Top Banner
i HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO KONTRA PASAL 12 UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TESIS Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Studi Pascasarjana Program Magister Ilmu Religi Budaya Minat Khusus Ilmu Religi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Pembimbing Utama: Dr. G. Budi Subanar, SJ Pembimbing Kedua: Dr. St. Sunardi Oleh: Wakhit Hasim NIM: 02 6322 013 MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009
85

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

Oct 16, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

i

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARAKAJIAN WACANA ATAS PRO KONTRA PASAL 12 UU NO. 20 TAHUN 2003

TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

TESISDiajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir

Studi Pascasarjana Program Magister Ilmu Religi BudayaMinat Khusus Ilmu Religi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Pembimbing Utama:Dr. G. Budi Subanar, SJ

Pembimbing Kedua:Dr. St. Sunardi

Oleh:Wakhit Hasim

NIM: 02 6322 013

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYAUNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2009

Page 2: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …
Page 3: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …
Page 4: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …
Page 5: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

vi

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini kusembahkan untuk istriku…

Page 6: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …
Page 7: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

vii

KATA PENGANTAR

Pada mulanya saya terlibat dengan beberapa rapat untuk merespon RUU Sisdiknas pada

semester awal tahun 2003. Pada waktu itu banyak sekali pihak yang merespon RU Sisdiknas dari

berbagai kalangan baik kalangan pakar pendidikan maupun masyarakat umum. Isu yang paling

hangat dan mengemuka diantara isu-isu lainnya yang mengiringi pembahasan RUU Sisdiknas itu

adalah isu penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah baik swasta maupun negeri.

Ada kecemasan yang menjalar pada khalayak ramai dengan munculnya isu ini.

Kecemasan itu bermula dari banyak arah dan banyak pihak. Pemerintah pengusul draft RUU

Sisdiknas mencemaskan adanya generasi yang hilang. Alasannya adalah adanya perubahan pola

perilaku di khalayak sejak munculnya reformasi. Kebebasan berekspresi yang dimungkinkan

oleh reformasi dianggap kebablasan. Maka kata ‘reformasi kebablasan’ sering terdengar dalam

percakapan umum. Jika hal ini tidak dikendalikan, pemerintah cemas jika generasi setelah

reformasi akan menjadi generasi yang tidak jelas arah tujuannya, generasi yang hilang.

Berbeda dengan pemerintah, kelompok-kelompok masyarakat juga memiliki kecemasan

berbeda-beda. Isu penyelenggaraan pendidikan agama yang diatur langsung oleh pemerintah

menyadarkan banyak pihak akan kemungkinan pemerintah intervensi ke dalam lembaga-

lembaga pendidikan. Sebagian yang lain cemas jika pendidikan agama diatur oleh pemerintah,

maka ruang privat dari agama-agama akan terancam. Sebagian yang lain cemas jika pendidikan

dibiarkan, maka akan banyak anak-anak yang mendapatkan pendidikan dari agama yang berbeda

akan terpengaruh dengan agama tersebut, yang biasanya diselenggarakan oleh lembaga

pendidikan keagamaan tertentu. Mereka mengharap pemerintah mengatur itu supaya merasa

aman dari pengaruh pendidikan agama lain. Pendek kata ada yang pro dan ada yang kontra, dan

masing-masing memiliki pendukung cukup banyak di berbagai daerah di Indonesia.

Pengalaman terlibat rapat-rapat mengkritisi draft RUU Sisdiknas pada tahun 2003

tersebut membuat saya bertanya-tanya, apakah RUU Sisdiknas ini merupakan jawaban dari

kecemasan mereka, ataukah justru menambah kecemasan mereka? Sebetulnya bagaimana

pengaturan pendidikan agama dalam sebuah negara yang plural seperti di Indonesia ini supaya

dapat mendukung pertumbuhan kehidupan bersama yang baik? Namun setelah berdiskusi dengan

Page 8: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

viii

kawan-kawan, bahkan dengan beberapa dosen di IRB, termasuk pak Nardi, saya justru lebih

tertarik dengan fenomena bagaimana masyarakat membicarakan hal ini dalam respon-respon

mereka? Apakah pembicaraan mereka memberikan dampak pembahasan yang lebih mendalam

terhadap isu utama pendidikan agama di Indonesia? Apakah komunikasi yang dilandasi rasa

cemas dari berbagai pihak ini akan mengantarkan pada hasil wacana yang sehat? Apakah para

pengambil kebijakan pada akhirnya mempertimbangkan wacana publik baik dan pro dan kontra

ini secara serius?

Pertanyaan-pertanyaan ini yang membawa saya belajar teori wacana yang saya merasa

sulit, tapi tertarik. Tesis ini adalah latihan saya untuk belajar teori wacana, dan mencoba

menerapkan sesederhana munkin dalam mengkaji fenomena pro kontra UU Sisdiknas tahun

2003.

Saya berterima kasih untuk semua pihak yang mendorong saya berani menyelesaikan

studi ini dengan berbagai rasa cemas yang mendera, terutama untuk Romo Banar dan pak Nardi

yang membimbing saya dengan sabar. Terima kasih.

Page 9: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

ix

ABSTRAK

Perumusan dan pembahasan RUU Sisdiknas sejak tahun 2001 hingga pengesahannya

menjadi UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 diwarnai oleh pro dan kontra dari berbagai pihak di

masyarakat. Wacana pro dan kontra muncul dari berbagai saluran baik media massa, gerakan

masyarakat terutama dari rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Wacana-

wacana ini berjalin berkelindan dan memberikan pengaruh satu dengan yang lain yang

mendorong secara cukup kuat terhadap respon masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra

terhadap UU Sisdiknas, baik melalui dialog, seminar, workshop, dan yang paling banyak

dipresentasikan oleh media adalah demonstrasi di berbagai kota.

Selain wacana-wacana dari berbagai saluran dan tatanan wacana, ada beberapa peristiwa

baik kewacanaan maupun non kewacanaan yang melatari dan pada kahirnya mempengaruhi

terhadap munculnya gejolak pro dan kontra. Pertama, perganitan rejim totaliter oleh rejim

demokrasi sejak tahun 1998, kedua, perubahan tatanan hukum ketatanegaraan dengan adanya

amandemen UUD 45 pertama hingga keempat, ketiga, konflik sosial politik yang terus

bergejolak di berbagai daerah, keempat, lemahnya penegakan hukum dan kelima, kebijakan yang

pro privatisasi.

Perubahan sosial yang diakibatkan oleh hubungan antar wacana dan pengaruh peristiwa

non kewacanaan lain diperlihatkan oleh gejolan pro dan kontra UU Sisdiknas yang hingga tahun

2003 terus berproses dan berkembang. Tatatan-tatanan wacana antara lain wacana pendidikan,

wacana manajemen pendidikan, wacana ekonomi (biaya) pendidikan, wacana sosial budaya

kebebasan berekspresi, wacana politik demokrasi dan reformasi menjadi wacana-wacana yang

muncul pada permulaan pro dan kontra. Wacana-wacana ini berjalin berkelindan dan

memunculkan wacana baru mengenai wilayah privat dan publik, kewenangan negara terhadap

agama dan peran agama terhadap kehidupan berbangsa. Keseluruhan wacana ini mendapatkan

respon, namun yang terutama mendominasi gerakan pro dan kontra adalah isu hubungan agama

dan Negara.

Wacana yang dikembangkan belum sampai pada tataran kritis publik atas konsep privat

dan publik terkait dengan penyelenggaraan pendidikan agama, namun memunculkan potensi

Page 10: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

x

partisipasi publik terhadap kebijakan negara, terutama dalam hal pendidikan agama, yang

menggembirakan. Potensi resistensi atas dominasi wacana negara juga ditunjukkan atas adanya

wacana kontra terhadap UU Sisdiknas. Hal-hal tersebut memberikan kemungkinan atas

tumbuhnya kesadaran baru dan perubahan sosial. Namun demikian, terdapat fenomena penting

dari wacana pro dan kontra ini yaitu kecemasan dan kepanikan moral. Hubungan antar wacana

kurang berjalan dengan memadai, berjalan dengan reaktif dan emosional, tidak terlihat titik temu

acuan moralitas yang dibahas dengan pertimbangan yang mendalam dan berorientasi ke depan,

agen-agen yang terlibat memberikan respon atas yang lain dengan saling mencurigai. Media

masa yang memberikan saluran wacana, terutama berita, juga menjadi bagian dari agen

kecemasan publik atas penyelenggaraan pendidikan agama.

Page 11: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

xi

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ------------------------------------------------------------------------------ i

HALAMAN PERSETUJUAN ------------------------------------------------------------------- ii

HALAMAN PENGESAHAN ------------------------------------------------------------------- iii

HALAMAN PERNYATAAN ------------------------------------------------------------------- iv

MOTTO --------------------------------------------------------------------------------------------- v

PERSEMBAHAN --------------------------------------------------------------------------------- vi

KATA PENGANTAR --------------------------------------------------------------------------- vii

ABSTRAK ---------------------------------------------------------------------------------------- ix

DAFTAR ISI ---------------------------------------------------------------------------------------xi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang --------------------------------------------------------------------------- 1

B. Perumusan Masalah Penelitian -------------------------------------------------------- 6

C. Tujuan Penelitian ------------------------------------------------------------------------ 7

D. Kegunaan Penelitian -------------------------------------------------------------------- 8

E. Metodologi Penelitian ------------------------------------------------------------------ 8

F. Kerangka Analisis ------------------------------------------------------------------------ 8

G. Kajian Pustaka --------------------------------------------------------------------------- 18

H. Sistematika Pembahasan --------------------------------------------------------------- 22

BAB II

KRISIS MULTI DIMENSIONAL DAN SOLUSI NEGARA

A. Konteks Sosial Politik Era Reformasi ------------------------------------------------ 24

B. Wacana Negara Menjawab Tantangan Krisis --------------------------------------- 28

C. Respon Masyarakat --------------------------------------------------------------------- 31

D. Kesimpulan ------------------------------------------------------------------------------ 32

Page 12: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

xii

BAB III

PASAL 12 UU SISDIKNAS DAN WACANA HUBUNGAN AGAMA DAN

NEGARA

A. Hubungan Agama dan Negara Belum Selesai ------------------------------------- 33

B. Model Hubungan Agama dan Negara ---------------------------------------------- 40

C. Kesimpulan ----------------------------------------------------------------------------- 42

BAB IV

AGAMA DALAM KEHIDUPAN PRIVAT DAN PUBLIK

A. Kehidupan Privat ----------------------------------------------------------------------- 43

B. Kehidupan Publik ---------------------------------------------------------------------- 47

C. Agama dan Politik --------------------------------------------------------------------- 51

D. Respon Masyarakat dan Kerentanan Agama dalam Politik ---------------------- 54

E. Kesimpulan ----------------------------------------------------------------------------- 63

BAB V

PERAN AGAMA DALAM MEMBENTUK MORAL BANGSA

A. Agama dan Pendidikan Moral ------------------------------------------------------- 64

B. Peran Masyarakat dan Negara------------------------------------------------------- 66

C. Demokrasi, Moralitas Bangsa dan Pendidikan Agama -------------------------- 67

D. Wacana Pendidikan Agama dan Kepanikan Moral------------------------------- 69

E. Kesimpulan --------------------------------------------------------------------------- 71

Bab VI

KESIMPULAN DAN PENUTUP

A. Kesimpulan -------------------------------------------------------------------------- 72

B. Penutup ------------------------------------------------------------------------------ 73

Page 13: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

1

BAB I

PENDAHULUAN

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

KAJIAN WACANA ATAS PRO KONTRA PASAL 12 UU NO. 20

TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

A. Pengantar

Pro dan kontra mengiringi pengesahan UU No. 20/2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (untuk selanjutnya disebut UU Sisdiknas) menjadi wacana politik

hukum yang panas pada semester pertama tahun 2003 terutama menjelang disahkan

yang rencananya akan dilakukan pada Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2003.1

Pro kontra ini terutama mengenai pasal-pasal khusus tentang masalah pendidikan agama.

Pasal 12 ayat (1) bagian a. menyebutkan bahwa “setiap peserta didik pada setiap

satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama

yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.2 Pada bagian penjelasan

disebutkan bahwa “pendidik dan atau guru agama yang seagama dengan peserta

didik difasilitasi dan atau disediakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah

sesuai kebutuhan satuan pendidikan”.3

Pasal 12 ayat (1) diatas berhubungan dengan pasal 30 tentang penyelenggaraan

pendidikan keagamaan. Pasal 30 ayat (1) menyebutkan bahwa “pendidikan keagamaan

diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk

agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, dan ayat (5) yang

menyebutkan bahwa “ketentuan mengenai pendidikan keagamaan diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah”.4

Pro dan Kontra ini mencuat sejak dikeluarkannya RUU versi pemerintah pada

tanggal 20 dan 28 April 2003 yang dipersiapkan sebagai tanggapan atas RUU Sisdiknas

yang telah diusulkan oleh DPR setahun sebelumnya, yakni tanggal 27 Mei 2002.

Pemerintah dalam mengeluarkan RUU ini tidak menyandingkannya dengan usulan

1 Kompas, 2 Mei 20032 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, PustakaWidyatama, tt., tt., hal. 123 Ibid., hal.554 Ibid., hal. 21 dan 22

Page 14: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

2

aslinya dari DPR dan mempublikasikannya secara terpisah. Oleh karena itu masyarakat

tergerak hati dengan reaksi secara lebih substansial, kemudian secara tak terduga

menimbulkan reaksi dari sebagian masyarakat lain secara kontinyu melibatkan isu yang

menyentuh sentimen masyarakat akan agama5.

Masalah-masalah yang diperdebatkan pada pasal-pasal mengenai pendidikan

agama dalam UU Sisdiknas terkait dengan dua hal. Pertama, apakah pendidikan agama

merupakan wilayah negara untuk mengaturnya, ataukah merupakan wilayah

otonomi orang tua peserta didik dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan.

Masalah kedua yang menjadi perdebatan mengiringi disahkannya UU Sisdiknas adalah

apakah pendidikan agama merupakan solusi bagi krisis moral bangsa.

a. Masalah pertama:

Kelompok pendukung UU Sisdiknas tidak secara eksplisit menekankan apakah

pendidikan agama merupakan wilayah publik atau privat, namun mereka menekankan

bahwa pasal ini merupakan pengakuan negara atas berbagai macam agama yang ada di

Indonesia sekaligus jaminan masing-masing peserta didik untuk mendapatkan

pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya. Menurut kelompok ini negara telah

mengakui “pluralitas” agama dan hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan

agama yang dianutnya. Pengakuan peran negara atas pluralitas agama dan dukungan

kelompok ini terhadap pengesahan UU Sisdiknas dapat diartikan bahwa mereka

menyetujui pendidikan agama merupakan wilayah negara, atau setidak-tidaknya tidak

menolak ide bahwa pendidikan agama merupakan tanggungjawab negara. Kita dapat

bertanya seberapa besar negara diberi wewenang menjalankan pendidikan agama.

Apakah negara diserahi sepenuhnya pendidikan agama ini ataukah sebagian saja? Jika

sebagian saja, dapat pula ditanyakan dalam hal apa negara diserahi wewenang untuk

menyelenggarakan agama?

Menjawab masalah ini pemerintah menegaskan telah disediakan sekitar 70.000

tenaga pengajar agama yang siap diberikan pada satuan pendidikan yang membutuhkan.

Hal ini disampaikan oleh Hamzah Haz, ketika itu adalah wakil presiden RI, dengan

memberikan tanggapan bahwa perdebatan pendidikan agama seiring dengan pengesahan

5 Kompas, 2 Mei 2003

Page 15: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

3

UU Sisdiknas hanya masalah teknis pengadaan guru. Alasannya, sebagian satuan

pendidikan yang berlatar belakang agama dipandang kesulitan dalam pengadaan guru

agama yang bukan dari kalangan agama penyelenggara satuan pendidikan.

Pernyataan pemerintah di atas perlu dikaji lebih jauh. Benarkah perdebatan yang

melibatkan gelombang masyarakat selama lebih kurang satu semester pada awal tahun

2003 ini sekedar masalah teknis, yaitu pengadaan guru agama? Penulis berasumsi ada

masalah yang lebih mendasar mengenai ketidakjelasan wilayah privat dan publik dalam

pendidikan agama. Batasan peran publik pemerintah dalam pendidikan agama belum

dibicarakan secara terbuka dengan keterlibatan masyarakat secara luas. Karena dialog

persoalan wilayah publik-privat agama ini belum begitu jelas6, kelompok-kelompok

keagamaan menyikapi dengan menggunakan anggapan mereka masing-masing. Seiring

dengan nuansa dialog yang belum terbuka bagi banyak kalangan, respon kelompok-

kelompok agama cukup berhadap-hadapan antara kelompok masyarakat yang setuju

pengesahan RUU Sisdiknas -yang mayoritas merupakan kelompok muslim- dan

kelompok yang menolaknya yang kebanyakan berasal dari kelomok non muslim,

terutama dari kalangan Katolik dan Kristen7.

Sebaliknya, kelompok penolak UU Sisdiknas berargumentasi bahwa pasal-pasal

tersebut merupakan bentuk pembatasan terhadap hak masyarakat untuk mengatur

urusannya sendiri. Agama merupakan masalah privat, merupakan urusan lembaga

pendidikan dan orang tua. Melalui pasal ini kebebasan untuk memilih pendidikan agama

tidak diakui, dan oleh karena itu merupakan bentuk intervensi negara atas pendidikan

agama. Argumen kelompok ini berkaitan dengan masalah privat dan publik lembaga

pendidikan agama. Jika pendidikan merupakan masalah privat, apakah lembaga

keagamaan penyelenggara pendidikan agama juga bisa disebut privat? Hal ini membawa

6 Usaha dialog antar agama di Indonesia sudah cukup banyak, bahkan telah melibatkan organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiah dan NU. Namun demikian masyarakat umum masih sangat mudahterpengaruh dengan masalah ketegangan hubungan antar agama, terutama karena media memberitakansentimen-sentimen ini, di mana banyak dari kalangan Kristen yang menolak dan banyak kalangan Islamyang setuju atas pengesahan UU Sisdiknas. Beberapa kalangan sampat mensinyalir adanya muatan politikatas pengesahan UU Sisdiknas ini sebagai agenda lebih lanjut dari pemberlakukan kembali Piagam Jakartayang sudah tidak berhasil diperjuangkan pada forum sebelumnya dalam pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar. Lihat. Harian Kompas, Jumat 2 Mei 20037 Beberapa kalangan yang menolak atau mendukung UU Sisdiknas dalam isu pendidikan agama sebetulnyatidak saja dari kalangan Islam dan Non Islam, namun juga kelompok pluralis baik Islam, Kristen, Katolik,Hindu dan beberapa kalangan berasal dari NGO/LSM. Kalangan Islam cenderung setuju denganpengesahan, kalangan non Islam dan pluralis cenderung menolak dengan alasan masing-masing.

Page 16: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

4

kita kepada pertanyaan lebih mendasar, apa yang disebut wilayah privat? Apa pula yang

disebut wilayah publik? Dimana batas-batas keduanya, khususnya dalam masalah

penyelenggaraan pendidikan agama?

Dengan pembacaan berbeda dengan kelompok masyarakat pendukung UU

Sisdiknas, kelompok penolak justru menilai UU Sisdiknas tidak mengakui pluralitas

keyakinan dan agama yang sangat beragam di Nusantara sebab sejauh ini pemerintah

hanya mengakui agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha sebagai agama yang

resmi sah di Indonesia. Pendapat ini disampaikan oleh sebagian masyarakat Jawa Timur

yang berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Sisdiknas mengiringi akan disahkannya

RUU tersebut pada tanggal 2 Mei 2003. Selain agama yang tidak diakui pemerintah,

mereka juga mengatakan bahwa kelompok kepercayaan juga menghadapi masalah

serupa, tidak diakui oleh UU Sisidiknas No. 20 tahun 2003.8

Selain dua kelompok pendukung dan penolak UU Sisdiknas di atas, ada pendapat

yang mencoba memberi jalan tengah. Pengakuan negara atas agama diperlukan di

Indonesia agar tidak terjadi pemisahan tegas antara agama dan negara. Pemisahan tegas

antara agama dan negara membawa ironi mengenai pengakuan negara atas agama secara

tidak tuntas. Di satu sisi agama diakui haknya untuk berkembang dalam ruang privat

warga negara, di sisi lain belum tentu negara memberi pengakuan warga negara untuk

mempraktikkan pendirian agamanya di ruang publik, seperti pelarangan penggunaan

simbol agama di ruang publik, di pemerintah, di sekolah yang belum lama ini terjadi di

negara Perancis. Cita-cita kebaikan yang tidak dapat dicapai oleh negara diharapkan

dapat dicapai dalam agama, namun pada saat yang sama agama tidak diberikan ruang

untuk mencapai cita-cita kebaikan hidup itu pada ruang publik. Kendatipun pengakuan

Negara terhadap agama diperlukan, tetapi pengakuan ini tidak boleh diartikan sebagai

intervensi berlebihan dari negara ke wilayah agama. Jika intervensi ini terjadi akan ada

kecenderungan agama pihak yang berkuasa mendominasi aturan yang dalam sejarah telah

banyak menumpahkan darah masyarakat dan ulama. UU Sisdiknas memiliki

kecenderungan intervensi negara terhadap agama.9

8 Kompas, Jumat 2 Mei 20039 Sindhunata, Antara Negara dan Agama, Basis, Nomor 06-07, Tahun ke-52, Juli-Agustus 2003, hal. 3

Page 17: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

5

b. Masalah kedua:

Masalah kedua yang menjadi perdebatan mengiringi disahkannya UU Sisdiknas

adalah apakah pendidikan agama merupakan solusi bagi krisis moral bangsa?

Pandangan masyarakat pendukung UU Sisdiknas terwakili oleh pernyataan resmi dari

pemerintah baik DPR maupun Depdiknas yang menjelaskan bahwa latar belakang

perumusan RUU Sisdiknas adalah untuk menjawab tiga masalah utama bangsa Indonesia,

pertama, mengatasi krisis moneter, ekonomi dan berkembangnya krisis multi

dimensional yang berujung pada krisis moral bangsa. Kedua, kecenderungan globalisasi

yang tidak dapat dielakkan, dan ketiga kecenderungan demokratisasi yang sudah dimulai

pada 22 Mei 1989 ketika rejim Suharto Tumbang. Pembahasan tesis ini ditempatkan pada

masalah pertama. Point pertama menjelaskan anggapan bahwa UU Sisdiknas, terutama

pendidikan agama, merupakan kunci bagi penyelesaian krisis moral bangsa.10

Tidak diragukan lagi bahwa agama berkepentingan dengan moral. Jika ada

moralitas seseorang bermasalah, masih banyak masyarakat mempercayai hal itu berkaitan

dengan kurangnya pendidikan agama. Dengan keyakinan ini terdapat asumsi dalam

kelompok yang setuju dengan pengesahan UU Sisdiknas bahwa moralitas bangsa juga

dapat diselesaikan dengan pendidikan agama. Bahkan terjadinya masalah moral ini

berujung pada pendidikan agama yang selama ini tidak benar. Namun kita dapat bertanya

sampai dimana kekuatan agama dalam menjamin moralitas bangsa menjadi baik? Apakah

krisis multidimensional yang dialami oleh bangsa Indonesia ini hanya diakibatkan oleh

pendidikan agama yang tidak beres? Ataukah ada penyebab lain misalnya kebijakan yang

diskriminatif, pemerintahan yang penuh korupsi, kolusi dan nepotisme? Apakah

pendidikan agama berkaitan dengan moralitas pemerintahan ataukah modus dan cara

pemerintahan yang justru memberikan peluang buruknya kinerja pemerintah yang

menyebabkan masyarakat tidak puas dan terjadi krisis? Penulis beranggapan diperlukan

kajian kembali mengenai perumusan masalah moral bangsa dan peran pendidikan agama

dalam menyelesaikan masalah moral bangsa.

