BAB I PENDAHULUAN Jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi perinatal dari ibunya. Laporan CDC (Central for Disease Control) Amerika memaparkan bahwa seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0% - 1,7%, pada saat persalinan 0,4% - 2,3% dan 9,4 – 29,6% pada ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV. Sebaliknya, risiko tentang hasil kehamilan pada penderita infeksi HIV masih merupakan tanda Tanya. Transmisi vertical virus AIDS dari ibu kepada janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui, kapan transmisi perinatal tersebut terjadi. Penelitian di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20 – 40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan atau melalui ASI. Walaupun demikian WHO menganjurkan agar ibu dengan HIV (+) tetap menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang lebih besar dibandingkan dengan risiko penularan HIV. 1 Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang relatif baru, terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun makin 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia
reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi perinatal dari
ibunya. Laporan CDC (Central for Disease Control) Amerika memaparkan bahwa
seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0% - 1,7%, pada saat persalinan 0,4% -
2,3% dan 9,4 – 29,6% pada ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik
wanita dengan infeksi HIV. Sebaliknya, risiko tentang hasil kehamilan pada penderita
infeksi HIV masih merupakan tanda Tanya. Transmisi vertical virus AIDS dari ibu
kepada janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui, kapan
transmisi perinatal tersebut terjadi. Penelitian di Amerika Serikat dan Eropa
menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20 – 40%.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan atau
melalui ASI. Walaupun demikian WHO menganjurkan agar ibu dengan HIV (+) tetap
menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang lebih besar dibandingkan dengan
risiko penularan HIV.1
Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang relatif
baru, terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun
1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun makin meningkat secara relatif cepat
disertai angka kematian yang mencemaskan, maka dilakukanlah pengamatan dan
penelitian yang intensif sehingga akhirnya penyebab defisiensi imun ini ditemukan.
Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu virus yang kemudian dikenal dengan nama
human immunodeficiency virus tipe-1 (HIV-1), pada tahun 1985. Pada pengamatan
selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini dapat menimbulkan rentangan gejala
yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala hingga gejala yang sangat berat dan
progresif, dan umumnya berakhir dengan kematian. Dengan meningkat dan
menyebarnya kasus defisiensi imun oleh virus ini pada orang dewasa secara cepat di
seluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak mendapat perhatian dan penanganan yang
memadai, dalam waktu dekat diperkirakan jumlah kasus defisiensi imun pada anak
juga akan meningkat.2
Secara keseluruhan, infeksi pada wanita meningkat, dan proporsi wanita dan
gadis remaja yang terinfeksi meningkat tiga kali lipat dari 7 menjadi 23 persen dari
1
tahun 1985 sampai 1998. Sejak saat itu, prevalensi penyakit yang mematikan ini
meningkat di seluruh dunia hampir secara geometris. Di Amerika Serikat sampai
tahun 1998, Fauci (1999) menyebut sekitar 650.000 sampai 900.000 orang terinfeksi
dan hampir setengah juta meninggal. Pada tahun 1994, kematian akibat infeksi HIV
menjadi penyebab utama kematian pada orang berusia 25 sampai 44 tahun. Seperti
diperkirakan, infeksi perinatal juga meningkat. Sampai tahun 1993, Centers for
Disease Control and Prevention memperkirakan bahwa di Amerika Serikat 15.000
anak terinfeksi HIV lahir dari wanita positif HIV.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi
oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer
atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency
virus.2Kausa sindrom imunodefisiensi ini adalah retrovirus DNA yaitu HIV-1 dan
HIV-2.3
2.2. Etiologi
Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus.
Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. Dimana HIV-1 memiliki 10 subtipe yang diberi dari
kode A sampai J. Dan subtype yang paling ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-
1.4
2.3. Cara Penularan
Kita masih belum mengetahui secara persis bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi.
Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain
itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal ini
ditunjukkan dalam gambar berikut:12
Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV.
Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah)
3
ibunya. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load
yang tidak dapat terdeteksi – seperti juga ART untuk siapa pun terinfeksi HIV. Viral
load penting pada waktu melahirkan. Seperti ditunjukkan pada gambar, penularan
dapat terjadi dalam kandungan. Hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan pada
plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan tersebut
dapat memungkinkan darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat
disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB.12
Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh
darah dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas, jangka waktu
antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor risiko untuk
penularan. Juga intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi,
misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI) dari ibu
terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui menyusui.
Faktor risiko lain termasuk kelahiran premature (bayi lahir terlalu dini) dan
kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko
menunjukkan satu hal: yang terpenting adalah mengawasi kesehatan ibu.
4
Beberapa pokok kunci:
Status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya
Status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya
Status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu
2.4. Patofisiologi
Untuk dapat terinfeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu
molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel
tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling
banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada limfosit-
T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit-T sehingga
seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali
selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi seuntai
DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-ase
H, RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami
polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polimerase. DNA yang
terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan
menyisip ke dalam DNA sel pejamu dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai
provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan
replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan deferensiasi sel pejamu
(T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu
dan mamacu terjadinya replikasi dengan kecepatan tinggi.2
Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi
virus, yaitu pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat ini masih
belum jelas, walaupun umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan mitogen atau
antigen yang mungkin bekerja melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum maupun
sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak semua sitokin dapat memacu replikasi virus
oleh karena sebagian sitokin malah dapat menghambat replikasi. Sitokin yang dapat
memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta mengatur respons imun, seperti
misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis factor α dan β, interferon gamma,
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor dan macrophage colony-
stimulating factor. Yang bersifat menghambat adalah interleukin-4, transforming
growth factor β, interferon α dan β.2
5
Hal lain yang dapat memicu replikasi HIV adalah adanya ko-faktor yang
terdiri dari infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus
hepatitis B, virus herpes simplex, human herpesvirus 6, dan human T-cell
lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh kuman seperti mikoplasma. Oleh karena sitokin
dapat dibentuk dan bekerja lokal di dalam jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi,
maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus meningkat untuk dapat
menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam jaringan. Oleh
karena itu, pada keadaan adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan
(terutama di dalam kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus.2
Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan organ limfoid
dapat dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui
sirkulasi atau melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe
regional. Di sini terjadi replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan
infeksi jaringan limfoid yang lain (multipel) yang dapat menimbulkan limfadenopati
subklinis.2
Sementara itu, sel limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum germinativum
jaringan limfoid juga memberikan respon imun yang spesifik terhadap HIV. Hal ini
yang mengakibatkan limfadenopati yang nyata akibat hiperplasia atau proliferasi
folikular yang ditandai oleh meningkatnya sel dendrit folikular di dalam sentrum
germinativum dan sel limfosit T-CD4. Akumulasi sel limfosit T-CD4 yang meningkat
di dalam jaringan limfoid ini selain akibat proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari
migrasi limfosit dari luar. Migrasi sel T-CD4 dari luar inilah yang mengakibatkan
penurunan sel T-CD4 di dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang merupakan gejala yang
khas dari sindrom infeksi HIV akut. Di samping itu, sel limfosit-B menghasilkan
berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel T-
CD4.2
Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan
komplemen terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik
folikular ini, pada respons imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang
terdapat di lingkungan sentrum germinativum dan menyajikannya kepada sel imun
yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi.
Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4 dapat tinggal laten untuk waktu
yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali akibat berbagai
stimulasi. Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan partikel
6
HIV yang bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat
diamati adalah dengan progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit
folikular sehingga hilanglah kemampuan organ limfoid untuk menjerat partikel HIV
yang berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi. Hal ini sudah tentu
meningkatkan penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh.2
Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa infeksi HIV pada sel limfosit T-CD4
tidak saja berakhir dengan replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan fungsi sel T-
CD4 dan sitolisis, hingga populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi (perubahan
fungsi dan penurunan jumlah) sel limfosit T-CD4 ini diduga berlangsung sebagai
yang tertera sebagai berikut:2
Pengaruh sitopatik langsung HIV (single-cell killing)
Pembentukan sinsitium
Respon imun spesifik
Limfosit-T sitolitik yang spesifik untuk HIV
Sitotoksisitas selular akibat adanya antibodi
Sel killer alami
Apoptosis (kematian yang terprogram)
Mekanisme autoimun
Anergi yang disebabkan oleh pengiriman isyarat yang tidak sempurna yang
diakibatkan oleh interaksi molekul gp 120-CD4
Gangguan fungsi (perturbation) subkelompok sel-T akibat adanya suatu super
antigen
2.5. Klasifikasi
HIV merupakan virus RNA, termasuk famili retroviridae dan genus lentivirus. HIV
dibagi menjadi dua tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2(virologi). HIV-1 dibagi lagi menjadi
3 grup, dan 10 subtipe (clade). (Gambar 1) Sebanyak 90% dari infeksi HIV yang
terjadi di dunia ini berasal dari HIV-1 Clade B.5
7
HIV-1 berdiameter kira-kira 100-150 nm, terdiri dari membrane lipid, protein
envelope gp-120, protein transmembran gp-41, protein matriks (p17), kapsid (p24)
dan nukleokapsid (p7). (Gb.2) Di dalam kapsid terdapat dua kopi genom RNA rantai
tunggal dan enzim-enzim yang diperlukan saat virus bereplikasi dalam sel pejamu
(reverse transcriptase, integrase, dan protease). RNA rantai tunggal HIV berisi gen
yang mengkode rangkaian protein structural (gag, pol, dan env) dan protein non
struktural atau dikenal sebagai regulator [tat, rev, nef, vpr, vpu (atau vpx di HIV-2)
dan vif].5
Klasifikasi Infeksi HIV/AIDS
Adapun klasifikasi HIV/AIDS berdasarkan stadium WHO (2003) ialah :6
4. Pemeriksaan Laboratorium Darah (Kadar CD4, Hepatitis, Paps Smear,
Toxoplasma, Virus load)
18
2.10. Penatalaksanaan
Dapatkah perempuan terinfeksi HIV hamil/memiliki anak?
Kita semua berhak untuk menikah dan mendapatkan keturunan. Menjadi HIVpositif
tidak mengurangi hak kita. Namun jelas tanggung jawab kita juga lebih besar. Kita
pasti ingin supaya anak kita tidak terinfeksi HIV, dan ada beberapa cara untuk
mengurangi risiko ini. Selain itu, kita pasti ingin tetap sehat agar dapat membesarkan
anak kita. Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi kita tidak terinfeksi dan kita
tetap sehat adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi
HIV di seluruh dunia sudah memakai obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu
hamil lebih dari sepuluh tahun. ART sudah berdampak besar pada kesehatan
perempuan terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang
diberi semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan anak.12
Penatalaksanaan selama kehamilan
Konseling merupakan keharusan bagi wanita positif-HIV. Hal ini sebaiknya dilakukan
pada awal kehamilan, dan apabila ia memilih untuk melanjutkan kehamilannya, perlu
diberikan konseling berkelanjutan. Perkembangan penatalaksanaan selama kehamilan
mengikuti kemajuan-kemajuan dalam pengobatan individu non hamil dengan HIV.
