HEMODIALISA PENDAHULUAN Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi. Disebut terapi pengganti karena tugasnya hanya menggantikan tugas dari ginjal pasien yang sudah tidak berfungsi lagi, jadi bukan merupakan alat penyembuh. Tujuan utama dalam melakukan hemodialisis adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga dapat melakukan aktifitas sama seperti mereka yang normal. Beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam mencapai tujuan tersebut antara lain mengenal proses yang terjadi selama hemodialisis, mengenal perangkat yang dibutuhkan pada hemodialisis, dan aplikasi pelaksanaan hemodialisis yang baik. Ada 2 metode dialisa, yaitu hemodialisa dan dialisa peritoneal. Pada hemodialisa, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan dipompa ke dalam mesin yang akan menyaring zat-zat racun keluar dari darah dan kemudian darah yang sudah bersih dikembalikan lagi ke dalam tubuh penderita. Jumlah 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HEMODIALISA
PENDAHULUAN
Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal
untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia
seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan
dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi.
Disebut terapi pengganti karena tugasnya hanya menggantikan tugas dari ginjal pasien
yang sudah tidak berfungsi lagi, jadi bukan merupakan alat penyembuh. Tujuan utama dalam
melakukan hemodialisis adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga dapat
melakukan aktifitas sama seperti mereka yang normal. Beberapa prinsip dasar yang harus
dipenuhi dalam mencapai tujuan tersebut antara lain mengenal proses yang terjadi selama
hemodialisis, mengenal perangkat yang dibutuhkan pada hemodialisis, dan aplikasi
pelaksanaan hemodialisis yang baik.
Ada 2 metode dialisa, yaitu hemodialisa dan dialisa peritoneal.
Pada hemodialisa, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan dipompa ke dalam
mesin yang akan menyaring zat-zat racun keluar dari darah dan kemudian darah yang
sudah bersih dikembalikan lagi ke dalam tubuh penderita. Jumlah total cairan yang
dikembalikan dapat disesuaikan.
Pada dialisa peritoneal, cairan yang mengandung campuran gula dan garam khusus
dimasukkan ke dalam rongga perut dan akan menyerap zat-zat racun dari jaringan.
Cairan tersebut kemudian dikeluarkan lagi dan dibuang.
Dialisa banyak digunakan sebagai pencegahan pada gagal ginjal akut yang
pembentukan kemihnya sangat sedikit dan dilanjutkan sampai pemeriksaan darah
menunjukkan bahwa fungsi ginjal telah kembali. Pada gagal ginjal kronis, dialisa dilakukan
jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ginjal tidak mampu membuang limbah metabolik
atau jika penderita tidak dapat lagi melakukan kegiatannya sehari-hari. Frekuensi dialisa
1
bervariasi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar
penderita menjalani dialisa sebanyak 3 kali/minggu.
Program dialisa dikatakan berhasil jika:
- penderita kembali menjalani hidup normal
- penderita kembali menjalani diet yang normal
- jumlah sel darah merah dapat ditoleransi
- tekanan darah normal
- tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif.
CAPD (Continuius Ambulatory Peritoneal Dialysis)
Metode pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi
perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya
akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum
ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus
dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga
limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian
cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru.
KAPAN HARUS CUCI DARAH
Cuci darah dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan:
Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik)
Perikarditis (Peradangan kantong jantung)
Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan respon terhadap
pengobata lainnya.
Gagal Jantung
Hiperkalemia (kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah)
KEUNGGULAN CAPD
1. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.
2. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah.
Pertama, masukkan dialisat berlangsung selama 10 menit
2
Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama periode waktu tertentu (4-6
jam)
Ketiga, pengeluaran cairan yang berlangsung selama 20 menit
3. Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan bisa dilakukan oleh
pasien sendiri secara mandiri setelah dilatih dan tidak perlu ke rumah sakit.
PERMASALAHAN
Penderita yang menjalani dialisa memerlukan makanan dan obat khusus.
Nafsu makan penderita menurun dan terjadi kehilangan protein selama dialisa peritoneal,
karena itu penderita biasanya memerlukan diet tinggi protein (secara kasar sebanyak 1
gram/kg BB). Asupan natrium dan kalium harus dibatasi sampai 2 gram/hari. Asupan
makanan kaya fosfat juga harus dibatasi. Asupan cairan pada penderta yang memiliki kadar
natrium rendah harus dibatasi. Sangat penting untuk melakukan penimbangan berat badan
setiap hari. Penambahan berat badan yang berlebihan menunjukkan terlalu banyaknya asupan
cairan.