10 Bdk. Darmaningtyas, Politisasi Pendidikan Agama di Sekolah , Basis, Nomor 06-07, Tahun ke-52, Juli-Agustus 2003, hal. 18

Page 18: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

6

Bagi kelompok masyarakat yang menolak, berpendapat bahwa keyakinan krisis

bangsa dipersempit ke dalam krisis moral dan terutama krisis pendidikan agama yang

akan diselesaikan melalui UU Sisdiknas ini merupakan penyederhanaan masalah yang

jauh lebih besar. Masalah-masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia misalnya

korupsi, kolusi dan nepotisme Orde Baru yang masih berlanjut hingga saat ini.11

Baik bagi kelompok yang setuju maupun yang tidak setuju pengesahan UU

Sisdiknas, kiranya ada pertanyaan yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia yang

sampai saat ini masih sangat relevan karena masyarakat Indonesia sangat yakin dengan

peran agama dalam kehidupan sosial. Pertanyaan ini berujung pada keprihatinan bersama

bangsa Indonesia untuk penataan masyarakat yang lebih baik, adil dan damai, yaitu

seberapa jauh pendidikan agama dapat mendorong perbaikan moral bangsa? Masalah ini

ini membutuhkan refleksi mendalam mengenai pengalaman pendidikan agama sejauh

dilakukan dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia dan bagaimana kita memposisikan

agama dan pendidikannya untuk Indonesia kedepan dalam rangka mendukung kehidupan

berbangsa dan bernegara yang beradab.

Masalah yang lebih mendalam disampaikan oleh kalangan pakar dan sebagian

masyarakat yang kontra pengesahan UU Sisdiknas yaitu ketidakjelasan visi dari

pendidikan nasional. Hal ini tercermin dalam, sebagaimana disampaikan oleh Prof Dr.

HAR Tilaar, rumusan tujuan sistem pendidikan nasional (pasal 3) yang panjang dan sulit

dijabarkan dalam pasal operasional.12 UU Sisdiknas juga kehilangan ruh pendidikan,

menurut Ki Supriyoko, seperti kejujuran, cinta kasih, pengorbanan selayaknya kasih

sayang orang tua kepada anaknya.13 Menurut Ketua Umum Yayasan Kesejahteraan Anak

Indonesia (YKAI) Prof Dr Lily R Rilantono UU Sisdiknas tidak mempunyai konsep

mengenai PADU atau pendidikan dini usia, tidak memungkinkan mencerap nilai-nilai

modern.14

B. Perumusan Masalah

11 Ibid, hal. 19-20.12 Kompas, 1 April 200313 Kompas, 11 April 200314 Kompas, 17 Maret 2003

Page 19: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

7

Masalah pendidikan agama merupakan yang menjadi isu utama yang diangkat

oleh gelombang protes atas pengesahan UU Sisdiknas diantara isu-isu lain seperti isu

ancaman disintegrasi bangsa, isu pluralisme agama, isu hubungan antar umat beragama

dan lain-lain. Penulis ingin merefleksikan masalah pendidikan agama ini yang tercermin

dari gelombang protes masyarakat mengiringi pengesahah UU Sisdiknas untuk

mendalami wacana hubungan antara agama dan negara di Indonesia. Wacana hubungan

agama dan negara penulis kaji melalui pembahasan terhadap pertanyaan-pertanyaan inti

sebagai berikut.

Pertama, bagaimana negara menjawab krisis multi dimensional dan krisis moral

bangsa melalui pengundangan UU Sisdiknas? Pertanyaan ini diajukan untuk memberikan

konteks bagi pasal 12 UU Sisdiknas dari sisi latar belakang dirumuskannya UU Sisdiknas

dan proses pembahasan serta struktur internal UU Sisdiknas.

Kedua, bagaimana kedudukan Pasal 12 dalam Wacana Hubungan Agama dan

Negara? Melalui pertanyaan ini diajukan konteks bahwa pembahasan mengenai

hubungan agama dan negara belum selesai. Pembahasan ini akan ditelusuri melalui

beberapa kajian mengenai kebijakan agama di Indonesia dari waktu ke waktu dan

konteks teologis yang melatari pro dan kontra UU Sisdiknas.

Ketiga, sejauh mana negara dapat mengurusi masalah agama? Melalui pertanyaan

ini akan diajukan pembahasan mengenai ruang publik dan privat, agama dalam wilayah

publik dan privat serta hubungan agama dengan politik/negara dan bagaimana pro kontra

UU Sisdiknas dalam memproduksi wacana tersebut.

Keempat, sejauh mana agama membentuk moral bangsa? Pertanyaan ini akan

mengeksplorasi peran spesifik agama dalam pendidikan moral bangsa meliputi kajian

masalah-masalah agama dan latar belakang masalah moralitas di Indonesia dan wacana

pendidikan agama yang diproduksi oleh pro dan kontra UU Sisdiknas.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dirancang untuk tujuan-tujuan sebagai berikut.

Pertama, memperoleh gambaran wacana pemerintah dalam menjawab masalah

krisis multidimensional yang berujung pada masalah moralitas bangsa melalui UU

Sisdiknas.

Page 20: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

8

Kedua, memperoleh gambaran proses wacana hubungan agama dan negara

hingga munculnya pro kontra UU Sisdiknas, khususnya dari sisi pasal 13 UU Sisdiknas.

Ketiga, memperoleh gambaran wacana wilayah negara dalam mengatur agama

melalui perspektif privat dan publik yang terbangun dalam pro kontra UU Sisdiknas.

Keempat, memperoleh gambaran peran agama dalam membangun moral bangsa

melalui perspektif peran privat-publik agama.

D. Kegunaan penelitian

Hasil dari penelitian ini saya harapkan dapat memberikan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, menyumbangkan wacana perbedaan pendapat keagamaan dalam konteks negara

bangsa dari segi wilayah publik dan privat. Kedua, pengembangan dialog antara agama

dalam kaitannya dengan keterlibatan agama dalam politik. Ketiga, pengembangan

kebijakan yang memperhitungkan peran agama dan negara dalam pengembangan

kehidupan publik secara adil.

E. Metodologi Penelitian

E.1. Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengambil data dari sumber

data sebagai pemberitaan media masa dan rekaman proses rapat pembahasan UU

Sisdiknas di DPR. Pemberitaan media masa seputar pro kontra UU Sisdiknas diambil dari

tahun 2002 hingga semester pertama tahun 2003. Rekaman proses rapat-rapat DPR dalam

pembahasan UU Sisdiknas mulai dari usulan inisiatif hingga pembahasan di sidang

paripurna. Sumber data diperoleh dari: 1) koran harian dan majalah, baik cetak maupun

elektronik dan 2) gedung sekretariat DPR-MPR bagian pusat data.

E.2. Kerangka Analisis

Page 21: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

9

Kerangka analisis thesis ini memakai pendekatan analisis wacana, terutama teori

wacana kritis dari Fairclough15, dan analisis sosial lain seperti analisis politik mengenai

hubungan masalah privat dan public dan analisis kepanikan moral.

Analisis ini Wacana merupakan salah satu dari pendekatan konstruksionisme

sosial yang kesemuanya memiliki titik temu dalam hal beberapa premis utama dan

asumsi mengenai bahasa dan subeknya.

Premis-Premis Utama

Premis-premis utama yang diyakini oleh pendekatan konstruksionime sosial

antara lain pertama, pengetahuan kita dan representasi akan dunia ini merupakan produk

wacana. Pengetahuan kita akan realitas dengan mengkategorikan berbagai hal dalam

bentuk pengertian-pengertian tidak benar-benar merupakan refleksi atas realitas itu

sendiri, melainkan produk dari cara kita memberi makna terhadapnya. Kedua, cara kita

memahami dunia dan memandang dunia bersifat khusus dan mungkin, artinya pandangan

dunia dan identitas kita bisa berbeda dan berubah sepanjang waktu, sebab kita adalah

manusia kultural dan historis. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan kaum

fundasionalis yang meyakini adanya pengetauan kokoh yang didasarkan atas metateori

yang lebih penting dari tindakan manusia yang bersifat kontekstual. Pandangan ini juga

bertentangan dengan pandangan kaum esensialis yang meyakini bahwa masyarakat

memiliki esensi dan sifat yang tetap dan otentik. Ketiga, cara kita memahami dunia

diciptakan dan dipertahankan oleh proses sosial, yakni melalui interaksi sosial tempat

kita membentuk kebenaran bersama dan menentukan mana yang benar dan mana yang

salah. Keempat, cara pandang kita terhadap dunia bahwa pengetahuan dan kebenaran

merupakan konstruksi sosial membawa konsekuensi-konsekuensi sosial berbeda dan

tidak mengenal bentuk tindakan sosial yang alami.16

Premis-premis faham konstruksionisme sosial di atas tidak dapat diartikan bahwa

seluruh identitas sosial selalu berubah dan tidak ajek sehingga tidak dapat dikenali.

Meskipun premis dasar mengatakan bahwa pada prinsipnya pengetahuan dan identitas

15 Penjelasan kerangka analisis ini didasarkan pada buku “Analisis Wacana; Teori dan Metode” karanganMarianne W. Jorgensen dan Louis J. Philips, diterjemahkan oleh Imam Suyitno, Lilik Suyitno dan Suwarna(Pustaka Pelajar: 2007)16 Ibid, hal. 8-10.

Page 22: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

10

adalah bersifat mungkin, namun pengetahuan dan identitas sosial tersebut relatif tidak

fleksibel dalam situasi-situasi khusus dan bahwa bidang sosial termasuk bidang yang

lebih teratur dan terikat pada aturan.17

Asumsi Kebahasaan dalam Analisis Wacana

Pendekatan-pendekatan analisis wacana memiliki titik temu dalam pandangan

mengenai bahasa dan konsekuensinya terhadap wacana seperti berikut. Pertama, analisis

wacana mengambil pijakan dari pernyataan filsafat strukturalisme dan post strukturalisme

dalam bahasa. Akses kita terhadap realitas, berdasarkan pijakan filsafat ini, selalu melalui

bahasa. Melalui bahasa kita membuat representasi atas realitas, namun hal itu bukan

merupakan refleksi realitas murni, namun ada keterlibatan subyektif kita dalam

merepresentasikannya, sehingga kita juga memberikan kontribusi terhadap konstruksi

realitas itu. Obyek-obyek fisik dengan bagitu mendapatkan makna melalui wacana,

walaupun hal itu bukan berarti bahwa yang ada hanyalah representasi tanpa objek-objek

riil. Representasi dan objek riil ada, namun melalui wacanalah keduanya diproduksi

menjadi makna.18

Bahasa dalam hal ini tidak dipahami sebagai alat mengkomunikasikan keadaan

mental utama, perilaku atau fakta-fakta. Bahasa lebih merupakan alat untuk

menggerakkan, menyusun dunia sosial itu sendiri. Bahasa menata hubungan-hubungan

dan identitas-dentitas sosial, yakni perubahan-perubahan yang terjadi pada wacana

merupakan alat untuk mengubah dunia sosial. Perjuangan yang terjadi pada wacana pada

hakikatnya adalah perjuangan untuk mengubah dan membentuk realitas sosial.

Keyakinan kebahasaan ini didasarkan pada asumsi bahwa bahasa sebagai suatu

system tidak memiliki hubungan instrinsik dengan realita yang dirujukknya. Antara

bahasa dan maknanya terjadi dengan kebetulan melalui kesepakatan-kesepakatan. Makna

bahasa tidak ditentukan oleh kata, bunyi, atau benda rujukan dari makna itu.

Asumsi kebahasaan ini diambil dari teori Ferdinan de Saussure yang menyatakan

bahwa tanda (sign) terdiri dari dua sisi, bentuk (significant) dan isi (signifie), dan bahwa

hubungan keduanya bersifat arbitrer. Makna kata-kata hanyalah produk kesepakatan,

17 Ibid, hal. 11.18 Ibid, hal. 16

Page 23: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

11

bukan secara hakiki ada dengan sendirinya. Kata “anjing” tidak berhubungan dengan

rujukan makna secara hakiki, tetapi karena diberikan oleh masyarakat untuk menandai

bahwa bunyi kata “anjing” merujuk pada hewan berkaki empat yang bisa menyalak.19

Saussure mengembangkan penelitian terhadap bahasa dan kebudayaan, dan

mengkategorikan struktur tanda di atas sebagai masalah pokok bahasa. Dia

mengkategorikan ada dua tataran bahasa, yaitu langue dan parole. Langue merupakan

struktur bahasa, yakni jaringan-jaringan tanda-tanda yang member makna, dan sifatnya

tetap tak bisa diganti-ganti. Sedangkan parole merupakan penerapan bahasa dalam situasi

kongkrit tertentu oleh pewicara. Parole selalu mengacu kepada langue sebagai struktur

acuan, sebab parole sangat rentan berubah-ubah sesuai situasi subyek dan sejarah.

Dengan dasar ini, Saussure mengusulkan langue sebagai perhatian utama analisis bahasa

untuk menghasilkan makna. Makna tentulah harus dihasilkan dari struktur yang tetap

yang menjadi pijakan bagi pengertian yang jelas dan memungkinkan adanya

komunikasi.20

Pemaknaan yang dihasilkan oleh struktur yang tetap model Saussure, darimana

istilah strukturalisme berasal, beroperasi pada beberapa gagasan bahwa: 1) tanda-tanda

mendapatkan makna bukan melalui hubungannya dengan realitas melainkan dari

hubungan intrernal dalam jaringan tanda-tanda, 2) jaringan tanda-tanda sebagai system

pemaknaan merupakan struktur yang stabil. Perumpamaan jaringan tanda-tanda dengan

struktur yang stabil dan tetap untuk menghasilkan makna adalah seperti jaring ikan,

dimana setiap tanda memiliki tempatnya sendiri pada masing-masing mata jaring. Posisi

mata jaring itu akan tetap pada tempatnya kendatipun kita menebarkannya, demikian pun

tanda-tanda untuk menghasilkan makna. Tempat tanda-tanda sudah tetap tak berubah

meskipun ditebarkan untuk menjaring makna, atau meskipun pemaknaan dilakukan

dengan berbagai cara.

Teori wacana mengambil gagasan jaringan tanda-tanda untuk menghasilkan

makna, namun tidak menyetujui pada gagasan bahwa bahasa merupakan struktur yang

tetap. Bahasa bukanlah struktur stabil, tak bisa berubah dan menyeluruh. Tanda masih

dapat memperoleh makna tidak perbedaannya dengan tanda lain, namun tanda yang

19 Ibid., hal. 17-18.20 Ibid, hal. 19

Page 24: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

12

berbeda dengan tanda lain itu masih bisa berubah makna sesuai dengan konteks

penggunaan tanda itu sendiri. Misalnya kata “bekerja” pada satu saat merupakan

kebalikan dari kata “santai”, namun dalam konteks lain bisa berlawanan dengan kata

“pasivitas”. Kata-kata, sebagai tanda dalam jaringannya dengan kata lain, oleh karenanya

tidak memiliki makna yang tetap. Perumpamaannya tidak sesederhana “jaring ikan”

namun lebih menyerupai hubungan “antar jaring (internet)”, yang sewaktu-waktu bisa

berubah, terputus, tersambung dengan jaring lain yang menghasilkan makna yang terus

bisa diubah dan dikembangkan. Analisis wacana mengambil ide ini dari aliran

posstrukturalisme dalam bahasa.21

Analisis Wacana dan Kekuasaan

Analisis wacana kritis bertujuan untuk mengungkap hubungan sosial yang

timpang dan tidak adil agar dapat terlibat dalam advokasi perubahan sosial. Oleh karna

itu analisis wacana tidak dapat disebut netral nilai, sebab ada keberpihakan terhadap

entitas masyarakat yang dilemahkan dan dipinggirkan. Analisis dibangun dalam rangka

mengungkapkan bekerjanya huungan kekuasaan dalam praktik sosial kemasyarakatan.

Untuk itu analisis wacana berkempentingan terhadap analisis kekuasaan dan ideologi.

Analisis wacana kritis mengambil ide kekuasaan dari Foucault. Mitcheal Foucault

mengenalkan analisis kekuasaan dengan dua teori mengenai arkeologi dan genealogi.

Kajian arekeologi diambil karena adanya kaidah pemaknaan yang berlaku bahwa terdapat

kaidah yang menentukan mana kalimat yang diterima, mana kalimat yang benar dan

mana yang salah dalam epos sejarah tertentu. Wacana, bagi Foucault, merupakan

sekelompok pernyataan milik formasi kewacanaan yang sama, terdiri dari sejumlah kecil

pernyataan tempat ditetapkannya sekelompok kondisi eksistensi, bersifat historis,

memiliki batas, pembagian, transformasi, mode khusus temporalitasnya sendiri.

Pengetahuan yang dihasilkan dari wacana merupakan produk wacana. Kebenaran

ditentukan oleh rejim pengetahuan yang dari waktu ke waktu dapat berubah. Wacana,

dalam hal ini dimengerti sebagai sederet pernyataan yang relatif terikat pada kaidah

sehingga menentukan batas-batas pada apa yang memberikan makna.22

21 Ibid, hal. 20-2122 Ibid, hal. 24-25

Page 25: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

13

Kekuasaan/pengetahuan dikembangkan oleh Foucault dalam kerja genealogisnya.

Kekuasaan tidak dipahami sebagai suatu miliki istimewa dari agen tertentu baik individu,

Negara atau struktur lainnya, namun kekuasaan tersebar dalam praktik-praktik sosial

yang berbeda. Kekuasaan tidak dipahami sebagai kekuatan yang bersifat menindas,

namun bersifat produktif; kekuasaan menyusu dan menghasilkan wacana, pengetahuan,

benda-benda dan subyeksitifitas pada setiap agen yang terlibat, tersebar. Misalnya,

wacana tindak kejahatan, melahirkan berbagai bidang yang memiliki lembaga sendiri,

misalnya penjara, agen misalnya penjahat, praktik tertentu misalnya pemasyarakatan.

Kekuasaan terikat dengan pengetahuan, satu sama lain saling mengandaikan, misalnya

kejahatan selalu mengandaikan adanya ilmu tentang kejahatan atau kriminologi.23

Kekuasaan memiliki kaitan erat dengan pengetahuan yang dilahirkan oleh proses

wacana. Wacana memproduksi subyek pengetahuan dan obyek yang diketahui. Dunia

pengetahuan, termasuk subyek dan obyeknya, dalam proses tertentu tersusun oleh

wacana. Karena pengetahuan merupakan produk wacana yang bersifat historis, maka

kebenaran yang dihasilkan juga kebenaran historis. Tidak ada kebenaran mutlak, namun

selalu ada kebenaran, atau efek kebenaran, yang dihasilkan oleh wacana. Kebebaran bagi

Foucault, merupakan prosedur untuk produksi, pengaturan dan difusi kalimat, dan

kebenaran dihasilkan oleh system kekuasaan.24

Analisis Wacana dan Ideologi

Analisis wacana kirits mengambil gagasan ideology dari Foucault yang

dikembangkan dari gurunya, Louis Althusser. Ideologi selalu terkait dengan ide

mengenai subyek dan gagasan imaginer bersama. Bagi Althusser, ideology merupakan

system representasi yang menyamarkan hubungan-hubungan kita yang sesungguhnya

satu sama lain dalam masyarakat dengan cara membangun hubungan-hubungan imajiner

antar orang-orang dan antar mereka sendiri dan formasi sosial. Hubungan yang dapat

dikatakan bukan hubungan semestinya ini mengendalikan semua aspek hubungan sosial.

Seseorang dibentuk dan menempati posisi sosial dalam proses bahasa yang wajar, namun

tanpa sadar dia telah menjadi subyek ideology karena memerankan diri dalam hubungan-

23 Ibid, hal 2624 Ibid hall 27.

Page 26: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

14

hubungan sosial dimana ideology bekerja. Proses ini dinamakan interpelasi, yakni proses

bahasa yang dialami dalam membentuk suatu posisi sosial individu atau seseorang yan

dengan demikian dia menjadi subyek ideology. Misalnya cara hidup modern mengenai

kesehatan, membuat seseorang menyesuaikan diri untuk merawat kesehatan mereka

masing-masing dengan cara mengikuti berbagai prosedur yang disediakan oleh

masyarakat modern. Ideology modernitas mengajak orang sebagai subyek pelaku ide-ide

modernitas tanpa dapat dielak oleh individu tersebut dan dengan sendirinya menjadi

subyek ideology.

Dengan pengertian ini, Althusser menempatkan subjek yang lemah di hadapan

ideology. Keyakinan subyek tidak terpusat pada Althusser ini diambil oleh Foucault.

Subyek diciptakan dalam wacana, bukan menentukan wacana. Wacana bukan penuturan

subyek mandiri, namun subyek dibentuk oleh dan dalam wacana. 25

Posisi subyek yang lemah tanpa pilihan di hadapan ideology ini mendapatkan

kritik yang tajam pada tahun 1970-an. Pertama, dalam kajian sosial, komunikasi dan

analisis wacana telah lahir konsensus bahwa tesis ideology dominan telah meremehkan

kemampuan manusia dalam memberikan perlawanan terhadap ideologi. Subyek dan

agensi sebetulnya memiliki kemampuan untuk memberikan perlawanan terhadap

ideologi.

Kedua, pandangan Althusser yang menyatakan bahwa semua wacana

dikendalikan oleh sat ideologi yang utuh ditolak. Posisi Foucault telah menggeser

ideology Althusser bahwa walaupun individu diciptakan oleh wacana, namun pluralitas

wacana bisa saling bersaing satu dengan yang lain dengan beroperasinya kekuasaan

secara menyebar dan kreatif. Analisi wacana kritis menekankan bahwa subyek tidak

terinterpelasi hanya dalam satu posisi subyek, sebab wacana-wacana yang berbeda bisa

dikatakan member subyek posisi berbeda bahkan bertentangan satu dengan yang lain.

Analisis wacana kritis menekankan bahwa orangmenggunakan wacana sebagai

sumberdaya yang mereka gunakan dalam menciptakan konstelasi-konsteleasi baru kata-

katan, kalimat-kalimat, yang tidak pernah diucapkan sebelumnya. Hasilnya aka nada

wacana silangan baru, dan dengan demikian perubahan sosial dimungkinkan. Subjek

menjadi agen perubahan sosial. Bagi fairclough tindakan-tindakan kreatif individu secara

25 Ibid, hal 29-30.

Page 27: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

15

komulatif menciptakan tatanan-tatanan wacama yang terstruktur. Dalam penelitian hal ini

penting dalam rangka untuk melacak praktik-praktik kewacanaan yang dinamis, tempat

para penggguna bahasa bertindak sebagai produsen dan produk kewacanaan dalam

perubahan sosial.