Konsekuensi penyakit yang tidak diobati sangat merugikan, terjadi pergeseran dari
fokus yang semata-mata untuk melindugi janin menjadi pendekatan yang lebih
berimbang berupa pengobatan ibu dan janinnya.13
Banyak terjadi kemajuan dalam pengobatan HIV. Sejumlah penelitian
membuktikan bahwa kombinasi analog nukleosida-zidovudin, zalsitabin, atau
lamivudin- yang diberikan bersama dengan suatu inhibitor protease-indinavir,
ritonavir, atau sakuinavir- sangat efektif untuk menekan kadar RNA HIV. Pada pasien
HIV yang diberi kemoterp triple, angka kelansungan hidup jangka panjang meningkat
dan morbiditas berkurang.13
Center for Disease Control and Prevention (1998) menganjurkan untuk
menawarkan terapi antiretrovirus (ARV) kombinasi pada wanita hamil. Petunjuk ini
diperbarui oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group (2000,2001). Working
Group merekomendasikan pemeriksaan hitung CD4+ limfosit T dan kadar RNA HIV
kurang lebih tiap trimester, atau sekitar setiap 3 sampai 4 bulan. Hasil pemeriksaan ini
dipakai untuk mengambil keputusan untuk memulai terapi ARV, mengubah terapi,
menentukan rute pelahiran, atau memulai profilaksis untuk pneumonia Pneumocystis
carinii.13
19
Bahkan dengan pengobatan, penyulit non-infeksi menigkat pada para wanita
dan bayi. Wanita hamil yang diterapi dua inhibitor transcriptase mengalami efek
merugikan dan sering terjadi pelahiran preterm.13
Pada ibu juga dilakukan pemeriksaan untuk penyakit menular seksual lain dan
tuberculosis (TB). Pasien diberi vaksininasi untuk hepatiis B, influenza, dan mungkin
juga infeksi pneumokokus. Apabila hitung CD4+ kurang dari 200 /ul, dianjurkan
pemberian profilaksis primer P.carinii. Pneumonia diterapi dengan pentamidin atau
sulfametoksazol-trimetoprin oral atau intravena. Infeksi oportunistik simtomatik lain
yang mungkin timbul adalah toksoplasmosis, herpes, dan kandidiasis.13
Seksio Sesarea
European Collaborative Study Group (1994) melaporkan bahwa seksio
sesarea elektif dapat mengurangi risiko penularan vertikal sekitar 50 %. Apabila
dianalisis berdasarkan terapi ARV, tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam
angka penularan pada wanita yang mendapat zidovudin dan menjalani seksio sesarea
versus per vaginam.13
Internasional Perinatal HIV Group (1999) baru-baru ini melaporkan
penularan HIV vertikal secara bermakna menurun menjadi kurang dari separuh apabia
saksio sesarea dibandingkan dengan cara pelahiran lain. Apabila pada masa prenatal,
intrapartum, dan neonatal juga diberikan terapi ARV dan dilakukan seksio sesarea,
kemungkinan penularan vertikal akan berkurang sebesar 87 % disbanding dengan cara
pelahiran lain dan tanpa terapi ARV.13
Berdasarkan temuan ini, American College of Obstetricians and Gynecologists
(2000) menyimpulkan bahwa seksio sesarea terencana harus dianjurkan bagi wanita
terinfeksi HIV dengan jumlah RNA HIV-1 lebih dari 1000 salinan/ml. Hal ini
dilakukan tanpa memandang apakah pasien sedang atau belum mendapat terapi ARV.
Persalinan terencana dapat dilakukan sebelum 38 minggu untuk mengurangi
kemungkinan pecahnya selaput ketuban.13
Penulis-penulis lain mengungkapkan kekhawatiran morbiditas mungkin
meningkat secara bermakna pada wanita terinfeksi HIV yang menjalani seksio
sesarea. Mereka menyimpulkan bahwa terapi ARV kombinasi dapat menurunkan
resiko penularan vertikal sampai serendah 2 %. Morris,dkk tidak melaporkan adanya
penularan perinatal pada 76 wanita yang mendapat terapi ARV sangat aktif (High
active antiretroviral therapy, HAART).13
20
2.11. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan
secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:
- Prong 1 : Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;
- Prong 2 : Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;
- Prong 3 : Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi
yang dikandungnya;
- Prong 4 : Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV
positif beserta bayi dan keluarganya.
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1
dan Prong 2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi,
diimplementasikan semua prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan
dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan
lembaga swadaya masyarakat.14
Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu-ke-bayi
(preventing mother-to-child transmission/PMTCT) berpotensi meningkatkan
ketahanan hidup anak dan kesehatan ibu, mengurangi risiko (mother-to-child
transmission/MTCT) hingga 5% atau lebih rendah serta secara jelas memberantas
infeksi HIV pediatrik.15
Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa tindakan
di berbagai bidang. Anjuran kunci adalah:
- ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4 di bawah 350
atau penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4, tidak menunda mulai
pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC atau tenofovir dan dengan
3TC atau FTC.
- Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang HIV-
positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.
- Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima profilaksis
nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya menyusui, dan
profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam minggu apabila ibu tidak
menyusui.
- Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung pemberian
ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan anjuran bahwa
21
menyusui dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi berusia 12 bulan apabila
status bayi adalah HIV-negatif atau tidak diketahui.
- Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk paling
sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi umum.15
Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah
penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat tertular oleh
ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi HIV. Status HIV
ayah tidak mempengaruhi status HIV bayi.16
Hal ini dapat dijelaskan karena sperma ayah yang menderita HIV tidak
mengandung virus, yang mengandung virus adalah air mani. Oleh sebab itu, telur ibu
tidak dapat ditularkan sperma. Jelas, bila perempuan tidak terinfeksi, dan melakukan
hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya buat anak, ada risiko si
perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu tersebut, dia sendiri
dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi laki-laki tidak dapat langsung menularkan
janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita menghindari infeksi HIV pada
perempuan.16
Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus
dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di bawah
1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak cairan
ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan hindari
menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya ini,
kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.16
Jelas yang paling baik adalah mencegah penularan pada perempuan. Hal ini
membutuhkan peningkatan pada program pencegahan, termasuk penyuluhan,
pemberdayaan perempuan, penyediaan informasi dan kondom, harm reduction, dan
hindari transfusi darah yang tidak benar-benar dibutuhkan.16
Untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, program tidak jauh
berbeda dengan pencegahan infeksi HIV. ODHA perempuan yang memakai obat
antiretroviral harus sadar bahwa kondom satu-satunya alat KB yang efektif. Dalam
hal ini, mungkin kondom perempuan adalah satu sarana yang penting.16
22
PMTCT dengan antiretroviral penuh
Untuk mengurangi viral load ibu, cara terbaik adalah dengan memakai terapi
antiretroviral penuh sebelum menjadi hamil. Ini akan mencegah penularan pada janin.
Terapi antiretroviral dapat diberikan walaupun tidak memenuhi kriteria untuk mulai
terapi antiretroviral; setelah melahirkan bisa berhenti lagi bila masih tidak
dibutuhkan.16
Pedoman baru dari WHO melonggarkan kriteria terapi antiretroviral untuk
perempuan hamil. WHO mengusulkan perempuan hamil dengan penyakit stadium
klinis 3 dan CD4 di bawah 350 ditawarkan ART (antiretroviral therapy). Jelas bila
CD4 di bawah 200, atau mengalami penyakit stadium klinis 4, sebaiknya si
perempuan memakai ART.16
Namun ada sedikit keraguan dengan rejimen yang sebaiknya diberikan pada
perempuan. Perempuan hamil tidak boleh diberikan efavirenz pada triwulan pertama.
Selain itu, ada masalah dengan pemberian nevirapine pada perempuan dengan CD4
yang masih tinggi: efek samping ruam dan hepatotoksisitas (keracunan hati) lebih
mungkin dialami oleh perempuan dengan di atas 250. Jadi dibutuhkan pemantauan
yang lebih ketat, sedikitnya pada beberapa minggu pertama, bila nevirapine diberikan
pada perempuan dengan CD4 di atas 250.16
PMTCT – mulai dini
Namun sering kali si ibu baru tahu dirinya terinfeksi setelah dia hamil. Mungkin ARV
tidak terjangkau. Seperti dibahas, ibu hamil tidak boleh memakai efavirenz pada
triwulan pertama, tetapi mungkin nevirapine menimbulkan efek samping. Bila dia
pakai terapi TB (tuberculosis), diusulkan dihindari nevirapine, walaupun boleh tetap
dipakai NNRTI (non nucleoside reverse transcriptase inhibitor) ini bila tidak ada
pilihan lain. Dan apa dampak bila ART diberikan pada perempuan tetapi tidak pada
suami yang terinfeksi juga? Apakah si perempuan akan kasih obatnya pada suami,