Multivitamin dan tambahan zat besi perlu diberikan untuk menggantikan zat gizi yang
hilang pada proses dialisa. Penderita yang menjalani dialisa dan menerima banyak transfusi
darah seringkali mendapatkan terlalu banyak zat besi karena darah mengandung sejumlah
besar zat besi. Karena itu penderita tidak mendapatkan tambahan zat besi. Untuk merangsang
pembentukan se darah merah bisa diberikan hormon (testosteron atau eritropoietin).
Pengikat fosfat (misalnya kalsium karbonat atau kalsium asetat) diberikan untuk membuang
kelebihan fosfat. Kadar kalsium darah yang rendah atau penyakit tulang hiperparatiroid yang
berat diobati dengan kalsitriol (salah satu bentuk vitamin D) dan tambahan kalsium.
Pada penderita gagal ginjal sering dijumpai tekanan darah tinggi. Pada 50% penderita, hal ini
bisa diatasi secara sederhana dengan membuang sejumlah cairan selama dialisa. Sedangkan
pada penderita lainnya perlu diberikan obat-obatan untuk menurunkan tekanan darah.
Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal kronis
atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal.
Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa hari atau beberapa minggu,
3
sampai fungsi ginjal kembali normal. Dialisa juga bisa digunakan untuk membuang obat
tertentu atau racun dari tubuh.
DIALISIS PADA GAGAL GINJAL
Dialisis atau cuci darah merupakan salah satu metode untuk memperlama umur pasien
gagal ginjal. Selain itu, dialisis dapat digunakan untuk memperlama waktu pasien gagal ginjal
sebelum dilakukan transplantasi ginjal. Dialisis juga dapat mengembalikan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Dialisis bekerja dengan cara menyingkirkan kelebihan cairan dan
sampah dari darah melalui proses difusi,osmosis dan uktrafiltrasi. Dialisis ini menggunakan
dialysate, cairan yang sama dengan komposisi plasma darah normal, yang ditransport ke
dalam kompartement diantara membran semipermeable. Membran semipermeabel ini
berfungsi sebagai filter atau penyaring dimana molekul kecil seperti glukosa dan urea dapat
menembus membran melalui pori-pori pada membran sedangkan molekul besar tidak dapat
menembus membran ini.
Pada hemodialisis, sebuah tabung yang kecil yang dapat membawa darah ke dalam
sebuah alat yang disebut dengan dialyzer yang dibuat dari material yang berfungsi sebagai
membran semipermeabel. Pada peritoneal dialisis, membran semipermeabel ini diganti oleh
peritoneal membran pada tubuh yang banyak mengandung pembuluh darah dan dapat
digunakan untuk menyaring darah. Peritoneal ini terletak diperut yang kaya akan pembuluh
darah. Cara kerja dari hemodialisis peritoneal ini adalah dialysate diinfuskan ke dalam cateter
yang akan masuk ke dalam ruangan peritoneal. Ruangan ini merupakan ruang antara
abdomen dekat dengan usus halus. Pada prosedur yang umum digunakan, continous
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dialysate masih tertinggal di cavitas peritoneal
selama 4-6 jam dan sesudahnya dihisap dan diganti dengan dialysate yang baru. Secara
umum larutan dialysate diganti 4 kali setiap harinya dan membutuhkan sekitar 30 menit
untuk penghisapan dan penggantian dengan yang baru.
Tidak seperti hemodialisis dengan menggunakan alat (hemodializer), dialisis
peritoneal harus menggunakan konsentrasi glukosa yang tinggi akibat tekanan onkotik yang
rendah pada cavitas peritoneal. Akibatnya, glukosa yang tinggi akan terserap ke dalam tubuh
menimbulkan hiperglikemia dan hipertrigliserida. Selain itu, kelemahan dari metode ini
adalah infeksi pada cavitas peritoneal akibat dari kateter (peritonitis), penjendalan darah pada
kateter sehingga dapat menghambat kateter, perpindahan kateter dan abdominal hernia akibat
4
dari volume dialysat. Akan tetapi kelebihan dari metode ini adalah pengambilan darah
melalui pembuluh darah tidak dilakukan serta pembatasan diet tidak terlalu ketat.