Ketiga, konsep ideologi, termasuk konsep Althusser, menyiratkan dapat

dicapainya kebenaran mutlak. Hal itu disebabkan keutuhan kerangka ideologi, dan tak

adanya kemungkinan individu untuk keluar dari ideologi. Hal ini dikritik menyebabkan

distorsi hubungan sosial yagn riil dan juga mendistorsi upaya untuk keluar dari ideologi.

Foucault menolak ideology, karena baginya kebenaran, subyek, dan hubungan antar

subyek dikonstruk oleh wacana secara historis. Teori wacana Laclau dan Moffe

mengadobsi pendapat Foucault ini sementara teori wacana kritis Fairclough masih

mempertahankan konsep ideologi untuk member ruang adanya wacana ideologis dan non

ideologis, dan untuk memberi ruang bahwa perjuangan keluar dari ideologi itu

mungkin.26

Praktik Wacana

Bagi analisis wacana kritis, termasuk analisis wacana Fairclough, fungsi wacana

atau praktik kewacanaan merupakan praktik sosial yang membentuk dunia sosial. Praktik

sosial mengisyaratkan tindakan itu bersifat kongkrit dimana indifidu dan konteks bersifat

terikat, namun juga bersifat tindakan ini terlembagakan dan terkat sosial, dan oleh karena

itu muncul regularitas. Fairclough lalu membedakan antara praktis sosial berupa konsep

wacana meliputi teks, pembicaraan dan system semiologis lainnya, dengan praktik sosial

lainnya yang non kewacanaan.Tiap jenis praktik sosial, baik praktik wacana maupun

praoktin non wacana, saling berhubungan secara dialektis untuk membentuk fakta sosial

dengan piranti logika masing-masing.27

26 Ibid, hal 32-3527 Ibid, hal. 36.

Page 28: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

16

Prosedur Analisis Wacana Kritis Fairclough28

Analisis wacana kritis Fairclough mengacu pada yang disebut Tiga Dimensi

Fairclough. Tiga dimensi itu merupakan fokus dari analisis wacana kritis, meliputi Teks,

Praktik Kewacanaan dan Praktik Sosial. Teks meluputi semua fungsi pencitraan, tuturan

atau gabungan dari semuanya yang diperiksa melalui cirri-ciri kebahasaan. Praktik

Kewacanaan meliputi proses bagaimana teks itu diproduksi dan dikonsumsi oleh subyek

wacana dan Praktik sosial meliputi praktik kewacanaan dan non kewacanaan, yang

keduanya berkontribusi terhadap dunia ini.

PRAKTIK SOSIAL

PRAKTIK KEWACANAAN

Konsumsi teks

TEKS

Produksi Teks

Beberapa konsep turunan menjadi penting untuk menunjang operasi analisis tiga

dimensi meliptui: 1) wacana, 2) fungsi wacana, 3) peristiwa komunikaatif dan tatanan

wacana, 4) jenis wacana dan aliran wacana, 5) intertekstualitas.

Wacana dimaknai sebagai a) penggunaan bahasa sebagai praktik sosial, b) jenis

bahasa yang digunakan pada bidang sosial khusus misalnya dalam bidan politik,

28 Semua paparan mengenai prosedur analisis wacana kritis model Fairclough diambil dari buku “AnalisisWacana; Teori dan Metode” karangan Marianne W. Jorgensen dan Louis J. Philips, diterjemahkan olehImam Suyitno, Lilik Suyitno dan Suwarna (Pustaka Pelajar: 2007), hal. 114-172.

Page 29: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

17

kesehatan, keamanan dan lain-lain, dan c) cara tutur yang member makana, berasal dari

pengalaman-pengalaman yang dipetik dari perspektif khusus, misalnya marxisme,

feminism, nasionalisme dan sebagainya. Wacana memiliki kontribusi terhadap realitas

melalui fungsi-fungsinya: a) membentuk identitas sosial (fungsi identitas), b) berfungsi

dalam hubungan-hubungan sosial (relasional) dan c) membangun system pengetahuan

dan makna (ideasional).

Wacana memiliki dimensi-dimensi misalnya peristiwa komunikatif tempat bahasa

digunakan dan tatanan wacana, yakni konfigurasi jenis wacana dalam lembaga sosial.

Dalam tatanan wacana terdapat praktik wacana khusus tempat diproduksinya teks dan

pembicaraan diproduksi, dikonsumsi dan diartikulasikan. Misalnya wacana pelayanan

kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Aliran wacana dimengerti sebagai penggunaan

khusus bahasa yang mendukung penyusunan bagi praktik sosial terntentu, misalnya iklan,

berita, wawancara dan sebagainya.

Intertekstualitas. Praktik sosial merupakan produk artikulasi bersama dengan

unsur-unsur yang berbeda, dimana unsur yang diartikulasikan merupakan moment

kewacanaan dan moment non kewacanaan. Peristiwa komunikatif, yakni semua jensi

praktik yang melibatkan system semiotis, memiliki hubungan dialektik dengan tatanan

wacana (yakni praktik kewacanaan pada suatu bidang tertentu) mempengaruhi praktik

sosial, baik berubah maupun status quo. Pada tatanan wacana, sifanya adalah kewacanaan

di satu bidang. Namun konfigurasi wacana-wacana berpotensi menimbulkan konflik

dibidang sosial tertentu. Wacana-wacana yang banyak dan berpotensi adanya konflik

menunjukkan hal penting dalam kerangka perubahan sosial, dimana wacana yang

dilakukan semakin banyak dan bercampur sementara teks yang dirujuk juga semakin

banyak melengkapi, berpengaruh satu dengan yang lainnya (intertekstualitas).

Intertenkstualitas mengacu pada kondisi tempat begantungnya peristiwa komunikatif

pada peritiwa-peristiwa terdahulu atau bisa disebut sebagai rantai tekstual.

Antar kewacanaan. Mengacu pada pengaruh kesejarahan terhadap satu teks dan

bagaimana pengaruh teks terhadap sejarah. Teks bergantung terhadap teks terdahulu dan

berkontribusi pada perkembangan sejarah.

Fokus Analisis Wacana Kritis

Page 30: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

18

Teks. Seperti disebutkan di atas, fokus analisis wacana terdapat pada tiga ranah,

teks, praktik wacana dan praktik sosial. Pada ranah teks, ciri-ciri linguistik menjadi

penting untuk dianalisis sebab hal ini mempengaruhi terhadap proses produksi dan

konsumsi teks. Ciri-ciri linguistik meliputi kosa kata, tata bahasa, entitias, koherensi dan

sebagainya.

Praktitik kewacanaan. Praktik wacana meliptui bagaiman pengarang teks

tergantung pada aliran wacana utnuk memproduksi wacana, dan penerima teks

menerapkan aliran wacana yang ada dalam mengonsumsi dan menafsirkan teks.

Konteks dalam Penelitian Ini

Penelitian ini berusaha mengeksplorasi hubungan kewacanaan antar satu wacana

dengan yang lain dalam rangka untuk mengidentifikasi potensi perubahan sosial yang

mungkin dari peristiwa wacana pasal 12 UU Sisdiknas tahun 2003. Pemeriksaan

kebahasaan dilakukan untuk melihat pola wacana, ideologi dan agen-agen wacana yang

muncul. Pemeriksaan juga dilakukan pada praktik wacana, terutama darimana mana

wacana bergulir, dilakukan dengan saluran wacana mana, oleh siapa, dan lalu bagaimana

konsumsi wacana dilakukan baik oleh golongan pro maupun kontra UU Sisdiknas 2003.

Praktik sosial lain akan diperiksa baik dari praktik kewacanaan meliputi proses

politik dan sejarah latar belakang, juga dari praktik non kewacanaan meliputi

ketersediaan infrastruktur politik penunjang berlakunya praktik wacana.

Analisis sosial selain analisis wacana juga didukung oleh analisis politik

mengenai pembagian ruang publik dan prifat, serta analisis mengenai kecenderungan

wacana moral, apakah bersifat visoner dan dingin atau reaktif dan panik.

Analisis Sosial Lainnya

Analisis sosial dalam kajian ini akan diperkuat dengan memanfaatkan teori privat-

publik dari Chocran dan teori kepaikan moral dari Kenneth Thompson. Kedua analisis ini

akan disajikan dalam bab tersendiri.

F. Kajian Pustaka

Page 31: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

19

Mengkaji hubungan agama dan negara dalam wacana pro kontra UU Sisdiknas

mengasumsikan adanya berbagai persoalan dalam masyarakat mengenai hubungan agama

dan negara. Masalah-masalah sosial yang dialami oleh bangsa Indonesia sejak menjelang

runtuhnya rejim Suharto hingga era reformasi sangat banyak dan kompleks. Krisis

moneter pada tahun 1997 ditandai dengan likuidasi bank-bank bermasalah, berlanjut

menjadi krisis ekonomi secara lebih luas dengan naiknya harga kebutuhan pokok yang

tidak terkendali sehingga sangat menyengsarakan masyarakat. Kondisi ini memicu krisis

sosial secara lebih luas ditandai dengan unjuk rasa dimana-mana menuntut penurunan

harga, penyelesaian pengangguran, penuntasan KKN, pembubaran dwi fungsi ABRI,

pengadilan Suharto dan lain-lain. Kerusuhan-kerusuhan tak terkendalikan yang memaksa

presiden Suharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden pada tanggal 22 Mei tahun

1998.

Masalah-masalah ini muncul sebagai ujud dari salah urus pemerintahan yang

dipenuhi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, mandeknya mekanisme demokrasi,

system hukum yang masih diskriminatif, penegakan hukum yang lemah yang

kesemuanya memiliki dimensi moralitas yang kritis. Agama memiliki arti penting untuk

dibicarakan dalam konteks ini sebagai lembaga sosial yang berurusan dengan perbaikan

moral. Peran agama dalam perbaikan moral ini menjadi isu krusial dalam pro kontra UU

Sisdiknas. Agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal hal-hal yang

disandarkan pada kekuasaan yang adi kodrati yang berada di luar kontrol manusia.

Agama meliputi dimensi pikiran, perasaaan dan tindakan.29 Agama dalam penelitian ini

juga merujuk pada agama yang terorganisir, bukan suatu keyakinan individual tanpa

suatu komunitas keagamaan atau semisalnya.30 Selain itu demi kelancaran analisis dalam

penelitian ini cakupan arti agama juga meliputi kelembagaan agama, tokoh-tokoh dan

penganutnya.

Perhatian terhadap moral dalam kaitan dengan kehidupan politik bernegara

banyak dibahas dalam literatur etika politik, baik yang bersifat teoritis maupun analisis.

Secara teoritis banyak kajian mengaitkan antara agama dan negara dalam pengalaman-

29 Cochran, Clarke E., Religion in Public and Private Life. (New York and London: Roudledge, 1990) hal.7.30 Bdk. dengan Marsden, George M., Agama dan Budaya Amerika, alih bahasa oleh B. Dicky Soetadi(Jakarta: kerjasama Pustaka SInar Harapan dan USIS Jakarta, 1996), hal. 6

Page 32: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

20

pengalaman masyarakat yang berbeda. Pengalaman masyararakat liberal misalnya dapat

dilihat dalam buku karya Robert Audi berjudul Agama dan Nalar Sekuler Dalam

Masyarakat Liberal (Yogyaikarta: UII Press, 2002) yang menjelaskan prinsip Pemisahan

Agama dan Negara, pandangan baik dari sisi agama maupun politik, dan usulan integrasi

agama, etika dan demokrasi. Muhammad Abid Al-Jabiri dalam bukunya berjudul Agama,

Negara dan Penerapan Syari’ah (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001) menjelaskan

konteks kemunculan dan perkembangan paham sekularisme dalam bentuk pemisahan

agama dan negara untuk membedakannya dengan pengalaman masyarakat Arab Islam

dalam dinamika hubungan agama dan negara. Menurutnya masyarakat Arab Islam tidak

mengalami sejarah pemisahan agama dan negara, sehingga ide sekularisme cukup asing.

Jika sekularisme muncul dipermukaan, maka sesungguhnya hal itu merupakan

representasi dari masalah-masalah regional Arab dalam kadar yang berbeda-beda di

negara-negara Arab, misalnya masalah kemerdekaan negara-negara Arab Timur dari

Kesultanan Turki Utsmani, diskriminasi kelompok minoritas, penerapan demokrasi yang

tidak berkembang dan lain-lain. Hal yang penting dicatat dari Al-Jabiri adalah usahanya

dalam penerapan etika politik dalam negara-bangsa modern dengan prinsip agama

sebagai perwujudan kebaikan umum (mashlahah) dan penghindaran keburukan

(madlarat).

Kajian agama dan negara cukup banyak memenuhi literatur Islam Indonesia,

namun yang relevan kaitan hubungan agama dengan negara dan peran agama dalam

kehidupan publik-privat tidak banyak. Jazim Hamidi dan M. Husin Abadi dalam buku

mereka berjudul Intervensi Negara terhadap Agama, Studi Konvergensi atas Politik

Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: UII Press,

2001) memberikan pengalaman kebijakan-kebijakan negara yang mendiskriminasi

kebebasan beragama di Indonesia. Anas Saidi dan kawan-kawan dalam bukunya berjudul

Menekuk Agama, Membangun Tahta, Kebijakan Agama Orde Baru (Jakarta: Desantara,

2004) memberikan studi kasus beberapa pengalaman diskriminasi agama di nusantara

yang dilakukan oleh rejim Orde Baru. Dalam buku ini juga diberikan wawasan

kebijakan-kebijakan mengenai agama pada masa Kolonial Belanda dan Jepang, masa

Orde Lama dan masa Orde Baru.

Page 33: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

21

Dari tulisan-tulisan tersebut, kajian yang berbicara secara khusus mengenai

kehidupan privat, kehidupan publik, agama dalam kehidupan privat dan publik, batas

antara agama dan politik, masih belum banyak dilakukan. Kajian hubungan agama dan

negara dalam pengalaman pro kontra UU Sisdiknas ini diarahkan untuk mengeksplorasi

wacana kehidupan publik dan privat yang muncul darinya. Melalui konsep publik-privat

hubungan agama dan negara akan dikaji untuk melihat pandangan-pandangan mengenai

kewenangan agama dan politik (negara) dalam masalah publik dan privat.

Terkait dengan masalah rumusan pengertian, istilah negara penulis maksudkan

sebagai suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang

sah dan yang ditaati oleh rakyatnya. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik,

merupakan organisasi pokok dalam kekuasaan politik dan memiliki unsur-unsur wilayah,

penduduk, pemerintah dan kedaulatan.31 Sedangkan politik kami artikan secara lebih luas

sebagai hal-hal yang menyangkut penyebaran dan operasi kekuasaan, baik oleh negara

maupun satuan politik lainnya.32

Buku mengenai hubungan agama dan negara yang dijadikan acuan dalam thesis

ini adalah Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, karya Muhammad Abid Al-Jabiri,

alih bahasa oleh Drs. Mujiburrahman, MA. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001).

Dalam buku ini diperlihatkan konteks muncul dan berkembangnya gagasan pemisahan

agama dan negara serta posisi Islam dalam menghadapinya. Literatur mengenai

dinamikan hubungan agama dan negara di Indonesia penulis ambil dari karya Jazim

Hamidi S.H., M. Hum dan M. Husnu Abadi., S.h., M. Hum. berjudul Intervensi Negara

terhadap Agama, Studi Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi

Peradilan Agama di Indonesia. (Yogyakarta: UII Press, 2001) dan buku karya Anas

Saidi, (ed.) berjudul Menekuk Agama, Membangun Tahta, Kebijakan Agama Orde Baru

(Jakarta: Desantara, 2004).

Literatur mengenai publik dan privat penulis ambil dari buku karya Clarke E.

Cochran berjudul Religion in Public and Private Life (New York and London:

Roudledge, 1990) dan buku karya Dr.Haryatmoko berjudul Etika Politik dan Kekuasaan

(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).

31 Budiardjo, Miriam, Prof., Dasar-Dasar Ilmu Politik. Hal. 8, 38, 41-44.32 Turner, Graeme, British Cultural Studies, An Introduction, (London and New York: Roudledge, 1996.

Page 34: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

22

Literature mengenai moral dan pendidikan agama penulis ambil dari karya A.

Sudiarja, SJ berjudul Norma-norma di Taman Etika, dalam buku Sesudah Filsafat Esai-

Esai untuk Franz Magnis-Suseno (Yogyakarta: Kanisius, 2006), buku karya Kenneth

Thompson berjudul Moral Panics (London and New York:1998) dan karya Luther S.

Luedtke berjudul Mengenal Masyarakat dan Budaya Amerika Serikat (Jilid II), alih

bahasa oleh Hermoyo dan Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994) dan

buku berjudul Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam karya Ahmad A Sofyan dan

M. Roychan Madjid (Bandung: Titian Ilahi Press, 2003).

Kajian selanjutnya adalah kajian isi dari data-data yang telah dikumpulkan

mengenai hubungan agama dan negara dalam pro kontra UU Sisdiknas dari harian baik

cetak maupun elektronik dan dari rekaman proses rapat-rapat pembahasan UU Sisdiknasi

di DPR.

G. Sistematika Pembahasan

Pembahasan kajian penelitian hubungan agama dengan negara dengan mengambil

kasus pro kontra UU Sisdiknas ini akan disusun dalam lima bab. Bab pertama adalah

pendahuluan, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, metodologi

penelitian, studi pustaka dan sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas krisis multi dimensional bangsa dan solusi negara, berisi

konteks sosial politik era reformasi, wacana negara menjawab tantangan krisis, dan

respon masyarakat .

Bab ketiga membahas pasal 12 UU Sisdiknas dan wacana hubungan agama dan

negara, meliputi hubungan agama dan negara belum selesai, kebijakan negara atas

agama, respon masyarakat dan model hubungan agama dan negara.

Bab keempat membahas agama dalam kehidupan privat dan publik, meliputi

pembahasan pengertian publik dan privat, agama dan politik, respon masyarakat dan

kerentanan agama dalam politik.

Bab kelima membahas peran agama dalam membentuk moral bangsa, meliputi

pembahasan mengenai agama dan pendidikan moral, problem moral bangsa dan etika

politik, persoalan pendidikan agama di Indonesia, respon masyarakat dan pluralisme dan

pembaharuan pendidikan agama.

Page 35: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

23

Bab keenam penutup, berisi kesimpulan dan rekomendasi.

Page 36: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

24

BAB II

KRISIS MULTI DIMENSIONAL DAN SOLUSI NEGARA

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai bagaimana negara merespon masalah

krisis multidimensional dan bagaimana negara mengajukan cara penyelesaian melalui

perbaikan moral melalui inisiatif amandemen UU Sisdiknas. Dalam bab ini juga

dipaparkan mengenai respon masyarakat atas kebijakan negara dalam menyelesaikan

masalah krisis moral melalui pengesahan UU Sisdinas No. 20 tahun 2003.

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 digagas pada tahun 2002 oleh tim khusus

yang disebut Komite Reformasi Pendidikan. Komite Reformasi Pendidikan ini

menghasilkan rancangan akademik yang selanjutnya menjadi dasar perumusan RUU

Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian disahkan menjadi UU Sisdiknas pada

tanggal 11 Juni 2003. Naskah akademik yang mendasari perumusan RUU Sisdiknas

dimaksudkan menjawab tiga masalah mendasar yaitu pertama, krisis ekonomi yang

berujung pada krisis moral, kedua, kecenderungan ekonomi yang tidak mungkin

dielakkan dan ketiga, kecenderungan demokratisasi yang muncul sejak tanggal 22 Mei

1998 ketika presiden Suharto lengser keprabon.1

Latar belakang masalah yang diajukan Komite Reformasi Pendidikan yang

kemudian mendasari perumusan RUU Sisdiknas perlu dicermati lebih lanjut untuk

mendefinisikan ulang persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia

sehingga membutuhkan UU Sisdiknas Baru menggantikan UU Sisdiknas lama, yaitu UU

No.2 tahun 1989.

A. Konteks Sosial Politik Era Reformasi

Ada beberapa peristiwa penting melatari lahirnya UU No. 20 tahun 2003 tentang

Sisdiknas. Beberapa peristiwa sosial politik itu antara lain pertama, pergantian rejim

totaliter oleh rejim demokrasi, kedua, perubahan tatanan hukum ketatanegaraan, ketiga,

konflik sosial politik yang terus bergolak dan keempat, lemahnya penegakan hukum,

kelima, kebijakan privatisasi.

1 Dharmaningtyas, Politisasi Pendidikan Agama di Sekolah, Basis Nomor 07-08, Tahun ke-52, Juli-Agustus 2003, hal. 18

Page 37: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

25

Pertama, pergantian rejim totaliter menuju demokrasi. Suharto turun dari

jabatannya sebagai presiden pada tanggal 22 Mei tahun 1998 setelah dituntut oleh

berbagai pihak masyarakat melalui berbagai macam unjuk rasa baik melalui demonstrasi

maupun cara-cara lainnya. Krisis moneter yang tidak cepat teratasi membawa dampak

yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya berupa hancurnya tatanan sosial ekonomi.

Nilai mata rupiah turun drastis setahap demi setahap sampai titik yang paling rawan di

atas angka 10 ribu rupiah. Pembangunan ekonomi menghadapi masalah kemacetan kredit

karena naiknya mata uang, larinya investor karena ketidakaman ekonomi, permainan jual

beli uang dan valas oleh para pemegang kapital, pelarian dana ke luar negeri,

dibubarkannya bank-bank yang tidak sehat. Hal-hal ini menyebabkan dunia ekonomi

tidak terkendali, harga-harga naik tidak terkontrol, masyarakat kesulitan mendapatkan

sembilan bahan pokok (sembako), banyak perusahaan gulung tikar sehingga

pengangguran ada di mana-mana dan terus naik. Beberapa usaha pemerintah untuk

memperbaiki kondisi ekonomi sepertinya berjalan sangat lambat karena salah satunya

tidak didukung dengan budaya hukum yang jujur. Banyak dana yang diatujukan untuk

perbaikan bank melalui bantuan BLBI malah menjadi lading korupsi oleh para pejabat

dan birokrasi terkait.

Gerakan mahasiswa bersama dengan masyarakat berada di garis depan dalam

menuntut kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat. Demonstrasi terjadi di mana-mana

hampir setiap hari. Masyarakat menuntut turunnya harga sembako, mahasiswa

memperkuat tuntutan masyarakat, menuntut pembubaran dwi fungsi ABRI dan menuntut

turunnya Suharto dari jabatannya sebagai presiden.

Wakil presiden Habibie dilantik oleh MPR menggantikan Suharto sebagai

presiden RI tahun 1998-1999. Habibie mengubah cara kepemimpinan totaliter

pendahulunya dengan cara yang lebih demokratis, terutama kelihatan dari peristiwa jajak

pendapat untuk masyarakat Timor Timur yang mendapatkan protes dari banyak pihak.

