Chapter 53 Hipertermia Maligna Henry Rossenberg Vinod Malhotra Dana Lynn Gurvitch Seorang laki-laki berusia 7 tahun Dengan kiposkoliosis dijadwalkan untuk operasi untuk memperbaiki strabismus dengan anestesi umum. Riwayat anestesi sebelumnya termasuk anesthesia sevofluran dan nitrat oksida tanpa masalah apapun untuk miringotomi bilateral. Bagaimanapun, ibunya sangat gugup karena sepupu anak laki-laki tersebut meninggal dengan anestesi di Wisconsin tahun lalu. A. Penyakit Medis dan Diagnosis Differensial A.1. Apakah masalah yang menjadi perhatian dalam kasus ini? Pasien merupakan anak laki-laki berusia 7 yahun dengan kifoskoliosis dan strabismus dengan riwayat kematian terkait anestesi dalam keluarga di Winconsin. Oleh karena itu, selain masalah pernapasan yang berhubungan dengan kifoskoliosis, ia memiliki kemungkinan untuk mengalami sindrom hipertermia maligna (MH). Faktor yang mendukung kecurigaan kuat merupakan riwayat keluarga, kifoskoliosis dan lokasi geografis. Terdapat densitas yang tinggi terhadap keluarga yang rentan dengan MH di wilayah Winconsin.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Chapter 53
Hipertermia MalignaHenry Rossenberg
Vinod Malhotra
Dana Lynn Gurvitch
Seorang laki-laki berusia 7 tahun
Dengan kiposkoliosis dijadwalkan untuk operasi untuk memperbaiki strabismus dengan anestesi
umum. Riwayat anestesi sebelumnya termasuk anesthesia sevofluran dan nitrat oksida tanpa
masalah apapun untuk miringotomi bilateral. Bagaimanapun, ibunya sangat gugup karena sepupu
anak laki-laki tersebut meninggal dengan anestesi di Wisconsin tahun lalu.
A. Penyakit Medis dan Diagnosis Differensial
A.1. Apakah masalah yang menjadi perhatian dalam kasus ini?
Pasien merupakan anak laki-laki berusia 7 yahun dengan kifoskoliosis dan strabismus dengan
riwayat kematian terkait anestesi dalam keluarga di Winconsin. Oleh karena itu, selain masalah
pernapasan yang berhubungan dengan kifoskoliosis, ia memiliki kemungkinan untuk mengalami
sindrom hipertermia maligna (MH). Faktor yang mendukung kecurigaan kuat merupakan riwayat
keluarga, kifoskoliosis dan lokasi geografis. Terdapat densitas yang tinggi terhadap keluarga
yang rentan dengan MH di wilayah Winconsin.
A.2. Apakah yang dimaksud dengan hipertermia maligna (MH)?
MH, pertama kali dideskripsikan oleh Denborough dan Lovell pada tahun 1960, merupakan
suatu sindrom klinis dari keadaan metabolic yang terakselerasi secara nyata yang ditandai oleh
peningkatan suhu inti, takikardia, takipnea, hiperkarbia, kekakuan, asidosis, dan hiperkalemia.
Kematian mungkin terjadi jika pasien tidak ditangani. Pada hampir setiap instansi, sindrom klinis
ini terjadi pada pasien yang rentan ketika agen anestesi pencetus digunakan. Bagaimanapun,
tidak semua tanda muncul pada semua kasus. Pada situasi yang jarang, suatu krisis MH muncul
pada manusia tanpa adanya agen anesthesia.
A.3. Apakah manifestasi klinis dari pasien yang rentan?
Riwayat keluarga, jika ada, khususnya pada keluarga derajat pertama, merupakan indicator kuat
kerentanan terhadap hipertermia maligna (MH). Tanda nonspesifik seperti kiposkoliosis telah
dihubungkan dengan MH tetapi tanpa bukti ilmiah yang kuat. Terdapat sedikit gangguan
miopatik yang diketahui berhubungan dengan kerentanan terhadap MH. Gangguan ini termasuk
central core disease, sindrom King-Denborough, dan multiminicore disease (Tabel 53.1).