atau lebih buruk lagi, obatnya dibagi dengan dia? Bila menghadapi beberapa masalah
ini, atau si perempuan tetap tidak memenuhi kriteria untuk mulai ART penuh,
sebaiknya dia ditawarkan protokol yang berikut16:
Ibu: AZT dari minggu 28
NVP dosis tunggal + AZT + 3TC saat melahirkan
AZT + 3TC diteruskan selama 7 hari
Bayi: NVP dosis tunggal + AZT segara setelah lahir
23
AZT diteruskan selama 7 hari
AZT dan 3TC diteruskan setelah melahirkan untuk mencegah timbulnya
resistansi pada nevirapine, karena walaupun hanya satu pil diberikan waktu
persalinan, tingkat nevirapine dapat tetap tinggi dalam darah untuk beberapa hari, jadi
serupa dengan monoterapi dengan nevirapine. Hal yang serupa pada bayi dicegah
dengan pemberian AZT setelah dosis tunggal nevirapine.16
Sekali lagi, protokol ini membutuhkan diagnosis dan perawatan agak dini, dan
obat harus tersedia. Bila ibu diberikan AZT untuk kurang dari empat minggu sebelum
melahirkan, AZT pada bayi sebaiknya diteruskan selama empat minggu, bukan tujuh
hari.16
PMTCT – mulai lambat
Bila baru dapat mulai pengobatan waktu persalinan, protokol yang dapat dipakai
seperti berikut16:
Ibu: NVP dosis tunggal + AZT + 3TC saat melahirkan
AZT + 3TC diteruskan selama 7 hari
Bayi: NVP dosis tunggal + AZT segara setelah lahir
AZT diteruskan selama 4 minggu
Makanan bayi
Sampai 10% bayi dari ibu HIV-positif tertular melalui menyusui, tetapi jauh lebih
sedikit bila disusui secara eksklusif. Sebaliknya lebih dari 3% bayi di Indonesia
meninggal akibat infeksi bakteri, yang sering disebabkan oleh makanan atau botol
yang tidak bersih. Ada juga yang diberi pengganti ASI (PASI) dengan jumlah yang
kurang sehingga bayi meninggal karena malnutrisi. ASI memberi semuanya yang
dibutuhkan oleh bayi untuk tumbuh dan melawan infeksi. Jadi sering kali bayi lebih
berisiko bila diberi PASI daripada ASI dari ibu HIV-positif. Oleh karena itu usulan
sekarang adalah agar bayi diberi ASI eksklusif untuk enam bulan pertama, kemudian
disapih mendadak, kecuali bila dapat dipastikan bahwa PASI secara eksklusif dapat
diberi dengan cara AFASS16:
A = Affordable (terjangkau)
F = Feasible (praktis)
A = Acceptable (diterima oleh lingkungan)
S = Safe (aman)
24
S = Sustainable (kesinambungan)
Itu berarti tidak boleh disusui sama sekali. Ada banyak masalah: mahalnya
harga susu formula, sehingga sering bayi tidak diberi cukup; kalau bayi menangis, ibu
didesak untuk menyusuinya; ibu yang tidak menyusui dianggap kurang
memperhatikan bayi, atau melawan dengan asas; air yang dipakai tidak bersih, atau
campuran tidak disimpan secara aman; dan apakah PASI dapat diberi terus-menerus.16
ASI eksklusif berarti bayi hanya diberi ASI dari saat lahir tanpa makanan atau
minuman lain, termasuk air. ASI adalah sangat halus, mudah diserap oleh perut/usus.
Makanan lain lebih keras sehingga lapisan perut/usus membuka agar diserap,
membiarkan HIV dalam ASI menembus dan masuk darah bayi. Jadi risiko penularan
tertinggi bila bayi diberi ASI yang mengandung HIV, bersamaan dengan makanan
lain. Harus ada kesepakatan sebelum melahirkan antara ibu, ayah dan petugas medis
agar bayi langsung disusui setelah lahir, sebelum diberi makanan/minuman lain.
Setelah enam bulan, sebaiknya disapih secara mendadak (berhenti total menyusui).16
Advokasi
Saat ini di Indonesia, jarang kita dapat bertemu dengan dokter kandungan atau dokter
anak yang berpengetahuan mengenai HIV, masalah perempuan dengan HIV, dan
bagaimana mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi. Dengan semakin banyak
perempuan terinfeksi HIV, sudah waktunya setiap Pokja (Kelompok kerja) AIDS di
rumah sakit rujukan AIDS melibatkan dokter kandungan dan dokter anak.16
BAB III
KESIMPULAN
25
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi
oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer
atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency
virus.Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti
virus.Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2.
