Top Banner
HERBISIDA ALAMI Air Kelapa Alat : Jerigen ukuran 10 Lt, Pisau Bahan : Air kelapa 5 Lt, Ragi 20 – 30 butir, Bawang putih 300 gr (diiris), Roundap 1 Lt Cara Pembuatan: Bahan dicampur dan dimasukan kedalam jerigen. Simpan selama 30 hari. Setiap 2 hari tutup jerigen dibuka untuk mengeluarkan gas. Gus Bensol 11 G (garam, U (Urea), S (Sabun Colek), Ben (Bensin) dan Sol (Solar). Kemudian angka 11, artinya semua bahan dengan perbandingan 1 (Kg) : 1 (Kg) : 1 (Wadah) : 1 (Liter) : 1 (Liter). Alur G 12 Alur G 12, terbuat dari Al (Air Laut) 12 liter, Ur (Urea) 2 kg dan G (salah satu nama Herbisida kontak) sebanyak 1 liter. Semua bahan dicampur dan kemudian dimasak hingga mendidih. Bahan ini dipraktekkan pada lahan jagung. Hervit Top 13 Hervit Top 13, berbahan Her (herbisida) 1 liter, Vit (Vitsin) 250 gram atau satu kantong dan Top (Toak Pahit) sebanyak 3 liter. Semua bahan dicampur dan bisa digunakan langsung sebagaimana biasanya. Heragur AH5 Berbahan Ragi, Urea, Air Hujan dan Herbisida dengan perbandingan Ragi Tape (1 kantong), Urea (1 kg), Herbisida (R) 1 liter dan Air Hujan sampai dengan 5 liter. Semua bahan dicampur dan diaduk sampai merata kemudian diperam dalam wadah yang kedap sinar dan disimpan selama 1 minggu. Racun rumput ini agar mudah mengingat bahan pembuatnya maka disebut Heragur AH5 sebagai maksudnya Her
28

Herbisida Alami

Jul 15, 2016

Download

Documents

Herbisida Alami
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Herbisida Alami

HERBISIDA ALAMI

Air Kelapa

Alat : Jerigen ukuran 10 Lt, Pisau

Bahan : Air kelapa 5 Lt, Ragi 20 – 30 butir, Bawang putih 300 gr (diiris), Roundap 1 Lt

Cara Pembuatan:

Bahan dicampur dan dimasukan kedalam jerigen. Simpan selama 30 hari. Setiap 2 hari tutup jerigen

dibuka untuk mengeluarkan gas.

Gus Bensol 11

G (garam, U (Urea), S (Sabun Colek), Ben (Bensin) dan Sol (Solar). Kemudian angka 11,

artinya semua bahan dengan perbandingan 1 (Kg) : 1 (Kg) : 1 (Wadah) : 1 (Liter) : 1 (Liter).

Alur G 12

Alur G 12, terbuat dari Al (Air Laut) 12 liter, Ur (Urea) 2 kg dan G (salah satu nama Herbisida

kontak) sebanyak 1 liter. Semua bahan dicampur dan kemudian dimasak hingga mendidih. Bahan ini

dipraktekkan pada lahan jagung.

Hervit Top 13

Hervit Top 13, berbahan Her (herbisida) 1 liter, Vit (Vitsin) 250 gram atau satu kantong dan Top

(Toak Pahit) sebanyak 3 liter. Semua bahan dicampur dan bisa digunakan langsung sebagaimana

biasanya.

Heragur AH5

Berbahan Ragi, Urea, Air Hujan dan Herbisida dengan perbandingan Ragi Tape (1 kantong), Urea (1

kg), Herbisida (R) 1 liter dan Air Hujan sampai dengan 5 liter. Semua bahan dicampur dan diaduk

sampai merata kemudian diperam dalam wadah yang kedap sinar dan disimpan selama 1

minggu. Racun rumput ini agar mudah mengingat bahan pembuatnya maka disebut Heragur AH5

sebagai maksudnya Her (herbisida), Rag (Ragi Tape), Ur (Urea) dan AH (Air Hujan) serta 5

maksudnya menjadi 5 liter.

Air Kakao (Air Fermentasi Kakao)

Bahan – bahannya Air Kakao, Sabun Colek, Urea dan Herbisida kontak (seperti G..). Cara dan

resepnya yaitu, memasak air biasa yang dicampur sabun colek (setengah kg) sambil terus diaduk

sampai rata atau larut dan mendidih. Setelah itu dicampurkan bahan-bahan lain seperi Urea ( 1 kg),

Herbisida (5 liter) dan Air Kakao (15 liter) dan diaduk hingga merata. Penggunaan racun rumput ini

ebanyak 200 ml untuk satu tangki Sprayer 16 literan. Biasa digunakan sebagai racun rumput kontak

untuk sawah. Kelemahan racun rumput ini adalah jika digunakan dengan Sprayer berbahan logam

akan mudah korosi atau berkarat.

Agar memudahkan mengingat maka penulis member nama resep ini dengan Arkosur H 515,

maksudnya Arko (Air Kakao), S (Sabun Colek), Ur (Urea), H (Herbisida) dan 515 (5 liter herbisida

Page 2: Herbisida Alami

dibandingkan 15 liter air kakao).

PEMANFAATAN SENYAWA ALELOPATI

Saat ini kebutuhan dan penggunaan herbisida kimia sintetis untuk tanaman perkebunan sangat tinggi.

Dalam rangka mendukung gerakan pertanian organik di Indonesia, diperlukan herbisida organik yang

efektif berskala komersial yang dapat menekan pertumbuhan gulma terutama pada tanaman

perkebunan lada.

Ada tiga jenis rumput yaitu masing-masing Dicanthium annulatum Stapf.,

Cenchruspennisetiformis Hochest and Sorghum halepense Pers., yang bersifat alelopatik dan mampu

berperan dan potensial sebagai bioherbisida (Javaid dan Anjum 2006). Dilaporkan pula bahwa

ekstrak terna dan akar dengan air dari ketiga jenis rumput tadi mampu menekan perkecambahan

gulma Parthenium

hysterophorus L. Selanjutnya ditambahkan pula bahwa ekstrak terna dari rumput D. annulatum

Stapf., dan C. pennisetiformis Hochest mempunyai daya bunuh yang lebih kuat terhadap gulma P.

hysteriporus dibandingkan dengan S. halepense.

Beberapa jenis senyawa alelopati yang cukup potensial antara lain berasal dari ekstrak tumbuhan

alang-alang (Imperata cylindrica), akasia (Acacia mangium), jagung (Zea mays) dan pinus (Pinus

merkussi). Penggunaan senyawa alelopati dari keempat tumbuhan cukup prospektif karena relatif

mudah didapat, murah dan dengan jumlah biomas yang cukup memadai.

