijakan-kebijakan publik secara
mandiri, dan memiliki akses untuk menyuarakan pilihan mereka secara bebas.
B. Model Hubungan Agama dan Negara
Wacana hubungan agama dan Negara dapat juga dilihat dari wacana sejarah
perjalanan bangsa. Kecenderungan untuk menghilangkan ingatan atas wacana pluralitas
agama memiliki akar teologis yang panjang mengenai hubungan agama dan negara.
Terhadap pokok masalah ini, umat Islam tidak mengenal paham pemisahan agama dan
negara. Paham ini terus menjadi idiologi yang dijadikan sebagai pembangun identitas,
aku berbeda dengan yang lain. Akar teologis yang kontekstual tidak terbaca dan yang ada
adalah wawasan ideologis sempit yang dijadikan sebagai pembeda dengan “yang lain”.
Jika kelompok penolak UU Sisdiknas tidak setuju dengan pasal 13 karena ada intervensi
oleh negara mengenai pendidikan agama, namun demikian, hal ini tidak akan tertangkap
oleh kelompok yang mendukung UU Sisdiknas.
Hubungan agama dan negara merupakan tema klasik yang telah banyak dikaji
baik oleh para ilmuwan dari berbagai disiplin keilmuwan dan dari berbagai agama,
terutama dari kalangan Islam dan Kristen. Hal yang sering diungkapkan dalam tema
hubungan agama dan negara biasanya adalah teori mengenai pemisahan agama dan
negara yang kemudian diistilahkan dengan sekularisme. Kebanyakan umat Islam dengan
pengalaman kesejarahannya yang tidak mengenal sekularisme, terutama di negara-negara
Arab, menolak ide pemisahan agama dan negara. Sebagian dari mereka tidak setuju
bukan saja karena tidak mengenal ide tersebut, namun juga karena ide sekularisme adalah
berasal dari barat yang notabene bertradisi Kristen. Umat Kristen sendiri bukan tidak ada
masalah dengan konsep ini, sebab ide pemisahan agama dan negara juga memberikan
ekses terbatasnya ekspresi keagamaan di ruang publik, seperti yang terjadi di negara
Perancis. Hal penting untuk dicatat dari sikap setuju atau menolak sekularisme sering
memicu perdebatan yang sering salah tempat dan kehilangan konteks dari
kemunculannya.
Al-Jabiri dalam bukunya berjudul Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah
(2001, hal. 105-106) menjelaskan bahwa sekularisme merupakan terjemahan dari kata
Perancis “laiquisme”. Akar katanya adalah kata “laique”, berasal dari bahasa Yunani
“laikous” yang berarti hal yang berhubungan dengan masyarakat umum untuk
41
membedakan dengan “clireous” yang berarti tokoh agama yang membentuk kelompok
khusus, yakni para pendeta dalam agama Kristen. “Laiquisme” berarti pengajaran, yaitu
pengajaran ilmu di sekolah dan pendidikan agama di gereja. Pemikiran “laiquisme” tidak
berlawanan dengan pemikiran agama, namun sekurang-kurangnya menuntut adanya
pembedaan antara apa yang duniawi dan apa yang sakral. Kata ini juga mengandung
makna bahwa satu sisi dari kehidupan manusia tiak tunduk pada cengkeraman pengajaran
agama, atau setidak-tidaknya berada di luar orotitas para tokoh agama. “Laique”
merupakan sebuah pemikiran bahwa masyarakat umum tidak tunduk kepada agama dan
tokoh-tokohnya. Dasar alasannya karena negara menguasai tubuh mereka dan agama
menguasai jiwa mereka.11
Menurut Al-Jabiri, pemisahan agama dan negara dimaksudkan sebagai ajakan
untuk memisahkan agama dari negara; meletakkan batas pemisah antara kekuasaan
agama atau ruhani dengan kekuasaan peradaban melalui ungkapan “berikan kepada
Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan dan berikan kepada Kaisar apa menjadi hak Kaisar”.
Gambaran yang meletakkan Tuhan di satu sisi dan Kaisar di sisi yang lain merupakan
pengalaman dinamika Kristen Eropa yang mengalami beberapa bentuk. Pertama
hubungan agama dan negara secara antagonis, dimana Kaisar Romawi memusuhi dan
menindas orang-orang Kristen karena agama ini dianggap suatu gerakan yang berbahaya
pada jaman Yesus dan para Rasul. Kedua, agama Kristen diakui menjadi agama negara
sejak kekuasaan Kaisar Konstantin Agung pada abad III/IV. Sebagai lembaga yang
sangat tinggi kedudukannya gereja bagaikan negara di dalam negara, dan untuk waktu
lama sesudah itu peran gereja menjadi satu lembaga di atas negara, yakni lembaga yang
mengendalikan tidak saja ruhani, tapi juga sosial, ekonomi dan politik. Ketiga, pemisahan
antara agama dan negara atau “sekularisme”, dimulai sejak masa kebangkitan kembali
(renaissance). Sekularisme tidak berarti memusuhi agama, namun memisahkan apa yang
bersifat duniawi dan ruhani dengan cara menyerahkan kekuasaan politik, pendidikan dan
masalah umum lainnya kepada pemimpin yang netral agama (negara) dan menjauhkan
pada pendeta dan uskup dari masalah itu untuk mengurus gereja.12
11 Al-Jabiri, Muhammad Abid, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah. Alih bahasa oleh Drs.Mujiburrahman MA (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001) hal. 105-106.12 Al-Jabiri, Muhammad Abid, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, hal. 92-93.
42
Indonesia memiliki konteks yang berbeda dengan pengalaman Kristen Eropa
dan Islam Arab dalam masalah hubungan agama dan negara. Sebagai sebuah negara-
bangsa, Indonesia memiliki dinamika tersendiri dalam mengelola kehidupan sosial
keagamaan. Hubungan agama dan negara dari pengalaman Kristen Eropa disinggung
dalam penelitian ini untuk mencari faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan-pilihan
masyarakat setuju dan tidak setuju terhadap pengesahan UU Sisdiknas berkaitan dengan
agama. Namun yang paling ditekankan dalam penelitian ini adalah mencari kejelasan
masalah-masalah utama yang muncul dalam wacana pro dan kontra UU Sisdiknas
berkaitan dengan isu agama yang kontekstual di Indonesia, dan bukan untuk
mengafirmasi teori-teori mengenai hubungan agama dan negara tersebut.
C. Kesimpulan
Pembahasan di atas memberikan beberapa simpulan gagasan bahwa pertama,
masyarakat semakin terlibat aktif menjadi aktor dalam memproduksi wacana ketimbang
sekedar konsumen wacana penguasa dalam kehidupan publik sejak masa reformasi
digulirkan pada tahun 1998. Kedua, dalam dominasi wacana penguasa yang memiliki
akses lebih terhada kebijakan dan media, terdapat potensi gerakan perubahan dan
resistensi yang memiliki peluang yang baik dalam membuat perimbangan sosial dari
kecenderungan hegemonik wacana penguasa.
Ketiga, dari analisis sosial lainnya, misalnya dilihat dari wacana historis mengenai
hubungan agama dan negara, terdapat kecenderungan melupakan tema hubungan agama
dan negara yang mulai digugat dan didorong untuk mengingat kembali. Potensi resisten
ini memberikan ruang bagi pengembangan ingatan publik mengenai fakta pluralitas
keagamaan dan peran negara yang selalu cenderung dominan atas agama yang selama ini
dialami oleh bangsa Indonesia. Ingatan itu juga bisa diperlebar kearah kesadaran atas
kontekstualitas suatu gagasan hubungan negara dan agama yang telah menjadi model-
model baku dan dijadikan mitos bagi umat beragama, utamanya Islam dan Kristen, yang
mengerucut pada ide sekularisme dan sekularisasi. Bangsa Indonesia memiliki situasinya
sendiri dalam menata hubungan agama dan negara. Situasi ini yang perlu diperdalam
sehingga kita dapat memikirkan peran-peran agama dan negara secara seimbang untuk
kehidupan yang lebih baik.
43
BAB IV
AGAMA DALAM KEHIDUPAN PRIVAT DAN PUBLIK
Wacana pro-kotra UU Sisdiknas tak lepas dari wacana publik dan privat agama.
Ide yang dimunculkan oleh kelompok yang menolak intervensi agama ke dalam
pendidikan agama merupakan cerminan dari paham bahwa pendidikan agama adalah
masalah privat, bukan masalah publik. Sedangkan kelompok yang mendukung mungkin
berpaham sebaliknya, bahwa kehidupan agama dapat saja diatur oleh negara.
