BAB IPENDAHULUANPenyakit Hirschsprung atau disebut juga
kongenital megakolon adalah penyakit yang disebabkan karena
kegagalan dari migrasi ganglion pada kolon selama masa kehamilan.
Hal ini menyebabkan bagian distal kolon, dengan panjang yang
bervariasi, tidak dapat berelaksasi. Penyakit Hirschsprung lebih
sering mengenai daerah rektosigmoid dari colon, tetapi dapat juga
mengenai seluruh kolon, dan dalam jumlah kasus yang sedikit juga
dapat mengenai usus halus (Kessmann, 2006).Penyebab utama dari
gangguan ini adalah faktor genetik. Pada populasi umum kejadian
penyakit Hirschsprung diperkirakan 1 per 5000 kelahiran hidup.
Kejadian penyakit Hirschsprung ini bervariasi antar etnis. Populasi
Asia memiliki angka kejadian paling tinggi yaitu 2,8 per 10.000
kelahiran hidup. Di masa lalu diduga kejadian timbulnya penyakit
ini juga cukup banyak namun tidak terdiagnosis (under diagnosis),
disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat awam tentang
gejala dini penyakit ini (fk.ugm.ac.id).Penyakit ini biasanya dapat
dikenali sejak bayi, tapi beberapa pasien baru datang dengan
keluhan konstipasi berat yang menetap di kemudian hari. Gejalanya
berupa kesulitan defekasi, nafsu makan yang rendah, berat badan
yang kurang dan distensi abdomen yang bertambah berat. Diagnosis
yang cepat dan tepat penting untuk mencegah komplikasi, seperti
enterokolitis dan ruptur kolon. Biopsi isap rektum dapat mendeteksi
adanya hipertrofi dari trunkus saraf dan tidak adanya ganglion pada
submukosa kolon, dan memastikan diagnosis penyakit Hirschsprung.
Kurang lebih sepertiga dari penderita penyakit Hirschsprung
berkembang menjadi Hirschsprung dengan enterokolitis, dimana
merupakan penyebab utama kematian pada penyakit Hirschsprung.
Dengan terapi yang tepat, mayoritas pasien dapat hidup normal tanpa
komplikasi lain (Kessmann, 2006)BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. KOLON
DAN CANALIS ANALIS2.1.1. Anatomi2.1.1.1. KolonIntestinum crassum
terdiri dari caecum, appendix vermiformis, colon, rectum, dan
canalis analis. Colon terbagi menjadi colon ascendens, colon
transversum, dan colon sigmoid (Moore, 2002).Colon ascendens
melintas dari caecum ke arah kranial pada sisi kanan kavitas
abdominalis menuju hepar, dan membelok ke kiri sebagai flexura coli
dextra. Colon ascendens terletak di retroperitoneal. Peritonium di
sebelah kanan dan kiri colon ascendens membentuk fossa paracolica.
Colon ascendens dan flexura coli dextra mendapat suplai darah dari
melalui arteri ileocolica dan arteri colica dextra dan peredaran
darah balik melalui vena ileocolica dan vena colica dextra. Saraf
untuk colon ascendens berasal dari plexus mesentericus superior
(Moore, 2002).Colon transversum merupakan bagian intestinum crassum
yang terbesar dan paling mobile. Bagian ini melintasi abdomen dari
flexura coli dextra ke flexura coli sinistra, dan membelok ke arah
kaudal menjadi colon descendens. Flexura coli sinistra terletak
pada bagian kaudal ren sinister. Mesocolon transversum merupakan
mesenterium yang paling mobile, sehingga letak colon transverum
dapat berubah - ubah. Biasanya colon transversum tergantung ke
bawah sampai setinggi anulus umbilicali, bahkan pada orang yang
tinggi dan kurus colon transversum dapat sampai ke pelvis. Colon
transversum mendapat suplai darah terutama dari melauli arteri
colica media dan peredaran darah balik melalui vena mesenterica
superior. Saraf untuk colon transversum berasal dari plexus
mesentericus inferior (Moore, 2002).
Gambar 2.1 : Anatomi kolonColon descendens melintas secara
retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke fossa iliaca
sinistra, kemudian berubah menjadi colon sigmoid. Pada lintasannya
ke kaudal, colon melewati tepi lateral ren sinister. Colon
sigmoideum, bagian usus yang berbentuk huruf S dengan panjang yang
bervariasi, menghubungkan colon descendens dengan rectum. Colon
sigmoid meluas dari tepi pelvis sampai ke segmen sacrum ketiga
untuk berubah menjadi rectum. Permulaan rectum ditandai dengan
hilangnya taenia coli. Rectosigmoid junction terletak kira - kira
15 cm dari anus. Pendarahan arterial colon descenden disuplai oleh
arteri coli sinistra dan arteri sigmoidea superior. Vena
mesenterica superior membawa darah balik dari colon descenden dan
colon sigmoideum. Persarafan simpatis colon descenden dan colon
sigmoideum berasal dari truncus simpaticus bagian lumbal dan plexus
hipogastrikus superior. Sedangkan persarafan parasimpatisnya
berasal dari nervi splanchnici pelvici (Moore, 2002).Rekum berawal
mulai dari ventral vertebra S3 lalu mengikuti lengkung os sacrum
dan os coccygis, dan berakhir di sebelah ventrocaudal ujung os
coccygis dan beralih menjadi canalis analis. Bagian akhir rectum
yang melebar ialah ampulla recti yang menopang dan menyimpan massa
tinja sebelum dikeluarkan sewaktu defekasi. Rectum berbentuk S dan
memiliki tiga lengkung yang tajam sewaktu mengikuti lengkung
sakrokoksigeal. Bagian akhir rectum membelok tajam ke dorsal
(lengkung anorektal) untuk beralih menjadi canalis analis. Pada
masing masing dari ketiga bagian cembung yang terjadi karena
lengkung - lengkung tersebut terdapat pelipatan (plica transversa
recti) yang terdiri dari lapis mukosa dan submukosa dan hampir
seluruh lapis otot sirkular dinding rectum (Moore, 2002).Persarafan
rektum dan anus berasal dari cabang anterior saraf sakralis ke 2,
3, dan 4. Persarafan preganglion ini membentuk 2 saraf erigentes
yang memberikan cabang langsung ke rektum dan berlanjut sebagai
cabang utama ke pleksus pelvis. Di dalam rektum, serabut saraf ini
berhubungan dengan pleksus ganglion Auerbach. Persarafan simpatik
berasal dari dalam ganglion lumbal ke 2, 3, 4, dan pleksus
praaorta. Persarafan ini bergabung pada kedua sisi membentuk
pleksus hipogastrikus di depan vertebral lumbal 5 dan berlanjut ke
arah posterolateral sebagai perserafan presakral yang bersatu
dengan ganglion pelvis pada kedua sisi (Kartono, 2010).2.1.1.2.
Sfingter AnalSfingter anal terdiri dari otot polos dan otot lurik
yang membentuk saluran anal. Otot polos sfingter anal interna
terletak secara instrinsik pada dinding usus dan menempati dua
pertiga distal saluran anal, sebagian besar terletak pada bagian
distal dari linea dentata. Otot tersebut merupakan penebalan dari
muskulus sirkular yang diperkuat oleh muskulus longitudinal pada
bagian luarnya. Sfingter anal merupakan lingkaran otot yang
memanjang dan mengelilingi katup anal (anal valves) sampai
orifisium anal (Kartono, 2010).