Kita masih belum mengetahui secara persis bagaimana HIV menular dari ibu-
ke-bayi. Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir).
Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Ada
beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang
paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah)
ibunya. Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi
tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas,
jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu
faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk membantu persalinan yang dapat
melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI)
dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui
menyusui.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis adalah yang dapt menemukan virus atau partikelnya dalam tubuh seorang
bayi. Meskipun beberapa tes dapat mendeteksi HIV di tubuh bayi pada usia dini, tes
tersebut (seperti tes PCR) belum secara luas tersedia di Indonesia. Adapun
pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan serologi HIV.
Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metoda ELISA/EIA (enzyme
linked immunoadsorbent assay). Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif
2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
konfirmasi yang biasanya dengan memakai metoda Western Blot. ELISA yang sangat
sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik mutlak dilakukan untuk menentukan
apakah seseorang positif AIDS.
Kita semua berhak untuk menikah dan mendapatkan keturunan. Menjadi
HIVpositif tidak mengurangi hak kita. Namun jelas tanggung jawab kita juga lebih
besar. Kita pasti ingin supaya anak kita tidak terinfeksi HIV, dan ada beberapa cara
untuk mengurangi risiko ini. Selain itu, kita pasti ingin tetap sehat agar dapat
membesarkan anak kita. Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi kita tidak
26
terinfeksi dan kita tetap sehat adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART).
Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai obat antiretroviral (ARV)
secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ART sudah berdampak besar pada
kesehatan perempuan terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari
mereka yang diberi semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan anak
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Wiknjosastro H, Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Penyakit Menular. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo d/a Bagian Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. 556.
2. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus. Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 – 247.
3. Cunningham F G, Gant N F, Leveno K J, Gilstrap L C, Hauth J C, Wenstrom, K D. Penyakit Menular Seksual. Dalam: Cunningham F G, Gant N F, Leveno K J, Gilstrap L C, Hauth J C, Wenstrom, K D. Obstetri Williams. Jakarta: EGC. 2006. 1677 – 1678.
4. Anonim. Etiologi HIV/AIDS. Dalam Petunjuk penting AIDS. Cetakan I. Jakarta: EGC. 1996.
5. Phangkawira E, Samsi K M K. Vaksin HIV: Harapan atau Khayalan?. Cermin Dunia Kedokteran. 170:.36; 4, 2009.
6. Sundaru H, Djauzi S, Mahdi D, Sukmana N, Renggaris I, Karyadi TH. Infeksi HIV/AIDS. Dalam: Rani AA, Soegondo S, Nazir AU, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A (eds). Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. PB PAPDI, Jakarta;2006: 287.
7. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006; 13-16.
8. Samsuridjal D. Gejala-gejala infeksi HIV/AIDS. Dalam kumpulan Artikel dan Makalah untuk Pelatihan Penatalaksanaan HIV/AIDS di RS provinsi sumatera Utara. Medan; 2002.
9. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Informasi umum. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006; 10-12.
10. Lubis, Imran. Pemeriksaan Laboratorium untuk HIV, dalam AIDS pada Cermin Dunia Kedokteran No.75, 1992. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta.
11. Isselbacher, J Kurt. dkk. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison. Editor: Ahmad H. Asdie. Volume 4, Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.
12. Green WC. Latar belakang dan masalah umum. Dalam: Green WC (eds). HIV, kehamilan, dan kesehatan perempuan. Yayasan spiritia, Jakarta;2009:4-6.
14. Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. Kebijakan PMTCT Indonesia: PMTCT.net; 2008. h.1.
15. Anonim. Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi terbaru dari WHO. 2006. Diunduh dari:
28
http://marhendraputra.co.cc/info-sehat/329-pedoman-pencegahan penularan-hiv-dari-ibu-ke-bayi-terbaru-dari-who-.html [Diakses tanggal 14 Februari 2011].
16. Yayasan Spiritia. Pencegahan penularan dari ibu-ke-bayi. (PMTCT). 2008. Diunduh dari: http://spiritia.or.id/cst/showart.php?cst=mtct [Diakses tanggal 14 Februari 2011].