Hasilnya adalah lepasnya Timor-Timur dari kedaulatan Indonesia. Pada tahun 1999

pemilu diadakan untuk memilih calon legislatif dan presiden secara langsung. Tidak

kurang dari 48 partai politik menjadi peserta pemilu tahun 1999.2 Pemilu berikutnya

2 Kompas, Sabtu 6 Maret 1999.

Page 38: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

26

adalah pemilu presiden yang dimenangkan oleh Gus Dur berpasangan dengan Megawati

Sukarnoputri.

Kedua, perubahan kelembagaan dan tata hukum yang menunjukkan desentralisasi

kekuasaan dan harapan proses demokratisasi politik. Dalam ketatanegaraan, terdapat

beberapa produk hukum dihasilkan pada masa ini yaitu Amandemen UUD 1945 dan

Undang-undang Otonomi Daerah. Amandemen UUD 1945 berlangsung selama empat

kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.3 Amandemen UUD 1945 konstitusi ini

mengubah tatanan politik dari pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan

politik. Konsekuensi Amandemen UUD 1945 adalah adanya perubahan kelembagaan

negara dan mekanisme ketatanegaraan. Secara kelembagaan, ada perubahan dalam

lembaga legislative. MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak lagi dikenal dan mulai

dikenalkan adanya parlemen yang terdiri dari DPR yang merupakan representasi dari

partai politik dan DPD yang merupakan representasi dari kepentingan lokal.

Lembaga judicativ juga berkembang dengan munculnya Mahkamah Konstitusi

yang berperan sebagai penjaga konstitusi. Ketidakjelasan tatanan hukum dan

penyelewengan terhadap konstitusi pada sebuah peraturan dapat diajukan perkaranya

melalui Mahkamah Konstitusi.

Dengan filosofi pemisahan kekuasaan dan pembaruan lembaga menjadi parlemen,

fungsi dan mekanisme pengawasan antar lembaga negara menjadi sangat efektif yang

sebelumnya tidak berjalan, terutama dari badan legislatif terhadap lembaga eksekutif.

Kini lembaga pengadilan juga tidak sulit untuk mengajukan perkara anggota DPR yang

melanggar aturan legislative ke pangadilan. Konsekuensi lainnya dari Amanndemen

UUD 1945 adalah runtuhnya mitos bahwa UUD 1945 tidak dapat diubah seperti yang

terjadi pada rejim Orde Baru.

Prestasi berikutnya adalah Undang-Undang Otonomi Daerah. Melalui undang-

undang ini wewenang pusat dibatasi secara sangat signifikan dari masa sebelumnya

menjadi lima wilyah yaitu pertahanan keamanan, keuangan dan viskal, agama, hukum

3 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam SatuNaskah (Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2004)

Page 39: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

27

dan hubungan luar negeri. Melalui undang-undang ini pengelolaan berbagai hal

pembangunan dikonsentrasikan di daerah, termasuk pengelolaan pendidikan nasional.4

Prestasi hukum lainnya yang menonjol adalah diberlakukannya Undang-Undang

Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada tahun 2001 yang secara radikal menandai

berubahnya status keluarga dari wilayah hukum privat menjadi wilayah hukum publik

dalam hal kejadian kekerasan. Perspektif gender mendasari perumusan Undang-Undang

ini yang dipelopori oleh kelompok masyarakat sipil terutama dari gerakan perempuan.

Pada tahun 2001 juga dicanangkan gerakan pengarusutamaan gender dalam kebijakan

pemerintah.

Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Prestasi dalam perubahan kelembagaan

hukum dan mekanisme kearah yang lebih demokratis belum diimbangi dengan

penegakan hukum yang baik. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih mewarnai dunia

kekuasaan dan peradilan. Banyak kasus hukum tidak tuntas, para koruptor dibebaskan,

mafia peradilan merajalela. Indonesia mengalami krisis kepercayaan karena lembaga

peradilan sebagai senjata paling akhir menyelesaikan masalah hukum tidak dapat

berfungsi dengan baik. Namun sedikit demi sedikit penegakan hukum mulai dapat

dilakukan meskipun masih kurang memadai dibandingkan dengan perkara yang harus

diselesaikannya. Misalnya penuntasan kasus korupsi, sedikit demi sedikit para koruptor

diperkarakan di pengadilan di berbagai pengadilan baik di Pemerintah Pusat maupun

Pemerintah Daerah. Oleh karena itu banyak pengamat masih melihat adanya upaya

tebang pilih dalam menyelesaikan kasus korupsi.

Keempat, kebijakan privatisasi. Pada tahun 2003 ditandatangi letter of intens

paket utang dari IMF sebesar 400 juta dolar AS oleh pemerintahan Megawati.

Peminjaman hutang luar negeri harus diikuti dengan penyesuaian struktural (structural

adjustment) berupa pembukaan pasar bagi investasi dan produk asing, pengurangan

subsidi dan pelaksanaan privatisasi BUMN. Ini menandakan bahwa pemeritnah belum

memperhatikan nasip masyarakat yang akan menanggung semua beban hutang di masa

depan, kekalahan dari pasar pihak asing yang bebas masuk Indonesia, kenaikan harga

minyak dan BBM disertai dengan kenaikan harga segala hal kebutuhan pokok di pasar,

dan hilangnya kekayaan rakyat dalam BUMN karena dialih statuskan menjadi milik

4 Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1999).

Page 40: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

28

pribadi para pemodal besar. Privatisasi tidak saja dialami oleh perusahaan BUMN namun

juga oleh lembaga-lembaga pendidikan yaitu perguruan tinggi seperti yang sudah

dipelopori oleh UI dan UGM. Orang dengan kemampuan ekonomi biasa tidak akan

mampun sekolah di dua universitas tersebut karena berbeaya tinggi.

B. Wacana Negara Menjawab Tantangan Krisis

Pada rapat paripurna DPR RI tertanggal 27 September 2001 pemerintah sebagai

pengusul inisiatif amandemen UU Sisdiknas No. 2 tahun 1989 memberikan penjelasan

mengenai inti dari usulan inisiatif. Inisiatif ini didasarkan atas empat tantangan yang

dihadapi oleh bangsa Indonesia yaitu pertama, pemerataan pendidikan didasarkan atas

fakta adanya ketimpangan dan ketidakadilan dalam penyediaan budget pendidikan, kedua

relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia kerja untuk menjawab kebutuhan pekerjaan

bagi lulusan sekolah sampai tingkat perguruan tinggi yang semakin banyak menganggur,

ketiga peningkatan mutu pendidikan dimana Indonesia merupakan negara yang memiliki

skor rendah dibanding negara-negara Asia dan keempat, efisiensi pengelolaan pendidikan

melalui pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pada latar belakang di atas beberapa wacana dimunculkan sehubungan dengan

perlunya UU Sisdiknas. Pertama, wacana pemerataan pendidikan, kedua, wacana

ekonomi, yakni biaya pendidikan, ketiga, wacana kualitas pendidikan, dimana mutu

pendidikan di Indonesia masih rendah, dan keempat, wacana manajemen pendidikan.

Wacana-wacana ini dijadikan sebagai latar belakang pentingnya UU Sisdiknas baru.

Namun selain isu yang secara formal merupakan alasan dasar usulan RUU Sisdiknas,

terdapat wacana yang penting untuk diperhatikan yaitu wacana pendidikan agama.

Pendidikan agama bukan merupakan alasan formal yang diwacanakan oleh

pemerintah. Namun wacana ini justru yang menggugah publik untuk terlibat karena sifat

kontroversialnya. Dalam rapat Paripurna DPR RI itu pemerintah menyampaikan bahwa

terdapat masalah besar yang mengancam kehidupan bangsa jika tidak segera dibenahi

melalui system pendidikan yang baru. Masalah itu adalah kemerosotan akhlak dan

ancaman adanya generasi yang hilang (lost generation). Bagi pemerintah, ancaman ini

tidak terlepas dari lemahnya system pendidikan sebelumnya yang lebih menggunakan

pendekatan kecerdasan otak daripada pendidikan agama.

Page 41: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

29

Pemerintah juga menyampaikan mengenai wacana pendukung lainnya bagi

adanya UU Sisdiknas antara lain 1) tunttan reformasi, 2) demokratisasi, 3) otonomi, 4)

desentralisasi, 5) kemajuan teknologi dan industry. lainnya adalah mengenai tuntutan

reformasi berupa demokratisasi, otonomi dan desentralisasi dalam bidang pendidikan dan

tuntutan kemajuan teknologi dan industri.

Ketika pemerintah mengajukan usulan RUU Sisdiknas pada tahun 2001 di atas,

pemerintah telah memiliki lembaran yang dibacakan di depan siding paripurna DPR.

Kalimat-kalimat yang disusun dan disampaikan menunjukkan ketegasan pendapat dengan

memberikan latar belakang masalah, mengusulkan masalah, dan mengelaborasi masalah

dalam persidangan.

Wacana yang diproduksi pemerintah, dan kemudian diterima oleh DPR sebagai

bahan keputusan sidang memberikan makna yang tegas mengenai perlunya UU Sisdiknas

Baru. Ada hal yang menarik dari hubungan antar wacana yang disampaikan oleh

pemerintah, yakni menguatkan wacana pendidikan agama dibanding dengan wacana

lainnya. Hal ini dibuktikan dari respon masyarakat luas terhasap wacana pendidikan

agama tersebut.

Terdapat perubahan mendasar atas masalah yang dihadapi dunia pendidikan. Usul

pertama terkait dengan Inisiatif ini didasarkan atas empat tantangan yang dihadapi dunia

pendidikan namun beralih ke masalah di luar pendidikan. Bahkan kemudian tekanan

dialihkan kepada masalah pendidikan Agama! Rendahnya mutu pendidikan yang

menyebabkan merosotnya akhlak disebabkan karena pendidikan yang menekankan pada

pendekatan akal dan bukan pendekatan agama. Melalui hal ini pemerintah melupakan

masalah pendidikan umum dan masalah dibelokkan pada penekanan pendidikan agama

untuk menghindari kemungkinan hilangnya generasi karena tidak berakhlak.

Penekanan RUU Sisdiknas yang dialihkan pada masalah pendidikan keagamaan

ini ada kaitannya dengan dua fenomena dalam dunia sosial politik mengiringi turunnya

rejim Suharto. Pertama, kepanikan moral yang menghantui masyarakat.5 Hal ini dapat

5 Kepanikan moral yang biasa dikaji oleh sosiologi biasanya mengacu pada keadaan tertentu yangdikhawatirkan masyarakat akan mengubah pola aturan moral lama terganggu, misalnya kriminalitas,aktifitas anak-anak muda pada musik jazz dan musik rocken role pada tahun 1950-an di Inggris yang yangdikhawatirkan membawa perilaku anti social dan promiskuitas, kebiasaan anak-anak muda minum di bar-

Page 42: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

30

dilihat dari banyaknya ungkapan masyarakat mengenai ‘reformasi kebablasan’ jika

menyaksikan demonstrasi, kerusuhan-kerusuhan dan terutama pers yang semakin bebas

menayangkan adegan pornografi, baik cetak maupun elektroni. Kedua, kecenderungan

melihat merosotnya akhlaq dari tanggungjawab individual. Kemerosotan akhlaq tidak

dilihat sebagai hal yang bersifat struktural, dimana struktur budaya politik memberikan

situasi untuk berkembangnya sikap hipokrit dan mental korups karena tradisi militeristik

rejim Suharto yang masih berlanjut hingga era reformasi. Ada reduksi pengertian dan

kekaburan pemahaman mengenai hubungan agama dan struktur sosial, sehingga pilihan

perbaikan akhlak difokuskan pada pendidikan agama dengan sasaran individu-individu.

Dan pendidikan agama ini menjiwai UU Sisdiknas yang kemudian disahkan.

Catatan kedua, terdapat masalah kontradiktif dari hasil rapat DPR mengenai

jaminan pendidikan bagi warga negara di satu sisi dan kebijakan privatisasi dalam

pengelolaan pendidikan di sisi yang lain. Penyediaan subsidi pendidikan sebanyak 20%

dari total anggaran APBN merupakan jawaban atas klausul jaminan pendidikan untuk

rakyat. Namun pada sisi yang lain semangat demokratisasi yang dilandasi oleh kebijakan

otonomi daerah dan tuntutan globalisasi di dunia kerja diterjemahkan dengan

kecenderungan pengelolaan pendidikan yang mendorong semangat swastanisasi

pendidikan. Kecenderungan privatisasi dapat dilihat dari dua ide, pertama pendekatan

pelibatan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan dimaknai sebagai keterlibatan

masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan terutama faktor dana, dan kedua

pembuatan status badan hukum bagi universitas yang dimaknai sebagai otonomi dalam

pendapatan dan pengelolaan keuangan kampus, seperti yang sudah diterpakan oleh UGM

di Yogyakarta dan UI di Jakarta. Meskipun dalam rapat DPR hal ini dibicarakan,

pembahasannya tidak sampai pada inti masalah. Pada akhirnya semangat untuk

memberikan jaminan atas pendidikan bagi warga melalui subsidi 20% APBN tidak

memiliki kontribusi ketahanan masyarakat untuk masuk perguruan tinggi yang beayanya

sangat mahal. Sudah banyak contoh mahasiswa yang sudah diterima di UGM pada tahun

2003 tidak melanjutkan kuliahnya karena tidak kuat membayar dana pendidikan. Warga

bar yang dikhawatirkan mempengaruhi perilaku moralnya, gerakan perempuan dengan symbol bra-burnstahun 1960-an yang dikhawatirkan akan permissive terhadap seks, aktifitas pemalakan dari anak-anakmuda kulit hitam pada tahun 1970-an yang dikhawatrikan mengganggu ketertiban dan hukum (K.Thompson: 1999, 1).

Page 43: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

31

negara akan terus berada dalam kerugian ketika kelembagaan hukum dan

penyelenggaraan pendidikan “dibiarkan” memakai mekanisme swastanisasi.6

C. Respon Masyarakat

Pada tahun 2002 banyak usulan dan dengar pendapat dari tokoh-tokoh elit

masyarakat ke DPR baik dari lembaga keagamaan maupun para pakar pendidikan dan

tokoh-tokoh masyarakat umum. Pada intinya ada harapan yang besar terhadap UU

Sisdiknas baru karena UU Sisdiknas 1989 sudah tidak memadai. Beberapa isu

dimunculkan seperti pentingnya agama, pendidikan usia dini, prinsip nasionalisme dan

NKRI, pentingnya konsep yang singkat dan padat dan sebagainya. Diantara ormas

keagamaan tersebut antara lain Ormas tersebut di antaranya Majelis Ulama Indonesia

(MUI), Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia

(ICMI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia

(KWI), Perwalian Umat Buddha (Walubi), Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI),

dan Taman Siswa.7 Tokoh-tokoh yang terlibat merespon sejak awal antara lain wakil

Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Sunarno dari Taman Siswa, Guru

Independen Indonesia (FGII) Bandung Kongres I FGII yang berlangsung di Bandung, 8-

11 Juli 2002, 26 organisasi guru independen dari seluruh Indonesia Ikatan Guru Honorer

Indonesia (IGHI) Sumatera Barat dan Persatuan Guru Tidak Tetap Indonesia (PGTTI)

Jawa Timur,8 dan sebagainya.

Masyarakat tidak banyak terlibat menanggapi usulan UU Sisdiknas baru sampai

awal Maret 2003 ketika pemerintah mengajukan rancangan tandingan UU Sisdiknas

tanpa menyertakan sandingannya dari versi DPR. Ketika berita itu dipublikasi, maka

respon terus mengalir baik yang pro maupun kontra sampai disahkannya UU Sisdiknas

No. 20 tahun 2003. Respon yang paling banyak dikeluarkan adalah soal pendidikan

agama dalam pasal 12 UU Sisdiknas.

Berita media masa sebagai saluran wacana respon masyarakat ini menunjukkan

dinamika yang menarik untuk dikaji. Pertama, proses komunikasi politik di dunia publik

mengenai RUU Sisdiknas pada mulanya telah diikuti oleh para elit masyarakat dari

6 Bdk. Dharmaningtyas, Ibid.7 Kompas, Kamis, 20 Juni 20028 Kompas, Sabtu, 13 Juli 2002

Page 44: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

32

berbagai golongan di masyarakat. Dinamika wacana politik para elit tidak menujukkan

perubahan sosial secara partisipatif, namun ada kemungkinan akan terwujud kebijakan

pendidikan yang mengikat publik secara keseluruhan. Kedua, produksi wacana melalui

saluran media massa sangat berbeda dampak sosialnya dengan sosialisasi dengan cara

lain tanpa melibatkan media secara massif. Sosialisasi yang telah dilakukan pemerintah

meliputi 1) menyampaikan pendapat dalam rapat dengar pendapat, 2) menyampaikan

surat kepada dewan, 3) melalui forum sosialisasi yang dilakukan DPR kepada masyarakat

di 5 kota besar di Indonesia tidak cukup mengundang publik untuk terlibat secara itnens

kecuali elit-elit tertentu. Hal ini mengingatkan tentang peran media sebagai saluran

wacana dapat memproduksi wacana secara massif dan dikonsumsi publik secara dinamis.

Ketiga, wacana pendidikan agama yang mendominasi wacana publik yang dimunculkan

dari media massa mengundang publik secara antusias terlibat untuk merespon RUU

Sisdiknas sampai dengan pengundangannya.

D. Kesimpulan

Sebagai rangkuman dari pembahasan di atas ada beberaopa hal yang dihasilkan

dari pembahasan pada bab ini. Pertama wacana pemerintah untuk mengusulkan UU

Sisdiknas mendasarkan pada alas alasan peningkatan pendidikan dari sisi pemerataan,

beaya pendidikan yang memberatkan, manajemen efektifitas pendidikan dan tuntutan

reformasi untuk keterlibatan publik. Kedua, saluran wacana yang dipilih memberikan

dampak berbeda terhadap produksi dan konsumsi atas teks yang dihasilkan dalam

wacana. Publik merespon wacana pemerintah media masa memuat melalui berita

mengenai isu RUU Sisdiknas terutama dalam hal arah pendidikan agama. Ketiga, DPR

sebagai konsumen wacana dari pemerintah memproduksi wacana baru kepada melalui

media massa yang dikonsumsi oleh masyarakat dengan menghasilkan wacana dominan

baru yang mewarnai perspektif RUU Sisdiknas, yaitu pendidikan agama.

Page 45: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

33

BAB III

PASAL 12 UU SISDIKNAS

DAN WACANA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

Bab ini membahas tentang wacana hubungan agama dan negara belum selesai

dipetik dari pelajaran pro dan kontra UU Sisdiknas. Pembahasan hubungan agama dan

negara juga akan melibatkan kajian mengenai akar kebijakan negara atas agama sejak

jaman Kolonial hingga rejim Orde Baru dan model-model hubungan agama dan negara

yang pernah ada. Penelusuran akar sejarah dan akar ideologis ini bertujuan untuk mencari

keterkaitan dan menguatkan ingatan mengenai hubungan agama dan negara sebagai

pijakan untuk menuju wacana hubungan agama dan negara secara lebih matang.

A. Hubungan Agama dan Negara Belum Selesai

Pro kontra pasal 12 UU Sisdiknas mengenai hak peserta didik memperoleh

pendidikan agama dari pengajar yang seagama mendapatkan respon yang luar biasa dari

masyarakat yang jarang terjadi di masa sebelumnya. Berbagai kelompok masyarakat dari

berbagai kalangan dan agama serta tokoh-tokoh masyarakat turut andil dalam

membicarakan, mendiskusikan, mengusulkan, mengkritik, menentang atau mendukung

terhadap UU Sisdiknas baik yang berkaitan secara khusus dengan pasal 12 atau secara

umum dengan keseluruhan batang tubuhnya. Pada waktu menjelang pengesahan UU

Sisdiknas ini pada tanggal 11 Juni 2003 reaksi masyarakat menyebar di berbagai kota di

Indonesia seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Flores, Meumere, Papua dan lain-lain.1

Pihak-pihak yang terlibat dalam pro kontra juga sangat beragam. Kelompok-

kelompok pendukung terdiri dari individu tokoh masyarakat dan agama dan organisasi-

organisasi kepemudaan, kemahasiswaan, sosial dan keagamaan. Beberapa yang

diidentifikasi penulis misalnya sebagai berikut:

1 www.mirifika.net., sepanjang bulan April 2003.

Page 46: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

34

1. Kelompok Masyarakat Pro Kontra UU Sisdiknas2

No. Pihak Yang Mendukung UU Sisdiknas Pihak Yang Menolak UU Sisdiknas1. Aliansi Pemuda dan Pelajar Indonesia MPPN (Masyarakat Prihatin Pendidikan

Nasional) Jakarta2. PMII Kalimantan Selatan SMU Salam Kudus, SMU Methodist, PT S.

Thomas,3. Para Ulama Pesantren Liga Nasioanl Mahasiswa Untuk Demokrasi

(LMND) di Kupang NTT4. Wapres HAmzah Haz Gereja Masehi Injili Timor (GMIT)5. ForumKomunikasi Lembaga Dakwah, DKI,

43 orangSTFK Ledalero dan LSM Meumere

6. AM Fatwa, ketua fraksi reformasi 2000 pelajar di Bajawa Flores7. Din Syamsuddin, Sekjen MUI 5000 pelajar-mahasiswa (Katolik dan Islam) di

Ende Flores8. Ketua DPW Muhammadiah Jatim Prif Dr.

Fasichhul Lisan, juga Ketua MPP HAM yangberanggotakan AL-Irsyad Jatim, HMI Jatim,ICM Jatim, Al-FAlah, Persatuan GuruMuhammadiah,

PDI

9. Amidhan (Ketua Majelis Ulama Indonesia) Forum Cipayung Yogyakarta (GMKI, GMNI,PMKRI, PMII, HMI)

Prof Dr H Abuddin Nata MA (dosen sejarahdan filsafat pendidikan Islam UIN SyarifHidayatullah)

Forum Lintas Agama (FLA) di Jawa Timur

Dr HA Fathoni Rodli (staf ahli bidangpendidikan Komisi VI DPR

Uskup Agung Kupang

Prof Dr Soedijarto, Ketua Ikatan SarjanaPendidikan (SIPI)

Gerakan Peduli Pendidikan Nasional (GPPN)

Wakil Presiden Hamzah Haz menyatakanMelalui Ketua Umum Al Irsyad Al IslamiahFaruk Zain Bajabir, mengutip pernyataanWapres di Jakarta

Markus Wanandi S.J., coordinator MasyarakatPrihatian Pendidikan Nasional, memimpin 200orang ke DPR,

Aliansi Pelajar Wonogiri (APW),(ditandatangani Ahmad Antoni, KetuaKomunitas Remaja Anti-Narkoba (Koran),Dhani Setiawan, Ketua Kesatuan Aksi PelajarMuslim Indonesia (Kapmi), Adam Palupi,Ketua Himpunan Pelajar Wonogiri (HPW),Siswanto, Ketua Ikatan Pelajar MuslimWonogiri (Ipmi), dan Muhamad Nur Wahid,Ketua Lingkar Studi Pelajar Kreatif (LSPK).

