KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BALAI BESAR VETERINER DENPASAR Jalan Raya Sesetan No. 266 Denpasar 80223 Bali 2017 LAPORAN TEKNIS HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN METODE UJI BALAI BESAR VETERINER DENPASAR TAHUN 2016
312
Embed
HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEMENTERIAN PERTANIANDIREKTORAT JENDERAL PETERNAKANDAN KESEHATAN HEWANBALAI BESAR VETERINER DENPASARJalan Raya Sesetan No. 266Denpasar 80223 Bali2017
LAPORAN TEKNISHASIL SURVEILANS, MONITORINGDAN PENGEMBANGAN METODE UJIBALAI BESAR VETERINER DENPASARTAHUN 2016
i
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rakhmat yang
telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring di Wilayah
Kerja Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar Tahun Anggaran 2016 dapat
diselesaikan dengan tepat waktu. Laporan ini memuat kegiatan Surveilans dan
Monitoring di wilayah kerja BB-Vet Denpasar di Provinsi Bali, NTB, dan NTT
selama satu tahun anggaran, terhitung mulai Januari sampai dengan 31
Desember 2016.
Tugas Pokok dan Fungsi Balai Besar Veteriner Denpasar mengacu pada
Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 54/Permentan/OT.140/5/2013 Tanggal 24
Mei 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar,
yang mempunyai tugas melakukan surveilans, monitoring, dan pelayanan
penyidikan secara aktif di lapangan, juga melakukan pengujian veteriner di
laboratorium sesuai dengan jenis spesimen.
Kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah
kerja dibiayai sepenuhnya oleh DIPA Balai Besar Veteriner Denpasar tahun
anggaran 2016 Nomor : SP DIPA-018.06.2.239022/2016, tanggal Desember
2015.
Sumbangan pemilkiran / saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan
Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang hati diterima.
Selain untuk kepentingan administratif, diharapkan laporan ini ada manfaatnya
bagi peningkatan dan pengembangan kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner khususnya di wilayah kerja. Akhirnya kepada staf dan
semua pihak yang telah membantu penyelesaian Laporan Teknis ini, diucapkan
banyak terima kasih.
Denpasar, Pebruari 2017Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar,
Drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil.,Ph.D.NIP. 19620504 198903 1 001
ii
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR ISI
Halaman
1 KATA PENGANTAR ………………………………………………… i
2 DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ii
I. BAKTERIOLOGI
1. SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKS DI WILAYAHKERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2016…............................... 1-7
2. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSIS DI WILAYAHKERJA BBVET DENPASAR, TAHUN 2016……………………………. 8-15
3. SURVEI PENDAHULUAN DALAM RANGKA UPAYAPEMBERANTASAN SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE) DI BALI,TAHUN 2016……………………………………………………….………. 16-24
4. MONITORING DAN SURVEILANS SE DI PROVINSI NTB DANNTT, TAHUN 2016………………………………………………………… 25-35
5. SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE): EVALUASIPROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSA PENIDA……………… 36-47
II. PARASITOLOGI
6. SURVEILANS PARASIT GASTROINTESTINAL PADA TERNAKSAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT,TAHUN 2016……………………………………….............................. 48-66
7. SURVEILANS PARASIT GASTRO INTESTINAL PADA TERNAKBABI DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSATENGGARA TIMUR, TAHUN 2016………………….......................... 67-86
7. SURVEILANS PARASIT GASTRO INTESTINAL PADA TERNAKUNGGAS DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB)DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT), TAHUN 2016....................... 87-95
8. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT SURRA/TRYPANOSOMIASIS DAN PARASIT DARAH LAINNYA PADATERNAK DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DANNUSA TENGGARATIMUR, TAHUN 2016........................................... 96-110
9. SURVEILANS PARASIT DARAH PADA UNGGAS DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2016……………………………………………………………….. 111-125
iii
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
III. PATOLOGI
10. PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN RABIES SECARAVIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2016………. 126-152
11. SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSIDIWILAYAH KERJA (PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR), TAHUN 2016........... 153-171
12. ANALISA RISIKO DAN SURVEILANS BOVINESPONGIFORM ENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2016………………………………………………………… 172-190
IV. KESMAVET
13. MONITORING DAN SURVEILANS ZOONOSIS(Salmonellosis) PADA TELUR AYAM DI PROVINSI BALI,NTB DAN NTT, TAHUN 2016…………………………..………... 191-202
14. MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARANMIKROBA (PMSR-CM) PADA PANGAN ASAL HEWAN DIPROVINSI BALI, NTB dan NTT, TAHUN 2016……………….. 203-231
V. BIOTEKNOLOGI
15. SURVEILANS DAN MONITORING DALAM RANGKA UPAYAPEMBEBASAN PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALITAHUN 2016....................................................................................... 232-248
16. SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2016...................................................................................... 249-262
VI. VIROLOGI
17. SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZA DANNEW CASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015………………………………………………………… 217-237
18. SURVEILANS DAN MONITORING INFECTIOUS BOVINERHINOTRACHITIS (IBR) DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015....................................................... 238-250
iv
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
19. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DANKUKU (PMK) DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015..........................................……….. 251-261
20. SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERA DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2015................................................................. 262-278
VII. PENGEMBANGAN METODE PENGUJIAN
21. PENINGKATAN KOMPETENSI DAN PENGEMBANGANMETODA IDENTIFIKASI BAKTERI Campylobacter jejuni DANIDENTIFIKASI DAGING TIKUS PADA PANGAN ASALHEWAN MENGGUNAKAN TEKNIK POLYMERASE CHAINREACTION (PCR)(Increasing Competence and Development MethodIdentification of Bacteria Campylobacter jejuni andIdentification of Rat meat in Food of Animal Origin usingPolymerase Chain Reaction)………… 279-297
VIII. PELAYANAN VETERINER
20. SURVEILANS PENYAKIT HEWAN DI UPT BALAIPEMBIBITAN TERNAK UNGGUL – HIJAUAN PAKAN TERNAK(BPTU-HPT), TAHUN 2016……………………….. …..-……
21. PELAKSANAAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSITERNAK SAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT, DAN NUSA TENGGARA TIMUR……….. 307-325
1
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI WILAYAH KERJA BB-Vet DENPASAR
TAHUN 2016
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Situasi Antraks di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, berbeda antara satu pulaudengan pulau lainnya. Provinsi Bali diketahui sebagai daerah bebas Antraks. Di Provinsi NusaTenggara Barat (NTB), kasus Antraks terakhir dilaporkan terjadi Tahun 1987 di KabupatenLombok Tengah. Di Pulau Sumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Antraks dankasus terjadi hampir setiap tahun. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur kasus Antraks di PulauFlores dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Manggarai, Ngada, dan di Kabupaten Ende terjadipada Tahun 2004. Pada tahun 2007 kasus Antraks kembali dilaporkan terjadi di KabupatenSikka dan di Sumba. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, kejadian Antraks diPulau Sabu pernah dilaporkan terjadi pada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, sertakasus terakhir terjadi pada bulan Agustus 2011 pada kuda dan manusia. Untuk mengetahuisituasi atau deteksi dini adanya bakteri Bacillus anthraxis pada ternak, maka tahun 2016 BB-VetDenpasar telah melakukan surveilans di beberapa kabupaten di Provinsi NTB dan NTT. Sampelpreparat ulas darah (PUD) diwarnai dengan polychromatic methylene blue kemudian diperiksasecara mikroskopis. PUD yang dicurigai mengandung Bacillus anthraxis dilanjutkan dengan ujiPCR untuk memastikan bahwa bakteri tersebut adalah Bacillus anthraxis. Hasil uji terhadap 692sampel dari NTB dan 538 sampel dari NTT tahun 2016, ditemukan satu sampel yang dicurigaiBacillus anthraxis, namun karena kit untuk PCR belum disediakan sampai akhir tahun 2016maka sampel tersebut belum bisa dilanjutkan dengan uji PCR.
Kata Kunci: Antraks, PCR, NTB, NTT.
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Antraks adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang berbagai jenis
hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan bersifat zoonosis.
Burung unta juga dilaporkan peka terhadap antraks (Noor, dkk. 2001;
Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk antraks yaitu bentuk kulit dan bentuk
septisemik (Ezzel, 1986). Bila Bacillus anthracis berada dalam lingkungan yang
tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh jumlah oksigen yang
cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan bertahan hidup
2
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
puluhan tahun. Penyembelihan hewan tertular antraks akan mendorong kuman
ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular antraks dilarang disembelih.
Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak yang telah tercemar
spora antraks akan mengakibatkan penyakit menjadi bersifat endemis apabila
tidak ditangani secara baik.
Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar, Provinsi Bali
merupakan daerah bebas Abtraks. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau
Sumbawa merupakan daerah endemis Antrkas, dan di Pulau Lombok kasus
Antraks terakhir dilaporkan pada tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah,
setelah itu sampai tahun 2015 tidak ada lagi laporan kasus Antraks. Situasi
Antraks di Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang menjadi
wilayah NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau Sumba
diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor dan
Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di Provinsi
NTT terakhir dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai
Barat 2008, Manggarai 2001, Ngada 2009, Nagekeo 2007, Ende 2012, Sikka
2007, Saburaijua tahun 20111 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi,
2015).
Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BB-Vet Denpasar, khususnya di
Propinsi NTB dan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi
umumnya dapat dicapai apabila cakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat
kekebalan kelompok minimal 70%. Untuk mengetahui tingkat kekebalan
kelompok ternak, maka Laboratorium Bakteriologi tahun 2016 bermaksud
melakukan surveilans serologis dengan uji ELISA, namun karena BB-Vet
Denpasar kesulitan untuk mendapat antigen dan serum kontrol positif serta
serum kontrol negatif, maka pada tahun 2016 surveilans antraks dialihkan untuk
deteksi dini adanya bakteri Bacillus anthraxis, dengan pengambilan sampel
preparat ulas darah (PUD) kemudian diperiksa secara mikroskopis.
3
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
II. MATERI DAN METODE
MateriBahan dan peralatan yang dipergunakan dalam surveilans antraks di wilayah
kerja BB-Vet Denpasar tahun 2016 antara lain zat warna polychromatic
methyline blue, Kit PCR antraks, glass slide, mikroskop dan sebagainya.
MetodeSampel yang diuji adalah semua sampel preparat ulas darah (PUD) yang
diterima Laboratorium Bakteriologi selama tahun 2016.
III. HASIL
Hasil pengujian sampel tahun 2016 menunjukan bahwa semua sampel PUD dari
Provinsi NTB negative Bacillus anthraxis (Tabel 1). Satu sampel PUD dari
Provinsi NTT dicurigai mengandung Bacillus anthraxis secara mikroskopis
(Tabel 2, Gambar1).
Tabel 1. Hasil Uji Sampel Antraks di Provinsi NTB
Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif B.anthracis
Bima 101 0
Kota Bima 0 0
Dompu 249 0Sumbawa 90 0Sumbawa Barat 52 0Pulau Sumbawa 492 0Lombok Barat 25 0Lombok Tengah 50 0Lombok Timur 25 0Lombok Utara 100 0Mataram 0 0Pulau Lombok 200 0Jumlah 692 0
4
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 2. Hasil Uji Sampel Antraks di Provinsi NTT Tahun 2016
Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif B.anthracis
Dany Suhadi, (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dalamMendukung Monitoring Surveilans Penyakit Hewan Menular strategis dan Upaya BebasPenyakit AI. Rapat Koordinasi Keswan dan Kesmavet wilayah Bali, NTB, NTT diDenpasar 2-4 Maret 2015.
Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection in Animals. Edited byCarton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa state University Press, ames, pp.21-25
Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) The application of ELISA tomonitor the vaccinal respon of antraks vaccinated ruminants. Penyakit Hewan XXV :46A.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks pada hewan dan manusiadi Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 7-8 Nopember1995, Cisarua Bogor. Halaman :305-318.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia : sampaidimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XV (2): 35-40
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks pada burung unta diPurwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120.
Kertayadnya, I G. dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan Wabah Penyakit Antrakspada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. BalaiPenyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar.
Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusia dan hewan diBogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14.
Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Antraks di Nusa Tenggara, DirektoratJendral Peternakan dan Kesehatan Hewan bekerjasama dengan ACIAR. Hal. 37 - 75.
8
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2016
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A.An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Situasi Brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) bervariasi diantaraprovinsi yang ada. Provinsi Bali dan NTB sudah dinyatakan bebas Brucellosis. Namun khusus diProvinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas Brucellosis. Situasi Brucellosis diProvinsi NTT, di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular beratbrucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau lainnya ada yang belum diketahuidengan pasti prevalensinya. Satu reaktor Brucellosis pernah ditemukan di Kabupaten Ende padatahun 2006. Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam upayatetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor kemungkinanmasuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk mengetahui prevalensiBrucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis. Sampel serum yang diterima laboratoriumbakteriologi selama tahun 2016 diuji RBPT sebagai uji skrining, jika positif dilanjutkan dengan ujiCFT. Sampel positif CFT dinyatakan sebagai reaktor Brucellosis. Hasil pengujian terhadap 4.602sampel serum dari Provinsi Bali dan 2.504 sampel serum dari Provinsi NTB semuanya negatifantibodi brucella. Sedangkan sampel serum dari Provinsi NTT sebanyak 1.533 sampel, 3sampel positif brucellosis secara CFT, yaitu dua (2) sampel positif dari 175 sampel serumberasal dari Kabupaten Malaka dan satu (1) sampel positif dari 73 sampel serum berasal dariKabupaten Timor Tengah Utara (TTU). SEdangkan sampel dari Kabupaten Alor, Ende, Lembata,Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, RotenDao, Sumba BaratDaya, Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan (TTS), dan Kota Kupang, semuanyanegative. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Provinsi Bali dan NTB masihbebas Brucellosis.
Kata Kunci: Brucellosis, BPT, CFT, Bali, NTB. NTT.
9
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
I. PENDAHULUAN
Brucellosis pada sapi biasanya disebabkan oleh Brucella abortus, merupakan
salah satu penyakit penting secara ekonomi karena bersifat zoonosis (menular
ke manusia). Selain itu, B. abortus dapat digunakan dalam serangan bioteroris
(IOWA Univ. 2009). Brucellosis merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan
menular strategis di Indonesia, bersifat zoonosis (menular pada manusia) dan
merupakan penyakit yang sulit diobati. Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau
Sumbawa telah dinyatakan sebagai daerah bebas Brucellosis oleh Menteri
Pertanian Repubik Indonesia dengan SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002
untuk Pulau Bali, SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Lombok
di Prop NTB, dan SK Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006 untuk Pulau Sumbawa
di Prop NTB.
Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas
Brucellosis dengan SK Menteri Pertanian Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015
tanggal 19 Januari 2015. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi diantara
pulau yang ada. Di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah
tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau
lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya. Brucellosis
pernah ditemukan di beberapa kabupaten di Pulau Flores seperti di Kabupaten
Ende pada tahun 2002 (Dartini, dkk, 2006), Kabupaten Sikka pada tahun 1996.
Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam
upaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor
kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk
mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis.
Untuk itu Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans di wilayah
kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
10
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
II. MATERI DAN METODE
Materi
Dalam surveilans brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar
tahun 2016 dipergunakan bahan berupa antigen Brucella abortus RBPT dan
CFT, Komplemen, hemolysin, cell darah domba, cft buffer, dan alat yang
dipergunakan adalah mikroplate, WHO plate, pipet, inkubator, rotary
agglutinator, dan sebagainya.
Metode
Sampel yang diuji adalah sampel yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet
Denpasar selama tahun 2016. Sampel diuji dengan menggunakan metode uji
Rose Bengal Plate Test (RBPT), apabila positif dilanjutkan dengan uji
Complemen Fixation Test (CFT) (OIE, 2016).
Prosedur uji RBPT sebagai berikut :
1. Sampel serum dikeluarkan dari freezer dan antigen brucella RBT
dikeluarkan dari kulkas dan biarkan beberapa menit pada suhu kamar.
2. Serum yang akan diuji diambil dengan pipet pasteur dan diteteskan pada
WHO plate (80 lubang), pada lubang nomor 1 sampai nomor 78 untuk
serum yang diuji. Kontrol serum positif diteteskan pada lubang nomor 80,
setelah itu diteteskan antigen brucella RBT (25μl) sama banyak pada semua
lubang.
3. Kocok selama 4 menit sampai homogen menggunakan rotary aglutinator
dan lakukan pembacaan hasil.
Prosedur Uji CFT sebagai berikut :
1. Masukan serum yang akan diuji keplate tiap lubang 50µl dari lubang 1A
serum untuk sampel no 1, sampai lubang 10A serum untuk sampel no 10,
lubang 11A serum kontrol negatif, lubang 12B kontrol serum positif. Plate di
waterbath selama 30 menit untuk inaktifasi. (semua serum termasuk kontrol
positif dan negatif)
2. Tambahkan 25µl CFT buffer pada lubang B1 – B12 sampai lubang H1 –
H12 (lubang A1 – A12 tidak ditambah CFT buffer)
11
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
3. Encerkan Serum : secara berseri, diambil 25µl dari lubang A1-12 ke B1-12
sampai ke lubang H1-12
4. Tambahkan Antigen (tergantung titer antigen yang tersedia) 25 µl ke lubang
C1-12 sampai lubang H1-12. Pada lubang A1-12 dan B1-12 sebagai control
5. Tambahkan Komplemen (tergantung titer komplemen yang tersedia) 25µl
kesemua lubang plate dari A sampai H, inkubasi pada suhu 37oC selama 30
menit.
6. Tambahkan ke semua lubang plate 25µl sel, lalu dishaker selama 45 menit.
7. Diamkan sebentar dan lakukan pembacaan.
III. HASIL
Hasil Uji 4.602 sampel serum dari Provinsi Bali dan 2.504 sampel serum dari
Provinsi NTB semuanya negatif Brucellosis. Sedangkan hasil uji 1.533 sampel
dari Provinsi NTT, 3 sampel positif Brucellosis secara CFT yaitu 3 sampel dari
Kabupaten Malaka, dan 1 sampel dari Kabupaten Timor Tengah Utara. Hasil
lengkap seperti disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3.
Tabel 1. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi Bali
Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif BrucellosisBadung 522 0Bangli 385 0Buleleng 616 0Denpasar 193 0Gianyar 641 0Jembrana 1045 0Karangasem 400 0Klungkung 350 0Tabanan 450 0Jumlah 4602 0
12
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 2. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi NTB
Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif BrucellosisBima 287 0Kota Bima 0 0Dompu 651 0Sumbawa 377 0Sumbawa Barat 50 0Pulau Sumbawa 1365 0Lombok Barat 166 0Lombok Tengah 156 0Lombok Timur 417 0Lombok Utara 277 0Mataram 123 0Pulau Lombok 1139 0Jumlah NTB 2504 0
Tabel 3 . Hasil Uji Serologis Brucellosis Provinsi NTT
Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif BrucellosisAlor 100 0Ende 25 0Kota Kupang 178 0Kupang 108 0Lembata 50 0Malaka 175 2 (1,14%)Manggarai 50 0Manggarai Barat 50 0Manggarai Timur 50 0Nagekeo 93 0Ngada 65 0Rote Ndao 28 0SBD 80 0Sumba Barat 155 0Sumba Timur 140 0TTU 73 1 (1,37%)TTS 113 0Jumlah 1533
13
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
IV. PEMBAHASAN
Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Pulau Bali sudah dinyatakan
bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok, berhasil dibebaskan dari
Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor
444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal selama tiga tahun.
Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa pada tahun 2006
(Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola
pembebasan yang sama dengan Pulau Lombok (Putra,dkk., 2006). Semua
reaktor yang ditemukan dalam periode waktu pembebasan telah dimusnahkan
atau di potong paksa. Kemudian menyusul Pulau Sumba dinyatakan bebas
brucellosis berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor
52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015.