Di bawah ini akan ditelusuri mengenai makna privat dan publik serta
implikasinya terhadap pembangunan wacana por dan kontra UU Sisdiknas.
A. Pengertian Kehidupan Privat
Menurut Cochran, umum dan pribadi merupakan gejala inklusi (pemasukan) dan
eksklusi (pengeluaran). Umum adalah dunia inklusi, semua individu memiliki hak untuk
mengakses dan mengontrol ruang, informasi, sumberdaya dan sebagainya. Sebaliknya,
pribadi merupakan dunia eksklusi atau pengeluaran. Setiap orang atau kelompok dapat
mengeluarkan akses dan kontrol orang lain terhadapnya baik dalam hal informasi,
hubungan, sumberdaya, ruang dal lain-lain. Maka pribadi seakan-akan adalah lawan
umum. Setiap masyarakat pasti memiliki hal-hal yang sifatnya pribadi dan umum, namun
kadarnya dan batas-batasnya berbeda-beda. Keinginan mendapatkan ruang pribadi
berubah dan berkembang secara berbeda di masyarakat satu ke masyarakat lain, dari
waktu ke waktu. Keterlibatan perempuan untuk memutuskan dirinya menikah pada waktu
dulu sangat sempit, namun sekarang perempuan memiliki kebebasan pribadi untuk
memutuskan pernikahannya. Demikianpun beberapa keluarga di Jawa Timur masih
menganggap praktik kawin paksa dimana anak perempuan dipaksa kawin dengan laki-
laki pilihan keluarga adalah hal biasa, sementara di masyarakat lain mungkin
menganggapnya sebagai pelanggaran hak pribadi.
Sifat wilayah pribadi yang cenderung mengeluarkan pihak lain dan sifat publik
yang cenderung menarik masuk wilayah pribadi menimbulkan ketegangan antara
keduanya. Sekalipun demikian wilayah pribadi dan umum tidak dapat dipisahkan satu
44
dengan yang lain. Artinya keberadaannya saling mempengaruhi dan saling tergantung.
Jika individu merasa dibatasi hak-hak pribadinya oleh urusan umum, wilayah umum pada
saat yang sama memberikan fasilitas untuk kepentingan-kepentingan individu tersebut.
Ada dua asumsi dalam bagian ini, pertama, ruang pribadi juga mempunyai sisi
inklusif, memberikan tujuan bagi kehidupan pribadi, menyediakan jalan keluar dari
ketertutupan kehidupan pribadi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ruang publik
dan ruang pribadi berpotongan pada kehidupan pribadi seseorang. Kedua, agama
merupakan indikator yang baik mengenai penyatuan ruang publik dan ruang pribadi.
Agama pada dasarnya suatu keyakinan yang sangat pribadi, namun agama juga
merupakan bagian dari ruang publik.
A.1. Arti Privat
Privat berasal dari kata sifat dalam bahasa Inggris private yang berarti 1) milik
atau mengenai seseorang individu, perusahaan atau kepentingan (kekayaan individu);
sepadan dengan kata personal (pribadi); berkaitan dengan kata intimate (dekat, akrab);
berhubungan dengan kata common (biasa), general (umum), open (terbuka); berlawanan
dengan kata public (umum). Kata private juga berarti 2) diketahui hanya oleh kalangan
terbatas (known only to select view), misalnya pada kalimat kelompok tersebut memiliki
invormasi khusus mengenai suatu serangan tertentu; sepadan dengan kata closet (kakus),
berkaitan dengan kata secret (rahasia), discreet (hati-hati), concealed (tersembunyi),
hidden (tersembunyi); berhubungan dengan kata common (biasa), general (umum), open
(terbuka); perlawanan dengan kata public (umum).1
Kata lama private juga berkaitan dengan kosa kata kuno deprivation dan privation
berarti hilang, absen, meninggal, memiliki arti konotatif “tidak menjadi umum (not being
public)”. Ini membentuk ekslusivitas privat. Kata private diambil dari kata Latin privatus,
berarti ditarik dari kehidupan umum, ditarik dari kantor (deprive of office),
kekhasan/keanehan seseorang; berakar kata privere, berarti menghilangkan, menarik2.
1 Webster’s Collegiate Thesaurus, a Merriam-Webster (Springfield, Massachusetts, U.S.A.: Merriam-Webster Inc., 1976)2 Cochran, Clark E., Religion in Public and Private Life, (New York and London: Roudledge, 1990),hal.24.
45
Kita dapat merumuskan, berdasarkan arti leksikal ini, sebuah pengertian longgar
dari kata ‘privat’ yaitu sesuatu yang dimiliki seorang individu atau kelompok yang
sifatnya melekat, tertutup, rahasia dan tidak terbuka untuk umum kecuali dengan ijin
yang bersangkutan.
A.2. Karakteristik Privat
Pengeritan “privat/pribadi” tidak mudah dirumuskan. Namun ada ciri-ciri penjelas
dari makna privat, pertama, kehidupan privat (private life) harus dibedakan dengan
wilayah privat (privacy). Kehidupan privat dan wilayah privat dapat ditrerapkan baik
untuk seorang individu maupun untuk kelompok. Misalnya dalam sebuah keluarga,
keluarga sebagai kelompok memiliki wilayah privat menghadapi negara, demikianpun
dalam keluarga tersebut anggota memiliki wilayah privat masing-masing.
Kedua, sifat mengecualikan atau menyingkirkan keluar hal lainnya. Wilayah
pribadi memiliki sifat mengecualikan yang lain, beguna sebagai perlindungan bagi
kehidupan privat dari intervensi publik. Namun demikian hal ini kadang-kadang tidak
berjalan lancar, misalnya keluarga harus menjwab pertanyaan-pertanyaan dari petugas
sensus penduduk mengenai hal-hal yang merupakan wilayah privasi seperti agama,
kesehatan, pekerjaan, penghasilan dan lain-lain atas nama kepentingan umum. Fungsi
proteksi atau penjagaan dalam wilayah privat dimaksudkan mencegah pihak lain untuk
mendapatkan informasi dan mengendalikan akses terhadap sisi penting kehidupan privat.
Kenyataannya hal ini banyak dilanggar oleh tradisi masyarakat modern, apalagi dengan
teknologi informasinya yang sangat canggih, atau karena timbulnya pertentangan
pendapat mengenai isu moral dan politik, misalnya penyadapan telephon pribadi oleh
polisi, pendataan diri dalam bank, aborsi, euthanasia dan lain-lain. Fungsi proteksi pada
gilirannya dapat dimanfaatkan sebagai potensi untuk berbeda bagi suatu kelompok,
potensi subversi secara politis, potensi perubahan nilai secara sosial budaya.3
Ciri ketiga yang memudahkan untuk mengerti arti privat adalah dengan
membandingkan cakupan pengertiannya dengan lawan kata, yaitu publik. Bagan di
3 Cochran, Clarke E., Ibid, hal. 23
46
bawah ini dirangkum oleh Gunstern dari makna konvensional mengenai privat dan
publik, sebagai di bawah ini.4
Public/Umum Private/Pribadi
free access (akses bebas)
authority and law (otoritas danhokum)
artificial, human constructimpersonality (buatan/tiruan,kenonpribadian ciptaanmanusia)
bureaucracy (birokrasi)
politics, decisions forcollectivities outer (politik,keputusan untuk orangbanyak)
body (tubuh)
restricted access (akses terbatas)
power and love (kuasa dankasih)
naturally given (diterima secaraalami)
intimacy, privacy (akrab,pribadi)
initiative, creativity freeexchange among (prakarsa,kreatifitas bebas berubah)
individuals inner (individual bagiandalam)
mind (pikiran)
Meskipun sifat dasar wilayah privat adalah mengecualikan pihak lain, namun
wilayah privat juga mengandung sifat inklusif, memungkinkan pihak lain masuk ke
wilayahnya. Dalam sifat mengendalikan akses dimaksudkan sebagai pengendalian ke
dalam dan pengecualian pihak luar dari wilayah pribadi. Dalam konteks ini pribadi
mengelola aktifitas demi keuntungannya melalui hal-hal keakraban, kesendirian dalam
berfikir, Ini terlihat dari beberapa sifat keakraban, berkegiatan agama, hal-hal yang
memungkinkan keterlibatan pihak lain dalam untuk berpartisipasi. Ini adalah sisi inklusif
dalam cakupan wilayah pribadi.