Kebanyakan pasien yang rentan terhadap MH tidak memiliki gangguan musculoskeletal yang
jelas atau riwayat keluarga positif.
Tabel 53.1. Gangguan musculoskeletal yang berhubungan dengan pasien yang rentan
terhadap hipertermia maligna
A.4. Apakah riwayat anesthesia dengan sevofluran yang tidak bermasalah sebelumnya
beralasan untuk mengeksklusikan kerentanan pasien terhadap hipertermia maligna
(MH)?
Tidak. Kasus dapat terjadi selama 1 detik atau anestesi berikutnya.
A.5. Apakah manifestasi klinis dari sindrom ini?
Manifestasi klinis dari hipertermia maligna (MH) merupakan hasil dari keadaan tidak terkontrol,
berlebihan, hipermetabolik yang dicetuskan oleh agen anestesi inhalasi poten dan suksinilkolin.
Pada manusia, hanya sedikit kasus MH telah dianggap terjadi sebagai hasil faktor lingkungan
selain agen anestesi. Manifestasi yang biasa muncul yaitu:
Spesisik untuk hipertermia maligan
Peningkatan CO2 end-tidal selama ventilasi konstan (tanda yang paling sensitive dan
spesifik)
Kekakuan menyeluruh (spesifisitas sangat tinggi)
Kekakuan otot masseter (MMR)
Peningkatan temperature (tidak jarang lebih tinggi daripada 40oC [104oF])
Nonspesifik
Takikardia (tanda klinis yang paling awal dan paling konsisten namun tidak spesifik)
Takipnea
Aritmia
Kulit berbintik
Berkeringat banyak
Gangguan tekanan darah
Henti Jantung Hiperkalemik
Henti jantung hiperkalemik tiba-tiba telah dilaporkan terjadi setelah pemberian agen yang
mencetuskan MH pada anak-anak dengan miopati yang tidak terdiagnosis, terutapa distrofi otot
Duchenne’s atau Becker’s. respon ini bukan merupakan hasil perubahan patofisiologi yang sama
yang tipikal untuk MH, tetapi tentu saja destruksi membrane yang mengakibatkan hiperkalemia.
Terapinya sama dengan terapi hiperkalemia, yaitu, glukosa dan insulin, kalsium klorida atau
glukonat, hiperventilasi.
A.6. Apakah temuan laboratorium selama krisis hipertermia maligna (MH)?
Nilai laboratorium sekali lagi mencerminkan perubahan status hipermetabolik dan kerusakan
jaringan otot (Tabel 53.2).
Tabel 53.2. Temuan laboratorium dari hipertermia maligna akut
A.7. Bagaimanakan insidensi sindrom ini?
Insidensi hipertemia maligna (MH) sulit diukur karena banyak sindrom klinis yang menyerupai
MH dan sering manajemen anestesi diubah ketika tanda awal yang mengerah kepada MH
terdeteksi. Insidensi juga bergantung pada prevalensi mutasi genetik dalam sebuah populasi yang
menyebabkan MH sebagaimana dengan prevalensi penggunaan agen pencetus MH.
Salah satu penelitian epidemiologi paling awal tentang MH yang dilakukan di Denmark dimana
perkiraan insidensi MH fulminan dilaporkan sebanyak 1 dari 260.000 anestesi umum dan 1 dari
60.000 anestesi dengan menggunakan suksinilkolin. Insidensi semakin meningkat, dimana, 1 dari
5000 anestesi, ketika tanda seperti kekakuan otot masseter (MMR), takikardia yang tidak dapat
dijelaskan dan demam yang tidak dapat dijelaskan ditemukan.
Pada provinsi Quebec, Kanada, prevalensi MH dihitung sebanyak 0,2% populasi berdasarkan
penelitian silsilah detail dari keluarga yang rentan MH.
Baru-baru ini, penelitian genetik telah mengarahkan prevalensi mutasi yang menyebabkan MH
yaitu 1 dari 3000 di Perancis dan Jepang.
Insidensi MH klinis muncul lebih sering pada anak-anak dan pada laki-laki.