Pada dialisis dengan menggunakan dialyzer, efek merugikan yang dapat ditimbulkan
antara lain infeksi pada pembuluh darah, penjendalan darah, hipotensi akibat aliran darah
ditarik keluar menuju dialyzer, kram pada otot terutama pada tangan, kaki dan lutut. Selain
itu, anemia juga dapat terjadi pada pasien dengan hemodialisis akibat hilangnya darah di
dalam dialyzer. Efek merugikan lainnya adalah beberapa pasien merasa pusing, lemah,
nausea, vomiting dan berkunang-kunang.
Metode urea kinetik model selanjutnya digunakan untuk mengetahui seberapa
efektifkah dialisis. Metode urea kinetik model adalah metode untuk mengetahui keefektifan
dialisis dengan menghitung clearence urea dari darah. Metode ini menggunakan rumus Kt/V
dimana K menunjukkan konsentrasi urea yang terbuang dari darah, t adalah waktu untuk
dialisis dan V adalah volume darah. Nilai yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui
apakah pasien telah mengalami dialisis yang tepat. Batas nilai yang digunakan adalah 1,2.
Akan tetapi, perhitungan ini tidak begitu simple, karena beberapa faktor perlu diperhatikan
antara lain data clearence pada dialyzer, blood flow rate dan dialysis flow rate. Sehingga
komputerisasi menjadi hal yang penting dalam menentukan nilai ini.
5
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita
dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialyzer.
Prosedur ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka
dibuat suatu hubungan buatan diantara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui
pembedahan. Pada hemodialisa, darah penderita mengalir melalui suatu selang yang
dihubungkan ke fistula arteriovenosa dan dipompa ke dalam dialyzer.
Untuk mencegah pembekuan darah selama berada dalam dialyzer maka diberikan heparin.
Di dalam dialyzer, suatu selaput buatan yang memiliki pori-pori memisahkan darah
dari suatu cairan (dialisat) yang memiliki komposisi kimia yang menyerupai cairan tubuh
normal. Tekanan di dalam ruang dialisat lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam
darah, sehingga cairan, limbah metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui
selaput dan masuk ke dalam dialisat. Tetapi sel darah dan protein yang besar tidak dapat
menembus pori-pori selaput buatan ini. Darah yang telah dicuci lalu dikembalikan ke dalam
tubuh penderita. Dialyzer memiliki ukuran dan tingkat efisiensi yang berbeda-beda.
Mesin yang lebih baru sangat efisien, darah mengalir lebih cepat dan masa dialisa lebih
pendek (2-3 jam, sedangkan mesin yang lama memerlukan waktu 3-5 jam).
Sebagian besar penderita gagal ginjal kronis perlu menjalani dialisa sebanyak 3 kali/minggu.
6
Komplikasi Hemodialisa
Komplikasi Penyebab
Demam
Bakteri atau zat penyebab demam (pirogen) di
dalam darah
Dialisat terlalu panas
Reaksi anafilaksis yg
berakibat fatal
(anafilaksis)
Alergi terhadap zat di dalam mesin
Tekanan darah rendah
Tekanan darah rendah Terlalu banyak cairan yg dibuang
Gangguan irama jantungKadar kalium & zat lainnya yg abnormal dalam
darah
Emboli udara Udara memasuki darah di dalam mesin
Perdarahan usus, otak, mata Penggunaan heparin di dalam mesin untuk
7
atau perut mencegah pembekuan
DIALISA PERITONEAL
Pada peritoneal dialisa, yang bertindak sebagai penyaring adalah peritoneum (selaput
yang melapisi perut dan membungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan
yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring
melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil
yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu
tertentu sehingga limbah metabolik dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan
tersebut. Kemudian cairan dikeluarkan, dibuang dan diganti dengan cairan yang baru.
Biasanya digunakan selang karet silikon yang lembut atau selang poliuretan yang berpori
pori, sehingga cairan mengalir secara perlahan dan tidak terjadi kerusakan.
Dialisa peritoneal tidak boleh dilakukan pada penderita yang:
- menderita infeksi dinding perut
- memiliki hubungan abnormal antara dada dan perut
- baru saja menjalani pencangkokkan pembuluh darah buatan di dalam perut
- memiliki luka baru di perut.
