Top Banner
ffi F t H H$ E &il*,{Y& *'t}{ }HTE::H KT Li'ail g ?'A $ H.q Eg.1 $ I $' N'or' 5{r, ll-;:- 1-! :, vill/2005 trRUK NO.1 N 2000 w ffieffiffiffi ffi ffiffiG'ffiffi ,:-it :1r 'E; .S :*a l:!:a .:,';11.$t*l "i*i ,$y. st ::''i q:
96

Hayamwuruk No.1-XIII-2000 Masa Depan Oposisi Indonesia

Nov 16, 2015

Download

Documents

HaWeSastraUndip

Semarang Tempo Doeloe
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • ffi F t H H$ E &il*,{Y& *'t}{ }HTE::H KT Li'ail g ?'A $ H.q Eg.1 $ I $'

    N'or'

    5{r, ll-;:-1-!

    :,

    vill/2005trRUK NO.1N 2000 w ffieffiffiffi ffi

    ffiffiG'ffiffi,:-it :1r'E; .S

    :*a l:!:a

    .:,';11.$t*l "i*i,$y. st::''i q:

  • F

    t;

    ':,;, ,:;j ,,

    ,,a,-.,:;ii1 g; 5,:,3, ?

    '1; :i

    { I "1"[ &zL-l r

    ir.,,;r.: --

    r. .jn;?..-

    T

    :II

  • Jr{1'{

    1"4

    f,

    il.!,

    ft

    {;

    *i

    t

    *

    -

    flil

    Hayamwuruk Majalah Politik

    Saya mau memberi masukanmengenai isi majalah Hayamwuruk.Kalau diperhatikan, selama ini tema-tema yang diangkat selalu berkisarmasalah sosial atau politik. Itu memangbagus, karena menambah wawasan,cakrarvala pengetahuan dan kepeduliansosiaI kita tentng masalah yang lagihangat. Tapi saya punya usul,bagaimana kalau tema yang diangkattidak melulu masalah sosial atau politik.Kan lebih enak kalau ditambah misalnyadengan berita seputar musik atau laguyang lagi "in" plus achordnya. Jadi yangbaca Hayamwuruk juga bisa menambahpengetahuan tentang musik. Dan juganantinya peminat Hayamwuruk tidakhanya mereka yang suka pada masalahpolitik atau sosial saja.

    Septina Nur IswantiMahasiswi D III B. Inggris '99

    LagiJagi Soal Perpustakaan

    Saya adalah salah satu dari sekianbanyak mahasiswa Sastra Inggris yangmerasakan kejanggalan dalampengelolaan keuangan Fakultas.Pengelolaan ini tidak berkaitan denganmasaiah Sumbangan PengembanganInstitusi (SPI), pernbukaan jurusan baru,atau pembangunan sarana fisik yangtampak dipaksakan itu, melainkan padapengalokasian dana Fakultas untukpembelian buku referensi.

    Selama ini jumlah buku referensiteoretis untuk bahan perkuliahan amatkurang. Di perpustakaan hanya terdapatjudut-judul seperti Theory of Literature,Twentieth Century Literary Theory, Po-etic, dan beberapa referensi klasik lain.Kekurangan referensi itu akhirnya seringmemaksa kami membuat paper secaraasal-asalan. Bayangkan, kami pernahmendapat tugas untuk membuatpemetaan teori sastra sejak landasanontolo-gis sampai paradigmatermutakhir, sementara banyak referensiyang dibutuhkan tidak ada diperpustakaan.

    Terus terang, saya tidak ingin menga-lami kejadikan "aneh" dalampembuatan skripsi. Yaitu ketika adasebuah skripsi soal feminisme hanya

    dengan 3 referensi (padahal saya pernahmembuat paper kecil tentang topikserupa dengan 10 referensi). Kami jugatidak ingin menjadi pencomot sejati yanghanya bolak-balik ke perpustakaanuntuk memindah kutipan-kutipan "itu-itu" saja.

    Sebenarnya kami sudah cukup puasdengan buku fotokopian asal benar-benar layak dan up to dote. Buku tentangteori kritik sastra terbaru semisal tentangEco Criticism seharusnya dimilikiperpustakaan. Karena itu, saya sangatsetuju dengan usul seorang stafperpustakaan mengenai meka-nismepembelian buku. Yaitu semisal adaanggaran, perpustakaan memintamasukan dari dosen-dosen yangberkompeten sekaligus mahasiswa,supaya anggaran itu tidak sia-sia.Bagaimanapun, konsumenlah yang tahukebutuhan mereka, bukan para ekseku-tif Fakultas.

    Demikian keluhan kecil ini. Dansemoga di masa datang, bila jurusanSastra Inggris masih memperoleh nilaiakreditasi "A', itu bukan lagi nilaikopong.

    Arief DarmawanMahasiswa Sastra Inggris '96

    Pondok Borju Hayam Wuruk

    Mahasiswa Undip Pleburan tentusudah tidak asing lagi dengan caf6 disepanjang jalan Hayam Wuruk, tepatnyadi depan Fakultas Sastra. Jumlah cafekian hari kian banyak, sementara warungmakan makin sedikit.

    Dulu, keberadaan warung di jalanHayam Wuruk bermula dari rasakepedulian mahasiswa Fakultas Sastrauntuk menam-pung pedagang kalu lima.Jadi, awalnya adalah fungsi sosial. Tapisekarang fungsi sosial itu semakinbergeser, bahkan mulai hilang. Pedagangkaki lima yang notabene kelas bawah,mulai tergusur oleh banyak kafe mewah.Akibatnya, kini pondok yang biasamenyediakan makanan dengan hargamahasiswa mulai susah dicari di JalanHayam Wuruk.

    Tulisan ini sebetulnya hanya wujudkepedulian saya scbagai salah satumahasis-wa yang biasa memanfaatkanwarung makan di sepanjang jalan

    Hayam Wuruk. Semoga fungsi sosiaiyang kini hilang bisa tampak lagi.

    Haryono WahyudiyantoMahasiswa FISIP Undip

    SPI danf'erm as al ah annya

    Sumbangan Pengembangan Insiitusi(SPI) adalah bentuk penarikan danauntuk membiayaiProgram Studi D III diUniversitas Diponegoro, SPI disahkanmelalui SK. Rektor Undip No. 186/SIVJ.0711999, yang diberlakukan bagimahasiswa an.gkatan 1999. Dalampelaksanaannya, SPI mendapat banyaktanggapan kurang simpatik darimahasiswa, terutama mahasiswa FakultasSastra dan Fakultas Ekonomi.

    Aksi penolakan terhadap SPI terakhirkali dilakukan oleh mahasiswa FakultasSastra pada acara wisuda Universitaspada 23 Oktober lalu. Aksi oleh KesatuarrAksi Mahasiswa Sastra itu menuntr-rt:penghapusan krnsep SPI, keterllbil:,,,1mahasiswa dalam pengambilankeputusan sirategis, dan terakhirpenurunan Rektor Undip, Bapak Prof. h'.H. Eko Budiharjo Msc.

    Tuntutan pertama katena ir',el

  • f-)

    disampaikan ini mungkin berguna bagipara calon mahasiswa yang hendakmemasuki program D III di UniversitasDiponegoro:1. Program D III di Undip bersifat

    SWASTA murni dan tidakmendapat subsidi dari pemerintah.Jadi biaya sepenuhnya ditanggungmahasiswa.

    3. Meski swasta, fasilitasnya adalahfasilitas negeri (meminjam gedungkampus negeri).

    3. Program Studi D III bertujuan untukmenambah jam mengajar dosen-dosen Inggris serta menampungsiswa yang gagal UMPTN.

    Penulis berharap masalah SPI inidapat diselesaikan. Dan semoga tulisanini bermanfaat bagi calon mahasiswapada khususnya. Mohon maaf bila adakesalahan kata-kata.

    Alexius Priyo Jati PamungkasMahasiswa D III B. Inggtis '99

    Kecewa pada Dewa

    Lima bulan berlalu sejak aki terakhirmenolak dana SPI (SumbanganPendidikan Institusi). Aksi mahasiswaSastra angkatan '99 dan didukungkawan-kawan SMS (SolidaritasMahasiswa Semarang) itu menuntutdihentikannya penarikan dana SPI.Namun setelah dua kali aksi massa danbeberapa kali dialog dengan pihakDekanat dan pihak Rektomt, tuntutantersebut tidak dikabulkan.

    Tapi yang saya sangat sesalkan, padamasa-masa sulit tersebut, Dewa (DewanEksekutif Mahasiswa) justru tidak berbuatbanyak: Sebagai wakil mahasiswaFakultas Sastra, lembaga eksekutiftersebut tampak tidak mendukunggerakan penolakan SPI yang dimotorirekan-rekan angkatan'99.

    Tidak ada pernyatan dari Dewakepada pihak Dekanat maupun Rektoratbahwa mereka mendukung aksi tersebut,apalagi advokasi terhadap mahasiswaangkatan '99 yang ditekan oleh pihakdosen. Ketika spanduk bertuliskan"Mahasiswa Sastra Menolak SPI"akhirnya dicopoi, Dewa pun tenang-tenang saja.