Gambar 2.2 : Anatomi Rektum dan Canalis Anais2.1.2.
EmbriologiPerkembangan saluran cerna dibagi menjadi dua tahap
besar, yaitu (1) pembentukan tabung usus (gut tube) dan (2)
pembentukan masing - masing organ dengan sel - selnya yang khusus
(Pratignyo, 2014).Gastrulasi adalah tahap awal pembentukan organ
yang multiseluler. Pada mamalia fase fase gastrulasi menyebabkan
terbentuknya tiga lapisan, yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm.
Endoderm akan membentuk tabung saluran cerna yang terdiri dari sel
epitel dan sel parenkim hati dan pankreas. Mesoderm akan membentuk
mesenkim termasuk otot polos dan stroma. Sedangkan ektoderm akan
membentuk SSSC yang mengatur motilitas usus (Pratignyo, 2014).
Gambar 2.3 : Lempeng mudigah trilaminerEktoderm terbagi menjadi
tiga jenis sel, ektoderm terluar, tabung neural (neural tube), dan
krista neural. Krista neural yang tumbuh di bagian dorsal neural
tube kelak akan berdiferensiasi membentuk organ - organ yang lebih
dewasa seperti melanosit, medula kelenjar adrenal, dentin gigi,
saraf simpatis dan parasimpatis dari saraf tepi (Pratignyo,
2014).
Gambar 2.4 : Embryonic plateUntuk berdiferensiasi menjadi organ
organ yang lebih dewasa itu, nantinya sel KN perlu bermigrasi ke
tempat lain. Kerusakan gen akan mengganggu proses migrasi sel - sel
KN tersebut, sehingga dapat mengakibatkan gangguan pembentukan dari
organ tersebut di kemudian hari (Pratignyo, 2014).KN terletak di
sepanjang sumbu badan embryo (embryonal axis). Pada masa
embriologi, awalnya KN tumbuh bersama SSP dalam TN, tetapi kemudian
memisahkan diri. Dengan adanya transformasi epiteliomesenkimal,
maka sel ini dapat bermigrasi mengikuti jalur yang ditentukan
kemudian menetap dan berdiferensiasi menjadi berbagai organ yang
lebih dewasa. Penetuan jalur migrasi sepertinya ditentukan oleh
molekul yang bersifat promotor dan reduktor (Pratignyo, 2014).Dalam
perkembangan fetus manusia, sel - sel KN mulai muncul dalam
esofagus yang sedang berkembang pada usia gestasi 5 minggu dan
terus bermigrasi ke arah anal kanal secara kraniokaudal pada usia 5
- 12 minggu kehamilan. KN pertama kali membentuk pleksus
myenterikus di sebelah luar lapisan otot sirkuler, selanjutnya
terbentuk jaringan mesenkim otot longitudinal, sehingga pleksus
myenterikus berada di antara dua otot seperti sandwich (Pratignyo,
2014).Setelah petumbuhan secara kraniokaudal terhenti, bersamaan
dengan itu neuroblas bermigrasi menyebrangi lapisan otot sirkuler
menuju submukosa pada usia 12 - 16 minggu kehamilan membentuk
pleksus submukosa dengan pola perkembangan kraniokaudal yang sama
(Pratignyo, 2014).Tidak adanya sel ganglion pada penyakit
Hirschprung dihubungkan dengan kegagalan migrasi dari sel - sel KN.
Semakin dini terjadinya gangguan migrasi mengakibatkan semakin
panjang segmen usus yang aganglionik (Pratignyo, 2014).2.1.3.
FisiologiPersarafan simpatik dan parasimpatik pada rektum dan
saluran anal didapat melalui ganglion pleksus Auerbach dan
Meissner, yang akan mengatur peristalsis dan tonus sfingter anal
internal. Serabut saraf simpatik merupakan inhibitor dinding usus
dan motor sfingter anal internal, sedangkan serabut saraf
parasimpatis merupakan motor dinding usus dan inhibisi dari
sfingter. Sistem saraf parasimpatik juga merupakan persarafan
sensorik untuk rasa atau sensasi distensi rektum (Kartono,
2010).Saat keadaan istirahat, lumen saluran anal akan menutup
akibat puborectal sling yang terletak di sebelah kranial dari katup
anal (linea dentata) dan oleh tonus istirahat dari sfingter anal
eksterna dan interna. Peningkatan tekanan pada bagian kranial
saluran anal akan di deteksi oleh reseptor regangan pada sleeve and
sling complex. Peristalsis yang kuat akan menimbulkan regangan pada
sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan peristalsis tersebut,
diperlukan kontraksi yang kuat yang harus dibantu secara sadar
untuk menimbulkan kontraksi sling dan sfingter anal eksternal.
Mekanisme sleeve and sling dapat membedakan antara gas, benda
padat, benda cair, maupun gabungan, juga dapat mengeluarkan salah
satu tanpa mengeluarkan yang lain. Setelah menilai isi, sling akan
mengubah bentuk bolus sehingga dapat melalui anus (Kartono,
2010).Sfingter anal internal merupakan bagian akhir otot pendorong
yang secara aktif mengeluarkan feses atau udara melalui anus.
Serabut otot ini, terdiri atas gabungan otot sirkular dan
longitudinal yang membantu peristalsis di saluran anal sampai ke
orifisium. Bagian longitudinal membantu peristalsis di seluruh
saluran anal sampai ke orifisium. Bagian longitudinal membantu
peristalsis di seluruh saluran anal sampai ke orifisium (Kartono,
2010).
2.2. PENYAKIT HIRSCHSPRUNG2.2.1. DefinisiPenyakit Hirschsprung
adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan hilangnya
ganglion pada bagian distal kolon sehingga menyebabkan obstruksi
fungsional (Wagner, 2014).
Gambar 2.5 : Kolon pada penderita Penyakit Hirschsprung
2.2.2. EpidemiologiDi Amerika Serikat penyakit Hirschsprung
mengenai kurang lebih 1 per 5400 7200 kelahiran hidup. Sedangkan
insiden di seluruh dunia sekitar 1 kasus per 1500 7000 kelahiran
hidup (Wagner, 2014).Penyakit Hirschsprung lebih sering pada anak
laki laki dibandingkan dengan anak perempuan. Risiko penyakit
Hirschsprung pada saudara penderita Hirschsprung segmen pendek
sekitar 3 5 % anak laki laki dan 1 % anak perempuan. Risikonya
semakin besar (12,4 33 %) pada anak yang memiliki saudara penderita
penyakit Hirschsprung pada seluruh segmen colon (total colon)
(Kessmann, 2006).Delapan gen telah diketahui berhubungan dengan
penyakit Hirschsprung. Penyakit Hirschsprung berhubungan dengan gen
yang terikat dengan multiple endocrine neoplasia tipe II A
(medullary carcinoma, tumor tiroid, dan tumor adrenal). Sindrom
Down (trisomi 21) merupakan kelainan kromosomal yang paling banyak
berhubungan dengan penyakit ini, sekitar 10% dari penderita
(Kessmann, 2006).2.2.3. PatofisiologiUsus manusia dipersarafi oleh
tiga pleksus saraf, yaitu pleksus submukosal (Meissner), pleksus
mienterikus (Auerbach), dan pleksus submukosal (Henle). Semua
pleksus ini berintegrasi dan mengatur usus dalam semua aspek
termasuk absorbsi, sekresi, pengaturan aliran darah, dan motilitas
(Wagner, 2014).Motilitas usus normal utamanya dibawah kontrol
sinyal instrinsik dari enteric nervous system (ENS) yang besifat
parasimpatik. Otot halus pada usus berkontraksi dan berrelaksasi
dibawah kontrol enteric ganglia. Aktivasi dari ENS menyebabkan
relaksasi otot halus pada usus, yang dimediatori oleh nitrit oxide
dan neurotransmiter enterik lainnya (Wagner, 2014).Refleks
motilitas normal terdapat pada rektum distal. Adanya bolus yang
membuat distensi rektum akan membuat kontraksi rektum di atas
bolus, dan sebaliknya membuat relaksasi rektum di bawah bolus.