Yanti Muhtar, Forum Kumpul

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)Pekalongan

Beny Susetyo, Rohaniawan, Anggota/wakilGerakan Peduli Pendidikan Nasional Surabaya

Majelis Pengurus Pusat (MPP) IkatanCendekiawan Muslim Indonesia (ICMI): PjKetua Umum MPP ICMI Dr Muslimin

HAR Tilaar

2 Data-data ini diolah dari beberapa harian nasional dan lokal diantaranya harian 1) Kompas baik edisicetak maupun edisi Kompas Cyber Media, diakses melalui www.kompas.com, sejak Juni 2002-Juni 2003,2) harian Suara Pembaharuan yang diakses melalui www.suarapembaharuan.com, terutama untuk bulanMei-Juni 2003, 3) harian The Jakarta Post bulan Mei 2003, 4) harian Warta Kota bulan Mei-Juni 2003, 5)sebuah website yang aktif merelease perkembangan UU Sisdiknas sejak usulan hingga pengesahan yaituwww.mirifica.net.

Page 47: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

35

NasutionKasi Madrasah dan Pendidikan Agama(Mapenda) Drs H Musthofa Achmad.

Masyarakat Prihatin Pendidikan Nasional(MPPN) di Jakarta, Bogor, Tangerang, danBekasi beranggota ribuan

Ketua PW Muhammadiyah Jatim Prof DrFasichul Lisan

Sekolah-sekolah swasta Kristen dan Katolik yangada di Medan di Surabaya,

Wakil Sekretaris Dewan Syuro DPP PKB DrKH Nur Iskandar Al Barsani (Gus Nur)

sekitar 300 orang dari 18 kabupaten/kota di JawaTimur yang tergabung dalam Gerakan PeduliPendidikan Nasional

BKS-PTIS pimpinan Drs Qomari Anwar MADewan Syuro DPP PKB

Forum Masyarakat Katolik Indonesia

Keuskupan Agung Jakarta,Prof Dr Ki Supriyoko (Taman Siswa)Gerakan Peduli Pendidikan Nasional Jawa Timur(beranggota lebih kurang 300 orang dari 18kabupaten/kota di Jawa Timur)

2. Sikap terhadap UU Sisdiknas dan dasar alasannya:3

Ada beberapa ide yang menjadi tema pro dan kontra terhadap UU Sisdiknas.

Diantara ide-ide tersebut terdapat tiga buah ide yang sama-sama diangkat oleh kelompok

pro dan kontra diantara tema yang lain, namun mereka berbeda pendapat dalam

menyikapinya. Tiga ide ini antara lain kesesuaian UU Sisdiknas dengan UUD 1945,

peran negara terhadap agama meliputi penyelenggaraan pendidikan dan jaminan agama

atas kebabasan beragama.

Mendukung UU Sisdiknas Karena: Menolak UU Sisdiknas Karena:1. Sesuai dengan UUD 1945 dan HAM- jaminan atas agama-agama

1. Tidak sesuai dengan UUD 1945- jaminan atas kebebasan beragama

2. Peran Negara:- mengakui hak pendidikan agama bagi

pemeluknya dengan guru seagama- mengakui keragaman/pluralitas agama

2. Peran Negara:- mengintervensi lembaga pendidikan

hingga soal teknis- diskriminiasi terhadap agama minoritas

dan kepercayaan3. Pendidikan agama sangat penting 3. Makna agama dipersempit secara formal

4. Visi tidak jelas, tidak mencerdaskankehidupan bangsa, terlalu jauh ke dalamagama5. Mendorong Politik Aliran6. Makna sempit dari nasionalisme7. Proses Tidak aspiratif, tidak akomodatif8. Bahaya Sparatisme dan disintegrasi

3 Diolah dari sumber yang sama dengan sumber-sumber pembahasan kelompok masyarakat pro dan kontraUU Sisdiknas di atas.

Page 48: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

36

Analisis Tekstual

Berita media meliputi pro kontra UU Sisdiknas, terutama untuk pasal 12,

memberikan ruang yang sepadan. Hampir semua struktur kalimat meliputi standar

pembuatan berita yakni 5W + 1H, yaitu struktur kalimat memberikan informasi mengenai

apa, siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagiamana peristiwa itu terjadi. Dari sisi uraian

kalimat tidak ada tekanan yang cukup berbeda antara golongan pro dan kontra. Namun

dari sisi pemilihan kata dan wacana yang diangkat sebagai argumentasi cukup menarik

untuk diperhatikan sebagai di bawah ini.

Tiga buah ide yang sama-sama diangkat oleh kelompok pro dan kontra UU

Sisdiknas pada hakikatnya adalah wacana-wacana format RUU, wacana pluralism,

wacana nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan hubungan antar wacana di atas. Kendatipun

istilah yang digunakan sama, namun antara kelompok pro dan kelompok kontra UU

Sisdiknas memiliki rujukan makna yang berbeda antara satu sama lain.

Intekstualitas dan Antar Wacana

Masing-masing pihak pro dan kontra menggunakan wacana ini dengan cara yang

berbeda namun untuk menuju tujuan yang sama, yaitu wacana mereka dapat diterima

secara hegemonik oleh masyarakat. Runtutan peristiwa yang memanjang sampai satu

semester pada awal tahun 2003 juga memberikan kontribusi pada jalinan wacana, atau

anter wacana, untuk member pengaruh satu dengan yang lain. Kesamaan penggunaan

kata dalam memproduksi makna yang berbeda salah satunya merupakan bentuk bahwa

masing-msing pihak belajar kepada wacana pihak lain untuk membangun basis wacana

selanjutnya. Fairclough menyebut hal ini sebagai proses antar wacana yang

mempengaruhi terhadap praktik sosial, sementara Laclau akan menyebutnya sebagai

perjuangan kewacanaan.

Pasal 13 memberikan jaminan pemenuhan hak pendidikan agama bagi peserta

didik dengan pengajar yang seagama dengannya. Kelompok pendukung tampaknya

Page 49: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

37

menganggap bahwa menghargai pluralitas agama dimaksudkan agama-agama yang

secara ‘resmi’ diakui di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu.

Sehingga dapat dimaknai peserta didik masing-masing sudah disediakan apa yang

dibutuhkannya, yaitu pendidikan agama dan guru agama. Wacana penguasa memperkuat

hal ini. Hamzah Haz sebagai wakil presiden ketika itu melokalisir masalah pro kontra ke

dalam masalah teknis yaitu pengadaan guru agama yang dikeluhkan sementara sekolah

swasta yang memiliki ciri keagamaan berbeda dengan siswa.

Kelompok penolak UU Sisdiknas melihat bahwa pengakuan pada lima agama

‘resmi’ berarti menyingkirkan agama-agama selain lima agama resmi tersebut yang

jumlahnya sangat banyak di seluruh penjuru Nusantara. Ide kelompok kontra ini

sayangnya tidak disambut dengan argumentasi yang lain dari kelompok pro UU

Sisdiknas. Komunikasi publik pada hakikatnya belum saling bersambung, belum

komunikatif. Efek dari wacana ini pada masyarakat umum akan ditentukan oleh ingatan

publik atas apa yang dimaksud dengan agama yang selama ini mereka terima dari wacana

dominan. Fakta pluralitas agama dan keyakinan di nusantara masih belum mendapatkan

ruang cukup luas dalam pro kontra UU Sisdiknas kendatipun sudah muncul untuk

beberapa saat.

Di samping dua sikap pro kontra yang saling berhadapan, ada pihak lain yang

tidak berada di dalam kedua klasifikasi sikap pro-kontra. Beberapa ide yang muncul dari

golongan yang tidak menentang atau menolak UU Sisdiknas, terkait dengan beberapa hal.

Hal tersebut meliputi sikap dan pandangan berikut: menuntut penangguhan, menuntut

revisi rancangan, memberi komentar mengani konsep yang masih kurang baik,

ketidakjelasan tidak memiliki konsep yang jelas mengenai arah pendidikan dan

sebagainya.

Kelompok ini merupakan memberikan kekayaan wacana lebih lanjut untuk

membangun hubungan antar wacana. Mereka sebagai produsen sekaligus konsumen dari

wacana ini merepresentasikan berbagai kepentingan masyarakat terhadap UU Sisdiknas.

Page 50: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

38

3. Potensi Resistensi Masyarakat dalam Partisipasi Publik dalam Wacana Hubungan

Agama dan Negara

Peristiwa komunikatif melalui saluran berita mengenai UU Sisdiknas memberikan

banyak wacana yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Paling tidak ada dua

tatanan wacana politik dapat diidentifikasi, pertama partisipasi masyarakat dalam politik

dan kedua hubungan agama dan negara. Pertama masyarakat berpartisipasi sangat kuat

dalam mendorong adanya UU Sisdiknas seperti yang mereka inginkan masing-masing.

Ini menandakan adanya harapan kehidupan publik yang sehat secara politik. Kehidupan

publik yang sehat terutama ditandai oleh adanya kebebasan, kesetaraan dan partisipasi

aktif. 4

Partisipasi ini memunculkan munculnya budaya keterbukaan yang menandai alam

reformasi sejak tahun 1998, salah satunya adalah bucaya sikap tegas dan resistensi

terhadap wacana penguasa. Respon pemerintah terhadap mereka yang cenderung ingin

menilai masyarakat terlambat dari mereka, tidak menyurutkan gerakan pro kontra di

masyarakat yang semakin meluas. Justru dari respon pemerintah muncul kritik dari

masyarakat mengenai ketertutupan proses uji publik RUU Sisdiknas dan kritikan menenai

akses yang tidak memadai terhadap komunikasi politik antara DPR dan masyarakat.

Penjelasan pemerintah bahwa usaha sosialisasi yang telah dilakukan di beberapa kota

dinilai tidak memadai sehingga masyarakat melakukan kritik dan unjuk rasa mengenai

pilihan politiknya. Sampai akhir tahun 2002 sosialisasi hanya dilakukan di lima kota besa

meliputi Medan, Makasar, Denpasar, Surabaya dan Jakarta.5

Kedua, wacana agama dan negara menjadi pembicaraan yang mulai melibatkan

masyarakat luas. Wacana ini pada jamaknya menjadi konsumsi wacana di kalangan

tertentu, intelektual, negarawan, politisi. Namun dengan munculnya pro kontra UU

Sisdiknas, hubungan negara dan agama dipertanyakan ulang oleh masyarakat luas.

Pembicaraan ini belum mencapai kematangan ketika sampai pada UU Sisdiknas

diundangkan.6

4 Bandingkan dengan refleksi atas pemikiran etika politik Hannah Arendt oleh Dr. Haryatmoko, EtikaPolitik dan Kekuasaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003) hal. 154-215.5 Kompas, Jumat, 02 Mei 20036 Haryatmoko, Dr. ibid.

Page 51: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

39

Hubungan antar agama dan negara salah satunya dapat diperiksa dari kebijakan

Negara atas agama dari waktu ke waktu. Bermula dari penafsiran Muhamad Yamin

terhadap pasal 29 UUD 1945 (ayat 2) sebelum diamandemen mengenai agama menjamin

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya. Agama itu antara lain Islam, Kristen,

Katolik, Hindu Bali dan agama Budha.7 Hal ini diperkuat oleh Penetapan Presiden

(Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan

Penyalah gunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan

bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam,

Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.8 Pada tahun tahun 1973 Konghucu

dilarang kembali berdasarkan Memo No. M/039/XI/1973 dari NBKMC-BAKIN9, namun

direhabilitasi lagi pada oleh presiden Abdurrahman Wahid melalui Keppress No. 6/2000.

Hal ini diperkuat lagi oleh SK Menteri Dalam Negeri tahun 1974 yang mengharuskan

mencantumkan agama dalam KTP, sehingga semua orang terpaksa harus menyesuikan

diri dengan memeluk salah satu lima agama resmi. Namun hal ini sudah dianulir oleh

Presiden Wahid.10

Wacana seperti dilihat dalam media masa tidak sampai pada pengolahan secara

mendalam dan historis seperti ini. Hal ini tak lepas dari sifat media yang tidak

memberikan ruang berita yang memadai terhadap suatu wacana yang butuh pendalaman.

Namun demikian munculnya wacana seperti ini memberikan dorongan terhadap agen-

agen wacana seperi masyarakat yang tergabung dalam aksi-aski pro dan kontra untuk

mematangkan pendapat mereka di internal jaringan masing-masing. Rapat-rapat

persiapan demonstrasi merupakan ajang untuk menguatkan posisi politik masing-masing

pihak dan penguatan argumentasi mereka. Pertimbangan wacana dan strategi tidak dapat

dilepaskan dari respon mereka atas wacana pihak lain, sehingga terciptalah jalinan

wacana, pro dan kontra, yang memperkaya terhadap kemungkinan perubahan sosial yang

7 Hamidi, Jazim, S.H. M.HUM dan Abadi, M. Husnu, S.H.M.HUM, Intervensi Negara terhadsap AgamaStudi Konvergensi Atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia,(Yogyakarta: UII Press, 2001) hal. 12.8 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama9 Saidi, Anas (ed), Menekuk Agama, Membangun Tahta, Kenbijakan Agama Orde Baru, (Jakarta:Desantara, 2004), hal. 201.10 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama

Page 52: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

40

terjadi. Masyarakat paling tidak lebih peka terhadap kebijakan-kebijakan publik secara

mandiri, dan memiliki akses untuk menyuarakan pilihan mereka secara bebas.

B. Model Hubungan Agama dan Negara

Wacana hubungan agama dan Negara dapat juga dilihat dari wacana sejarah

perjalanan bangsa. Kecenderungan untuk menghilangkan ingatan atas wacana pluralitas

agama memiliki akar teologis yang panjang mengenai hubungan agama dan negara.

Terhadap pokok masalah ini, umat Islam tidak mengenal paham pemisahan agama dan

negara. Paham ini terus menjadi idiologi yang dijadikan sebagai pembangun identitas,

aku berbeda dengan yang lain. Akar teologis yang kontekstual tidak terbaca dan yang ada

adalah wawasan ideologis sempit yang dijadikan sebagai pembeda dengan “yang lain”.

Jika kelompok penolak UU Sisdiknas tidak setuju dengan pasal 13 karena ada intervensi

oleh negara mengenai pendidikan agama, namun demikian, hal ini tidak akan tertangkap

oleh kelompok yang mendukung UU Sisdiknas.

Hubungan agama dan negara merupakan tema klasik yang telah banyak dikaji

baik oleh para ilmuwan dari berbagai disiplin keilmuwan dan dari berbagai agama,

terutama dari kalangan Islam dan Kristen. Hal yang sering diungkapkan dalam tema

hubungan agama dan negara biasanya adalah teori mengenai pemisahan agama dan

negara yang kemudian diistilahkan dengan sekularisme. Kebanyakan umat Islam dengan

pengalaman kesejarahannya yang tidak mengenal sekularisme, terutama di negara-negara

Arab, menolak ide pemisahan agama dan negara. Sebagian dari mereka tidak setuju

bukan saja karena tidak mengenal ide tersebut, namun juga karena ide sekularisme adalah

berasal dari barat yang notabene bertradisi Kristen. Umat Kristen sendiri bukan tidak ada

masalah dengan konsep ini, sebab ide pemisahan agama dan negara juga memberikan

ekses terbatasnya ekspresi keagamaan di ruang publik, seperti yang terjadi di negara

Perancis. Hal penting untuk dicatat dari sikap setuju atau menolak sekularisme sering

memicu perdebatan yang sering salah tempat dan kehilangan konteks dari

kemunculannya.

Al-Jabiri dalam bukunya berjudul Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah

(2001, hal. 105-106) menjelaskan bahwa sekularisme merupakan terjemahan dari kata

Perancis “laiquisme”. Akar katanya adalah kata “laique”, berasal dari bahasa Yunani

“laikous” yang berarti hal yang berhubungan dengan masyarakat umum untuk

Page 53: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

41

membedakan dengan “clireous” yang berarti tokoh agama yang membentuk kelompok

khusus, yakni para pendeta dalam agama Kristen. “Laiquisme” berarti pengajaran, yaitu

pengajaran ilmu di sekolah dan pendidikan agama di gereja. Pemikiran “laiquisme” tidak

berlawanan dengan pemikiran agama, namun sekurang-kurangnya menuntut adanya

pembedaan antara apa yang duniawi dan apa yang sakral. Kata ini juga mengandung

makna bahwa satu sisi dari kehidupan manusia tiak tunduk pada cengkeraman pengajaran

agama, atau setidak-tidaknya berada di luar orotitas para tokoh agama. “Laique”

merupakan sebuah pemikiran bahwa masyarakat umum tidak tunduk kepada agama dan

tokoh-tokohnya. Dasar alasannya karena negara menguasai tubuh mereka dan agama

menguasai jiwa mereka.11

Menurut Al-Jabiri, pemisahan agama dan negara dimaksudkan sebagai ajakan

untuk memisahkan agama dari negara; meletakkan batas pemisah antara kekuasaan

agama atau ruhani dengan kekuasaan peradaban melalui ungkapan “berikan kepada

Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan dan berikan kepada Kaisar apa menjadi hak Kaisar”.

Gambaran yang meletakkan Tuhan di satu sisi dan Kaisar di sisi yang lain merupakan

pengalaman dinamika Kristen Eropa yang mengalami beberapa bentuk. Pertama

hubungan agama dan negara secara antagonis, dimana Kaisar Romawi memusuhi dan

menindas orang-orang Kristen karena agama ini dianggap suatu gerakan yang berbahaya

pada jaman Yesus dan para Rasul. Kedua, agama Kristen diakui menjadi agama negara

sejak kekuasaan Kaisar Konstantin Agung pada abad III/IV. Sebagai lembaga yang

sangat tinggi kedudukannya gereja bagaikan negara di dalam negara, dan untuk waktu

lama sesudah itu peran gereja menjadi satu lembaga di atas negara, yakni lembaga yang

mengendalikan tidak saja ruhani, tapi juga sosial, ekonomi dan politik. Ketiga, pemisahan

antara agama dan negara atau “sekularisme”, dimulai sejak masa kebangkitan kembali

(renaissance). Sekularisme tidak berarti memusuhi agama, namun memisahkan apa yang

bersifat duniawi dan ruhani dengan cara menyerahkan kekuasaan politik, pendidikan dan

masalah umum lainnya kepada pemimpin yang netral agama (negara) dan menjauhkan

pada pendeta dan uskup dari masalah itu untuk mengurus gereja.12

11 Al-Jabiri, Muhammad Abid, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah. Alih bahasa oleh Drs.Mujiburrahman MA (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001) hal. 105-106.12 Al-Jabiri, Muhammad Abid, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, hal. 92-93.

Page 54: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

42

Indonesia memiliki konteks yang berbeda dengan pengalaman Kristen Eropa

dan Islam Arab dalam masalah hubungan agama dan negara. Sebagai sebuah negara-

bangsa, Indonesia memiliki dinamika tersendiri dalam mengelola kehidupan sosial

keagamaan. Hubungan agama dan negara dari pengalaman Kristen Eropa disinggung

dalam penelitian ini untuk mencari faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan-pilihan

masyarakat setuju dan tidak setuju terhadap pengesahan UU Sisdiknas berkaitan dengan

agama. Namun yang paling ditekankan dalam penelitian ini adalah mencari kejelasan

masalah-masalah utama yang muncul dalam wacana pro dan kontra UU Sisdiknas

berkaitan dengan isu agama yang kontekstual di Indonesia, dan bukan untuk

mengafirmasi teori-teori mengenai hubungan agama dan negara tersebut.

C. Kesimpulan

Pembahasan di atas memberikan beberapa simpulan gagasan bahwa pertama,

masyarakat semakin terlibat aktif menjadi aktor dalam memproduksi wacana ketimbang

sekedar konsumen wacana penguasa dalam kehidupan publik sejak masa reformasi

digulirkan pada tahun 1998. Kedua, dalam dominasi wacana penguasa yang memiliki

akses lebih terhada kebijakan dan media, terdapat potensi gerakan perubahan dan

resistensi yang memiliki peluang yang baik dalam membuat perimbangan sosial dari

kecenderungan hegemonik wacana penguasa.

Ketiga, dari analisis sosial lainnya, misalnya dilihat dari wacana historis mengenai

hubungan agama dan negara, terdapat kecenderungan melupakan tema hubungan agama

dan negara yang mulai digugat dan didorong untuk mengingat kembali. Potensi resisten

ini memberikan ruang bagi pengembangan ingatan publik mengenai fakta pluralitas

keagamaan dan peran negara yang selalu cenderung dominan atas agama yang selama ini

dialami oleh bangsa Indonesia. Ingatan itu juga bisa diperlebar kearah kesadaran atas

kontekstualitas suatu gagasan hubungan negara dan agama yang telah menjadi model-

model baku dan dijadikan mitos bagi umat beragama, utamanya Islam dan Kristen, yang

mengerucut pada ide sekularisme dan sekularisasi. Bangsa Indonesia memiliki situasinya

sendiri dalam menata hubungan agama dan negara. Situasi ini yang perlu diperdalam

sehingga kita dapat memikirkan peran-peran agama dan negara secara seimbang untuk

kehidupan yang lebih baik.

Page 55: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

43

BAB IV

AGAMA DALAM KEHIDUPAN PRIVAT DAN PUBLIK

Wacana pro-kotra UU Sisdiknas tak lepas dari wacana publik dan privat agama.

Ide yang dimunculkan oleh kelompok yang menolak intervensi agama ke dalam

pendidikan agama merupakan cerminan dari paham bahwa pendidikan agama adalah

masalah privat, bukan masalah publik. Sedangkan kelompok yang mendukung mungkin

berpaham sebaliknya, bahwa kehidupan agama dapat saja diatur oleh negara.

Di bawah ini akan ditelusuri mengenai makna privat dan publik serta

implikasinya terhadap pembangunan wacana por dan kontra UU Sisdiknas.

A. Pengertian Kehidupan Privat

Menurut Cochran, umum dan pribadi merupakan gejala inklusi (pemasukan) dan

eksklusi (pengeluaran). Umum adalah dunia inklusi, semua individu memiliki hak untuk

mengakses dan mengontrol ruang, informasi, sumberdaya dan sebagainya. Sebaliknya,

pribadi merupakan dunia eksklusi atau pengeluaran. Setiap orang atau kelompok dapat

mengeluarkan akses dan kontrol orang lain terhadapnya baik dalam hal informasi,

hubungan, sumberdaya, ruang dal lain-lain. Maka pribadi seakan-akan adalah lawan

umum. Setiap masyarakat pasti memiliki hal-hal yang sifatnya pribadi dan umum, namun

kadarnya dan batas-batasnya berbeda-beda. Keinginan mendapatkan ruang pribadi

berubah dan berkembang secara berbeda di masyarakat satu ke masyarakat lain, dari

waktu ke waktu. Keterlibatan perempuan untuk memutuskan dirinya menikah pada waktu

dulu sangat sempit, namun sekarang perempuan memiliki kebebasan pribadi untuk

memutuskan pernikahannya. Demikianpun beberapa keluarga di Jawa Timur masih

menganggap praktik kawin paksa dimana anak perempuan dipaksa kawin dengan laki-

laki pilihan keluarga adalah hal biasa, sementara di masyarakat lain mungkin

menganggapnya sebagai pelanggaran hak pribadi.

