1 HIPOTENSI INTRADIALISIS Ananda Wibawanta Ginting Divisi Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik/RSU. Dr Pirngadi Medan I. PENDAHULUAN Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan kram, memiliki pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, IDH sering membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat. Pasien dengan IDH, sering mengalami keadaan kelebihan cairan (volume overload) dan dialisis sering tidak adekuat. 2,3,4 Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum disebabkan sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama yang memainkan peran dalam stabilitas hemodinamik selama hemodialisis: pertama, refilling volume darah dari interstisial ke dalam kompartemen vaskular, sehingga disebut preservasi volume darah; kedua, konstriksi dari resistance vessels seperti arteri yang kecil dan arteriol, dan ketiga, mempertahankan output jantung, melalui peningkatan kontraktilitas miokardium, heart rate, dan konstriksi dari capacitance vessels seperti venula dan vena. 12,13 Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis temperatur dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan beberapa penggunaan pressor agents seperti midodrine. 1,2,3 Berikut ini akan dibahas mengenai hipotensi intradialisis, mengenai definisi, patogenesis, pencegahan, dan penatalaksanaan pasien dengan hipotensi intradialisis. Reading Assignment Div. Nefrologi Hipertensi Presentator: dr. Ananda W. Ginting Acc Supervisor Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD KGH
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
HIPOTENSI INTRADIALISIS
Ananda Wibawanta Ginting
Divisi Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSUP H. Adam Malik/RSU. Dr Pirngadi Medan
I. PENDAHULUAN
Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari
hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan
masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan kram, memiliki
pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, IDH sering
membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat
menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat. Pasien dengan IDH, sering mengalami
keadaan kelebihan cairan (volume overload) dan dialisis sering tidak adekuat.2,3,4
Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum disebabkan
sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama yang memainkan peran dalam stabilitas
hemodinamik selama hemodialisis: pertama, refilling volume darah dari interstisial ke dalam
kompartemen vaskular, sehingga disebut preservasi volume darah; kedua, konstriksi dari
resistance vessels seperti arteri yang kecil dan arteriol, dan ketiga, mempertahankan output
jantung, melalui peningkatan kontraktilitas miokardium, heart rate, dan konstriksi dari
capacitance vessels seperti venula dan vena.12,13
Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis temperatur
dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan beberapa
penggunaan pressor agents seperti midodrine. 1,2,3
Berikut ini akan dibahas mengenai hipotensi intradialisis, mengenai definisi,
patogenesis, pencegahan, dan penatalaksanaan pasien dengan hipotensi intradialisis.
Reading Assignment
Div. Nefrologi Hipertensi
Presentator: dr. Ananda W. Ginting
Acc Supervisor
Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD KGH
II. DEFINISI
Pada beberapa literatur, pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak memiliki
standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda. Namun kebanyakan
mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai munculnya gejala spesifik.
Penurunan tekanan darah bisa relatif atau absolut. Sampai saat ini, belum ada evidence based
yang merekomendasikan pengertian IDH. Manifestasi dari IDH bervariasi mulai dari
asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG working group menekankan bahwa
menurunnya tekanan darah, disertai dengan munculnya gejala klinis yang membutuhkan
intervensi medis harus dipikirkan kemungkinan munculnya IDH. Beberapa literatur
mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik ≥ 30 atau
tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada dialisis bisa muncul
dengan beberapa gambaran klinis: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai
penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20
mmHg diikuti dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti yang
sebelumnya, namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik, yaitu
hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap dalam kisaran
90-100 mmHg. Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi intradialisis
(Intradialytic hypotension) sebagai suatu penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau
penurunan Mean arterial pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan munculnya gejala-
gejala seperti: perasaan tidak nyaman pada perut (abdominal discomfort); menguap
Posisi trendelenburg harus dipertimbangkan pada penatalaksanaan IDH. Namun
efikasi masih terbatas. Posisi ini sering digunakan pada penatalaksanaan IDH, dengan
penerapan manuver ini, volume aliran darah berkurang di perifer dan lebih tersentralisasi.
Namun, hanya sedikit studi yang menilai efikasi posisi ini. Pada suatu studi, peningkatan
volume darah hanya sekitar 0.4%. Tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dalam
perubahan tekanan darah selama dialisis setelah menerapkan posisi terndelenburg. Sebagai
kesimpulan, efek dari posisi trendelenburg pada volume darah sangat kecil.
Stop Ultrafiltrasi2,3,4
Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan ultrafiltrasi, akan
mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan memfasilitasi refill volume darah
dari kompartemen intrestisial. Memperlambat laju aliran darah terkadang dapat digunakan
dalam pengobatan IDH.