Hasil pengujian 4.602 sampel serum terhadap Brucellosis tahun 2016 di Provinsi
Bali, semuanya negatif Brucellosis. Demikan halnya untuk Provinsi Nusa
Tenggara Barat, dari 2.504 sampel serum yang diuji berasal dari Pulau
Sumbawa dan Pulau Lombok, semuanya negatif antibodi brucella. Hal ini
mengindikasikan bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih bebas
Brucellosis.
Tahun 2016 Brucellosis di daratan timor, ditemukan di Kabupaten Malaka
(1,14%) dan TTU (1,37%). Seperti diketahui bahwa daratan timor merupakan
wilayah terinfeksi Brucellosis dengan prevalensi <2% di Kabupaten TTS,
Kupang dan Kota Kupang, dan prevalensi >2% di Kabupaten TTU dan Belu
(termasuk Kabupaten Malaka yang merupakan pemekaran dari Kabupaten
Belu). Di Kabupaten Belu dan TTU pernah dilakukan program vaksinasi
Brucellosis dengan menggunakan vaksin Brucella abortus strain S19, sehingga
tidak diketahui dengan pasti apakah antibody tersebut berasal dari hasil
vaksinasi atau infeksi alam. Prevalensi brucellosis di Kota Kupang dan
Kabupaten Kupang belum bisa dipastikan walaupun hasil pengujian sampel
tahun 2016 semuanya negative.
14
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Hal ini perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang
memadai sesuai dengan kaidah epidemiologi sehingga prevalensi yang
sebenarnya dapat diketahui dengan jelas, karena hasil surveilans tahun 2015
menunjukkan bahwa ada indikasi peningkatan prevalensi reaktor di Kota
Kupang.
Hasil surveilans Brucellosis di Pulau Flores tahun 2015 di Kabupaten Sikka,
Ngada, Nagekeo semuanya negatif,demikian juga halnya pada tahun 2016
semua sampel dari Kabupaten Ende, Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai
Timur, Nagekeo, dan Kabupaten Ngada negative brucellosis. Seperti diketahui
bahwa prevalensi Brucellosis di Pulau Flores masih sangat rendah, Brucellosis
di Pulau Flores pernah dilaporkan di Kabupaten Ende pada 1 ekor sapi pada
tahun 2006 (Dartini, dkk 2007) dan sapi tersebut sudah dipotong bersyarat.
Berdasarkan data hasil surveilans dalam beberapa tahun di Pulau Flores maka
kemungkinan untuk program pemberantasannya sangat memungkinkan untuk
dilakukan, sebelum berkembang menjadi lebih besar.
Brucellosis di Kabupaten lainnya di Provinsi NTT seperti Kabupaten Lembata,
Kabupaten Saburaijua, Kabupaten Rotendau masih negatif, namun untuk bisa
dinyatakan sebagai wilayah bebas Brucellosis perlu dilakukan surveiulans
secara terstruktur dengan sampel yang memenuhi persyaratan epidemiologi dan
dilakukan secara serentak dan berkesinambungan, serta memperketat lalu lintas
ternak antar pulau.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanBerdasarkan hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa
1. Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat masih merupakan daerah bebas
Brucellosis
2. Perlu dilakukan surveilans lebih intensif di daratan timor untuk
mendapatkan prevalensi Brucellosis yang lebih akurat.
15
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
3. Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Alor, Lembata, Flores, dan
Rotendau sangat memungkinkan untuk dilakukan
SaranUntuk mendapatkan data prevalensi Brucellosis yang lebih akurat di Daratan
Timor perlu dilakukan surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang
lebih representatif dan memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi.
VI. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Dinas peternakan
atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di
Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang
telah membantu terselanggaranya surveilans ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di Kabupaten Ende danKabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar.
OIE (2016). Brucellosis ( Brucella abortus, B.melitensis and B.suis) (Infection with B.abortus,B.melitensis, and B.suis). OIE Terrestrial Manual . Chapter 2.1.4.
Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995). Prevalensi danDistribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada Tahun1994 – 1995.Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.
Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadappendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekanan pada Propinsi NusaTenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18.
Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B., (2006). Evaluasiakhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau di Pulau Sumbawa, BulletinVeteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol. XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.
16
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEI PENDAHULUAN DALAM RANGKA UPAYA PEMBERANTASANSEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE) DI BALI
TAHUN 2016
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAKS
Septikemia Epizootika (SE) merupakan salah satu penyakit menular pada ruminansia terutamapada ternak sapi dan kerbau, bersifat akut dan fatal. Situasi penyakit ini secara umumdibeberapa Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis danterkadang mewabah. Proninsi Bali diketahui merupakan wilayah endemis SE atau hampir setiaptahun ada laporan kasus SE. Untuk mengetahui situasi SE dan dalam upaya pemberatasan SEdi wilayah kerja BBVet Denpasar, maka telah dilakukan survei pendahuluan di Provinsi Bali padatahun 2016. Sampel serum untuk deteksi antibodi terhadap SE diuji dengan metode ELISA,sedangkan swab/organ untuk identifikasi Pasteurella multocida dilakukan dengan metode isolasidan identifikasi, isolate Pasteurella multocida yang diperoleh dityping dengan metode uji PCR.Hasil pengujian spesimen menunjukkan bahwa dari 10.202 spesimen serum yang diuji 9,55%positif antibodi SE. Dari 610 swab semuanya negative Pasteurella multocida dan dari 269sampel tonsil diperoleh 5 isolat Pasteurella multocida.
I. PENDAHULUAN
Latar BelakangSeptikemia Epizootika (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di Indonesia
dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida.
Septikemia Epizootika merupakan salah satu penyakit menular pada ruminansia
terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal (OIE, 2010;
Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum di beberapa Negara Asia
dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang
mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini secara ekonomis sangat
merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan juga karena turunnya
produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan tingginya biaya untuk
penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya untuk pembelian vaksin,
operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.
17
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit
yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan pemberantasannya.
Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonesia secara umum
masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal
hanya di kantung-kantung penyakit di suatu wilayah. Kegiatan ini masih belum
efektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan
untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat
diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana,
melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup seluruh populasi, dan
dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini
dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok pada tahun
1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Tahun 1997 Nomor 889/Kpts/TN.560/9/97 (Budi Septiani, 2015).
Penyakit ini dikenal lama di Indonesia sebagai penyakit merugikan secara
ekonomi, akibat dari kematian ternak, penurunan berat badan, kehilangan
tenaga kerja (pembajak), dan biaya untuk pencegahan maupun pengobatannya.
Di Provinsi Bali, kasus SE secara klinis masih dilaporkan terjadi setiap tahun
hampir disemua kabupaten/kota dengan jumlah kasus yang relatif kecil berkisar
antara 13 – 124 pertahun (Nata Kusuma, 2015), bila di bandingkan dengan
populasi sapi dan kerbau di Provinsi Bali sekitar 500.000 ekor (Tabel1 dan 2),
(Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, 2014). Tidak ada data
vaksinasi SE sejak tahun 2010 – 2014 di Provinsi Bali (Nata Kusuma, 2015).
Melihat trend kasus SE di Bali tersebut dan sistem pemeliharaan sapi/kerbau di
Bali yang kebanyakan diikat/dikandangkan, maka pemberantasan SE di Provinsi
Bali sangat memungkinkan untuk dilakukan. Untuk itu maka pada tahun 2016
BBVet Denpasar telah melakukan surveilans SE di Provinsi Bali. Dari hasil yang
diperoleh, diharapkan dapat dipakai sebagai acuan untuk penentuan langkah-
langkah selanjutnya, dan pada akhirnya Provinsi Bali bisa dinyatakan sebagai
wilayah bebas SE.
18
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
II. MATERI DAN METODE
MateriBahan yang digunakan adalah Kit ELISA untuk antibody SE, Kit PCR untuk
deteksi Pasteurella multocida penyebab SE dan Pasteurella multocida Type A.
Peralatan yang dipakai antara lain Elisa Reader dan washer, incubator, mesin
PCR, serta alat dan bahan untuk pengambilan sampel dilapangan. Primer yang
digunakan adalah
1. Primer sequences untuk HS-causing type-B-specific PCRKTT72 5’-AGG-CTC-GTT-TGG-ATT-ATG-AAG-3’KTSP61 5’-ATC-CGC-TAA-CAC-ACT-CTC-3’
2. Primers sequences untuk Pasteurella multocida tipe A spesifik PCRRGPMA5: 5’-AAT-GT-TTG-CGA-TAG-TCC-GTT-AGA-3’RGPMA6: 5’-ATT-TGG-CGC-CAT-ATC-ACA-GTC-3’
Metode
Sampel yang diuji dalam survei pendahuluan SE di Provinsi Bali adalah sampel
yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar selama tahun 2016.
Selanjutnya sampel serum untuk deteksi antibody diuji dengan metode ELISA
dan sampel swab/tonsil/organ lainnya untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella
multocida diuji dengan cara pemupukan pada media agar dan uji biokimia.
Apabila ada yang positif Pasteurella multocida dilanjutkan dengan PCR untuk
menentukan bahwa isolate Pasteurella multocida tersebut penyebab SE atau
bukan (OIE, 2012).
Penentuan Antibodi SEMetode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif pada
masing-masing sampel serum dipakai uji dengan metode Enzyme-linked
immunosorbent assay ( ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida
type B2 strain 0332 (ACIAR PN9202, VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit
(EU) atau lebih dikategorikan positif/protektif (Widder et al., 1996). Prosedur
Elisa sebagai berikut :
19
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
- Titrasi antigen (untuk mengetahui teter antigen)
- Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam
pada suhu 40C.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam
PBS tween pada row 1 sampai 10.
- Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11 dan
12.
- Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)
- Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap
lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,
kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.
Isolasi Pasteurella multocidaUntuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau
limfoglandula retropharengea atau tonsil baik dari sapi, kerbau atau babi diambil
di rumah potong hewan (RPH). Di wilayah kerja yang tidak mempunyai RPH,
sampel swab diambil dari trachea/nasopharynk/hidung. Sampel organ atau swab
dimasukkan kedalam media transport / disimpan dingin atau organ dalam
keadsaan segar dan dibekukan sampai dibawa ke laboratorium BBVet
Denpasar. Di Laboratorium, dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri pada media
agar dan uji biokimia (Carter and Cole., 1990). Prosedur Isolasi sebagai berikut :
- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.
- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media
agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x
0,3 µm.
20
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati
morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi
dan pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s
negatif, ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.
- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar
darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu
370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.
- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.
- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan
dengan standard.
- Isolat Pasteurella multocida yang didapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk
mengetahui bakteri tersebut penyebab SE atau bukan.
III. HASIL
Laporan kasus SEBerdasarkan laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali
diketahui bahwa, kasus SE di Bali secara klinis masih dilaporkan terjadi setiap
tahun hampir disemua kabupaten/kota dengan jumlah kasus yang relatif kecil
berkisar antara 13 – 124 pertahun, bila di bandingkan dengan populasi sapi dan
kerbau di Provinsi Bali sekitar 500.000 ekor (Tabel1 dan 2), (Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, 2014). Tidak ada data vaksinasi SE sejak
tahun 2010 – 2014 di Provinsi Bali (Nata Kusuma, 2015).
Tabel 1. Data Kasus SE secara klinis di Provinsi Bali Tahun 2009-2014
Jumlah 553.609 1.566 555.175Sumber : Informasi data peternakan Provinsi Bali tahun 2014 (sementara), DinasPeternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali 2014.
Hasil surveilans tahun 2016Jumlah sampel yang diterima tahun 2016 adalah 10.202 sampel serum, 610
sampel swab dan 269 sampel tonsil. Dari 10.202 serum yang diuji, 974 (9,55%)
positif antibody SE, semua swab yang diuji negative Pasteurella multocida,
sedangkan dari 269 sampel tonsil yang diuji, sebanyak 5 (1,86%) positif
Pasteurella multocida. Sampel positif berasal dari Kabupaten Gianyar dan
Kabupaten Tabanan (Tabel 4). Isolat Pasteurella multocida yang diperoleh
belum bisa dilakukan uji typing (Tipe B2 atau type A) dengan uji PCR karena
kehabisan reagen.
22
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 4. Jenis dan Jumlah sampel dari Provinsi Bali untuk pengujian SEtahun 2016
Jumlah sampel dan hasil UjiSerum Swab TonsilKabupaten
Program pengendalian dan pemberantasan SE, salah satunya dilakukan melalui
vaksinasi. Vaksinasi dilakukan bertujuan untuk menimbulkan kekebalan ternak
peka. Status kekebalan terhadap SE pada seekor hewan memperlihatkan
apakah hewan tersebut rentan atau tahan terhadap infeksi kuman Pasteurella
multocida. Adanya zat kebal yang cukup dalam tubuh hewan, baik yang
diperoleh dari hasil vaksinasi maupun akibat infeksi alam akan mampu
melindungi ataupun memberikan proteksi pada hewan tersebut. Data hasil
surveilans serologis BBVet Denpasar tahun 2016 menunjukkan bahwa tingkat
kekebalan kelompok ternak yang disampling rata-rata sangat rendah yaitu
9,55%. Untuk dapat menghindari terjadinya wabah,diperlukan minimal 70%
ternak memiliki antibodi yang protektif (Widder, et al., 1996). Secara umum
keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE. Rendahnya
persentase ternak yang memiliki kekebalan terhadap penyakit SE
mengakibatkan terjadinya kasus SE setiap tahun. Hal ini didukung oleh adanya
laporan kasus penyakit SE secara klinis setiap tahun di Provinsi Bali.
Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Rendahnya cakupan vaksinasi, yang
23
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat sedikit,
hal ini sesuai dengan informasi yang diperoleh bahwa tidak ada data vaksinasi
SE sejak tahun 2010 – 2014 di Provinsi Bali (Nata Kusuma, 2015). 2. Waktu
pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi atau vaksinasinya
sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak terdeteksi karena
kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses penurunan titer. 3.
Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak mendapatkan vaksinasi SE.
Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun ke tahun dan data laporan
kasus yang masih terjadi setiap tahun, mengindikasikan bahwa, program
pengendalian SE tidak direncanakan dengan baik. Hal ini mengakibatkan tidak
tercapainya target cakupan vaksinasi yang memadai dan tidak adanya evaluasi
yang berkesinambungan terhadap program yang dilakukan sehingga
keberhasilan program pemberantasan menjadi tidak tercapai seperti yang
pernah dilakukan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini, 2012). Pada
tahun 2016 dapat diisolasi 5 Pasteurella multocida dari sampel tonsil yang
diambil dari RPH Tabanan dan Gianyar. Karena keterbatasan bahan yang
tersedia maka ke lima isolate Pasteurella multocida yang didapat belum dapat
dilanjutkan uji typing dengan PCR. Penelitian Dartini, et al., 1996, menemukan
bahwa Pasteurella multocida dapat diisolasi dari beberapa RPH yang ada di
Provinsi Bali, namun setelah dilakukan uji typing dengan metode indirect
haemagglutinasi dan HS antigen ELISA semua isolate yang diperoleh adalah
Pasteurella multocida tipe A bukan penyebab SE. Berdasarkan data kasus SE
beberapa tahun terakhir di Provinsi Bali dan sistem pemeliharaan sapi/kerbau di
Bali yang kebanyakan diikat/dikandangkan, maka pemberantasan SE di Provinsi
Bali sangat memungkinkan untuk dilakukan dengan pola atau program
pemberantasan seperti yang dilakukan di Pulau Lombok dan Kepulauan Nusa
Penida.
24
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.
Budi Septiani (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTBdalam mendukung monitoring dan Surveilans untuk Mempertahankan Status BebasRabies, SE dan Brucellosis. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Kesehatan Hewan danKesehatan Masyarakat Veteriner Wilayah Bali, NTB, dan NTT Tahun 2015 di Denpasartanggal 2-4 Maret 2015.
Dartini N.L. and Ekaputra A 1996. Abatoar Survei. Kumpulan Abstrak. International Workshop onDiagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar, Bali 28-30 Mei1996.
Dartini N.L., Kertayadnya I.G., Suendra I.N., dan Suka I.N. (2004). Laporan Surveilans PenyakitSE di Pulau Lombok Tahun 2004. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VIDenpasar.
Dartini N.L.; Narcana I.K. (2015). Surveilans Septikemia Epizootika (SE) : Evaluasi programpemberantasan SE di Nusa Penida. Bulletin Veteriner.BBVet Denpasar..XXVII (87): 57-66.
De Alwis M.C.L., (1980). Haemorragic septicaemia in Sri Langka. Tropical Agricultural ReseachSeries No.13, pp.45-54 Tropical Agriculture Reseach Center. Ministry of Agryculture,Forestry and Fisheries, Japan.
Ekaputra A. dan Dartini N.L. (1996). Langkah-langkah Pengendalian dan Eradikasi Penyakit SEpada Sapi dan Kerbau di Wilayah Kerja BPPH VI Denpasar. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar.
Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status HaemorrhagicSepticaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.
Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofPasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.
OIE, (2010). Haemorrhagic Septicaemia (Pasteurella multocida serotype 6:b and 6:e). TerrestrialAnimal Health Code. Chapter 11.10.Article 11.10.3. hal.1.
Putra.A.A.G., (2004). Surveilans Penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba.Strategi Vaksinasi dan Prospektif Pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.
Sawada T., Rimler R.B. and Rhoades K.R. (1985). Haemorrhagic septicaemia : Naturallyacquired antibodies against Pasteurella multocida types B and E in calves in the UnitedState. American Journal of Veterinary Reseach 46: 1247-1250.
Widder P.R. 1996. Current Methods For Diagnosis Of Haemorrhagic Septicaemia. KumpulanAbstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of HaemorrhagicSepticaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996. 19.
Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. International Workshopon Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei1996:33.
25
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
MONITORING DAN SURVEILANS SEDI PROVINSI NTB DAN NTT TAHUN 2016
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Haemorrhagic septicaemia (HS) atau sering disebut Septicaemia Epizootica (SE) merupakansalah satu penyakit menular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yangbersifat akut dan fatal. Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa Negara Asia dan Afrika,termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang mewabah. Di Proninsi Bali, NusaTenggra Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar,diketahui merupakan wilayah endemis SE atau hampir setiap tahun ada laporan kasus SE,kecuali di Pulau Lombok yang telah dinyatakan sebagai wilayah bebas SE. Untuk mengetahuisituasi SE terkini di Provinsi NTB dan NTT, maka BBVet Denpasar telah melakukan surveilansmelalui pengambilan sampel darah dan organ tonsil/swab dari hewan peka terutama sapi dankerbau. Sampel serum diuji dengan metode ELISA untuk deteksi antibody terhadap SE. Sampelswab dan organ diuji dengan isolasi dan identifikasi, sampel positif Pasteurella multocidadilanjutkan dengan uji PCR untuk penentuan type B2 atau type A. Hasil surveilans tahun 2016menunjukkan bahwa rata-rata persentase ternak yang positif antibody SE sangat rendah (kurangdari 70%), yaitu di Provinsi NTB (Pulau Sumbawa) 18,59%, dan Provinsi NTT 26,74%.Ditemukan satu isolate Pasteurella multocida tipe A dari organ tonsil sapi yang dipotong di RPHMataram. Secara umum rendahnya persentase ternak yang positif antibody SE sangatmengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE. untuk itu disarankan kepada dinas peternakan ataudinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan untuk melakukan vaksinasi SEdengan cakupan yang memadai.
Kata-kata kunci: SE, Antibodi, Pasteurella multocida, NTB, NTT
26
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
I. PENDAHULUAN
Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di Indonesia
dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida.