Sifat wilayah pribadi yang cenderung mengeluarkan pihak lain dan sifat publik

yang cenderung menarik masuk wilayah pribadi menimbulkan ketegangan antara

keduanya. Sekalipun demikian wilayah pribadi dan umum tidak dapat dipisahkan satu

Page 56: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

44

dengan yang lain. Artinya keberadaannya saling mempengaruhi dan saling tergantung.

Jika individu merasa dibatasi hak-hak pribadinya oleh urusan umum, wilayah umum pada

saat yang sama memberikan fasilitas untuk kepentingan-kepentingan individu tersebut.

Ada dua asumsi dalam bagian ini, pertama, ruang pribadi juga mempunyai sisi

inklusif, memberikan tujuan bagi kehidupan pribadi, menyediakan jalan keluar dari

ketertutupan kehidupan pribadi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ruang publik

dan ruang pribadi berpotongan pada kehidupan pribadi seseorang. Kedua, agama

merupakan indikator yang baik mengenai penyatuan ruang publik dan ruang pribadi.

Agama pada dasarnya suatu keyakinan yang sangat pribadi, namun agama juga

merupakan bagian dari ruang publik.

A.1. Arti Privat

Privat berasal dari kata sifat dalam bahasa Inggris private yang berarti 1) milik

atau mengenai seseorang individu, perusahaan atau kepentingan (kekayaan individu);

sepadan dengan kata personal (pribadi); berkaitan dengan kata intimate (dekat, akrab);

berhubungan dengan kata common (biasa), general (umum), open (terbuka); berlawanan

dengan kata public (umum). Kata private juga berarti 2) diketahui hanya oleh kalangan

terbatas (known only to select view), misalnya pada kalimat kelompok tersebut memiliki

invormasi khusus mengenai suatu serangan tertentu; sepadan dengan kata closet (kakus),

convidential (konvidensial, rahasia), hushed (diam, hening), inside (bagian dalam);

berkaitan dengan kata secret (rahasia), discreet (hati-hati), concealed (tersembunyi),

hidden (tersembunyi); berhubungan dengan kata common (biasa), general (umum), open

(terbuka); perlawanan dengan kata public (umum).1

Kata lama private juga berkaitan dengan kosa kata kuno deprivation dan privation

berarti hilang, absen, meninggal, memiliki arti konotatif “tidak menjadi umum (not being

public)”. Ini membentuk ekslusivitas privat. Kata private diambil dari kata Latin privatus,

berarti ditarik dari kehidupan umum, ditarik dari kantor (deprive of office),

kekhasan/keanehan seseorang; berakar kata privere, berarti menghilangkan, menarik2.

1 Webster’s Collegiate Thesaurus, a Merriam-Webster (Springfield, Massachusetts, U.S.A.: Merriam-Webster Inc., 1976)2 Cochran, Clark E., Religion in Public and Private Life, (New York and London: Roudledge, 1990),hal.24.

Page 57: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

45

Kita dapat merumuskan, berdasarkan arti leksikal ini, sebuah pengertian longgar

dari kata ‘privat’ yaitu sesuatu yang dimiliki seorang individu atau kelompok yang

sifatnya melekat, tertutup, rahasia dan tidak terbuka untuk umum kecuali dengan ijin

yang bersangkutan.

A.2. Karakteristik Privat

Pengeritan “privat/pribadi” tidak mudah dirumuskan. Namun ada ciri-ciri penjelas

dari makna privat, pertama, kehidupan privat (private life) harus dibedakan dengan

wilayah privat (privacy). Kehidupan privat dan wilayah privat dapat ditrerapkan baik

untuk seorang individu maupun untuk kelompok. Misalnya dalam sebuah keluarga,

keluarga sebagai kelompok memiliki wilayah privat menghadapi negara, demikianpun

dalam keluarga tersebut anggota memiliki wilayah privat masing-masing.

Kedua, sifat mengecualikan atau menyingkirkan keluar hal lainnya. Wilayah

pribadi memiliki sifat mengecualikan yang lain, beguna sebagai perlindungan bagi

kehidupan privat dari intervensi publik. Namun demikian hal ini kadang-kadang tidak

berjalan lancar, misalnya keluarga harus menjwab pertanyaan-pertanyaan dari petugas

sensus penduduk mengenai hal-hal yang merupakan wilayah privasi seperti agama,

kesehatan, pekerjaan, penghasilan dan lain-lain atas nama kepentingan umum. Fungsi

proteksi atau penjagaan dalam wilayah privat dimaksudkan mencegah pihak lain untuk

mendapatkan informasi dan mengendalikan akses terhadap sisi penting kehidupan privat.

Kenyataannya hal ini banyak dilanggar oleh tradisi masyarakat modern, apalagi dengan

teknologi informasinya yang sangat canggih, atau karena timbulnya pertentangan

pendapat mengenai isu moral dan politik, misalnya penyadapan telephon pribadi oleh

polisi, pendataan diri dalam bank, aborsi, euthanasia dan lain-lain. Fungsi proteksi pada

gilirannya dapat dimanfaatkan sebagai potensi untuk berbeda bagi suatu kelompok,

potensi subversi secara politis, potensi perubahan nilai secara sosial budaya.3

Ciri ketiga yang memudahkan untuk mengerti arti privat adalah dengan

membandingkan cakupan pengertiannya dengan lawan kata, yaitu publik. Bagan di

3 Cochran, Clarke E., Ibid, hal. 23

Page 58: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

46

bawah ini dirangkum oleh Gunstern dari makna konvensional mengenai privat dan

publik, sebagai di bawah ini.4

Public/Umum Private/Pribadi

free access (akses bebas)

authority and law (otoritas danhokum)

artificial, human constructimpersonality (buatan/tiruan,kenonpribadian ciptaanmanusia)

bureaucracy (birokrasi)

politics, decisions forcollectivities outer (politik,keputusan untuk orangbanyak)

body (tubuh)

restricted access (akses terbatas)

power and love (kuasa dankasih)

naturally given (diterima secaraalami)

intimacy, privacy (akrab,pribadi)

initiative, creativity freeexchange among (prakarsa,kreatifitas bebas berubah)

individuals inner (individual bagiandalam)

mind (pikiran)

Meskipun sifat dasar wilayah privat adalah mengecualikan pihak lain, namun

wilayah privat juga mengandung sifat inklusif, memungkinkan pihak lain masuk ke

wilayahnya. Dalam sifat mengendalikan akses dimaksudkan sebagai pengendalian ke

dalam dan pengecualian pihak luar dari wilayah pribadi. Dalam konteks ini pribadi

mengelola aktifitas demi keuntungannya melalui hal-hal keakraban, kesendirian dalam

berfikir, Ini terlihat dari beberapa sifat keakraban, berkegiatan agama, hal-hal yang

memungkinkan keterlibatan pihak lain dalam untuk berpartisipasi. Ini adalah sisi inklusif

dalam cakupan wilayah pribadi.

Disamping cirri-ciri di atas, pengertian privat tetap dibutuhkan sebagai suatu

istilah umum, diantaranya diberikan oleh Michael Weinstein yang dikutip oleh Cochran

sebagai berikut:

“…..wilayah pribadi kelihatan di dalam kesadaran sebagai suatu kondisi

keterbatasan komunikasi kepada atau dari seseorang lainnya, di suatu situasi,

4 Cochran, Clarke E., Ibid, hal. 25

Page 59: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

47

berkenaan dengan informasi yang ditetapkan, untuk tujuan pelaksanaan satu

aktivitas dalam pencapaian sesuatu yang diterima sebagai baik…”.5

B. Pengertian Kehidupan Publik

B.1. Arti Publik

Kata publik berasal dari bahasa Inggris public, dalam bentuk kata sifat bermakna

1) berhubungan dengan, atau mempengaruhi masyarakat sebagai komunitas yang

terorganisir, misalnya dalam kata urusan public. Padanan kata ini adalah kata civic

(bersifat kewargaan), civil (warga), national (nasional); berkaitan dengan kata

government (pemerintah), governmental (negeri); community (komunitas); state (negara);

municipal (berkaitan dengan kota), dan urban (kota). Padanan lainnya adalah kata open

(terbuka), accessible (dapat diakses), open-door (pintu terbuka), unrestricted (tak

terlarang, tak tertutup); berkaitan dengan kata common (biasa), general (umum),

universal (universal); berseberangan dengan kata private (pribadi). Padanan lainnya

adalah kata common (biasa, umum), communal (bersifat kelompok), conjoint, conjunt

(berhubung), intermutual (saling), joint (bersama), mutual (saling), shared (berbagi);

berseberangan dengan kata private (pribadi). Kata public juga berarti 2) diselenggarakan

oleh, atau terlaksana untuk kebanyakan orang (misalnya kata opini publik); berpadanan

dengan kata general (umum), popular (merakyat), vulgar (kasar); berkatian dengan kata

prevalent (seringnya), usual (secara biasa), widespread (bekembang luas); berlawanan

dengan kata private (pribadi).6

Kata public dalam bentuk kata benda berpadanan makna dengan kata society

(masyarakat), community (komunitas, kelompok masyarakat), people (orang banyak);

juga berpadanan dengan kata following (ikut), audience (hadirin, penonton, pendengat,

clientage, clientele (langganan); berkaitan dengan kata hangers-on (pengikut), suite

(rangakaian, sederetan).7

5 Cochran, Clarke E., ibid , hal 25.6 Webster’s Collegiate Thesaurus, a Merriam-Webster (Springfield, Massachusetts, U.S.A.: Merriam-Webster Inc., 19767 Webster’s Collegiate Thesaurus, a Merriam-Webster (Springfield, Massachusetts, U.S.A.: Merriam-Webster Inc., 1976

Page 60: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

48

Publik dengan demikian dapat kita artikan secara longgar sebagai hal-hal yang

berhubungan dengan masyarakat atau kelompok masyarakat yang terorganisir, yang

bersifat umum, luas, terbuka dan dapat diakses oleh orang banyak, suatu ruang untuk

berhubungan satu sama lain, berbagi dan bersama.

Kata publik memiliki banyak penggunaan dalam konteks yang berbeda-beda.

Penggunaan kata publik dalam berbagai konteksnya ini mengisyaratkan beberapa hal.

Pertama, keumuman makna publik yang sangat luas dan kekhususan makna dalam

pemakaian kata-kata yang disandarkan pada kata pubik. Ini artinya pengertian publik

menjadi kabur. Kedua, kendatipun penggunaannya berbeda-beda, namun secara umum

kata publik diambil sebagai agregatnya. Ketiga, hampir keseluruhan penggunaan kata

publik meletakkan makna publik sebagai sesuatu yang pasif. Orang-oranglah yang

mendatangi dan berbuat sesuatu berkaitan denganya, misalnya kata kantor publik, barang

publik dan lain-lain.8

B.2. Karakteristik Kehidupan Publik

Keluasan makna kehidupan publik secara umum dapat ditandai dengan dua hal.

Pertama, bermakna sebagai dunia secara umum. Kedua, dunia sebagai ruang pembagian

kuasa. Kehidupan Publik sebagai dunia secara umum dimaksudkan bahwa pada dasarnya

kehidupan publik merupakan partisipasi dalam dunia secara umum. Manusia hidup dan

saling berinteraksi satu sama lain, berkomunikasi, berhubungan, berpartisipasi, sebagai

warganya, dalam memberi kehidupan secara umum. Ada dua ciri dari kehidupan publik

sebagai dunia secara umum ini9, yaitu adanya keterbukaan akses pada ruang, aktivitas,

keikutsertaan, informasi, dan sumber daya. Hal ini kontras dengan kehidupan individu

yang memiliki akses terbatas, adanya kerahasiaan, ketidaksempurnaan, misteri, rasa

malu.

Kehidupan pribadi tanpa kehidupan publik akan jatuh terperosok dalam ruang

ketidaktahuan, ilusi dan ketertutupan. Kehidupan publik yang memungkinkan kehidupan

privat terangkat, berkembang, maju karena pemanfaatan akses tersebut.

8 Cochran, Clarke E., ibid , 45.9 Cochran, Clarke E., ibid . Hal 45.

Page 61: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

49

Pertanggungjawaban dari perilaku kehidupan privat adalah pada diri sendiri, sehingga

tidak berpengaruh banyak terhadap kehidupan publik. Perilaku publik memiliki etika-

etika yang dikembangkan bersama, dimana pertanggungjawaban pelaku publik akan

dikomunikasikan dengan masyarakat umum dan hal ini mengandaikan penataan yang

lebih dalam perilaku publik.

Ciri lainnya adalah bahwa akibat tindakan sesuatu menyangkut kepada

masyarakat secara umum, tidak hanya sekedar satu atau sekelompok orang, baik tindakan

dengan kepentingan baik atau jahat. Dengan dua ciri ini, dapat dimengerti bahwa

kehidupan publik merupakan suatu situasi yang umum, baik untuk mengaksesnya atau

bertindak di dalamnya dengan konsekuensi-konsekuensi umumnya. Komunikasi melalui

bahasa merupakan dimensi yang tak terelakkan dari kehidupan umum, dimana akses dan

aktifitas dapat dimengerti dan dikomunikasikan melalui bahasa. Masalahnya adalah

bahwa makna umum dengan dua ciri ini tidak berbeda dengan makna kehidupan sosial

biasa. Kehidupan publik lebih dari sekedar kehidupan sosial, namun mengandaikan

pengaturan-pengaturan di dalam kehidupan sosial, dimana akses dan komunikasi dapat

berjalan. Hal ini membutuhkan suatu kewenangan atau kekuasaan untuk mengontrolnya.

Dunia pada umumnya lebih berkonotasi pasif dibanding dari kehidupan publik yang

membutuhkan paritipasi dan kewenangan atau kekuasaan.10

Kedua, ruang pembagian kuasa. Kehidupan publik dimengerti sebagai

keikutsertaan aktif dalam mewujudkan dunia yang umum. Dunia yang umum bukanlah

bersifat naïf, namun merupakan hasil dari kreasi penciptaan bersama, atau konflik satu

sama lain. Dengan demikian kehidupan publik bersifat politis, dengan kreativitas individu

di dalamnya, persaingannya, pembagian kuasa di dalamnya. Artinya juga merupakan

kebebasan, kesetaraan dan demokrasi di dalamnya. Pengertian ini merupakan sumbangan

dari Hannah Arent, yang baginya politik bukanlah pengejaran kepentingan perseorangan,

politik adalah langkah menuju dunia publik. Dunia publik bukan tercermin dalam kualitas

10 Cochran, Clarke E., ibid, hal 46.

Page 62: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

50

individu, namun individu-individu saling bertemu, berbagi ruang, saling berpartisipasi

untuk bersama mewujudkan kehidupan publik.11

Bagi Arendt dunia publik adalah cerminan dari diri kita sendiri sebagai pemain

dan penentu dunia publik bersama anggota lainnya. Dunia publik dengan demikian

adalah proses politik, kendatipun tidak semuanya. Namun dapat dikatakan bahwa politik

merupakan kerangka umum dunia publik. Politik tidak diartikan sebagai cara untuk

mencapai tujuan, politik merupakan partisipasi aktif diri kita dalam menciptakan dunia

publik kita sendiri. Di dalam dunia publik terdapat jejak-jejak kita, politik membangun

kehidupan publik dengan demikian tidak kurang dari penghargaan atas kemanusiaan.12

Kehidupan publik bukan hanya merupakan agregat dari kepentingan individu-

individu, namun kepentingan individu-individu yang ditransformasikan menjadi

kepentingan umum melalui perdebatan-perdebatan. Kehidupan publik dengan begitu

menuntut keaktifan warga secara aktif, dan keaktifan partisipasi mereka bukan untuk

memperjuangkan sesuatu yang bukan kepentinganya. Mereka berpartisipasi untuk

kepentingannya sendiri, untuk kehidupat privat mereka sendiri. Individu dalam kerangka

umum kehidupan publik merupakan individu politik, dalam kategori lama menurut

Aristoteles manusia adalah zoon politicon. Individu politik berpartisipasi dalam

kehidupan publik demi untuk meraih kepentingan mereka diantara kepentingan individu

politik lainnya secara fair, secara adil. Jadi kehidupan publik mengandaikan suatu konsep

mengenai keadilan, baik keadilan substansial termasuk ekonomi, maupun keadilan

prosedural yang menyangkut tata politik dengan mengandaikan kebebasan, persamaan

dan demokrasi.13

Keuntungan partisipasi dalam kehidupan publik sangat banyak. Partisipasi

menghasilkan peningkatan diri, kebebasan dan kompetensi. Kedirian meningkat dibangun

melalui pertemuan, perdebatan yang memungkinkan wawasan meningkat. Wawasan yang

luas menimbulkan kebebasan untuk memilih dan memutuskan. Proses-proses

memutuskan pada akhirnya akan menghasilkan kompetensi, hasil pengaruh dari rasa

11 Cochran, Clarke E., ibid, hal 47.12 Cochran, Clarke E, ibid13 Cochran, Clark E., ibid, hal. 49

Page 63: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

51

kepemimpinan dimana seseorang mengetahui dan mempu mengontrol tindakan untuk

hasil ke depan. Hasil-hasil ini memberikan pengaruh pada tanggungjawab individu dalam

kehidupan publik, dimana kehidupan publik adalah tanggungjawab mereka semua. 14

Keuntungan partisipasi lainnya antara lain mendukung stabilitas, legitimasi,

menghindarkan kekerasan kekuasaan, menimbulkan komitment pada kehidupan publik,

memudahkan distribusi sumberdaya. Semuanya adalah dalam kerangka kebebasan,

persamaan, keadilan dan otonomi melalui keanggotaan individu secara aktif dalam

publik.15

Kehidupan publik dengan kerangka umum politik ini memiliki ciri-ciri sebagai

berikut: 1) keterbukaan akses terhadap sumber daya, ruang dan informasi, 2)

akuntabilitas terhadap masyarakat konstituen dan kepada masyarakat secara lebih luas

dan 3) menerima banyak kepentingan. Kendatipun kerangka umumnya politik, kehidupan

publik tidak semuanya. Kehidupan publik juga meliputi hal-hal publik yang tidak

menjadi perhatian politik dengan kelembagaannya di masyarakat yang tersebur luas,

misalnya kelompok hobi, persahabatan, relawan, keluarga dan sebagainya. Kepentingan

individu baik yang bersifat publik atau kuasi publik seimbang dalam aktifitas-aktifitas

politik.

C. Agama dan Politik

C.1. Kehidupan Privat dan Agama

Agama merupakan hal intim berhubungan dengan kehidupan pribadi. Beberapa

masyarakat dalam budaya modern cenderung mengartikan agama sebagai suatu yang

pribadi. Alasannya terlihat dari beberapa tuntutan agama dan aktifitasnya yang

menunjukkan sifat-sifat wilayah privat yakni rahasia, akrab, kontrol akan informasi dan

akses terbatas pada individu atau kelompok sebagai berikut: 1) tuntutannya akan sifat

yakin, salih, sabar, damai tanpa kekerasan, 2) praktik pengakuan salah dan praktik

14 Cochran, Clark E., ibid, hal 49.15 Cochran, Clark E., ibid, hal 51. Bandingkan dengan Dahl, Robert A., Perihal Demokrasi: MenjelajahiTeori dan praktek Demokrasi Secara Singkat, alih bahasa oleh A. Arman Zainuddin (Jakarta: YayasanObor Indonesia, 2001), hal.84-85.

Page 64: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

52

lainnya yang sepadan seperti bertaubat, pengakuan dosa, konseling agama, berbagi rasa

dengan teman, seting konggregasional, semuanya mengandaikan situasi kehidupan

pribadi; akrab, percaya, kekeluargaan, pertemanan16.

Tuntutan agama atas sifat-sifat yang baik merupakan berfokus pada jiwa dan

orang beriman mengharap kebaikan sifat pribadi yang dalam mendasar. Karakter yang

lebih dihargai dalam agama antara lain, sabar, iman, tanpa kekerasan dan kedamaian.

Sementara itu pengakuan dosa memiliki konteks kehidupan pribadi. Dalam aktifitas ini

diandaikan adanya sifat akrab (intimacy), baik kepada romo pastur atau teman sejawat,

rasa kepercayaan (trust) kepada partner untuk merahasiakan masalah yang dibagikannya,

rasa kekeluargaan atau rasa pertemanan. Semuanya merupakan dimensi bagi kehidupan

dan wilayah prifat dalam agama.

Namun jika dicermati, maka sifat-sifat di atas mengandung sifat inklusi, yakni

memberikan akses bagi pihak lain untuk mengetahuinya. Dan ini merupakan jalan bagi

wilayah publik untuk memasuki wilayah pribadi. Hal ini lebih ditegaskan dengan adanya

lembaga-lembaga yang secara tradisonal dikategorikan sebagai lembaga privat, namun

pada kenyataannya banyak berfungsi sebagai lembaga penghubung, dan acapkali menjadi

media intervensi publik terhadap wilayah privat. Lembaga-lembaga ini adalah keluarga,

pernikahan dan pertemanan. Karena sifatnya sebagai media penghubung, lembaga ini

dapat dikategorikan sebagai lemabaga “semi-privat”, atau juga dapat disebut sebagai

“semi-publik”, yaitu merupakan pintu masuk wilayah publik.17

C.2. Kehidupan Publik dan Agama

Kehidupan publik sangat penting bagi perkembangan sosial dengan fungsi ruang

partisipasinya. Kehidupan publik juga melampai dan lebih luas daripada politik. Ada hal-

hal merupakan kehidupan publik namun tidak tercakup dalam politik. Agama termasuk

sebagai hal publik karena terdapat ruang partisipasi dan agama juga terlibat dalam politik.

Namun ada hal yang rawan dalam hal agama dan politik. Pada wilayah bertemunya hal

publik dan privat, agama dapat mengambil alih wilayah yang merupakan wilayah politik

16 Cochran, Clarke, E., Ibid, hal 2717 Cochran, Clarke, E., Ibid, hal 29.

Page 65: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

53

dan sebaliknya, politik dapat mengintervensi urusan-urusan agama. Hasil dari paduan

yang tidak pas antara agama dan politik akan membahayakan publik, baik dalam urusan

agama maupun politik sendiri.

Agama pada muncul dalam sejarah manusia secara publik. Kebenaran agama

dibuktikan oleh pengalaman kesejarahan para pengikutnya; agama merupakan komunitas

ingatan, kisah, pengalaman-pengalaman yang berkembang dalam sejarah. Beberapa hal

menandai bahwa agama adalah publik sebagai berikut. Pertama, ada ruang partisipasi

dalam agama. Sumbangan agama dalam kehidupan publik adalah memberikan

pendidikan moral untuk membangun karakter dan kebaikan budi. Hal-hal ini sangat

penting bagi kehidupan publik. Publik sangat membutuhkan jiwa pengabdian,

pengorbanan, komitmen dan tanggungjawab yang terdukung oleh pendidikan agama.

Dalam kaitan ini agama melakukan peran antara privat dan publik yang terlihat dari peran

keluarga dalam pendidikan agama sejak awal.

Agama memiliki dua keterbatasan dalam peran moral dan cita-citanya yaitu: 1)

fungsi agama ini sesuai dengan pemisahan privat-publik, dan 2) peran agama berfokus

pada nilai guna. Dua hal ini tidak langsung mencapai sasaran publik, namun dapat dilihat

dampaknya dari individu dan keluarga.