Disamping cirri-ciri di atas, pengertian privat tetap dibutuhkan sebagai suatu
istilah umum, diantaranya diberikan oleh Michael Weinstein yang dikutip oleh Cochran
sebagai berikut:
“…..wilayah pribadi kelihatan di dalam kesadaran sebagai suatu kondisi
keterbatasan komunikasi kepada atau dari seseorang lainnya, di suatu situasi,
4 Cochran, Clarke E., Ibid, hal. 25
47
berkenaan dengan informasi yang ditetapkan, untuk tujuan pelaksanaan satu
aktivitas dalam pencapaian sesuatu yang diterima sebagai baik…”.5
B. Pengertian Kehidupan Publik
B.1. Arti Publik
Kata publik berasal dari bahasa Inggris public, dalam bentuk kata sifat bermakna
1) berhubungan dengan, atau mempengaruhi masyarakat sebagai komunitas yang
terorganisir, misalnya dalam kata urusan public. Padanan kata ini adalah kata civic
(bersifat kewargaan), civil (warga), national (nasional); berkaitan dengan kata
government (pemerintah), governmental (negeri); community (komunitas); state (negara);
municipal (berkaitan dengan kota), dan urban (kota). Padanan lainnya adalah kata open
Kata public dalam bentuk kata benda berpadanan makna dengan kata society
(masyarakat), community (komunitas, kelompok masyarakat), people (orang banyak);
juga berpadanan dengan kata following (ikut), audience (hadirin, penonton, pendengat,
clientage, clientele (langganan); berkaitan dengan kata hangers-on (pengikut), suite
(rangakaian, sederetan).7
5 Cochran, Clarke E., ibid , hal 25.6 Webster’s Collegiate Thesaurus, a Merriam-Webster (Springfield, Massachusetts, U.S.A.: Merriam-Webster Inc., 19767 Webster’s Collegiate Thesaurus, a Merriam-Webster (Springfield, Massachusetts, U.S.A.: Merriam-Webster Inc., 1976
48
Publik dengan demikian dapat kita artikan secara longgar sebagai hal-hal yang
berhubungan dengan masyarakat atau kelompok masyarakat yang terorganisir, yang
bersifat umum, luas, terbuka dan dapat diakses oleh orang banyak, suatu ruang untuk
berhubungan satu sama lain, berbagi dan bersama.
Kata publik memiliki banyak penggunaan dalam konteks yang berbeda-beda.
Penggunaan kata publik dalam berbagai konteksnya ini mengisyaratkan beberapa hal.
Pertama, keumuman makna publik yang sangat luas dan kekhususan makna dalam
pemakaian kata-kata yang disandarkan pada kata pubik. Ini artinya pengertian publik
menjadi kabur. Kedua, kendatipun penggunaannya berbeda-beda, namun secara umum
kata publik diambil sebagai agregatnya. Ketiga, hampir keseluruhan penggunaan kata
publik meletakkan makna publik sebagai sesuatu yang pasif. Orang-oranglah yang
mendatangi dan berbuat sesuatu berkaitan denganya, misalnya kata kantor publik, barang
publik dan lain-lain.8
B.2. Karakteristik Kehidupan Publik
Keluasan makna kehidupan publik secara umum dapat ditandai dengan dua hal.
Pertama, bermakna sebagai dunia secara umum. Kedua, dunia sebagai ruang pembagian
kuasa. Kehidupan Publik sebagai dunia secara umum dimaksudkan bahwa pada dasarnya
kehidupan publik merupakan partisipasi dalam dunia secara umum. Manusia hidup dan
saling berinteraksi satu sama lain, berkomunikasi, berhubungan, berpartisipasi, sebagai
warganya, dalam memberi kehidupan secara umum. Ada dua ciri dari kehidupan publik
sebagai dunia secara umum ini9, yaitu adanya keterbukaan akses pada ruang, aktivitas,
keikutsertaan, informasi, dan sumber daya. Hal ini kontras dengan kehidupan individu
yang memiliki akses terbatas, adanya kerahasiaan, ketidaksempurnaan, misteri, rasa
malu.
Kehidupan pribadi tanpa kehidupan publik akan jatuh terperosok dalam ruang
ketidaktahuan, ilusi dan ketertutupan. Kehidupan publik yang memungkinkan kehidupan
privat terangkat, berkembang, maju karena pemanfaatan akses tersebut.
8 Cochran, Clarke E., ibid , 45.9 Cochran, Clarke E., ibid . Hal 45.
49
Pertanggungjawaban dari perilaku kehidupan privat adalah pada diri sendiri, sehingga
tidak berpengaruh banyak terhadap kehidupan publik. Perilaku publik memiliki etika-
etika yang dikembangkan bersama, dimana pertanggungjawaban pelaku publik akan
dikomunikasikan dengan masyarakat umum dan hal ini mengandaikan penataan yang
lebih dalam perilaku publik.
Ciri lainnya adalah bahwa akibat tindakan sesuatu menyangkut kepada
masyarakat secara umum, tidak hanya sekedar satu atau sekelompok orang, baik tindakan
dengan kepentingan baik atau jahat. Dengan dua ciri ini, dapat dimengerti bahwa
kehidupan publik merupakan suatu situasi yang umum, baik untuk mengaksesnya atau
bertindak di dalamnya dengan konsekuensi-konsekuensi umumnya. Komunikasi melalui
bahasa merupakan dimensi yang tak terelakkan dari kehidupan umum, dimana akses dan
aktifitas dapat dimengerti dan dikomunikasikan melalui bahasa. Masalahnya adalah
bahwa makna umum dengan dua ciri ini tidak berbeda dengan makna kehidupan sosial
biasa. Kehidupan publik lebih dari sekedar kehidupan sosial, namun mengandaikan
pengaturan-pengaturan di dalam kehidupan sosial, dimana akses dan komunikasi dapat
berjalan. Hal ini membutuhkan suatu kewenangan atau kekuasaan untuk mengontrolnya.
Dunia pada umumnya lebih berkonotasi pasif dibanding dari kehidupan publik yang
membutuhkan paritipasi dan kewenangan atau kekuasaan.10
Kedua, ruang pembagian kuasa. Kehidupan publik dimengerti sebagai
keikutsertaan aktif dalam mewujudkan dunia yang umum. Dunia yang umum bukanlah
bersifat naïf, namun merupakan hasil dari kreasi penciptaan bersama, atau konflik satu
sama lain. Dengan demikian kehidupan publik bersifat politis, dengan kreativitas individu
di dalamnya, persaingannya, pembagian kuasa di dalamnya. Artinya juga merupakan
kebebasan, kesetaraan dan demokrasi di dalamnya. Pengertian ini merupakan sumbangan
dari Hannah Arent, yang baginya politik bukanlah pengejaran kepentingan perseorangan,
politik adalah langkah menuju dunia publik. Dunia publik bukan tercermin dalam kualitas
10 Cochran, Clarke E., ibid, hal 46.
50
individu, namun individu-individu saling bertemu, berbagi ruang, saling berpartisipasi
untuk bersama mewujudkan kehidupan publik.11
Bagi Arendt dunia publik adalah cerminan dari diri kita sendiri sebagai pemain
dan penentu dunia publik bersama anggota lainnya. Dunia publik dengan demikian
adalah proses politik, kendatipun tidak semuanya. Namun dapat dikatakan bahwa politik
merupakan kerangka umum dunia publik. Politik tidak diartikan sebagai cara untuk
mencapai tujuan, politik merupakan partisipasi aktif diri kita dalam menciptakan dunia
publik kita sendiri. Di dalam dunia publik terdapat jejak-jejak kita, politik membangun
kehidupan publik dengan demikian tidak kurang dari penghargaan atas kemanusiaan.12
Kehidupan publik bukan hanya merupakan agregat dari kepentingan individu-
individu, namun kepentingan individu-individu yang ditransformasikan menjadi
kepentingan umum melalui perdebatan-perdebatan. Kehidupan publik dengan begitu
menuntut keaktifan warga secara aktif, dan keaktifan partisipasi mereka bukan untuk
memperjuangkan sesuatu yang bukan kepentinganya. Mereka berpartisipasi untuk
kepentingannya sendiri, untuk kehidupat privat mereka sendiri. Individu dalam kerangka
umum kehidupan publik merupakan individu politik, dalam kategori lama menurut
Aristoteles manusia adalah zoon politicon. Individu politik berpartisipasi dalam
kehidupan publik demi untuk meraih kepentingan mereka diantara kepentingan individu
politik lainnya secara fair, secara adil. Jadi kehidupan publik mengandaikan suatu konsep
mengenai keadilan, baik keadilan substansial termasuk ekonomi, maupun keadilan
prosedural yang menyangkut tata politik dengan mengandaikan kebebasan, persamaan
dan demokrasi.13
Keuntungan partisipasi dalam kehidupan publik sangat banyak. Partisipasi
menghasilkan peningkatan diri, kebebasan dan kompetensi. Kedirian meningkat dibangun
melalui pertemuan, perdebatan yang memungkinkan wawasan meningkat. Wawasan yang
luas menimbulkan kebebasan untuk memilih dan memutuskan. Proses-proses
memutuskan pada akhirnya akan menghasilkan kompetensi, hasil pengaruh dari rasa
11 Cochran, Clarke E., ibid, hal 47.12 Cochran, Clarke E, ibid13 Cochran, Clark E., ibid, hal. 49
51
kepemimpinan dimana seseorang mengetahui dan mempu mengontrol tindakan untuk
hasil ke depan. Hasil-hasil ini memberikan pengaruh pada tanggungjawab individu dalam
kehidupan publik, dimana kehidupan publik adalah tanggungjawab mereka semua. 14
Keuntungan partisipasi lainnya antara lain mendukung stabilitas, legitimasi,
menghindarkan kekerasan kekuasaan, menimbulkan komitment pada kehidupan publik,
memudahkan distribusi sumberdaya. Semuanya adalah dalam kerangka kebebasan,
persamaan, keadilan dan otonomi melalui keanggotaan individu secara aktif dalam
publik.15
Kehidupan publik dengan kerangka umum politik ini memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: 1) keterbukaan akses terhadap sumber daya, ruang dan informasi, 2)
akuntabilitas terhadap masyarakat konstituen dan kepada masyarakat secara lebih luas
dan 3) menerima banyak kepentingan. Kendatipun kerangka umumnya politik, kehidupan
publik tidak semuanya. Kehidupan publik juga meliputi hal-hal publik yang tidak
menjadi perhatian politik dengan kelembagaannya di masyarakat yang tersebur luas,
misalnya kelompok hobi, persahabatan, relawan, keluarga dan sebagainya. Kepentingan
individu baik yang bersifat publik atau kuasi publik seimbang dalam aktifitas-aktifitas
politik.
