KATA PENGANTAR
REFERAT
PERDARAHAN POST PARTUM
Disusun Untuk Memenuhi sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program
Pendidikan Profesi Bagian Obstetri dan Ginekologi
Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo
Diajukan Kepada Yth:
dr. H. Agung Suhadi Sp.OG (K)
Disusun Oleh
Tejo Sujatmiko
01711092
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
BADAN RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO
2006
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT
PERDARAHAN POST PARTUM
Telah Dipresentasikan Oleh :
Tejo Sujatmiko
01.711.092
Tanggal : 10 Febuari 2007
Tempat : BRSD Wonosobo
Telah Disetujui Oleh :
dr. H. Agung Suhadi Sp.OG (K)DAFTAR ISI
BAB I
3I.1. Latar Belakang
3
I.2. Tujuan Penulisan
4
BAB II
II.1. Definisi
5
II.2. Etiologi
6
II.3. Faktor predesposisi
14
BAB III
III.1. Prinsip prinsip umum
15
III.2. Penatalaksanaan Kala III aktif
16
BAB IV
18
Kesimpulan
18
BAB I
Pendahuluan
I. Latar Belakang
Angka kematian maternal di negara berkembang diperkirakan antara
100 1000 lebih per 100.000 kelahiran hidup, sedang di negara maju
berkisar antara 7 15 per 100.000 kelahiran hidup. Di negara
berkembang resiko kematian maternal 1 diantara 29.000 persalinan
1,2 .Resiko kematian maternal meningkat pada wanita hamil dan
melahirkan umur kurang dari 20 tahun dan lebih 35 tahun, gravida 1
dan paritas lebih dari 4, tingkat sosial ekonomi rendah, tidak
memeriksakan kehamilannya, berasal dari pedesaan, faktor lain yang
berpengaruh yaitu faktor penolong, fasilitas, organisasi masyarakat
dan faktor pasien itu sendiri 3.Diantara beberapa faktor penyebab
langsung kematian maternal akibat perdarahan obstetri, maka
perdarahan post partum merupakan penyebab yang tersering (35%).
Tiap tahunnya ribuan wanita meninggal diseluruh dunia akibat
perdarahan post partum. Pencegahan dan pengelolaan perdarahan post
partum karenanya merupakan aspek perawatan maternitas yang sangat
penting 4 . Laporan lain dari penelitian Maternal Mortality
Collaborative tahun 1980-1985 menunjukkan bahwa 11 % kematian
maternal diakibatkan oleh perdarahan5 .Meskipun terdapat perbaikan
nyata dalam pengelolaan, perdarahan post partum dini tetap menjadi
penyumbang yang bermakna bagi morbiditas dan mortalitas maternal di
negara-negara berkembang 6,7 maupun di rumah sakit dengan segala
pengobatan modern yang tersedia 8,9,10 .II. Tujuan Penulisan
Dengan penulisan ini penulis berharap lebih memahami mengenai
perdarahan post partum dan antisipasinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Definisi
Perdarahan post partum di bagi dalam dua kategori yaitu
perdarahan post partum dini dan perdarahan post partum lambat.
