Top Banner
HERNIA A. Pengertian Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aponeurotik dinding perut. Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia. Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital dan hernia dapatan atau akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya, misalnya diafragma, inguinal, umbilikal, femoral. Adapun pada hernia insisional defek dinding abdomen terjadi pada bekas luka sayatan prosedur operasi yang tidak menyatu dengan sempurna. Dinding abdominal membatasi secara langsung rongga abdomen, rongga dimana terdapat organ abdominal. Bagian dorsal, lateral, dan ventral dinding abdominal disusun oleh otot abdominis eksterna, interna, dan transversa.
65

Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Dec 31, 2015

Download

Documents

hernia dispepsia dan apendis
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

HERNIA

A. Pengertian

Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui

defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia

abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan

muskulo-aponeurotik dinding perut. Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan

isi hernia. Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau

kongenital dan hernia dapatan atau akuisita. Hernia diberi nama menurut

letaknya, misalnya diafragma, inguinal, umbilikal, femoral. Adapun pada

hernia insisional defek dinding abdomen terjadi pada bekas luka sayatan

prosedur operasi yang tidak menyatu dengan sempurna.

Dinding abdominal membatasi secara langsung rongga abdomen,

rongga dimana terdapat organ abdominal. Bagian dorsal, lateral, dan

ventral dinding abdominal disusun oleh otot abdominis eksterna, interna,

dan transversa. Otot abdominis eksterna terdapat mulai dari rusuk ke-5

hingga ke-12 dengan arah medio-caudal. Otot interna terdapat pada

bagian atas tulang sacroiliac dengan arah medio-proksimal. Otot

transversa terdapat pada bagian bawah rusuk ke-6, lumbodorsal fascia,

dan tulang sacroiliac. Serabut dari otot-otot ini tersusun horizontal.

Gabungan ketiga otot ini selanjutnya membentuk lapisan rectus yang

melapisi otot rectus abdominis. Rectus abdominis memasuki celah tulang

rusuk bagian suferior dan tulang pubis bagian inferior. Serabutnya

Page 2: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

tersusun secara vertikal dan diselang-selingi oleh tiga atau empat

perpotongan tendon. Lapisan yang melapisi otot rectus abdominis juga

berhubungan langsung dengan otot contralateral rectus abdominis. Kedua

otot ini membentuk struktur avaskular yang dinamakan linea alba.

Tekanan dalam rongga abdomen dipertahankan dalam rentang nilai

positif 2-20 mmHg (dalam posisi berbaring atau berdiri). Tekanan ini dapat

meningkat hingga melebihi 150 mmHg pada saat batuk dan muntah. Pada

kondisi peningkatan tekanan rongga abdomen, jaringan dan otot

abdominal akan menegang.

  Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi

hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan

masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk ke perut, tidak ada keluhan

nyeri atau gejala obstruksi usus. Bila isi kantong tidak dapat direposisi

kembali ke dalam rongga perut, hernia disebut hernia ireponibel. Ini

biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritoneum

kantong hernia. Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun tanda sumbatan

usus. Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya

terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak

dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase

atau vaskularisasi. Secara klinis, hernia inkarserata lebih dimaksudkan

untuk hernia ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan

vaskularisasi disebut sebagai hernia strangulata. Pada keadaan

sebenarnya, gangguan vaskularisasi telah terjadi pada saat jepitan

Page 3: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

dimulai, dengan berbagai tingkat gangguan mulai dari bendungan sampai

nekrosis.

                                                            

 

Bagian-bagian hernia yaitu :

1. Kantong hernia: pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis;

2. Isi hernia: berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong

hernia. Pada hernia abdominalis berupa usus;

3. Locus Minoris Resistence (LMR);

4. Cincin hernia: Merupakan bagian locus minoris resistence yang dilalui

kantong hernia;

5. Leher hernia: Bagian tersempit kantong hernia yang sesuai dengan

kantong hernia.

Page 4: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

B. Klasifikasi Hernia Berdasarkan Arah Herniasi

1. Hernia Interna, bila isi hernia masuk ke dalam rongga lain, misalnya

cavum thorax, cavum abdomen :

a. Hernia Epiploici Winslowi : Herniasi viscera abdomen melalui

foramen omentale

b. Hernia Bursa Omentalis

c. Hernia Mesenterica

d. Hernia Retroperitonealis

e. Hernia Diafragmatic

2. Hernia Eksterna, penonjolannya dapat dilihat dari luar :

a. Hernia Inguinalis Medialis dan Lateralis

b. Hernia Femoralis

c. Hernia Umbilicus

d. Hernia Epigastrica

e. Hernia Lumbalis

f. Hernia Obturatoria

g. Hernia Semilunaris

h. Hernia Perinealis

i. HerniaIschiadica

Page 5: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

a. Hernia Inguinalis

Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia

abdominalis) adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi

menjadi: hernia inguinalis indirek (lateralis), di mana isi hernia

masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui locus minoris resistence

(annulus inguinalis internus); dan hernia inguinalis direk (medialis),

di mana isi hernia masuk melalui titik yang lemah pada dinding

belakang kanalis inguinalis. Hernia inguinalis lebih banyak terjadi

pada pria daripada wanita, sementara hernia femoralis lebih sering

terjadi pada wanita.

Page 6: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

 Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital

atau karena sebab yang didapat. Faktor yang dipandang berperan

kausal adalah prosesus vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan

di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena

usia. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara kronik seperti

batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai

hernia inguinalis.