C. Agama dan Politik
C.1. Kehidupan Privat dan Agama
Agama merupakan hal intim berhubungan dengan kehidupan pribadi. Beberapa
masyarakat dalam budaya modern cenderung mengartikan agama sebagai suatu yang
pribadi. Alasannya terlihat dari beberapa tuntutan agama dan aktifitasnya yang
menunjukkan sifat-sifat wilayah privat yakni rahasia, akrab, kontrol akan informasi dan
akses terbatas pada individu atau kelompok sebagai berikut: 1) tuntutannya akan sifat
yakin, salih, sabar, damai tanpa kekerasan, 2) praktik pengakuan salah dan praktik
14 Cochran, Clark E., ibid, hal 49.15 Cochran, Clark E., ibid, hal 51. Bandingkan dengan Dahl, Robert A., Perihal Demokrasi: MenjelajahiTeori dan praktek Demokrasi Secara Singkat, alih bahasa oleh A. Arman Zainuddin (Jakarta: YayasanObor Indonesia, 2001), hal.84-85.
52
lainnya yang sepadan seperti bertaubat, pengakuan dosa, konseling agama, berbagi rasa
dengan teman, seting konggregasional, semuanya mengandaikan situasi kehidupan
sukuisme dan sebagainya menggambarkan sifat-sifat di atas. Prosesnya melalui
komunitas sebagai wilayah pribadi semi-publik. Keakraban, kedekatan, ketertutupan
dialihkan secara menipulatif dari komunitas kepada ideologi, ras dan bangsa. Perubahan
bentuk keakraban menjadi bermasalah ketika perasaan kekeluargaan ini menjadi perasaan
publik, terutama politik. Sulitnya, sifat keakraban keluarga seperti mendengar keluhan,
berbagi perasaan, pengalaman, prinsip, perjuangan dan lain-lain tidak dapat dilakukan
dalam kehidupan publik. Intimitas ini dialihkan secara manipulatif, melalui proses-proses
politik; rasa harus berjuang sebagai kelompok, rasa terancam dari komunitas lain,
tuntutan perasaan disertai dengan penglihatan buruk terhadap kelemahan, rasa bersalah,
rasa malu dan ketidasempurnaan. Hal ini semua yang mendorong perilaku invasi,
penjajahan, totaliter, rasisme dan sebagainya21. Hal-hal ini perlu dilihat terutama penting
ketika memahami wilayah rentan antara privat dan publik dari agama. Agama dapat
menjadi kontrol bagi kehidupan publik (politik kenegaraan) karena agama memiliki
wilayah publiknya sendiri, namun ketika agama menggantikan wilayah publik, maka
kecenderungan publik yang berkecenderungan lebih penting dalam hubungannya dengan
semua hal akan diambil alih oleh agama.
Kondisi rapat pembahasan UU Sisdiknas di gedung DPR memberikan gambaran
yang lebih mengkhawatirkan daripada kerentanan sisi negatif publik.
D.3. Pubik dan Privat dalam Rapat Pembahasan UU Sisdiknas di DPR
Wacana yang berkembang dalam rapat komisi IV DPR mengenai pembahasan
UU Sisdiknas tidak mempersoalkan pasal 12 mengenai hak peserta didik mendapatkan
pendidikan agama dan diajarkan oleh guru yang seagama. Pasal 12 UU Sisdiknas
berhubungan dengan beberapa pasal lain yang menyangkut pendidikan agama misalnya
pembahasan pasal:
21 Cochran, Clarke E., ibid, 63.
57
1. bagian dasar pertimbangan
1. pasal 1 tentang ketentuan umum
2. pasal 3 tentang dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional
3. bab IV tentang jalur, jenjang dan satuan pendidikan, terutama soal status
madrasah dan seminari
4. pasal 24 tentang otonomi pendidikan (otonomi akademik, mimbar akademik dan
keilmuan)
5. pasal 26-27 tentang penyebutan majelis taklim dalam pendidikan non formal dan
keluarga dalam informal
6. pasal 28 mengenai penyebutan TK Islam dalam pendidikan dini
7. pasal 53 tentan badan hukum pendidikan, kaitannya dnegan otonomi masyarakat
untuk penyelenggaraan pendidikan
8. pasal 54 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan
9. pasal 55-56 tentang pendidikan berbasis masyarakat
10. bagian penjelasan pasal-pasal terutama penjelasan bab I ketentuan umum,
penjelasan pasal 12, pasal 28 soal pendidikan usia dini-Islam, pasal-37 soal
pendidikan agama dan pasal-50 soal otonomi kampus
Hubungan pasal 12 dengan pasal-pasal di atas penulis maksudkan dalam cara rapat
komisi VI DPR mengerti mengenai kedudukan agama dan negara dalam isu pendidikan
keagamaan dari sisi publik dan privat. Praktik wacana yang dikembangkan dalam
pembahasan UU Sisdiknas di rapat komisi VI DPR terlihat sebagai berikut.
1. Proses Rapat Pembahasan
Rapat pembahasan UU Sisdiknas oleh komisi VI DPR diikuti kurang lebih 9
fraksi terdiri dari fraksi KKI, fraksi PDU, fraksi PDKB, fraksi PDIP, fraksi Partai Golkar,
fraksi KP, fraksi Reformasi, raksi TNI dan fraksi PBB. Peserta rapat sebagian merupakan
anggota mantan anggota Komite Reformasi Pendidikan. Banyak diantara peserta
memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, berposisi sebagai pemimpin agama di
komunitasnya dan mayoritas beragama Islam. Ada beberapa yang beragama Kristen yang
58
berkedudukan cukup penting untuk memberikan gambaran mengenai kehidupan dan
pendidikan keagamaan dala gereja.
Secara umum rapat yang diikuti oleh 9 fraksi beralan cukup akomodatif dimana
ide seluruh peserta disampaikan, dibahas, didiskusikan, diperdebatkan dan diputuskan
bersama. Jika terdapat rumusan yang sangat rumit, maka rapat akan memutuskan
bersama untuk menyerahkan kepada tim perumus yang khusus bertugas untuk
memperbaiki rumusan hasil rapat. Tidak terdapat protes, interupsi dan proses deadlock
dalam rapat-rapat di atas. Bahkan menurut penulis pembahasan sampai hal-hal kecil-kecil
yang cukup bertele-tele, dan sering tanpa hasil yang jelas. Dalam hal tanpa hasil maka
rapat biasanya akan kembali pada rancangan rumusan awal yang diusulkan oleh panitia
perumus.