Pemberian Cairan2,9
Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon dengan penghentian
ultrafiltrasi dan posisi trendelenburg selama episode IDH. Pemberian cairan ini paling sering
diberikan untuk meningkatkan volume darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid dan koloid
telah dipelajari dalam pengobatan IDH. Beberapa studi telah menilai efek dari salin isotonik,
glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid. Pada studi tersebut membandingkan efek dari
isovolumetrik infus glukosa 5 dan 20%, salin 0.9% dan 3.0% dan manitol 20% dalam volume
darah selama ultrafiltrasi, peningkatan volume darah paling besar selama pemberian larutan
glukosa hipertonik. Pada studi lain, peningkatan volume darah lebih besar setelah pemberian
infus 100 ml plasma ekspander gelofusin dibandingkan dengan 100 cc salin isotonik. Pada
studi lain, tidak ada perbedaan signifikan antara pemberian albumin dibandingkan salin
isotonik untuk penatalaksanaan IDH. Sebagai kesimpulan baik salin isotonik dan larutan
albumin sama-sama efektif pada pengobatan IDH. Salin hipertonik tidak lebih superior dari
salin isotonik, dan albumin tidak lebih superior dari albumin atau HES pada penatalaksanaan
IDH.
Intervensi farmakologis1,2,17
Midrodin merupakan suatu obat alpha-1 agonist oral. Metabolit dari midodrine,
desglymidodrine, menyebabkan konstriksi dari resistance dan capacitance vessels.
Midrodrine mencegah IDH dengan mempertahankan volume darah sentral dan cardiac
output, dan peningkatan resistensi vaskular perifer. Midodrin efektif diekskresikan melalui
hemodialisis, dan waktu paruh berkurang sampai 1.4 jam dengan hemodialisis. Midodrine
memiliki efek jantung yang minimal, dan efek susunan saraf pusat, dikarenakan spesifisitas
terhadap reseptor α1, dan tidak melewati BBB. Pemberian dosis tunggal midodrine (5 mg)
30 menit sebelum sesi dialisis berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan
diastolik dan MAP intradialisis dan pos dialisis, dibandingkan dengan sesi dialisis tanpa
penggunaan midodrine. Penelitian lain menunjukkan efikasi dari penggunaan midodrine
berketerusan (8 bulan) dan tidak ada tanda-tanda efek samping yang berkembang. Namun
beberapa literatur pernah menemukan komplikasinya berupa supine systolic hypertension.
Beberapa studi mengemukakan efek samping yang dijumpai antara lain scalp paresthesias,
heartburn, flushing, nyeri kepala, nyeri leher, dan kelemahan tungkai, urinary urgency, dan
gangguan tidur. Pasien juga harus dimonitor untuk kemungkinan bradikardia, oleh karena
midodrine dapat menstimulasi refleks parasimpatis. Midodrin harus digunakan secara hati-
hati pada pasien CHF dan obat-obat kronotropik negatif seperti beta-bloker, digoksin, dan
CCB nondihidropiridin. Penggunaan bersama-sama dengan obat α-adrenergik yang lain
seperti efedrin, pseudoefedrin, dan phenylpropanolamin harus dihindari, oleh karena akan
mencetuskan supine hypertension. Suatu studi membandingkan efektivitas dari midodrine
dan dialisis temperatur dingin. Baik dialisis temperatur dingin, dan midodrine sama-sama
efektif dalam pencegahan IDH, dan tidak ada perbedaan respon tekanan darah dan insidensi
IDH diantara kedua terapi tersebut. Efektivitas dari beberapa obat vasoaktif dalam
pencegahan IDH telah dilaporkan. Data mengenai efektivitas dan keamanan dari lisin
vasopresin, ergotamin, metilen blue, sertralin dan dobutamin sangat terbatas dan tidak bisa
dijadikan rekomendasi. Pada beberapa literatur menyimpulkan bahwa dosis awal midodrine
adalah 2.5 mg, dimakan 30 menit sebelum dialisis, dengan dosis maksimal 10 mg, efektif dan
mungkin aman dalam pencegahan IDH, walaupun data tentang keamanan dalam penggunaan
jangka panjang masih terbatas. Namun, superioritas dari midodrine dibandingkan dari
intervensi lain belum dapat dibandingkan.
L-carnitine, suplementasi zat golongan ini harus dipertimbangkan dalam pencegahan
IDH jika pengobatan standar lainnya gagal. Pada pasien hemodialisis, kadar L-carnitine
menjadi rendah oleh karena berkurangnya biosintesis oleh ginjal, dan kehilangan dari cairan
dialisat. Defisiensi l-carnitine dapat menyebabkan berkurangnya fungsi sistolik dari jantung.
Pemberian l-carnitine juga meningkatkan fraksi ejeksi dari ventrikel kiri. Suatu penelitian
dengan pemberian infus L-carnitin 20 mg/kg pada setiap sesi dialisis mengurangi frekuensi
IDH dan kram otot (44% banding 18% dan 36% banding 13%) dibandingkan dengan plasebo.
Mengenai alasan atas keuntungan ini belum jelas, namun kemungkinan dikarenakan
peningkatan fungsi otot polos vaskular dan fungsi otot jantung. Namun, masih sedikit bukti
mengenai suplementasi l-carnitine berguna dalam pencegahan IDH.1,2,3
Dopamin, merupakan katekolamin yang memproduksi efek ionotropik dan
kronotropik pada miokardium, sehingga meningkatkan heart rate dan kontraktilitas jantung.