 Hernia juga mudah terjadi pada individu yang kelebihan

berat badan, sering mengangkat benda berat, atau mengedan. Jika

kantong hernia inguinalis lateralis mencapai scrotum maka disebut

hernia skrotalis. Hernia ini harus dibedakan dari hidrokel atau

elefantiasis skrotum. Testis yang teraba dapat dipakai sebagai

pegangan untuk membedakannya.

Page 7: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

b. Hernia Femoralis

Male Inguinal hernia Female Inguinal hernia

Page 8: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Lokasi : medial dari vena femoralis, didalam lacuna vasorum dorsal

dari ligamentum inguinal. Sering dijumpai pada wanita usia lanjut.

Sering mengalami inkarserasi

c. Hernia Umbilikal

Merupakan hernia congenital yang disebabkan oleh kelemahan pada

daerah umbilicus yang hanya ditutup peritoneum dan kulit

d. Hernia Paraumbilikal

Berada pada tepi umbilicus, seringkali sukar dibedakan dari hernia

umbilical.

e. Hernia Epigastrika

Keluar dari defek di linea alba (antara umbilicus dan prosesus

xyphoideus)

f. Hernia Spiegel

Muncul dari daerah lemah antara m. rektus dengan linea semisirkuralis

g. Nernia Insisionalis

Hernia yang terjadi pada bekas sayatan operasi pada dinding

abdomen. Diakibat adanya saraf tersayat sehingga timbul paralisis otot

pada daerah yang dipersarafi oleh serabut saraf tersebut serta

penyatuan fascia yang tidak menyatu dengan sempurna

h. Hernia Obturatoria

Hernia interna yang melalui foramen obturator.

C. Pemeriksaan Hernia

Page 9: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Inspeksi Daerah Inguinal dan Femoral

 Meskipun hernia dapat didefinisikan sebagai setiap

penonjolan viskus, atau sebagian daripadanya, melalui lubang

normal atau abnormal, 90% dari semua hernia ditemukan di daerah

inguinal. Biasanya impuls hernia lebih jelas dilihat daripada diraba.

 Pasien disuruh memutar kepalanya ke samping dan batuk

atau mengejan. Lakukan inspeksi daerah inguinal dan femoral

untuk melihat timbulnya benjolan mendadak selama batuk, yang

dapat menunjukkan hernia. Jika terlihat benjolan mendadak,

mintalah pasien untuk batuk lagi dan bandingkan impuls ini dengan

impuls pada sisi lainnya. Jika pasien mengeluh nyeri selama batuk,

tentukanlah lokasi nyeri dan periksalah kembali. 

Pemeriksaan Hernia Inguinalis

Palpasi hernia inguinal dilakukan dengan meletakan jari

pemeriksa di dalam skrotum di atas testis kiri dan menekan kulit

skrotum ke dalam. Harus ada kulit skrotum yang cukup banyak

untuk mencapai cincin inguinal eksterna. Jari harus diletakkan

dengan kuku menghadap ke luar dan bantal jari ke dalam. Tangan

kiri pemeriksa dapat diletakkan pada pinggul kanan pasien untuk

sokongan yang lebih baik.

Telunjuk kanan pemeriksa harus mengikuti korda spermatika

di lateral masuk ke dalam kanalis inguinalis sejajar dengan

Page 10: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

ligamentum inguinalis dan digerakkan ke atas ke arah cincin

inguinal eksterna, yang terletak superior dan lateral dari tuberkulum

pubikum. Cincin eksterna dapat diperlebar dan dimasuki oleh jari

tangan.

  Dengan jari telunjuk ditempatkan pada cincin eksterna atau di

dalam kanalis inguinalis, mintalah pasien untuk memutar kepalanya ke

samping dan batuk atau mengejan. Seandainya ada hernia, akan terasa

impuls tiba-tiba yang menyentuh ujung atau bantal jari penderita. Jika ada

hernia, suruh pasien berbaring terlentang dan perhatikanlah apakah

hernia itu dapat direduksi dengan tekanan yang lembut dan terus-menerus

pada massa itu. Jika pemeriksaan hernia dilakukan dengan perlahan-

lahan, tindakan ini tidak akan menimbulkan nyeri.

  Setelah memeriksa sisi kiri, prosedur ini diulangi dengan memakai

jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan. Sebagian pemeriksa lebih

suka memakai jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan pasien, dan

jari telunjuk kiri untuk memeriksa sisi kiri pasien. Cobalah kedua teknik ini

dan lihatlah cara mana yang anda rasakan lebih nyaman. Jika ada massa

skrotum berukuran besar yang tidak tembus cahaya, suatu hernia inguinal

indirek mungkin ada di dalam skrotum. Auskultasi massa itu dapat dipakai

untuk menentukan apakah ada bunyi usus di dalam skrotum, suatu tanda

yang berguna untuk menegakkan diagnosis hernia inguinal indirek.

Page 11: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Transluminasi Massa Skrotum

  Jika anda menemukan massa skrotum, lakukanlah transluminasi.

Di dalam suatu ruang yang gelap, sumber cahaya diletakkan pada sisi

pembesaran skrotum. Struktur vaskuler, tumor, darah, hernia dan testis

normal tidak dapat ditembus sinar. Transmisi cahaya sebagai bayangan

merah menunjukkan rongga yang mengandung cairan serosa, seperti

hidrokel atau spermatokel.