2. Ide-Ide Keagamaan Yang Mewarnai Rapat
Beberapa ide dari pasal-pasal di atas tidak akan dibahas semua, hanya bagian-
bagian yang relevan dengan analisis. Diantara ide-ide pokok ini antara lain adalah:
a) memasukkan konsep-konsep keagamaan ke dalam kerangka pendidikan. Tujuan
pendidikan meliputi tiga aspek: 1) aspek kognitif yaitu pengetahuan, 2) aspek
afeksi yaitu pembentukan sikap atau attitute dan 3) aspek psikomotorik yakni
pembentukan ketrampilan. Konsep-konsep keagamaan dimasukkan ke dalam
kerangka tujuan pendidikan ini diantaranya pertama konsep akhlaq mulia
menggantikan usulan kata sikap dan budi pekerti dengan alasan akan lebih
konsisten dengan konsep awal RUU (Prof Anwar Sulaiman), sesuai dengan
semangan keagamaan dan maknanya lebih luas daripada kata budi pekerti (fraksi
PPP dan PDU). Setelah diskusi menenai makna, hanya satu fraksi yang keberatan
dan tetap mengusulkan untuk menyertakan konsep budi pekerjti di beakang
konsep akhlaq mulia. Kedua konsep Islam, ada fraksi yang mengusulkan kata
Islam disertakan setelah kata madrasah dengan alasan sebagian masyarakat ada
yang salah menyangka nama suatu madrasah namun ternyata bukan lembaga
sekolah Islam di beberapat tempat di Indonesia. Usul ini akhirnya ditolak secara
aklamasi dan pengusul menerima. Ketiga kata madrasah dimasukkan sebagai
59
bagian intergral satuan pendidikan nasional dengan alasan bahwa madrasah
memilikinilai historis yang mendalam dalam sejarah Indonesia sejak dahulu kala.
Sekalipun madrasa diartikan sebagai sekolah, namun penyebutan di Indonesia
memiliki asosiasi makna dan istoris yang berbeda. Rapat menyetujui pendapat ini
dan sekolah dari agama selain Islam seperti parihusada dalam agama Hindu dan
seminari dalam agama Katolik juga diakui dan direncanakan masuk dalam
penjelasan ketentuan umum mengenai satuan pendidikan. Selain kata ini juga ada
kata pesantren dan majelis talim yang diintrodusi ke dalam undang-undang dalam
bab penjelasan satuan pendidikan informal. Konsep iman dan takwa akan selalu
menyertai tujuan setiap jenjang pendidikan mulai jenjang pendidikan dasar hingga
perguruan tinggi.
b) Ide otonomi pendidikan. Ide ini dikaitkan dengan dua hal: 1) otonomi dalam arti
penyelengaraan pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Hal ini menyangkut
soal manajemen penyelenggaraan pendidikan yang pada era otonomi daerah
sudah menjadi wewenang pemerintah daerah setempat. 2) otonomi dikaitkan
dengan peran masyarakat dan peran peserta didik dalam menyelenggarakan
pendidikan, terutama dari aspek pembiayaan pendidikan.
3. Perkembangan Wacana dalam Rapat Pembahasan Terhadap Masalah Publik dan Privat
Wacana yang dikembangkan dalam rapat komisi VI meliputi berbagai hal
diatantaranya 1) masalah privat-publik, dimana masalah dalam dunia pendidikan yang
dikategorikan sebagai publik dan mana yang dikategorikan secara privat, 2) peran agama
dalam pendidikan nasional, dimana pendidikan agama yang diyakini menjadi bagian
integral dari pengertian nasional, dan 3) peran masyarakat baik kelompok umum atau
keagamaan, peserta didik, peran negara dalam memfasilitasi dan menyelenggarakan
pendidikan nasional. Peran masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan mengacu
pada praktek sekolah swasta terutama pada otonomi dalam pembiayaan penyelenggaraan
pendidikan. 4) peran anak didik, yang disebut juga memberikan kontribusi terhadap
proses pendidikan dan hal ini berkait dengan pembiayaan pendidikan juga. Isu ini
diangkat sehubungan dengan usulan untuk sekolah gratis 9 tahun dengan berbagai
60
masalah yang dihadapkan pada sekolah swasta. 5) wacana biaya sekolah, dimanan isu
sekolah gratis berkaitan dengan eksistensi sekolah swasta yang biaya sehari-harinya dari
kontribusi peserta didik. Pendidikan gratis dapat mematikan seksitensi mereka yang
sudah estabish dalam penyelenggaraan pendidikan swasta, terutama sekolah kegamaan.
Hubungan antar wacana di atas seperti diolah oleh rapat-rapat DPR memberikan
dampak yang tidak terlalu signifikan terhadap wacana pembagian wilayah publik dan
privat yang cukup penting dalam melihat hubungan agama dan negara. Wacana yang
dominan menjadi pembicaraan seputar pendidikan agama adalah wacana pembiayaan
pendidikan agama, gratis atau tidak.
Wacana publik dan privat pada proses rapat-rapat tersebut terdominasi oleh
kecenderungan membangun konsep keagamaan yang diintrodusir ke dalam konsep
pendidikan nasional. Hal ini bisa dijelaskan dengan komposisi anggota DPR yang terlibat
dalam rapat tersebut sebagai pembawa wacana dominan formalism dalam faham
keagamaan, sebagaimana akan dikupas di bawah ini.
D.4. Praktik Sosial non Kewacanaan dan Pasal 12 UU Sisdiknas dan Kerentanan Agama
di Wilayah Publik
Ada dua hal yang dapat dihubungkan dengan wacana hubungan agama dengan
negara yang berpengaruh terhadap dominasi wacana pasal 12 UU Sisdiknas. Pertama,
pada Pemilu tahun 1999 timbul berbagai macam partai politik berbasis agama. Diantara
48 peserta pemilu terdapat 16 partai berbasis agama Islam dan beberapa berbasis agama
Kristen. Peserta pemilu tahun 1999 antara sebagai berikut.
61
01Partai Indonesia Baru02. Partai Kristen Nasional Indonesia03. PNI - Supeni04. Partai Aliansi Demokrat Indonesia05. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia06. Partai Ummat Islam07. Partai Kebangkitan Ummat08. Partai Masyumi Baru09. Partai Persatuan Pembangunan10. Partai Syarikat Islam Indonesia11. PDI Perjuangan12. Partai Abul Yatama13. Partai Kebangsaan Merdeka14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa15. Partai Amanat Nasional16. Partai Rakyat Demokrat17. Partai Syarikat Islam Indonesia - 190518. Partai Katolik Demokrat19. Partai Pilihan Rakyat20. Partai Rakyat Indonesia21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi22. Partai Bulan Bintang23. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia24. Partai Keadilan
25. Partai Nahdlatul Ummat26. PNI - Front Marhaenis27. Partai Ikatan Penerus Kemerdekaan Indonesia28. Partai Republik29. Partai Islam Demokrat30. PNI Massa Marhaen31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak32. Partai Demokrasi Indonesia33. Partai Golkar34. Partai Persatuan35. Partai Kebangkitan Bangsa36. Partai Uni Demokrasi Indonesia37. Partai Buruh Nasional38. Partai MKGR39. Partai Daulat Rakyat40. Partai Cinta Damai41. Partai Keadilan dan Persatuan42. Partai Solidaritas Pekerja43. Partai Nasional Bangsa Indonesia44. Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia46. Partai Nasional Demokrat
47. Partai Ummat Muslimin Indonesia48. Partai Pekerja Indonesia22
Kedua, pada sidang komisi VI DPR mengenai UU Sisdiknas, diikuti oleh 10 fraksi. Dari
10 fraksi itu hampir keseluruhan tidak netral agama, baik dari sisi ideologi partai atau
dari anggota partai yang mengkuti rapat tersebut. Diantara fraksi yang membahas UU
Sisdiknas di Komisi VI DPR RI itu antara lain adalah:
1. F. KKI
2. F. PDU
3. F. PDKB
4. F. PDIP
22 http://www.kompas.com/kompas-cetak/9903/06/PARTAI/part15.htm. Komisi PemilihanUmum (KPU) hari Jumat (12/3) melakukan pengundian nomor urut peserta Pemilihan Umum 1999.Pengundian dilakukan di Gedung KPU. Hadir dalam acara pengundian nomor urut itu Ketua KPU Rudini,Wakil KPU Adnan Buyung Nasution, dan Harun Alrasid.
62
5. F. P Golkar
6. F. KP
7. F. Reformasi
8. F. TNI
9. F. PBB
Hubungan-hubungan kelembagaan dengan wacana yang dibawa memiliki
hubungan ideologis. Partai adalah pemegang kepentingan, mereka dengan sadar
mewacanakan UU Sisdiknas berdasarkan kepentingan partainya.