    ' Saya jadi ingin mempertanyakan,apakah orang-orang Dewa merupakanperwakilan mahasiswa Sastra atau kakitangan DekanaVRektorat?

    Indah SuryaniMahasiswi D III B. Inggris' 99

    KHS Terganial SPI

    Penarikan Sumbangan Pe-ngembangan Institusi (SPI) terhadapmahasiswa D III angkatan '99 kembalimenimbulkan masa-lah. Ketikamengurus administrasi semester dua,kami diharuskan melunasi pembayaranSPI. Kalau tidak, Kartu HasilStudi (l{HS)dan Kartu Rencana Studi (KRS) tidakakan ditandatangani.

    Padahal saat daftar ulang mahasiswabaru, diumumkan bahwa ada tenggang

    waktu satu tahun untuk melunasi SPLMahasiswa hanya harus membayarminimal 507o dari besar sumbanganterlebih dahulu, sedang sisanya bisadilunasi paling lambat akhir semesterdua.

    Tapi tampaknya Fakultas melupakan

    lan;i itu. Ketika kami mencobamengklarifikasi masalah ini kepadadosen wali, mereka tidak bisa berbuatapa-apa. Alasannya karena perintahdatang langsung dari ketua jurusan. Danketika kami menemui ketua jurusan DIII Bahasa Inggris, Bp. Suharno, jugatidak didapat penjelasan yangmemuaskan.

    Sebaliknya, jawaban beliau sungguhtidak mengenakkan. Katanya, padasetiap peraturan pasti ada celahnya.Dikatakan pula bahwa pelunasan danaSPI ini bertujuan membayar gaji dosenuntuk semester j.lua. Dan jika kami tetaptidak mau membayar, KHS dan KRStetap tidak akan ditandatangani.

    Yang ingin kami pertanyakan,semudah itukah Fakultas menjilatludahnya sendiri? Tidakkah mereka ingatpada janji 6 bulan lalu? Dan sebegiturendahkah kepercayaan pihak Fakultasakan kesediaan mahasiswa untukmembiayai perkuliahan, hinggaditerapkan cara-cara pemaksaan danancaman?

    Kami memang tidak bisa berbuatapa-apa. Tapi tidak berarti Fakultasberhak berbuat seenaknya. Apalagi yang

    dipersoalkan di sini bukanlah jumlahyang sedikit. Bukankah lebih baik jikapihak Fakultas terlebih dahulu berembukdengan mahasiswa sebelum mene-rapkan cara kasar ini?

    Semoga tulisan ini dapat menggugahnuiani mereka-mereka yang mungkinlena oleh kekuasaan. Amin.

    Hasto SuprayogoMahasiswa D III B. Inggris '99

    Parkir Tidak Aman

    Lewai surat pembaca ini saya inginmengangkat suatu masalah yang sayaanggap sangat penting. Selamaberkuliah di Fakultas Sastra, saya tidakpernah melihat petugas parkir. Mungkinmemang sepele, tapi saya merasa hal inibenar-benar merisaukan.. Tidak adakepastian keamanan terhadap

    Tergusur perluasan tempat parkir

    HAYAMWURUK No. I Th. XIII/2000

  • kendaman yang diparkir.Memang terdapat pos jaga. Namun

    belum pemah sekali pun saya melihatada petugas di dalamnya. Apa memangpihak Fakultas tidak pernah mem-perkerjakan pehrgas jaga? Kalau benar,lantas untuk apa dibangun pos jagatersebut?

    Akhir-akhir ini saya pernah mende-ngar isu bahwa tempat parkir akandiperluas. Apa hal itu tidak sia- sia jikatetap tidak ada petugas yang menjaga?Apalagi pernah ada kasus di manasepeda motor milik anak Kearsipan yanghilang dicuri. Padahal kejadiannya padasiang hari. Apa hal itu tidak cukupmenjadi bukti bahwa masalah perpar-kiran sudah sampai pada titik kritis?

    Ada satu hal lagi yang saya inginminta penjelasan dari pihak Fakultas.Mengapa selama ini tidak pernahdisediakan tempat parkir untuk mobilmahasiswa? Yang ada cuma parkir mobildosen dan karyawan. Sedang mobilmahasiswa terpaksa dibiarkan beradadiluar pagar kampus. Apakah ini salahsatu bentuk perlakuan "istimewa" bagimahasiswa?

    Saya tidak tahu harus berkata apalagi. Tapi yang penting saya berharappihak Fakultas lebih memperhatikan hakmahasiswa. Jadi tidak cuma menarikpungutan saja.

    Henry LaksanawanMahasiswa D III B. Inggris '99

    WC Sastra Parah

    Mahasiswa Sastra tentu sudah tidakasing lagi dengan masalah buang hajatdi kampus. Di setiap fakultas umumnyaselalu tersedia tempat untuk urusan yangsatu ini. Namun di Fakultas Sastra ada"keistimewaan". Di sini yang namanyatempat buang air benar- benarmemprihatinkan.

    Untuk kepentingan 1500-anmahasiswa, hanya ada satu WC. Itupun baru akhir- akhir ini saja bisadigunakan. Sebelumnya WC ini tidakdapat dimanfaatkan karena tidak ada airyang tersedia. Bahkan sekarang punkondisinya sangat buruk jikadibandingkan WC dosen dan karyawan.Akibatnya mahasiswa lebih cenderunguntuk membuang hajat di WC FakultasPerikanan. Saya yakin pihak Fakultastahu masalah ini. Namun mengapa tidakada tanda-tanda perbaikan, saya tidaktahu pasti.

    Yang lebih parah lagi adalah nasibWC baru. Setelah tidak jelas fungsinyaselama beberapa waktu, kini malahtersiar kabar akan dialihfungsikansebagai kantor HMJ. Bahkan sudahsampai dibongkar-bongkar segala.Namun mana kelanjutannya? Tempat itukini terbengkalai tanpa pemanfaatanyang jelas.

    Selain itu WC satu lagi yang selalu

    terkunci. Tidak jelas apa manfaatnya.Terus terang saya heran, mengaparuangan disia-siakan seperti iiu? Kalauruang itu memang diperuntukkan bagiHMJ, sebaiknya segera ditempati. Biartidak mubazir. Dan kalau memanghbndak difungsikan sebagai WC, jugasebaiknya cepat-cepat dibenahi.

    Meski WC mungkin terdengar sepeledipermasalahkan. Bahkan sayamendengar dari angkatan yang lebih tua

    kalau mereka sudah bosan bicara soalWC. Katanya, setiap kali ada dialogantara mahasiswa dan Dekanat, kondisiWC selalu dibahas. Thpi tetap saja takada perbaikan berarti.

    Tapi saya percaya, sebuahmanajemen yang baik tidak"akanmengabaikan masalah sepele seperti itu.Kalau masalah WC saja belum beres,bagaimana bisa mengurusi masalahyang lebih besar? Jadi, Fakultas jangandulu berteriak-teriak hendakmeningkatkan sarana perkuliahan.Tolong benahi dulu WC Sastra.

    Kristian AriMahasiswa D III B. Inggris'99

    i

    HAYAMWURUK No. I Th. XIII/2000

  • Kota lama Semarang adalahaset kota yang tak ternilai. Tapibanjir, rob, kekurang pedulian

    masyarakat dan pemerintahdaerah menyebabkan bangunan

    tua dan megah berarsitekturHindia Belanda ini nyaris

    tinggal nama.

    Suara Pembaca 1Dari Meja Hayamwuruk 5Artikel 6,23FokusLaporan UtamaOpini 25, 50Media 27,74,88Cerpen 36,64English Corner 38, 59JaringKomentar 53,55Dunia Kemahasiswaan 57

    Jembatan

    Peran

    Tinjauan Pustaka 79,82Lintasan BudayaBudaya

    RUU PKB akan disyahkan menjadiUU, dan kontroversipun berlanjut.Bagaimana pendapat para pakar ?

    " Salah satu tugas penyairadalah mengkaji ulang bahasa.

    Jadi kalau penyair menurutbegitu saia terhadap kaidah

    yang baku, ya sangatdisayangkan ..," ucap

    perempuan yang dikenalsebagai penyair, esais dan

    wartawan-

    Militer merupkan salah satu variabelpngganggu tumbuhnya oposisi di

    Indonesia.

    51

    60Puisi

    li

    I

    J':

    62

    75

    83

    86

    90Seni

    Obrolan Emka 92

    HAYAMWURUK, NO. 1Th. XIIV2OOO

  • #iiifi,2.L-i1ffi 'ii ii i. +H : i;

    Peserta masanq angkata4 1999Generasi baru telah datang

    embaoa, tak t eraoa sadah 15 tahun Haya m wuru k hadir di kampue ini, I ejakmaaih berformat.keoil oampai seukuran sekarang,lS tahun memang bukanueia yang panjang dalam ukuran manusia, Tapi 15 tahun juga bukan waktu

    yanq eingkat" 1anyak hal telah t erjadi: onng-oranq dat ang dan pergi, perubahanmolto majalah, viei dan misi, dan maoih banyak laqi. Terkadang kami bertanya,apakah selama 15 tahun tersebul Hayamwuruk berhaail mengemban arnanat,penderilaan mahasiswa? Menjadi media yan7 mern?erjuangkan aopiraaimahasiawa? Jawabannya bioa beragam dan arnab panjang, Tidak aedikit, yangberterima kasih atae kehadiran majalah ini, tapi juga banyak yang kecewa' Apaboleh buat.