 Tabel 1. Diagnosis Banding Pembesaran Skrotum yang Lazim Dijumpai

 Diagnosis

Umur Lazim

(Tahun)

 Transiluminasi

EritemaSkrotum

 Nyeri

Epididimitis Semua

umur

Tidak Ya Berat

Torsio testis < 35 Tidak Ya Berat

Tumor testis < 35 Tidak Tidak Minimal

Hidrokel Semua

umur

Ya Tidak Tidak ada

Spermatokel Semua

umur

Ya Tidak Tidak ada

Hernia Semua

umur

Tidak Tidak Tidak ada

sampai

sedang*

Varikokel > 15 Tidak Tidak Tidak ada

* Kecuali kalau mengalami inkarserasi, di mana nyerinya mungkin berat 

Page 12: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

D. Penatalaksanaan

1. Konservatif

Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan

reposisi dan pemakaian penyangga atau penunjang untuk

mempertahankan isi hernia yang telah direposisi.

2. Operatif

Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan

hernia inguinalis yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu

diagnosis ditegakkan. Prinsip dasar operasi hernia adalah

hernioraphy, yang terdiri dari herniotomi dan hernioplasti.

 a. Herniotomi

Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke

lehernya. Kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada

perlekatan, kemudian direposisi, kantong hernia dijahit-ikat setinggi

mungkin lalu dipotong.

 b. Hernioplasti

Pada hernioplasti dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis

internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.

Hernioplasti lebih penting artinya dalam mencegah terjadinya residif

dibandingkan dengan herniotomi. Dikenal berbagai metode

hernioplasti seperti memperkecil anulus inguinalis internus dengan

jahitan terputus, menutup dan memperkuat fasia transversa, dan

Page 13: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

menjahitkan pertemuan m. tranversus internus abdominis dan m.

oblikus internus abdominis yang dikenal dengan nama conjoint tendon

ke ligamentum inguinale poupart menurut metode Bassini, atau

menjahitkan fasia tranversa m. transversus abdominis, m.oblikus

internus abdominis ke ligamentum cooper pada metode Mc Vay. Bila

defek cukup besar atau terjadi residif berulang diperlukan pemakaian

bahan sintesis seperti mersilene, prolene mesh atau marleks untuk

menutup defek.

E. Pencegahan

Kelainan kongenital yang menyebabkan hernia memang

tidak dapat dicegah, namun langkah-langkah berikut ini dapat

mengurangi tekanan pada otot-otot dan jaringan abdomen:

a. Menjaga berat badan ideal. Jika anda merasa kelebihan berat badan,

konsultasikan dengan dokter mengenai program latihan dan diet yang

sesuai.

b. Konsumsi makanan berserat tinggi. Buah-buahan segar, sayur-

sayuran dan gandum baik untuk kesehatan. Makanan-makanan

tersebut kaya akan serat yang dapat mencegah konstipasi.

c. Mengangkat benda berat dengan hati-hati atau menghindari dari

mengangkat benda berat. Jika harus mengangkat benda berat,

biasakan untuk selalu menekuk lutut dan jangan membungkuk dengan

bertumpu pada pinggang.

Page 14: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

d. Berhenti merokok. Selain meningkatkan resiko terhadap penyakit-

penyakit serius seperti kanker dan penyakit jantung, merokok

seringkali menyebabkan batuk kronik yang dapat menyebabkan

hernia inguinalis.

Page 15: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

DISPEPSIA

A. Pengertian

Dyspepsia merupakan gangguan saluran cerna pada bagian

epigastrium, kadang kala disertai dengan keluhan gastrointestinal

lainnya. dyspepsia merupakan gejala dan bukan diagnosis.

Dyspepsia mencakup gejala heterogen pada saluran cerna dengan

patofisiologi yang belum diketahui dengan jelas. Beberapa studi

menunjukkan perubahan dan dismotilitas lambung (misalnya pada

gastroparesis, disritmia lambung, akumulasi fundus abnormal,

disfungsi spingter pilori) pada 80 % penderita dyspepsia. Derajat

dismotilitas yang ditemukan tidak mempengaruhi gejala yang

dirasakan oleh pasien.

Kriteria Rome digunakan pada dyspepsia dan disusun serta

dimodifikasi secara berkala oleh komite khusus. Kriteria ini meliputi

Rome I, Rome II, dan Rome III. Dalam kriteria Rome III, dispepsia

ditandai oleh beberapa gejala berikut:

1. Post-prandial fullness yaitu sensasi penuh dan tidak menyenangkan

pada saluran cerna seolah-olah makanan tertahan pada saluran cerna.

2. Early satiety yaitu perasaan kenyang (overfilled) yang berlebihan

sesaat setelah memulai makan. Perasaan kenyang yang timbul tidak

sesuai dengan jumlah makanan yang dikonsumsi.

Page 16: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

3. Epigastric pain yaitu nyeri antara umbilikus dan bagian bawah sternum

(diantara midclavukular). Nyeri yang timbul sangat tidak

menyenangkan dan terkadang sulit dideskripsikan oleh penderita.

4. Epigastric burn yaitu nyeri yang berada pada epigastrum yang terasa

membakar.

Meskipun dahulu gejala dispepsia juga termasuk heartburn

(nyeri terbakar pada retrosternal), saat ini gejala ini sudah tidak

termasuk dalam kriteria diagnostik dan gejala spesifik dispepsia

serta GERD tetapi gejala ini seringkali ditemukan pada pasien

dengan dispepsia fungsional.