Refleks ini murni pada intestin sendiri. Bila refleks ini tidak
ada, berarti terjadi abnormalitas atau tidak terdapat sel sel
ganglion intramural (Kartono, 2010).Dengan tidak adanya sel sel
ganglion, sistem saraf ekstrinsik mengakibatkan kenaikan inervasi
intestin. Sistem kolinergik dan adrenergik menunjukkan kenaikan
inervasi dua sampai tiga kali lipat pada kolon aganglionik.
Diperkirakan sistem eksitasi adrenergik mendominasi fungsi inhibisi
pada segmen aganglionik, sehingga menciptakan kenaikan otot polos.
Inervasi kolinergik bertambah nyata dalam segmen aganglionik dan
mendominasi eksitasi (Kartono, 2010).Pada penderita penyakit
Hirschprung bagian kolon paling distal sampai pada bagian usus
tertentu, yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai
ganglion parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik ini
tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan mengganggu proses
defekasi. Sehingga kolon proksimal akan mengembang karena timbunan
feses dan menjadi megakolon.2.2.4. Klasifikasi Hirschprung segmen
pendek (Hirschprung kasik), daerah aganglionik terbatas dari rektum
sampai sigmoid. Hirschprung segmen panjang, dengan daerah
aganglionik meluas melebihi sigmoid. Kolon aganglionik total, jika
aganglionosis mengenai seluruh kolon. Aganglinosis universal, jika
aganglionosis mengenai seluruh kolon dan hampir seluruh usus
halus
Gambar 2.6 : Persentase panjang kolon yang terkena pada penyakit
Hirschsprung2.2.5. Gambaran KlinisManifestasi klinis penyakit
Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada masa neonatus cukup
bulan dengan keterkambatan pengeluaran mekonium pertama, kemudian
diikuti dengan distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal, yang
mirip tanda obstruksi setinggi ileum atau lebih distal (Kartono,
2010).Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium pertama keluar
dalam waktu 24 jam pertama, namun pada mayoritas penyakit
Hirschsprung, lebih dari 90% kasus, mekonium pertama keluar setelah
24 jam pertama. Berdasarkan penelitian oleh Darmawan Kartono pada
123 penderita penyakit Hirschsprung didapatkan bahwa 93,5% mekonium
pertama dikeluarkan setelah 24 jam, dan hanya pada 6,5% pasien (8
orang) yang dapat mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama
(Kartono, 2010).Distensi abdomen merupakan gejala penting lainnya
pada penyakit Hirschsprung. Berdasarkan penelitian oleh Swenson
pada tahun 1973 ditemukan tanda distensi abdomen pada 87,1% kasus
penyakit Hirschsprung neonatal. Disrensi abdomen merupakan
manifestasi obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan karena
kelainan lain seperti atresi ileum (Kartono, 2010).Muntah berwarna
hijau sering terjadi pada penyakit Hirschsprung. Hal ini disebabkan
oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain
dengan gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum,
enterokolitis nekrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine
(Kartono, 2010).Penyakit Hirschsprung yang disertai dengan
enterokolitis dapat menunjukkan gambaran klinis distensi abdomen
yang diikuti diare berupa feses cair bercampur mukus dan berbau
busuk dengan atau tanpa darah dan umumnya berwarna kecoklatan
(Kartono, 2010).2.2.6. Diagnosis2.2.6.1. RadiologisPemeriksaan foto
polos abdomen dan khususnya pemeriksan barium enema merupakan
pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi penyakit
Hirschsprung pada neonatus (Kartono, 2010).Foto polos
abdomenPenyakit Hirschsprung pada neonatus cenderung menampilkan
gambaran obstruksi letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong
tanpa udara. Gambaran obstruksi usus letak rendah juga dapat
ditemukan pada penyakit lain seperti atresia ileum, sindrom
sumbatan mekonium, atau keadaan sepsis karena enterokolitis
nekrotikans neonatal (Kartono, 2010).Foto polos abdomen juga dapat
menyingkirkan diagnosis lain seperti peritonitis intrauterin atau
perforasi gaster. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi usus
halus dan distensi usus besar tidak selalu mudah dapat dibedakan.
Pada pasien bayi dan anak gambaran d istensi kolon dan gambaran
massa feses terlihat lebih jelas (Kartono, 2010).Foto enema
bariumPemeriksaan enema barium harus dikerjakan pada neonatus yang
mengalami keterlambatan pengeluaran mekonium yang diikuti distensi
abdomen dan muntah hijau, walaupun pada pemeriksaan colok dubur
didapatkan gejala dan tanda - tanda obstruksi usus telah mereda
atau menghilang. Tanda - tanda klasik radiografik yang khas pada
penyakit Hirschsprung adalah :
Gambar 2.7 : Foto radiologi enema barium1. Segmen dilatasi.2.
Segmen transisi, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen
dilatasi. Segmen transisi dibagi menjadi 3, yaitu Abrupt (tampak
perubahan mendadak dari segmen sempit ke segmen dilatasi) Cone
(bentuk seperti kerucut) Funnel (bentuk cerobong, dimana perubahan
dari segmen sempit ke segmen dilatasi terlihat sangat gradual).3.
Segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang tertentu.Selain itu
dapat juga didapatkan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur
yang menunjukkan proses enterokolitis. Dapat juga terlihat gambar
garis garis lipatan melintang (transverse fold), terutama jika
larutan barium mengisi lumen kolon dilatasi yang berada dalam
keadaan kosong (Kartono, 2010).Foto Retensi BariumBarium yang
teretensi dalam waktu 24 - 48 jam setelah enema merupakan tanda
penting penyakit Hirschsprung, terutama pada masa neonatal. Harus
dibedakan antara retensi barium karena penyakit Hirschsprung dengan
kasus obstipasi kronik non penyakit Hirschsprung. Gambaran barium
pada penyakit Hirschsprung tampak membaur dengan feses ke arah
proksimal dalam kolon berganglion normal, sedangkan pada kasus
obstruksi kronik non penyakit Hirschsprung, barium akan lebih
mengumpul di daerah distal, di daerah rektum dan sigmoid (Kartono,
2010).2.2.6.2. Patologi AnatomiSwenson pada tahun 1955 melakukan
pemeriksaan patologi anatomi pertama untuk penyakit Hirschsprung.