    ?erke'nbangan ?ero yang demikian hebat belakangan ini mernang membl::,:t

    majalah mahaeiewa kian tereisih. Mereka tidak lagi menjadi media alternatif ,bahkan media komplementer Vun i"idak, 1ebuah lonlaran ainie munaul pero'mahaaiswa munoul eekadar oebagaimanifeslaeiromanliemepengelolanya, Atau,pere-mahaeiowa hanya menjadi media onanl media yang dihadirkan dan dibacahanya oleh pengelolany a.

    lni b ar an qkali p e r deb aEan kl a oik, T api d al am e diei ini 7 erEany a a n t er o eb ut'lidak salahnya dikemukakan, Oukan karena romantiome, apalagi oekadar iaerig,melainkan karena hal-hal mendaaar eeperli if,u yang bisa membuai kami tetapwaepada, Anak magang angkatan 1999 kadang berperan dalam Teningkatankewaopadaan ini, ?ert'anyaan'?ertanyaan eepele oemiaal "mengapa Nema inidiangkat, apa tujuann;ya", eerinE membuat mereka yanq lebih lua teraentak,Mungkin karena rutinitas kerap membuat otanq tak lagi banyak bertanya.gementara anak'anak baru ilu ibarat bayi yang belum tahu apa'apa tentangpere-mahaeiawa,

    ?embaca, padat'ahun ini,5 orang pengelola senior mengundurkan diri padaRapat,Kerja (Raker) Vl,Tidakfangqunq'tan4qung,yang rnen7undurkan diri adalahmereka yang menduduki poa penting eeperli pemimpin umum, kepala litbang,pemimpin ueaha, redaktur pelakoana, dan foto7rafer. Oelum oukup, baru 6 bulankepenguruean berjalan, 3 orang pengelola kembali mengundurkan diri dariiabatannya.

    Kami yang masih teraisa, hanya terhenyak. Tapi tidak ada waktu untukmenyeoal| Anakbarutelah daf,ang, dan maeihbanyakkerjayangharus dilakukan,15 tahun bukan waktu yang aingka| Kami peroaya aelama kurun itu kami eudahmelakukan yang t.erbaik untuk Anda. Meeki terkadang kami terengah'enqah,majalah Hayamwuruktetap ada, maeih tetap dibaaa,***

    fi db;Ei!' uKAnbrii;li ., l,irr:i=ii i:.jri

    HAYAMWURUK No. 1 Th' XIII/2000

  • Konstruksi seni dan Jurnalisme seni,Jalan I)enasionalisasi Kesenian

    uatu hari dalam pikiran saya, dimasa orde baru, saya melihatseseorang duduk termangu diBudaya yang berhalaman luas.pancaran matanya ada sesuatu

    yang mampet, sebuah saluran yang tidakmudah diidentifikasi di antara jalinansaluran lainnya. Ia mengeluh. Saya belummendapatkan teman kerja yang cocok.Saya masih harus jalan sendirian.Kesibukan lebih banyak menggagalkanide-ide saya daripada menurunkannyamenjadi sebuah karya seni.

    Perwujudan ide menjadi tidak mudah.Iklim profesionalisme di sekitarsaya mem_buat ide hadir bersama dengan kerumitanuntuk mempresentasikannya. Berbagaimasalah muncul: pembuatan proposaluntuk lembaga yang mau menerima karyasaya, da1a, perizinan, publikasi, wajah-wajah birokrat yang banyak menderitakompleks kekuasaan, dan tetek-bengeklainnya.

    Kerumitan yang memaksa saya untukbertindak manajerial. Tapi tindakanmanajerial memerlukan lembaga danayang aktif, adanya kemungkinan profit, dantenaga-tenaga profesional. Dunia memangsedang diubah. Lewat pembagian yangketat berdasarkan profesi dan profe-sionalisme. Proses bel

  • kadang lebih banyak menentukandaripada kualitas karya seni, Maka bentuk-bentuk jaringan hubungan dalam ke-senian kadang lebih banyak berlangsungdalam bentuk koncoisme seperti ini pula.

    Sepanjang orde baru itu pula, generasiseniman yang lahir sebagai generasi baruharus hidup dalam alam kreativitas yangsudah tidak lagi memiliki mikropon politik.Mikopon politik tetap dipegang oleh ang-katan '66 yang diuntungkan oleh konflikideologis yang berlangsung pada masaorde lama. Maka setiap terjadi gejolakpolitik, di mana kesenian dirasa perlu'terlibat atau melibatkan diri dalam gejolaktersebut. hanya seniman-seniman yangmemiliki stereotip angkatan '66Jah yangmemenuhi mikropon politik tersebut.

    Simbol politik tetap didominasi olehangkatan ini. Generasi baru'dilepaskandari kancah perebutan simbol-simbolpolitik baru yang bisa tebih mewakilikenyata-annya. Generasi yang dibuatmandul untuk melahirkan simbol-simbolpolitiknya sendiri dalam kesenian. Konflikakhirnya lebih banyak digeser ke dalammedan konflik wacana seperti sastrakontekstual atau posmodernisme yangserba canggung, karena ia lebih banyakdipaksakan masuk dari .luar bersamadengan barang-barang impor lainnya.Proses pelucutan politik kesenian memangterus dijalankan dengan intensif.

    Dan sementara itu yang berlangsungdalam dunia pers tidak lebih sama denganbagaimana kesenian dikonstruki di masaorde baru. SIUPP menjadi alat penguasa

    dan menjadikannya sebagai alat bisnis.Komersialisasi pers ikut memurukkan persyang sudah kehilangan kebebasannya kedalam dunia-bisnis yang keras, meng-hadapi persoalan mafia pasar, persainganbisnis yang menghalalkan segala cara.Menggeser ruang publik menjadi ruangkomersial pada setiap mili halaman-halaman media massa. Berdasarkan po[[-ing pembaca, yang akhirnya me-nempatkan rubrik kesenian paling bontotdi media massa, membuat kehadirankesenian dalam media massa kian ringkihuntuk bisa menghadapi cara berpikirtuntutan pasar. Seniman sering.mengeluhkurangnya ruang untuk representasi karyadalam, media massa. 'Media massamemang kemudian lebih banyakmenlperlakukan presentasi karya senimelulu hanya sebagai reportase peristiwakesenian.

    Kondisi tersebut kelihatan sangat ru-nyam. Maka cukup luar biasa kalau dalamkondisi seperti ini, sekali-kali keseniaq bisamembuat keributan dalam bentuk polemikdi media massa. Hubungan yang dekatdan hampir personal antara senimandengan banyak redaki maupun wartawanbudaya, banyak mengobati dan bahkanmengatasi kondisi yang runyam daribagaimana kesenian dan pers dikonstrukioleh permainan politik birokrasi rezim ordebaru.Denasionalisasi Kesenian danDinamika Lokal

    Konstruki dunia seni dan jurnalismeseni seperti itu, tidok lagi kritis terhadappemformatan berlakunya mainstreamkesenian nasional. Kesenian nasional

    memang telah menjadi pusatpenilaian seni. Pusat penilaianyang melahirkan gelombangbesar. untuk sejumlah senimanyang meninggatkan basis lokalmereka agar bisa diterimasecara nasional. Mereka tidakmungkin bertahan padakesenian atau sastra daerahyang ruang jangkaunyaterbatas.

    . Nasionalismekebudayaanyang diturunkan lewat pe-mahaman kesenian nasionalsebagai ptrn.ui.-pun.ak., ke-budayaan daerah, berartisama depgan membiarkandiskiminasi dan dominasi darimereka yang kuat. Maknapersatuan di sini telah meng-khianati sejarah lollal. Paraseniman melakukan tran-sendensi ruang dari imanensisejarah lokal mereka, kemu-:

    dian mensubordinasikan kerja dan ek-sistensi mereka kepada kesenian nasional,Sementara di tingkat nasional, merekatidak hanya mengalami disrememberterhadap masa lalu mereka, tetapi jugakehilangan basis sosial mereka. Senimanmenjadi komunitas nasional yang palingmenderita kehilangan basis sosial,terpotong-potong dari memori masa lalu,sekaligus mengalami depolitisasi di tingkatnasiona[.