Perdarahan pervaginam sebanyak lebih dari atau sama dengan 500 ml
selama 24 jam pertama setelah persalinan disebut sebagai perdarahan
post partum dini. Dikatakan sebagai perdarahan pervaginam yang
terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah persalinan disebut
sebagai perdarahan post partum lambat 11,12,13.Pritchard telah
menunjukkan bahwa rat-rata kehilangan darah pada persalinan
pervaginam dan seksio sesarea masing-masing adalah 500 ml dan 1000
ml 14. Kehilangan yang lebih banyak bisa disebut perdarahan post
partum tetapi perkiraan klinis jumlah kehilangan darah tidak akurat
14-17 .Usulan definisi lain untuk perdarahan post partum adalah
perubahan 10 % hematokrit. Ini adalah pendekatan retrospektif yang
mungkin berguna dalam protokol penelitian untuk menilai
faktor-faktor resiko atau membandingkan keefektifan penanganan
tetapi tidak banyak membantu klinisi yang diharapkan dengan
perdarahan eksesif 19 . Combs pernah menganjurkan suatu definisi
kebutuhan melakukan transfusi18 Definisi ini diperumit dengan
besarnya variasi dalam pola praktik dan sikap terhadap transfusi
baik oleh para pasien dan dokter 4 . Oleh karena itu, diagnosis
perdarahan post partum tetap merupakan suatu penelitian klinis
subjektif yang mencakup berapapun perdarahan yang mengancam
stabilitas hemodinamik seorang ibu 4 . Insidensi terjadinya
perdarahan postpartum sebesar 5 18 % 13.II.2Etiologi
Penyebab perdarahan postpartum ada 4 hal, yang untuk mudahnya
disingkat sebagai 4Ts : Tone, Trauma, Tissue dan Thrombin. Tone
merujuk pada tonus uteri ; trauma merujuk pada trauma jalan lahir
berupa laserasi vagina, serviks maupun uterus ; tissue merujuk pada
retensi sisa plasenta ; dan thrombin merujuk pada koagulopati,
mencakup hemofilia, DIC, penggunaan aspirin, ITP, TTP dan VWD.
Kondisi-kondisi ini kebanyakan teridentifikasi sebelum persalinan
dimana rendahnya angka trombosit menaikkan resiko perdarahan.]
II.2.1Tones
2.1.1.Atonia Uteri
Terjadi dalam 24 jam pascapersalinan dan bisa disebabkan oleh
partus lama maupun partus presipitatus, infeksi maupun overdistensi
uterus,abrupsio plasenta maupun plasenta previa,
grandemultiparitas, anestesia umum dan atau anestesia halotan 21.
Namun demikian secara umum dengan mempertimbangkan
variabel-variabel lain, grandemultiparitas dalam penelitian lain
dinyatakan tidak menaikkan kemungkinan jeleknya hasil persalinan 22
.2.1.2.Inersia Uteri
Disini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi
lebih kuat dan lebih dahulu daripada bagian-bagian lain, peranan
fundus tetap menonjol. Kelainannya terletak dalam hal bahwa
kontraksi uterus lebih aman, singkat dan jarang daripada biasa.
Keadaan umum penderita biasanya baik dan rasa nyeri tidak seberapa.
Selama ketuban masih utuh umumnya tidak banyak bahaya , baik bagi
ibu maupun bagi janin, kecuali jika persalinan berlangsung terlalu
lama; dalam hal terakhir ini morbiditas ibu dan mortalitas janin
naik. Keadaan ini dinamakan inersia uteri primer atau hypotonic
uterine contraction.Kalau timbul setelah berlangsungnya his kuat
untuk waktu yang lama, hal itu dinamakan inersia uteri sekunder 23
.
II.2.2Tissue
2.2.1.Retensio Plasenta
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir,
hal itu dinamakan retensio plasenta. Sebab-sebabnya ialah :
Plasenta belum lepas dari dinding uterus, atau plasenta sudah lepas
akan tetapi belum dilahirkan. Jika plasenta belum lepas sama
sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi
perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta
belum lepas dari dinding uterus dikarenakan adanya kontraksi uterus
kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva), plasenta
melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus
desidua sampai miometrium, sampai di bawah peritoneum (plasenta
akreta-perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum
keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau
karena salah penanganan kala III sehingga terjadi lingkaran
kontraksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya
plasenta (inkarserasio plasenta) 23 .
2.2.2.Retensi Sisa Plasenta
Plasenta akreta digunakan untuk menyatakan setiap implantasi
plasenta dengan perlekatan plasenta yang kuat dan abnormal pada
dinding uterus, sebagai akibat insufisiensi parsial atau total
desidua basalis dan pertumbuhan fibrinoid yang tidak sempurna
(lapisan Nitabuch), villi korialis akan melekat pada miometrium
(plasenta akreta), benar-benar menginvasi miometrium (plasenta
inkreta) atau bahkan mengadakan penetrasi lewat miometrium
(plasenta perkreta). Perlekatan yang abnormal yang melibatkan
seluruh kotiledon (plasenta akreta totalis), beberapa kotiledon
(plasenta akreta parsialis) atau satu kotiledon (plasenta akreta
fokalis) 12,13 .