Septicaemia Epizootica merupakan salah satu penyakit menular pada
ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal
(OIE, 2009; Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa
Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan
terkadang mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini secara ekonomis
sangat merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan juga karena
turunnya produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan tingginya biaya untuk
penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya untuk pembelian vaksin,
operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.
Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit
yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan pemberantasannya.
Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonesia secara umum
masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal
hanya dikantung-kantung penyakit disuatu wilayah. Kegiatan ini masih belum
efektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan
untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat
diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana,
melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup seluruh populasi, dan
dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini
dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok pada tahun
1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Tahun 1997 Nomor 889/Kpts/TN.560/9/97 (Budi Septiani, 2015).
Program serupa juga dicoba diterapkan di wilayah lainnya, seperti di Pulau
Sumba, Provinsi Nusa Tengga Timur (NTT) dan Pulau Nusa Penida, Bali. Sejak
tahun 1984/1985 sampai dengan 1986/1987 di Pulau Sumba telah dilakukan
program pemberantasan penyakit SE (Haemorrhagic Septicaemia/HS). Program
tersebut dilakukan dengan vaksinasi secara serentak dengan cakupan mencapai
hingga 100% (Ndima, 1986), akan tetapi kelanjutan program tersebut menjadi
27
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
tidak jelas, data hasil evaluasi dan surveilans tidak dapat ditelusuri. Kemudian
sejak tahun 2002 program pemberantasan kembali dicanangkan, namun sampai
tahun 2014 laporan kasus SE secara klinis masih ada. Di Pulau Nusa Penida,
Bali, program vaksinasi secara masal dengan cakupan mendekati 100% telah
dilakukan sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 1994, dan sejak tahun 1992
sampai sekarang tidak ada laporan kejadian SE di Pulau Nusa Penida,
berdasarkan hasil pembahasan Tim Komisi Ahli Kesehatan Hewan Direktorat
Kesehatan Hewan pada tanggal 4 Desember 2016 diputuskan bahwa
Kepulauan Nusa Penida (Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, dan Pulau
Nusa Lembongan) sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai wilayah
bebas SE. Untuk mengetahui situasi dan tingkat kekebalan ternak terhadap SE,
maka Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans pada tahun
2016 di Provinsi NTB dan NTT.
II. MATERI DAN METODA
MateriBahan yang digunakan adalah Kit ELISA untuk antibody SE, Kit PCR. Peralatan
yang dipakai antara lain Elisa Reader dan washer, incubator, mesin PCR, serta
alat dan bahan untuk pengambilan sampel dilapangan. Primer yang dipakai
adalah :
1. Primer sequences HS-causing type-B-specific PCRKTT72 5’-AGG-CTC-GTT-TGG-ATT-ATG-AAG-3’KTSP61 5’-ATC-CGC-TAA-CAC-ACT-CTC-3’
2. Primers sequences untuk Pasteurella multocida tipe ARGPMA5: 5’-AAT-GT-TTG-CGA-TAG-TCC-GTT-AGA-3’RGPMA6: 5’-ATT-TGG-CGC-CAT-ATC-ACA-GTC-3’
Metode
Sampel yang diuji dalam survei pendahuluan SE di Provinsi Bali adalah sampel
yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar selama tahun 2016.
Selanjutnya sampel serum untuk deteksi antibody diuji dengan metode ELISA
dan sampel swab/tonsil/organ lainnya untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella
multocida diuji dengan cara pemupukan pada media agar dan uji biokimia.
Apabila ada yang positif Pasteurella multocida dilanjutkan dengan PCR untuk
28
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
menentukan bahwa isolate Pasteurella multocida tersebut penyebab SE atau
bukan (OIE, 2012).
3.2.1. Penentuan Zat Kebal/Antibodi SE
Metode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif pada
masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked immunosorbent assay (
ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332
(ACIAR PN9202, VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit (EU) atau lebih
dikategorikan positif/protektif (Widder et al., 1996). Prosedur Elisa sebagai
berikut :
- Titrasi antigen (untuk mengetahui titer antigen)
- Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam
pada suhu 40C.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam
PBS tween pada row 1 sampai 10.
- Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11
dan 12.
- Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)
- Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap
lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,
kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.
29
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Isolasi Pasteurella multocida
Untuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau
limfoglandula retropharengea atau tonsil baik dari sapi, kerbau atau babi diambil
di rumah potong hewan (RPH). Di wilayah kerja yang tidak mempunyai RPH,
sampel swab diambil dari trachea/nasopharynk/hidung. Sampel organ atau swab
dimasukkan kedalam media transport / disimpan dingin atau organ dalam
keadsaan segar dan dibekukan sampai dibawa ke laboratorium BBVet
Denpasar. Di Laboratorium, dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri pada media
agar dan uji biokimia (Carter and Cole., 1990). Prosedur Isolasi sebagai berikut :
- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.
- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media
agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x
0,3 µm.
- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati
morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi dan
pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s negatif,
ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.
- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar
darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu
370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.
- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.
- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan
dengan standard.
- Isolat Pasteurella multocida yang didapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk
mengetahui bakteri tersebut penyebab SE atau bukan.
30
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
III. HASIL
Hasil pengujian sampel tahun 2016 dari Provinsi NTB dikelompokkan menjadi 2
kelompok yaitu hasil uji dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Di Pulau
Lombok jumlah ternak yang positif mengandung antibodi SE sebanyak 6,5%
(Tabel 1), sedangkan di Pulau Sumbawa sebanyak 18,59% ternak yang
disampling tahun 2016 positif antibodi SE (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Uji Sampel Sapi dan Kerbau di bebrapa Kabupaten di PulauLombok dan Sumbawa Provinsi NTB tahun 2016
Jumlah sampel dan hasil UjiSerum Swab TonsilKabupaten
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
IV. PEMBAHASAN
Program pengendalian dan pemberantasan SE bertujuan untuk menghilangkan
atau menekan terjadinya kasus di daerah tertular, mencegah penyebaran
penyakit ke daerah yang lebih luas, dan mempertahankan daerah bebas untuk
tetap bebas. Program pengendalian dan pemberantasan SE, salah satunya
dilakukan melalui vaksinasi. Vaksinasi dilakukan bertujuan untuk menimbulkan
kekebalan ternak peka. Status kekebalan terhadap SE pada seekor hewan
memperlihatkan apakah hewan tersebut rentan atau tahan terhadap infeksi
kuman Pasteurella multocida. Adanya zat kebal yang cukup dalam tubuh
hewan, baik yang diperoleh dari hasil vaksinasi maupun akibat infeksi alam akan
mampu melindungi ataupun memberikan proteksi pada hewan tersebut. Data
hasil surveilans serologis BBVet Denpasar tahun 2016 menunjukkan bahwa
tingkat kekebalan kelompok ternak yang disampling rata-rata kurang dari 70%,
yaitu di Provinsi NTB khususnya Pulau Sumbawa 18,59% dan NTT 26,74%.
Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE.
Rendahnya persentase ternak yang memiliki kekebalan terhadap SE
mengakibatkan terjadinya kasus SE setiap tahun. Hal ini didukung oleh adanya
laporan kasus SE secara klinis setiap tahun di Provinsi Bali, NTB, dan NTT.
Untuk dapat menghindari terjadinya wabah diperlukan minimal 70% ternak
memiliki antibodi yang protektif (Widder, et al., 1996).
Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Rendahnya cakupan vaksinasi yang
mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat sedikit.
2. Mungkin waktu pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi
atau vaksinasinya sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak
terdeteksi karena kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses
penurunan titer. 3. Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak
mendapatkan vaksinasi SE. Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun
ke tahun dan data laporan kasus yang masih terjadi setiap tahun,
mengindikasikan bahwa, program pengendalian dan pemberantasan SE tidak
direncanakan dengan baik. Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya target
33
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
cakupan vaksinasi yang memadai dan tidak adanya evaluasi yang
berkesinambungan terhadap program yang dilakukan sehingga keberhasilan
program pemberantasan menjadi tidak tercapai seperti yang pernah dilakukan di
Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini, 2012).
Adanya antibodi SE di Pulau Lombok yang merupakan daerah bebas SE dan
tidak melakukan vaksinasi, mungkin disebabkan karena uji ELISA yang dipakai
spesifisitasnya yang belum memadai (79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga
sampel yang seharusnya negatif terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung oleh
hasil uji sampel positif SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun 2015,
ternyata setelah di konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test (PMPT)
hasilnya negatif semua (Dartini,dkk, 2015). Kemungkinan yang lain adalah
adanya reaksi silang dari antibodi yang ditimbulkan oleh Pasteurella multocida
lainya (selain B2), bisa Pasteurella serotipe A atau serotipe B lainnya. Sawada
et al (1985) menemukan 81% serum sapi yang disampling di Amerika Serikat
mengandung antibodi protektif yang mampu menahan tantangan / infeksi
pasteurella multocida serotype B dan E, padahal sapi-sapi tersebut belum
pernah divaksin SE (Putra, 2004). Adanya Pasteurella multocida serotype lain
yang tidak merupakan penyebab SE, tetapi mungkin dapat bereaksi silang pada
uji serologis dengan Pasteurella multocida menyebab SE. Di Australia, Sri
Langka, dan mungkin di tempat lain terdapat Pasteurella multocida serotype
11:B tetapi tidak menimbulkan SE pada hewan (De Alwis, 1980; Namioka,
1980). Disamping itu, mungkin juga terdapat strain Pasteurella multocida yang
tidak ganas dan mampu bereaksi atau menimbulkan proteksi silang dengan
Pasteurella multocida penyebab SE. Dugaan atau terjadinya proteksi atau
reaksi silang ini telah banyak dilaporkan baik yang terjadi diantara serotype /
strain dari Pasteurella multocida (Cameron and Bester, 1984; Gupta, 1980;
Sawada, 1991) maupun yang terjadi antar spesies (Sawada et al., 1985).
34
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
V. KESIMPULAN
Berdasarkan data hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Persentase ternak peka yang memiliki antibodi protektif terhadap SE di
Provinsi NTB (khususnya Pulau Sumbawa), dan NTT tahun 2016 masih
relatif rendah.
2. Konfirmasi kejadian SE secara laboratorium sangat minim / hampir tidak ada
beberapa tahun terakhir.
3. Ditemukan satu isolate Pasteurella multocida tipe A dari organ tonsil sapi
yang dipotong di RPH Mataram.
VI. SARAN
Dalam rangka peneguhan diagnose SE secara laboratories, maka disarankan
kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan / dinas yang menangani fungsi
peternakan dan kesehatan hewan untuk mengirimkan sampel dari ternak sakit /
mati ke laboratorium veteriner dan segera melaporkan kejadian tersebut kepada
instansi terkait serta tetap melakukan vaksinasi dan meningkatkan cakupan
vaksinasi.
VII. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, NTB, dan NTT, Kepala Dinas
Peternakan/Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Hewan
kabupaten/kota diseluruh Bali, NTB, dan NTT, beserta staf atas bantuan dan
informasi yang diberikan.
35
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.
Budi Septiani (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTBdalam mendukung monitoring dan Surveilans untuk Mempertahankan Status BebasRabies, SE dan Brucellosis. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Kesehatan Hewan danKesehatan Masyarakat Veteriner Wilayah Bali, NTB, dan NTT Tahun 2015 di Denpasartanggal 2-4 Maret 2015.
Dartini N.L. (2012) Hasil Surveilans Penyakit SE di Pulau Sumba Tahun 2004 – 2009. BulletenVeteriner.BBVet Denpasar..XXIV (81): 24-29.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi Bali (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi NTB (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi NTT (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Ekaputra A. dan Dartini N.L. (1996). Langkah-langkah Pengendalian dan Eradikasi Penyakit SEpada Sapid an Kerbau di Wilayah Kerja BPPH VI Denpasar. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar.
Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status HaemorrhagicSepticaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.
Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofPasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.
OIE (2009). Haemorrhagic Septicaemia. The Center for Food Security&Public Health. Institutefor International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center: 1-5.
Putra.A.A.G., (2004). Surveilans Penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba.Strategi Vaksinasi dan Prospektif Pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.
Widder P.R. 1996. Current Methods For Diagnosis Of Haemorrhagic Septicaemia. KumpulanAbstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of HaemorrhagicSepticaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996. 19.
Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. International Workshopon Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei1996:33.
36
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE):EVALUASI PROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSA PENIDA
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Septicaemia Epizootica (SE) merupakan salah satu penyakit menular pada ruminansia terutamasapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal. Program pengendalian dan pemberantasan SE diIndonesia secara umum masih dilakukan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasihanya di kantung-kantung penyakit. Keberhasilan untuk menciptakan suatu wilayah bebas SEdapat diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana disertai programmonitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini telah dibuktikan dengan keberhasilanpemberantasan SE di Pulau Lombok. Mengacu pada pemberantasan SE di Pulau Lombok,program yang sama telah dilakukan di Nusa Penida sejak tahun 1991/1992 sampai dengan1993/1994. Evaluasi terhadap program pemberantasan SE di Nusa Penida dilakukan melaluipengumpulan data vaksinasi, surveilans terhadap profil antibodi, isolasi dan identifikasiPasteurella multocida, dan pendataan kasus SE di lapangan telah dilakukan pada tahun 2015.Tahun 2016 sudah mendapat persetujuan Komisi Ahli Kesehatan Hewan Direktorat KesehatanHewan untuk diusulkan sebagai wilayah bebas SE ke Menteri Pertanian. Untuk tetapmempertahankan Nusa Penida bebas SE maka monitoring dan surveilans tetap dilakukansecara berkesinambungan. Hasil surveilans tahun 2016 menunjukkan bahwa, semua sampelswab hidung/tenggorokan sapi asal Nusa Penida negatif Pasteurella multocida. Tidak adapemasukan sapi ke Nusa Penida. Profil antibodi SE menunjukkan penurunan setelah programvaksinasi massal selesai, yaitu 77% tahun 1991, 87,3% tahun 1992, 89,9% tahun 1994, 56,25%tahun 1995, 1,3% tahun 1996, 13,9% tahun 2002, 5,8% tahun 2003, dan 0% pada survei tahun2012, 2014 dan 2015. Pada tahun 2016 ditemukan 4 (0,19%) sampel positif antibody SE secaraELISA. Hasil pengamatan dilapangan selama surveilans dan pengamatan petugas dinasdilaporkan bahwa selama tahun 2016 tidak ditemukan adanya sapi yang menunjukkan gejalaklinis yang kemungkinan disebabkan oleh SE. Nusa Penida mempunyai batas wilayah yang jelasberupa laut. Berdasarkan hasil surveilans, data dari Dinas Peternakan Perikanan dan KelautanKabupaten Klungkung, dan pesyaratan suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai wilayah bebasSE dari OIE, maka dapat disimpulkan bahwa Kepulauan Nusa Penida masih merupakan wilayahbebas SE.
37
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
I. PENDAHULUAN
Septicaemia epizootica (SE) disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida,
merupakan penyakit menular pada ruminansia terutama sapi dan kerbau yang
bersifat akut dan fatal, ternak muda biasanya lebih peka dibandingkan dengan
yang dewasa (Benkirane A. dan M.C.L.De Alwis,2002). Penyakit ini dikenal lama
di Indonesia sebagai penyakit merugikan secara ekonomi. Program
pengendalian dan pemberantasan SE di Indonseia secara umum masih
difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal hanya di
kantung-kantung penyakit di suatu wilayah. Keberhasilan untuk menciptakan
suatu wilayah bebas dari SE, dapat diwujudkan dengan melakukan program
pemberantasan yang terencana, monitoring dan surveilans yang intensif, system
pelaporan yang cepat dan tepat, metode diagnose yang akurat, dan
penggunaan vaksin dengan kualitas yang baik (Benkirane A. dan De Alwis
M.C.L. (2002), serta komitmen dari semua pihak terkait. Hal ini telah dibuktikan
dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok dengan melakukan
vaksinasi massal selama 3 tahun berturut-turut, dari tahun 1977 – 1980, dan
setelah dilanjutkan dengan monitoring dan surveilans penyakit selama 3 tahun,
tidak ditemukan lagi adanya kasus SE (Sudana dkk,1982). Pulau Lombok
dinyatakan bebas SE pada tahun 1985, dengan surat keputusan Direktorat
Jenderal Peternakan tanggal 29 April 1985, Nomor.
213/TN.510/Kpts/DJP/Deptan/85.
Program yang sama telah dilaksanakan di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten
Klungkung, Provinsi Bali. Vaksinasi massal 3 tahun berturut-turut pada tahun
1991/1992 – 1993/1994, dengan coverage sekitar 91,3%. Tahun 1995 - 2002
vaksinasi dilakukan hanya pada sapi dengan coverage sekitar 8,9%. Vaksinasi
terakhir dilakukan pada tahun 2002. Kasus SE terakhir dilaporkan terjadi pada
tahun 1991, pada seekor sapi. Tidak pernah ada pemasukan sapi ke Nusa
Penida. Mengacu pada persyaratan OIE tentang pembebasan SE disuatu
wilayah, maka Nusa Penida sangat memungkinkan untuk diusulkan sebagai
wilayah bebas SE. Namun demikian monitoring dan surveilans SE di Nusa
Penida tidak dilakukan secara berkelanjutan. Untuk itu tahun 2015 BB-Vet
38
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Denpasar telah melakukan surveilans terstruktur dalam rangka mewujudkan
Nusa Penida bebas SE. Tahun 2016 sudah mendapat persetujuan Komisi Ahli
Kesehatan Hewan Direktorat Kesehatan Hewan untuk diusulkan sebagai
wilayah bebas SE ke Menteri Pertanian. Untuk tetap mempertahankan Nusa
Penida bebas SE maka monitoring dan surveilans tetap dilakukan secara
berkesinambungan.
II. MATERI DAN METODE
MateriBahan dan peralatan yang dibutuhkan dalam surveilans SE di Nusa Penida
tahun 2016 adalah Media agar darah, reagen dan antigen untuk ELISA antibodi
SE, Vitamin, antibiotika, tansport media, Swab steril, tabung venoject plain dan
EDTA, jarum venoject, handle, mikrotiter plate untuk ELISA.
Metode
Pengambilan sampel tahun 2015 dilakukan diseluruh desa yang ada di
Kecamatan Nusa Penida (16 desa). Jumlah sampel diambil berdasarkan
populasi dan estimasi prevalensi positif menggunakan tabel sample size
(Thrusfield W.,1995). Sampel untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida
dengan asumsi prevalensi carrier Pasteurella multocida 2%, (berdasarkan data
hasil penelitian Dartini dan Alit, 1996, dimana ditemukan 2,49% sampel dari
RPH yang diuji positif Pasteurella multocida), maka jumlah sampel organ/swab
yang harus diambil minimal 2.158 sampel. Sampel untuk deteksi antibosi SE
dengan asumsi prevalensi 1% (data BBVet Denpasar tahun 1996, 1,3% protektif
setelah 2 tahun vaksinasi), dengan tingkat kepercayaan 95% maka minimal
sampel yang harus diambil 4.012 sampel serum. Sampel untuk monitoring
tahun 2016 adalah semua sampel dari Nusa Penida yang diterima laboratorium
bakteriologi.
39
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Penentuan Zat Kebal/Antibodi SEMetode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif pada
masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked immunosorbent assay (
ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332
Lalu lintas TernakBerdasarkan informasi dari Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan
Kabupaten Klungkung, diketahui bahwa tidak pernah ada pemasukan ternak
sapi, kerbau, maupun babi ke Nusa Penida. Di Nusa Penida tidak ada ternak
kerbau. Nusa Penida sebagai produsen ternak sapi untuk daerah disekitarnya di
Provinsi Bali atau hanya mengeluarkan.