Swenson melakukan biopsi dengan cara mengeksisi seluruh tebal
dinding rektum, sehingga pleksus mienterikus dapat diperiksa. Tidak
adanya ganglion dalam spesimen biopsi membuktikan diagnosis
penyakit Hirschsprung, sedangkan adanya ganglion akan menyingkirkan
diagnosis penyakit Hirschsprung. Kerugian prosedur biopsi oleh
Swenson ini secara teknik relatif sulit dan membutuhkan anestesi
umum, selain itu dapat menyebabkan inflamasi dan jaringan fibrosis
yang dapat mempersulit pembedahan selanjutnya (Kartono,
2010).Biopsi Seluruh Tebal Dinding RektumBiopsi seluruh tebal
dinding rektum dilakukan dengan mengambil dua lapis muskulus, yaitu
lapis muskulus sirkular dan lapis muskulus longitudinal. Oleh
karena itu teknik ini ideal untuk mendeteksi sel ganglion Auerbach
beserta serabut sarafnya. Akan tetapi prosedur biopsi ini harus
dikerjakan dengan anestesi umum dan terdapat kemungkinan timbul
komplikasi perdarahan, infeksi, dan fibrosis perirektal. Biopsi
seluruh tebal dinding rektum dikerjakan hanya bila hasil
pemeriksaan klinis, radiologis, dan biopsi isap diragukan. Swenson
tidak menganggap biopsi seluruh tebal dinding rektum suatu
pemeriksaan yang rutin untuk menegakkan diagnosa penyakit
Hirschsprung (Kartono, 2010).Biopsi isap rektumBiopsi isap mukosa
dan submukosa rektum menggunakan alat Rubin atau Noblett dapat
dikerjakan lebih sederhana, aman dan tanpa menggunakan anestesi
umum. Pada pemeriksaan ini, spesimen biopsi dilakukan potongan
serial dan pewarnaan hematoksilin dan eosin. Diagnosis penyakit
Hirschsprung ditegakkan bila tidak ditemukan sel ganglion Meissner
dan ditemukan penebalan serabut saraf. Junis dkk melaporkan akurasi
pemeriksaan ini 100%. Andrassy dkk juga melaporkan pemeriksaan
teknik ini pada 30 pasien berumur kurang dari satu tahun juga
menghasilkan akurasi 100% juga, tanpa adanya hasil false possitive
atau false negative (Kartono, 2010).Pewarnaan Histokimia
AsetilkolinesterasePada penderita penyakit Hirschsprung terdapat
peningkatan aktivitas asetilkolinesterase pada serabut saraf dalam
lamina propria dan muskularis mukosa. Penemuan ini diikuti dengan
tidak ditemukannnya sel ganglion dengan pewarnaan Kamovsky dan
Roots yang mempermudah terlihatnya penebalan serabut saraf.
Pewarnaan untuk asetilkolinesterase dengan teknik yang sama sangat
membantu menemukan sel ganglion di submukosa atau di lapisan
muskularis (Kartono, 2010).Pewarnaan ImunohistokimiaPewarnaan
histokimia asetilkolinesterase pada sediaan potong beku memang
membantu penegakan diagnosis, tapi butuh pengalaman dalam
interpretasinya dan perdaharan mukosa yang mungkin terjadi dapat
mempersulit pemeriksaaan (Kartono, 2010).2.2.6.3. ManometriPada
tahun 1949 Swenson melakukan penelitian patofisiologi untuk pertama
kalinya pada pasien megakolon. Pengukuran dilakukan dengan
memasukkan balon kecil dengan kedalaman yang berbeda - beda dalam
rektum dan kolon. Dari penelitian ini didapatkan bahwa kontraksi
yang terjadi dalam segmen aganglionik tidak ada hubungannya dengan
kontraksi dalam kolon proksimal yang berganglion normal (Kartono,
2010).Penelitian manometri pada penyakit Hirschsprung memberikan
hasikan hasil sebagai berikut :1. Dalam segmen dilatasi terdapat
hiperaktivitas dengan aktivitas propulsif yang normal.2. Dalam
segmen aganglion tidak terdapat gelombang peristalsis yang
terkoordinasi. Motilitas normal digantikan oleh kontraksi yang
tidak terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda
- beda.3. Refleks inhibisi antara rektum dan sfingter anal internal
tidak berkembang. Refleks relaksasi sfingter anal internal setelah
distensi rektum tidak terjadi, bahkan terdapat kontraksi spastik.
Relaksasi spontan tidak pernah terjadi.Pemeriksaan elektromanometri
ini dapat membantu diagnosis dan hanya dikerjakan bila hasil
pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologi meragukan, misalnya
pada kasus yang asimtomatik atau penyakit Hirschsprung ultra
pendek, yang menurut beberapa ahli lebih tepat disebut sebagai
akalasia rektal. Banyak peneliti melaporkan bahwa manometri
anorektal lebih sulit dilakukan pada neonatus karena keterbatasan
sensitivitas alat dan sangat diperlukan pengalaman dari operator
yang melakukan (Kartono, 2010).Berdasarkan pengalaman, Darmawan
Kartono tidak pernah melakukan elektromanometri, karena disamping
tidak tersedianya peralatannya, diagnosis penyakit Hirschsprung
pada umumnya dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,
pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan radiologis. Bila diagnosis
masih diragukan, selama memungkinkan pasien diobservasi dan
dilakukan pemeriksaan radiologis ulang pada 1 - 2 bulan kemudian
(Kartono, 2010).2.2.7. Diagnosis BandingBila kita menemukan
neonatus dengan gejala dan tanda hambatan passase usus letak
rendah, maka diagnosis penyakit Hirschprung harus kita pikirkan.
Walaupun keadaan ini dapat diakibatkan juga oleh hambatan mekanis
seperti atresia setingi ileum atau lebih rendah, stenosis anal, dan
ileus mekonium. Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan
obstruksi letak rendah juga dapat memberi gambaran mirip penyakit
Hirschprung, seperti prematuritas enterokolitis nekrotikans, sepsis
dengan keseimbangan elektrolit, hipotiroidisme, dan obstipasi
psikogenik.Atresia IleumPada gambaran klinis atresia ileum, abdomen
mengalami distensi mirip penyakit Hirschprung. Mekonium pada
umumnya tidak keluar spontan, karena terperangkap di dalam ileum di
distal atresia dan di kolon. Bila mekonium diusahakan keluar dengan
irigasi, mekonium yang keluar jumlahnya sedikit, kering, berbutir -
butir dan berwarna hijau muda. Pada pemeriksaan foto polos abdomen
terlihat tanda - tanda obstruksi usus letak rendah, dan foto enema
barium memperlihatkan gambaran kolon mikro.Sumbatan
MekoniumMekonium yang terlalu pekat atau lengket di daerah kolon
distal dapat mengakibatkan sindrom sumbatan mekonium (meconium plug
syndrome). Sindrom ini diduga akibat kekurangan tripsin atau akibat
kelainan mobilitas kolon tanpa kelainan sel ganglion. Pada foto
polos abdomen terlihat pelebaran seluruh usus tanpa disertai
bayangan kalsifikasi dan tanpa bayangan busa sabun dalam lumen usus
seperti pada ileus mekonium atau enterokolitis nekrotikans.Atresia
RektalAtresia pada kolon lebih sering dijumpai pada daerah rektum
atau sigmoid. Bila letak atresia dekat dengan anus, maka diagnosis
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan colok dubur, dimana atresia
akan teraba di ujung jari. Akan tetapi sebaiknya tetap dilakukan
pemeriksaan enema barium karena lumen yang menuju sigmoid terlalu
kecil, sehingga tidak dapat teraba oleh jari. Pemeriksaan
rektoskopi juga dapat dilakukan untuk diagnosis.Enterokolitis
Nekrotikans NeonatalSekilas gejala dan tanda enterokolitis
nekrotikans neonatal (ENN) mirip dengan penyakit Hirschprung.