A.8. Bagaimana penyakit ini diturunkan?
Hipertermia maligna (MH) diturunkan pada manusia secara autosom dominan dengan penurunan
penetrasi dan ekspresivitas yang bervariasi. MH bersifat heterogen dengan lebih dari 7 lokus gen
terlibat.
Lebih dari 50% kasus MH berhubungan dengan gen reseptor rianodin pada kromosom 19. Lebih
dari 100 mutasi telah ditemukan pada gen dengan lebih dari 30 tercatat sebagai penyebab
sindrom ini.
Pada babi yang rentan dengan MH, penurunan autosom resesif dengan hanya satu perubahan
DNA dianggap menjadi penyebab pada semua kasus.
A.9. Apakah gangguan genetik yang menyebabkan kerentanan terhadap hipertermia
maligna (MH)?
Pada hampir semua kasus, pasien yang rentan terhadap MH memiliki gangguan pada saluran
kalsium pada membrane reticulum sarkoplasma otot rangka. Saluran ini dinamakan dengan
reseptor ryanodin (RYR) karena ia mengikat ryanodin alkaloid tanaman. Saluran tersebut sangat
berhubungan dengan protein dan struktur lainnya, seperti saluran kalsium dihidropiridin yang
memediasi transfer perubahan voltase ke reseptor RYR-1. Protein lain yang berhubungan dengan
reseptor ryanodin yaitu triadin, dan FK 506-binding protein. Namun, mutasi yang menyebabkan
kerentanan terhadap MH ditemukan terutama pada gen untuk reseptor ryanodin. Sebanyak 30%
keluarga yang rentan terhadap MH memiliki satu dari sekitar 30 mutasi penyebab MH, dengan
sekitar 60 mutasi lainnnya yang belum ditemukan.
Gen reseptor dihidropiridin (DHPR), juga termasuk dalam kontrol kalsium intraseluler, telah
dihubungkan dengan kerentanan terhadap MH pada sejumlah kecil keluarga.
Terdapat kemungkinan gen lainnya yang dapat menyebabkan kerentanan terhadap MH tetapi
kurang sering dibandingkan dengan yang berhubungan dengan RYR-1 dan gen DHPR.
Yang menariknya, observasi mutasi genetik yang menyebabkan central core disease yang
menjadi predisposisi terjadinya MH, terletak pada gen RYR-1 juga. Dihipotesiskan bahwa pada
gangguan ini terdapat kebocoran kalsium konstan dari SR, sehingga terjadi deplesi cadangan
kalsium dan menyebabkan aktivasi inadekuat dari aktin dan myosin dan karenanya terjadi
kelemahan otot.
Baru-baru ini tikus percobaan yang mengalami MH telah dibuat dengan menggabungkan satu
dari mutasi penyebab MH ke dalam genom tikus. Tikus tersebut menunjukkan tanda-tanda khas
MH selama paparan terhadap agen pencetus MH dan juga selama paparan dengan suhu
lingkungan yang meningkat.
A.10. Bagaimanakah patofisiologi dari sindrom ini?
Sindrom klinis hipertermia maligna (MH) diakibatkan peningkatan abnormal dan tak terkontrol
dari kadar kalsium intraseluler pada otot rangka. Patofisiologinya yaitu sebagai berikut: proses
pelepasan kalsium dari reticulum sarkoplasmik (SR) normalnya dimulai dengan depolarisasi
sarkolema yang ditransmisikan melalui tubulus-t ke reseptor dihidopiridin yang kemudian
mengaktivasi saluran kalsium yang dinamakan reseptor ryanodin untuk melepaskan kalsium.
Peningkatan kalsium menyingkirkan inhibisi interaksi antara aktin dan myosin yang
menyebabkan bangkitan gaya mekanik. Pelepasan kalsium terjadi melalui saluran dalam SR
yang disebut reseptor ryanodin. Reuptake kalsium mengembalikan konsentrasi sitoplasma
intraseluler dari kalsium ke normal dan relaksasi otot terjadi. Reuptake dimediasi melalui