Insidensi plasenta akreta diperkirakan bervariasi dari 1 dalam
2000 hingga 1 dalam 7000 kelahiran 13 . Perlekatan plasenta yang
abnormal yang paling sering ditemukan dalam situasi dengan
pembentukan desidua yang besar kemungkinannya sudah mengalami
cacat, misalnya implantasi pada segmen bawah uterus atau pada
jaringan parut bekas seksio sesaria ataupun bekas insisi lainnya ke
dalam cavum uteri atau sesudah tindakan kuretase atau
grandemultipara.
Kemungkinan plasenta inkreta sudah didiagnosis antepartum bisa
saja terjadi. Tabsh dkk (1982) mengemukakan kasus plasenta previa
yang sebelumnya sudah diketahui dari hasil USG yang memperlihatkan
berkurangnya ruang sonolusen subplasenta yang biasanya ada. Ruang
sonolusen subplasenta yang normal akan mengganbarkan desidua dan
jaringan miometrium yang ada dibawahnya, sehingga dengan tidak
terlihatnya ruang sonolusen subplasenta atau zona hipoekoik
retroplasenta menunjukkan adanya plasenta inkreta 12,13 .II.2.3
Trauma
2.3.1.Robekan Serviks
Robekan pada serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat
menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang
tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus
berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir,
khususnya robekan serviks uteri. Dalam keadaan ini serviks harus
diperiksa dengan spekulum.
Apabila ada robekan serviks perlu ditarik keluar dengan beberapa
cunam ovum, supaya batas antara robekan dapat dilihat dengan baik
23 .
2.3.2.Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama
dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum
umumnya terjadi di garis tengah dan bisa terjadi luas apabila
kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil
daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke
belakang daripada biasa. Kepala janin melewati pintu bawah panggul
dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia
suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan
vaginal.
Apabila hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek
dinamakan robekan perineum tingkat satu. Pada robekan tingkat dua,
dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan
otot-otot diafragma urogenitalis pada garis tengah terluka. Dan
pada robekan tingkat tiga atau robekan total, muskulus sfingter ani
eksternum ikut terputus dan kadang-kadang dinding depan rektum ikut
robek 23 .
2.3.3.Inversio Uteri
Inversio uteri postpartum jarang dijumpai, pada peristiwa ini
fundus uteri yang terbalik masuk kedalam kavum uteri dan dapat
diraba melalui kanalis sevikalis yang terbuka, bahkan dapat
memasuki vagina. Dimana plasenta biasanya masih melekat pada
dinding uterus. Hampir semua kasus inversio uteri terjasi setelah
persalinan dan mungkin akibat tarikan pada talipusat sebelum
plasenta lepas. Inversio uteri nonpuerpural dapat dibagi menjadi
inversio uteri akut, yang terjadi segera setelah plasenta lahir dan
sebelum serviks menutup, dan inversio uteri kronik yang terjadi
setelah 4 minggu persalinan 13 .
Sebab-sebab inversio uteri adalah tarikan pada tali pusat
sebelum plasenta lepas, tekanan pada fundus dari luar sedang uterus
tidak berkontraksi, atau spontan apabila pada atonia uteri tekanan
intraabdominal meningkat dengan mendadak. Bayi lahir dengan tali
pusat pendek 12,13 .
Inversio uteri sesudah kala III persalinan paling sering
disertai perdarahan segera yang mengancam jiwa pasien dan bila
tanpa tindakan segera bisa mengakibatkan kematian. Dikatakan bahwa
syok yang terjadi cenderung tidak seimbang dengan jumlah darah yang
hilang 12 .