Ada beberapa teknik yang digunakan dalam dialisa peritoneal:
1. Dialisa peritoneal intermiten manual.
Merupakan teknik yang paling sederhana. Sebuah kantong berisi cairan dipanaskan
sesuai suhu tubuh, lalu cairan dimasukkan ke dalam rongga peritoneum selama 10
menit dan dibiarkan selama 60-90 menit, kemudian dikeluarkan dalam waktu 10-20
menit. Keseluruhan prosedur memerlukan waktu sekitar 12 jam. Teknik ini terutama
digunakan untuk mengobati gagal ginjal akut.
2. Dialisa peritoneal intermiten dengan pemutar otomatis.
Bisa dilakukan di rumah penderita. Suatu alat dengan pengatur waktu secara ototmatis
memompa cairan ke dalam dan keluar dari rongga peritoneum. Biasanya alat pemutar
8
dipasang pada waktu tidur sehingga pengobatan dijalani pada saat penderita tidur.
Pengobatan ini harus dilakukan selama 6-7 malam/minggu.
3. Dialisa peritoneal berpindah-pindah yang berkesinambungan.
Cairan dibiarkan di dalam perut dalam waktu yang lama, dan dikeluarkan serta
dimasukkan lagi sebanyak 4-5 kali/hari. Cairan dikemas dalam kantong polivinil
klorida yang dapat dikembangkempiskan. Jika kosong, kantong ini bisa dilipat tanpa
harus melepaskannya dari selang. Biasanya cairan harus diganti sebanyak 3 kali,
dengan selang waktu 4 jam atau lebih. Setiap pergantian memerlukan waktu 30-45
menit.
4. Dialisa peritoneal yang dibantu oleh pemutar secara terus menerus.
Teknik ini menggunakan pemutar otomatis untuk menjalankan pergantian singkat
selama tidur malam, sedangkan pergantian yang lebih lama dilakukan tanpa pemutar
pada siang hari. Teknik ini mengurangi jumlah pergantian di siang hari tetapi pada
malam hari penderita tidak dapat bergerak secara leluasa karena alatnya tidak praktis.
Komplikasi Dialisa Peritoneal
1. Perdarahan di tempat pemasangan selang atau perdarahan di dalam perut
2. Perforasi organ dalam pada saat memasukkan selang
3. Kebocoran cairan di sekitar selang atau ke dalam dinding perut
4. Penyumbatan aliran cairan oleh bekuan darah
5. Infeksi, baik pada peritoneum maupun di kulit tempat selang terpasang (menyebabkan
terbentuknya abses). Infeksi biasanya terjadi karena prosedur dialisa yang kurang
steril. Untuk mengatasi infeksi diberikan antibiotik.
6. Hipoalbuminemia
7. Sklerosis peritonealis (pembentukan jaringan parut di peritoneum), yang
mengakibatkan penyumbatan parsial usus halus
8. Hipotiroidisme
9. Hiperglikemia, sering terjadi pada penderita kencing manis
10. Hernia perut dan selangkangan
11. Sembelit.
9
10
B. PRINSIP HEMODIALISIS
Hemodialisis merupakan salah satu dari 3 modalitas terapi pengganti pada Penyakit
Ginjal Kronik (PGK) stadium‐V. Tiga modalitas terapi pengganti tersebut adalah
Hemodialisis, Dialisis Peritoneal, dan Cangkok atau Transplantasi Ginjal. Disebut terapi
pengganti karena tugasnya hanya menggantikan tugas dari ginjal pasien yang sudah tidak
berfungsi lagi, jadi bukan merupakan alat penyembuh. Definisi, PGK adalah kerusakan ginjal
(kidney damage) dengan disertai penurunan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) lebih dari 3 bulan atau penurunan LFG kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2 luas
permukaan tubuh tanpa kerusakan ginjal (kidney damage) lebih dari 3 bulan.1Penurunan LFG
atau kerusakan ginjal berlangsung progresif dari mulai stadium‐I sampai dengan stadium‐V.