Surveilans Klinis Terduga SESurveilans klinis terduga SE, dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel
di lapangan. Setiap ternak sapi yang berhasil dikumpulkan diamati secara klinis,
sesuai dengan gejala klinis yang sering ditimbulkan apabila sapi terserang SE.
Selama surveilans tidak ditemukan adanya ternak sapi yang menunjukkan gejala
klinis sakit yang diduga SE. Hal ini didukung dengan hasil isolasi dan identifikasi
Pasteurella multocida dari semua ternak yang dikumpulkan hasilnya negatif.
43
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Laporan Kasus SE di Nusa PenidaKasus SE secara klinis di Nusa Penida terakhir dilaporkan pada tahun 1991,
pada seekor sapi, dan setelah kasus tersebut sampai sekarang (2016) tidak
pernah lagi dilaporkan adanya kasus SE baik secara klinis maupun laboratoris.
IV. PEMBAHASAN
Septicaemia epizootica (SE) merupakan salah satu penyakit bakterial yang
disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu. Di Indonesia,
penyakit ini bersifat endemik dan acapkali menimbulkan wabah di beberapa
wilayah. Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, wabah terakhir
dilaporkan di Kabupaten Lembata tahun 2014, dan merupakan salah satu
penyakit hewan menular yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup
besar. Kerugian ekonomi dapat timbul akibat dari kehilangan tenaga kerja,
kematian ternak, operasional, pengobatan, pengadaan obat-obatan dan vaksin.
Untuk menghindari kerugian tersebut maka program pemberantasan di suatu
wilayah harus benar benar ditindak lanjuti.
Program vaksinasi massal dilakukan selama 3 tahun berturut-turut dengan
interval 6 bulan sekali, dengan coverage rata-rata diatas 90%. Program
pembebasan SE sangat dipengaruhi oleh seberapa besar coverage vaksinasi
yang dicapai setiap kalinya hingga program tersebut selesai dilaksanakan.
Dengan coverage vaksinasi diatas 90% selama tiga tahun, diharapkan herd
immunity dapat mencapai >95%, artinya hampir semua ternak peka mempunyai
antibodi yang dapat melindunginya dari infeksi, dan tidak memberikan
kesempatan bagi bakteri Pasteurella multocida untuk berkembang sehingga
akhirnya musnah (Putra, 2004).
44
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Coverage vaksinasi massal di Nusa Penida rata-rata pertahun mencapai 91,3%,
dengan kekebalan kelompok mencapai 96,2%. Dua tahun setelah program,
kekebalan kelompok ternak menjadi sangat rendah yaitu 1,3%. Tanpa alasan
yang jelas vaksinasi kemudian dilanjutkan dari tahun 1996 – 2001 dengan rata-
rata coverage 14,4% pertahun, yang menyebabkan terjadinya kenaikan
kekebalan kelompok menjadi 13,9%. Sejak tahun 2002 vaksinasi dihentikan.
Pada tahun 2003 prevalensi menurun menjadi 5,8%, bahkan tahun 2012, 2014,
dan 2015 menunjukkan bahwa semua sampel serum yang diuji negatif antibodi
terhadap SE. Adanya antibodi SE di Pulau Nusa Penida tahun 2016 yang
merupakan daerah bebas SE dan tidak melakukan vaksinasi, mungkin
disebabkan karena uji ELISA yang dipakai spesifisitasnya yang belum memadai
(79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga sampel yang seharusnya negatif
terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung oleh hasil uji sampel positif antibodi
SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun 2015, ternyata setelah di
konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test (PMPT) hasilnya negatif
(Dartini,dkk, 2015). Kemungkinan yang lain adalah adanya reaksi silang dari
antibodi yang ditimbulkan oleh Pasteurella multocida lainya (selain B2), bisa
Pasteurella serotipe A atau serotipe B lainnya. Sawada et al (1985) menemukan
81% serum sapi yang disampling di Amerika Serikat mengandung antibodi
protektif yang mampu menahan tantangan / infeksi pasteurella multocida
serotype B dan E, padahal sapi-sapi tersebut belum pernah divaksin SE (Putra,
2004). Hal yang sama juga ditemukan di Pulau Lombok pada tahun 2015, yaitu
ditemukan 44 (2,95%) spesimen positif antibodi SE padahal tidak pernah
dilakukan vaksinasi SE (Dartini, 2016). Adanya Pasteurella multocida serotype
lain yang tidak merupakan penyebab SE, tetapi mungkin dapat bereaksi silang
pada uji serologis dengan Pasteurella multocida menyebab SE. Di Australia, Sri
Langka, dan mungkin di tempat lain terdapat Pasteurella multocida serotype
11:B tetapi tidak menimbulkan SE pada hewan (De Alwis, 1980). Disamping itu,
mungkin juga terdapat strain Pasteurella multocida yang tidak ganas dan
mampu bereaksi atau menimbulkan proteksi silang dengan Pasteurella
multocida penyebab SE. Dugaan atau terjadinya proteksi atau reaksi silang ini
telah banyak dilaporkan baik yang terjadi diantara serotype / strain dari
Pasteurella multocida maupun yang terjadi antar spesies (Sawada et al., 1985).
45
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Surveilans untuk mengetahui status karier Pasteurella multocida tahun 2015
dilakukan dengan pengambilan sampel swab tenggorokan / hidung. Sampel
swab diambil dengan cara mengumpulkan ternak dilokasi tertentu, dengan cara
ini diasumsikan ternak yang disampling ada yang mengalami stress akibat
perjalanan dari kandang ke lokasi pengumpulan. Pengambilan sampel dilakukan
dari bulan April sampai November 2015, seperti diketahui bahwa pada periode
waktu tersebut merupakan musim kering, dimana persediaan pakan ternak juga
berkurang sehingga mempengaruhi daya tahan tubuh ternak itu sendiri, apabila
ternak tersebut membawa Pasteurella multocida diharapkan sudah menuju ke
tenggorokan dan berhasil diisolasi. Hasil peneliti lain menyebutkan bahwa
Pasteurella multocida berhasil diisolasi dari swab hidung kuda di Aceh
(Ilham.D.F. dkk., 2013) dan dari swab kerongkongan di rumah potong hewan
Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat (Wulandari E., dkk., 2013). Hasil uji
laboratorium terhadap semua sampel swab dan organ sapi asal Nusa Penida
semuanya negative Pasteurella multocida. Hal ini membuktikan bahwa vaksinasi
massal yang dilakukan pada hampir semua populasi secara berkelanjutan selain
memberikan kekebalan kelompok juga dapat menghilangkan bakteri penyebab
SE yang beredar di kelompok tersebut (Putra, 2004).
Hasil surveilans dan monitoring kasus SE di Nusa Penida, sejak kasus terakhir
tahun 1991 hingga saat ini (kurang lebih 24 tahun) tidak pernah ditemukan atau
dilaporkan lagi adanya kejadian kasus SE di Nusa Penida. Pengamatan klinis
terhadap sapi-sapi yang dikumpulkan selama surveilans, tidak ditemukan
adanya gejala klinis yang mengarah ke SE.
46
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
V. KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanBerdasarkan hasil surveilans, data dari Dinas Peternakan Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Klungkung, dan pesyaratan suatu wilayah dapat dinyatakan
sebagai wilayah bebas SE dari OIE, maka dapat disimpulkan bahwa Kepulauan
Nusa Penida masih dinyatakan sebagai wilayah bebas SE.
SaranUntuk tetap dapat mempertahankan status bebas SE bagi Nusa Penida, maka
pengawasan lalu lintas ternak ke Nusa Penida harus diperketat serta monitoring
dan surveilans SE secara periodik masih tetap harus dilakukan.
VI. Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Dinas dan staf Dinas
Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Klungkung, Kepala Balai dan
staf Balai Besar Veteriner Denpasar, atas kerja sama, bantuan, fasiltas yang
diberikan dan dukungannya selama surveilans ini berlangsung.
47
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Afzal.M., Muneer.R.; and Akhtar.S. (1992). Serological evaluation of Pasteurella multocidaantigen associated with protection in buffalo calves. Rev.sci.tech.Off.int.Epiz.11.917-923.
Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.
Dartini.N.L. dan Ekaputra.I.G.M.A. (1996). Abatoir Survey For Isolation of Pasteurella multocidain The Eastern Region of Indonesia. International workshop on diagnosis and control ofHaemorrhgic Septicaemia. Hal. 23.
Ilham Deskarifal Fitrah; Darmawi; dan Rasmaidar. (2013). Isolasi Pasteurella multocida PadaKuda dan Sensitifitasnya Terhadap Antibiotika. Jurnal Medika Veterinaria. 7.2.121-125.
Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofPasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods : VeterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.
OIE, (2010). Haemorrhagic Septicaemia (Pasteurella multocida serotype 6:b and 6:e). TerrestrialAnimal Health Code. Chapter 11.10.Article 11.10.3. hal.1.
Putra A.A.Gde. (2004). Surveilans penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba :Strategi vaksinasi dan prospektif pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.
Sotoodehnia.A., Moazeni.G., Ataei.S., Omodi.B. (2005). Study on Immunity of an ExperimentalOil Adjuvant Haemarrhagic Septicaemia Vaccine in Cattle. Arch.Razi.Ins.59. 95-101.
Sudana I.G., Witono S., Soeharsono, Dharma D.N. dan Suendra I.N. (1982) Evaluasi II pilotproyek pembrantasan penyakit ngorok (haemorrhagic septicaemia) di pulau lombok.Laporan Balai Penyidikan Penyakit Hewan wilayah VI Denpasar.
Thrusfield W. (1995). Veterinary Epidemiology. second Edition. Hal.187-189.
Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. International Workshopon Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei1996:33.
Wulandari E., Jamin F., dan Abrar M. (2013). Kepekaan Pasteurella multocida yang diisolasi sapiyang berasal dari kabupaten Aceh Barat terhadap beberapa antibiotika. Jurnal MedikaVeterinaria.7(2). 95-97.
48
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS PARASIT GASTROINTESTINAL PADA TERNAK SAPI DANKERBAU DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT TAHUN 2016
Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, I.G.M. Sutawijaya, Yunanto
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Surveilans parasit gastrointestinal (PGI ) pada ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali, NTB danNTT bertujuan untuk mengetahui prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Sebanyak 2.291sampel feses telah diambil dan diuji, masing-masing berasal dari Provinsi Bali sebanyak 579sampel, dari Provinsi NTB 1.055 sampel dan dari Provinsi NTT 657 sampel. Seluruh sampeldiuji dengan menggunakan uji apung dan uji sedimentasi metode whitlock. Dari seluruh sampelyang diuji, 778 (33,96%) diantaranya terinfestasi oleh satu atau lebih parasit gastrointestinal(PGI). Prevalensi PGI tertinggi terjadi di Provinsi NTB yaitu sebesar 37,82 %, diikuti oleh ProvinsiBali yaitu sebesar 33, 68 %, dan Provinsi NTT yaitu 28,01 %, dan secara statistik hasil tersebutberbeda secara signifikan (Chi-square: 17.41; Df:2; P-value:<0.01). Prevalensi PGI lebih tinggi dimusim hujan (39,89 %) dibandingkan dengan musim kemarau ( 28,25%) dan secara statisticberbeda nyata (Chi-square: 34,07; Df:1; P-value<0,01). Prevalensi PGI pada ternak jantan lebihbesar daripada ternak betina, namun secara statistic tidak berbeda nyata (Chi-square: 0.43; Df:1;P-value 0.51). Jenis parasit yang ditemukan yaitu cacing Bunostomum sp, Chabertia sp,Fasciola sp, Mecistocirrus sp, Moniezia sp, Oesophagostomum sp, Ostertagia sp,Paramphistomum sp, Strongyloides sp, Toxocara sp, Trichostrongylus sp, Trichuris sp danKoksidia Eimeria sp.
yang ditemukan diidentifikasi dan dihitung jumlahnya per gram (epg)
(Thienpont, et al., 1979, Soulsby, 1982).
7) Cara penghitungan telur cacing
Alat penghitung telur Universal (Universal slide counting chamber) berisi
4 kamar dan setiap kamar menampung 0.5 ml larutan. Setiap kamar
berisi 5 garis/strip vertical dan setiap kolom memiliki volume 0.1 ml.
Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau strip
tergantung pada derajat infeksi parasitnya (berat, sedang, atau ringan).
Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka
pengenceran 1: 20 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga
jumlah telur yang ditemukan dikalikan dengan faktor 40 ( Whitlock et
al.1980). Cara penghitungan telur cacing secara rinci dapat dilihat pada
table di bawah ini.
57
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 1. Cara penghitungan telur cacing dengan Teknik Floatasi
0,1 ml 0,2 ml 0,4 ml 0,5 ml 1,0 ml 2,0 ml (Ova) Equines x 100 x50 Strongyles Sheep & goats x200 x100 x50 x40 Nematodes Cattle x20 x10 Nematodes Dog, pig, man x200 x100 x50 x40 Oocysts,
Nematodes,Cestodes
Counting strip 1 2 4 5 2 c’bers 4 c’bers(Faecalmester Kit. Universal Slide. Pat. Pend. J. A. Whitlock & Co)
3.2.4. Pemeriksaan telur cacing trematoda dilakukan dengan metoda Sedimentasi (Whitlock)
Prosedur pemeriksaan telur cacing trematoda secara ringkas sebagai berikut:
1) Ke dalam syringe pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 9 ml,
ditambahkan 1 gram tinja.
2) Seluruh isi syringe kemudian dimasukkan ke dalam silinder pencampur yang
berisi 50 ml. air.
3) Tinja yang berada dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur
merata dengan menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik
turun. Setelah tinja tercampur merata lalu tabung penyaring khusus
dimasukan ke dalan silinder pencampur sampai batas leher silinder.
4) Cawan (flask) sedimentasi ditaruh dalam posisi terbalik diatas tabung
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
V. PEMBAHASAN
Seperti terlihat pada Tabel 2, prevalensi parasit gastrointestinal (PGI) masih
cukup tinggi di Provinsi Bali, yaitu sebesar 33,68 %, akan tetapi sudah menurun
apabila dibandingkan dengan Tahun 2015 lalu yaitu sebesar 49,91 % (Mastra et
al., 2015). Prevalensi PGI di Provinsi NTB dan NTT, masing-masing 37,82% dan
28,01 %. Apabila dibandingkan dengan tahun lalu, prevalensi PGI di Provinsi
NTB terjadi peningkatan, sedangkan di Provinsi NTT terjadi sedikit penurunan.
Tahun lalu prevalensi PGI di Provinsi NTB dan NTT berturut-turut yaitu 26,18 %
dan 28,83 %. Prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT secara keseluruhan
terjadi sedikit penurunan yaitu dari Tahun 2015 lalu sebesar 37, 56 % menjadi
33, 96 % pada Tahun 2016 ini. Terjadinya penurunan prevalensi di Provinsi Bali
kemungkinan karena adanya kesadaran masyarakat atau adanya program dari
pemerintah dalam hal kegiatan pencegahan dengan memberikan obat cacing
pada ternak yang dipelihara. Sebaliknya dengan di Provinsi NTB mungkin
program pengobatan PGI belum sepenuhnya dilaksanakan sehingga di masa
masa yang akan datang perlu lebih ditingkatkan lagi program pemeriksaan PGI
dan pengobatan PGI pada hewan dan kelompok hewan yang tertular.
Tingginya prevalensi PGI di Bali dan NTB dibandingkan dengan NTT diduga
berkaitan juga dengan keadaan alam yang cukup berbeda dimana Bali dan NTB
relative lebih basah dibandingkan dengan NTT dan kondisi yang basah dan
lembab seperti diketahui merupakan tempat yang ideal bagi perkembangbiakan
parasit. Pengaruh musim terhadap prevalensi PGI, dimana prevalensi PGI
secara signifikan lebih besar pada saat musim hujan dapat menjadi petunjuk
bahwa program pemberian obat cacing pada kelompok ternak yang rentan
sebaiknya diberikan sebelum musim hujan sehingga pencegahan dan
pengendalian PGI akan lebih efektif.
65
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Prevalensi Parasit gastrointestinal pada ternak sapi dan kerbau di Provinsi
Bali, NTB dan NTT pada Tahun 2016, masing-masing adalah: 33,68 %,
37,82 %, dan 28,01 %.
2. Parasit gastrointestinal (PGI) secara signifikan lebih sering terjadi saat
musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau.
6.2 Saran-saran
1. Untuk mencegah parasit gastrointestinal (PGI) dapat dilakukan dengan cara
menerapkan tata cara beternak yang baik termasuk menjaga kebersihan
kandang, memutus siklus hidup vektor yang berperan sebagai penular
parasit dan memberikan obat cacing atau anti parasit lainnya pada kelompok
ternak yang diduga tertular.
2. Karena musim hujan merupakan faktor risiko meningkatnya prevalensi PGI,
maka disarankan pemberian obat cacing sebagai pencegahan minimal
dilakukan sekali setahun sebelum musim hujan tiba.
3. Agar tetap dilakukan surveilans parasit gastrointestinal secara
berkesinambungan untuk mengetahui kondisi terkini sehingga dapat diambil
langkah-langkah yang efektif untuk pencegahan dan pengendaliannya.
Ucapan Terimakasih
Terimakasih kami ucapkan kepada Ka BBVet Denpasar atas dukungan dana
dan kebijakannya dalam pelaksanaan surveilans dan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam proses surveilans. Ucapan terima-kasih juga kami
sampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan/yang menangani fungsi
peternakan beserta jajarannya di seluruh Provinsi Bali, NTB dan NTT atas
kerjasamanya yang baik sehingga kegiatan surveilans dapat berjalan dengan
lancar.
66
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Daftar Pustaka
Anonimous, 2013. Data Sensus Pertanian 2013. Badan Pusat Statistik RepublikIndonesia.www.bpps.go.id
Anonimous, 2014. Kondisi geografis Nusa Tenggara Barat. http://www.ntbprov.go.id/hal-kondisi-geografis-nusa-tenggara-barat.html#ixzz4VWhBMpaZ
Anonimous, 2015. Nusa Tenggara Barat dalm Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi NusaTenggara Barat. http://ntb.bps.go.id/webs/pdf_publikasi/Nusa-Tenggara-Barat-Dalam-Angka-2015.pdf
Anonimous, 2016. Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ditjen PDT. www.ditjenpdt.kemendesa.go.id
Anonimous b. 2016. Bali. https://id.wikipedia.org/wiki/Bali.
Anonimus, 2008b.The epidemiology of helmintparasites.http:// www.ilri.org/Info Serv/ Webpub/Fulldocs /X5492e /x5492e04.htl 07 Juni 2008]
BPS, 2016. Populasi Sapi Potong menurut Provinsi, 2009-2016 dan Populasi Kerbau menurutProvinsi, 2009-2016. http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/24#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek3
Estuningsih,SE. 2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacinguntuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner,Volume 9 Nomor1hal.55-60
Gunawan M., 1984 Pengaruh Pengobatan Neoascari Vitulorum dengan Piperazin Citrat padapedet Sapi Bali di Provinsi Bali. Bulletin Veteriner. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar, Ed. Mei, Vol. 1 No. 5
Martin, W., Meck, A.H., Willeberg, P., 1987. Principles and Methods Veterinary Epidemiology,IOWA State University Press/ames.USA
Mastra.K. 2006 Prevalensi Antibodi Terhadap Fasciolosis pada sapi bali di Provinsi Bali. BuletinVeteriner.Denpasar. Ed.Desember , Vol. XVIII, No.69.
Purwanta, Ismaya NRP, & Burhan, 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis) pada Sapi Bali diperusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kota Makassar. J. Agrisistem 2 (2):63-69.
Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.ed P.51,52
Thienpont, D., F. Rochette,O.F.J. Vanparijs, 1979. Diagnosing Helminthiasis TroughCoprological Examination , Janssen Research Foundation
67
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS PARASIT GASTRO INTESTINAL PADA TERNAK BABIDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA
TIMUR TAHUN 2016
Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, IGM Sutawijaya, Yunanto
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Surveilans parasit gastrointestinal (PGI) pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTTdilakukan dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi PGI pada ternak babi di ketiga provinsitersebut. Sebanyak 573 sampel feses babi diambil antara bulan Februari sampai denganOktober 2016. Sampel kemudian diuji dengan metode uji apung (Whitlock) untuk menghitungdan mengidentifikasi jenis telur cacing dan koksidia. Hasil uji dinyatakan positif PGI apabiladitemukan 1 jenis atau lebih telur cacing atau ookista koksidia pada sampel feses yang diuji.Hasil studi menunjukkan bahwa prevalensi PGI secara keseluruhan sebesar 55,32%, sedangkanprevalensi untuk masing-masing Provinsi Bali, NTB dan NTT berturut-turut adalah 38,66 %;54,04% dan 64,04 %. Jenis telur cacing dan ookista koksidia yang ditemukan adalah Ascarissuum, Eimeria sp, Globocephalus sp, Hyostrongylus sp, Metastrongylus sp, Oesophagostomumsp, Physocephalus sp, Strongyloides sp, Trichostrogylus sp dan Trichuris sp. Prevalensi PGIsecara signifikan lebih tinggi ditemukan pada babi betina dibandingkan dengan babi jantan (Chi-sq=6.71; Df=2; P=0.03). Kelompok umur 5-9 bulan memiliki prevalensi PGI tertinggi (60.99 %)dibandingkan dengan umur > 9 bulan (53.98%) dan umur 1-4 bulan (51.40 %), namun secarastatistik tidak berbeda nyata (Chi-sq =3.82; Df=2; P=0.15). Prevalensi PGI pada musim hujannyata lebih tinggi daripada musim kemarau (Chi-sq=29.58; Df=1; P<0.01; OR:2,6) dan prevalensiPGI babi lokal lebih tinggi dibandingkan dengan ras lain (Landrace dan Duroc) dan secarastatistik hasil ini berbeda secara signifikan (Chi-sq=26.55; Df=3; P<0.01)
Kata kunci: PGI, prevalensi, uji apung, Bali, NTB, NTT
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki
potensi besar untuk dikembangkan karena mempunyai sifat – sifat
menguntungkan diantaranya : laju pertumbuhan yang cepat, jumlah anak
perkelahiran (litter size) yang tinggi, efisien dalam mengubah pakan menjadi
daging dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan
lingkungan. Populasi Babi di Provinsi Bali diperkirakan sebanyak 803.920 ekor,
di NTB 52.288 ekor dan di NTT 1.871.717 ekor (Anonimous, 2016).
68
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak
babi dari aspek manajemen adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit.
Ternak babi sangat peka terhadap penyakit, salah satunya adalah penyakit yang
disebabkan oleh parasit. Parasit merupakan makhluk hidup yang dalam
kehidupannya menggunakan makanan makhluk hidup lain sehingga sifatnya
merugikan. Cacing dan koksidia merupakan parasit yang sering menginfestasi
babi.
Parasit gastrointestinal merupakan parasit yang dapat menginfeksi saluran
gastro-intestinal baik manusia maupun hewan termasuk unggas. Parasit
tersebut dapat hidup di seluruh bagian tubuh, tetapi kebanyakan siklus
hidupnya berada di usus. Dua jenis utama dari parasit gastrointestinal adalah
cacing (helmint) dan protozoa (koksidia). Helminthiasis/cacingan merupakan
salah satu penyakit hewan menular strategis yang seringkali kurang mendapat
perhatian dibandingkan dengan penyakit strategis lainnya, sehingga
penanganan penyakit ini juga kurang maksimal. Helminthiasis (cacingan) dan
koksidiosis (penyakit akibat infestasi koksidia) pada babi dapat mempengaruhi
efisiensi feed konversi, tingkat pertumbuhan yang buruk, penurunan berat
badan, dan berpengaruh pada status kesehatan secara umum, dan bahkan
dapat menimbulkan kematian pada ternak apabila menderita cukup parah dan
tidak mendapatkan penanganan yang semestinya. Gangguan pada
pertumbuhan yang berlangsung cukup lama menyebabkan produktivitas akan
turun.
Penyakit ini dapat diobati dan dapat dicegah dengan manajemen peternakan
yang lebih baik. Penanganan yang baik, baik dari segi pencegahan maupun
pengobatan yang semestinya akan dapat menghindarkan terjadinya kerugian
bagi peternak dan dalam skala yang lebih besar akan dapat mengurangi
kerugian ekonomi bagi daerah, bahkan mengurangi kerugian ekonomi secara
nasional.
69
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Selama ini, belum pernah dilakukan surveilans parasit gastrointestinal pada
ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTT sehingga gambaran parasit ini pada
babi di Provinsi Bali, NTB dan NTT belum diketahui secara pasti
Untuk mengetahui tingkat prevalensi dan gambaran parasit gastrointestinal pada
ternak babi, BBVet Denpasar merancang kegiatan cross sectional study untuk
menentukan prevalensi dan penyebaran penyakit tersebut di Provinsi Bali, NTB
dan NTT.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan jenis jenis parasit cacing
nematoda dan koksidia yang menginfestasi ternak babi di Bali, NTB dan NTT,
dan hasil studi ini diharapkan dapat memberikan gambaran pemetaan penyakit
tersebut kepada pengambil kebijakan agar dapat diambil langkah langkah
pencegahan dan pengendalian yang efektif sehingga produktivitas ternak babi
dapat ditingkatkan.
1.2. Rumusan Masalah
1.1.1. Penularan penyakit gastrointestinal khususnya pada babi diduga masih
cukup tinggi. Secara ekonomi penyakit ini sangat merugikan peternak
karena dapat menurunkan produktivitas, reproduktivitas dan bahkan
dapat menimbulkkan kematian.
1.1.2. Belum pernah ada publikasi mengenai situasi dan distribusi infestasi
parasit gastrointestinal pada babi, di Provinsi Bali, NTB dan NTT.
1.3 Tujuan
Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi parasit gastrointestinal
pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTT.
70
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
1.4. Manfaat
Hasil surveilans dimaksudkan untuk memberikan gambaran pemetaan penyakit
tersebut kepada pengambil kebijakan sehingga dapat diambil langkah langkah
pencegahan dan pengendalian yang efektif sehingga tingkat kematian ternak
dapat ditekan dan produktrivitas ternak dapat ditingkatkan.
1.5. Output
1) Tersedianya informasi tentang prevalensi dan distribusi parasit
gastrointestinal terkini berdasarkan lokasi, karakteristik hewan dan
lingkungan sehingga upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan
dapat lebih terarah.
2) Dengan terkendalinya parasit gastrointestinal diharapkan terjadi peningkatan
produktivitas dan reproduktivitas pada ternak babi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Parasit gastrointestinal merupakan parasit yang dapat menginfeksi saluran
gastro-intestinal baik manusia maupun hewan termasuk unggas. Parasit
tersebut dapat hidup di seluruh bagian tubuh, tetapi kebanyakan siklus
hidupnya berada di usus. Dua jenis utama dari parasit gastrointestinal adalah
cacing (helmint) dan protozoa (koksidia).
Helminthiasis merupakan penyakit pada hewan yang disebabkan oleh berbagai
jenis cacing, baik dari klas trematoda, nematoda maupun cestoda yang sangat
merugikan karena dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan,
penurunan berat badan, mengganggu status kesehatan secara umum
sehingga mudah terinfeksi penyakit lain, dan bahkan dapat menimbulkan
kematian. Gangguan pada pertumbuhan yang berlangsung cukup lama akan
menyebabkan penurunan produktivitas.
71
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Helminthiasis (cacingan) dan koksidiosis (penyakit akibat infestasi koksidia)
pada babi seringkali kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan penyakit
lain pada ternak padahal parasit pada babi ini dapat mempengaruhi efisiensi
feed konversi, tingkat pertumbuhan yang buruk, penurunan berat badan, dan
berpengaruh pada status kesehatan secara umum, dan bahkan dapat
menimbulkan kematian pada ternak apabila menderita cukup parah dan tidak
mendapatkan penanganan yang semestinya. Gangguan pada pertumbuhan
yang berlangsung cukup lama menyebabkan produktivitas akan turun. Gejala-
gejala dari hewan yang terinfeksi cacing antara lain, badan lemah dan bulu
rontok. Jika infeksi sudah lanjut diikuti dengan anemia, diare dan badannya
menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian. Penyakit ini dapat
diobati dan dapat dicegah dengan manajemen peternakan yang lebih baik.
Penanganan yang baik, baik dari segi pencegahan maupun pengobatan yang
semestinya akan dapat menghindarkan terjadinya kerugian bagi peternak dan
dalam skala yang lebih besar akan dapat mengurangi kerugian ekonomi bagi
daerah, bahkan mengurangi kerugian ekonomi secara nasional.
Spesies yang berbeda memiliki berbeda efek patogen. Beberapa spesies sangat
penting pada hewan muda, namun tidak terlalu bermasalah pada hewan
dewasa. Selain itu, beberapa spesies relatif mudah untuk dikontrol, sementara
yang lain sangat susah dihilangkan dari lingkungan dan sulit untuk
membasminya, kecuali dengan tindakan yang ekstra (Nansen and Roepstor,
1999).
Spesies cacing pada babi diketahui lebih dari 20 spesies, namun hanya 5-10
spesies yang umum menginfeksi babi domestik yang dipelihara dengan cara
dilepasliarkan di padang rumput atau di tanah di luar ruangan. Pada
pemeliharaan dengan pemeliharaan di dalam ruangan dengan manajemen yang
intensif akan dapat mengurangi spesies cacing yang menginfeksi ternak babi
(Nansen and Roepstor, 1999).
72
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Beberapa cacing nematode yang sering menginfeksi babi yaitu : Hyostrongylus
(kidney worm) Trichinella (Nansen and Roepstor, 1998).
Adanya parasit di dalam tubuh ternak tidak harus diikuti oleh perubahan yang
sifatnya klinis. Kehadiran parasit cacing bisa diketahui melalui pemeriksaan
feses, dimana ditemukan telur cacing atau kista koksidia atau menemukan
cacing dewasa pada hewan setelah disembelih atau dibedah. Perubahan
populasi cacing dalam perut babi dapat diketahui dengan menghitung telur tiap
gram feses secara rutin.
Koksidiosis merupakan infestasi parasit koksidia pada saluran pencernaan
ternak baik itu unggas, sapi, kambing, domba, babi serta kelinci yang diikuti
dengan rusaknya mukosa saluran pencernaan. Penyebab utama koksidiosis
adalah kelompok protozoa dari genus Eimeria dan Isospora. Infestasi Eimeria
terjadi bila ookista infektif dari Eimeria tertelan oleh inang utama. Ookista pada
awalnya berada dalam feses ternak namun tidak infektif karena tidak
tersporulasi. Kondisi lingkungan yang sesuai seperti kadar oksigen, kelembaban
dan suhu yang sesuai membuat ookista menjadi infektif.
Koksidiosis lebih sering terjadi pada anak babi. Koksidiosis harus dicurigai jika
ada masalah diare pada anak babi umur 7-21 hari yang tidak merespon dengan
baik terhadap antibiotik. Namun, babi juga dapat terinfeksi koksidia tanpa
menimbulkan gejala klinis. Koksidia pada babi umumnya adalah genus Eimeria
atau Isospora. Diare adalah tanda klinis utama dalam tahap awal. Pada stadium
lanjut tinja bervariasi dalam konsistensi dan warna dari kuning ke abu-abu hijau,
atau berdarah tergantung pada tingkat keparahan. Diagnosa dilakukan dengan
memeriksa feses di laboratorium.
73
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
III. MATERI DAN METODA
3.1. Materi:
a) Sampel
Sampel feses/tinja babi yang diambil langsung dari rectum atau yang baru saja
dikeluarkan saat defekasi. Sampel diawetkan dengan formalin 10%. Di samping
sampel tinja, juga diperlukan bahan uji yaitu garam jenuh.
b) Alat:
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat universal
Whitlock yaitu; silinder pencampur 100 ml, alat pengaduk tinja, tabung
penyaring,dengan ukuran saringan besar (untuk Uji Apung), pipet Pasteur, slide
kamar penghitung telur cacing, ookista koksidia, serta mikroskop.
3.2. Metode
3.2.1. Metode surveilans
Surevilans dilakukan sejak Bulan Februari sampai dengan November 2016.
Kegiatan surveilans dilakukan untuk mengetahui prevalensi parasit
gastrointestinal/helminthiasis, menggunakan survey representative yaitu suatu
teknik mengambil sampel dari sebagian populasi yang mewakili populasi
sasaran yang lebih luas untuk mengumpulkan informasi khusus mengenai
keseluruhan informasi tersebut (Anonimous., 2014).
74
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
1) Penentuan sampel size
Karena surveilans bertujuan untuk mengetahui tingkat prevalensi penyakit, maka
jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus:
n = 4 pq/L2 (Martin et al, 1987)
Keterangan:
n = jumlah sampel
p = asumsi prevalensi
q = 1 – p
L = galat
Apabila asumsi prevalensi = 35 %, dan galat yang dinginkan 0,05, maka
jumlah sampel yang diambil :
N = (4x0,35 x0,65)/0,052 = 364
Karena metode sampling yang digunakan adalah multistage random sampling,
maka untuk meningkatkan precisi nilai n dapat dikalikan 3 – 5 kali (Martin et al.,
1987). Pada kegiatan surveilans ini, n dikalikan 3 kali sehingga jumlah sampel
yang diambil di seluruh provinsi adalah 1.092. Namun karena keterbatasan
dana, surveilans PGI pada ternak babi dilakukan terintegrasi dengan surveilans
penyakit lain, sehingga kondisi ideal yang diharapkan sesuai dengan rancangan
sebagian tidak tercapai.
2) Populasi target
Populasi target dalam surveilans ini adalah ternak babi di Provinsi Bali, NTB
dan NTT.
75
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
3) Penentuan lokasi sampling
Lokasi sampling di Provinsi Bali adalah di seluruh kabupaten/kota se-Bali,
sedangkan di NTB dan NTT dipilih beberapa kabupaten/kota yang belum
pernah disampling tahun sebelumnya atau pada lokasi dengan
kegiatansurveilans penyakit lainnya sehingga dapat dilakukan secara
terintegrasi.
Karena kegiatan ini merupakan kegiatan yang terpadu dengan surveilans
penyakit lain, kondisi ideal yang diharapkan kadang–kadang tidak tercapai.
Disamping keterbatasan waktu, SDM dan dana, kondisi geografis yang
sangat sulit dijangkau menyebabkan sulit untuk melaksanakan sampling
sesuai perhitungan atau design yang tepat.
Dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi, sedapat mungkin diusahakan
sampel yang diambil agar dapat mewakili keadaan sebenarnya di lapangan.
Pada tingkat peternak, semua babi memiliki peluang yang sama untuk dipilih
sebagai sampel karena tidak ada pemilihan sampel berdasarkan umur, jenis
kelamin maupun cara pemeliharaan ternak.
3.2.2 Metode pengambilan sampel feses
Sampel feses diambil dengan cara mengambil langsung dari dalam rectum
ternak. Apabila tidak memungkinkan, sampel feses dapat diambil segera
setelah feses dikeluarkan pada saat ternak defekasi, namun harus dipastikan
tidak sampai tertukar antara feses ternak yang satu dengan yang lainnya.
Volume sampel yang diambil kira-kira sebanyak 10-20 gram. Sampel feses
segera dimasukkan ke dalam kontainer yang sudah berisi pengawet formalin
10%. Disamping pengambilan feses juga dilakukan wawancara untuk
mengetahui identitas hewan dan data pendukung lainnya guna menjaring
faktor risiko yang berasosiasi dengan PGI.
76
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
3.2.3. Pemeriksaan telur nematoda dengan metoda Floatasi (Whitlock)
Prosedur pemeriksaan telur nematode secara ringkas sebagai berikut:
1) 3 gram tinja dicampur dengan air 7 ml. air
2) Campuran No 1 tersebut dimasukkan ke dalam silinder pencampur yang
berisi 50 ml. larutan garam jenuh.
3) Tinja yang berada dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur
merata dengan cara menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik
turun.
4) Setelah tinja tercampu merata lalu tabung penyaring dimasukan ke dalam
silinder pencampur.
5) Larutan tinja yang telah tersaring kemudian diambil dengan menggunakan
pipet Pasteur.
6) Larutan tinja yang berada dalam pipet dimasukkan ke dalam kamar
penghitung telur cacing. Tabung penyaring diaduk pada setiap pengisian
kamar penghitung telur cacing. Morfologi telur cacing atau ookista koksidia
yang ditemukan diidentifikasi dan dihitung jumlah telur/ookistanya
(Thienpont, et al, 1979; Soulsby, 1982).
7) Cara penghitungan telur cacing
Alat penghitung telur Universal (Universal slide counting chamber) berisi 4
kamar dan setiap kamar menampung 0.5 ml larutan. Setiap kamar berisi 5
garis/strip vertical yang masing-masing memiliki volume 0.1 ml. Dalam
penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau strip tergantung pada
derajat infeksi parasitnya (berat, sedang, atau ringan).
Pada pemeriksaan rutin di Laboratorium Parasitologi BBVet Denpasar,
digunakan penghitungan telur cacing dengan menggunakan 1 kamar pada
chamber untuk setiap sampel.
77
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tinja yang digunakan (3 gram), dilarutkan dalam 7 ml air dan 50 ml garam jenuh
sehingga terjadi pengenceran 1 : 20 (0.05). Volume 1 kamar hitung chamber
adalah 0.5 ml. Jadi, jumlah telur per gram tinja adalah 1 : 0.05 : 0.5 = 40.
Jadi, penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka
pengenceran 1: 20 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja ( 1 kamar chamber),
adalah jumlah telur yang ditemukan dikalikan dengan faktor 40 ( Whitlock et
al.1980).
Cara penghitungan telur cacing secara rinci dapat dilihat pada table di bawah ini.
Tabel 1. Cara penghitungan telur cacing dengan Teknik Floatasi
0,1 ml 0,2 ml 0,4 ml 0,5 ml 1,0 ml 2,0 ml (Ova) Equines x 100 x50 Strongyles Sheep & goats x200 x100 x50 x40 Nematodes Cattle x20 x10 Nematodes Dog, pig, man x200 x100 x50 x40 Oocysts,
Nematodes,Cestodes
Counting strip 1 2 4 5 2 c’bers 4 c’bers(Faecalmester Kit. Universal Slide. Pat. Pend. J. A. Whitlock & Co)
Analisis hasil dan statistikHasil uji dinyatakan positif apabila ditemukan satu atau lebih PGI pada satu
sampel yang diuji. Data hasil pengujian dianalisis menggunakan excel untuk
menghitung prevalensi PGI, dan menggunakan chi-square untuk menghitung
signifikansi perbedaan hasil uji pada berbagai faktor yang diduga berpengaruh.
Jika nilai P > 0.05, artinya tidak berbeda nyata/signifikan sementara jika P < 0.05
menunjukkan perbedaaan yang nyata/signifikan
78
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
IV. HASIL
Dalam kegiatan surveilans PGI pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTT
Tahun 2016, sebanyak 573 sampel feses telah diambil dan diuji, 317 (55,32 %)
diantaranya terinfestasi oleh satu atau lebih parasit gastrointestinal (PGI).
Jumlah sampel dari Provinsi Bali sebanyak 119, 46 (38,66%) diantaranya positif
PGI; dari Provinsi NTB 198 sampel diuji, 107 (54,04) diantaranya positif dan dari
Provinsi NTT, dari 256 sampel yang diuji, 164 (64,04 %) diantaranya positif PGI.