Kelambatan dalam penanganan inversio uteri akan menyebabkan
peningkatan angka mortalitas secara nyata. Setelah diambil tindakan
terhadap syok, penderita dalam pemberian narkose mendorong fundus
dengan telapak tangan dan jari-jari tangan menurut arah sumbu
memanjang, sumbu vagina sampai sumbu uterus hingga reposisi
terlaksana. Apabila plasenta belum lepas, baru setelah reposisi
plasenta dilepaskan,oksitosika tidak diberikan sebelum uterus
dikembalikan pada konfigurasi normal. Segera setelah uterus
dikembalikan kepada konfigurasi normal, pengunaan preparat anestesi
untuk menghasilkan relaksasi uterus harus dihentikan dan pad saat
itu pula diberikan oksitosin untuk menimbulkan kontraksi uterus,
sambil mempertahankan fundus dalam posisinya yang normal 12,13
.
Jika uterus yang inversi tidak bisa dikembalikan secara manual
karena adanya cincin kontraksi yang kuat, laparotomi harus
dilakukan. Fundus didorong ke atas dari sebelah bawah dan sekaligus
ditarik dari atas. Jahitan traksi yang dipasang pada fundus yang
inversi bisa membantu. Jika cincin kontraksi tetap merintangi
reposisi, secara hati-hati dilakukan insisi pada dinding belakang
lingkaran kontraksi, sehingga kemungkinan melakukan tindakan
reposisi uterus sedikit demi sedikit. Kemudian luka dibelakang
uterus dijahit dan luka laparotomi ditutup 12 .
2.3.4Trombin
2.3.4.1 Kelainan faktor pembekuan darah
Faktor faktor yang terdapat di dalam darah dan yang berperan
dalam proses pembekuan terdiri atas perotein yang sebagian besar
dibuat di dalam hepar. Hingga sekarang dikenal dengan 12 faktor
yang ditandai dengan angka romawi dan diberi nama sebagai berikut
:
Faktor I - Fibrinogen
Faktor II - Protrombin
Faktor III - Tromboplastin jaringan
Faktor IV - Ion kalsium
Faktor V - Pro akselerin (Stabil factor )
Faktor VI - Hagemen faktor
Faktor VII - Prokon vertin
Faktor VIII - Faktor antihemofilik A ( globulin anti hemofili A
)
Faktor IX - Faktor antihemofilik B ( komponen tromboplastin
plasma,
Chrismas factor ).
Faktor X - Faktor Stiart power
Faktor XI - Antecedent tromboplastin plasma.
Faktor XII - Faktor Hagemen
Faktor XIII - Faktor menstabilkan fibrin.
Berbagai faktor tersebut diatas terdapat dalam bentuk non aktif.
Apabila terjadi sesuatu, misalnya darah ke luar dari pembuluh atau
terjadi pembekuan intravaskuler, barulah faktor faktor itu menjadi
aktif.
Proses pembekuan diawali oleh kerusakan trombosit akibat
bersentuhan dengan permukaan yang tidak licin, dan oleh keluarnya
tromboplastin jaringan (faktor III ). Selanjutnya selain Ion
kalsium, faktor pembekuan lainnya memungkinkan proses pembekuan
dengan hasil terakhir terbentuknya fibrin yang di bawah pengaruh
faktor menstabilkan fibrin ( faktor XIII )menjadi tetap padat.
Pada kehamilan kadar plasminogen meningkat, walaupun dengan
demikian aktifitas menghancurkan fibrin justru lambat. Keping
keping fibrin akibat fibrinolisis ditemukan dalam konsentrasi
tinggi pada pembekuan intravaskuler yang merata ( Disseminated
Intavascular Coagulation, DIC ) yang menghambat erjadinya reaksi
trombin- fibrinogen. Sebaliknya pada trombosis kosentrasi itu
rendah 23 .
II. 3.Faktor Predisposisi
Faktor faktor predisposisi yang bisa menyebabkan terjadinya
perdarahan postpartum 80 % disebabkan oleh karena atonia uetri,
sedangkan laserasi jalan lahir dan retensi sisa plasenta masing
masing merupakan 10 % penyebab terjadinya perdarahan postpartum.