Diagnosis ENN perlu dipikirkan pada neonatus dengan stres perinatal
atau dengan faktor predisposisi lainnya. Pada ENN, neonatus
mengalami gangguan pasase usus menyeluruh karena traktus
gastrointestinal mengalami hipoksia, ulserasi, dan gangguan
fungsiPeritonitis IntrauterinPeritonitis intrauterin atau sering
disebut sebagai peritonitis mekonium, disebabkan oleh kontaminasi
mekonium intraperitoneal sebagai akibat dari perforasi
gastrointestinal semasa kehidupan intrauterin. Perforasi dapat
terjadi sejak awal kehamilan sampai menjelang atau sesudah
persalinan. Mekonium yang keluar dari traktus intestinal dan masuk
ke dalam intraperitoneal akan mengalami kalsifikasi, terutama bila
perforasi terjadi pada awal masa kehamilan. Manifestasi klinis
ditentukan oleh umur janin saat terjadinya perforasi, penyebab
perforasi, dan proses penyembuhan.Perforasi usus intrauterin dapat
(1) sembuh total tanpa manifestasi klinis, (2) terjadi atresia
intestinal tanpa diikuti tanda - tanda peritonitis, (3) tanda
obstruksi usus disertai tanda - tanda peritonitis.2.2.8.
PenatalaksanaanPembedahan merupakan satu-satunya cara penyembuhan
pada penyakit Hirschsprung, berupa pengangkatan segmen usus
aganglion, yang diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus. Teapi
medis hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada
penyakit Hirschsprung terbagi menjadi bedah sementara dan bedah
definitif (Kartono, 2010) .Tindakan Bedah Sementara Sebelum
prosedur bedah definitif dilakukan, terlebih dahulu dilakukan
tindakan bedah sementara yang bertujuan untuk dekompresi terhadap
tekanan abdomen yang meningkat. Dekompresi ini dapat dilakukan
dengan pembuatan kolostomi pada kolon paling distal yang bergangion
normal. Tindakan ini bertujuan untuk untuk menghilangkan obstruksi
usus dan mencegah enterokolitis yang merupakan penyebab utama
kematian pada penyakit Hirschsprung (Kartono, 2010).Tindakan bedah
definitif dapat langsung dikerjakan tanpa kolostomi, jika
dekompresi secara medis berhasil. Indikasi kolostomi 1. Pasien
Neonatus. Tindakan bedah definitif langsung tanpa kolostomi dapat
menimbulkan banyak komplikasi dan kematian. Kematian dapat mencapai
28,6%. Kematian ini disebabkan oleh kebocoran anastomosis dan abses
dalam rongga pelvis.2. Pasien anak dan dewasa yang terlambat
terdiagnosis. Kelompok pasien ini memiliki kolon yang sangat
terdilatasi, yang sudah terlalu besar untuk dianastomosiskan dengan
rektum melalui bedah definitif. Dengan kolostomi, Kolon yang sudah
terdilatasi akan mengecil kembali setelah 3 sampai 6 bulan pasca
kolostomi. Sehingga anastomosis pada bedah definitif akan lebih
mduah dikerjakan dan memberi hasil yang lebih baik.
Gambar 2.8 : Kolostomi3. Pasien dengan enterokolitis berat dan
dengan keadaan umum yang buruk. Kolostomi dilakukan untuk mencegah
komplikasi pasca bedah definitif, dengan kolostomi pasien akan
cepat mencapai perbaikan keadaan umum.
Pada pasien yang tidak termasuk dalam kategori 1 , 2, dan 3
diatas dapat langsung dilakukan tindakan bedah definitif (Kartono,
2010).Tindakan Bedah DefinitifTindakan bedah definitif untuk
menangani penyakit Hirschsprung telah dilakukan oleh Swenson dan
Bill sejak tahun 1948. Saat itu mereka mengembangkan prosedur
rektosigmoid yang dilanjutkan dengan prosedur pull through atau
tarik terobos melalui abdomino perineal. Selain prosedur Swenson,
beberapa prosedur lain juga sudah dikembangkan masing-masing oleh
Duhammel, Soave dan Rehbein, dengan tujuan mengurangi komplikasi
dan memperbaiki keberhasilan fungsional (Kartono, 2010).
Gambar 2.9 : Perbandingan prosedur bedah definitifProsedur
SwensonSwenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan
preservasi sfingter anal. Anastomosis dilakukan langsung di luar
rongga peritoneal. Pembedahan ini disebut sebagai prosedur
rektosigmoidektomi dilanjutkan dengan pull through
abdominoperineal. Prosedur ini merupakan prosedur bedah definitif
pertama yang berhasil untuk penanganan pasien Hirschsprunng. Pada
masa pascabedah ditemukan beberapa komplikasi seperti kebocoran
anastomosis, stenosis, inkontinensi, enterokooitis, dan lain lain
(Kartono, 2010).Enterokolitis pascabedah dapat merupakan
proseslanjut dari enterokolitis prabedah. Pada prosedur Swenson
ini, enterokolitis diduga terjadi karena spasme puntung rektum yang
ditinggalkan (anal sphincter tightness). Sebenarnya sisa rektum
yang ditinggalkan merupakan segmen aganglionosis sebagai preservasi
sfingter untuk mencegah inkontinensia. Prosedur ini dikenal sebagai
prosedur Swenson I (Kartono, 2010).Untuk mengurangi spasme sfingter
anal, Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior Pada tahun
1964, dimana puntung rektum ditinggalkan 2 cm pada bagian anterior
dan 0,5 cm pada bagian posterior.Prosedur ini dikenal sebagai
prosedur Swenson II. Sayangnya, prosedur tersebut tidak mengurangi
spasme sfingter anal dan tidak pula mengurangi komplikasi
enterokolitis pasca bedah, justru angka kebocoran pada prosedur
Swenson II lebih tinggi dari Swenson I. Hal ini dikarenakan pada
prosedur Swenson II terdapat ketegangan anastomosis di bagian
posterior (Kartono, 2010).