Penurunan ini dapat berlangsung lambat atau cepat tergantung pada etiologi serta penanganan
yang dilakukan dalam menghambat progresi. Rincian mengenai stadium, PGK dan kaitannya
dengan LFG dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
TABEL Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
Stadium LFG Fungsi Ginjal
I > 90 mL/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh Ginjal Normal
II 60 90 mL/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh‐ Penurunan Fungsi Ringan
III 30 60 mL/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh‐ Penurunan Fungsi Sedang
IV 15 30 mL/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh‐ Penurunan Fungsi Berat
V < 15 mL/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh Gagal Ginjal
Terapi pengganti dilakukan pada stadium‐V atau Gagal Ginjal. Terapi pengganti juga
dilakukan pada keempat stadium yang lain bila ada indikasi khusus seperti hiperkalemia,
11
edema paru akibat kelebihan cairan ekstrasel, asidosis metabolik berat sukar dikendalikan,
penurunan kesadaran, dan persiapan bedah bila terdapat gangguan elektrolit, peningkatan
ureum lebih dari 200 mg/dL, atau gangguan hemostasis.
PERSIAPAN
Persiapan perlu dilakukan sebelum tindakan hemodialisis dijalankan agar perlakuan
ini dapat berjalan dengan baik dan optimal. Persiapan ini dapat berupa non‐medik maupun
medik.
Persiapan Non‐Medik
Persiapan ini hanya dapat dilakukan bila pasien sudah diketahui menderita PGK
sebelum mencapai PGK stadium‐V. Makna dari PGK perlu dijelaskan kepada pasien secara
bijak agar mereka mengerti bahwa PGK bersifat progresi menuju PGK stadium‐V.
Persiapan Medik
Pengobatan anemia pre‐dialisis perlu dilakukan agar pada saat dilakukan
hemodialisis, perlakuan dialisis ini dapat dimulai dengan baik dan aman. Risiko kematian
pada pasien dalam dialisis ternyata menjadi lebih rendah terutama dalam 19 bulan pertama
bila pada masa predialisis sudah diberikan eritropoetin, makin tinggi hematokrit pada saat
dialisis dimulai makin rendah risiko kematian.2 Anemia pada PGK sudah mulai terlihat pada
stadium‐III. Menurut data dari NAHNES‐III dalam populasi Amerika, diketahui bahwa
9% pada stadium‐IV, dan 33% pada laki‐laki atau 67% pada perempuan setelah mencapai
stadium‐V.3
Setelah mencapai stadium‐IV, perlu diberitahukan kepada pasien prediksi waktu
dalam mencapai stadium‐V. Pada stadium‐IV ini pasien diberitahu untuk melakukan
pemasangan shunt arterivena (Cimino) sebagai persiapan bila stadium‐V tercapai untuk
keperluan hemodialisis.
PROSES DALAM HEMODIALISIS
Selama hemodialisis berjalan, ada 3 proses yang terjadi secara simultan. Proses
tersebut adalah sebagai berikut4:
1. Difusi
12
2. Ultrafiltrasi
3. Konveksi
Sebelum kita membicarakan ketiga proses ini perlu kita ketahui perangkat apa saja
terlibat dalam proses hemodialisis. Perangkat ‐ perangkat yang terlibat dan bahan – bahan
yang digunakan adalah mesin hemodialisis, membran dialiser, pipa yang mengalirkan darah
dari pasien ke dialiser (pipa‐arteri) serta yang mengalirkannya kembali ke pasien (pipa‐vena),
air bersih olahan, dan cairan dialisat.
Mesin hemodialisis berperan dalam mencampur cairan dialisat dalam bentuk
konsentrat dengan air bersih olahan sehingga menghasilkan cairan dialisat yang
mengandung solut dengan kadar yang sama dengan kadar solut tersebut dalam plasma
darah normal. Cairan dialisat ini kemudian dialirkan oleh mesin dengan kecepatan
standar 500 mL/menit ke dalam dialiser. Pada mesin yang baru sekarang, kecepatan
aliran dialisat dapat diatur sesuai kebutuhan, misalnya bila mesin dipakai untuk
metode dialisis SLED (Sustained Low Efficiency Daily Dialysis). Mesin hemodialisis
juga berperan dalam mengatur besarnya ultrafiltrasi yang diinginkan selama
hemodialisis berjalan, dengan mengatur tekanan negatif dalam kompartemen dialisat
dari 3 dialiser. Peranan mesin hemodialisis lainnya adalah memompa darah dari
pasien ke dialiser dan kembali lagi ke pasien dengan kecepatan yang dapat diatur
sesuai kebutuhan. Kecepatan aliran darah yang dianjurkan adalah antara 250‐400
mL/menit.