Faktor faktor kelainan darah sangat jarang didapatkan 22 .
Kehamilan resiko tinggi menyebabkan terjadinya perdarahan
postpartum adalah paritas tinggi, Overdistensi uterus seperti
kehamilan gemeli, Polihidramnion, makrosomia, partus lama, induksi
? stimulasi, persalinan dengan tindakan, pre-eklamsi / eklamsia,
amniontis, dan kala II lama 12.13 .
BAB III
Penatalaksanaan dan Pencegahan Perdarahan Postpartum
III.1. Prinsip-prinsip Umum
Penatalaksanaan perdarahan postpartum tergantung dari
penyebabnya, dan usaha untuk menghentikan perdarahan sebelum
keadaan menjadi lebih parah. Sumber perdarahan harus segera
dihentikan dan dikoreksi. Apabila penyebabnya adalah trauma, segera
dilakukan tindakan untuk memperbaiki, apabila penyebabnya atonia
uteri maka harus segera dilakukan tindakan untuk mendapatkan
kontraksi uterus dengan tindakan pemijatan sampai penggunaan
oksitosika bahkan tindakan operatif 11,12,13 .
Usaha-usaha awal untuk menghentikan perdarahan postpartum
seharusnya mencakup pemijatan uterus untuk memacu involusi. Terapi
obat bisa mencakup oksitosin (Pitocin), metilergonovin
(Methergine), atau prostaglandin. Bila perlu, penggunaan cairan
secara bersamaan dan penggantian darah mendasar sifatnya. Jika
pendekatan-pendekatan non-bedah ini gagal menghentikan pendarahan,
jika tersedia embolisasi arteri angiografik, atau intervensi bedah
seharusnya dikerjakan cepat-cepat sebelum jumlah kehilangan darah
menyebabkan koagulopati intravasculer menyebar (Disseminated
Intravascular Coagulopathy/DIC), yang mengakibatkan pengendalian
pendarahan menjadi mustahil 24 .
Adalah penting untuk mempertahankan volume plasma pasien dan
kemampuan mengangkut oksigen selama suatu episode perdarahan akut.
Walaupun pengembangan volume bisa dipertahankan larutan kristaloid,
koloid namun darah masih merupakan solusi terbaik untuk
mengembalikan kapasitas pengangkutan oksigen pasien. Dalam situasi
darurat, darah lengkap adalah produk yang harus paling cepat
tersedia. Darah O-negatif Rh-negatif digunakan dalam situasi yang
mengancam jiwa sampai darah yang telah diuji silang bisa diperoleh.
Dalam situasi dimana kehilangan darah diantisipasi dan terus
berlanjut, sel darah merah terpadatkan memberikan konsentrasi sel
darah merah tertinggi pertransfusi 24 .III.2. Penatalaksanaan Kala
III Secara Aktif
Penatalaksanaan kala tiga persalinan secara aktif, yaitu berikan
suntikan dengan menggunakan oksitosika profilaksi, pemijatan
uterus, lakukan traksi terkendali, telah dipergunakan secara luas
dengan tujuan untuk pencegahan perdarahan postpartum dan retensi
plasenta. Penelitian mengenai intervensi yang digunakan untuk
penatalaksanaan kala tiga persalinan menunjukkan adanya keuntungan
dan kerugian pada penatalaksanaan aktif maupun pasif. Uterotonika
profilaksi menurunkan resiko perdarahan postpartum sekitar 60%.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi ergometrin dan
oksitosin lebih baik dibandingkan dengan penggunaan oksitosin 5 IU
saja 19 . Perbedaan oksitosin dan ergometrin yaitu jika oksitosin
maka kontraksi yang ditimbulkan bersifat ritmis, reaksi cepat
dengan durasi cepat, sedangkan ergometrin, kontraksi yang
ditimbulkan bersifat tonus, reaksi lambat dan durasi lama 12,13
.