Prevalensi PGI tertinggi ditemukan di Provinsi NTT, sedangkan terendah di
Provinsi Bali, dan hasil tersebut secara statistik berbeda nyata (Chi-sq: 21,42;
Df:2; P<0.01). Hasil uji selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan hasil uji dan
prevalensi untuk masing-masing kabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTT
berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 3, 4 dan 5.
Tabel 2. Prevalensi PGI pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTTTahun 2016
3. Terdapat perbedaan prevalensi PGI secara signifikan antar provinsi, ras,
musim dan jenis kelamin, namun antar kelompok umur menunjukkan hasil
yang tidak berbeda secara statistik.
85
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
6.2 Saran1. Untuk mencegah parasit cacing dan koksidia pada babi perlu dilakukan
perbaikan manajemen pemeliharaan babi termasuk meningkatkan sanitasi
kandang dan pemberian nutrisi yang baik dan penggunaan obat anti parasit
yang sesuai pada saat yang tepat dan dosis yang tepat.
2. Perlunya penyuluhan dari dinas peternakan atau puskeswan mengenai cara
beternak babi yang baik termasuk dalam hal pencegahan dan penanganan
penyakit parasiter.
3. Perlunya pemeriksaan PGI pada ternak babi secara teratur oleh
Puskeswan atau laboratorium Tipe C, sehingga pengobatan dapat dilakukan
secara rasional.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kami ucapkan kepada Ka BBVet Denpasar atas dukungan dana
dan kebijakannya dalam pelaksanaan surveilans dan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam proses surveilans. Ucapan terima-kasih juga kami
sampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan/yang menangani fungsi
peternakan beserta jajarannya di seluruh Provinsi Bali, NTB dan NTT atas
kerjasamanya yang baik sehingga kegiatan surveilans dapat berjalan dengan
lancar.
86
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, (2016) Populasi Sapi Potong menurut Provinsi, 2009-2016 dan Populasi Kerbaumenurut Provinsi, 2009-2016. http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/24#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek3
Anonimous (2014). Babi Dominasi Peternakan di NTT. http://kupang.tribunnews.com/2014/02/25/babi-dominasi-peternakan-di-ntt
Eijck IA and Borgsteede FH (2005). A survey of gastrointestinal pig parasites on free-range,
organic and conventional pig farms in The Netherlands. Vet Res Commun. 2005
Jul;29(5):407-14.
Marufu, M.C., P. Chanayiwa , M. Chimonyo and E. Bhebhe (2008). Prevalence ofgastrointestinal nematodes in Mukota pigs in a communal area of Zimbabwe. AfricanJournal of Agricultural Research Vol. 3 (2), pp. 091-095 February, 2008.
Martin, W., Meck, A.H., Willeberg, P., 1987. Principles and Methods Veterinary Epidemiology,IOWA State University Press/ames.USA
Nganga CJ, Karanja DN, Mutune MN, (2008). The prevalence of gastrointestinal helminthinfections in pigs in Kenya. Trop Anim Health Prod. 2008 Jun;40(5):331-4.
Nansen, P. and Roepstor, A. (1999). Parasitic helminths of the pig: factors infuencingtransmission and infection levels. International Journal for Parasitology 29 (1999)877±891
Nansen, P. and Roepstor, A.(1998). Epidemiology, diagnosis and control of helminth parasitesof swine. Food and agriculture organization of the united nations.
Obonyo,F.O., N Maingi, S M Githigia and C J Ng’ang’a (2012). Prevalence, intensity andspectrum of helminths of free range pigs in Homabay District, Kenya. LivestockResearch for Rural Development 24 (3) 2012.
Suratma, N.A. (2009). Prevalensi Infeksi Cacing Trichuris suis pada babi muda di KotaDenpasar. Buletin Veteriner Udayana. Vol. 1 No. 2 Agustus 2009
Soulsby,E.J.C.(1982) Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.edP.51, 52
Thienpont, D., Rochette,O.F.J. and Vanparijs, (1979). Diagnosing Helminthiasis TroughCoprological Examination , Janssen Research Foundation
Tamboura HH1, Banga-Mboko H, Maes D, Youssao I, Traore A, Bayala B, Dembele MA, (2006).Prevalence of common gastrointestinal nematode parasites in scavenging pigs ofdifferent ages and sexes in eastern centre province, Burkina Faso. Onderstepoort J VetRes. 2006 Mar;73(1):53-60.
87
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS PARASIT DARAH PADA UNGGAS DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2016
Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, IGM Sutawijaya, Yunanto
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilakukan cross sectional study untuk mengetahui infestasi parasit darah pada unggas diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur NTT) pada Tahun 2016.Sebanyak 165 sampel ulas darah unggas diperiksa dengan metode pewarnaan giemsa danmikroskopik, 6 sampel (3,64 %) diantaranya positif parasit darah Leucocytozoon sp. Parasit iniditemukan pada unggas di Provinsi Bali (1,05%) dan di NTB (16,67 %), sedangkan di ProvinsiNTT tidak ditemukan parasit darah pada seluruh sampel yang diuji. Hasil studi ini membuktikanbahwa infestasi parasit darah terjadi pada unggas di Provinsi Bali dan NTB walaupun denganproporsi yang relatif kecil namun tetap perlu diwaspadai dan dicegah penularannya.
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 4. Proporsi Leucocytozoonosis pada unggas di Provinsi NTTTahun 2016
LeucocytozoonosisProvinsi Kabupaten Negatif Positif Total Proporsi (%)
NTT Belu 10 0 10 0.00Kota
Kupang 10 0 10 0.00Manggarai
Barat 20 0 20 0.00NTT Total 30 0 40 0.00
Seperti terlihat pada Tabel 2 dan 3, Leucocytozoonosis ditemukan di KabupatenGianyar, Provinsi Bali pada 1 sampel (20 %) dari 5 sampel ulas darah yang diujidan di Kota Mataram, Provinsi NTB ditemukan pada 5 sampel (50 %) dari 10sampel yang diuji. Leucocytozoonosis ditemukan baik pada ayam jantanmaupun betina pada ayam umur 2 bulan dan 6 bulan. Data secara rinci dapatdilihat pada Tabel 5, sedangkan pada Gambar 1 dapat dilihat bentuk gametositLeucocytozoon sabrazesi pada salah satu sampel ulas darah ayam yangdiperiksa.
Tabel. 5 Data Unggas yang positif Leucocytozoonosis
No Provinsi Kab./Kota Kec Desa Hewan Sex Umur1 Bali Gianyar Gianyar Gianyar Ayam jantan 6 bulan
2 NTB Mataram Cakranegara Cakra BaratAyamburas betina 2 bulan
3 NTB Mataram Cakranegara Cakra BaratAyamburas betina 2 bulan
4 NTB Mataram Cakranegara Cakra BaratAyamburas betina 2 bulan
5 NTB Mataram Cakranegara Cakra BaratAyamburas jantan 2 bulan
6 NTB Mataram Cakranegara Cakra BaratAyamburas jantan 2 bulan
93
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Gambar 1. Gametosit dari Leucocytozoon sabrazesi pada sampel ulasdarah unggas yang diwarnai giemsa (koleksi Lab.Parasitologi, BBVet Denpasar)
IV. PEMBAHASAN
Seperti terlihat pada Tabel 1, parasit darah yang ditemukan pada studi ini hanya
Leucocutozoon yang ditemukan pad unggas di Provinsi Bali dan NTB.
Leucocytozoonosis ditularkan oleh lalat hitam (Simulium sp.) dan Culicoides sp.
Kedua serangga tersebut bertindak sebagai vektor dan menginfeksi unggas
sehat melalui gigitan. Serangga lalat hitam tersebut biasanya hidup pada air
yang mengalir dan menggigit pada siang hari, sedangkan Culicoides sp. hidup
pada air yang menggenang, pada kotoran ayam yang becek dan cenderung
menggigit pada malam hari. Leucocytozoonosis umumnya terjadi pada musim
pancaroba, yaitu pada perubahan musim penghujan ke musim kemarau atau
sebaliknya karena populasi nyamuk atau serangga cenderung meningkat pada
kondisi tersebut. Di Indonesia, kejadian leucocytozoonosis dilaporkan terjadi
pada Tahun 2007 yaitu di beberapa area peternakan di Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Kalimantan Selatan. Pada Tahun 2009-2010
kasus Leucocytozoonosis masih sering ditemukan di beberapa wilayah Jawa
Tengah dan Jawa Timur (Anonimous, 2010).
94
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Hasil studi ini relatif rendah apabila dibandingkan dengan hasil studi yang
dilakukan pada ayam di Uganda dan Cameroon yaitu 18,3 % (Ravinder, 2006).
Hasil studi ini juga berbeda dengan studi yang dilakukan pada ayam lokal yang
dipotong di pasar Maiduguri Nigeria dimana prevalensinya sebesar 17,0 % dan
jenis parasit yang ditemukan adalah Haemoproteus sp dan Plasmodium sp.
(Lawal et al, 2016). Swai, et al (2010) menemukan hanya Aegyptiella pullorum
pada ayam di Northern Tanzania dengan prevalensi 15,3 %. Pada ayam di
Bangladesh, Nath et al. (2014) melaporkan infestasi Leucocytozoon sp pada
ayam yang ditelitinya sebesar 12 %.
Hasil studi ini membuktikan bahwa infestasi parasit darah terjadi pada unggas di
Bali dan NTB yang walaupun dengan proporsi yang relatif kecil namun tetap
perlu diwaspadai dan dicegah penularannya. Mengendalikan populasi serangga
Simulium sp. dan Culicoides sp dengan cara menjaga kebersihan kandang dan
lingkungan merupakan salah satu cara untuk mencegah penularan penyakit ini.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan1. Parasit darah yang menginfestasi unggas di Provinsi Bali, NTB dan NTT
Tahun 2016 adalah Leucocytozoonon dengan proporsi sebesar 3,64 %.
2. Leucocytozoon hanya ditemukan pada unggas di Provinsi Bali (1,05%) dan di
Provinsi NTB (16,67 %).
5. 2 SaranPencegahan dan pengendalian parasit darah /Leucocytozoonosis dapat
dilakukan dengan pengendalian populasi serangga yang bertindak sebagai
vektor dengan cara menjaga kebersihan kandang dan lingkungan.
95
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Wettere, A.V.(2016). Overview of Bloodborne Organisms in Poultry. Merck Veterinary Manual.Merck Sharp & Dohme Corp., a subsidiary of Merck & Co., Inc., Kenilworth, NJ, USA.
Lawal, J. R. ; A. M. Bello1 , S. Y. Balami2 , J. Dauda3 , K. D. Malgwi2 , K. U. Ezema2 , M.Kasim1 and A. A. Biu (2016). Prevalence of Haemoparasites in village chickens (Gallusgallus domesticus) slaughtered at poultry markets in Maiduguri, Northeastern Nigeria.Journal of Animal Science and Veterinary Medicine Volume 1. Page 39-45. Published27th August, 2016.
M. N. Opara1*, D. K. Osowa2, J. A. Maxwell3 (2014). Blood and Gastrointestinal Parasites ofChickens and Turkeys Reared in the Tropical Rainforest Zone of Southeastern Nigeria.Open Journal of Veterinary Medicine, 2014, 4, 308-313.http://www.scirp.org/journal/ojvm.
Nath, T.C , M.J.U. Bhuiyan and M.S. Alam (2014). A study on the presence of leucocytozoonosisin pigeon and chicken of hilly districts of Bangladesh. Issues in Biological Sciences andPharmaceutical Research Vol.2 (2), pp. 013-018, February 2014.
Ravinder N. M. Sehgal, Gediminas Valkiu¯ nas*, Tatjana A. Iezhova*, and Thomas B. Smith(2006). Blood Parasites Of Chickens In Uganda And Cameroon With MolecularDescriptions Of Leucocytozoon Schoutedeni And Trypanosoma Gallinarum. The JournalOf Parasitology, Vol. 92, No. 6, December 2006.
Swai, E.S, M Kessy, P Sanka, S Bwanga and J E Kaaya (2010). A survey on ectoparasites andheamoparasites of free-range indigenous chickens of Northern Tanzania.Livestock Research for Rural Development 22 (9) 2010
96
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT SURRA/TRYPANOSOMIASISDAN PARASIT DARAH LAINNYA PADA TERNAK DI PROVINSI BALI,
NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2016
Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, IGM Sutawijaya, Yunanto
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Surveilans dan monitoring penyakit Surra/Trypanosomiasis dan parasit darah lainnya telahdilakukan di provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur ( NTT) dalambulan Februari sampai dengan Desember 2016. Sebanyak 2.373 sampel ulas darah berhasildiambil, masing-masing berasal dari Provinsi Bali sebanyak 568 sampel, dari NTB 1.055 sampeldan dari NTT sebanyak 750 sampel. Seluruh sampel diuji dengan teknik pewarnaan giemsa danmikroskopik. Dari seluruh sampel yang diuji, 12 sampel (0,51%) diantaranya positif Trypanosomasp. dan 10 sampel (0,42%) positif Theileria sp. Prevalensi Trypanosomiasis tertinggi di ProvinsiNTB yaitu 0,85%, diikuti oleh Provinsi Bali 0,53 % dan NTT 0,00 %, sedangkan Theileria sp.tertinggi di Provinsi NTT yaitu 0,80 %, diikuti Bali 0,70 % dan NTB 0,00 %. Trypanosoma spmasing-masing ditemukan di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali (0,87 %), Kabupate Dompu(0,52 %), Bima (1,32 %) dan Sumbawa, NTB (5,81 %), sedangkan Theileria sp ditemukan diKabupaten Jembrana, Provinsi Bali (1,16 %), Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara (TTU),NTT (masing-masing 25,00 % dan 3,57 %).
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 5. Identitas ternak sapi yang positif Trypanosoma sp
No Provinsi Kabupaten Kecamatan Desa Hewan Sex Umur
1 Bali Jembrana Pekutatan PangyanganSapiBali betina
14tahun
2 Bali Jembrana Pekutatan PangyanganSapiBali betina 8 tahun
3 Bali Jembrana Pekutatan PangyanganSapiBali betina 1 tahun
4 NTB Bima MontaTanggaBaru
SapiBali jantan 4 tahun
5 NTB Bima MontaTanggaBaru
SapiBali jantan 4 tahun
6 NTB Dompu Woja MadaSapiBali betina
1,5tahun
7 NTB Dompu DompuKarijawaUtara
SapiBali betina 2 tahun
8 NTB SumbawaLabuanBadas
KarangDima
SapiBali betina 2 tahun
9 NTB SumbawaLabuanBadas
KarangDima
SapiBali betina 2 tahun
10 NTB SumbawaLabuanBadas
KarangDima
SapiBali betina 3 tahun
11 NTB SumbawaLabuanBadas
KarangDima
SapiBali betina 3 tahun
12 NTB SumbawaLabuanBadas
KarangDima
SapiBali betina 3 tahun
V. PEMBAHASAN
Seperti terlihat pada Tabel 1, 2, 3 dan 4, Trypanosomiasis terjadi secara
sporadis di beberapa wilayah kabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Untuk
Provinsi Bali, kejadian Trypanosomiasis terjadi di Kabupaten Jembrana
khususnya di wilayah peternakan pembibitan sapi Bali milik BPTUHPT. Tahun
lalu 5 ekor sapi (1,6%) dari 306 sapi terinfestasi Trypanosmiasis, sedangkan
tahun ini sedikit menurun menjadi 0.87%. Ternak yang positif Trypanosomiasis
pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas.
108
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Di Provinsi NTB, Trypanosomiasis terjadi di Kabupaten Bima, Dompu dan
Sumbawa dengan prevalensi berturut-turut 1.32 %, 0.52 % dan 5.81 %,
sedangkan di Provinsi NTT tidak ditemukan adanya Trypanosomiasi pada
Tahun 2016 ini. Trypanosomiasis yang ditemukan pada umumnya tidak
menunjukkan gejala klinis yang jelas kecuali kasus yang terjadi di Kabupaten
Sumbawa menurut laporan kasus ini sudah menyerang beberapa hewan dan
menimbulkan gejala klinis dan kematian. Kasus Trypanosomiasis di Kabupaten
Dompu nampaknya merupakan kejadian pertama kalinya karena sebelumnya
belum pernah ada laporan.
Tidak terjadinya kasus Trypanosomiasis di Provinsi NTT khususnya di Pulau
Sumba pada Tahun 2016 ini menunjukkan adanya keberhasilan pemerintah
dan masyarakat setempat dalam mengendalikan penyakit ini. Seperti diketahui
bahwa pada Tahun 2010 sampai dengan 2012 wabah Trypanosomiasis/Surra
sempat terjadi di Pulau Sumba, dan pada tahun berikutnya kasus masih sering
terjadi secara sporadis.
Kejadian Trypanosmoiasis dan parasit darah lainnya seperti Theileriosis tidak
terlepas dari keberadaan vektor lalat sebagai vektor mekanik. Oleh sebab itu,
untuk mencegah terjangkitnya penyakit ini, menjaga kebersihan kandang dan
mengendalikan vektor merupakan langkah yang perlu dilakukan oleh peternak.
Pengawasan lalu-lintas ternak juga perlu mendapat perhatian untuk
meminimalisasi penyebaran penyakit.
VI. KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan1. Pada kegiatan surveilans Trypanosoma/Surra dan parasit darah lainnya di
Provinsi Bali, NTB dan NTT ditemukan adanya Trypanosoma sp dengan
prevalensi sebesar 0.51%.
2. Selain Trypanosoma, juga ditemukan parasit darah Theileria sp dengan
prevalensi 0.42 %.
109
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
6.2 Saran1. Pencegahan dan pengendalian penyakit Surra/Trypanosomiasis perlu terus
2. dilakukan salah satunya dengan cara pengendalian lalat sebagai vektor
mekanik yang berperan dalam penyebaran penyakit.
3. Pengawasan lalu-lintas ternak juga perlu mendapat perhatian untuk
mengurangi risiko penularan penyakit dari suatu wilayah tertular ke wilayah
lainnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kami ucapkan kepada Kepala BBVet Denpasar atas dukungan
dana dan kebijakannya dalam pelaksanaan surveilans dan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses surveilans. Ucapan terima-kasih juga kami
sampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan/yang menangani fungsi
peternakan beserta jajarannya di seluruh Provinsi Bali, NTB dan NTT atas
kerjasamanya yang baik sehingga kegiatan surveilans dapat berjalan dengan
lancar.
110
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Davidson,H.C, M.V. Thrusfield, S. Muharsini, A. Husein, S. Partoutomo, P.F Rae R.\Masake and A.G. Luckins, 1999. Evaluation of antigen detection and antibodydetection tests for Trypanosome evansi of buffaloes in Indonesia, EpidemiolInfect. 149-155, Cambridge, UK
Luckins, AG, 1983. Development Serological Assay for Studies of Trypanosomiasis ofLivestock in Indonesia. Bakitwan Project report, RIVS,Bogor.
Martin, W., Meck, A.H., Willeberg, P., 1987. Principles and Methods VeterinaryEpidemiology, IOWA State University Press/ames.USA.
Mastra, I.K., Arsani, N.M., Nurlatifah, I., Yunanto, Sutawijaya, IGM, 2015. Surveilansdan Monitoring Penyakit Surra (Trypanosomiasis) di Provinsi Bali, NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2015. Balai Besar VeterinerDenpasar.