Prosedur DuhamelPada tahun 1956, Duhamel memperkenalkan prosedur
bedah definitif dengan rektum yang dipertahankan. Kolon yang
berganglion normal di proksimal ditarik melalui retrorektal
transanal dan dilakukan anastomosis kolorektal ujung ke sisi pada
bagian posterior dari rektal (Kartono, 2010).Pada prosedur Duhamel
yang asli, anastomosis kolon proksimal dilakukan pada sfingter anal
internal, hal ini dinilai kurang baik karena sering terjadi
stenosis, inkontinensi, dan pembentukan fekaloma dalam puntung
rektum yang ditinggalkan terlalu panjang. Sehingga dikembangkan
berbagai modifikasi untuk mengatasi masalah masalah di atas
(Kartono, 2010).Prosedur SoaveSoave membuat prosedur bedah yang
berbeda dengan dua prosedur bedah dari Swenson dan Duhamel. Soave
melakukan pendekatan abdominoperineal dengan membuang lapisan
mukosa rektosigmoid dari lapisan seromuskular. Kemudian dilakukan
penarikan kolon berganglion normal keluar anus melalui selubung
seromuskular rektosigmoid. Prosedur ini disebut juga pull through
endorektal. Setelah 21 hari, sisa kolon yang diprolapskan dipotong.
Boley pada waktu yang hampir bersamaan melakukan prosedur pull
through endorektal persis seperti prosedur Soave dengan anastomosis
langsung tanpa kolon yang diprolapskan lebih dulu. Teknik ini
dilakukan untuk mencegah retraksi kolon bila terjadi nekrosisbagian
kolon yang diprolapskan (Kartono, 2010).Prosedur RehbeinPada
dasarnya prosedur Rehbein merupakan prosedur State, berupa reseksi
anterior yang diekstensi ke distal sampai dengan pengangkatan
sebagian besar rektum. Reseksi segmen aganglion yang mencakup
sigmoid kemudian dilanjutkan dengan anastomosis ujung ke ujung yang
dikerjakan intra abdominal ekstraperitoneal. Dalam prosedur ini
puntung rektum aganglion yang ditinggalkan masih cukup panjang
sehingga sering didapatkan obstipasi residif (Kartono,
2010).Prosedur Bedah Definitif melalui LaparoskopiBeberapa tahun
terakhir penangan penyakit Hirschsprung pada anak usia dini
berkembang dari dua atau tiga tahap rekonstruksi (multi stage
procedure) menjadi prosedur satu tahap (single stage procedure).
Telah dilaporkan oleh banyak pusat bedah mengenai pengalaman
melakukan pull through kolon primer single stage. Prosedur single
stage ini dikerjakan dengan teknik laparoskopik. Keuntungan
prosedur single stage ini dibandingkan dengan prosedur multi stage
adalah (1) angka morbiditas lebih kecil, (2) tidak memerlukan
kolostomi, (3) masa rawat lebih singkat, dan (4) biaya rumah sakit
lebih murah. Dengan perkembangan prosedur bedah minimal, prosedur
Swenson, Duhamel, dan Soave dapat dikerjakan dengan bedah
laparoskopi (Kartono, 2010).Kesulitan bedah laparoskopik di
antaranya : (1) pada prosedur Duhamel, dengan endostapler puntung
rektum tidak terpotong tuntas , sehingga terjadi pouchitis, (2)
Anus bayi yang masih kecil tidak muat untuk stapler sehingga
menyulitkan, (3) biaya mahal, (4) waktu yang dibutuhkan lebih lama
(Kartono, 2010).Prosedur Soave Single Stage TransanalTeitelbaum,
dkk. setelah berhasil melakukan teknik pull through laparoskopik,
mereka mengembangkan prosedur Soave single stage transanal. Menurut
merka prosedur ini dapat menekan biaya rumah sakit, mengurangi
risiko kerusakan struktur pelvis, insidens perdarahan
intraperitoneal dan adhesi rendah, dan tanpa jaringan parut bekas
insisi pada dinding abdomen (Kartono, 2010).Pemilihan prosedur
bedah definitif yang harus dipilih bergantung pada masing masing
spesilis bedah yang mengerjakan, prosedur mana yang biasa
dikerjakan. Semua prosedur pada dasarnya memiliki keberhasilan yang
kurang lebih sama, selama pembedahan dikerjakan sesuai dengan
spesifikasi tahapan masing masing prosedur yang dipilih dikerjakan
dengan baik. Keberhasilan prosedur bedah single stage melalui
laparoskopik pada pasien neonatus masih perlu pengamatan (follow
up) jangka panjang (Kartono, 2010).2.2.9.
KomplikasiEnterokolitisEnterokolitis yang menyertai penyakit
Hirschsprung atau HAEC (Hirschsprung associated enterocolitis)
adalah keradangan pada usus dengan gejala klinis demam, distensi
perut, diare dan sepsis. Pada pemeriksaan otopsi penderita HAEC
juga didapatkan kelainan berupa abses pada kriptus, ulserasi
mukosa, dan nekrosis transmural (Pratignyo, 2014).Walaupun terdapat
kemajuan dalam mendiagnosis dan menanganani penyakit Hirschsprung,
penyakit Hirschsprung yang diikuti enterokolitis tetap memberikan
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Enterokolitis dapat
terjadi sebelum ditegakkanya diagnosa penyakit Hirschsprung maupun
setelah operasi definitif (Pratignyo, 2014).Beberapa teori telah
diajukan sebagai patofisiologi dari keadaan ini, (1) obstruksi
parsial yang menyebabkan iskemia mukosa dan invasi bakteri pada
segmen yang terdilatasi, (2) hipersensitifitas terhadap antigen
bakteri, (3) infeksi khusus kman Clostridium difficile, meskipun
kuman ini tidak ditemukan pada semua kasus enterokolitis yang
menyertai penyakit Hirschsprung, (4) hilangnya pertahanan imunitas
mukosa, termasuk diantaranya gangguan transfer imunoglobulin
sekretori A pada mukosa sel. Dalam suatu penelitian dilaporkan
bahwa semua pasien yang menderita enterokolitis mengalami penurunan
jumlah Ig A sekretori, bahkan sampai absen (Pratignyo,
2014).Beberapa faktor risiko enterokolitis pada penyakit
Hirschsprung adalah keterlambatan diagnosis. Selain itu
enterokolitis lebih sering terjadi pada penyakit Hirschsprung
dengan segmen yang lebih panjang. Hal ini berhubungan dengan
kemungkinan tersisanya segmen aganglion pasca bedah definitif dan
kemudian akan menyebabkan stasis aliran isi lumen (Pratignyo,
2014).Bayi dengan trisomi 21 dikatakan memiliki risiko tinggi
terkena HAEC, begitu juga pada pasien dengan riwayat HAEC
sebelumnya. Redding et al melaporkan angka rekurensi sebanyak 37%
sebelum operasi, sedangkan insidens setelah operasi sebanyak 63%.