    Pers yang tidak hanya menderitamengalami monokulturisasi lewat imajinasinasional yang memusat ini, yang mern-buat dirinya menjadi seragam untukmelayani berita-berita pusat. Tetapi juga

    memiliki beban berat untuk membuka,merakit kembali dinamika lokal-nasionaldalam representasi jurnalisme kesenianmereka. Peran ini lebih berat lagi denganbeban bahasa Indonesia yang harusdijalani oleh seluruh media. Konsensusnasional terhadap bahasa Indonesia telahmembuat dinamika lokat tidak terdistribusi,mdcet, menderita inferioritas berha{apandengan ukuran-ukuran nasional.Sementara imajinasi nasional kita tidakmemiliki akar budaya. Ia hanya lahirsebagai konsensus politik.

    Sementara setiap konsensus politiktidak otomatis bisa mem-presentasi dirinyasebagai lokomotif yang mampumengikutsertakan budaya-budaya lokal didalamnya. Degradasi sejarah lokal dalamkonsensus ini malah lebih banyak terjadidibandingkan dengan sebaliknya.

    HAYAMWURUK No. I Th. XIII/2000

  • . Persatuan yang diturunkan denganpengandaian yang kecil-kecil bisa menjadikuat bila bersatu, menjadi sebaliknyamgiakala persatuan tersebut bekerja lewathulum survivalitas. Yaitu yang kecil bukanrnenjadi kuat:karena bersatu, melainkaniushu dihancurkan di dalam persatuan itusendiri. Penghancuran putin'g nyutu'a--keji kini sedang menghiasi hampir seluruhmedia mqsqa kita lewat banyaknyapembantaian yang dilakukun ord" burusegara intensif di banyak daerah di Indo-nesia, Aceh, Timor-Timur, Irian dandaerah-daerah lainnya.

    Pers dalam peran itu perlu untuk mem_pertimbangkan kembali terjadinya a"- ;li"^11+F.$*"Pldsffiftbei#|';3uffie,.q$:],ltryt1*";fflitatisttrd.#iliruinasionalisasi untuk jurnalisr" ."ni ,unn ' 'ITf,1Y,g,qS,*"iP"Pr1fl$e:fuak"r ip?krra.kita tiEtuiirrpi;";;; i;,;";;; "#ff';:;"#l; +f B:1r* in$s8i+kbri,isrrpBmitihun ',n"air 114i":1u,rl*''$i, ;;;#;;aa-^^*L-r:r.^- ,---^L,,:-"'-':" *"'*: ,Umuni'.(Ip{J)". "I'q': :.,. " ,'-, aaalah'bilamobii ii*"-i-^^^i .-,,,.,,umereka jalankan. sebuah peran untuk ,'lii.i:Xff;;9l"g.s:ffnomisi:PBmilihan:

    rmobil f43ar"6etama'ifi, yang t';didi

    mengembatikan kembati memori-memori ''*tTlY:1._l,l t

    it ,. , ,. ,t *,,

    . ajatah liusoQilnertamd mogok, seluruh

    :',f 1,::";:xlff:;:"T:i**'*;;#:f $*tly.$*fl1,i11"'T;l,*f 1!,,[lfiii$iff "ff *lff ff :Hukum bahasa harus dikembalikankepada realitas budaya yang hidup dalamr.nasyarakat kita yang beragam, dan bukansebaliknya bahasa Indonesia menjadipembunuh nasional untuk bJUaya lokatkita.

    Menghadapi kesenian dan jurnalismedalam konskuki seperti di atas, ada duakemungkinan yang harus dilakukan.Pertama, membebaskan kesenian dari

    : berpusat pada .1,mainstream besar yangmoderniime duniu' iun ["i;;:;bil; liffi

    $yimbapg yOIg teiiotgnisiq betum terciptasaat,rinl,"Silaih karena=kiia masih mud,

    matnstream. besar yang berpusat pada '.:flooYrrTIIlABWahlS-lirpi,siapayangb$a *' t1i"g"SdJ4mar:ini tradisi;oposisi di negaraT:durl:r: dunia; dan kedua, kembati ke ' mffimin bah p'iEideh ketig int tidiint; :iltita'barutiehgt& 'bersikap kritis 'ierha-dapdalam kehidupan komunitas. Dua hal yang 'akan berakliii seperfi merela? :

    :"r 1, pefrerintah,-meski hii iiu rudatr .uatu

    dilakukan untuk melihat kembali ke] , Peralihan kekuasaan sebenarnya , kdrnajuan-yangbiaianya'identikdenganq( nstrluqll hg- - ------. vYvvrre.rrys ir' '-..':r,":..1 yerrl,. vrqrsrryq ruEtruh llgltgallhidupan bersama kita dan mengalami per- r., 11eruRakan hal wajar dalam t"rlllu9 pofitik. fenomana' on e mtan"shqu). Kritik Aisyah:uii!i.$F*i+}$$tfitl,] r"i

    Sebuah p"rilrirun yangberdasarp"d" fifrgfli:lij,,iri:,beiiim *.1*p: *:lJwati -11""g.f iiit3i!iil+;*t"rt""o" i,iii|iikenyataan bahwa krisis ekonomi dan ,f:1iT:lt:_i:1n* mulus' l;nsa1."T-. jtT..,|ftlsilir'm31nang-pol, dipuji. Tapi dipotiiit vang 11" "r"r, i,",.;;ffi ,

    j11.r1.n*, tanpa menumpittin'aaiut,." :rsrtil.giin,yaegdiLutuhkanlebihajriset

  • ,iiti;iii#

    ffi

    .:.

    i'r+

    H

    ii:i

    ffifffi

    ,i

    onfigurasi kekuasaan berubah, tapioposisi tidak. Ia tetap terpuruk. takeduli siapa yang berkuasa

    Agaknya ucapan Lord Acton bahwa por.uertends to corrupt nyata terbukti di Indone-sia. Peta politik selama rezim orde lama.orde baru, juga orde transisi, menunjukkanbetapa korupsi dan kolusi sudah mendarahdaging. Oposisi -hal yang mutlakdiperlukan dalam penegakan demokrasi-tak pernah berkembang.

    Rezim orde baru adalah contoh yangpaling fenomenal. Selama lebih dari 3dekade, rezim di bawah Soeharto tersebutsukses "mengamankan" demokrasi daribenih pembangkangan yang hendakmengusik hegemoni kekuasaan. Upaya

    tersebut terbukti sukses, dan agaknyaberpengaruh sampai sel

  • Demontrasi menentang UU SubversiKonfigtrrasi Politik tidak mendukung oposisi

    Pemikiran Aristoteles berabad-abad lalutentang "warga negaro yang baik adalahyang ikut memikirkan keodaannegaranya", digeser menjadi:,,warganegara yang baik adalah yang membiarkannegoranya berpikir sendiri.',

    Akibat dominasi negara tersebut, makatidak ada kekuatan nyata dalam ciuil soci_ety. lni berlangsung terus dalam sejarahpolitik di Indonesia. Walau sempat terjaditerdapat perkembangan ciuil society yangcukup menonjol pada 1950-an, dapaidikatakan negara tetap merupakan unsur'dominan dalam perkembangan itu.Selanjutnya, pada masa demokrasiterpimpin, ciuil society mengalamikemunduran, dan akhirnya terpasungsecara sistematis pada masa orde baru.

    Pemasungan ciuil society pada masaorde baru diawati dengan pembersihanPKIdan ormas-ormas pendukungnya, sertapelarangaran ajaran komunis. Kemudiandiikuti dengan penyederhana-an partai diawal 1970-an, penerbitan lima paketundang-undang politik, dan penetapanPancasila sebagai satu-satunya asas padapertengahan 1980-an. Apa yang dilakukanorde itu tidak hanya mempersempit ruanggerak, tapi juga mempersempit diskursuspolitik di Indonesia.

    Lebih jauh, dengan alasan demipembangunan, keterlambatan indus_trialisasi, dan kebutuhan memacu

    pertumbuhan ekonomi, negara terusberupaya mengembangkan dominasinya.Masyarakat pun semakin terasing dengankehidupan politik.

    Siapa saja yang tidak sepaham denganpemerintah akan dicap subversif .Perbedaan, bagi rezim, tidak dipandangsebagai berkah, melainkan dianggapsebagai potensi bahaya yang harus segeradihancurkan. Keragaman, kompetisi antarkelompok, ideologi toleransi politik _yangmerupakan prasyarat demokrasi_menjadi sesuatu yang langka waklu itu.

    Dalam konteks inilah kita jadi pahambila kemudian oposisi mengalami kematiansecara perlahan. Oposisi diartikan sebagai,ipengganggu"

    bukan,,partisipan,,. Ataudalam istilah Isabel de Madriaga, oposisitidak dipahami sebagai pemerhati,pengontrol, dan evaluator perilaku dankinerja negara.

    Oposisi juga tidak dipahami sebagaisubkultur dari demokrasi. Alhasil, gerakanoposisi.pun mengalami kemerosotanseiring tidak tersedianya saluran struktural.Selain itu, kematian tersebui juga didukungoleh tiadanya pelembagaan oposisi dankurangnya informasi bagi masyarakat. Iniberdampak pada posisi tawar kelompokoposan terhadap pemerintah.