Ekstrak ini bisa didapat dari semua bagian alang-alang mulai dari akar, batang dan bagian lainnya.

Namun menurut penelitian, allelopathy paling banyak ditemukan pada bagian akarnya dan ekstrak

tersebut akan banyak jumlahnya jika akar yang digunakan banyak pula (http://www.pemanfaatan-

allelopathy -alang-alang.html 19 September

2011)

Alang-alang

Tumbuhan alang-alang merupakan gulma yang sangat merugikan petani lada di Kabupaten Beltim.

Namun demikian, alang-alang juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioherbisida yang cukup

efektif dan potensial.

Ekstrak Rhizome alang-alang dan daun akasia mampu menekan panjang tunas jagung

(http://4m3one.wordpress.com. 21 desember 2010) . Lebih lanjut dilaporkan pula bahwa eksudat

rhizome alang-alang sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan gulma daun lebar. Namun

demikian, penggunaan ekstrak rhizome alang-alang perlu dibatasi mengingat ekstrak alang-alang

tersebut juga dapat menghambat pertumbuhan tanaman semusim (http://hasanuzzaman.

weebly.com/allelopathy. pdf. 5 Juni 2011).

Akasia

Page 3: Herbisida Alami

Telah dilaporkan bahwa dari hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak alelopati dari daun, kulit

batang dan akar dari akasia (Acacia

mangium Wild) berpengaruh negatif terhadap perkecambahan benih kacang hijau (Phaseolus radiatus

L) dan benih jagung (Zea mays). Selanjutnya ditambahkan pula bahwa daya hambat senyawa

alelopati yang ada di Acacia mangium Wild pada benih jagung lebih tinggi dibanding pada benih

kacang hijau (Febian Tetelay 2003 dalam http://www.irwantoshut.com . 21 September 2011).

Selanjutnya dilaporkan pula bahwa allelokimia yang berasal dari ekstrak Imperata cylindrica dan A.

mangium mungkin bekerja mengganggu proses fotosintesis atau proses pembelahan sel. Penekanan

pertumbuhan dan perkembangan karena ekstrak alang-alang dan akasia ditandai dengan penurunan

tinggi tanaman, penurunan panjang akar, perubahan warna daun

(Dari hijau normal menjadi kekuning-kuningan) serta bengkaknya akar

(http://id.wikipedia.allelopati/wiki/2009).

c. Jagung (Zea mays )

Informasi mengenai daya hambat pertumbuhan yang disebabkan oleh senyawa alelopati yang ada di

jagung masih sangat terbatas. . Dalam sebuah laporan dinyatakan bahwa ekstrak akar jagung dapat

digunakan untuk menghambat gulma melalui peningkatan aktivitas enzim katalase dan peroksidase.

Dilaporkan pula bahwa sisa tanaman jagung mengandung lima jenis senyawa asam fenolat penyebab

alelopati yaitu asam verulat, as pkoumarat, asam siringat, asam vanilat, dan asam hidroksibenzoat

potensial untuk menekan gulma (Guenzi dan Mc Calla 1966).

d. Pinus

Dari beberapa kajian ekologis pada daerah pertumbuhan pohon pinus menunjukkan tidak ada

pertumbuhan tanaman herba, hal tersebut diduga karena serasah daun pinus yang terdapat pada tanah

mengeluarkan zat alelopati yang menghambat pertumbuhan herba. Hal tersebut diperkuat dengan

hasil uji efektivitas ektrak daun pinus menunjukkan bahwa senyawa alelopati yang terdapat dalam

ekstrak daun pinus dapat menghambat perkecambahan benih Amaranthus viridis

(http://digilib.upi.edu/pasca/available. 29 September 2011). Lebih lanjut Noguchi et al. 2009

melaporkan pula bahwa ektrak metanol daun pinus merah dapat menghambat pertumbuha akar dan

batang tanaman seledri (Lepidium sativum), selada (Lactuca sativa), alfalfa (Medicago sativa), dan

gandum hitam (Lolium multiforum), Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan senyawa pada

daun pinus merkusii mempunyai potensi sebagai bahan bioherbisida untuk mengkontrol pertumbuhan

gulma yang dapat menganggu pertumbuhan produksi tanaman pangan antara lain tanaman padi. Salah

satu gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman padi adalah Echinochloa colonum dan

Amaranthus viridis.

Pinus merkusii memiliki saluran resin yang dapat menghasilkan suatu metabolit sekunder bersifat

alelopati. Alelokimia pada resin tersebut termasuk pada kelompok senyawa terpenoid, yaitu

monoterpen α-pinene dan β-pinene dan senyawa tersebut diketahui bersifat toksik baik terhadap

serangga maupun tumbuhan (Taiz dan Zeiger, 1991).. Selain itu, senyawa tersebut merupakan bahan

Page 4: Herbisida Alami

utama pada pembuatan terpentin. Monoterpen (C–10) merupakan minyak tumbuh-tumbuhan yang

terpenting yang juga bersifat racun (Sastroutomo 1990).

UJI EKSTRAK DAUN GULMA BABADOTAN (Ageratum conyzoides L.) TERHADAP

PERKECAMBAHAN DAN PERTUBUHAN GULMA Chromolena odorata L.

PENDAHULUAN

Gulma merupakan tumbuhan yang tidak dikehendaki keberadaannya dan menimbulkan kerugian

sehingga perlu dikendalikan (Monaco, 2002). Pengendalian gulma merupakan suatu usaha untuk

mengubah keseimbangan ekologis yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan gulma, tetapi tidak

berpengaruh negatif terhadap tanaman budidaya (Sukman dan Yakup, 2002). Pengendalian gulma

dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan bahan kimia (herbisida). Herbisida dapat

dibagi menjadi herbisida sintetik dan herbisida organik (bioherbisida). Penggunaan herbisida sintetik

dapat menimbulkan berbagai masalah, yaitu biaya penyediaan herbisida yang mahal, pencemaran

lingkungan, penurunan kadar organik tanah, dan gulma menjadi toleran terhadap jenis herbisida

tertentu. (Duke et. al, 1993).

Alternatif lain agar terhindar dari masalah tersebut dengan menggunakan bioherbisida yaitu berasal

dari tumbuhan yang mengandung senyawa alelopat yang dapat menghambat atau mematikan

pertumbuhan tanaman sekitar. Bioherbisida ini ramah lingkungan karena tidak mengandung bahan

berbahaya, tidak meninggalkan residu atau mencemari tanah sehingga aman bagi manusia maupun

hewan, dan telah banyak digunakan dalam sistem pertanian organik (Anonim, 2009).