Soulsby,E,J,l ,.1982. Helminths, Arthropds and Protozoa of Domesticated Animals,Bailliere Tindal,London
126
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN RABIESSECARA VIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2016
I. K. E. Supartika, dan I. G. A. J. Uliantara
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Rabies masih endemis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. Untuk itu kegiatansurveilans Rabies secara berkelanjutan masih perlu dilakukan yang bertujuan: untuk mendeteksikeberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit rabies, terkait dengan upayapembebasan rabies di Provinsi Bali, mendeteksi kemungkinan keberadaan virus rabies padaanjing di Provinsi NTB agar daerah ini tetap bebas rabies, mendeteksi virus rabies pada anjing-anjing di wilayah Pulau Flores dan sekitarnya terkait kegiatan pengendalian rabies di ProvinsiNTT.
Surveilans penyakit rabies pada anjing khususnya dilaksanakan dengan melakukanpengambilan sampel otak anjing yang berisiko menularkan penyakit rabies. Sampel diperiksadengan metode uji Flourescent Antibody Test (FAT).
Pada tahun 2016 jumlah sampel otak hewan yang diperiksa Balai Besar Veteriner Denpasarsebanyak 2.066 sampel. Di Provinsi Bali, jumlah sampel otak hewan yang diperiksa sebanyak1.480 sampel, 206/1.480(13,92%) sampel diantaranya positif rabies. Kasus positif rabies berasaldari anjing 205/206 (99,51%) sampel dan kucing 1/206(0,49%) sampel. Rata-rata jumlah kasuspositif rabies perbulan ada sebanyak 17 kasus. Jumlah ini menurun tajam dibandingkan dengantahun 2015 ada sebanyak 44 kasus, per bulan. Kasus rabies paling banyak ditemukan diKabupaten Buleleng sebanyak 41 kasus, disebabkan oleh anjing yang belum divaksin.
Jumlah sampel otak anjing yang berasal dari kabupaten/kota di Provinsi NTB sebanyak 417sampel, tidak ada positif rabies. Sedangkan sampel otak hewan dari kabupaten/kota di PulauFlores dan Lembata, Provinsi NTT diperiksa sebanyak 169 sampel, 45/169 (26,63%) sampelpositif rabies. Kasus positif rabies berasal dari anjing 44/45(97,78%) sampel dan kambing1/45(2,22%) sampel.
Hasil surveilens ini menunjukkan bahwa rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali danpulau-pulau disekitar pulau Flores, NTT. Program vaksinasi masal, kerjasama antar instansipemerintah, komunikasi, informasi dan edukasi tentang rabies ke masyarakat masih perluditingkatkan. Sampai saat ini Provinsi NTB masih bebas rabies. Kontrol terhadap lalu lintashewan penular rabies ke Provinsi NTB dan daerah bebas rabies di Provinsi NTT masih sangatdiperlukan.
Kata kunci: anjing, hewan, otak, rabies, surveilans
127
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi tiga provinsi yaitu :
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Seperti diketahui bahwa dua dari tiga provinsi yang merupakan wilayah kerja
BBV Denpasar merupakan daerah endemis rabies. Provinsi Nusa Tenggara
Timur, khususnya Pulau Flores dan Lembata dinyatakan terjangkit rabies sejak
tahun 1997, sedangkan Provinsi Bali dinyatakan terjangkit rabies sejak akhir
tahun 2008 (Putra, dkk, 2009) dan sampai saat ini kasus positif rabies rabies
masih sering ditemukan dan ada kecendrungan terjadi peningkatan kasus.
Di Provinsi Bali sejak dilakukannya vaksinasi massal secara serentak , kasus
Rabies menurun secara drastis. Tahun 2008 jumlah kasus positif sebanyak
17,31%, tahun 2009 (25,17%), tahun 2010 (10,87%) tahun 2011 (13,29%),
tahun 2012(14,83%). Pada tahun 2013 dari 992 sampel yang diperiksa, 41/992
(4,13%) positif Rabies dengan jumlah kasus rabies per bulan sebanyak 3,42
kasus. Kasus rabies paling banyak di temukan di Kabupaten Bangli (12) kasus.
Namun, tahun 2014 jumlah kasus meningkat secara drastis. Dari 1.258 sampel
otak anjing yang diperiksa ditemukan sebanyak 126/1.258(10,02%) positif
rabies. Rata-rata jumlah kasus perbulan sebanyak 10,5 kasus. Kasus rabies
lebih banyak terjadi di Kabupaten Karangasem (25) kasus dan kebanyakan
terjadi pada anjing-anjing yang belum pernah divaksin rabies (Supartika dkk,
2014).
Secara geografis, Provinsi NTB (yang masih berstatus bebas rabies) namun
berpotensi tertular rabies karena dibatasi oleh dua provinsi tertular rabies yaitu
Propinsi Bali dan pulau Flores, NTT. Hasil surveilans Balai Besar Veteriner
Denpasar tahun 2014, dari 452 sampel otak anjing dari NTB yang diperiksa
semuanya negatif rabies. Di NTT, khususnya Pulau Flores dan Lembata,
penyakit rabies cenderung bersifat endemis. Pada tahun 2013 dari 20 sampel
otak anjing yang diperiksa, 7/20(35,00%) positif rabies, sedangkan tahun 2014
128
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
terjadi penurunan jumlah kasus, dari 77 sampel otak anjing yang diperiksa,
24/77(31,17%) positif rabies
Dengan kondisi demikian, sebagai salah satu unit pelayanan teknis (UPT) dari
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Kementerian Pertanian, yang membidangi kesehatan hewan, sudah
merupakan kewajiban bagi BBVet Denpasar untuk membantu pemerintah
daerah dalam penanggulangan rabies di daerah tertular dan mempertahankan
wilayah/ provinsi yang masih dinyatakan bebas rabies. Untuk itu pada tahun
2016, BBVet Denpasar akan melakukan surveilans virologis rabies di Provinsi
Bali, NTB dan NTT.
1.2. Rumusan Masalah.a. Ada kecendrungan peningkatan kasus rabies di Provinsi Bali tahun 2016.
b. NTB merupakan daerah berisiko tinggi tertular rabies, terutama di wilayah
yang berbatasan dengan Pulau Flores dan Bali seperti: Sape, Lembar dan
pelabuhan tidak resmi yang ada di pantai wilayah NTB.
c. Rabies di Pulau Flores dan Lembata, Provinsi NTT masih bersifat endemis.
1.3. Tujuan Kegiatan.Kegiatan surveilans dan monitoring agen penyakit rabies dilaksanakan dengan
tujuan sebagai berikut :
a. Mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit Rabies,
terkait dengan upaya pembebasan Rabies di Provinsi Bali
b. Mendeteksi sedini mungkin kemungkinan keberadaan virus Rabies pada
anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap
bebas Rabies
c. Mendeteksi keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko
tertular Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian dan
penanggulangan rabies (early detection, early report, early response) di
wilayah Provinsi NTT.
129
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
1.4. Manfaat Kegiatana. Terpetakannya keberadaan virus rabies pada anjing di Provinsi Bali
b. Tersedianya informasi sedini mungkin terkait keberadaan virus Rabies pada
anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap
bebas Rabies
c. Terdatanya keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko
tertular Rabies di Pulau Flores.
1.5. Keluaran/Output.Output yang diharapkan dari kegiatan surveilans penyakit Rabies adalah
tersedianya data dan informasi tentang keberadaan virus rabies pada anjing di
Provinsi Bali, NTB dan NTT.
1.6. Analisa Risiko Penyakit.Analisa risiko penularan penyakit rabies di Provinsi Bali, NTB dan NTT meliputi
:
1. Identifikasi Bahaya (Hazard Identification),
2. Penilaian Risiko (Risk Assessment),
3. Penilaian Konsekuensi (Consequence Assessment) maka kegiatan
surveilans dan monitoring penyakit rabies di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar tahun anggaran 2016 dapat dirumuskan seperti pada
Tabel 1, 2, 3 dan 4.
130
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 1. Analisa Risiko Rabies di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2016.
Lokasi IdentifikasiBahaya
PenilaianRisiko
PenilaianKonsekuensi Targeted
Seluruh Kab/ Kotadi Provinsi Bali
1. Data kasus 20152. Lalulintas HPR3. Populasi4. Sistem pemeliharaan5. Status vaksinasi/
1. Sebanyak 516 dari 3.061(16,86%) sampel di diagnosapositif rabies FAT
2. Lalulintas HPR dari satu kedaerah lain sangat sulitdikendalikan.
3. Estimasi populasi anjingmencapai 500.000 ekor
4. Secara umum proporsikepemilikan anjing di Bali adalah95% anjing berpemilik (61%dilepasliarkan dan 34%dikandangkan atau diikat) dan 5%adalah anjing tidak berpemilik
5. Sebanyak 320 dari 677 (47,30%)sampel positif serologi rabies (<70%)
1. Kasus rabies masihcukup tinggi, danpenyakit sedangbersirkulasi dilapangan.
2. Penyebaran penyakitsulit terkendali.
3. Tingginya populasiHPR tingginyacontact rate.
4. Sistem pemeliharaanyang diliarkanmenyulitkanpengawasan danpemberian vaksinasipada HPR.
5. Setengah daripopulasi adalahhewan peka.
Berdasarkanrumusperhitunganjumlah sampel,di wilayah Balitarget sampelminimal 665.
Tabel 2. Analisa Risiko Rabies di Mataram dan Lombok Barat, NTB
1.Masih banyak nelayan dariluar Pulau Lombokterutama dari daerahendemis rabies yangmembawa anjing dalampelayaran.
2.Budaya berburumeningkatkan risikopenularan rabies melaluigigitan hewan liar (buruan)dan perpindahan hewanke daerah lain.
3.Daerah bebas seperti NTBtidak melakukan vaksinasirabies.
4.Sebagian besarpemeliharaan HPR di wil.Lombok Barat adalahdilepasliarkan
1.HPR dari daerah endemissangat berpotensimenularkan penyakitrabies.
2.Hewan liar (buruan) sangatberpotensi menularkanrabies melalui gigitan, danwilayah perburuan sampaike luar daerah semakinmeningkatkan potensipenyebaran penyakitrabies.
Kejadian Status Sistem Kegiatan KriteriaPenyakit Vaksinasi Pemeliharaan Surveilans Lokasi
di lapangan Hewan HPRObservasi dan atau pemeriksaaan pada HPRyang menggigit/klinis, vaksinasi semua HPRdan monitoring hasil vaksinasi
Vaksinasi Pengawasan lalulintas HPR, surveilans serologi/(cakupan ? 70%) deteksi penyakit di wil. yg melalulintaskan HPR,
observasi/pemeriksaan kasus gigitan/klinisTidak vaksinasi Pengawasan lalulintas HPR, observasi/pemerik- Wilayah Bali,(vaksinasi, caku- saan sampel kasus gigitan/klinis, vaksinasi dan terutama
pan < 70%) surveilans dan monitoring penyakit rabies urban area.Pengawasan lalulintas HPR, pemetaan pe- Bali dan Floresnyakit, observasi/pemeriksaan sampel kasus urban, sub- gigitan/klinis, vaksinasi dan monitoring. urban & rural.Pengawasan lalin HPR, vaksinasi dan Bali dan Floresmonitoring post vaksinasi, pengandangan HPR, urban, sub-surveilans deteksi penyakit rabies. urban & rural.
Tidak ada Pemetaan wilayah positif serologi berdasarkan NTB, terutama(Bebas) hasil surveilans, tracing dan deteksi agen berbatasan dg
penyakit dilapangan. Bali & FloresSurveilans serologi dan deteksi penyakit di wil. NTB, terutamabebas terancam (perbatasan langsung dengan berbatasan dgdaerah tertular, potensi pemasukan HPR ilegal) Bali & Flores
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak terkendali
Ada
Kandang/ikat
Lepas/liar
Manajemen ResikoResiko Lalulintas HPR
Rabies Terkendali
Ada
133
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 5. Analisa Risiko Kegiatan Penyidikan Dan Pengujian Rabies SecaraVirologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat Dan NusaTenggara Timur Tahun 2016
No Risiko Solusi
1Target sampel tidak terpenuhi Koordinasi dengan dinas/instansi terkait mengenai
lokasi di mana jumlah sampel diperkirakan tersediasecara memadai
2Masyarakat belum paham tentangrisiko Rabies
Menyarankn kepada dinas/instansi terkait untuklebih proaktif mensosialisasikan tentang bahayapenyakit rabies bagi kesehatan masyarakat
3Lokasi pengambilan sampel tidaksesuai dengan yang dijadwalkan
Koordinasikan dengan dinas/instansi terkait tentanglokasi kegiatan yang pasti jauh-jauh hari sebelumkeberangkatan
4
Jadwal pengambilan sampel tidaksesuai dengan waktu yangdialokasikan oleh petugas setempat
Koordinasi dengan dinas/instansi terkait mengenaikepastian waktu pengambilan sampel jauh-jauh harisebelum keberangkatan, sehingga pengambilansampel dapat disesuaikan dengan jadwal kegiatandari dinas/instasni terkait
5
Jadwal transportasi tidak sesuaidengan waktu kegiatan dikarenakantidak ada jadwal penerbangan kelokasi terdekat dengan lokasikegiatan
Koordinasikan dengan dinas/instansi terkaitmengenai perubahan jadwal kegiatan pengambilansampel akibat kendala transportasi
6
Surat pemberitahuan jadwal kegiatansurveilans tidak sampai/lambatditerima oleh dinas/instansi dimanalokasi kegiatan surveilans akanberlangsung
Koordinasi dengan dinas/instasi terkait melaluitelepon atau sms ke petugas berwenang terkaitdengan pengiriman surat pemberitahuan jadwalkegiatan surveilans.
7
Sampel rusak akibat tidaktersedianya sarana penyimpanansampel yang layak (pendingin)
Sampel dapat kita titip pada kantor dinas/instansiatau tempat penginapan di dalam ruang pendingin(kulkas/freezer) selanjutnya dalam perjalananditambahkan es batu atau ice pack untuk menjagasampel tetap dalam keadaan baik sampai dilaboratorium
134
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 6. Analisa risiko pengujian sampel kegiatan penyidikan danpengujian rabies secara virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTTtahun 2016.
No Risiko Manajemen Risiko1 Bahan kimia yang digunakan
untuk pengujian telahhabis/kadaluwarsa
Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agar bahankimia tersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman padalaboratorium lainnya di BBVet Denpasar
2 Peralatan pengujian ada yangrusak/belum tersedia
Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agar alattersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman alatpada laboratorium lainnya di BBVetDenpasar yang menggunakan alat yangsama
II. TINJAUAN PUSTAKA
Rabies merupakan penyakit viral zoonosis akut, menimbulkan ensefalitis fatal
pada mammalia, disebabkan oleh Lyssavirus dari keluarga Rabdoviridae
(Murphy et al., 2009; Fischer et al., 2013). Wilayah kerja Balai Besar Veteriner
(BBVet) Denpasar meliputi: Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur secara historis merupakan daerah bebas rabies, namun sejak
tahun 1997 wilayah ini mulai tertular rabies dengan munculnya kasus rabies
pertama kali di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Windiyaningsih
et al., 2004). Selanjutnya rabies dilpaorkan pertama kali di Provinsi Bali pada
akhir tahun 2008 (Supartika et al., 2009). Meningkatnya lalu lintas orang, hewan,
serta barang berdampak pada semakin cepatnya perpindahan hewan dalam
masa inkubasi, selanjutnya berperan dalam penyebaran penyakit zoonosis
seperti rabies di daerah baru (Lankau et al., 2013). Kejadian wabah rabies di
Larantuka, Flores Timur, NTT disebabkan oleh masuknya tiga ekor anjing dari
daerah endemis rabies yaitu dari daerah Butung, pulau Buton, Sulawesi Selatan
pada bulan September 1997 (Windiyaningsih et al., 2004). Di Provinsi Bali,
sumber penularan rabies diduga berasal dari masuknya anjing dalam masa
inkubasi dibawa pelaut berasal dari Sulawesi Selatan (Putra et al., 2009).
135
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Anjing masih merupakan hewan penular rabies utama di Provinsi Bali. Dari 672
kasus rabies pada hewan di Bali periode tahun 2008-2012 semuanya ditularkan
oleh anjing rabies (Supartika et al., 2013). Keberhasilan pembebasan rabies dari
wilayah tertentu sangat tergantung pada seberapa efektif kegiatan surveilans
telah dilaksanakan. Surveilans adalah kegiatan terstruktur untuk melihat
populasi hewan dari dekat untuk menentukan apakah penyakit spesifik
merupakan ancaman sehingga tindakan awal dapat dilaksanakan secepatnya
(Salman, 2013). Surveilans memegang peranan penting dalam memacu
memberikan respon cepat, memonitor dampaknya, sehingga wabah secara
cepat dapat ditindaklanjuti (Townsend et al., 2013).
III. MATERI DAN METODE.
3.1. MateriMateri kegiatan surveilans dan monitoring rabies dilaksanakan dengan
melakukan pengambilan sampel otak anjing dengan kriteria sebagai berikut:
Anjing yang mempunyai risiko menularkan rabies (anjing yang tiba-tiba
menggigit orang dan atau hewan lainnya).
Anjing yang menunjukkan gejala klinis rabies dan menunjukkan perubahan
perilaku.
Hasil eliminasi terhadap anjing liar tidak berpemilik yang dilakukan oleh
petugas dinas setempat.
Sampel otak anjing yang diperoleh dari tempat-tempat yang menyediakan
hidangan dari daging anjing (rumah makan RW).
Sampel otak anjing yang mati akibat tertabrak kendaraan di jalan raya. Hal ini
menjadi pertimbangan karena pada umumnya anjing yang terjangkit rabies
akan mengalami perubahan perilaku dan cenderung kehilangan insting untuk
menghindari lalulintas kendaraan.
Anjing yang berasal dari daerah tertular.
Bahan kimia dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan penyidikan dan
pengujian penyakit rabies secara virologis tahun anggaran 2016 disajikan pada
Tabel 7.
136
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 7. Bahan dan peralatan habis pakai untuk kegiatan kegiatanpenyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis tahunanggaran 2016
3.2. MetodeSampel otak anjing dalam keadaan segar, segar beku atau diberi pengawet
gliserin 50% selanjutnya di uji Flourescent Antibody Test . Sampel dibuat
preparat ulas tipis pada objek gelas, diangin-anginkan pada suhu kamar,
selanjutnya di fiksasi dengan aceton dingin selama 30 menit. Preparat ditetesi
dengan konjugit fluorescein isothiocyanate (FITC) (Bio-Rad) diinkubasi dalam
inkubator suhu 37oC selama 30 menit, dibilas dengan PBS, di tutup dengan
cover glass yang berisi gliserin 10%, selanjutnya diperiksa dibawah mikroskup
flourescent.
IV. PELAKSANAAN KEGIATAN
4.1. Pelaksanaan Pengambilan Sampel.Pengambilan sampel di lapangan dalam kegiatan penyidikan dan pengujian
rabies secara virologis dilakukan oleh petugas pengambil sampel Balai Besar
Veteriner Denpasar bekerjasama dengan Dokter Hewan dan petugas
Puskeswan yang ada di masing-masing wilayah kerja. Jumlah dan lokasi
137
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
pengambilan target sampel otak anjing sebanyak 1.435 sampel berasal dari
kabupaten/kota di wilayah kerja BBVet Denpasar disajikan pada Tabel 8. Untuk
pengambilan sampel otak anjing di provinsi Bali, NTB dan NTT selain dilakukan
oleh Tim BBVet Denpasar, juga melibatkan petugas/dokter hewan Puskeswan
setempat.
4.2. Sumber Pembiayaan.Pembiayaan kegiatan penyidikan dan pengujian rabies secara virologis di
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur seluruhnya
dibebankan pada DIPA BBVet Denpasar tahun anggaran 2016 Nomor:
018.06.2.239022/2016 tanggal 14 Nopember 2016 sebesar Rp. 119.100.000,-
(seratus sembilan belas juta seratus ribu rupiah) .