Membran dialiser merupakan membran yang semi permeabel berupa membran yang
tidak membatasi pergerakan air dari kompartemen darah dialiser ke kompartemen
dialisat dialiser atau sebaliknya, akan tetapi membatasi pergerakan solut dari
kompartemen darah kekompartemen dialisat atau sebaliknya sesuai besarnya diameter
pori membran dialiser. Solut yang lebih besar dari diameter pori tidak bisa melakukan
pergerakan diantara kedua kompertemen tersebut. Berdasarkan pergerakan solut,
membran dialiser diklasifikasikan dalam low atau high‐flux dan low atau high‐efficiency. High‐efficiency ditujukan kepada membran selulose standar dengan luas
permukaan membran yang besar, dan low‐efficiency adalah sebaliknya. High‐flux
ditujukan kepada membran sintetik dengan pori yang besar sehingga memungkinkan
13
solut berdiameter besar dapat melaluinya, demikian sebaliknya pada low‐flux. Jenis
membran dialiser dapat diklasifikasi juga atas membran terbuat dari selulose, selulose
yang diperkaya, dan membran sintetik. Membran yang terbuat dari selulose atau
disebut cuprophane merupakan membran generasi pertama. Membran yang terbuat
dari selulose diperkaya misalnya selulose‐asetat atau selulose‐triasetat ditujukan
untuk membuat membran tersebut lebih kompatibel dengan darah. Membran sintetik
merupakan membran yang kompatibel dengan darah dengan pori lebih besar dari
membran selulose. Ada lagi membran yang merupakan gabungan dari selulose
dengan sintetik. Luas permukaan membran juga ada beberapa jenis mulai dari ukuran
0,9 m2 hingga 1,6 m2.
Air bersih olahan merupakan air tanah yang dipakai untuk mengencerkan konsentrat
cairan dialisat. Air tanah tersebut harus diolah dengan memakai alat dan bahan
tertentu sehingga memenuhi persyaratan untuk dipakai. Persyaratan yang dibutuhkan
adalah sama dengan persyaratan air minum yaitu persyaratan fisik, mikrobiologi,
kimiawi, dan radioaktip. Pengolahan air sampai bisa digunakan melalui beberapa
tahapan yaitu saringan kasar, karbon, pelunak air, reverse‐osmosis, deioniser, dan
saringan ultra (Gambar 1).5 Fungsi masing-masing tahapan itu adalah : (1) saringan
kasar untuk menahan pasir; (2) karbon untuk mengeliminasi chloramin yang sangat
toksik; (3) pelunak air atau water softener digunakan untuk mengganti ion‐kalsium
dan magnesium dengan natrium; (4) reverse‐osmosis atau RO digunakan untuk
menyaring kontaminan bakteri, virus, dan endotoksin; (5) deioniser untuk menukar
kation dengan ion‐H dan anion dengan ion‐OH sehingga membentuk air yang sangat
murni; dan (6) saringan‐ultra untuk menyaring bakteri atau virus yang masih
tertinggal.
14
Gambar 1. Bagan tahap pengolahan air untuk hemodialisis mulai dari air tanah hingga masuk
ke dalam bak penampung air siap pakai.5
1. Difusi
Difusi adalah berpindahnya solut melewati membran semipermeabel dari
kompartemen cairan dengan kadar solut yang tinggi ke dalam kompartemen cairan dengan
kadar solut yang lebih rendah. Dalam hal hemodialisis, berpindahnya solut dari kompartemen
dialisat ke kompartemen darah dan demikian sebaliknya. Efisiensi gerakan solut ini makin
tinggi dengan makin luasnya permukaan membran semipermeabel tersebut yang disebut
dengan istilah high‐efficient. Besarnya jumlah solut dengan berbagai ukuran bergerak melalui
membran semipermeabel tergantung kepada diameter pori pada membran. Makin besar
diameter pori makin banyak jumlah solut yang dapat berpindah atau disebut dengan istilah
high‐flux. Membran yang terbuat dari selulose memiliki diameter pori lebih kecil
dibandingkan dengan membran yang sintetik. Kemampuan perpindahan solut ini juga
dipengaruhi oleh cepatnya aliran darah dalam kompartemen darah dan aliran dialisat dalam
kompartemen dialisat. Pada proses hemodialisis, arah aliran darah dan arah aliran cairan
dialisat adalah berlawanan. Makin cepat aliran darah maupun aliran dialisat, perpindahan
solut makin lebih efisien.