Onset kerja dopamin adalah 5 menit setelah pemberian intravena, dan waktu paruh sekitar 2.5
menit. Efek predominan dopamin sangat tergantung dosis. Pada dosis infus rendah (0.5-2
µg/kg/menit) dopamin menyebabkan vasodilatasi. Pada dosis infus sedang (2-10
µg/kg/menit) dopamin bekerja merangsang β1-adrenoreseptor, menyebabkan peningkatan
kontraktilitas miokardium. Pada dosis infus tinggi (10-20 µg/kg/menit) menyebabkan efek
pada α-adrenoreseptor, dengan efek vasokonstriktor dan peningkatan tekanan darah. Suatu
penelitian oleh Wen-Yuan Chiu et al, mengemukakan bahwa pemberian dopamin selama sesi
dialisis dapat diterapi dan efektif untuk grup pasien IDH simptomatik. Pada penelitiannya,
penggunaan infus dopamin pada dosis 20 µg/kg/meenit, dan tidak melebihi dosis tersebut
karena dosis tersebut tidak memberikan efek yang lebih baik untuk miokardium namun
meningkatkan resiko vasokonstriksi dan iskemia.1,2,11
KESIMPULAN
Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari
hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan
masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan kram, memiliki
pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, IDH sering
membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat
menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat.
Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum disebabkan
sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama.
Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis temperatur
dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan beberapa
penggunaan pressor agents
DAFTAR PUSTAKA
1. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Cardiovascular Disease in Dialysis patients: NKF KDOQI Guidelines, National Kidney Foundation Inc 2005
2. Kooman Jeroen et al, European Best Practice Guidelines (EBPG) Guideline on haemodynamic instability: Nephrology Dialysis Transpant (2007); Oxford University Press, pg ii22-ii44
3. W Sulowicz et al, Pathogenesis and treatment of dialysis hypotension: International Society of Nephrology 2006, pg s36-s39
4. Biff F. Palmer et al, Recent Advances in the Prevention and Management of Intradialytic Hypotension: J Am Soc Nephrol 19: 8–11, 2008. doi: 10.1681/ASN.2007091006
5. Sunita Dheenan et al, Preventing dialysis hypotension: A comparison of usual protective maneuvers: Kidney International, Vol. 59 (2001) , pp. 1175-1181
6. M Thaha et al, Correlation Between Intradialytic Hypotension in Patients Undergoing Routine Hemodialysis and Use of Acetate Compared to Bicarbonate Dialysate: Acta Med Indones-Indones J Intern Med, Division of Nephrology and Hypertension-Department of Internal Medicine, Dr Soetomo Hospital-School of Medicine Airlangga University, Surabaya
7. Christopher W. McIntrye, Effects of Hemodialysis on cardiac function: International Society of Nephrology 2009, pg 371-375
8. Nahid Shahgholian et al, Impact of two types of sodium and ultrafiltration profiles on dialytic hypotension in hemodialysis patients: IJNMR Autumn 2008; Vol 13, No 4
9. GrefA. Knoll et al, Randomized, Controlled Trial of Albumin versus Saline for the treatment of Intradialytic Hypotension: Journal of the American Society of Nephrology 15: 487-492, 2004
10. Salim Mujais et al, Complications during Hemodialysis: Clinical Nephrology, Dialysis and Transplantation-II-4
11. Wen-Yuan Chiu et al, Intradialytic Dopamine Therapy in Maintenance Hemodialysis Patients with Persistent Hypotension: Acta Nephrologica Vol. 21, No 1, 2007
12. Frank M. Van der Sande, Management of Hypotension in Dialysis Patients: Role of Dialysate Temperature Control, Departement of Nephrology, University Hospital Maastricht, The Netherlands: Saudi J Kidney Dis Transplant 2001;12(3):382-386
13. H. Rezki et al, Comparison of Prevention methods of intradialytic hypotension: Nephrology Department, UHC Ibn Rochd, Casablanca, Morocco: Saudi J Kidney Dis Transplant 2007; 18(3):361-364
14. Dominic S.C et al, Hemodynamic changes during hemodialysis: Role of Nitric oxide and endothelin: Kidney International, Vol 61 (2002), pp. 697-704
15. Guy Rostoker et al, Left Ventricular Diastolic Dysfunction as a risk factor for Dialytic Hypotension, Division of Nephrology and Dialysis Centre Hospitalier Privé Claude Galien, Quincy-sous-Sénart , France: Cardiology 2009;114:142–149
16. R.Ramos et al, How can symptomatic hypotension be improved in hemodialysis patients: cold dialysis vs isothermal dialysis, 1Hemodialysis Unit. Serveis d’Ajut. Hospital St. Antoni Abat. Vilanova i la Geltrú. Barcelona: NEFROLOGÍA. Volumen 27. Número 6. 2007
17. Paik Seong lim et al, Midrodrine for the treatment of intradialytic hypotension, Division of Nephrology, Department of Medicine, Kuang Tien General Hispital, Shalu Chen, Taichung, Taiwan/ROC: Nephron 1977;77:279-283
18. Biff F. Palmer, Dialysate Composition in Hemodialysis and Peritoneal Dialysis: Dialysis as Treatment of End-Stage Renal Disease, Chapter 2