Babadotan (Ageratum conyzoides L.) merupakan salah satu gulma yang dapat berpotensi sebagai

bioherbisida karena mempunyai senyawa alelopat. Potensi ini dapat dilihat dari indikasi dominannya

babadotan dibandingkan gulma lain dalam suatu lahan (Sukamto, 2007). Muhabbibah (2009) telah

melakukan penelitian tentang potensi ekstrak basah daun dan batang babadotan terhadap persentase

perkecambahan gulma Mimosa pudica dalam petridish selama sembilan hari, didapatkan hasil bahwa

konsentrasi ekstrak 15% berpengaruh menekan paling besar terhadap laju perkecambahan pada

spesies Mimosa pudica dibandingkan konsentrasi yang lain ( 0, 2,5, 5 dan 10% ).

Khairiyati (2013) telah melakukan penelitian tentang potensi alelopati ekstrak daun kering

Calopogonium mucunoides terhadap perkecambahan dan pertumbuhan gulma Paspalum conjugatum

Berg. dan Cyperus kyllingia. Penelitian ini dilakukan selama empat minggu, menggunakan pelarut

aquades dengan masing-masing konsentrasi ekstrak yaitu ( 0, 2, 6, 18, dan 54%). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun Calopogonium mucunoides dengan konsentrasi rendah

(2, 6, 18 %) sudah berpengaruh nyata terhadap perkecambahan, pertumbuhan dan meningkatkan

persentase kematian anakan gulma Paspalum conjugatum dan Cyperus kyllingia. Sedangkan

konsentrasi 54% kurang efektif karena hanya sedikit terjadi peningkatan persentase penurunan

perkecambahan dan pertumbuhan maupun persentase kematian gulma. Selain itu, ekstrak terlalu

Page 5: Herbisida Alami

kental dan membutuhkan daun Calopogonium mucunoides sebagai pengendali dalam jumlah yang

banyak, sehingga dalam penelitian ini tidak perlu meningkatkan konsentrasi yang lebih tinggi.

Gulma sasaran yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gulma Chromolaena odorata yang

merupakan gulma yang dominan dan merugikan di lahan perkebunan. Chromolaena odorata banyak

ditemukan di perkebunan karet, kelapa sawit, kelapa, jambu mente dan sebagainya (Muniappan dan

Marutani, 1988).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh alelopat ekstrak daun Ageratum

conyzoides terhadap perkecambahan dan pertumbuhan gulma Chromolaena odorata, dan menentukan

konsentrasi optimum alelopat ekstrak daun babadotan (Ageratum conyzoides yang dapat menghambat

perkecambahan dan pertumbuhan gulma Chromolaena odorata.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2013 di Laboratorium Botani dan di Rumah Kasa

Kebun Biologi FMIPA Universitas Riau.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji gulma Chromolena odorata, daun Ageratum

conyzoides, aquades, tanah top soil, dan formalin 4%. Sedangkan alat yang digunakan adalah blender,

kertas saring, timbangan digital, polibag (35 x 40 cm), handsprayer, ayakan tanah, kertas label,

penggaris dan alat tulis.

Prosedur Penelitian

Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak daun Ageratum conyzoides 5 % yaitu ditimbang daun Ageratum conyzoides

sebanyak 25 g bubuk daun kering kemudian direndam dengan 500 ml akuades selama 24 jam dalam

suhu ruang, campuran tersebut kemudian disaring. Cara yang sama juga dilakukan untuk konsentrasi

ekstrak 10 % dari 50 g berat kering daun, 15 % dari 75 g berat kering daun dan 20 % dari 100 g berat

kering daun. Kontrol dibuat dengan menggunakan akuades tanpa penambahan ekstrak.

Persiapan Media

Page 6: Herbisida Alami

Tanah top soil dikeringanginkan, lalu diayak. Tanah yang sudah diayak kemudian disterilisasikan

dengan menyemprotkan formalin 4% dan diinkubasi selama 3 hari. Setelah itu, tanah

dikeringanginkan selama 7 hari, kemudian dimasukkan ke dalam polibag (35 x 40 cm). Polibag-

polibag tersebut diletakkan di kebun Biologi FMIPA, Universitas Riau.

Pengumpulan Biji Gulma

Biji gulma Chromolaena odorata diambil dari gulma yang tumbuh liar di daerah sekitar Panam.

Biji dikumpulkan dari gulma yang telah masak dengan tanda berwarna kekuningan atau coklat, biji

dikeluarkan dari buah dan direndam dalam air. Biji yang tenggelam diambil dan digunakan pada

penelitian.

Penyemaian Biji Gulma

Polibag yang telah berisi tanah disiram hingga kapasitas lapang, kemudian biji gulma Chromolaena

odorata disebarkan merata diatas permukaan tanah, masing-masing 20 biji dalam polibag.

Perlakuan Penelitian

Pemberian ekstrak daun Ageratum conyzoides dengan cara penyemprotan dilakukan pada jam 10 pagi

dimulai pada saat penanaman. Penyemprotan pada biji sebanyak 10 mL dilakukan sampai biji gulma

dan tanah di sekitar biji lembab, sedangkan untuk penyemprotan anakan gulma sebanyak 20 mL

dilakukan merata ke seluruh daun dan juga tanah. Pemberian ekstrak selanjutnya dilakukan setiap 3

hari sekali selama 4 minggu waktu pengamatan dengan total 11 kali perlakuan (Khairiyati, 2013;

Murtini, 2013)

Pemeliharaan

Penyiraman dilakukan secara rutin pada saat tidak diberikan perlakuan untuk menjaga kelembaban

tanah dan dilakukan penyiangan untuk membersihkan tumbuhnya gulma lain yang tidak diinginkan.

Pemanenan Gulma

Pemanenan anakan gulma Chromolaena odorata, dilakukan pada saat akhir minggu keempat setelah

penanaman biji. Pemanenan anakan gulma dilakukan dengan merobek masing-masing polibag dan

mengeluarkan gulma secara hati-hati. Tanah yang melekat dibersihkan dengan air. Kemudian anakan

gulma diletakkan beberapa menit di atas kertas koran untuk menyerap air yang tersisa.

Parameter Pengamatan

Page 7: Herbisida Alami

Parameter yang diamati meliputi saat muncul kecambah, persentase perkecambahan, kecepatan

perkecambahan, jumlah daun, tinggi tanaman, panjang akar, berat akar, berat basah dan persentase

kerusakan anakan gulma.

Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan akan dianalisis dengan menggunakan Analysis Of

Variante (ANOVA) One Way. Apabila hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata,

diuji lanjut dengan menggunakan Duncan’s Multi Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Data dianalisis

dengan menggunakan SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Perkecambahan Chromolena odorata L.