Page 17: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2
Page 18: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Pasien dengan gejala dyspepsia yang belum menjalani

pemeriksaan apapun dinamakan “univestigated dyspepsia”.

Investigasi diagnostik (upper gastrointestinal endoscopy,

pemeriksaan laboratorium, dan sinar-X) memberikan hasil normal

pada sekitar40-60 % penderita (dyspepsia fungsonal), dan pada

penderita lain penyebab organic atau structural dapat ditemukan.

Dyspepsia Organik atau Struktural

Pada pasien dengan dyspepsia ini penyebab utamanya yaitu

gangguan refluks esophageal (dengan atau tanpa esofagitis),

penyakit ulkus peptic kronik, dan tumor atau kanker pada saluran

cerna. Prevalensi gangguan refluks esophageal (GERD) pada

dyspepsia sekitar 25 %. Esofagitis yang erosif yang terlihat pada

pemeriksaan endoskopi ditemukan pada 5-15 % penderita

dyspepsia. Gejala umum dari GERD, heartburn, bukan indicator

yang dapat digunakan dalam membedakan GERD atau dyspepsia.

Ulkus peptic ditemukan pada sekitar 5-15 % pasien dengan

dyspepsia. Adenokarsinoma lambung atau esophageal ditemukan

< 2 % penderita.

Page 19: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Penyebab dyspepsia organic lainnya jarang ditemukan.

Nyeri klasik pada saluran empedu dapat dibedakan dengan

dyspepsia dengan mengkaji temuan klinis penyakit. Pada nyeri

saluran empedu terjadi nyeri akut dan hebat pada daerah abdomen

bagian atas, biasanya pada epigastrium, dan bertahan selama

kurang lebih 1 jam (kadang beberapa jam). Nyeri dapat terasa

hingga punggung dengan keluhan lain berupa kegelisahan,

berkeringat, atau muntah. Batu empedu biasanya merupakan

sumber timbulnya gejala dyspepsia. Obat-obatan AINS juga dapat

menyebabkan dyspepsia dan penggunaan obat-obatan ini

sebaiknya dihentikan. Beberapa obat yang juga menyebabkan

dyspepsia antara lain calcium chanel blocker (CCB), metilxantin,

alendronate, orlistat, suplemen potassium, akarbose, dan beberapa

antibiotic meliputi eritromisin dan metronidazol. Gastroparesis

timbul sebagai akibat adanya gangguan motilitas, muscular, atau

neural pada saluran cerna. Hal ini lebih sering ditemukan pada

wanita dan pada pasien dengan diabetes. Pankreaititis kronis dan

intoleransi laktosa juga dapat ditemukan pada penderita dyspepsia,

serta dapat menjadi salah satu penyebab dyspepsia. Penyebab

lainnya yaitu gastritis eosinofilik, sarkoidosis, serta gangguan

metabolism (hiperkalsemia, hiperkalemia), angina

intestinal,parasites intestinal, dan kanker pancreas.

Page 20: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Dyspepsia Fungsional

Dyspepsia fungsional merupakan dyspepsia yang terjadi

selama kurang lebih 3 bulan tanpa ditemukan adanya gangguan

metabolism atau sistemik. Patofisiologi dyspepsia fungsional belum

diketahui dengan jelas. Sekitar 25-45 % pasien mengalami

panundaan waktu pengosongan lambung, 40 % mengalami

gangguan akomodasi fundus, dan sepertiga penderita mengalami

Page 21: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

hipersensitivitas visceral.Tidak ada gejala spesifik pada dyspepsia

jenis ini.

Rome I dan II mendefinisikan dyspepsia fungsional sebagai

adanya nyeri dan perasaan tidak nyaman pada abdomen bagian

atas tanpa adanya penyakit yang mencetuskannya.

Rome II membagi pasien dengan dyspepsia dalam tiga grup

yaitu :

1. Ulcer-like dyspepsia, gejala utamanya yaitu nyeri dirasakan pada

abdomen bagian atas (uluhati)

2. Dysmotility-like dyspepsia, sensasi yang tidak menyenangkan dan

mengganggu yang berpusat pada abdomen bagian atas merupakan

gejala yang dominan, sensasi ini dapat dirasakan sebagai perasaan

penuh pada abdomen, mual, dan bengkak pada abdomen dan

kandung kemih.

3. Unspecified dyspepsia, yaitu dyspepsia yang tidak memenuhi criteria

diagnostic untuk ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia

Rome III kemudian memodifikasi gejala fungsional dyspepsia

menjadi empat gejala utama, yaitu :

1. Postprandial fullness

2. Early satiety

3. Epigastric pain

4. Epigastric burning

Page 22: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Setidaknya salah satu dari gejala timbul sekitar 3 bulan.

Gejala lainnya juga dapat timbul seperti bengkak pada abdomen,

mual, muntah, sendawa, dan heartburn.

Rome III menggolongkan dyspepsia fungsional kedalam 2

kategori yaitu :

1. Meal-induced postprandial distress syndrome (PDS) ditandai oleh

adanya gejala postprandial fullness dan early satiety

2. Epigastricpain syndrome (EPS) ditandai oleh adanya gejala nyeri dan

perasaan terbakar pada epigastrik.