Dua hal yang mengiringi kecenderungan agama -dalam konteks ini
direpresentasikan oleh partai dan anggotanya- dalam kehidupan publik yaitu klaim
kebenaran dan keinginan berkuasanya. Bahayanya terletak pada dominasi agama atas
wilayah publik dan kombinasi agama dan ideologi politik. Pertama, nafsu dan klaim
kebenaran menemui bahayanya ketika ada lembaga lain dalam satuan kehidupan publik
tidak setuju dengan klaim itu. Agama yang disandarkan kepada kebenaran Tuhan yang
Maha Kuasa akan merasa memiliki legitimasi atas hukum, pemerintahan dan kekuasaan
secara keseluruhan. Kemungkinan adanya tindakan penyeragaman dalam pengendalian
sosial melalui system keyakinan, kelembagaan dan ritual patut dikhawatirkan. Fungsi
ritual sebetulnya adalah pelepasan nafsu dan penyeimbang beban kehidupan, namun
ketika agama bermain kuasa di sektor publik, nafsu dapat tidak terkendali. Kekuasaan
agama juga rentan atas perluasan wilayahnya, baik secara geogfrafis maupun secara
keyakinan. Pihak otoritas agama akan merasa bahwa semua umat yang memeluk agama
sama menjadi wilayah kekuasaannya, kendatipun di luar geografis kesatuan politik
(negara)nya. Konflik, terorisme, perang agama, tidak dapat tidak menjadi preferensi bagi
kita kendatipun konteksnya berbeda-beda.
Kedua, kemungkinan adanya asimilasi agama dengan ideologi politik, maksudnya
adalah keyakinan agama yang bersatu dengan ideologi politik, bukan dimensi agama
dalam ideologi politik. Asimilasi ini dapat melahirkan kebijakan-kebijakan publik
didasarkan atas suatu keyakinan agama, sehingga menentukan, misalnya secara mutlak
mengenai kebijakan ekonomi dan politik suatu negara.23 Dalam konteks Indonesia,
23 Cochran, Clarke E., ibid, 66.
63
kecenderungan formalisme agama dalam politik melalui politik aliran mengkhawatirkan
banyak pihak karena keyakinan kemutlakan agama akan mewarnai kebijakan politik dan
penyeragaman-penyeragaman baik sangat rentan akan dilakukan oleh politik aliran yang
berpatokan pada kebenaran total dari keyakinannya.
Agama dapat menghindari bahaya keburukan publik yang impersonal di atas
melalui, misalnya menjadi tempat perlindungan publik dan menjadi penantang dunia.
Sifat kehidupan publik yang impersonal, dengan kecenderungan yang individualis,
kompetitif, tidak berperasaan dapat diseimbangkan oleh peran agama. Agama dapat
menjadi tempat perlindungan yang menawarkan keakraban privat, berbagi rasa, berbagi
pengalaman dan mencari makna melalui berbagai kegiatan ritual, seni, pengajian dan
lain-lain.
Agama bisa menjadi obat dari kehidupan yang keras dan memperkuat solidaritas
sosial. Agama menyelenggarakan pendidikan untuk mengerti mana sikap yang benar dan
salah, dan acapkali menegakkan hal ini melalui pemberontakan terhadap pemerintahan
yang lalim.24
Yang terjadi dalam wacana publik mengenai UU Sisdiknas sudah sangat kentara
warna politiknya. Kekhawatiran akan golongan yang menolak terhadap yang mendukung
UU Sisdiknas pasal 12 adalah kekhawatiran menghadapi simbiosis politik dan agama ini.
Pada rapat komisi VI di gedung DPR sendiri dalam perdebatan mengenai konsep-konsep
dalam UU Sisdiknas sangat diwarnai oleh keinginan golongan agama untuk
mengintrodusir konsep-konsep keagamaan ke dalam UU Sisdiknas yang sedianya untuk
kalangan publik secara luas.
E. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dari bab ini antara lain pertama, agama merupakan lembaga
sosial tempat wilayah privat dan publik bertemu secara intens, kedua, wacana wilayah
privat dan publik belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah dan DPR
sehingga berpengaruh terhadap ditinggalkannya pertimbangan wilayah publik dan privat
dalam penyusunan dan pembahasan UU Sisdiknas.
24 Cochran, Clarke E., ibid, hal 68.
64
BAB V
PERAN AGAMA DALAM MEMBENTUK MORAL BANGSA
Wacana pro dan kontra pasal 12 UU Sisdiknas merupakan respon yang kuat dari
publik agama yang luas. Ini menggambarkan ada keyakinan kuat publik atas peran agama
dalam membangun moral bangsa. Wacana resmi yang dominan lebih tegas mengatakan
bahwa salah satu aspek mendasar dari inisiatif UU Sisdiknas adalah untuk membangun
moral bangsa yang telah mengalami krisis yang mendalam sehingga dikhawatirkan akan
ada generasi yang hilang.
Wacana-wacana yang muncul pada rapat komisi VI DPR dan berita media
mengenai pro dan kontra mengandung beberapa tatanan wacana antara lain: 1) moralitas
bangsa, 2) peran agama, 3) masyarakat dan Negara sebagai agen wacana dan 4) wacana
demokrasi dan 5) wacana sosial kepanikan moral.
A. Moralitas Bangsa dan Peran Agama
Wacana moralitas bangsa mengandung pengertian wilayah publik (bangsa) dan
moralitas itu sendiri. Agama dalam hal ini menempati kedudukan yang unik, dimana
sebagai lembaga sosial yang memiliki wilayah aktifitas seputar perubahan moral.
Wilayah agama meluas dari wilayah privat hingga wilayah publik. Cakupan agama dalam
wilayah privat berhubungan terutama dengan sifat-sifat kerahasiaan, keakraban,
penemuan kebenaran yang melekat pada hubungan antara manusia dengan Yang Maha
Kuasa. Cakupan agama di wilayah publik adalah ketika diekspresikan melalui
kelembagaan sosial yang menghubungkan wilayah privat dan publik seperti keluarga,
teman dan komunitas seagama. Melalui lembaga-lembaga ini agama mempengaruhi
kehidupan publik, baik yang berkaitan dengan masalah umum seperti kegiatan
pendidikan, kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, bakti sosial, maupun yang berkaitan
dengan politik dimana partisipasi dalam kebijakan publik diwarnai dengan perspektif dan
gerakan keagamaan. Politik aliran dengan memakai teologi politik atau gerakan politik
yang didasarkan atas semangat keagamaan dengan cara yang cukup inklusif merupakan
beberapa contoh bentuk publik dari agama.
65
Kelebihan agama sebagai bagian dari kehidupan publik adalah kekuatannya
dalam membangun karakter masyarakat barkaitan dengan pendidikan dan misinya yang
didasarkan atas keyakinan pada yang Maha Kuasa. Keyakinan, kesetiaan, pengorbanan,
kejujuran, kedisiplinan adalah sifat-sifat yang sangat menguatkan kehidupan publik yang
disumbangkan oleh agama. Agama sebagai ruang privat, sebagaimana lembaga-lembaga
semi publik lainnya, memberikan sumbangan-sumbangan lain yang khas seperti
pembentukan kemandirian (otonomi), keakraban/kedekatan dan kebebasan1. Kemandirian
terbangun melalui pengalaman-pengalaman keagamaan, perolehan makna secara kuat
dan penghargaan diri. Hal ini akan sangat berpengaruh pada individu ataupun kelompok
dalam melindungi hak-hak mereka ketika ada kekuatan dari kehidupan publik terutama
politik yang ingin mengintervensi kehidupan privat. Solidaritas dan setia kawan dibangun
melalui keakraban yang intens dalam keyakinan yang sama, dan pada gilirannya
memberikan dasar etika untuk berhubungan dengan pihak yang semakin luas. Kebebasan
terutama merupakan upaya publik, namun kehidupan privat memberikan sumbangan
besar dalam hal ini. Ketika ada kekuatan luar, maka kehidupan privat mendorong kontrol
atas intervensi ini demi kebebasan. Politik dalam ranah kehidupan publik memiliki
kecenderungan untuk menguasai apa saja, dalam hal ini kehidupan privat dapat
membantu politik memahami masyarakat dan bagaimana membangunnya, seperti
layaknya kepada seorang kawan akrab.
Kekuatan agama memerlukan pemeliharaan untuk selalu memperkuat kehidupan
publik tanpa harus berbenturan dengan kehidupan publik secara luas. Dalam konteks pro
dan kontra UU Sisdiknas pada tahun akhir 2002 dan memuncak pada semester pertama
tahun 2003 optimisme akan partisipasi warga keagamaan dalam wilayah publik perlu
dikaji lebih jelas supaya dapat diidentifikasi menjadi kekuatan kehidupan publik. Untuk
diperlukan kejelian mengenai batas-batas antara ruang publik dan privat.
Kehidupan privat, termasuk di dalamnya agama, memiliki kelemahan-kelemahan.