2. Ultrafiltrasi
15
Ultrafiltrasi adalah berpindahnya air dari kompartemen darah ke kompartemen
dialisat. Mesin hemodialisis mampu menciptakan tekanan negatif dalam kompartemen
dialisat, dialiser tipe hollowfiber, sehingga air dari kompartemen darah akan bergerak menuju
kompartemen dialisat. Perbedaan tekanan dalam kedua kompartemen tersebut disebut dengan
istilah trans‐membrane pressure (TMP). Makin tinggi TMP, makin besar volume air yang
bergerak ke kompartemen dialisat. Besarnya TMP dapat diatur pada skala ultrafiltrasi pada
mesin hemodialisis. Dengan demikian besarnya volume air yang akan dikurangi dari tubuh
pasien dapat diatur sesuai dengan yang dinginkan.
3. Konveksi
Konveksi adalah bergeraknya solut dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat
dengan mengikuti pergerakan air. Dapat dianalogikan dengan bergeraknya sampah mengikuti
gerakan air sungai.
Sebagai kesimpulan dari ketiga proses ini maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kliren atau bersihan dialiser terhadap toksin uremik terutama dipengaruhi oleh proses
difusi, lalu ditambah oleh proses konveksi. Jenis dan luas permukaan membran,
kecepatan aliran darah dan dialisat berpengaruh pada kliren.
2. Pergerakan besaran volume air dari kompartemen darah dipengaruhi oleh tingginya
TMP.
APLIKASI
Aplikasi ketiga proses difusi, konfeksi, dan ultrafiltrasi pada pasien yang menjalani
hemodialisis dapat diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan keluaran yang baik.
Keluaran yang baik ini juga dipengaruhi oleh kemampuan sumber daya manusia (SDM)
dalam bentuk tim yaitu Dokter, Perawat Dialisis, Ahli Nutrisi, dan Teknisi Mesin. Edukasi
yang baik pada pasien akan menghasilkan kerjasama yang baik sehingga tujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien akan tercapai. Beberapa hal yang harus diperhatikan
untuk mencapai tujuan ini adalah:
Berat Badan Kering
Kemampuan ginjal pasien PGK stadium‐V untuk mengeluarkan air dalam bentuk urin
sangat berkurang sehingga potensi untuk mengalami kelebihan cairan ekstrasel tinggi.
Penetapan berat badan perlu dilakukan untuk mencegah masalah kelebihan cairan ini. Proses
16
ultrafiltrasi untuk mengurangi cairan ekstrasel pada hemodialisis sangat berperan dalam
penetapan berat badan kering.
Definisi umum berat badan kering adalah berat badan terendah yang dapat dicapai
setelah proses ultrafiltrasi dimana bila berat badan diturunkan lagi akan menimbulkan gejala
hipovolemia. Proses penetapan berat badan kering harus dilakukan secara bertahap oleh
karena penurunan berat badan yang terlalu besar pada saat hemodialisis akan menimbulkan
gejala hipovolemia walaupun berat badan kering belum tercapai. Setiap perlakuan
hemodialisis dianjurkan tidak melakukan ultrafiltrasi lebih dari 10% berat badan, yang
terbaik adalah antara 5‐10%. Bila dilakukan edukasi yang baik pada pasien dalam hal
mengasup air berlebihan, penetapan berat badan kering tidak membutuhkan waktu yang
lama. Penetapan berat badan kering juga sangat penting untuk mencegah beban jantung yang
berlebihan sehingga merupakan bagian dari pencegahan komplikasi kardiovaskuler. Bila
berat badan kering sudah tercapai, maka dianjurkan berat badan badan pasien tidak
meningkat lebih dari 5% berat badan kering pada hemodialisis berikutnya.