    Dalam kondisi yang tidak memungkin-kan pertumbuhan oposisi secara sistematistersebut, sebenarnya beberapa pihak telah

    mencoba memosisikan dirisebagai counter player bagirezim. Tokoh-tokoh seperti AliSadikin, Anwar Haryono,Wachdiyat Sukardi, SujitnoSukirno, Radjab Ranggasoli, danCrist Siner Key Timu -yangkemudian tergabung dalamPetiii SO-adalah satu contoh.Namun karena selalu meng-hadapi benteng kokoh ordebaru, berbagai usaha itu berakhirsia-sia:

    Tapi perjuangan kelompokoposan di Indonesia tidakterhenti sampai di sini. Sejumlahanak muda muda yang ter-wadahi dalam PRD misalkan,dengan frontal mengkritiklengkah-langkah kebijakanSoeharto yang menyengsarakanralgat. Walaupun pada akhirnyamereka sempat berakhir dipenjara, setidaknya mereka

    berjuang untuk menegakkan masyarakatyang kritis dan partisipatif terhadap politikdan kekuasaan negara.

    Orde Baru dan Stigma Oposisi"Belajarlah pada sejarah,', demikian

    kata orang bijak. Pepatah tersebut agaknyadihayati benar oleh orde baru. pengalamansemasa orde lama membuat Soehartoberanggapan bahwa kehancur-ankepemimpinan Soekarno disebabknyapemerintah membiarkan orang-orangyang kritis tetap bersuara. pada masa ordelama -karena tidak ada kekuatan monopolidalam parlemen-perang mulut dalambentuk adu program dan adu pemikiran,memang menjadi pemandangan sehari_hari di lembaga wakil rakyat tersebut.

    Oleh sebab itu, pemandangan sepertimasa orde lama terhenti ketika kursikekuasaan beralih ke tangan Soeharto.Oleh orde yang dulu berniat me_laksanakan Pancasila dan UUD ,45 secaramurni dan konsekuen ini, oposisiditafsirkan menjadi begitu menakutkanuntuk dilakukan. Dan sizjak saat itu telingabangsa Indonesia tidak dibiasakan untukbersikap terbuka terhadap suara-suarakritis.

    Padahal tanpa oposisi, demokrasi bisadikatakan hanya berhenti sebagai slogan.Pembangunan demokrasi hanya terhentisebatas teori. Karena demokrasi bermuladari dibiarkannya setiap orangmengungkapkan kebenaran, dan terbiasa

    IOTh. xrrl/2000IIAYAMWURUK

  • I "rl,rp dmgan menerima kebenaran yangd:ungkapkan orang atau kelompok lain,:rngF muncul toleransi politik.

    Menurut pengamat politik David Held,demokrasi diperjuangkan sebagaimekanisme yang memberikan legitimasipada keputusan-keputusan politikmanakala setiap peserta mengikuti prinsip-prinsip,,aturan main, mekanismepartisipasi, mekanisme representasi, danakuntabilitas yang pantas.

    Oleh karena itu, di dalam lingkunganpolitik yang diwarnai oleh pluralitas -baikitu kebudayaan, identitas, maupunkepentingan- demokrasi menawarkansuatu landasan bagi terciptanya suatutoleransi dan musyawarah. Dengan katalain, keragaman menjadisalah safu sumberbagi dinamisasi demokrasi.

    Oposisi jangan dipahami sebagaisejenis kelompok penentang yangmelawan membabi buta. Menurut EepSaefulloh, pengamat politik dari UI, oposisiadalah setiap ucapan atau perbuatan yangmeluruskan kekeliruan tapi sambilmenggarisbawahi dan menyokong segalasesuatu yang sudah ada di jalan yangbenar.

    Atau dalam istilah Amien Rais, tugasoposisi adalah amar mo'ruf nahi munkar.Ketika kekuasaan mengalami kekeliru-an,lanjut Eep, Oposisi berfungsi mengkritisidan menjelaskan kepada khalayakmengenai kekeliruan itu sambilmembangun penentangan dan per-lawanan.

    Sebaliknya, ketika kekuasaan berfungsidengan benar, maka oposisimenggarisbawahinya sambil mem-bangunkesadaran dan aki publik untuk kelanjutandan konsistensi praktik kebenaran itu.

    Sayang rezim orde barumendefinisikan oposisi tidak searif Eep.Bagi pemerintahan Soeharto, oposisidalam segala bentuknya adalah sesuatuyang mengancam kelestarian kekuasaan,dan karena itu harus dimusnahkan.

    Untuk memusnahkan kelompok-kelompok oposisi, dibuatlah kebijakanseketat mungkin. Selain disekat olehberbagai undang-undang, pemusnahanterhadap kelompok oposisi juga dilakukandengan perilaku kekerasan terhadap warganegara.

    Belum cukup, politik bahasa punditerapkan. Eufemisme negatif dilabelkankepada kelompok-kelompok kritis tersebutdengan menyebut mereka sebagaipembangkang, kelompok tak puas, yang

    bertujuan mengaburkan persepsimasyarakat.

    Berbeda.dari Eep, Mangunwijayadengan cerdas merumuskan opoisi sebagaiantitesis yang menyetubuhi pemerintah.Disebut demikian karena ia ada dalamposisi yang sama dengan pemerintah.Dalam artian, keberadaaan oposisi dalamsebuah pemerintahan bukan hanyasebuirh hak, tapi juga kewajiban. Di sininegara wajib memberi ruang danmelembagakan kelompok oposisi.

    Cornelis [ay, dosen ilmu politik UGM,mengatakan bahwa oposisi ada bukan sajauntuk kepentingan oposisi on sich. Thpilebih dari itu, oposisi bertugas mengorekikeseluruhan bangunan politik.,,Oposisiharus mendengar pemerintah bilapemerintah memang benar, dan demikianpula sebaliknya," tandasnya.

    Senada dengan Cornelis Lay,Damardjati Supadjar menganggap bahwaoposisi pada hakekatnya adalah satukesatuan dengan pemerintah. Lebih lanjut,dosen filsafat UGM ini mengatakan bahwamelawan untuk saling menghancurkantidak ada dalam tradisi oposisi. ',Kiia inimerupakan satu kesatuan, jadi tidak adasaling menghancurkan," ungkapnya.

    Oposisi memang merupakan subkulturdemokrasi, dan keberadaan oposisi mutlakdiperlukan demi tegaknya kehidupanberdemokrasi. Tapi pada bagian lain,membangun sesuatu yang telah lebih dari40 tahun binasa bukanlah suatu pekerjaanmudah. Memulai sesuatu yangsudah lama

    tak ada tentu akan memancing kegagapandan kegamangan politik.

    Setidaknya, suasana itulah yang kitarasakan saat ini menyusul jatuhnyaotoritarianisme Soeharto. Lebih dari 30tahun, otoritarianisme Soeharto telahbenar-benar telah memasung oposisi.Segala pernik pluralitas direduksisedemikian rupa sehingga menghasilkanout put serba tunggal. Karena dianggapsebagai ganjalan dan penghambatpembangunan, perangkat sistematik dankultural bagi oposisi dihancurkan secarasistematis.

    Ancaman pun ditebar kepada merekayang mencoba mengusik kekuasaan. Tidakhanya itu, berita penculikan, pembunuhan,pembredelan pers pun menjadi sesuatuyang mengakrabi telinga. Kekuasaan pundiposisikan sedemikian rupa hinggaseolah-olah steril dari perbuatan dosa.Sampai puncaknya, negara telah menjadisesuatu yang untouchable, lak tersentuh.

    Seiring dengan tetah luluh lantaknyaprasyarat sistematik dan belum dewasanyakultur masyarakat kita, kesulitan punmenghadang takkala kita mencobamemulai kembali menumbuh-kan budayaoposisi. Beberapa masalah yangmenghadang, ungkap Cornelis, pertamakarena kita tidak punya tradisi oposisi.Kedua, masyarakat, terutama kalanganmiliter, masih terhantui oleh peristiwa tahun50-an -waktu oposisi mencapai puncakkejayaan di bawah demokrasi libreral-yakni dengan jatuh bangunnya

    Demonstrasi MahasiswaSalah satu komponen oposisi

    HAYAMWURUK No. t Th. XIII/2000 il

  • pemerintah. 'iTapi saya optimis, kelompokoposisi di Indonesia akan bermunculanbaik di kalangan parlemen maupunelatraparlemen, karena struktur kekuasaanatau struktur sosiat politik tidak tersentrallagi tapi sudah menyebar," papar Cornelis.

    Arbi Sanit, dosen Fisip UI,memaparkan bahwa tumbuh kembang-nya oposisi di Indonesia akan sangat'bergantung pada sistem pemerintahanyang dibangun penguasa. Oposisi akanberkembang bila sistem yang dipakaiadalah sistem yang berdasarkan check &balances, atau berdasarkan trios politica -memisahkan dan membagi kekuasaannegara- bukan berdasarkan sistem bagi-bagi hasil.

    "Kalau dibangun sistem pemerintahankooperatif, dalam arti semua kekuatan ikutbermain dalam pemerintahan,'ya jelastidak akan ada oposisi," paparnya.