Sifat kehidupan privat yang tertutup, terutama dalam soal ketidak sempurnaan, akan
mengganggu berbagai macam hal. Jika rasa berdosa, bersalah dan tidak bermakna
menyatu dengan rasa ketidak sempurnaan, dan hal ini mewabah maka apatisma sosial
dapat terjadi, kriminalitas akan meningkat dan keteraturan akan terancam. Ketika wilayah
1 Cochran, Clarke E., ibid , hal. 69.
66
privat memberikan sumbangan integritas dan kebenaran, wilayah publik akan
memberikan legimasinya. Tetapi ketika yang privat menjadi publik, sementara sifat privat
cenderung tertutup, maka masalah keadilan menjadi soal. Bagaimana mencari keadilan,
misalnya dalam politik aliran yang pada suatu ketika akan mengendalikan ruang publik
melalui politik?2
Sebaliknya, kehidupan publik juga memiliki kelemahan-kelemahan jika tidak
mendapatkan keseimbangan dari kehidupan privat. Kecenderungan kehidupan publik
antara lain sifat tidak personalnya sehingga tidak berperasaan, cenderung konformis,
tantangan bagi komitmen, dan kecenderungan untuk menjajah. Hal-hal ini sangat
berbahaya bagi kebebasan dan martabat manusia. Kelemahan kehidupan publik meliputi,
pertama tidak privat, dalam arti tidak memiliki kualitas-kualitas mempercayai, integritas,
otonomi dan kebebasan politik yang kesemuanya memang bermasalah. Kedua, kehidupan
publik juga bukan merupakan komunitas yang memiliki kualitas-kualitas dalam berbagi
pengalaman, berbagi nilai, tradisi, kisah-kisah umum. Akhirnya, kehidupan publik,
terutama politik, memiliki persoalan ketika legitimasi dari kehidupan privat tidak ada.
Privat sebagai individu politik dapat tidak memberikan partisipasinya ke dalam
kehidupan publik, dan hal ini memiliki alasan moralnya sendiri. Dalam hal ini publik
menjadi tidak absah, karena legitimasi publik hanya didapatkan secara personal dari
kehidupan privat.
B. Peran Masyarakat dan Negara
Berita media pada semester kedua tahun 2002 dan semester pertama tahun 2003
memperlihatkan wacana mengenai peran Negara dan masyarakat dalam pendidikan
agama secara cukup hangat. Wacana yang ditunjukkan oleh pemberitaan cukup lugas
mengemukakan dua tema, pertama otonomi pendidikan agama dan kedua peran negara
dalam pendidikan agama.
Wacana dari pemerintah dan kelompok pendukung pengundangan UU Sisdiknas
tahun 2003 memperlihatkan kecenderungan melihat agama sebagai bagian publik yang
dapat diatur oleh negara, sehingga terjadi simbiosis saling menguntungkan ketika agama
dan negara bersatu untuk menangani pendidikan agama.
2 Cochran, Clark E., ibid, hal 73.
67
Sebaliknya wacana yang menolak merasa agama terintervensi oleh negara dengan
memberikan peran Negara yang cukup besar terhadap pengaturan agama. Alasannya
adalah pendidikan moral mestinya harus didekati melalui pendektan privat. Bahasa-
bahasa formal keagamaan yang jauh dan hampa mestinya dihindari. Kekuatan agama
adalah ketika agama tidak mengambil jarak dengan masyarakat, melalui interaksi,
bahasa, transformasi pemahaman agama ke dalam kehidupan sehari-hari dan membangun
keakraban dan solidaritas yang kritis dan bukan ideologis semu. Hal ini yang masih
menjadi kelemahan UU Sisdiknas yang cenderung memaknai agama secara sempit dan
formalistis.
Wacana pro dan kontra ini memberikan perkembangan menarik mengenai
hubungan saling timbal balik untuk memproduksi dan mengkonsumsi teks mengenai
peran negara dalam hal agama. Keberadaan agen pro dan kontra memberikan peluang
perubahan sosial ke depan secara lebih baik karena dialog lebih lanjut mendapatkan
peluang. Keterbukaan dialog antar wacana cukup penting dalam kondisi terdapatnya
wacana dominan, bahwa kelompok dominan menginginkan negara mengatur keagamaan
berdasarkan kecenderungan mereka yang dominan pula.
C. Demokrasi, Moralitas Bangsa dan Pendidikan Agama
Salah satu wacana yang berkembang dalam pro dan kontra UU Sisdiknas adalah
wacana moralita bangsa. Moralitas bangsa tidak dapat diredusir ke dalam moralitas
individu, karena bangsa adalah komunitas publik dan bukan agregat individual.
Wacana yang direpresentasikan dalam saluran berita media menunjukkan
kecenderungan dominasi kelompok yang menginginkan negara mengatur perkara agama.
Hal ini berpengaruh terhadap wacana moralitas bangsa, bahwa moralitas bangsa juga
perlu diatur oleh negara melalui pendidikan agama. Negara diberi ruang luas untuk
mengatur agama dalam kerangka menumbuhkan moralitas bangsa.
Agama merupakan ruang prifat sekaligus ruang publik. Sebagai ruang privat
agama memiliki sumbangannya yang sangat besar terhadap kehidupan publik untuk
mempersiapkan individu-individu menjadi pendukung kehidupan publik. Fungsi
inklusifitas privat dalam agama dapat mengembalikan kepercayaan diri, penghargaan
diri, integritas, kepercayaan yang menjadi bekal dalam kehidupan publik. Sementara
68
fungsi eksklusif privat agama merupakan ruang rahasia dan penemuan kebenaran yang
dibutuhkan oleh individu sebagai seorang pribadi. Pendidikan agama, sebagai bagian
inhern dalam agama untuk menyemaikan nilia-nilai keyakinan di dalam hubungan antara
pribadi dengan Tuhan dan hubungan antar manusia merupakan kekuatan agama dalam
membangun pribadi baik dalam kehidupan privat maupun kehidupan publik.
Kehidupan Publik agama melalui partisipasi dengan dunia umum merupakan
sumbangan dan tantangan bagi kehidupan publik, terutama bagi politik. Sumbangan yang
diberikan adalah karakter, kepercayaan, integritas, kemandirian, loyalitas yang memiliki
legimiasi kuat dari Yang Maha Kuasa untuk membangun dunia yang baik. Hal ini dapat
bahu membahu dengan kehidupan publik secara umum dalam menata kehidupan yang
saling toleran, adil dan damai. Sebaliknya menjadi tantangan ketika dunia publik,
terutama politik, berbeda dengan hal-hal yang diajarkan agama melalui individu dan
kelompok –kelompok masyarakat agama. Pada gilirannya kritik sosial keagamaan akan
menjadi kontrol bagi kekuasaan politik yang bisa jadi sangat keras, atau sebaliknya
terjadi komproimi antara agama dengan politik. Namun hal ini menyembunyikan suatu
bahaya ketika pluralitas tidak dapat dijaga oleh agama yang menjadi ideology politik
berkuasa, karena sifat kekuasaan selalu ingin meliputi dan menguasai segalanya dan
segala pihak.
Pendidikan agama dalam konteks kekinian tidak cukup sekedar memberikan
dasar-dasar moral tanpa memberikan gambaran mengenai wilayah privat dan publik,
terutama politik. Hal di ini ditekankan untuk tidak terjerumus pada politik aliran yang
cenderung memformalkan agama, atau menutup diri dari pluralitas karena telah menjadi
ideologi kekuasaan. Wacana pro kontra UU Sisdiknas mengenai pendidikan agama dan
otonomi pendidikan dapat dibaca dengan cara pemilahan antara ruang publik dan ruang
privat ini.
Munculnya wacana-wacana melalui pro kontra member peluang untuk
memikirkan ulang mengenai pendidikan moral bangsa secara lebih luas. Agama
merupakan satu lembaga sosial yang tidak bisa terlepas dari lembaga sosial lainnya.
Perubahan sosial yang dihembuskan oleh pro dan kontra UU Sisdiknas belum cukup kuat
namun telah memberikan ruang pengembangan lebih lanjut mengenai pembicaraan
moralitas bangsa melalui berbagai aliran wacana dan non wacana dalam praktik sosial.