Sindrom Disekuilibrium
Sindrom ini merupakan komplikasi lain yang harus diperhatikan, khususnya bagi
pasien yang baru pertama kali menjalani hemodialisis. Keadaan ini dapat terjadi oleh karena
adanya perbedaan osmolalitas antara cairan ekstrasel dan cairan sel otak. Bila urea cairan
ekstrasel diturunkan secara cepat, maka urea di dalam cairan sel otak tidak dapat segera
mengikuti penurunan ini, sehingga osmolalitas cairan sel otak lebih tinggi. Osmolalitas cairan
sel otak yang tinggi akan mengerakkan air dari ekstrasel menuju intrasel sehingga terjadi
edema sel otak. Edema sel otak inilah yang menimbulkan gejala sindrom disekuilibrium
berupa sakit kepala hingga kesadaran menurun bahkan kematian. Penelitian yang dilakukan
Silver SM et al pada tikus, menunjukkan penurunan 53% urea dalam plasma hanya diikuti
oleh penurunan urea dalam otak sebesar 13%.6 Pada pasien yang baru dianjurkan pada
awalnya melakukan hemodialisis selama 2 jam setiap hari hingga 3‐4 hari dengan aliran
darah 150‐200 mL/menit memakai dialiser dengan luas permukaan membran 0,9‐1,2 m2.
Bila tidak ada tanda disekuilibrium, kecepatan aliran darah kemudian dapat ditingkatkan
secara perlahan yaitu dinaikkan 50 mL/menit setiap sesi hemodialisis hingga target 250‐300
mL/menit tercapai dengan frekuensi hemodialisis 2 kali @ 5 jam atau 3 kali @ 4 jam
seminggu serta luas permukaan membran dialiser yang lebih besar.
17
Adekuasi Hemodialisis
Adekuasi hemodialisis memiliki peran yang sentral atau merupakan tujuan utama
dalam melaksanakan dialisis disemua pusat dialisis.7 Tanpa memiliki tujuan seperti ini
adalah suatu pekerjaan yang sia‐sia bagi pusat dialisis tersebut. Tercapainya dialisis yang
adekuat sudah tentu menuntut berbagai faktor antara lain sumber daya manusia yang trampil
dan baik, dialisis masih merupakan pengobatan biaya tinggi, ketersediaan dialiser yang cukup
dalam berbagai luas permukaan membran, pemeriksaan laboratorium yang teratur, dan waktu
dialisis yang cukup yaitu minimal 3 kali seminggu @ 4 jam. Bila seluruh faktor ini tidak
terpenuhi, tidaklah mungkin bagi pusat dialisis tersebut mengharapkan seluruh pasiennya
mencapai dialisis yang adekuat.
Penilaian adekuasi hemodialisis dapat diukur secara klinis yaitu dengan melihat
gejala‐gejala akibat uremia yang ada pada pasien atau dapat diukur secara matematik. Kedua
pengukuran ini tidak bisa saling berdiri sendiri. Pengukuran dengan melihat gejala dapat
memberikan hasil yang keliru karena banyak pasien sekarang sudah memakai ESA
(Erythropoiesis‐stimulating agents) yang dapat menutupi gejala uremia akibat tidak ada
anemia lagi, demikian juga pengukuran secara matematis tidak dapat memberi kesimpulan
yang sempurna. Penilaian adekuasi hemodialisis sebaiknya menggunakan kedua parameter
ini.
Parameter Klinis
Gejala uremia yang timbul akibat PGK (Penyakit Ginjal Kronik) Stadium V
merupakan gambaran klinis yang diamati pada pasien yang menjalani dialisis kronik. Secara
ideal seluruh gejala tersebut menghilang selama program dialisis berlangsung. Bila gejala
tersebut masih ada yang terlihat, ini menunjukkan bahwa dialisis yang dilakukan belum
adekuat. Anemia yang teratasi dengan pemberian ESA dapat menghilangkan sebagian gejala
akibat uremia seperti gangguan kognitif membaik, perasaan lemah dan sesak napas hilang
yang menyebabkan penilaian adekuasi menjadi tersamar.
Gejala uremia yang terlihat pada PGK lanjut antara lain anoreksia, nausea, muntah,
10. Nursalam, M.Nurs, DR (Hons). 2006. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika.
11. Burgess DN, Bakris GL. Renal and electrolyte disorders. In : Stein JH (ed). Internal Medicine. Diagnosis and Therapy. Norwalk : Appleton and Lange; 1993. p. 134-6.
12. Fauci, A. S., Kasper, D. L., Longo, D. L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J.L., et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: The McGraw-Hill Companies, 2008
13. harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/.../ gagal - ginjal - kronik
35
14. Nahas AM. Chronic Kidney Disease: the global challenge. Lancet 2005, p. 365:331-340.