Hasil uji DMRT menunjukkan, waktu muncul kecambah yang lambat dan penurunan persentase

perkecambahan gulma mulai terjadi pada konsentrasi ekstrak daun 10%, sedangkan penurunan

kecepatan perkecambahan mulai terjadi pada konsentrasi ekstrak daun 5%. dan semakin tinggi

konsentrasi ekstrak maka kemampuan perkecambahannya semakin menurun. Penghambatan

perkecambahan yang terjadi pada gulma Chromolena odorata tertinggi terlihat pada konsentrasi

ekstrak daun 20%, yaitu mampu menurunkan persentase perkecambahan Chromolena odorata

mencapai 73,2 % dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan parameter perkecambahan Chromolena

odorata L. terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkecambahan Chromolena odorata L. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun Ageratum

conyzoides L.

Konsentrasi

Ekstrak

Saat Muncul Kecambah

(Hari)

Persentase

Perkecambahan (%)

Kecepatan Perkecambahan

(Biji/hari)

0% 3.2 a 77 c 0.55 c

5% 4.4 ab 37 b 0.26 b

10% 5.0 ab 28 ab 0.20 ab

15% 6.0 bc 25 ab 0.18 ab

20% 7.6 c 15 a 0.11 a

Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji

lanjut DMRT taraf 5%

Penurunan kemampuan perkecambahan biji gulma Chromolena odorata diduga karena adanya

senyawa alelopat dalam ekstrak daun Ageratum conyzoides. Menurut Master (2012) bahwa alelopat

mampu menurunkan perkecambahan biji dan memperlambat waktu perkecambahan, karena senyawa

Page 8: Herbisida Alami

alelopat mengakibatkan terjadinya penghambatan aktivitas enzim-enzim yang melakukan degradasi

cadangan makanan dalam biji sehingga energi tumbuh yang dihasilkan sangat rendah dan dalam

waktu lebih lama akan menurunkan potensi perkecambahan. Sastroutomo (1990) menyatakan bahwa

mekanisme alelopati antara lain menghambat aktivitas enzim. Menurut Fitter dan Hay (1991)

alelopati dapat menyebabkan terjadinya degradasi enzim dari dinding sel, sehingga aktivitas enzim

menjadi terhambat atau mungkin menjadi tidak berfungsi. Hambatan fungsi enzim α amylase dan ß

amylase pada degradasi karbohidrat, enzim protease pada degradasi protein, enzim lipase pada

degradasi lipida dalam benih menyebabkan energi tumbuh yang dihasilkan selama proses

perkecambahan menjadi sangat sedikit dan lambat, sehingga proses perkecambahan menurun dan

waktu munculnya kecambah semakin lambat.

Biji gulma Chromolena odorata L. yang diberikan ekstrak daun Ageratum conyzoides dengan

konsentrasi tinggi sebagian mengalami penghambatan untuk berkecambah, sehingga hanya sedikit

yang mampu berkecambah. Hal ini menandakan bahwa ekstrak dari daun gulma Ageratum

conyzoides sangat mempengaruhi perkecambahan biji gulma Chromolena odorata. Wirakusumah

(2003) menyatakan bahwa alelopati yang dihasilkan tanaman dapat memberikan pengaruh yang

bersifat merusak, menghambat, dan merugikan bagi tanaman dilingkungan sekitarnya.

b. Pertumbuhan Chromolena odorata L.

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang nyata pada perlakuan

konsentrasi ekstrak daun Ageratum conyzoides L. terhadap pertumbuhan anakan gulma Chromolena

odorata L. Hasil pengamatan parameter pertumbuhan anakan gulma Chromolena odorata L. dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pertumbuhan Chromolena odorata L. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun Ageratum

conyzoides L

Konsentrasi

Ekstrak

Jumlah

Daun

Tinggi Tanaman

(cm)

Berat Akar (g) Panjang Akar

(cm)

Berat Basah

(g)

0% 4.12 b 2.48 c 0.17 c 2.20 c 0.34 c

5% 3.66 b 1.98 bc 0.13 bc 1.90 bc 0.26 b

10% 3.48 b 1.94 ab 0.12 b 1.58 abc 0.22 b

15% 3.32 b 1.58 ab 0.10 ab 1.34 ab 0.22 b

20% 2.16 a 1.42 a 0.08 a 96 a 0.12 a

Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji

lanjut DMRT taraf 5%

Page 9: Herbisida Alami

Hasil uji DMRT menunjukkan adanya respon terhadap peningkatan konsentrasi ekstrak daun

Ageratum conyzoides terhadap pertumbuhan anakan gulma. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun

Ageratum conyzoides yang diberikan, mengakibatkan pertumbuhan gulma Chromolena odorata.

Penghambatan tertinggi terjadi pada konsentrasi ekstrak daun 20%, rerata penurunan pertumbuhan

anakan gulma Chromolena odorata yaitu sebesar 64,70 % dibandingkan kontrol. Pertumbuhan anakan

gulma Chromolena odorata dengan perlakuan ekstrak daun Ageratum conyzoides dapat dilihat pada

Gambar 1.

Mekanisme pengaruh alelokimia yang dapat menghambat pertumbuhan gulma Chromolena odorata

L. melalui serangkaian proses yang cukup kompleks, menurut Einhellig (1995) proses tersebut

diawali di membran plasma dengan terjadinya perubahan struktur, modifikasi saluran membran, atau

hilangnya fungsi enzim ATP-ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan dan konsentrasi ion

dan air yang kemudian mempengaruhi pembukaan stomata dan proses fotosintesis. Hambatan

berikutnya diduga terjadi pada saat proses sintesis protein, pigmen dan senyawa karbon lain, serta

aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh hambatan tersebut kemudian bermuara pada

terganggunya pembelahan dan pembesaran sel yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan

perkembangan tumbuhan sasaran.