Kriteria diagnostic untuk PDS, gejala-gejala yang dirasakan berupa:

1. Postprandial fullness yang terjadi setelah makan dengan porsi biasa

yang dirasakan beberapa kali dalam seminggu

2. Early satiety

Kriteria suportif :

1. Bengkak pada abdomen bagian atas dan mual

2. Timbulnya EPS

Kriteria diagnostic untuk EPS :

1. Nyeri dan rasa terbakar pada epigastrium

2. Nyeri intermiten pada abdomen

3. Nyeri berada pada bagian abdominal atau bagian dada

4. Nyeri tidak berhenti setelah defekasi

Page 23: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Kriteria suportif :

1. Nyeri dapat berupa perassan terbakar tetapi tidak mencapai daerah

retrosternal

2. Nyeri dapat berhenti setelah makan dan dapat terjadi pada saat puasa

3. Dapat disertai PDS

B. Penyebab Penyakit

Page 24: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab timbulnya

dispepsia, yaitu pengleuaran asam lambung berlebih, pertahanan

dindins lambung yang lemah, infeksi Helicobacter pylori (sejenis

bakteri yang hidup di dalam lambung dalam jumlah kecil, gangguan

gerakan saluran pencernaan, dan stress psikologis. Terkadang

dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius, contohnya

penyakit ulkus lambung yang parah. Tak jarang, dispepsia

disebabkan karena kanker lambung, sehingga harus diatasi dengan

serius. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan bila

terdapat salah satu dari tanda ini, yaitu:

1. Usia 50 tahun keatas

2. Kehilangan berat badan tanpa disengaja

3. Kesulitan menelan

4. Terkadang mual-muntah

5. Buang air besar tidak lancar

6. Merasa penuh di daerah perut

Penyebab dispepsia secara rinci adalah:

1. Menelan udara (aerofagi)

2. Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung

3. Iritasi lambung (gastritis)

4. Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis

5. Kanker lambung

6. Peradangan kandung empedu (kolesistitis)

Page 25: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

7. Intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya)

8. Kelainan gerakan usus

9. Stress psikologis, kecemasan, atau depresi

10. Infeksi Helicobacter pylory

C. Penatalaksanaan Pengobatan

Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:

1. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah

yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil

Page 26: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda

infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak

mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi.

Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak,

sebaiknya diperiksa asam lambung Pada karsinoma saluran

pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan

karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas

perlu diperiksa CA

2. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus

halus dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan

atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang

membaik atau memburuk bila penderita makan.

3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung

atau usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi

dari lapisan lambung.Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah

mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh

Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas,

selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.

4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD

dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath

test (belum tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan

terhadap saluranDapat menutup gejala malignant ulcers Kemungkinan

Page 27: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

besar untuk menyediakan jaminan pasien paling kurang. Jarang, efek

samping yang serius

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:

1. Antasid 20-150 ml/hari

Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan

menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na

bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid

jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk mengurangi

rasa nyeri. Mg trisilikat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga

berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun

dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk

senyawa MgCl2.

2. Antikolinergik

Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak

selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang

dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin

juga memiliki efek sitoprotektif.

3. Antagonis reseptor H2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia

organic atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk

golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin,

ranitidin, dan famotidin.

Page 28: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir

dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan

PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.

5. Sitoprotektif

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).

Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh

sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin

endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan

produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta

membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa

dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).

6. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan

metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia

fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan

memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance). Kadang kala

juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti- depresi dan

cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang

keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti

cemas dan depresi

Page 29: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2
Page 30: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2
Page 31: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2
Page 32: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

USUS BUNTU

A. Pengertian

Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, "buta")

dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada

usus halus serta bagian kolon menanjak dari usus besar.

Usus buntu atau yang dalam bahasa kedokteran adalah

appendix vermiformis merupakan organ bagian dari usus, besarnya

kira-kira sejari kelingking, terhubung dengan usus besar dan

terletak pada perut kanan bawah.

Page 33: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Fungsi dari usus buntu adalah untuk menyekresikan IgA

yang sangat efektif untuk perlindungan terhadap infeksi. Tetapi

perlu diketahui bahwa pengangkatan usus buntu hanya akan

sedikit mempengaruhi system pertahanan tubuh karena IgA yang

disekresi disini sangat sedikit sekali.

Seperti organ-organ tubuh yang lain, appendiks atau usus

buntu ini dapat mengalami kerusakan ataupun gangguan serangan

penyakit. Hal ini yang sering kali kita kenal dengan nama Penyakit

Radang Usus Buntu (Appendicitis).

Apabila gejala menyerupai gangguan maag Anda kumat,

hati-hati bisa jadi Anda sedang terserang peradangan usus buntu

yang akut. Pada penderita yang memiliki riwayat gangguan

Page 34: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

lambung sebelumnya, sering disangka karena kesalahan makan

sebagai penyebab utama serangan ini. Akan dirasakan tidak

nyaman di uluhati, mual bahkan muntah, perut terasa kembung

serta tidak dapat menentukan secara pasti di perut bagian mana

nyeri itu berasal. Tanda-tanda ini merupakan perjalanan khas

seseorang terkena apendecitis acut atau infeksi usus buntu yang

akut.