Risiko HAEC juga meningkat sebanyak 2,8 12% pada pasien yang
memiliki keluarga menderita penyakit Hirschsprung (Pratignyo,
2014).Menurut Bill dan Chapman, HAEC adalah sindroma yang terdiri
dari distensi abdomen, nyeri, diare eksplodif cair, demam, dan
penurunan keadaan umum. Elhalaby juga mencirikan insiden gejala
sebagai berikut : distensi abdomen (91%), diare ekspolsif cair
(82%), muntah (61%), demam (40%), letargi (32%), perdarahan peranum
(6%), dan syok hipovolemik (6%) (Pratignyo, 2014).Gejala
enetrokolitis pada penyakit Hirschsprung bervariasi mulai dari yang
sederhana hanya kembung sampai syok hipovolemik. Gejala yang tidak
khas dapat menyebabkan keterlambatan diagnosa. Pada pemeriksaan
darah dapat ditemukan leukositosis dengan pola shift to the left
atau hasil kultur darah menunjukkan bakteremia (Pratignyo,
2014).Untuk imaging pada HAEC mencakup foto polos abdomen, dimana
menurut analisa Delphi didapatkan : (1) gambaran cut off kolon
rektosigmoid yang tidak terisi udara, (2) dilatasi loop usus, (3)
air fluid level, (4) pneumatosis intestinalis, (5) gambaran
sawtooth dengan dinding mukosa yang irregular, (6) dan udara bebas
yang dapat dilihat pada kasus lanjut akibat perforasi kolon
(Pratignyo, 2014).Pasien dengan kecurigaan HAEC memerlukan
antibiotik berspektrum luas dan resusitasi cairan. Pasien diberikan
antibiotik golongan ampisilin, gentamisin, dan metronidazol, lalu
dimonitor ketat cairannya. Pasien dimasukkan ke ruang intensif bila
gejalanya berat atau dalam keadaan sepsis untuk mendapatkan
vasopresor atau ventilasi. Rectal wash out segera dilakukan, dengan
rektal tube yang besar sesuai ukuran pasien, menggunakan NaCl 20 40
cc per kg, dilakukan 2 4 kali. Pada awalnya wash out sebaiknya
dilakukan sesering mungkin sampai cairan yang keluar jernih,
selanjutnya 2 kali sehari sampai cairan menghilang. Cairan yang
keluar harus diperhatikan agar tidak sampai terjadi retensi cairan
klisma yang dapat menyebabkan usus terdilatasi dan meningkatkan
risiko perforasi (Pratignyo, 2014).Sebagian peneliti mencoba
nebggunakan metode non invasif untuk merelaksasikan sfingter
interna, yang dikenal sebagai chemical sfincterectomi, untuk
mencegah HAEC. Dengan menggunakan isosorbit dinitrat topikal atau
nitrogliserin yang dioleskan ke anal kanal (Pratignyo, 2014).
Kebocoran anastomosisKebocoran anastomosis dinilai merupakan
komplikasi pascabedah yang serius dan dapat menyebabkan kenaikan
angka morbiditas dan mortalitas pasca bedah (Kartono, 2010).1.
Ketegangan pada garis anastomosis. Pada kedua ujung usus yang
dianastomosiskan terjadi tarikan yang dapat berakibat dengan
kebocoran atau bahkan terlepas sama sekali.2. Vaskularisasi pada
tepi sayatan kedua ujung usus yang dianastomosiskan tidak adekuat
yag disebabkan oleh kurang baiknya pembebasan koolon yang akan
dianastomosiskan. Pembuluh darah yang terikat pada waktu
anastomosis juga dapat merupakan penyebab kebocoran anastomosis.3.
Infeksi dan abses disekitar anastomosis menyebabkan proses
penyembuhan anastomosis terganggu.4. Trauma akibat colok dubur atau
businasi pasca bedah yang dikerjakan terlalu dini dan kurang hati
hati. Colok dubur sebaiknya dikerjakan dua minggu pasca bedah.5.
Pemasangan rectal tube yang terlalu besar dapat menyebabkan
nekrosis tekan pada anastomosis.6. Distensi usus pasca bedah
menimbulkan tegangan pada garis anastomosis yang berakhir dengan
disrupsi anastomosis.Angka kebocoran anastomosis bervariasi, sperti
yang ditemukan dalam survei Seksi Bedah American Academy Pediatrics
(1979). Frekuensi terjadinya kebocoran anastomosis pada prosedur
Swenson yang dilaporkan oleh Swenson sendiri adalah 2,5 5%, namun
angka ini meningkat pada prosedur Swenson yang dikerjakan oleh
spesialis bedah lain. Angka kebocoran dipengaruhi oleh prosedur
bedah dan ketrampilan spesialis bedah yang mengerjakan (Kartono,
2010).Pada kebocoran ringan terdapat tanda umum peradangan ringan,
seperti sedikit peningkatan suhu badan, selain itu pada daerah
perineum bisa ditemukan adanya abses atau infiltrat. Sedangkan pada
kebocoran berat, didapatkan tanda umum peradangan lebih nyata,
seperti kenaikan suhu tubuh yang tinggi dan menetap. Pada dasarnya,
pada kebocoran anastomosis terjadi proses radang di rongga pelvis,
pelvioperitonitis, atau peritonitis umum dengan tanda tanda ileus.
Kenaikan suhu tubuh yang disertai tanda tanda ileus harus dicurigai
sebagai proses infeksi yang berhubungan dengan pembedahan yang
dilakukan (Kartono, 2010).Keadaan ini disebabkan karena infeksi di
sekitar daerah anastomosis, baik dengan atau tanpa disrupsi
anastomosis sebagian atau seluruhnya, akibat retraksi atau nekrosis
kolon yang dianastomosiskan. Manifestasi seperti yang disebutkan
diatas, erat hubungannya dengan proses radang dan gangguan fungsi
usus bagian distal yang selanjutnya menyebabkan kecacatan dan
kematian (Kartono, 2010).Berbagai komplikasi dan kematian yang
dibahas oleh Swenson dari tinjauan 483 kasusnya, sebagian besar
disebabkan oleh kebocoran anastomosis. Nixon juga sependapat bahwa
penyulit prosedur Swenson terutama terutama berhubungan dengan
infeksi yang disebabkan oleh enterokolitis dan kontaminasi
abdominal yang bersumber dari kebocoran anastomosis. Sedangkan
Darmawan Kartono berpendapat bahwa sebenarnya prosedur bedah apapun
memiliki peluang untuk terjadi kebocoran selama dilakukan
anastomosis langsung (Kartono, 2010).Pencegahan kebocoran
anastomosis dilakukan dengan memperhatikan faktor predisposisi saat
tindakan pembedahan. Deteksi dini kebocoran anastomosis perlu
dilakukan, dan bila menemui kebocoran anastomosis harus segera
dilakukan pengamanan dengan pembuatan kolostomi pada segmen
proksimal. Tujuan utama pada prosedur Duhamel modifikasi Adang
adalah anastomosis yang dikerjakan tidak langsung dengan
memprolapskan kolon yang ditarik. Hal ini pada dasrnya adalah upaya
untuk mencegah kebocoran anastomosis kolon (Kartono,
2010).StenosisStenosis adalah salah satu komplikasi pasca bedah
selain kebocoran, yang dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan
luka di daerah anastomosis. Infeksi primer atau akibat kebocoran
anastomosis dapat mengakibatkan pembentukan jaringan fibrosis di
garis anastomosis dan sekitarnya (Kartono, 2010).Prosedur bedah
yang digunakan. Prosedur bedah tertentu memiiki kecenderungan untuk
menjadi stenosis tertentu. Stenosis sirkular pada garis anastomosis
dapat disebabkan oleh prosedur Swenson atau Rehbein. Stenosis
berbentuk segitiga atau oval di bagian posteriordisertai sisa
septum yang tidak terpotong tuntas terjadi pada prosedur Duhamel.