Seperti disebutkan dimuka, pembagian perdarahan postpartum
menurut waktu keluarnya dibagi menjadi 1) awal (24 jam) yang
biasanya disebabkan karena gangguan involusi, retensi sisa plasenta
dan infeksi. Laserasi jalan lahir dapat terjadi di dinding vagina,
serviks, perineum dan lain-lain, hal ini dapat disebabkan karena
gesekan dengan bayi, gesekan dengan tangan penolong, pembukaan
belum lengkap sudah dipimpin mengejan dan trauma oleh instrumen.
Cara membedakan perdarahan postpartum oleh karena laserasi atau
atonia uteri yaitu : Perdarahan karena laserasi 1) perdarahan
terjadi begitu bayi lahir, 2) kontraksi uterus teraba, 3) darah
berwarna merah, sedangkan perdarahan karena atonia uteri yaitu : 1)
perdarahan terjadi begitu plasenta lahir, 2) kontraksi uterus tidak
teraba, 3) darah berwarna merah kehitaman 12,13,20 .
Urutan penanganan perdarahan postpartum yaitu 1) profilaksi dan
infus disiapkan, 2) setelah plasenta lengkap keluar dan belum ada
kontraksi dilakukan massage uterus sampai teraba adanya kontraksi,
3) massage dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian oksitosika
dan dipasang infus, 4) bila tidak berhasil, dilakukan kompresi
bilanual ditahan 15 menit sampai perdarahan berhenti, 5) bila tidak
berhasil dipasang tampon yang baik dan benar (jangan sampai ada
ruangan yang tidak tertutup), 6) bila tidak berhasil, dilakukan
pengikatan a. hipogastrika atau a. uterina atau histerektomi bila
tidak ingin punya anak lagi atau penekanan aorta abdominalis sambil
mengganti darah yang keluar (blood replacement) 13.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Perdarahan postpartum dibagi ke dalam dua kategori yaitu
perdarahan postpartum dini dan perdarahan post partum lambat.
Perdarahan dini adalah perdarahan pervaginam sebanyak lebih dari
atau sama dengan 500 ml selama 24 jam pertama setelah persalinan.
Perdarahan lambat adalah perdarahan pervaginam yang terjadi lebih
dari 24 jam pertama setelah persalinan
2. Dalam etiologi ada 4 hal yang menyebabkan perdarahan
postpartum, yang disingkat dengan 4 Ts yaitu terdiri dari Tone,
Trauma, Tissue, dan Trombin. Dimana Tone,adanya perdarahan dari
Atonia Uteri, Inersia Uteri. Pada Trauma adanya perdarahan dari
Retensio Plasenta, Retensi sisa plasenta.Pada trauma adanya
perdarahan dari robekan serviks, robekan perineum,inversio uteri.
Sedangkan pada trombin di dapatkan kelainan pada kelainan faktor
pembekuan darah.
3. Pada kelainan resiko tinggi menyebabkan terjadinya perdarahan
postpartum adalah paritas tinggi, overdistensi uterus seperti
kehamilan gemilli, polihidramnion, makrosomia partus lama, induksi
/ stimulasi, persalinan dengan tindakan, pre-eklamsi/ eklamsi,
amnionitis dan kala II lama 12,13 .4. Pada penatalaksanaan
perdarahan postpartum tergantung dari penyebab perdarahan, yaitu
dengan menghentikan sumber perdarahan yang harus segera dihentikan
dan dikoreksi.Apabila penyebabnya trauma segera dilakukan tindakan
untuk memprbaiki, apabila penyebabnya atonia uteri maka harus
segera dilakukan tindakan untuk mendapatkan kontraksi uterus dengan
tindakan pemijitan sampai penggunaan oksitosika bahkan tindakan
operatif.
DAFTAR PUSTAKA
1.Campbell, O., Koblinski, M., Taylor, P. Off to Rapid Start;
Appraising Maternal Mortality and Service, International Journal of
Gynaecology & Obstetric 48 Suppl. S33-S52 1995.
2.Hogberg, U., Innala, E., Sanderston, D. Maternal Mortality in
Sweden, 1980-1988. Obstetric Gynaecologic 84: 240-4, 1994.