Beberapa jam setelah itu barulah dirasakan nyeri yang lebih

menetap di perut bagian kanan bawah, lokasi dimana appendik

atau usus buntu itu berada. Lebih sering disertai juga dengan

gangguan buang air besar. Mengalami diare sesaat atau mungkin

saja sembelit dan badan sedikit terasa meriang. Seiring dengan itu

nyeri di perut kanan bawah akan semakin parah. Sampai di situ,

jika perjalanan khas keluhan dirasakan semuanya seperti di atas

bisa dikatakan ketepatan diagnosa ke arah peradangan usus buntu

sudah mendekati 50%. Ditambah lagi dengan pemeriksaan fisik

yang dilakukan oleh dokter serta pemeriksaan penunjang yang

mendukung, maka kecurigaan penyakit ini semakin mendekati

kebenaran. Pemeriksaan penunjang yang menyokong apabila

didapatkan peningkatan jumlah leukosit atau sel darah putih

sebagai petanda infeksi pada test darah dan bila perlu dilakukan

pemeriksaan USG atau CT scan sebagai pelengkap lainnya.

Page 35: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Usus buntu atau appendik adalah salah satu nama organ

bagian dari usus yang letaknya di bagian kanan bawah perut

merupakan tonjolan usus yang ukurannya kurang lebih sepanjang

dan sebesar jari telunjuk orang bersangkutan. Sesuai namanya,

usus yang relatif kecil dan sempit ini pada ujungnya membuntu dan

karena anatominya yang seperti itu maka organ ini begitu rentan

terhadap kejadian infeksi. Dengan pangkal saluran yang kecil ini

relatif mudah terjadi sumbatan, baik oleh karena sisa makanan,

faeces yang membantu, cacing atau lendir. Tekanan ini lalu

menghambat pula aliran darah menuju ke organ tersebut sehingga

sedikit saja ada bakteri yang terjangkit akan sulit ditoleransi tubuh.

Dan terjadilah pembengkakan pada dinding, terbentuk pernanahan

hingga mengakibatkan kebocoran atau perforasi. Peradangan usus

buntu hampir dapat mengenai semua kelompok umur sekalipun

didapatkan kaum laki hampir satu setengah kali terjangkit dibanding

wanita. Kasusnya di Amerika cukup tinggi hampir 17% dari

populasi. Dan ternyata diagnostik pada golongan anak – anak serta

bayi jauh lebih sulit dibanding dewasa. Appendicitis Acut

merupakan penyakit infeksi di dalam rongga perut yang

membutuhkan pembedahan hampir pada sebagian besar kasus.

Peradangan usus buntu yang akut dapat berkembang menjadi

radang kronis dan kebanyakan jika tidak mendapat penanganan

yang optimal bisa berakibat fatal, bisa menjadi abses (pernanahan),

Page 36: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

kebocoran pada dindingnya dan penyebaran infeksi ke bagian

rongga perut yang lain hingga ke seluruh tubuh. Sehingga penyakit

ini membutuhkan pembedahan emergensi untuk mencegah

kejadian yang tidak diinginkan.

Penyakit radang usus buntu ini umumnya disebabkan oleh

infeksi bakteri, maupun faktor pencetusnya ada beberapa

kemungkinan yang sampai sekarang belum dapat diketahui secara

pasti. Di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan

saluran (lumen) appendiks oleh timbunan tinja/feses yang keras

(fekalit), hyperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, penyakit

cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan

striktur.

Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering

ditemukan dan kuat dugaannya sebagai penyebab adalah faktor

penyumbatan oleh tinja/feses dan hyperplasia jaringan limfoid.

Penyumbatan atau pembesaran inilah yang menjadi media

bagi bakteri untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam

tinja/feses manusia sangat mungkin sekali telah tercemari oleh

bakteri/kuman Escherichia coli, inilah yang sering kali

mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus

buntu.

Makan cabai bersama bijinya atau jambu klutuk beserta

bijinya seringkali tak tercerna dalam tinja dan menyelinap ke

Page 37: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

saluran appendiks sebagai benda asing. Seseorang yang

mengalami penyakit cacing (cacingan), apabila cacing yang

beternak di dalam usus besar lalu tersasar memasuki usus buntu

maka dapat menimbulkan penyakit radang usus buntu.

Radang usus buntu atau istilah medisnya appendicitis

merupakan proses peradangan dari usus buntu yang disebabkan

penyumbatan pada saluran usus buntu oleh karena adanya

timbunan tinja yang keras (fekalit) atau pembesaran jaringan limfoid

atau karena penyakit cacingan atau parasit atau akibat adanya

benda asing yang menyumbat atau karena tumor. Radang usus

buntu (appendicitis), bisa terjadi pada segala usia. Kasus terbanyak

pada usia delapan tahun sampai 25 tahun. Radang usus buntu

jarang terjadi pada anak di bawah dua tahun. Operasi dilakukan

untuk penyembuhan radang usus yang membengkak, operasi ini

membutuhkan perawatan terlebih dahulu kira-kira 3 bulan yang

tentunya akan sangat memakan banyak biaya. Bila terjadi gejala

usus buntu dalam waktu tiga hari berturut-turut, penderita harap

segera menghubungi dokter atau dating ke rumah sakit untuk

mendapatkan perawatan medis sehingga bisa langsung dioperasi,

akan tetapi jika gejala usus buntu dibiarkan lebih dari satu minggu,

maka perawatan medis serius sangat diperlukan untuk meredakan

radang usus yan terjadi sebelum penderita melakukan operasi

penyembuhan.

Page 38: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Sumbatan ini mengakibatkan peningkatan tekanan dalam

saluran usus buntu dan pertumbuhan kuman sehingga usus buntu

membengkak. Inilah yang dikenal sebagai akut atau fokal

appendicitis. Bila dibiarkan terus menerus, akan terjadi

penyumbatan pada vena dan memperparah membengkakan pada

usus buntu dan menyebabkan terjadinya iskemia (jaringan

kekurangan O2) pada usus buntu. Ujung-ujungnya, terjadi

pecahnya (perforasi) dari usus buntu, yang dapat menyebabkan

terjadinya peritonitis atau radang rongga perut dan segala

akibatnya.