Stenosis memanjang dapat terjadi pada prosedur Soave (Kartono,
2010).Stenosis di daerah anastomosis menyebabkan gangguan defekasi
dengan segala akibatnya. Pada saat defekasi feses akan keluar
sedikit demi sedikit karena dorongan feses pada daerah proksimal,
sehingga menyerupai inkontinensi. Kemudian akan diikuti oleh
enterokolitis yang ditandai dengan distensi abdomen, kenaikan suhu
tubuh, dan feses cair yang berbau busuk. Komplikasi lain yang dapat
terjadi yaitu fistulasi rektoperineal (Kartono, 2010).Pencegahan
dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan pasca bedah yang
cermat pada daerah anastomosis. Bila terdapat stenosis, jika perlu
dapat dilakukan businasi atau tindakan koreksi yang lain. Dengan
memperhatikan penyebab stenosis pada masing masing prosedur maka
dapat dilakukan upaya perbaikan prosedur bedah sehingga komplikasi
stenosis dapat dhindari (Kartono, 2010).Khusus upaya pencegahan
Stenosis pada prosedur Duhamel :1. Puntung rektum yang ditinggalkan
jangan terlalu pendek, sebaiknya 3 cm di atas dasar peritoneal.2.
Septum harus dipotong tuntas3. Ruang retrorektal harus dibebaskan
sempurna sepanjang dinding posterior puntung rektum hingga sfingter
analGangguan Fungsi Sfingter AnalPembedahan definitif dikatakan
berhasil bila pasien dapat defekasi spontan, setiap hari, tanpa
bantuan obat laksana maupun suppositoria. Pasien dapat menguasai
fungsi sfingter anal dengan baik. Gangguan fungsi sfingter anal
terdiri dari :InkontinensiaPasien tidak dapat menguasai sfingter
anal sama sekali, dimana feses mengalir terus menerus. Hal ini
disebabkan karena pemotongan rektum yang terlalu rendah atau
terlalu dekat dengan garis mukokutan. Prosedur Rehbein dilaporkan
memiliki insidens inkontinensia paling kecil, yaitu 0%. Hal ini
dikarenakan pada prosedur Rehbein reseksi segmen rektum dilakukan
intraabdominal, sehingga rektum aganglion masih tersisa cukup
panjang. Sebaliknya, masalah pada prosedur Rehbein adalah obstipasi
berulang.Pada prosedur Swenson reseksi rektum dilakukan perineal,
sehingga pemotongan rektum dapat dilakukan sesuai kebutuhan.
Swenson menganjurkan pemotongan rektum dilakukan pada 2 sampai 3 cm
dari garis mukokutan (Kartono, 2010).Pemotongan sisa rektum yang
terlalu panjang mengakibatkan obstipasi, dan sisa rektum yang
terlalu pendek mengakibatkan inkontinensia. Akan tetapi pemotongan
yang terlalu pendek atau terlalu panjang cukup sulit dihindari,
karena usia pasien saat pembedahan berbeda - beda. Pemotongan 2 cm
pada bayi berbeda maknanya dengan pemotongan 2 cm pada anak yang
lebih besar. Hal ini menyebabkan obstipasi atau inkontinensia sulit
dihindari (Kartono, 2010).Prosedur Duhamel merupakan prosedur
dengan insidens obstipasi ulang dan inkontinensi yang paling kecil,
hal ini dikarenakan pada prosedur Duhamel tidak seluruh lingkaran
reseksi sfingter anal direseksi, reseksi hanya dilakukan pada
setengah lingkaran bagian posterior. Spasme sfingter anal internal
juga jarang ditemukan pada prosedur Duhamel, sehingga insidens
enterokolitis juga lebih rendah (Kartono, 2010).SoilingPasien
kadang tidak dapat menahan defekasi, sehingga feses keluar dan
mengotori celana (soiling). Pada masa pasca bedah prosedur Duhamel,
soiling disebabkan oleh sisa septum. Soiling akan berakhir setelah
sisa septum dipotong tuntas. Swenson menemukan 10 dari 483
pasiennya mengalami soiling permanen atau inkontinensia (Kartono,
2010).Obstipasi berulangPada keadaan ini pasien tetap tidak dapat
defekasi secara spontan dan harus ditolong dengan laksans atau
supoitoria dengan atau tanpa manifestasi gangguan pasase usus.
Keadaan ini disebabkan oleh sfingter anal yang masih panjang, atau
segmen aganglionik yang ditinggalkan terlalu panjang. Keketatan
anal (anal tightness) pasca bedah prosedur Swenson mencapai 8%
(Kartono, 2010).2.2.10. PrognosisBanyak perbedaan pada laporan
penelitian jangka panjang pasca bedah definitif untuk penyakit
Hirschsprung. Beberapa peneliti melaporkan tingkat keberhasilan
yang tinggi, sementara peneliti lain melaporkan kejadian yang
signifikan dari obstipasi dan inkontinensia. Secara umum, lebih
dari 90% laporan penelitian pasien pasca bedah definitif penyakit
Hirschsprung memiliki hasil yang memuaskan. Namun, banyak pasien
mengalami gangguan fungsi usus selama beberapa tahun sebelum
penahanan defekasi yang normal berkembang. Sekitar 1% dari pasien
dengan penyakit Hirschsprung memiliki inkontinensia yang menetap
dan membutuhkan kolostomi permanen (Wagner, 2014).Total
aganglionosis kolon dihubungkan dengan hasil yang lebih buruk,
dengan 33% dari pasien yang mengalami inkontinensia persisten dan
14% membutuhkan ileostomy permanen. Pasien dengan kelainan kromosom
dan sindrom tertentu juga memiliki hasil klinis yang lebih buruk
(Wagner, 2014).
BAB IIIKESIMPULANPenyakit Hirschsprung atau kongenital megakolon
merupakan penyakit kongenital yang disebabkan kegagalan migrasi
krista neural, sehingga usus bagian distal menjadi aganglion dan
tidak dapat berrelaksasi. Ras Asia memiliki angka kejadian
tertinggi, yaitu sebesar 2,8 per 10.000 kelahiran.Penyakit
Hirschsprung harus didiagnosis dengan cepat dan tepat, karena
keterlambatan diagnosis yang akan memperlambat tindakan bedah
definitif akan menyebabkan komplikasi dan memperburuk
prognosis.
DAFTAR PUSTAKA
Kartono, Darmawan, 2010, Penyakit Hirschsprung, Jakarta, Sagung
SetoMoore, Keith L., 2002, Anatomi Klinis Dasar, Jakarta,
Hipokrates.Pratignyo, Moh. Adjie, 2014, Penyakit Hirschsprung,
Tangerang, SAP Publish Indonesia.Wagner, Justin P., 2014,
Hirschsprung Disease
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overviewKessmann,
Jennifer, 2006, Hirschsprungs Disease : Diagnosis and Management.
< http://www.aafp.org/afp/2006/1015/p1319.html>Anonim, 2015,
Teliti Mutasi Gen Penyakit Hirschsprung, Titis Raih Doktor
http://ugm.ac.id/id/berita/9769-teliti.mutasi.gen.penyakit.hirschsprung.titis.raih.doktor
34