Tanaman Ageratum conyzoides diketahui mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid,

alkaloid, terpena, kromen, kromon, benzofuran, kumarin, minyak atsiri, sterol dan tanin (Kamboj dan

Saluja, 2008). Menurut Sukamto (2007) bahwa kemampuan alelopati daun Ageratum conyzoides

sebagai alelopati diidentifikasi karena adanya 3 phenolic acid yaitu gallic acid, coumalic acid dan

protocatechuic acid. Adanya senyawa fenol pada daun Ageratum conyzoides dapat menghambat

pertumbuhan gulma. Hal ini sesuai dengan Einhellig (1995) yang menyatakan bahwa senyawa fenol

dan derivatnya akan mempengaruhi beberapa proses penting seperti pembelahan sel, penyerapan

mineral, keseimbangan air, respirasi, fotosintesis, sintesis protein, klorofil dan fitohormon. Menurut

Wattimena (1987) gangguan mitosis oleh senyawa fenol disebabkan karena fenol merusak benang-

benang spindel pada saat metafase. Hambatan pembelahan sel oleh senyawa alelokimia ekstrak daun

Ageratum conyzoides dapat pula melalui gangguan aktivitas hormon tumbuhan seperti sitokinin yang

berperan dalam memacu pembelahan sel. Menurut Ardi (1999) bahwa adanya senyawa alelokimia

berupa fenol akan menghambat aktivitas sitokinin. Hambatan ini menyebabkan pembelahan sel pada

bagian meristem pucuk terganggu sehingga menghambat pertumbuhan tinggi gulma Chromolena

odorata. Hambatan pertumbuhan tinggi gulma Chromolena odorata. berpengaruh menurunkan berat

basah karena organ yang menyerap air dan hasil fotosintesis lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan

pendapat Alfandi dan Dukat (2007) bahwa pertumbuhan tinggi tanaman berpengaruh terhadap berat

basah tanaman. Senyawa alelokimia pada ekstrak daun Ageratum conyzoides. cenderung memberikan

pengaruh terhadap penurunan berat basah gulma Chromolena odorata pada konsentrasi 5 %.

Page 10: Herbisida Alami

c. Kerusakan Anakan Gulma Chromolena odorata L.

Berdasarkan hasil uji DMRT dari penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun Ageratum

conyzoides berpengaruh nyata pada kerusakan anakan gulma Chromolena odorata. Hasil pengamatan

persentase kerusakan anakan gulma dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Persentase Kerusakan Anakan Gulma Chromolena odorata L. pada berbagai

konsentrasi ekstrak daun Ageratum conyzoides L.

Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji

lanjut DMRT taraf 5%

Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa persentase kerusakan yang terjadi pada

anakan gulma meningkat seiring bertambahnya tingkat konsentrasi ekstrak daun Ageratum

conyzoides. Peningkatan persentase kerusakan anakan gulma Chromolena odorata berbeda nyata

dimulai pada konsentrasi ekstrak 15 %, namun pada konsentrasi ekstrak 5 % sudah menunjukkan

adanya peningkatan persentase kerusakan apabila dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan

persentase kerusakan anakan gulma Chromolena odorata terjadi pada konsentrasi ekstrak 20%, yaitu

mencapai 46.66 %.

Kerusakan pada anakan gulma mulai terjadi pada minggu ketiga, yaitu terjadi perubahan warna daun

yang semula hijau berubah menjadi kekuningan, hal ini merupakan gejala dari klorosis. Klorosis

merupakan suatu keadaan abnormal yang terjadi pada daun akibat kekurangan klorofil, sehingga dapat

menghambat proses fotosintesis. Jika proses fotosintesis pada tumbuhan terhambat, maka

pembentukan glukosa yang merupakan produk dari fotosintesis juga akan terhambat, glukosa

dibutuhkan dalam proses respirasi sel yang bertujuan untuk menghasilkan energi yang akan

digunakan untuk aktivitas sel dan kehidupan sel. Aktivitas sel akan terhenti jika energi didalam sel

tidak dihasilkan. Klorosis dapat juga terjadi akibat masuknya senyawa alelopat yang terkandung

dalam ekstrak daun Ageratum conyzoides bersama air. Salah satu dari fungsi air bagi tumbuhan

adalah menjadi bahan dasar bagi reaksi-reaksi biokimia. Molekul air dapat berinteraksi secara

)%( Persentase Kerusakan

Ekstrak Konsentrasi

0% 0.00 a

5% 6.60 ab

10% 18.33 ab

15% 28.83 bc

20% 46.66 c

Page 11: Herbisida Alami

langsung sebagai komponen reaktif dalam proses metabolisme didalam sel tumbuhan. Beberapa

reaksi didalam tumbuhan yang melibatkan air secara langsung sebagai komponen reaksi adalah

fotosintesis. Jika tumbuhan kekurangan air, maka proses fotosintesis tidak berjalan, sehingga tidak

akan dihasilkan glukosa dan klorofil didalam kloroplas tidak terpakai, sebab dalam proses fotosintesis

yang bertugas menyerap energi cahaya matahari untuk menggerakan sintesis molekul makanan dalam

kloroplas adalah klorofil, hal ini mengakibatkan klorofil terdegradasi (Larasati, 2011).

Gejala kerusakan gulma Chromolena odorata selain klorosis dan nekrosis yaitu terjadinya kelayuan

pada gulma. Menurut Yusuf (2011) bahwa layu merupakan gejala sekunder yang disebabkan karena

adanya gangguan dalam berkas pengangkutan atau adanya kerusakan pada susunan akar yang

menyebabkan penguapan dengan pengangkutan air tidak seimbang. Pada penelitian ini gejala

kelayuan pada anakan gulma mulai terlihat pada konsentrasi 10 % ekstrak. Semakin tinggi

kandungan senyawa alelopati yang terakumulasi dalam tanah menyebabkan terjadinya perbedaan

potensial air antara larutan dalam tanah dan jaringan gulma. Air yang berada dalam jaringan gulma

akan keluar, sehingga mengakibatkan gulma menjadi layu.

Pengaplikasian ekstrak daun Ageratum conyzoides sebagai bioherbisida ini apabila dilihat dari sistem

kerjanya tergolong sistemik yaitu cara kerja ekstrak daun Ageratum conyzoides ditranslokasikan

keseluruh tubuh atau bagian jaringan gulma, mulai dari daun sampai keperakaran atau sebaliknya dan

tidak langsung mematikan jaringan tanaman yang terkena, namun bekerja dengan cara menganggu

proses fisiologi jaringan tersebut lalu dialirkan kedalam jaringan tanaman gulma dan mematikan

jaringan sasaran seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai keperakaran. Efek terjadinya hampir sama

merata keseluruh bagian gulma, mulai dari bagian daun sampai perakaran, sehingga proses

pertumbuhan juga terjadi sangat lambat dan rotasi pengendalian dapat lebih lama atau panjang (Purba,

2009).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun Ageratum

conyzoides berpengaruh nyata menurunkan perkecambahan dan pertumbuhan serta meningkatkan

persentase kerusakan pada anakan gulma Chromolena odorata. Konsentrasi ekstrak daun 20%

merupakan konsentrasi optimum yang dapat menghambat perkecambahan, pertumbuhan serta

meningkatkan persentase kerusakan anakan gulma Chromolena odorata berturut-turut sebesar 73,2

%, 64,70 % dan 46,66 %. Berdasarkan hasil pengamatan yang didapat maka disarankan melakukan

uji alelopat dari ekstrak daun gulma Ageratum conyzoides terhadap jenis gulma berdaun lebar,

berdaun sempit dan jenis teki lain untuk mengetahui potensi alelopat dari ekstrak daun gulma

Ageratum conyzoides tersebut.