3.Daryono, K., Sugeng, D., Muchtar, A. Kematian Maternal di RS
Mangkuyudan Yokyakarta tahun 1970-1980, Majalah Obstetri Ginekologi
Indonesia 7:269,1987.
4.Schuurmans, N., Kinnon, C.M.. Prevention and Management of
Postpartum Haemorrhage. J Soc Obstet Gynaecol Can 2000;
22(4):271-81.
5.Arias, F. Practical guide to High Risk Pregnancy and delivery,
2nd Ed, Mosby Year Book, St Louis Missouri, 1993.
6.Kwast, B.E. Postpartum haemorrhage: its contribution to
maternal mortality. Midwifery 1991; 7 :64-70.
7.World Health Organization. Maternal Mortality : A Global
Factbook Geneva, WHO 1991 b.Issue1)Amended 08 July 1998. Update
Software : Oxford.
8.Berg, C.J., Atrash, H.K., Tucker, M. Pregnancy-related
mortality in the United States 1987-1990. Obstet Gynaecol
1996;88:161-7.
9.Rochat, R.W., Koonin, L.M., Atrash, H.K., Jewitt, J.F. The
Maternal Mortality Collaborative. Maternal Mortality in the United
States: report from the maternal mortality collaborative. Obstet
Gynaecol 72;91:91-7.
10.Departement of Health. Why Mothers Die. Report on
Confidential Inquiries into maternal Deaths in the United Kingdom
1994/96. London. Her Majestys Stationery Office 1998.
11.Brookes, C. Manegement of Obstetric Emergencies Primary
Postpartum Haemorrhage. Am J Obstet Gynaecol, 1990, 142, 3:
11-6.
12.Cunningham, F.G., Mc Donald, P.C., Leveno, K.J., Gant, N.F.,
Gilstrap, L.C. Abnormalities of the Third Stage of labor. Williams
Obstetrics 19th Ed. Appleton & Lange, 1993.
13.Sabrina, D., Craigo, M.D., Kapernick, M.D. Postpartum
Haemorrhage & The Abnormal Puerpurium in Current Obstetric
& Gynaecologic Diagnosis & Treatment. 8th Ed Appleton &
Lange,1994.
14. Pritchard, J.A, Baldwin, R.M., Dickey, J.C., Wiggins, K.M.
Blood volume changes in pregnancy and the puerpurium. AM J Obstet
Gynaecol 1962;84 (10):1271-82.
15.Gilbert, L., Porter, W., Brown, V.A. Postpartum haemorrhage:
a continuing problem. Br J Obstet Gynaecol 1987;67-71.
16.Newton, M., Mosey, L.M., Egli, G.E., Gifford, W.B,. Hull,
C.T. Blood loss during and immediately after delivery. Obstet
Gynaecol 1961;17:9-18.
17.Brant, H.A. Precise estimation of postpartum haemorrhage :
difficulties and importance. Br M Ed J 1967;1;398-400.
18.Combs, C.A., Murphy, E.L., Laros, R.K. Factors associated
with postpartum haemorrhage with vaginal birth. Obstet Gynaecol
1991;77:69-76.
19.Khan, G., John, I.S., Cham, T., Wani. S, Hughes, A.O.,
Stirrat, G.M., Abu Dhabi Third Stage Trial : Oxytocin versus
Symtometrin in the active management of the third stage of labour.
EURJ Obstet Gynaecol Reprod Bial, 1995;58:147-51.
20.Bernstein P. MCCQE Review Notes and Lecture Series:
Obstetrics. 2000
21.Humphrey, Michael, D. Is grand multiparity an independent
predictor of pregnancy risk? A retrospective observational study.
MJA 2003;179:294-296.
22.Sarwono, P. Ilmu Kebidanan, Edisi 3, Cetakan ke-6, FKUI,
Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, 2002.
23.Burnett, A.sF. Clinical Obstetrics and Gynaecology: a
problem-based approach. Massachussetts,2001: Blackwell
Scienc,Inc.
PAGE 22