    Mati dan tertutupnya kran demo-kratisasi dan oposisi, menurut catatan Eep,dikarenakan beberapa se.bab. pertama,dalam 40 tahun terakhir, politik Indonesiamengalami peniadaan oposisi. Sehinggadalam kurun waktu tersebut, masyarakatseperti kehilangan daya kritisnya. Kedua,masih ada kecenderungan pada berbagaikalangan politik untuk lebih senangmengurusi perbedaan ketimbangmembangun titik temu. Ketiga, banyakkalangan politik yang salah dugamenyangkut reformasi. Mereka mengirareformasi adalah lomba lari jarak pendek,padahal reformasi adalah sebuah maraton.

    Kondisi itu, kemudian diperparahdengan belum diakuinya hak hiduplembaga oposisi dalam perpolitikan Indo-nesia. Struktur kelembagaan formal tidakmenyediakan saluran partisipasi politikoposisional. Sistem perundang-undangankita pun belum ada yang mengaturmengenai kelembagaan oposisi. Alhasil,selama ini kita hanya mengenal oposisiektra-parlemen. Tidak ada oposisi dalamparlemen yang memosisikan diri sebagaishqdow gouernment (pemerintahbayangan), yang setiap saat siapmengambil alih peran pemerintah yangdinilai tidak becus bekerja.

    Pelembagaan OposisiDi beberapa negara maju, kelompok

    oposisi terlihat demikian mudahmengobok-obok pemerintah. Catatanyang masih membekas, bagairlranakelompok opo6isi di India di bawah SoniaGandhi berhasil memaksa diadakannya

    Perlawanan menentang pemerinlah

    pemilu ulang menyusul buruknya kinerjapemerintahan hasil pemilu. Atau gerakanmogok besar-besaran di Bangladesh yangdimotori oleh kelompok oposisi dalamrangka menggulingkan perdana mentriyang dianggap korup dan tidak mampumengurus warga negara.

    Tak bisa dimungkiri, oposisi dalamnegara-negara itu mempunyai posisi tawaryang kuat terhadap pemerintah. Maklumsaja, sistem parlementer yang mereka anutmemang memungkinkan terjadinyapraktek tersebut. Kemenangan Partai IslamSe-Malaysia (PAS) di Kelantan danTerengganu, juga memberi sinyalbangkitnya kelompok oposisi di negeri itu.

    Di Indonesia, meski diklaim sebagaisubkultur demokrasi, oposisi tidak pernahmendapat tempat dalam strukturkelembagaan formal perpolitikan Indone-sia. Justru yang tampak selama ini -dibawah rezim'orde lama dan orde baru-adalah pemberangusan terhadap bibit-bibit oposisi. Karena tidak adapelembagaan oposisi dalam negara, makayang muncul kemudian adalah model-model oposisi jalanan.

    Hendri kuok, sekjen Partai RakyatDemokratik (PRD), adalah salah seorangyang tidak setuju dengan pelembagaanoposisi.

    "Pada zaman orde baru, seorangSoeharto pun bisa digulingkan oteh

    kekuatan oposisi yang berbentuk komitesementara dengan mahasiswa sebagaielemen terbesar." katanya.

    Dengan begitu banyaknya elemenoposisi yang berserak -mahasiswa, LSM,partai gurem- Kuok beranggapan bahwayang dibutuhkan sekarang adalah wadahbaru. Sebuah wadah alternatif -entahberbentuk partai politik atau ormas- yangbisa memperjuangkan aspirasi mereka."Persoalannya sekarang, mereka butuhwadah baru. wadah alternatif yang bisamemperjuangkan aspirasi mereka, "tandasnya. Kuok bahkan optimis, tidakakan ada oposisi di parlemen.

    Hampir senada, Azzyumardi Azraberpendapat bahwa dengan model bagi-bagi kekuasaan seperti ini tidak akanpernah didapati oposisi di dalam parlemen."Dengan bagi-bagi kekuasaan, saya skeptisdan pesimis akan tumbuh oposisi diparlemen," ungkapnya. Idealnya, menuruiRektor IAIN Syarif Hidayatutlah ini,pelembagaan 607o kekuatan politikmembentuk pemeriniahan- sedang 40%lainnya menjadi oposisi. "Tapi rupanya elitpolitik kita lebih konsen pada kekuasaandaripada menegakkan demokrasi yang se-sungguhnya, " lanjutnya.

    Hal senada juga diungkapkan Syafi'iMaarif. Menurut ketua Muhammadiyah ini,Oposisi tidak perlu dilembagakan. "Kalaudilembagakan, saya khawatir oposisi

    ,W.,f

    ffid&ffi&ffi

    TempoPeristiwa Malari 1974

    t2 HAYAMWURUK No. I Th. XIII/2000

  • n:alah tidak akan efektif."I*Iacana kelembagaan oposisi memang

    atan terkait dengai-r sistem pemerintahan

    1;ang dipakai. Hingga nyaris mustahil,dengan mekanisme gotong royong dankekeluargaan model pemerintahan Indo-nesia saat ini, oposisi akan bisa terleSnbaga.

    Yang muncul pun tak lebih dari one manshou, kritik perorangan. Bukan kritik partai.

    Sementara itu, dengan jeli BudiSusanto mencoba menyingkapi ketidakelembagaan oposisi di Indonesia dariperspektif hukum. Menurut ketua LBHYogyakarta ini, tak ada satu pun pasaldalam UUD'45 menyebut, menyinggung-nyinggung, apalagi melegitimasi eksistensioposisi.

    Karena tidak memiliki dasar hukum,

    Elit politik lebih konsen pada kekuasaan

    lanjutnya, legitimasi oposisi kemudian tidak

    pada le\gitirnasi hukum, tetapi padalegitimasi sosial politis. Pengakuan yangmelegitirnasi pun kemudian berasal darikomunitas yang ada di sekitarnyat. Lebih

    tanjut Budi mengatakan, sampai sekarang

    masih sulit menentukan format oposisiyang tepat untuk masa mendatang.Apakah perlu pelembagaan yang jelas dan

    didasari legitimasi hukum bagi merekayang melakanakan peran oposisi. Karena

    bicara mengenai legitimasi hukum berartijuga membuka wacana amandementerhadap UUD '45.

    "Oposisi dalam sistem presidentil itu

    tidak akan pernah ada," tegas IchlasulAmal. Rektor UGM ini menegaskan, jika

    akan diadakan amandemen UUD '45,maka harus jelas arah amandementersebut. Apa mengarah ke parlementeratau ke mana. Ia menegaskan, dalam

    sistem parlementer, yang tidak dudu[dalam pemerintahan akan otomatismenjadi partai oposisi.

    Lance Castle membedah fenomena ini

    -perbedaan parlementer dan presidentil-dengan merujuk pada pemerintahanmodel Australia. Dengan sistem dwi partai,

    hanya ada dua pilihan bagi partai politik,menang menjadi.pemerintah atau kalahdan menjadi oposisi.

    "Jadi disamping ada menteripemerintah, juga ada menteri bayanganyang bersiap-siap menggantikan,"ungkapnya. "Perdana Menteri adalah ihe

    leader of the opposition, yang menggajimenteri bayangan sama seperti menggajimenteri pemerintah. Ini kalau di Austra-lia," tambahnya.

    Oposisi, Sejarah Yang TertundaMenyimak sejarah oposisi di Indone-

    sia Selama dua periode pemerirltahan,yang tergambar hanyalah kemunculanmusim semi kebebasan yang sangatpendek. Dalam kontek lain, bisa dikatakanbahwa sejarah Indonesia sejakkemerdekaan sampai orde baru adalahcerita teniang proses pembentukan sistem

    dan kultur yang pro oposisi, tapi diakhiridengan cepat oleh praktik-praktikpemberangusan oPosisi.

    Sesaat setelah kemerdekaandiproklamirkan, melalui maklumatpemerintah No. X November 1945, lndo-nesia memasuki sistem liberal. parlementer

    yang berbasiskan partai politik. Masa inilah

    yang oleh banyak pengamat kemudiandisebut sebagai masa bulan madu oposisi.

    Oposisi terbangun sebagai sesuatu yang

    lazim dan biasa. Tak ada usaha-usahapemberangusan oposisi, karena merekatidak dianggap sebagai ganjalan atauancaman.

    Udara demokasi benar-benar terasaketika sistem parlementer yang diterapkan

    berjalan dengan baik. Logika sederhanaparlementer, yang menang jadi pemerintah

    dan yang kalah jadi oposisi, benar-benardihayati oleh partai politik. Sirkulasikekuasaan berjalan lancar. Oposisidipandang tidak kalah terhormat denganpemerintah. Sejarah pun mencatat pemilu

    1955 sebagai Pemilu Yang Pallngdemokratis. Hingga oleh BoYd R.Compton, Herbert Feith, atau Alfian,pemilu 1955 dipandang sebagai pemiluyang elegan.

    Sayang, musim kebebasan Pun setali

    tiga uang dengan usia jagung. Singkat.