Page 12: Herbisida Alami

LAPORAN PRAKTIKKUM ILMU GULMA

“PENGARUH EKSTRAK JENGKOL TERHADAP PERTUMBUHAN GULMA”

1.1  Latar Belakang

Menurut Prof Bill, gulma adalah tumbuhan yang salah tempat. Beliau menyatakan ada 2 pengertian

yaitu : a) tumbuhan ruderal; b) tumbuhan liar. Sedangkan Mangun sukardjoe (1983), menyatakan

bahwa gulma adalah tumbuhan yang mempunyai nilai (-) atau merugikan kepentingan manusia baik

langsung maupun tidak langsung. Kemudian Soeryani (1988) mengemukan bahwa gulma adalah

sebagai tumbuhan yang peranan, poetnsi, dan hakikat kehadriannya  tidak / belum diketahui.

Sehingga secara subjektif, gulma dapat didefenisikan sebagai berikut :

1)      Tumbuhan yang tidak dikehendaki manusia;

2)      Semua tumbuhan yang tumbuh selain tanaman yang dibudidayakan ;

3)      Tumbuhan yang masih belum diketahui manfaatnya;

4)      Tumbuhan yang mempunyai nilai (-) terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak

langsung;

5)      Tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak diinginkan.

Dari berbagai pengertian gulma tersebut dapat juga diketahui pengaruh negatif gulma terhadap

aktivitas tertentu dalam kehidupan, yaitu :

1.      Dapat mengakibatkan kerugian terhadap tanaman yang dibudidaya

2.      Biaya lebih tinggi, baik itu biaya herbisida mapun buruh

3.      Dampak sosial

4.      Dampak lingkungan

5.      Berkurangnya hasil baik secara kuantitas dan kualitas

6.      Gulma akam mengeluatkan zat alelopati yang dapat menganggu tanaman

7.      Gulma akan bisa menjadi inang sementara bagi hama dan patogen

8.      Gulma dapat mengganggu tata guna air, yakni aliran air dapat terhambat, biji –biji gulma ikut

mengalir ( penyebaran biji gulma)

9.      Mengganggu saat panen

10.  Mengganggu estetika ( mengurangi nilai keindahan)

           Maka secara umum dengan kehadiran gulma ini akan meningkatkan biaya petani, karena

pengendaliannya. Saat ini pengendalian gulma masih terbatas sejauh dengan pemanfaatanya yang

Page 13: Herbisida Alami

belum diketahui. Namum tidak jarang para peneliti yang memanfaatkan gulma sebagai pengendalian

hayati bagi serangga hama ataupun patogen. Misalnya sebagai pestisida nabati, fungisisda nabati dan

lain-lain.

           Didalam pengaruh negatif gulma telah singgung mengenai zat alelopati. Zat alelopati ini bisa

saja dihasilkan oleh gulma atau produk tanaman tertentu misalnya akar, batang, daun atau buah ( kulit

buah). Contohnya tanaman jengkol. Jengkol atau jering dalam bahasa latin Pithecollobium Jiringa

atau Pithecollobium Labatum adalah tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara, termasuk yang

digemari di Malaysia, Thailand dan Indonesia terutama di wilayah Jawa Barat yang seharinya

dikonsumsi ±100 ton. Jengkol termasuk tanaman polong-polongan. Buahnya berupa polong dan

bentuknya gepeng berbelit, berwarna lembayung tua. Biji buah berkulit ari tipis dengan warna coklat

mengilap. Jengkol merupakan tanaman yang memiliki tinggi 5-15 m, dengan ranting menggantung.

Tanaman ini memiliki tangkai daun utama dan poros sirip dengan satu kelenjar atau lebih dan

berambut. Bentuk daun elips atau bulat telur terbalik miring dengan ujung tumpul 1,5-5 x 1-2,5

cm. Bunga beraturan, berbilangan lima. Bongkol berbunga 15-25 pada ujung ranting dalam malai.

Kelopak bergigi sampai berlekuk. Tabung mahkota berbentuk corong, dari luar berambut. Benang sari

banyak, panjang lebih kurang 1 cm; tangkai sari pada pangkal bersatu menjadi tabung. Bakal buah

berambut, bertangkai, merah. Polongan bulat silindris, seringkali bengkok atau menggulung dalam 1-

2 puntiran, diantara biji seringkali menyempit, panjang 6-12 cm, lebar 1 cm. Biji 1-10 mengkilap

berwarna hitam dengan selumbung biji putih atau ros yang tidak sempurna (Steenis; 1975).  Jengkol

dapat menimbulkan bau tidak sedap setelah diolah dan diproses oleh pencernaan.

Bau ini timbul karena adanya kandungan asam-asam amino yang terkandung di dalam biji jengkol.

Asam amino itu didominasi oleh asam amino yang mengandungunsur Sulfur (S). Ketika terdegradasi

atau terpecah-pecah menjadi komponen yang lebih kecil, asam amino itu akan menghasilkan berbagai

komponen flavor yang sangat bau, karena pengaruh sulfur tersebut. Salah satu gas yang terbentuk

dengan unsur itu adalah gas H2S yang terkenal sangat bau.Tetapi dalam hal ini yang berkaitan dengan

pengendalian gulma adalah alelopat yang dikandung oleh jengkol, yakni pada kulit jengkol.

Berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa kandungan senyawa kimia yang terdapat di dalam kulit

jengkol (terpenoid, saponin, asam fenolat serta alkaloid) ampuh untuk melindungi tanaman dari

serangan hama. Unsur tannin dan flavanoid dalam kulit jengkol ternyata sama ampuhnya dengan

tannin pada tumbuhan berkayu dan herba yang berfungsi untuk memproteksi diri dari hama. Dengan

adanya kandungan tannin ini, kulit jengkol kemudian memiliki potensi untuk digunakan sebagai

pestisida alami setelah diracik bersama tumbuhan lainnya. Pemanfaatan limbah kulit jengkol masih

jarang dilakukan, meskipun telah ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengetahui

dekomposisi dari kulit jengkol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu dekomposisi kulit buah

jengkol selama 5 hari dapat menurunkan nyata beberapa parameter pertumbuhan empat jenis gulma

penting, yaitu Echinochloa crussgalli (jajagoan), Cyperus iria (rumput menderong), Cynodon

dactylon (rumput grinting) dan Alternanthera sessilis (kremah) (Enni Suwarsi, 2002).

Page 14: Herbisida Alami

           Artinya kandungan alelopat dalam kulit jengkol mampu menghambat pertumbuhan gulma

tertentu. Hal inilah yang mendasari penulis untuk membuktikan hal tersebut dengan melakukan

percobaan (praktikkum) yang berjudul  “Pengaruh Ekstrak Jengkol Terhadap Pertumbuhan

Gulma”.