Ciri partisipasi agama terlihat dalam perhatiannya tidak saja pada relasi antara

individu dengan Tuhan, namun juga antara individu dengan individu lain dalam ruang

publik. Agama dapat menyatukan antara kehidupan privat dan publik dengan memainkan

keseimbangan dari dua ruang ini.

Kedua, adanya ruang partisipasi agama dalam masalah publik, agama memiliki

hubungan dengan politik. Para penganut agama dengan pendidikan agamanya

memberikan pengaruh bagi hubungan antar mereka. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari

politik dimana proses pengorganisasiannya melibatkan penganut agama berkomunikasi

dengan lebih banyak pihak. Lebih jauh agama menjadi ruang publik karena para

penganutnya muncul sebagai suatu komunitas dalam publik. Keberadaan agama di ruang

publik, sebagaimana lembaga lain yang ada dalam ruang publik, membutuhkan aturan

yang menjamin kebebasan mereka beribadah dan mengekspresikan kegamaan mereka.

Agama dalam kasus tertentu juga menempatkan diri sebagai sumber aturan yang lebih

Page 66: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

54

tinggi daripada aturan produk politik, sehingga dalam hal ini agama benar-benar berposisi

sebagai publik itu sendiri. Dengan demikan agama menjadi politik.

Hubungan agama dengan politik pada titik ini dapat berbahaya. Jika terjadi

interaksi kekuasaan dan konflik kekuasaan, tindakan yang mungkin diambil adalah

mengkombinasikan dua kekuasaan ini. Tantangannya adalah bagaimana kombinasi ini

tidak membunuh pluralitas kehidupan publik, justru dapat mengambangkan secara lebih

manusiawi.

D. Respon Masyarakat dan Kerentanan Agama dalam Politik

D.1. Batas Privat dan Publik

Kehidupan prifat dan publik berbeda. Kehidupan privat disifati dengan sisi

ekslusifnya yang tertutup, malu, rahasia, ketidaksempurnaan, rasa bersalah; dan sifat

inklisifnya seperti integritas, kebenaran dan keakraban. Sementara itu kehidupan publik

memiliki kualitas lainnya yaitu partisipasi aktif dalam dunia umum, kesetiaan,

kepercayaan, dan kisah-kisah. Dunia publik sangat dekat dengan kekuasaan dan oleh

karena itu dengan politik. Memang, dunia publik dan politik berbeda, namun

hubungannya sangat dekat.

Meskipun kehidupan prifat dan publik berbeda, mereka berhubungan satu sama

lain. Karakteristik yang membedakan kedua wilayah privat dan publik bukan

dimaksudkan dengan pemisahan keduanya. Kedua wilayah ini merupakan bagian dari

kehidupan setiap orang atau kelompok masyarakat, namun dimensinya berbeda.

Kita dapat memberikan batas-batas yang publik dan privat dilihat dari tiga hal

yaitu karakter, kebaikan dan bahasa privat dan publik, terutama perbedaan antara agama

dan politik.18

D.2. Sisi Negatif dan Positif Publik

Publik memberikan keseimbangan bagi keterbatasan privat dan memoderasi

kecenderungan negatifnya. Kehidupan privat mengarah pada kesiapan konsumsi, bohong,

malu dan bersembunyi. Perilaku konsumsi terhadap barang pribadi misalnya, diberikan

18 Cochran, Clarke E., ibid, hal. 77

Page 67: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

55

kontrol oleh keseimbangan dengan barang-barang publik, penemuan suatu kebenaran

yang merupkan ciri khas kreatifitas individu akan teruji dalam kehidupan publik dan

sebagainya.

Kehidupan publik memiliki sisi positif dan negatifnya. Pertama, sisi positif

kehidupan publik misalnya kesetiaan, kebenaran, kisah-kisah dan identitas. Kesetiaan

berhubungan erat dengan peraturan dan norma yang merupakan produk kehidupan

publik. Melalui peraturan dan norma, individu memiliki standart berperilaku dan

berhubungan dengan orang lain. Keetika seseorang bersetuju dengan peraturan berarti

seseorang telah memberikan pada dirinya sendiri bahwa menaatinya merupakan tugas

dan tanggungjawab. Peraturan bagaikan pemandu individu untuk menyeimbangkan

kepentingan-kepentingan dirinya dan mendorong individu seimbang secara sosial. Bagi

kehidupan publik sendiri kesetiaan adalah wadah bagi kebebasan dan partisipasi

memenuhi maknanya. Tanpa kesetiaan, perjuangan untuk pengaturan publik tidak akan

bertahan. Melalui kesetiaan juga martabat dapat diperoleh.19

Kehidupan publik juga memberikan aspek identitas yang tak terelakkan.

Pembentukan identitas memang melekat pada individu, namun pembentukannya tidak

lepas dari kehidupan publik. Identitas mengandaikan adanya rujukan dan pembanding

sebagai prasyarat kemunculannya, kehidupan publik menyediakan kisah-kisah, norma-

norma, nilai-nilai, symbol dan bahasa yang diolah individu menjadi dirinya, kebaikan dan

keburukannya, dan memungkinkan individu untuk memahami statusnya sebagai suatu

identitas. Nilai kebaikan publik tidak terutama pada prasyarat terbentuknya identitas bagi

individu, namun pada bahasa publik mengenai keadilan yang menjadi rujukan bagi

individu untuk memustuskan dirinya menjadi orang normal atau baik atau sebaliknya.20

Kedua, kehidupan publik memiliki kelemahan-kelemahan, beberapa diantaranya

antara lain kebanggaan komunal, napsu untuk kuasa, manipulasi, dan cinta tanah air

berlebihan. Dilihat dari sisi pribadi, kebanggan komunal dapat merupakan sisi yang

menyembunyikan kelemahan pribadi. Kehidupan publik menuntut kehidupan privat

melayani kemauannya, mengikuti standarnya mengenai integritas melalui kesetiaan dan

berbagai ujian untuk memenuhinya. Individu yang tidak mempu melampaui standar ini

19 Cochran, Clarke E., ibid, hal. 59.20 Cochran, Clarke E., ibid, 62.

Page 68: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

56

akan menyembunyikan diri dalam kehidupan privat dengan merasa lemah, malu dan acap

kali merasa bersalah.

Manipulasi, nafsu untuk berkuasa, cinta tanah air yang berlebihan, terlihat

misalnya dalam proses perubahan wujud keakraban dari wilayah pribadi kepada wilayah

publik. Proses-proses terbentuknya paham nasionalisme, totalitarianisme, rasisme,

sukuisme dan sebagainya menggambarkan sifat-sifat di atas. Prosesnya melalui

komunitas sebagai wilayah pribadi semi-publik. Keakraban, kedekatan, ketertutupan

dialihkan secara menipulatif dari komunitas kepada ideologi, ras dan bangsa. Perubahan

bentuk keakraban menjadi bermasalah ketika perasaan kekeluargaan ini menjadi perasaan

publik, terutama politik. Sulitnya, sifat keakraban keluarga seperti mendengar keluhan,

berbagi perasaan, pengalaman, prinsip, perjuangan dan lain-lain tidak dapat dilakukan

dalam kehidupan publik. Intimitas ini dialihkan secara manipulatif, melalui proses-proses

politik; rasa harus berjuang sebagai kelompok, rasa terancam dari komunitas lain,

tuntutan perasaan disertai dengan penglihatan buruk terhadap kelemahan, rasa bersalah,

rasa malu dan ketidasempurnaan. Hal ini semua yang mendorong perilaku invasi,

penjajahan, totaliter, rasisme dan sebagainya21. Hal-hal ini perlu dilihat terutama penting

ketika memahami wilayah rentan antara privat dan publik dari agama. Agama dapat

menjadi kontrol bagi kehidupan publik (politik kenegaraan) karena agama memiliki

wilayah publiknya sendiri, namun ketika agama menggantikan wilayah publik, maka

kecenderungan publik yang berkecenderungan lebih penting dalam hubungannya dengan

semua hal akan diambil alih oleh agama.

Kondisi rapat pembahasan UU Sisdiknas di gedung DPR memberikan gambaran

yang lebih mengkhawatirkan daripada kerentanan sisi negatif publik.

D.3. Pubik dan Privat dalam Rapat Pembahasan UU Sisdiknas di DPR

Wacana yang berkembang dalam rapat komisi IV DPR mengenai pembahasan

UU Sisdiknas tidak mempersoalkan pasal 12 mengenai hak peserta didik mendapatkan

pendidikan agama dan diajarkan oleh guru yang seagama. Pasal 12 UU Sisdiknas

berhubungan dengan beberapa pasal lain yang menyangkut pendidikan agama misalnya

pembahasan pasal:

21 Cochran, Clarke E., ibid, 63.

Page 69: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

57

1. bagian dasar pertimbangan

1. pasal 1 tentang ketentuan umum

2. pasal 3 tentang dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional

3. bab IV tentang jalur, jenjang dan satuan pendidikan, terutama soal status

madrasah dan seminari

4. pasal 24 tentang otonomi pendidikan (otonomi akademik, mimbar akademik dan

keilmuan)

5. pasal 26-27 tentang penyebutan majelis taklim dalam pendidikan non formal dan

keluarga dalam informal

6. pasal 28 mengenai penyebutan TK Islam dalam pendidikan dini

7. pasal 53 tentan badan hukum pendidikan, kaitannya dnegan otonomi masyarakat

untuk penyelenggaraan pendidikan

8. pasal 54 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan

9. pasal 55-56 tentang pendidikan berbasis masyarakat

10. bagian penjelasan pasal-pasal terutama penjelasan bab I ketentuan umum,

penjelasan pasal 12, pasal 28 soal pendidikan usia dini-Islam, pasal-37 soal

pendidikan agama dan pasal-50 soal otonomi kampus

Hubungan pasal 12 dengan pasal-pasal di atas penulis maksudkan dalam cara rapat

komisi VI DPR mengerti mengenai kedudukan agama dan negara dalam isu pendidikan

keagamaan dari sisi publik dan privat. Praktik wacana yang dikembangkan dalam

pembahasan UU Sisdiknas di rapat komisi VI DPR terlihat sebagai berikut.

1. Proses Rapat Pembahasan

Rapat pembahasan UU Sisdiknas oleh komisi VI DPR diikuti kurang lebih 9

fraksi terdiri dari fraksi KKI, fraksi PDU, fraksi PDKB, fraksi PDIP, fraksi Partai Golkar,

fraksi KP, fraksi Reformasi, raksi TNI dan fraksi PBB. Peserta rapat sebagian merupakan

anggota mantan anggota Komite Reformasi Pendidikan. Banyak diantara peserta

memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, berposisi sebagai pemimpin agama di

komunitasnya dan mayoritas beragama Islam. Ada beberapa yang beragama Kristen yang

Page 70: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

58

berkedudukan cukup penting untuk memberikan gambaran mengenai kehidupan dan

pendidikan keagamaan dala gereja.

Secara umum rapat yang diikuti oleh 9 fraksi beralan cukup akomodatif dimana

ide seluruh peserta disampaikan, dibahas, didiskusikan, diperdebatkan dan diputuskan

bersama. Jika terdapat rumusan yang sangat rumit, maka rapat akan memutuskan

bersama untuk menyerahkan kepada tim perumus yang khusus bertugas untuk

memperbaiki rumusan hasil rapat. Tidak terdapat protes, interupsi dan proses deadlock

dalam rapat-rapat di atas. Bahkan menurut penulis pembahasan sampai hal-hal kecil-kecil

yang cukup bertele-tele, dan sering tanpa hasil yang jelas. Dalam hal tanpa hasil maka

rapat biasanya akan kembali pada rancangan rumusan awal yang diusulkan oleh panitia

perumus.

2. Ide-Ide Keagamaan Yang Mewarnai Rapat

Beberapa ide dari pasal-pasal di atas tidak akan dibahas semua, hanya bagian-

bagian yang relevan dengan analisis. Diantara ide-ide pokok ini antara lain adalah:

a) memasukkan konsep-konsep keagamaan ke dalam kerangka pendidikan. Tujuan

pendidikan meliputi tiga aspek: 1) aspek kognitif yaitu pengetahuan, 2) aspek

afeksi yaitu pembentukan sikap atau attitute dan 3) aspek psikomotorik yakni

pembentukan ketrampilan. Konsep-konsep keagamaan dimasukkan ke dalam

kerangka tujuan pendidikan ini diantaranya pertama konsep akhlaq mulia

menggantikan usulan kata sikap dan budi pekerti dengan alasan akan lebih

konsisten dengan konsep awal RUU (Prof Anwar Sulaiman), sesuai dengan

semangan keagamaan dan maknanya lebih luas daripada kata budi pekerti (fraksi

PPP dan PDU). Setelah diskusi menenai makna, hanya satu fraksi yang keberatan

dan tetap mengusulkan untuk menyertakan konsep budi pekerjti di beakang

konsep akhlaq mulia. Kedua konsep Islam, ada fraksi yang mengusulkan kata

Islam disertakan setelah kata madrasah dengan alasan sebagian masyarakat ada

yang salah menyangka nama suatu madrasah namun ternyata bukan lembaga

sekolah Islam di beberapat tempat di Indonesia. Usul ini akhirnya ditolak secara

aklamasi dan pengusul menerima. Ketiga kata madrasah dimasukkan sebagai

Page 71: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

59

bagian intergral satuan pendidikan nasional dengan alasan bahwa madrasah

memilikinilai historis yang mendalam dalam sejarah Indonesia sejak dahulu kala.

Sekalipun madrasa diartikan sebagai sekolah, namun penyebutan di Indonesia

memiliki asosiasi makna dan istoris yang berbeda. Rapat menyetujui pendapat ini

dan sekolah dari agama selain Islam seperti parihusada dalam agama Hindu dan

seminari dalam agama Katolik juga diakui dan direncanakan masuk dalam

penjelasan ketentuan umum mengenai satuan pendidikan. Selain kata ini juga ada

kata pesantren dan majelis talim yang diintrodusi ke dalam undang-undang dalam

bab penjelasan satuan pendidikan informal. Konsep iman dan takwa akan selalu

menyertai tujuan setiap jenjang pendidikan mulai jenjang pendidikan dasar hingga

perguruan tinggi.

b) Ide otonomi pendidikan. Ide ini dikaitkan dengan dua hal: 1) otonomi dalam arti

penyelengaraan pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Hal ini menyangkut

soal manajemen penyelenggaraan pendidikan yang pada era otonomi daerah

sudah menjadi wewenang pemerintah daerah setempat. 2) otonomi dikaitkan

dengan peran masyarakat dan peran peserta didik dalam menyelenggarakan

pendidikan, terutama dari aspek pembiayaan pendidikan.

3. Perkembangan Wacana dalam Rapat Pembahasan Terhadap Masalah Publik dan Privat

Wacana yang dikembangkan dalam rapat komisi VI meliputi berbagai hal

diatantaranya 1) masalah privat-publik, dimana masalah dalam dunia pendidikan yang

dikategorikan sebagai publik dan mana yang dikategorikan secara privat, 2) peran agama

dalam pendidikan nasional, dimana pendidikan agama yang diyakini menjadi bagian

integral dari pengertian nasional, dan 3) peran masyarakat baik kelompok umum atau

keagamaan, peserta didik, peran negara dalam memfasilitasi dan menyelenggarakan

pendidikan nasional. Peran masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan mengacu

pada praktek sekolah swasta terutama pada otonomi dalam pembiayaan penyelenggaraan

pendidikan. 4) peran anak didik, yang disebut juga memberikan kontribusi terhadap

proses pendidikan dan hal ini berkait dengan pembiayaan pendidikan juga. Isu ini

diangkat sehubungan dengan usulan untuk sekolah gratis 9 tahun dengan berbagai

Page 72: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

60

masalah yang dihadapkan pada sekolah swasta. 5) wacana biaya sekolah, dimanan isu

sekolah gratis berkaitan dengan eksistensi sekolah swasta yang biaya sehari-harinya dari

kontribusi peserta didik. Pendidikan gratis dapat mematikan seksitensi mereka yang

sudah estabish dalam penyelenggaraan pendidikan swasta, terutama sekolah kegamaan.

Hubungan antar wacana di atas seperti diolah oleh rapat-rapat DPR memberikan

dampak yang tidak terlalu signifikan terhadap wacana pembagian wilayah publik dan

privat yang cukup penting dalam melihat hubungan agama dan negara. Wacana yang

dominan menjadi pembicaraan seputar pendidikan agama adalah wacana pembiayaan

pendidikan agama, gratis atau tidak.

Wacana publik dan privat pada proses rapat-rapat tersebut terdominasi oleh

kecenderungan membangun konsep keagamaan yang diintrodusir ke dalam konsep

pendidikan nasional. Hal ini bisa dijelaskan dengan komposisi anggota DPR yang terlibat

dalam rapat tersebut sebagai pembawa wacana dominan formalism dalam faham

keagamaan, sebagaimana akan dikupas di bawah ini.

D.4. Praktik Sosial non Kewacanaan dan Pasal 12 UU Sisdiknas dan Kerentanan Agama

di Wilayah Publik

Ada dua hal yang dapat dihubungkan dengan wacana hubungan agama dengan

negara yang berpengaruh terhadap dominasi wacana pasal 12 UU Sisdiknas. Pertama,

pada Pemilu tahun 1999 timbul berbagai macam partai politik berbasis agama. Diantara

48 peserta pemilu terdapat 16 partai berbasis agama Islam dan beberapa berbasis agama

Kristen. Peserta pemilu tahun 1999 antara sebagai berikut.

Page 73: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

61

01Partai Indonesia Baru02. Partai Kristen Nasional Indonesia03. PNI - Supeni04. Partai Aliansi Demokrat Indonesia05. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia06. Partai Ummat Islam07. Partai Kebangkitan Ummat08. Partai Masyumi Baru09. Partai Persatuan Pembangunan10. Partai Syarikat Islam Indonesia11. PDI Perjuangan12. Partai Abul Yatama13. Partai Kebangsaan Merdeka14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa15. Partai Amanat Nasional16. Partai Rakyat Demokrat17. Partai Syarikat Islam Indonesia - 190518. Partai Katolik Demokrat19. Partai Pilihan Rakyat20. Partai Rakyat Indonesia21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi22. Partai Bulan Bintang23. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia24. Partai Keadilan

25. Partai Nahdlatul Ummat26. PNI - Front Marhaenis27. Partai Ikatan Penerus Kemerdekaan Indonesia28. Partai Republik29. Partai Islam Demokrat30. PNI Massa Marhaen31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak32. Partai Demokrasi Indonesia33. Partai Golkar34. Partai Persatuan35. Partai Kebangkitan Bangsa36. Partai Uni Demokrasi Indonesia37. Partai Buruh Nasional38. Partai MKGR39. Partai Daulat Rakyat40. Partai Cinta Damai41. Partai Keadilan dan Persatuan42. Partai Solidaritas Pekerja43. Partai Nasional Bangsa Indonesia44. Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia46. Partai Nasional Demokrat

47. Partai Ummat Muslimin Indonesia48. Partai Pekerja Indonesia22

Kedua, pada sidang komisi VI DPR mengenai UU Sisdiknas, diikuti oleh 10 fraksi. Dari

10 fraksi itu hampir keseluruhan tidak netral agama, baik dari sisi ideologi partai atau

dari anggota partai yang mengkuti rapat tersebut. Diantara fraksi yang membahas UU

Sisdiknas di Komisi VI DPR RI itu antara lain adalah:

1. F. KKI

2. F. PDU

3. F. PDKB

4. F. PDIP

22 http://www.kompas.com/kompas-cetak/9903/06/PARTAI/part15.htm. Komisi PemilihanUmum (KPU) hari Jumat (12/3) melakukan pengundian nomor urut peserta Pemilihan Umum 1999.Pengundian dilakukan di Gedung KPU. Hadir dalam acara pengundian nomor urut itu Ketua KPU Rudini,Wakil KPU Adnan Buyung Nasution, dan Harun Alrasid.

Page 74: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

62

5. F. P Golkar

6. F. KP

7. F. Reformasi

8. F. TNI

9. F. PBB

Hubungan-hubungan kelembagaan dengan wacana yang dibawa memiliki

hubungan ideologis. Partai adalah pemegang kepentingan, mereka dengan sadar

mewacanakan UU Sisdiknas berdasarkan kepentingan partainya.

Dua hal yang mengiringi kecenderungan agama -dalam konteks ini

direpresentasikan oleh partai dan anggotanya- dalam kehidupan publik yaitu klaim

kebenaran dan keinginan berkuasanya. Bahayanya terletak pada dominasi agama atas

wilayah publik dan kombinasi agama dan ideologi politik. Pertama, nafsu dan klaim

kebenaran menemui bahayanya ketika ada lembaga lain dalam satuan kehidupan publik

tidak setuju dengan klaim itu. Agama yang disandarkan kepada kebenaran Tuhan yang

Maha Kuasa akan merasa memiliki legitimasi atas hukum, pemerintahan dan kekuasaan

secara keseluruhan. Kemungkinan adanya tindakan penyeragaman dalam pengendalian

sosial melalui system keyakinan, kelembagaan dan ritual patut dikhawatirkan. Fungsi

ritual sebetulnya adalah pelepasan nafsu dan penyeimbang beban kehidupan, namun

ketika agama bermain kuasa di sektor publik, nafsu dapat tidak terkendali. Kekuasaan

agama juga rentan atas perluasan wilayahnya, baik secara geogfrafis maupun secara

keyakinan. Pihak otoritas agama akan merasa bahwa semua umat yang memeluk agama

sama menjadi wilayah kekuasaannya, kendatipun di luar geografis kesatuan politik

(negara)nya. Konflik, terorisme, perang agama, tidak dapat tidak menjadi preferensi bagi

kita kendatipun konteksnya berbeda-beda.

Kedua, kemungkinan adanya asimilasi agama dengan ideologi politik, maksudnya

adalah keyakinan agama yang bersatu dengan ideologi politik, bukan dimensi agama

dalam ideologi politik. Asimilasi ini dapat melahirkan kebijakan-kebijakan publik

didasarkan atas suatu keyakinan agama, sehingga menentukan, misalnya secara mutlak

mengenai kebijakan ekonomi dan politik suatu negara.23 Dalam konteks Indonesia,

23 Cochran, Clarke E., ibid, 66.

Page 75: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

63

kecenderungan formalisme agama dalam politik melalui politik aliran mengkhawatirkan

banyak pihak karena keyakinan kemutlakan agama akan mewarnai kebijakan politik dan

penyeragaman-penyeragaman baik sangat rentan akan dilakukan oleh politik aliran yang

berpatokan pada kebenaran total dari keyakinannya.

Agama dapat menghindari bahaya keburukan publik yang impersonal di atas

melalui, misalnya menjadi tempat perlindungan publik dan menjadi penantang dunia.

Sifat kehidupan publik yang impersonal, dengan kecenderungan yang individualis,

kompetitif, tidak berperasaan dapat diseimbangkan oleh peran agama. Agama dapat

menjadi tempat perlindungan yang menawarkan keakraban privat, berbagi rasa, berbagi

pengalaman dan mencari makna melalui berbagai kegiatan ritual, seni, pengajian dan

lain-lain.