    Eep S FatahOrde baru membrangus oposisi

    Merasa terancam oleh Angkatan'Darat,Soekarno pun kemudian memperkuatkekuasannya dengan mengeluarkan Dekrit

    Presiden 5 Juli 1959. Dengan itu, Soekarno

    menjalankan kekuasaan secara penqh atas

    nama demokrasi terpimpin.Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan

    Masyumi, yang waktu itu menentang,disapu bersih, dan akhirnya dibubarkanpada 1960. Maka, jadiiah 1957-1959 masa

    kemunduran demokrasi parlementer di ln-

    donesia, yang juga berarti terpinggirnyaperan partai politik. Dalam istilah Herbert

    Feith, Indoinesia saat itu mengalamidengan apa yang ia sebut sebagai"Thede'cline of Constitusionol democracy in lndo-nesia".

    Karakter demokrasi terpimpin yangsentralistik, eksklusif, dan antipublikmenyebabkan potensi-potensi oposisimengalami proses pembinasaan sis-tematis. Perangkat sistematik dan kulturalyang selama ini terbangun, luluh lantaktersapu mantra "revolusi yang belumselesai". Oposisi pun kemudian dianggapsebagai pengkhianat, kaum reaksioner,kaki tangan imperialis, atau kaum antirevolusi. Sejak saat itu, mulailah oposisimengalami proses kematian yang sangat

    mengenaskan."Waktu itu semua dipaka ikut revolusi'

    Barang siapa tidak ikut revolusi berartimusuh revolusi dLn akan digilas," ungkap

    Lance Castle. Demiki4n juga halnya, ketika

    pada akhir tahun 1960-an Soehartomengakhiri hegemoni DemokrasiTerpimpin, tak terjadi diskontinuitas' Yang

    terjadi lagi-lagi hanyalah musim semi

    I

    I

    l3

    -''HAYAMWURUK No. I Th' XIII/2000

  • Lance CastleOptimis oposisi tumbuh

    kebebasan yang berumur pendek.Mula-mula dalam tahun-tahun

    pertama pemerintahan Soeharto, Indone-sia menikmati kebebasan yang mungkinlebih besar dari rezim sebelumnya.Kebebasan bicara dijamin, buku-buku danmedia cetak bebas beredar. Masyarakatpun bebas berorganisasi. Pilar-pilardemokrasi benar-benar ditegakkan padawaktu itu.

    Tapi kemudian, mulai awal 1980-an,semuanya berbalik. Semenjak Munas IIGolkar di Denpasar, Bali

    -seiring dengan

    pembesaran kekuasaan Dewan Pembinayang memusat pada ketua DewanPembina- mulailah kekuasaan personalSoeharto terbentuk.

    Personalisasi dan sakralisasi kekuasaanSoeharto pun mulai menggelinding sejaksaat itu. Soeharto kemudian menjelmamenjadi titan pemangsa demokrasi sepertihalnya Nicole Ceausescu di Rumania. Iaselalu meredam dengan tuntas bila munculsikap-sikap oposan.

    Boleh dikata, tak ada percaturan politikdi sini. Yang ada adalah perintah atasanuntuk menjalankan peraturan. Thk adagagasan-gagasan atau ide-ide politik yangbertentangan yang perlu dicarikansintesanya. Karena yang hidup bukan ide,melainkan peraturan.

    Secara umum, Eep Saefullah Fatahmerunut pemberangusan oposisi di masaorde baru dengan membagi tahap demitahap rezimentasi ke dalam lima fase. Fasepertama adalah fase konsolidasi awalrezim (1967-1974). Dalam fase ini rezimorde baru baru terbentuk dan sedangmenata aliansi di dalam dirinya secara in-ternal. Dalam fase ini, Soeharto belummenjadi siapa-siapa. Ia masih menjadibagian dari kekuatan politik militer secara

    kolektif. Belum mandiri. Fase rezimentasiini kemudian tersokong oleh kemenanganmutlak Golkar -memperoleh 62,8yosuara- dalam pemilu 1971 yang penuhrepresi dan mobilisasi.

    Peristiwa Malari 1974 menjadi titik tolakorde baru memasuki fase kedua (1974-1978). Pada fase ini Soeharto mulai sadarbahwa kedudukan politiknya amat rentanoleh konflik intra-elite. Ia pun melakukanseleksi ulang pengikut-nya dan

    - memperkuat posisinya sebagai kekuatan! politik mandiri.fi Fase ketiga ditandai dengan Munas II

    Golkar pada tahun 1978 di Denpasar, Bali,yang menandai keberhasilan Soehartomembangun rezimentasi atas dirinyasendiri (1978-1985). Metalui pembesarankekuasan Dewan Pembina yang memusatpada Ketua Dewan Pembina, Soehartosukses menjadikan Golkar sebagaiinstrumen politik yang bisa dikendalikan.Kekuasaan orde baru pun makinmengerucut ke tangan Soeharto.

    Fase keempat rezimentasi orde baru

    pilar baru pendukung politik Soeharto.Kelima fase itulah yang kemudian

    digambarkan oleh Eep dalam bukunyayang lain, Bangsa Soyo gangMenyebalkan, yang melahirkan empatkarakter operasi kekuasaan orde baru:sentralistis, otonom, personal, sakral.Kekuasaan pun berubah menjadi sakral,tak tersentuh dan tak bisa disalahkan.

    Apa yang disebut Peter Worsley dalamThe Third Woy (1983) sebagai siklusotoritarianisme mengejawantah di sini.Otoritarianisme lama runtuh, dan sebagaiganti munculah otoritarianisme baru,sekalipun dengan wajah berbeda.

    Satu ha[, oposisi pernah mengalamimasa bulan madu di negara ini. Danapakah di bawah kepemimpinan Gus Dur,oposisi -apapun bentuknya-kembaliakan menikmati masa jayanya? Ataukahmalah akan lahir titan-titan pemangsademokrasi baru di negara yang sedangmengeja demokrasi dari abjad yang pal-ing awal ini.

    LeliSugi, Hendra, Condro

    Ben Andeison Tempo

    terjadi antara 1985-1990. Fase ini ditandaidengan diundangkannya 5 paket undang-undang politik -tentang partai politik,organisasi kemasyarakatan, pemilihanumum, susunan dan kedudukan MPR/DPR/DPRD, dan referendum.

    Fase kelima (1990-1998) ditandaidengan dipakainya simbol Islam sebagaiidentitas baru Soeharto dan orde baru.Islamisasi -dalam pengertian sekadarsimbotik- ini memberikan basis legitimasimoral bagi orde baru tanpa mengubahkarakter kekuasaan sama sekali. Dalamfase ini pula kalangan Islam-politik meniadi

    HAYAMWURUK No.1 Th. XIII/2000

  • mfru=i

    Ekoperimen gingkat Oprsisi. -.:.' __ ;

    f-),o,.r"n aoaran stmlor negara. )af hrnvo, merupakon kepqla itegara,I r' .{ak lebih dor;i itu,. lresiSen takberhak'! m,encimpurl irusan-urusanIembaga ti4.ggi: negara semoca,rn DpR,Mah'kamah Peradilan, dan DeutanPengawas Keuangan. Kebebasan indiuidase6ogoi.,so/ch iarrr p, jl il: i.ios+,,','b en ay;h e-n -ar,t erj gmin ; :,Dem ikian i:esq rnesinghl nstitusi,:UUOS,l:g5o,.'.",:.'-1.,'-.:

    UUDS 1950 memang cerita lama. Tapipaling tidak, konstitusi itu punya [embarantersendiri dalam sejarah demokrasirepublik ini. Pada masa berlakunyalt

  • ffiiilt

    eabad lalu Lord Randloph Chruchill,politisi kawakan Inggris. peinahberucap di depan parlemen, ,,Ti-rgas

    oposisi adalah menentang.,, Tigadasawarsa selanjutnya penafsiran Cruch-illtelgblt drjadikan acuan oleh partai yangtidak dilibatkan dalam pemerintahan diInggris atau pun di dataran Eropa-Menentang dan menghancurkan peme_rintahan produk lawan adalah proyekutama partai tersebut.

    Cruchill tidak salah keiika menafsirkanoposisi sedemikian rupa. politik di Inggriswaktu itu mendefinisikan oposisi secarasederhana: merebut kekuasaan daripemenang. Sampai akhirnya reformasipolitik pun bergulir dan berhasilmendefinisikan oposisi secara lebihhumanis. Tugas oposisi bukan sajamenentang. tapi juga menggodok konsepyang akan menjadi counterproductiuekebijakan pemerintah. Selain itu oposisipun berhak membentuk draft kabineiyangsewaktu-waktu bisa digunakan untu[menangani tugas-tugas pemerintahan.Sejak.modernisasi politik berlangsumg,banyak ruang diciptakan bagi kelompo[-kelompok kritis (crificol group) atau pun

    Tempo

    partai di luar pemerintah uniuk mengkritisidan mengevaluasi kebijakan p-ariaipemenang pemilu.