1.2        Tujuan Praktikum

Adapun tujuan praktikum ini yaitu untuk mengidentifikasi gulma yang tumbuh pada lahan berkstrak

jengkol, serta mengetahui efek pemebrian ekstrak jengkol terhadap pertumbuhan gulma.  

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jengkol dan Kandungannya

            Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui memiliki senyawa bioaktif antara lain alkaloid,

terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang berfungsi sebagai insektisida dan repelen

(Campbell, 1933, Burkill, 1935). Sedikitnya sudah ada 2000 tumbuhan dari berbagai famili yang

dilaporkan dapat berpengaruh buruk pada organisme pengannggu tanaman (Grainge dan Ahmed,

1988; Prakash dan Rao, 1977), diantaranya tedapat paling sedikit 850 jenis tumbuhan yang aktif

terhadap serangga (Prakash dan Rao, 1977). Jengkol merupakan tanaman yang memiliki tinggi 5-15

m, dengan ranting menggantung. Tanaman ini memiliki tangkai daun utama dan poros sirip dengan

satu kelenjar atau lebih dan berambut. Bentuk daun elips atau bulat telur terbalik miring dengan ujung

tumpul 1,5-5 x 1-2,5 cm.Bunga beraturan, berbilangan lima. Bongkol berbunga 15-25 pada ujung

ranting dalam malai. Kelopak bergigi sampai berlekuk. Tabung mahkota berbentuk corong, dari luar

Page 15: Herbisida Alami

berambut. Benang sari banyak, panjang lebih kurang 1 cm; tangkai sari pada pangkal bersatu menjadi

tabung. Bakal buah berambut, bertangkai, merah. Polongan bulat silindris, seringkali bengkok atau

menggulung dalam 1-2 puntiran, diantara biji seringkali menyempit, panjang 6-12 cm, lebar 1 cm.

Biji 1-10 mengkilap berwarna hitam dengan selumbung biji putih atau ros yang tidak sempurna

(Steenis; 1975).

Pemanfaatan limbah kulit jengkol masih jarang dilakukan, meskipun telah ada beberapa penelitian

yang dilakukan untuk mengetahui dekomposisi dari kulit jengkol. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa waktu dekomposisi kulit buah jengkol selama 5 hari dapat menurunkan nyata beberapa

parameter pertumbuhan empat jenis gulma penting, yaitu Echinochloa crussgalli (jajagoan), Cyperus

iria (rumput menderong), Cynodon dactylon (rumput grinting) dan Alternanthera sessilis (kremah)

(Enni Suwarsi, 2002).

Dari hasil penelitian (Rahayu dan Pukan,1998) diungkapkan bahwa kandungan senyawa kimia dalam

kulit jengkol yaitu alkaloid, terpenoid, saponin, dan asam fenolat.

2.2 Gulma dan Ekstrak Kulit Jengkol

Gulma merupakan bagian dari kehidupan pertanian sehari-hari. Dengan adanya gulma ini, petani jadi

menyisihkan sebagian dana dan tenaga untuk menyingkirkannya. Memang gulma merupakan tanaman

yang kontrofersial, meskipun harus tergantung dari segi mana meninjaunya. Petani dalam suatu sistem

pertanian ingin mencapai hasil yang menguntungkan dan maksimal. Sehingga pada anggapannya

untuk mencapai tujuan itu lahan harus selalu bersih dan bebas dari

gulma. Penurunan hasil dari gulma dapat mencapai 20 – 80% bila gulma tidak

disiangi (Moenandir, 1993).

Ada beberapa cara pengendalian gulma diantaranya pengendalian secara

kimia yang dapat dilakukan dengan menggunakan herbisida. Herbisida berarti suatu

senyawa kimia yang digunakan sebagai pengendali gulma tanpa mengganggu

tanaman pokok. Dengan semakin pesatnya penggunaan herbisida kimia lama

kelamaan menimbulkan efek negatif bagi tumbuhan, maka petani berusaha untuk

mendapatkan senyawa-senyawa yang baru yang berpotensi untuk menjadi salah satu herbisida yang

dapat dikomersialkan. Dalam pembuatan herbisida ini yang menjadi masalah adalah mahalnya biaya

pembuatan dan registrasi herbisida serta terbatasnya sumber-sumber bahan baku yang tersedia. Selain

itu penggunaan herbisida kimia secara terus menerus akan mengakibatkan resistennya suatu gulma

tertentu. Untuk itu perlu dicari alternatif lain seperti halnya dengan penggunaan senyawa alelopati

sebagai bioherbisida (Sukman, 1995).

Berdasarkan uji senyawa kimia, ternyata kulit jengkol

yang didekomposisi selama lima hari banyak mengandung senyawa penghambat,

yaitu berbagai macam asam lemak rantai panjang dan fenolat (Enni dan Krispinus,

1998), Dua golongan senyawa ini termasuk kedalam senyawa yang dapat

Page 16: Herbisida Alami

menghambat pertumbuhan tumbuhan lain (Enni, 1998 cit Einhellig, 1995).

Penelitian mengenai potensi kulit buah jengkol sebagai herbisida alami pada

pertanaman padi sawah telah dilakukan pada lahan pertanian di Semarang. Dalam

penelitian tersebut sawah yang tergenang air setinggi 5 cm ditebarkan dengan kulit

jengkol yang telah diiris melintang setebal 1 cm sebanyak 1 kg per meter persegi.

Dari penelitian ini terbukti kulit jengkol dapat menekan pertumbuhan gulma

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu

            Tempat : lahan percobaan fakultas pertanian, universitas jambi

            Waktu : praktikum ini dilaksanakan mulai dari tanggal sampai dengan 2012

3.2 Alat dan Bahan

            Cangkul per kelompok masing-masing 1 buah

            Gunting

            Lesung ( gilingan kulit jengkol) 1 buah

            Pisau atau parang

            Plastik ukuran 5 kg

Tali rapiah 1 rol kecil

Baskom  besar 1 buah

Penggerus (untuk menggerus tumbukan kulit jengkol dalam lesung)

            Kulit jengkol 1 kg

            Air 5 liter per kosentrasi tiap kelompok

           

3.3 Langkah Kerja

1. Siapkan lahan berukuran 120cm x 100cm. Kemudian bersihkan dan buat hingga membentuk

bedengan, ini dilakukan oleh tiap-tiap kelompok.

2. Lahan diolah dengan menggeburkan tanahnya.

3. siapkan kulit jengkol sebanyak 1 kg, tumbuk menggunakan lesung hinga halus ( alelopati nya

keluar).