Agama bisa menjadi obat dari kehidupan yang keras dan memperkuat solidaritas

sosial. Agama menyelenggarakan pendidikan untuk mengerti mana sikap yang benar dan

salah, dan acapkali menegakkan hal ini melalui pemberontakan terhadap pemerintahan

yang lalim.24

Yang terjadi dalam wacana publik mengenai UU Sisdiknas sudah sangat kentara

warna politiknya. Kekhawatiran akan golongan yang menolak terhadap yang mendukung

UU Sisdiknas pasal 12 adalah kekhawatiran menghadapi simbiosis politik dan agama ini.

Pada rapat komisi VI di gedung DPR sendiri dalam perdebatan mengenai konsep-konsep

dalam UU Sisdiknas sangat diwarnai oleh keinginan golongan agama untuk

mengintrodusir konsep-konsep keagamaan ke dalam UU Sisdiknas yang sedianya untuk

kalangan publik secara luas.

E. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan dari bab ini antara lain pertama, agama merupakan lembaga

sosial tempat wilayah privat dan publik bertemu secara intens, kedua, wacana wilayah

privat dan publik belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah dan DPR

sehingga berpengaruh terhadap ditinggalkannya pertimbangan wilayah publik dan privat

dalam penyusunan dan pembahasan UU Sisdiknas.

24 Cochran, Clarke E., ibid, hal 68.

Page 76: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

64

BAB V

PERAN AGAMA DALAM MEMBENTUK MORAL BANGSA

Wacana pro dan kontra pasal 12 UU Sisdiknas merupakan respon yang kuat dari

publik agama yang luas. Ini menggambarkan ada keyakinan kuat publik atas peran agama

dalam membangun moral bangsa. Wacana resmi yang dominan lebih tegas mengatakan

bahwa salah satu aspek mendasar dari inisiatif UU Sisdiknas adalah untuk membangun

moral bangsa yang telah mengalami krisis yang mendalam sehingga dikhawatirkan akan

ada generasi yang hilang.

Wacana-wacana yang muncul pada rapat komisi VI DPR dan berita media

mengenai pro dan kontra mengandung beberapa tatanan wacana antara lain: 1) moralitas

bangsa, 2) peran agama, 3) masyarakat dan Negara sebagai agen wacana dan 4) wacana

demokrasi dan 5) wacana sosial kepanikan moral.

A. Moralitas Bangsa dan Peran Agama

Wacana moralitas bangsa mengandung pengertian wilayah publik (bangsa) dan

moralitas itu sendiri. Agama dalam hal ini menempati kedudukan yang unik, dimana

sebagai lembaga sosial yang memiliki wilayah aktifitas seputar perubahan moral.

Wilayah agama meluas dari wilayah privat hingga wilayah publik. Cakupan agama dalam

wilayah privat berhubungan terutama dengan sifat-sifat kerahasiaan, keakraban,

penemuan kebenaran yang melekat pada hubungan antara manusia dengan Yang Maha

Kuasa. Cakupan agama di wilayah publik adalah ketika diekspresikan melalui

kelembagaan sosial yang menghubungkan wilayah privat dan publik seperti keluarga,

teman dan komunitas seagama. Melalui lembaga-lembaga ini agama mempengaruhi

kehidupan publik, baik yang berkaitan dengan masalah umum seperti kegiatan

pendidikan, kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, bakti sosial, maupun yang berkaitan

dengan politik dimana partisipasi dalam kebijakan publik diwarnai dengan perspektif dan

gerakan keagamaan. Politik aliran dengan memakai teologi politik atau gerakan politik

yang didasarkan atas semangat keagamaan dengan cara yang cukup inklusif merupakan

beberapa contoh bentuk publik dari agama.

Page 77: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

65

Kelebihan agama sebagai bagian dari kehidupan publik adalah kekuatannya

dalam membangun karakter masyarakat barkaitan dengan pendidikan dan misinya yang

didasarkan atas keyakinan pada yang Maha Kuasa. Keyakinan, kesetiaan, pengorbanan,

kejujuran, kedisiplinan adalah sifat-sifat yang sangat menguatkan kehidupan publik yang

disumbangkan oleh agama. Agama sebagai ruang privat, sebagaimana lembaga-lembaga

semi publik lainnya, memberikan sumbangan-sumbangan lain yang khas seperti

pembentukan kemandirian (otonomi), keakraban/kedekatan dan kebebasan1. Kemandirian

terbangun melalui pengalaman-pengalaman keagamaan, perolehan makna secara kuat

dan penghargaan diri. Hal ini akan sangat berpengaruh pada individu ataupun kelompok

dalam melindungi hak-hak mereka ketika ada kekuatan dari kehidupan publik terutama

politik yang ingin mengintervensi kehidupan privat. Solidaritas dan setia kawan dibangun

melalui keakraban yang intens dalam keyakinan yang sama, dan pada gilirannya

memberikan dasar etika untuk berhubungan dengan pihak yang semakin luas. Kebebasan

terutama merupakan upaya publik, namun kehidupan privat memberikan sumbangan

besar dalam hal ini. Ketika ada kekuatan luar, maka kehidupan privat mendorong kontrol

atas intervensi ini demi kebebasan. Politik dalam ranah kehidupan publik memiliki

kecenderungan untuk menguasai apa saja, dalam hal ini kehidupan privat dapat

membantu politik memahami masyarakat dan bagaimana membangunnya, seperti

layaknya kepada seorang kawan akrab.

Kekuatan agama memerlukan pemeliharaan untuk selalu memperkuat kehidupan

publik tanpa harus berbenturan dengan kehidupan publik secara luas. Dalam konteks pro

dan kontra UU Sisdiknas pada tahun akhir 2002 dan memuncak pada semester pertama

tahun 2003 optimisme akan partisipasi warga keagamaan dalam wilayah publik perlu

dikaji lebih jelas supaya dapat diidentifikasi menjadi kekuatan kehidupan publik. Untuk

diperlukan kejelian mengenai batas-batas antara ruang publik dan privat.

Kehidupan privat, termasuk di dalamnya agama, memiliki kelemahan-kelemahan.

Sifat kehidupan privat yang tertutup, terutama dalam soal ketidak sempurnaan, akan

mengganggu berbagai macam hal. Jika rasa berdosa, bersalah dan tidak bermakna

menyatu dengan rasa ketidak sempurnaan, dan hal ini mewabah maka apatisma sosial

dapat terjadi, kriminalitas akan meningkat dan keteraturan akan terancam. Ketika wilayah

1 Cochran, Clarke E., ibid , hal. 69.

Page 78: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

66

privat memberikan sumbangan integritas dan kebenaran, wilayah publik akan

memberikan legimasinya. Tetapi ketika yang privat menjadi publik, sementara sifat privat

cenderung tertutup, maka masalah keadilan menjadi soal. Bagaimana mencari keadilan,

misalnya dalam politik aliran yang pada suatu ketika akan mengendalikan ruang publik

melalui politik?2

Sebaliknya, kehidupan publik juga memiliki kelemahan-kelemahan jika tidak

mendapatkan keseimbangan dari kehidupan privat. Kecenderungan kehidupan publik

antara lain sifat tidak personalnya sehingga tidak berperasaan, cenderung konformis,

tantangan bagi komitmen, dan kecenderungan untuk menjajah. Hal-hal ini sangat

berbahaya bagi kebebasan dan martabat manusia. Kelemahan kehidupan publik meliputi,

pertama tidak privat, dalam arti tidak memiliki kualitas-kualitas mempercayai, integritas,

otonomi dan kebebasan politik yang kesemuanya memang bermasalah. Kedua, kehidupan

publik juga bukan merupakan komunitas yang memiliki kualitas-kualitas dalam berbagi

pengalaman, berbagi nilai, tradisi, kisah-kisah umum. Akhirnya, kehidupan publik,

terutama politik, memiliki persoalan ketika legitimasi dari kehidupan privat tidak ada.

Privat sebagai individu politik dapat tidak memberikan partisipasinya ke dalam

kehidupan publik, dan hal ini memiliki alasan moralnya sendiri. Dalam hal ini publik

menjadi tidak absah, karena legitimasi publik hanya didapatkan secara personal dari

kehidupan privat.

B. Peran Masyarakat dan Negara

Berita media pada semester kedua tahun 2002 dan semester pertama tahun 2003

memperlihatkan wacana mengenai peran Negara dan masyarakat dalam pendidikan

agama secara cukup hangat. Wacana yang ditunjukkan oleh pemberitaan cukup lugas

mengemukakan dua tema, pertama otonomi pendidikan agama dan kedua peran negara

dalam pendidikan agama.

Wacana dari pemerintah dan kelompok pendukung pengundangan UU Sisdiknas

tahun 2003 memperlihatkan kecenderungan melihat agama sebagai bagian publik yang

dapat diatur oleh negara, sehingga terjadi simbiosis saling menguntungkan ketika agama

dan negara bersatu untuk menangani pendidikan agama.

2 Cochran, Clark E., ibid, hal 73.

Page 79: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

67

Sebaliknya wacana yang menolak merasa agama terintervensi oleh negara dengan

memberikan peran Negara yang cukup besar terhadap pengaturan agama. Alasannya

adalah pendidikan moral mestinya harus didekati melalui pendektan privat. Bahasa-

bahasa formal keagamaan yang jauh dan hampa mestinya dihindari. Kekuatan agama

adalah ketika agama tidak mengambil jarak dengan masyarakat, melalui interaksi,

bahasa, transformasi pemahaman agama ke dalam kehidupan sehari-hari dan membangun

keakraban dan solidaritas yang kritis dan bukan ideologis semu. Hal ini yang masih

menjadi kelemahan UU Sisdiknas yang cenderung memaknai agama secara sempit dan

formalistis.

Wacana pro dan kontra ini memberikan perkembangan menarik mengenai

hubungan saling timbal balik untuk memproduksi dan mengkonsumsi teks mengenai

peran negara dalam hal agama. Keberadaan agen pro dan kontra memberikan peluang

perubahan sosial ke depan secara lebih baik karena dialog lebih lanjut mendapatkan

peluang. Keterbukaan dialog antar wacana cukup penting dalam kondisi terdapatnya

wacana dominan, bahwa kelompok dominan menginginkan negara mengatur keagamaan

berdasarkan kecenderungan mereka yang dominan pula.

C. Demokrasi, Moralitas Bangsa dan Pendidikan Agama

Salah satu wacana yang berkembang dalam pro dan kontra UU Sisdiknas adalah

wacana moralita bangsa. Moralitas bangsa tidak dapat diredusir ke dalam moralitas

individu, karena bangsa adalah komunitas publik dan bukan agregat individual.

Wacana yang direpresentasikan dalam saluran berita media menunjukkan

kecenderungan dominasi kelompok yang menginginkan negara mengatur perkara agama.

Hal ini berpengaruh terhadap wacana moralitas bangsa, bahwa moralitas bangsa juga

perlu diatur oleh negara melalui pendidikan agama. Negara diberi ruang luas untuk

mengatur agama dalam kerangka menumbuhkan moralitas bangsa.

Agama merupakan ruang prifat sekaligus ruang publik. Sebagai ruang privat

agama memiliki sumbangannya yang sangat besar terhadap kehidupan publik untuk

mempersiapkan individu-individu menjadi pendukung kehidupan publik. Fungsi

inklusifitas privat dalam agama dapat mengembalikan kepercayaan diri, penghargaan

diri, integritas, kepercayaan yang menjadi bekal dalam kehidupan publik. Sementara

Page 80: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

68

fungsi eksklusif privat agama merupakan ruang rahasia dan penemuan kebenaran yang

dibutuhkan oleh individu sebagai seorang pribadi. Pendidikan agama, sebagai bagian

inhern dalam agama untuk menyemaikan nilia-nilai keyakinan di dalam hubungan antara

pribadi dengan Tuhan dan hubungan antar manusia merupakan kekuatan agama dalam

membangun pribadi baik dalam kehidupan privat maupun kehidupan publik.

Kehidupan Publik agama melalui partisipasi dengan dunia umum merupakan

sumbangan dan tantangan bagi kehidupan publik, terutama bagi politik. Sumbangan yang

diberikan adalah karakter, kepercayaan, integritas, kemandirian, loyalitas yang memiliki

legimiasi kuat dari Yang Maha Kuasa untuk membangun dunia yang baik. Hal ini dapat

bahu membahu dengan kehidupan publik secara umum dalam menata kehidupan yang

saling toleran, adil dan damai. Sebaliknya menjadi tantangan ketika dunia publik,

terutama politik, berbeda dengan hal-hal yang diajarkan agama melalui individu dan

kelompok –kelompok masyarakat agama. Pada gilirannya kritik sosial keagamaan akan

menjadi kontrol bagi kekuasaan politik yang bisa jadi sangat keras, atau sebaliknya

terjadi komproimi antara agama dengan politik. Namun hal ini menyembunyikan suatu

bahaya ketika pluralitas tidak dapat dijaga oleh agama yang menjadi ideology politik

berkuasa, karena sifat kekuasaan selalu ingin meliputi dan menguasai segalanya dan

segala pihak.

Pendidikan agama dalam konteks kekinian tidak cukup sekedar memberikan

dasar-dasar moral tanpa memberikan gambaran mengenai wilayah privat dan publik,

terutama politik. Hal di ini ditekankan untuk tidak terjerumus pada politik aliran yang

cenderung memformalkan agama, atau menutup diri dari pluralitas karena telah menjadi

ideologi kekuasaan. Wacana pro kontra UU Sisdiknas mengenai pendidikan agama dan

otonomi pendidikan dapat dibaca dengan cara pemilahan antara ruang publik dan ruang

privat ini.

Munculnya wacana-wacana melalui pro kontra member peluang untuk

memikirkan ulang mengenai pendidikan moral bangsa secara lebih luas. Agama

merupakan satu lembaga sosial yang tidak bisa terlepas dari lembaga sosial lainnya.

Perubahan sosial yang dihembuskan oleh pro dan kontra UU Sisdiknas belum cukup kuat

namun telah memberikan ruang pengembangan lebih lanjut mengenai pembicaraan

moralitas bangsa melalui berbagai aliran wacana dan non wacana dalam praktik sosial.

Page 81: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

69

Salah satu peristiwa komunikasi dalam praktik wacana yang berpengaruh

terhadap wacana adalah sistem demokratis. Negara dengan patform politik demokratis

pada praktiknya belum tentu dapat demokratis. Kebebasan masyarakat sipil yang dijamin

oleh sistem demokrasi belum tentu dapat diakomodasi dengan baik. Namun demikian

kebebasan masyarakat sipil juga harus mengembangkan nilai-nilai sipil, nilai keadaban

(civility) seperti penghormatan akan Hak Asasi Manusia, sikap hormat dan toleran

terhadap perbedaan dan sebagainya.3

Kebebasan masyarakat yang total tanpa diimbangi dengan negara yang kuat juga

akan sulit mewujudkan tatanan negara-bangsa yang sejahtera dan adil. Ketika

keecnderungan politik aliran, yang merupakan bagian dari masyarakt sipil, menguat, dan

nilai-nilai toleransi melemah, maka kebebasan masyaakat sipil dapat saja mengarah

apada suasan cheos. Di sini peran negara yang kuat juga diburuhkan. Di sisi lain

masyarakat sipil yang bebas secara radikal juga akan memberikan bibit munculnya

diktator, karena situasi cheos merupakan prasyarat utama dari pengendalian situasi cheos

di masyarakat.4

Pendidikan moral dengan demikian harus diintegrasikan dengan nilai-nilai

demokrasi dan keadaban masyarakat sipil. Agama dalam hal ini dapat dijadikan sebagai

pijakan moral yang melampau ide-ide negara dan masyarakat sipil, yang hakikatnya

adalah sitem managemen hidup bersama, bukan dasa-dasar kepercayaan yang adi kodrati.

D. Wacana Pendidikan Agama dan Kepanikan Moral

Pro kontra masyarakat dan rapat-rapat komisi VI mengenai UU Sisdiknas

menandakan terjadinya fenomena penting mengenai kepanikan moral dalam membangun

Sistem Pendidikan Nasional. Kepanikan moral menurut Kenneth Thomson mengandung

unsur-unsur:

Unsure penting dalam kepanikan moral:5

1. sesuatu atau seseorang dianggap sebagai tantangan bagi nilai dan kepentingan

3 Mdjid, Nurkolis, Cita-cita Msyarakat Madani, dalam Kristanto, Edy (ed.), Etika Politik dalam KonteksIndonesia, Pesta 65 Tahun Romo Magnis (Yogyakarta: Kanisius, 2001) hal.311-330.4 ibid5 Thompson, Kenneth, Moral Panics (London and New York: Roudledge, 1998), hal. 8

Page 82: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

70

2. tantangan ini dipresentasikan oleh media massa dalam bentuk yang mudah

dimengerti

3. terdapat konsen publik yang cepat terbentuk

4. ada respon dari penguasa atau pembentuk opini

5. kepanikan tercipta dalam perubahan masyarakat

Kerangka Thompson yang diambil dari studi Beck atas peristiwa kepanikan moral

mengenai pemakaian sabu di Inggris pada tahun 1960-an tersebut masih relevan untuk

digunakan membaca kepanikan moral mengiringi pembahasan UU Sisdiknas.

1. Sesuatu atau seseorang dianggap sebagai tantangan bagi nilai dan kepentingan.

Unsur ini dapat kita lihat dari latar belakang inisiasi UU Sisdiknas sendiri.

Adanya krisis multidimensional yang dirumuskan sebagai krisis moral adalah

gambaran adanya serangan atau tantangan atas nilai dan kepentingan yang

sebelum mapan. Hal ini dikembangkan dengan berbagai tema turunan seperti

kebebasan pers, reformasi kebablasan, kerusuhan tak bermoral, maraknya media

yang menyediakan pornografi, maraknya itnernet dan lain-lain. Dalam rapat di

DPR kepanikan moral masih diperkuat dengan ingatan kembali menengenai

kebangkitan PKI. Hal ini bisa dimengerti karena menjelang runtuhnya Orde Baru

isu munculnya PKI dengan PRD sebagai organnya santer diisukan di wacana

publik yang melibatkan penangkapan dan penghilangan paksa beberapa aktifis

mengiringin kerusuhan 27 Juli di Kantor PDI Jakarta.

6. Tantangan ini dipresentasikan oleh media massa dalam bentuk yang mudah

dimengerti. Dalam wacana UU Sisdiknas, media masa tidak memberitakan secara

cepat mengenai isu-isu penting dalam pembahasn rapat di DPR dan pemerintah.

Justru di waktu menjelang pengesahan wacana agama ini mucnul dan menjadi

perdebatan panjang yang mewarnai gerakan pro dan kontra UU Sisdiknas. Agama

merupakan isu pengikat antara nilai-nilai baru yang muncul dan menantang nilai-

nilai dan kepentringan mapan. Nilai mapan sayangnya masih melekat dengan

wacana sempit mengenai agama dan masih memiliki ingatan kuat terhadap

stabilitas sosial politik militeristik Orde Baru.

Page 83: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

71

7. Terdapat konsen publik yang cepat terbentuk. Melalui satu gejala pemberitaan,

yaitu usulan pemerintah pada akhir tahun 2002 yang tidak menyertakan

sandingannya dari draft DPR, masyarakat tergugah mengkritisi. Dan dengan

peran media, kritisi ini melebar dan meluas memunculkan gerakan dan konsen

publik secara cepat mewarnai semester pertama tahun 2003.

8. Ada respon dari penguasa atau pembentuk opini. Respon dari penguasa selalu

mencoba untuk mengambil jalan aman demi memenangkan wacana dominan

pemberlakuan UU Sisdiknas baru sesuai dengan kepentingan dan nilai yang

sedang dipegang dan diperjuangkan. Respon masyarakat selalu dinilai terlambat

oleh pemerintah baik DPR maupun pemerintah eksekutif. Mereka telah

menyediakan segala-galanya untuk keberhasilan UU Sisdiknas ini dengan

dukungan masyarakat yang pro Sisdiknas, termasuk isu sensitif penyediaan guru

agama bagi sekolah yang membutuhkan.

9. Kepanikan tercipta dalam perubahan masyarakat. Tahun 2003 merupakan tahun

ke-6 setelah krisis multidimensional duimulai sejak menjelang runtuhnya Suharto

tahun 1996-1997. Perubahan-perubahan sosial poiltik, sosial ekonomi, sosial

budaya berjalan dengan kecepatan yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.

Masyararakat sedang mengalami perubahan cepat yang disadarinya namun gagap

dalam menyikapinya. Kesatuan masyarakat sipil tidak berjalan dengan mulus dan

pemerintah tidak memberikan fasilitasi yang baik dalam membangun wacana

terutama dalam hal hubungan agama dan negara. Konsekuensi ini meledak ketika

UU Sisdiknas diusulkan dan dibahas pada tahun 2002-2003.

Page 84: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

74

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabiri, Muhammad Abid, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, alih bahasa oleh

Drs. Mujiburrahman MA (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001)

Budiardjo, Miriam, Prof., Dasar-Dasar Ilmu Politik

Turner, Graeme, British Cultural Studies, An Introduction, (London and New York:

Roudledge, 1996)

Cochran, Clarke E., Religion in Public and Private Life. (New York and London:

Roudledge, 1990)

Dahl, Robert A., Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan praktek Demokrasi Secara

Singkat, alih bahasa oleh A. Arman Zainuddin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001)

Marsden, George M., Agama dan Budaya Amerika, alih bahasa oleh B. Dicky Soetadi

(Jakarta: kerjasama Pustaka SInar Harapan dan USIS Jakarta, 1996)

Hamidi, Jazim, S.H. M.HUM dan Abadi, M. Husnu, S.H.M.HUM, Intervensi Negara

terhadsap Agama Studi Konvergensi Atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi

Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2001)

Haryatmoko, Dr. Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003)

Madjid, Nurkolis, Cita-cita Msyarakat Madani, dalam Kristanto, Edy (ed.), Etika Politik

dalam Konteks Indonesia, Pesta 65 Tahun Romo Magnis (Yogyakarta: Kanisius, 2001) h

Saidi, Anas (ed), Menekuk Agama, Membangun Tahta, Kenbijakan Agama Orde Baru,

(Jakarta: Desantara, 2004)

Page 85: HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO …

75

Thompson, Kenneth, Moral Panics (London and New York: Roudledge, 1998)

Webster’s Collegiate Thesaurus, a Merriam-Webster (Springfield, Massachusetts,

U.S.A.: Merriam-Webster Inc., 1976)

Majalah dan Media Masa

Basis, Nomor 06-07, Tahun ke-52, Juli-Agustus 2003, hal. 3

http://www.kompas.com/kompas-cetak/9903/06/PARTAI/part15.htm, dari web ini

diakses sumber data baik dari edisi Kompas Cyber Media maupun edisi cetak, dari bulan

Juni 2002-Juni 2003

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama

http://www.mirifika.net

http://www.suarapembaharuan.com, terutama untuk bulan Mei-Juni 2003

Harian The Jakarta Post bulan Mei 2003

Harian Warta Kota bulan Mei-Juni 2003

Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan

Nasional, Pustaka Widyatama, tt., tt., hal. 12

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan

Keempat dalam Satu Naskah (Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2004)

Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1999).