    Tapi itu cerita politik yang sukses dinegeri Margareth Thtcher dan negara-negara yang melakukan modernisasipolitik. Di Indonesia lain lagi. Ketika bangsaini memperoleh kembati kemerdekaannya,para founding fathers menentukan duatujuan yang harus diiekankan dalamkehidupan berbangsa dan bernegara:demokrasi dan pembentukan masyaiakatsosialisme. Pada waktu itu munculperdebatan mengenai model demokrasiyang akan diterapkan di Indonesia. Hattadan Syahrir cenderung pada demokrasiyang memberikan hak-hak sipil, sementaraSoekarno lebih menginginkan demokrasiyang terkendali dengan satu pusaran(demokrasi terpimpin).

    Kesepakatan antara dua pihak ini tidaktercapai, hingga agar tidak terjadiperpecahan pada negara yang baru mulaidibangun, Soekarno mengambil gariskonvergensi untuk mengakomodasiberbagai kepentingan dengan menerapkandemokrasi model parlemen. Ulaetdemokrasi itu ditirunya dari dataran Eropa,

    ffi,,#

    di mana pemerintahan dijalankan olehperdana menteri.

    Langkah Soekarno itu disambut baikoleh para petinggi partai yang waktu ituberjumlah puluhan. Untuk mempercepatpembentukan pemerintahan yang sahsecara yuridis, diadakanlah pemilu padatahun 1955. Pemilu usai, hitam di atasputih pun tampak. Lima besar partaipemenang pemilu muncul: pNI, NU, pKI,Masyumi dan PSI. Dan sebagai partai yangmendapat suara terbanyak di antara partalpeserta pemilu lain, kelima partaitersebutlah yang berhak membentukkabinet.

    Karena masing-masing partai mem_punyai basis ideologi yang kontrasperbedaannya

    -pKI yang komunis. pNIdan PSI yang nasionalis. NU dan Masyumiyang agamis-konflik pun menyeruak.Dalam kondisi seperti itu maka kabinetterpaksa dibentuk dengan cara meng_akomodasi berbagai kepentingan pNI, pSI,NU, PKI dan Masyumi. Untuk sementararamuan itu manjur.

    Sayang, kondisi itu tidak berlangsunglama. Wakil partai pemenang pemilu dikabinet bukahnya merumuskan kebijakanuntuk .mengatasi bangsa dari pelbagaikrisis, melainkan saling berebutkekuasain.Sentimen superioritas partai adu argu_mentasi yang tak selesai_selesai adalahpemandangan setiap hari. Sikap-sikapseperti itulah pada akhirnya mengancamkeutuhan kabinet dan ini berlangsungsampai pembentukan kabinet-kabinet.selanjutnya. Yang tragis, sentimen kepartai-an dan perebutan kekuasaan akhirnyamenimbulkan insiabilitas politik, dis_integrasi, kudeta, dan bermacam tindakkekerasan lain.

    . . Kejadian seperti itulah yang padaakhirnya melencengkan penafsiran

    d$

    +

    I

    HAYAMWURUK No. I Th. XIII/2000

  • l r ... ... : l,;UTAT'/IA

    :erhadap demokrasi di Indonesia, termasukci dalamnya kehidupan masyarakat yangxampu melakukan gerak oposan. Belum.agi politik modern diterapkan, demokrasiCan oposisi sudah hancur terlebih dahuluSoekarno pun akhirnya menggunakanpelbagai kekacauan tersebut sebagaiiegitimasi untuk menerapkan demokrasiterpimpin. Dan sejak saat itu, ia punmenjadi diktator pertama di Indonesia.

    Berbagai langkah yang Soekarnoantara lain: penciutan jumlah partai,penangkapan tokoh-tokoh kritis, pe-menjaraan dan pencabutan hak-hak politikorang-orang tertentu. Banyak kelompokkritis menyesalkan kebijakan Soekarno itu,karena mengancam kehidupan ber-demokrasi bangsa Indonesia. Ambivalensipotitik menjadi fenomena yang menghiasidemokrasi model Soekarno. Di satu sisimasyarakat diberi kebebasan untukmenilai kebijakan pemerintah, tapi di sisitain tidak boleh mengkritisi, terlebihmenghujat.

    Kondisi seperti itu berlangsung sampaimenjelang keruntuhan pemerintahanSoekarno. Ada asumsi bahwa kegagalanpemerintahan Soekarno adalah ketika iamenganggap negara ini sebagai miliknya.Tapi ada juga yang berpendapat bahwakegagalan Soekarno lebih pada karenaketidakiapan bangsa kita untuk berdemo-krasi. Analisa-analisa itu menjurus padasebuah perdebatan yang tak kunjung usai,sampai tahta kekusaan bangsa ini beralihke tangan Soeharto lewat sebuah suratsakti.

    Oposisi di Rezim Orde BaruEra Soekarno berlalu dan datanglah

    masa Soeharto. Naiknya Soeharto ke kursipresiden tidak lepas dari peran kelompokmiliter, mahasiswa, kaum cerdik pandai,media massa dan masyarakat yangmengharapkan pembaruan dan perbaikanpada masa depan bangsa ini. Ketikameminpin bangsa ini, Soeharto tidak bisamenutup mata terhadap tuntutan dandesakan kelompok-kelompok progresifyang mendukungnya. Demokratisasi danketerbukaan adalah dua hal yangditawarkan oleh ketompok-ketompokprogresif tersebut kepada pemerintahanSoeharto.

    Tapi waktu itu Soeharto denganpemerintahan orde barunya tidak begitusaja mengamini desakan kelompok-kelompok progresif. Berbagai alasandiciptakan. Sayang desakan demi desakansemakin bertambah. Hingga agar kelihatanlebih aspiratif, pemerintahan Soeharto punmengambil langkah akomodatif untuk

    Mohamad Hatta

    mengabulkan permintaan kelompok-kelompok tersebut dengan menerapkandemokrasi demokrasi model baru. yaitudemokrasi pancasila.

    Walau model demokrasi yangditerapkan sudah sesuai dengankeinginannya, tapi kehendak untukberkuasa tetap tidak surut. Maka diambiIahlangkah-langkah represif dan rezimentasi.Dengan menciptakan dua kondisi inilah iamendesain konfigurasi politik bangsa.Berbagai langkah reengineering terhadapsituasi dilakukan sekehendaknya tanpamemperhitungkan perasaan rakyat.

    Maka tepatlah apa yang dikatakan olehpara Indonesionis tentang Soeharto: dalampolitik ia adalah orang kuat. Pengaiaman

    politiknya yang mumpuni ditambahkumpulan referensi pribadi yang seringdibacanya membuat ia paham bagaimanmelanggenggkan kekuasaan. Ill principeMachiavelli

    -konon inilah teoritikus potitikyang mempengaruhinya-mengatakan,kekuasaan akan lemah bila militer tidakkuat dan para pembangkang dibiarkanhidup. Soeharto pun mafhum. Karena ituia langsung menggandeng berbagai faksidi militer untuk memperkuatkekuasaannya. Sedang untuk menjagastabilitas politik, orang-orang yang kritrsterhadap pemerintahan dilenyapkan.

    Ketika melenyapkan orang-orang kritis,Soehato tidak bertindak polos.Bermodalkan filsafat Jawa yang sangatdipahaminya, ia berhasil mendekonstruksipemahaman dan kesadaran masyarakatIndonesia, bahwa sikap kritis

    -dalam halapapun- kepada orang yang lebih tuaatau pemerintah adalah perbuatan tidaklahu adat. Di sini dia berhasil melakukankolonisasi kesadaran bangsa Indonesiaagar tidak terbuka terhadap kata kritik,

    saran, terlebih menjadi oposisi.Dalam melakukan kolonisasi ierhad;rp

    kesadaran masyarakat Jnd rnr:si;r. ia 1 i r,i :, l:bertindak seorang diri. Berbai,gai l)er.,t1qli,,r inegara dibentuk. Satu diaritaran!,a adalirlrBP7 yang bertugas melakukan tafsir atardemokrasi dan pancasila dalam perspekiifkekuasaan. Dan celakanya hasil tafsirantersebut dikonsumsi,.vajib oleh rnasy,ar.:rlt:rItanpa kata emoh, lebih-lebih r.ncnolalr

    Agar lebih konstitusior.rai, ia jugamelahirkan Keteiapan Presiden No. 11r,1963 dan kemudian atas persetujuanorang-orangnya di parler-nen diubahmenjadi UU No 11/PNPS/1963, yangintinya menindak keras kepada merekayang berani mengusik kewibawaan

    pernerintah. UUtersebut kemudiankita kenal sebagaiUU anti-subversi,yang menurutetika kekuasaanadalah senjataampuh u.Ilykmembu,ng,ta,.rnparapembangkangdalam kehidupanpolitik bangsa kita.

    Langkahnyatidak terhentisampai di situ.Secara sepihakpemerintahanSoehariomelahirkan paket5 UU politik.

    Kelima.UU tersebut intinya mencabuikebe-basan mengeluarkan pendapal,berserikat, dan kebebasan berpikirmasyarakat.

    Selain dijadikan sebagai senjata uniukmenangkap dan membrangus orang-orang yang kritis terhadap kekuasaan, ULJitu juga digunakan sebagai alai untr.rl