4. Tiap kelompok mengambil tumbukan kulit jengkol sesuai konsentrasinya, yaitu;600g,500g, 400g,

300g,200g,dan 100g. Tiap-tiap konsentrasi diberi  volume air 5 liter.

5. Ekstrak kulit jengkol tersebut direndam dalam volume air tersebut dan dibiarkan selama 2 minggu.

6. Seteah ekstrak jengkol siap, segera aplikasikan ke petakan  yang telah diolah ( digemburkan) dan

yang diberi label A. Label A untuk petakan yang diberi ekstrak jengkol sebelum gulma tumbuh.

Page 17: Herbisida Alami

Sedangkan B untuk petakan yang diaplikasi ekstrak jengkol setelah 10 hari pengolahan petakan atau

10 hari setelah aplikasi ke petakan A.

7. Petakan dibiarkan selama seminggu dan diamati tiap perubahan serta perbedaan petak A dan B.

Catat jumlah gulma yang ada pada masing-masing petakan.

8. Petelah 10 hari, di beri ektrak jengkol dengan konsentrasi yang sama dengan petakan A.

9. Amati gulma yang tumbuh dan hitung pula jumlahnya pada masing-masing petakan.

10. Buatlah laporannya.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Tabel pengamatan

No Jenis gulma Jumlah gulma Keterangan

Petakan A Petakan B

P.I P.II P.I P.II

1 A 137 152 181 209

2 B - - 17 21

3 Mimosa pudica 46 37 93 102

4 Teki—tekian 156 177 359 405

5 Paspalum

conjugatum Berg

6 11 10 17

6 Meniran 3 7 15 21

7 Belimbing tanah 1 3 2 7

Jumlah 349 387 677 782

Keterangan      :

P.I                                : Pengamatan I ( aplikasi ekstrak kulit jengkol langsung setelah lahan diolah).

P.II                  : Pengamatan II ( aplikasi ekstrak kulit jengkol 10 hari setelah lahan diolah).

A dan B          : Jenis gulma berdaun lebar yang belum diidentifkasi jenisnya.

Petakan A       : Petakan dengan aplikasi ekstrak kulit jengkol langsung setelah       lahan diolah

Petakan B       : Petakan dengan aplikasi ekstrk kulit jengkol

4.2.1 Pembahasan

Berdasarkan data yang didapat dari lapangan mengenai pertumbuhan gulma dengan disertai aplikasi

ekstrak kulit jengkol dapat pula diketahui bahwa melihat dari jumlah P.I dan P.II pada sebelum gulma

tumbuh ( petakan A) dan setelah gulma tumbuh (Petakan B). Ternyata gulma jumlah gulma yang

tumbuh pada petakan A lebih sedikit dibandingkan gulma yang tumbuh di petakan B. Tetapi gulma

Page 18: Herbisida Alami

yang tumbuh pada petak perlakuan justru berbanding terbalik dengan control perlakuan. Pada control

perlakuan gulma yang tumbuh jauh lebih sedikit, tidak banyak gulma yang tumbuh. Seharusnya pada

control gulma lebih banyak agar perbedaan aplikasi ekstrak jengkol dengan non-aplikasi ekstrak

jengkol terlihat jelas adanya pengaruh ekstrak jengkol sebagai alelopati pengahambat pertumbuhan

gulma. Tetapi ada beberapa hal yang terjadi dilapangan yang tidak sesuai dengan dugaan. Yakni

gulma pada petakan  B justru menjadi lebih subur setelah diberi ekstrak kulit jengkol.

Kemungkinan besar pemberian ekstrak jengkol pada petakan B ini, yang bekerja dari ekstrak kulit

jengkolnya adalah auksin. Sementara alelopati nya tidak bekerja. Juga dapat dikarenakan pada

pengaplikasian ekstrak kulit jengkol yang disiram dipermukaan tanah, tidak tercampur dengan tanah.

Sehinggga tidak diserap akar dan tidak tersimpan. Ampas-ampas ekstak kulit jengkol juga tertabur

diatas petakan B. Sedangkan pada Petakan A gulma yang tumbuh memang jauh lebih sediki. Dan hal

ini benar menunjukan benar adanya pengaruh alelopati ekstrak jengkol yang diaplikasikan sebelum

gulma tumbuh. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena pada petakan B aplikasi ekstrak kulit jengkol

langsung diberikan setelah tanah diolah, sehingga ekstrak tersebut tersimpan didalam tanah, dan biji-

biji gulma yang ada didalam tanah sulit untuk tumbuh.

            Di galangan antar petakan banyak didominasi gulma berdaun sempit, jika dibandingkan

dengan petakan yang ada beberapa gulma yang tumbuh adalah gulma berdaun lebar. Hal tersebut

terjadi, kemungkinan besar karena bentuk cekatan—cekatan antara petakan satu dengan yang lainnya

agak cekung, sehingga ketika hujan kandungan air di galangan dengan di petakan berbeda. Bisa saja

di galangan kandungan airnya lebih banyak, dan terus dalam keadaan lembab (berair) biasanya gulma

yang tumbuh dalam keadaan tanah berkandungan air tinggi dan terdapat pada tempat terbuka adalah

jenis gulma yang berdaun sempit. Contohnya pada galangan di persawahan, banyak gulma berdaun

sempit yang mendominasi. Dipetakan juga kebanyakan gulma berdaun sempit, namun ada sebagian

yang berdaun lebar.

            Namun secara ketidaksesuaian keadaan dilapangan dengan dugaan awal serta tujua

kemungkinan besar disebabkan mulai dari pengolahan ekstrak kulit jengkol yang tidak sesuai

prosedur. Pembuatan ekstrak kulit jengkol tidak sekaligus, sehingga ada sebagian kulit jengkol yang

sudah agak kering, dan membuat kandungan alelopati nya berkurang. Kemudian dari aspek

konsentrasi pemberian ekstrak kulit jengkol. Perhitungan yang kurang tepat membuat salah satu

perlakuan pada percobaan ini justru menjadi galat. Karena perbandingan jumlah gulma yang tumbuh

pada konsentrasi 200g justru lebih banyak dibandingkan konsentrasi 100g. Seharusnya pada

konsentrasi 200g gulma yang tumbuh lebih sedkit daripada konsentrasi 100g.

Selanjutnya pada pengolahan tanahnya, tanah yang akan diaplikasi pada petakan B tidak

duegmburkan terlebih dahulu. Sehingga ekstrak kulit jengkol tidak tersimpan didalam tanah. Dan

justru mengalir kebawah (galangan) dan itu juga dapat menyebabkan gulma yang tumbuh digalangan

menjadi lebih subur, kemungkinan karena pengaruh auksin dari ekstrak kulit jengkol tersebut.