69
Salah satu peristiwa komunikasi dalam praktik wacana yang berpengaruh
terhadap wacana adalah sistem demokratis. Negara dengan patform politik demokratis
pada praktiknya belum tentu dapat demokratis. Kebebasan masyarakat sipil yang dijamin
oleh sistem demokrasi belum tentu dapat diakomodasi dengan baik. Namun demikian
kebebasan masyarakat sipil juga harus mengembangkan nilai-nilai sipil, nilai keadaban
(civility) seperti penghormatan akan Hak Asasi Manusia, sikap hormat dan toleran
terhadap perbedaan dan sebagainya.3
Kebebasan masyarakat yang total tanpa diimbangi dengan negara yang kuat juga
akan sulit mewujudkan tatanan negara-bangsa yang sejahtera dan adil. Ketika
keecnderungan politik aliran, yang merupakan bagian dari masyarakt sipil, menguat, dan
nilai-nilai toleransi melemah, maka kebebasan masyaakat sipil dapat saja mengarah
apada suasan cheos. Di sini peran negara yang kuat juga diburuhkan. Di sisi lain
masyarakat sipil yang bebas secara radikal juga akan memberikan bibit munculnya
diktator, karena situasi cheos merupakan prasyarat utama dari pengendalian situasi cheos
di masyarakat.4
Pendidikan moral dengan demikian harus diintegrasikan dengan nilai-nilai
demokrasi dan keadaban masyarakat sipil. Agama dalam hal ini dapat dijadikan sebagai
pijakan moral yang melampau ide-ide negara dan masyarakat sipil, yang hakikatnya
adalah sitem managemen hidup bersama, bukan dasa-dasar kepercayaan yang adi kodrati.
D. Wacana Pendidikan Agama dan Kepanikan Moral
Pro kontra masyarakat dan rapat-rapat komisi VI mengenai UU Sisdiknas
menandakan terjadinya fenomena penting mengenai kepanikan moral dalam membangun
Sistem Pendidikan Nasional. Kepanikan moral menurut Kenneth Thomson mengandung
unsur-unsur:
Unsure penting dalam kepanikan moral:5
1. sesuatu atau seseorang dianggap sebagai tantangan bagi nilai dan kepentingan
3 Mdjid, Nurkolis, Cita-cita Msyarakat Madani, dalam Kristanto, Edy (ed.), Etika Politik dalam KonteksIndonesia, Pesta 65 Tahun Romo Magnis (Yogyakarta: Kanisius, 2001) hal.311-330.4 ibid5 Thompson, Kenneth, Moral Panics (London and New York: Roudledge, 1998), hal. 8
70
2. tantangan ini dipresentasikan oleh media massa dalam bentuk yang mudah
dimengerti
3. terdapat konsen publik yang cepat terbentuk
4. ada respon dari penguasa atau pembentuk opini
5. kepanikan tercipta dalam perubahan masyarakat
Kerangka Thompson yang diambil dari studi Beck atas peristiwa kepanikan moral
mengenai pemakaian sabu di Inggris pada tahun 1960-an tersebut masih relevan untuk
digunakan membaca kepanikan moral mengiringi pembahasan UU Sisdiknas.
1. Sesuatu atau seseorang dianggap sebagai tantangan bagi nilai dan kepentingan.
Unsur ini dapat kita lihat dari latar belakang inisiasi UU Sisdiknas sendiri.
Adanya krisis multidimensional yang dirumuskan sebagai krisis moral adalah
gambaran adanya serangan atau tantangan atas nilai dan kepentingan yang
sebelum mapan. Hal ini dikembangkan dengan berbagai tema turunan seperti
kebebasan pers, reformasi kebablasan, kerusuhan tak bermoral, maraknya media
yang menyediakan pornografi, maraknya itnernet dan lain-lain. Dalam rapat di
DPR kepanikan moral masih diperkuat dengan ingatan kembali menengenai
kebangkitan PKI. Hal ini bisa dimengerti karena menjelang runtuhnya Orde Baru
isu munculnya PKI dengan PRD sebagai organnya santer diisukan di wacana
publik yang melibatkan penangkapan dan penghilangan paksa beberapa aktifis
mengiringin kerusuhan 27 Juli di Kantor PDI Jakarta.
6. Tantangan ini dipresentasikan oleh media massa dalam bentuk yang mudah
dimengerti. Dalam wacana UU Sisdiknas, media masa tidak memberitakan secara
cepat mengenai isu-isu penting dalam pembahasn rapat di DPR dan pemerintah.
Justru di waktu menjelang pengesahan wacana agama ini mucnul dan menjadi
perdebatan panjang yang mewarnai gerakan pro dan kontra UU Sisdiknas. Agama
merupakan isu pengikat antara nilai-nilai baru yang muncul dan menantang nilai-
nilai dan kepentringan mapan. Nilai mapan sayangnya masih melekat dengan
wacana sempit mengenai agama dan masih memiliki ingatan kuat terhadap
stabilitas sosial politik militeristik Orde Baru.
71
7. Terdapat konsen publik yang cepat terbentuk. Melalui satu gejala pemberitaan,
yaitu usulan pemerintah pada akhir tahun 2002 yang tidak menyertakan
sandingannya dari draft DPR, masyarakat tergugah mengkritisi. Dan dengan
peran media, kritisi ini melebar dan meluas memunculkan gerakan dan konsen
publik secara cepat mewarnai semester pertama tahun 2003.
8. Ada respon dari penguasa atau pembentuk opini. Respon dari penguasa selalu
mencoba untuk mengambil jalan aman demi memenangkan wacana dominan
pemberlakuan UU Sisdiknas baru sesuai dengan kepentingan dan nilai yang
sedang dipegang dan diperjuangkan. Respon masyarakat selalu dinilai terlambat
oleh pemerintah baik DPR maupun pemerintah eksekutif. Mereka telah
menyediakan segala-galanya untuk keberhasilan UU Sisdiknas ini dengan
dukungan masyarakat yang pro Sisdiknas, termasuk isu sensitif penyediaan guru
agama bagi sekolah yang membutuhkan.
9. Kepanikan tercipta dalam perubahan masyarakat. Tahun 2003 merupakan tahun
ke-6 setelah krisis multidimensional duimulai sejak menjelang runtuhnya Suharto
tahun 1996-1997. Perubahan-perubahan sosial poiltik, sosial ekonomi, sosial
budaya berjalan dengan kecepatan yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.
Masyararakat sedang mengalami perubahan cepat yang disadarinya namun gagap
dalam menyikapinya. Kesatuan masyarakat sipil tidak berjalan dengan mulus dan
pemerintah tidak memberikan fasilitasi yang baik dalam membangun wacana
terutama dalam hal hubungan agama dan negara. Konsekuensi ini meledak ketika
UU Sisdiknas diusulkan dan dibahas pada tahun 2002-2003.
74
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, alih bahasa oleh
Drs. Mujiburrahman MA (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001)
Budiardjo, Miriam, Prof., Dasar-Dasar Ilmu Politik
Turner, Graeme, British Cultural Studies, An Introduction, (London and New York:
Roudledge, 1996)
Cochran, Clarke E., Religion in Public and Private Life. (New York and London:
Roudledge, 1990)
Dahl, Robert A., Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan praktek Demokrasi Secara
Singkat, alih bahasa oleh A. Arman Zainuddin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001)
Marsden, George M., Agama dan Budaya Amerika, alih bahasa oleh B. Dicky Soetadi
(Jakarta: kerjasama Pustaka SInar Harapan dan USIS Jakarta, 1996)
Hamidi, Jazim, S.H. M.HUM dan Abadi, M. Husnu, S.H.M.HUM, Intervensi Negara
terhadsap Agama Studi Konvergensi Atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi
Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2001)
Haryatmoko, Dr. Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003)
Madjid, Nurkolis, Cita-cita Msyarakat Madani, dalam Kristanto, Edy (ed.), Etika Politik
dalam Konteks Indonesia, Pesta 65 Tahun Romo Magnis (Yogyakarta: Kanisius, 2001) h
Saidi, Anas (ed), Menekuk Agama, Membangun Tahta, Kenbijakan Agama Orde Baru,
(Jakarta: Desantara, 2004)
75
Thompson, Kenneth, Moral Panics (London and New York: Roudledge, 1998)
Webster’s Collegiate Thesaurus, a Merriam-Webster (Springfield, Massachusetts,
U.S.A.: Merriam-Webster Inc., 1976)
Majalah dan Media Masa
Basis, Nomor 06-07, Tahun ke-52, Juli-Agustus 2003, hal. 3
http://www.kompas.com/kompas-cetak/9903/06/PARTAI/part15.htm, dari web ini
diakses sumber data baik dari edisi Kompas Cyber Media maupun edisi cetak, dari bulan
Juni 2002-Juni 2003
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
http://www.mirifika.net
http://www.suarapembaharuan.com, terutama untuk bulan Mei-Juni 2003
Harian The Jakarta Post bulan Mei 2003
Harian Warta Kota bulan Mei-Juni 2003
Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
Nasional, Pustaka Widyatama, tt., tt., hal. 12
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan
Keempat dalam Satu Naskah (Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2004)
Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1999).