B. Gejala penyakit

Gejala radang usus buntu sangat bervariasi. Gejala awal

umumnya nyeri atau merasa tidak enak di bagian tengah perut.

Gejala ini datang dan pergi sehingga sering dikira sakit perut biasa.

Setelah beberapa saat, nyeri makin terasa dan menetap di perut

kanan bawah. Rasa nyeri meningkat jika bergerak atau batuk.

Sering kali disertai kehilangan nafsu makan, tidak enak badan,

muntah, demam dan kulit memerah, nafas uga menjadi bau.

Karena gejala tidak terlalu khas, diagnosis penyakit juga

tidak mudah. Umumnya, dokter akan menanyakan sejarah

kesehatan serta sejarah keluarga. Orang yang ada di dalam

keluarga ada penderita radang usus buntu cenderung mengalami

Page 39: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

gangguan serupa. Dokter akan menekan perut bagian kanan

bawah untuk mengatasi sumber nyeri. Kadangkala dokter

melakukan pemeriksaan dalam dengan memasukkan jari ke anus

atau vagina. Juga dilakukan pemeriksaan darah dan urine untuk

mengetahui ada tidaknya infeksi. Jika dokter mau lebih pasti, bisa

dilakukan pemeriksaan tambahan berupa rontgen perut,

ultrasonografi usus buntu atau pemeriksaan computed tomography

(CT-scan). Sering kali pemeriksaan tambahan dianggap berlebihan

dan mahal. Jika dugaan kuat ada radang usus buntu, biasanya

dokter langsung menyarankan operasi. Karena gejalanya mirip

dengan sejumlah gangguan perut lain, tak heran tiga diantara 10

operasi terjadi pada usus buntu normal.

Beberapa ilmuwan Kanada menemukan bahwa polusi udara

mungkin menyebabkan peradangan usus buntu, demikian satu

studi baru yang disiarkan di dalam “Canadian Medical Association

Journal”.

Ahli gastroenterologi Dr Gilaad G Kaplan dari University of

Calgary dan timnnya mengkaji 5.191 orang dewasa yang di rawat

di rumah sakit di Calgary, antara 1999 dan 2006. Mereka

mendapati bahwa makin banyak orang di rawat di rumah sakit

karena menderita radang usus buntu selama beberapa bulan

musim yang lebih hangat antara april dan September ketika orang

lebih mungkin berada di luar rumah dan terpajan (exposed)

Page 40: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

terhadap polusi udara. Tim itu memeriksa silang data pendaftaran

rumah sakit dengan analisis bahan pencemar polusi udara satu

pecan sebelum mereka di rawat. Mereka mencapai pendaftaran

mencapai angka tertinggi pada hari-hari konsentrasi paling tinggi

ozon dan nitrogen dioksida.

Pria tampaknya lebih mungkin terpengaruh oleh radang usus

buntu selama pajanan terhadap polusi udara, tapi tidak jelas

apakah perbedaan jenis kelamin itu memang ada, kata para peneliti

tersebut sebagaimana dilaporkan kantor berita resmi Cina, Xinhua.

Tak seorang pun mengetahui apa penyebab radang usus buntu,

yang merupakan radang pada bagian tubuh yang mirip kantung

dan menempel pada usus yang lebih besar.

Sebagian ahli telah menyatakan bahwa makanan rendah

serat menjadi cirri khas negara industri mungkin mengakibatkan

kotoran mengganggu pembukaan usus buntu sehingga terjadi

infeksi. Namun, Kaplan menyatakan bahwa belum ada peningkatan

besar dalam kandungan serat dalam makanan orang Kanada

selama 20 tahun belakangan, tapi telah terjadi penurunan yang

sangat besar dalam peristiwa radang usus buntu dalam setengah

abad belakangan. Kasus radang usus buntu meningkat secara

tajam di Negara industri pada abad XIXdan awal abad XX, tapi

kemudian turun lagi pada pertengahan dan penghujung abad XX,

kata Kaplan dan penulis lain.

Page 41: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Penurunan itu terjadi bersama dengan adanya peraturan

guna mengurangi kemerosotan kualitas udara. Sementara itu,

peristiwa radang usus buntu di negara berkembang telah

meningkat sewaktu mereka menjadi lebih industrialis.

Kaplan mengakui timnya baru mengetahui hubungan antara

pajanan terhadap polusi udara dn radang usus buntu yang lebih

tinggi, mereka belum membuktikan sebab akibat tersebut.

Gejala usus buntu berdasarkan stadiumnya :

1. Penyakit Radang Usus Buntu akut.

Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi,

mual-muntah, nyeri perut kanan bawah, buat berjalan jadi sakit

sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan

menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau

mual-muntah saja.

2. Penyakit Radang Usus Buntu kronik.

Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag

dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan

terkadang demam yang hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa

mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke

perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis

akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney. Penyebaran rasa nyeri akan

bergantung pada arah posisi/letak usus buntu itu sendiri terhadap usus

besar, Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter,

Page 42: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih, dan

mungkin ada gangguan berkemih. Bila posisi usus buntunya ke

belakang, rasa nyeri muncul pada pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk

vagina. Pada posisi usus buntu yang lain, rasa nyeri mungkin tidak

spesifik begitu. Dapat pula diuji radang usus buntu atau peradangan

selaput perut (peritonitis) dengan cara tekanlah pelan-pelan dinding

perut diatas lipat paha kiri sampai terasa sedikit sakit.Kemudian

angkatlah tangan anda dengan cepat. Jika timbul rasa sakit yang

menusuk ketika tangan dilepas (sakit lepas tekan), maka kemungkinan

penyakitnya adlah radang usus buntu atau peradangan selaput perut.

Jika tidak terasa sakit ketika tangan dilepas, cobalah hal yang sama di

atas lipat paha kanan.

Tindakan yang perlu dilakukan pada penderita radang usus buntu

atau radang selaput perut :

1. Mintalah pertolongan dokter segera. Kalau mungkin, bawalah

penderita ke tempat dimana dapat dilakukan operasi.

2. Jangan berikan apapun melalui mulut dan jangan berikan larutan

perangsang buang air besar pada dubur (enema). Pemberian

beberapa teguk air atau minuman rehidrasi hanya kalau penderita

memperlihatkan tanda-tanda kehabisan cairan (dehidrasi)-tapi harus

diingat: jangan diberi makanan atau minuman lainnya.

3. Penderita harus berbaring setengah duduk dengan tenang. Jika

peradangan selaput perut sudah lanjut, dinding perut menjadi keras

Page 43: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

seperti papan. Penderita merasa sakit hebat ketika perutnya disentuh

meskipun secara ringan. Jiwanya dalam keadaan bahaya. Bawalah

penderita secepatnya ke rumah sakit dan dalam perjalanan, berikan

obat-obatan.

C. Penatalaksanaan Pengobatan

Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Tim

Kesehatan untuk menentukan dan mendiagnosa adanya penyakit

radang usus buntu (Appendicitis) oleh Pasiennya. Diantaranya

adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan radiology :

Pemeriksaan fisik.

Pada appendicitis akut, dengan pengamatan akan tampak

adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana dinding

perut tampak mengencang (distensi). Pada perabaan (palpasi)

didaerah perut kanan bawah, seringkali bila ditekan akan terasa

nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg

sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.

Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di

angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah.

Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah

bila pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri

Page 44: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

juga. Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla),

lebih menunjang lagi adanya radang usus buntu.

Pemeriksaan Laboratorium.

Pada pemeriksaan laboratorium darah, yang dapat

ditemukan adalah kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga

sekitar 10.000 ?18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih

dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi

(pecah).

Pemeriksaan radiologi.

Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit.

Namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan

diagnosis apendisitis. Ultrasonografi (USG) cukup membantu

dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71 – 97 %), terutama

untuk wanita hamil dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling

tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93 – 98 %). Dengan

CT scan dapat terlihat jelas gambaran apendiks.

Bila diagnosis sudah pasti, maka penatalaksanaan standar

untuk penyakit radang usus buntu (appendicitis) adalah operasi.

Pada kondisi dini apabila sudah dapat langsung terdiagnosa

kemungkinan pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan,

namun demikian tingkat kekambuhannya mencapai 35%.

Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup

Page 45: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

(laparoskopi). Setelah dilakukan pembedahan, harus diberikan

antibiotika selama 7 – 10 hari. Selanjutnya adalah perawatan luka

operasi yang harus terhindar dari kemungkinan infeksi sekunder

dari alat yang terkontaminasi dll.

Tak ada kontraindikasi untuk melakukan pembedahan pada

penderita appendicitis, tapi pada penderita yang telah terjadi abses

akibat perforasi mungkin perlu di terapi dengan drainase cairan dan

antibiotic infuse dan dioperasi setelahnya jika kondisinya sudah

cukup stabil.

Setelah mendapat terapi bedah, diharapkan kontrol 1 s/d 2

minggu untuk merawat luka dan penerangan sebab terjadinya

radang usus buntu. Penderita dapat kembali beraktivitas seperti

biasa 2 s/d 6 minggu setelah operasi, tergantung keadaan

penderita sebelum operasi dan cara operasi yang dipilih.

Page 46: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2
Page 47: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2

Obat tradisional yang digunakan untuk mengobati radang

usus buntu :

1. 15 gram sambiloto kering + 90 daun lidah buaya secukupnya (dikupas

kulit luarnya dan dipotong-potong) + 30 gram rumput lidah ular atau

rumput mutiara kering, masukan dalam wadah dan ditutup, lalu direbus

dengan 800 cc air hingga tersisa 400 cc, disaring, kemudian airnya

diminum untuk 2 kali sehari.

2. 60 gram jombang + 60 gram krokot, dicuci dan direbus dengan 800 cc

air hingga tersisa 400 cc, disaring, airnya diminum untuk 2 kali sehari.

3. 100 gram umbi bidara upas + 60 gram krokot + 60 gram gendola,

dicuci sampai bersih lalu dijus, airnya diminum. Lakukan 2 kali sehari.

4. Daun belimbing sayur dapat dipakai sebagai obat usus buntu. Ambil

daun belimbing, cuci bersih dengan air hangat lalu tumbuk hingga

halus. Beri sedikit air, kemudian peras sehingga mendapatkan ramuan

yang kental. Seduhlah ramuan ini dengan menggunakan setengah

cangkir air panas. Minumlah dua kali sehari, pagi dan malam hingga

Anda sembuh.

Page 48: Hernia, Dispepsia, Apendisitis 2