4.3. Waktu dan Lokasi KegiatanKegiatan penyidikan dan pengujian rabies secara virologis di Provinsi Bali, NTB
dan NTT dilakukan pada bulan Maret sampai dengan September 2016. Lokasi
pengambilan sampel yaitu:
a. Di seluruh Kabupaten/Kota Provinsi Bali
b. Provinsi NTB : Kabupaten Bima, Kota Bima, Lombok Barat, Lombok Timur,
Lombok Utara dan Kota Mataram.
c. Provinsi NTT : Kabupaten Ende, Flores Timur, Lembata, Manggarai,
Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, dan Sikka.
138
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 8. Jumlah sampel yang diambil oleh BBVet Denpasar dan Puskeswan diBali, NTB dan NTT dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan danpengujian rabies secara virologis tahun anggaran 2016.
No Provinsi Kabupaten Jumlah Sampel TotalSampel Keterangan
B NTB1 Kab. Bima 50 0 50 1X Terintegrasi dana AI2 Kota Bima 50 0 50 1X Dana PKH3 Lombok Barat 50 0 50 1X Terintegrasi dana PGI4 Lombok Tengah 50 0 50 1X Dana PKH5 Lombok Timur 50 0 50 1X Terintegrasi, dana Rabies Viro6 Lombok Utara 25 0 25 1X
7 Mataram 70 0 70 1X
Jumlah 420 0 420
C NTT1 Alor 25 0 25 1X Terintegrasi, dana rabies Sero2 Ende 30 0 30 1X Terintegrasi, dana rabies Sero
3 Flores Timur 30 0 30 2XTerintegrasi, dana rabies Sero,
Hog Cholera4 Lembata 25 0 25 1X Dana PKH5 Manggarai Timur 45 0 45 2X Terintegrasi, dana rabies Sero, AI6 Manggarai 25 0 25 1X Terintegrasi dana Hog Cholera7 Manggarai barat 25 0 25 1X Dana PKH8 Nagekeo 25 0 25 1X Terintegrasi, dana rabies Viro9 Ngada 45 0 45 1X Terintegrasi dana AI
10 Sikka 75 0 75 1XJumlah 350 0 350Jumlah Sampel Keseluruhan 1.435 0 1.435
139
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Kegiatan penyidikan dan pengujian rabies secara virologis dilakukan diseluruh
daratan Flores sebagai daerah endemis Rabies. Namun demikian Tim
Surveilans hanya mengunjungi beberapa Kabupaten saja, hal ini dikarenakan
keterbatasan anggaran kegiatan. Sampel-sampel yang merupakan kasus gigitan
dari wilayah yang tidak dikunjungi, akan dikoordinasikan dengan dinas setempat
untuk mengiirimkan sampelnya ke Laboratorium BBVet Denpasar atau
dikirimkan ke kabupaten yang dikunjungi oleh Tim Surveilans, sehingga
meringankan biaya pengiriman dan penanganan sampel bisa lebih terjamin.
Kegiatan penyidikan dan pengujian rabies secara virologis di Bali dilakukan
dengan serveilans tunggal dan terintegrasi. Surveilans tunggal hanya melakukan
pengambilan sampel otak saja, namun karena pelaksanaan kegiatan eliminasi.
terhadap anjing liar (yang tidak divaksinasi) terkadang dilakukan tanpa
dijadwalkan terlebih dulu (tergantung permintaan masyarakat/ terkait kasus
gigitan), maka dilakukan juga pengambilan sampel terintegrasi. Pengambilan
sampel terintegrasi dilakukan pada saat Tim BBVet melakukan surveilans
penyakit lainnya namun tetap melakukan pengambilan sampel otak anjing
apabila di wilayah tersebut ada kegiatan eliminasi maupun terjadi kasus gigtan.
Pelaksanaan kegiatan secara lebih rinci disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Matrik pelaksanaan kegiatan penyidikan dan pengujian rabiessecara virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun Anggaran2016, Balai Besar Veteriner Denpasar
Bulan keTahapan Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Persiapan bahan/ alat
Penentuan lokasipengambilan sampelPenyusunan RencanaAnggaran Biaya KegiatanPelaksanaan pengambilan sampeldan pengujian laboratoriumPengolahan data hasil surveilansdan Pelaporan
140
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
4.4. RINCIAN ANGGARAN BIAYA (RAB)Rencana Anggaran Biaya kegiatan penyidikan dan pengujian rabies secara
virologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur TA.
2016 dengan rincian sebagai tercantum dalam Tabel 10.
Tabel 10. Rencana Anggaran Biaya kegiatan penyidikan dan pengujianrabies secara virologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara BaratDan Nusa Tenggara Timur, Tahun 2016.
No Jenis kegiatan Jml Satuan Harga Satuan(Rp) Total (Rp)
1 Pengadaan bahan kimia dan peralatan habis pakai 1 Paket 69..850.000,- 69..850.000,-2 Pembuatan KAK/TOR 1 Lap 250.000,- 250.000,-3 Operasional pengambilan sampel oleh PKH Bali 1 Thn 7.300.000,- 6.300.000,-4 Operasional pengambilan sampel oleh PKH NTB 1 Thn 6.300.000,- 5.600.000,-5 Operasional pengambilan sampel oleh PKH NTT 1 Thn 5.600.000,- 6.300.000,-6 Biaya kirim alat/bahan operasional 1 Thn 400.000,- 400.000,-7 Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi Bali 24 OH 300.000,- 7.200.000,-8 Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi NTB 2 OP 4.600.000,- 9.200.000,-9 Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi NTT 2 OP 5.300.000,- 10.600000,-10 Pembuatan laporan 1 Lap 250.000,- 250.000,-11 Blokir 1 Paket 2.000.000,- 2.000.000,-
Jumlah 119.100.000,-
V. HASIL.
Tahun 2016 Balai Besar Veteriner Denpasar menerima sampel untuk pengujian
penyakit rabies sebanyak 2.066 sampel yang berasal dari berbagai hewan,
masing-masing 1.480 sampel berasal dari Provinsi Bali, 417 sampel dari
Provinsi NTB dan 169 sampel dari Provinsi NTT (Grafik 1). Jumlah kasus rabies
pada hewan di Provinsi Bali pada tahun 2016 menurun tajam dibandingkan
pada tahun 2015 seiring dengan menurunya jumlah kasus positif rabies pada
anjing (Grafik 2). Kasus positif rabies selain menyerang anjing juga telah
menyerang kucing di Kabupaten Karangasem (Grafik 3). Rata-rata jumlah kasus
positif rabies per bulan di Provinsi Bali ada 17 kasus sebagaimana disajikan
pada Grafik 2. Kasus rabies paling banyak ditemukan di kabupaten Buleleng
sebanyak 41 kasus (Grafik 4). Kasus positif rabies lebih banyak terjadi pada
anjing yang belum divaksin 177/205(86,34%) (Grafik 5), pada anjing berpemilik
149/205(72,68%) (Grafik 6), dan kebanyakan terjadi pada anjing berumur antara
1-3 bulan 49/205 (23,90%) (Grafik 7).
141
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Grafik 1.Jumlah sampel yang diperiksa di Balai Besar Veteriner Denpasaruntuk pengujian Rabies yang berasal dari Provinsi Bali, NTB danNTT, tahun 2016. (N = 2.066 sampel)
Grafik 2. Jumlah kasus rabies per bulan di Provinsi Bali tahun 2016.
142
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Grafik 3. Jumlah kasus positif rabies pada hewan di Provinsi Bali Tahun2016.
Grafik 4.Jumlah kasus rabies di masing-masing Kabupaten/Kota diProvinsi Bali tahun 2016
143
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Grafik 5. Riwayat vaksinasi dari anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun2016
Grafik 6. Setatus kepemilikan anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun2016
144
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Grafik 7. Umur anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun 2016
Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa sebanyak 417
sampel, kebanyakan berasal dari hasil eliminasi yang dilakukan dinas-dinas
yang menjalankan fungsi peternakan di kabupaten/kota di Provinsi NTB dalam
rangka deteksi dini rabies, agar NTB tetap bebas dari penyakit rabies. Semua
sampel yang diuji negatif rabies (Grafik 8)
Grafik 8. Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa di BBVet Denpasaryang berasal dari kabupaten/kota di NTB tahun 2016. (N= 417sampel)
145
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Di Provinsi NTT kasus rabies masih ditemukan di berbagai kabupaten/kota di
Pulau Flores dan Lembata . Dari 169 sampel otak anjing yang diperiksa di
BBVet Denpasar 45 sampel positif Rabies (Grafik 9). Selain pada anjing, kasus
positif rabies juga terjadi pada seekor kambing di Larantukan, Kabupaten Folres
Timur (Grafik 10). Anjing yang positif rabies kebanyakan belum divaksin
41/44(93,18%) kasus (Grafik 11) dan berasal dari anjing berpemilik
33/44(75,00%) kasus (Grafik 12). Kasus positif rabies lebih banyak ditemukan
pada anjing berumur antara 1-2 tahun 13/44(29,55%) kasus (Grafik 13).
Grafik 9. Jumlah sampel otak hewan yang diperiksa di BBVet Denpasaryang berasal dari berbagai kabupaten di Pulau Flores, ProvinsiNTT.
146
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Grafik 10. Jenis hewan positif rabies dari kabupaten di Pulau FloresProvinsi NTT, tahun 2016
Grafik 11. Status vaksinasi anjing positif rabies dari kabupaten di PulauFlores, dan Lembata, Provinsi NTT, tahun 2016
147
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Grafik 12. Status kepemilikan anjing positif rabies dari kabupaten di PulauFlores, dan Lembata, Provinsi NTT, tahun 2016
Grafik 13. Status umur anjing positif rabies dari kabupaten di PulauFlores, Provinsi NTT, tahun 2016
148
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
VI. PEMBAHASAN
Hasil surveilans tahun 2016 menunjukan adanya penurunan jumlah kasus
rabies di Provinsi Bali dibandingkan dengan tahun 2015. Tahun 2015 jumlah
kasus positif rabies ada sebanyak 529 kasus sedangkan di tahun 2016 jumlah
kasus positif rabies ada sebanyak 206 kasus. Pada tahun 2015 kasus rabies
tidak hanya ditemukan pada anjing namun juga terjadi pada kucing (6 kasus),
babi (2 kasus) dan sapi (5 kasus). Pada tahun 2016 selain pada anjing, kasus
rabies juga ditemukan pada kucing (1 kasus). Penurunan jumlah kasus rabies
terjadi secara serentak disemua kabupaten/kota di Provinsi Bali. Hal ini
disebabkan oleh adanya kegiatan vaksinasi masal serentak dan masif tahun ke
tujuh di seluruh kabupaten/kota di Bali yang kegiatannya dimulai pada bulan
April 2016. Kasus rabies tertinggi terjadi di kabupaten Buleleng yaitu sebanyak
41 kasus (Grafik 4). Kasus positif rabies lebih banyak terjadi pada anjing yang
belum divaksin 177/205(86,34%) kasus, pada anjing berpemilik
149/205(72,68%) kasus dan kebanyakan terjadi pada anjing berumur antara 1-3
bulan 49/205 (23,90%) kasus. Tingginya populasi anjing di Provinsi Bali yang
diperkirakan 500.000 ekor merupakan tantangan tersendiri dalam rangka
pembebasan Provinsi Bali dari rabies. Sebanyak 61% dari populasi anjing
tersebut adalah anjing berpemilik yang dilepasliarkan Siklus beranak dari anjing
sangat cepat mengakibatkan anak-anak anjing yang baru lahir belum mendapat
vaksin rabies pada saat vaksinasi masal sehingga banyak kasus rabies
menginfeksi anjing-anjing umur 1-3 bulan. Kepedulian dan kesadaran
masyarakat yang kurang tentang bahaya rabies mengakibatkan mereka
melepas liarkan anjingnya begitu saja yang sangat berpontesni dalam penularan
virus rabies.. Melakukan vaksinasi rabies pada anjing yang diliarkan tidaklah
mudah. Elimasi tertarget pada anjing liar dan yang diliarkan oleh pemerintah
juga mendapat penolakan dari pemilik anjing maupun lembaga swadaya
masyarakat melalui media sosial.
Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa dari bulan Januari
sampai dengan Desember 2016 sebanyak 417 sampel, berasal dari 8
kabupaten/kota semua hasilnya negatif rabies (Grafik 6). Provinsi NTB
merupakan wilayah status waspada rabies, berbatasan dengan dua provinsi
149
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
terjangkit rabies, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bali dan di
sebelah timur dengan Provinsi NTT. Lalu lintas barang/orang yang melintasi
wilayah NTB baik melalui jalur darat, udara dan laut cukup tinggi. Upaya-upaya
untuk memasukkan hewan penular rabies ke daerah ini oleh penyayang hewan
tentu ada oleh karena itu pengawasan ketat terhadap keluar masuknya hewan
penular rabies oleh lembaga karantina hewan perlu ditingkatkan. Disamping itu
surveilans terstruktur, komunikas, informasi dan edukasi tentang bahaya dan
pencegahan rabies kepada masyarakat diseluruh kabupaten/kota di Provinsi
NTB perlu terus ditingkatkan.
Di Provinsi NTT, pada tahun 2016 jumlah kasus rabies meningkat jumlahnya
yaitu sebanyak 45 kasus dibandingkan dengan di tahun 2015 ada sebanyak 14
kasus Kasus tertinggi ditemukan di Kabupaten Ende (20 kasus) (Grafik 9).
Selain anjing, kasus positif rabies juga ditemukan pada satu ekor kambing di
Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Di Pulau Flores penyakit rabies cendrung
bersifat endemis mengingat anjing memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Harga satu ekor anjing dewasa bisa mencapai satu juta per ekor. Namun,
pemeliharaan anjing di daerah ini masih kebanyakan dilepasliarkan. Di Bali dan
NTT, masyarakat memelihara anjing kebanyakan difungsikan sebagai penjaga
rumah, kebun atau untuk kepentingan komersial. Di Bali, anjing biasanya dipakai
sebagai sarana pelengkap upacara keagamaan (mecaru), sedangkan di NTT
anjing biasanya dipotong untuk upacara pesta pernikahan. Umumnya perhatian
mereka terhadap anjingnya sangat kurang. Anjing dibiarkan berkeliaran mencari
makan sendiri pergi ke tempat-tempat pembuangan sampah, pasar atau tempat
upacara keagamaan, serta berkembang biak tidak terkontrol. Anjing liar sangat
sulit ditangkap apa lagi divaksinasi. Hasil penelitian yang dilakukan Putra (2011)
menyebutkan bahwa anjing yang diliarkan berpotensi 81% sebagai penular
rabies. Jual beli anjing untuk kepentingan ekonomis di NTT dan upacara
keagamaan di Bali juga berperan penting dalam penyebaran rabies di Bali dan
Flores.
150
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit yang sulit dientaskan. Salah
satu kendala teknis yang dihadapi dalam pengendalian rabies adalah banyaknya
anjing liar tanpa pemilik atau sengaja diliarkan dan tidak diurus oleh pemiliknya.
Imunisasi terhadap anjing liar secara teknik sangat sulit dilakukan, sehingga
cakupan vaksinasi tidak mencapai harapan. Tidak adanya data yang akurat
tentang jumlah populasi anjing juga sebagai faktor penghambat dalam
perencanaan program pengendalian rabies. Data populasi anjing yang tepat
sangat diperlukan sebagai bahan untuk merencanakan kebutuhan vaksin,
peralatan, tenaga vaksinatur dan biaya operasional dilapangan.
Vaksinasi rabies secara massal dipercaya sebagai cara yang efektif dan cukup
ekonomis dari segi biaya untuk pengendalian rabies. Kegagalan vaksinasi
sangat kompleks, dapat disebabkan oleh kualitas vaksin, penanganan vaksin
yang tidak baik, atau masa kebal yang sudah habis, anjing dalam masa
inkubasi. Kegagalan dalam mengendalikan rabies juga disebabkan karena
cakupan vaksinasi rabies tidak mencapai jumlah yang cukup (70%), sehingga
siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak, tidak dapat diputus. Belum
lagi kesulitan lain dalam hal melakukan vaksinasi pada anjing geladak, karena
anjing tersebut sulit ditangkap. Minimnya sarana dan prasarana penunjang
kegiatan vaksinasi di Puskeswan, ketersediaan vaksin, ketiadaan dana
sosialisasi juga berperan dalam belum suksesnya pengendalian rabies.
Analisa resiko kegiatan.Jumlah target sampel untuk surveilans dan monitoring agen penyakit rabies di
provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2016 sebanyak 1.435 sampel, terdiri dari 665
sampel dari Provinsi Bali, 420 sampel dari NTB dan 350 sampel dari NTT. Dari
jumlah sampel, Provinsi Bali jumlah sampel otak yang terkumpul telah
melampaui target. Sedangkan dari Provinsi NTB dan NTT jumlah sampel otak
anjing yang terkumpul masing-masing 417 dan 169. Di NTB jumlah target
sampel belum terpenuhi karena memang populasi anjing di Kabupaten/Kota di
NTB tidak banyak. Di NTT, anjing mempunya nilai ekonomi yang cukup tinggi,
sehingga untuk melakukan eliminasi anjing oleh pemerintah menemui kesulitan,
151
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
disamping itu untuk menangkap anjing yang diliarkan sangat sulit apalagi tanpa
ada dukungan dari pemilik/masyarakat.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan.
1. Penyakit rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan beberapa
kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2. Provinsi NTB masih bebas dari penyakit rabies.
3. Tahun 2016 terjadi penurunan kasus rabies yang cukup tinggi di Provinsi
Bali.
4. Kasus positif rabies di wilayah kerja BBVet Denpasar lebih banyak
disebabkan oleh anjing yang belum pernah divaksin rabies dan berasal dari
anjing yang berpemilik..
Saran:
1. Penurunan kasus rabies di Provinsi Bali di tahun 2016 ini menjadi
momentum yang baik dalam upaya pengendalian dan pemberantasan
rabies di Bali dan menjadi contoh bagi NTT, diantaranya melakukan
vaksinasi masal secara masif dan berkelanjutan
2. Kebijakan depopulasi anjing secara selektif dengan berkoordinasi dengan
tokoh masyarakat setempat, serta penyuluhan tentang bahaya rabies secara
terus menerus perlu digalakkan agar masyarakat paham betul akan bahaya
rabies.
2. Surveilans terstruktur serta pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan
penular rabies ke wilayah NTB perlu ditingkatkan.
152
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Fischer, M., Wernike, K., Freuling, C.M., Muller, T., Aylan, O., Brochier, B., Cliquet, F., Vazquez-Moron, S., Hostnik, P., Huovilainen, A., Isakson, M., Kooi, E.A., Mooney, J., Turcitu, M.,Rasmussen, T.B., Revilla-Fernandez, S., Sunreczak, M., Fooks, A.R., Maston, D.A.,Beer, M., Hoffman, B (2013). A Step Forward in Molecular Diagnostic of Lyssaviruses-Results of a Ring Trial among European Laboratories. PLOS ONE. Vol. 8. Issue 3. E5
Lankau, E.W., Cohen, N.J., Jentes, E.S., Adam, L.E., Bell, T.R., Blantan, J.D., Buttke, D.,Galland, G.G., Maxted, A.M., Tack, D.M., Waterman, S.H., Ruppecht, C.E. and Marano,N (2013). Prevention and Control of Rabies in an Age of Global Travel: A Review ofTravel and Trade Associated Rabies Events, United States, 1998-2012. Zoonoses PublicHealth. 22: 12071
Putra, A.A.G., Gunata, I.K., Faizah, Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G., Putra, A.A.G.S.,Soegiarto dan Scott-Orr, H. (2009). Situasi Rabies di Bali: Enam Bulan Pasca ProgramPemberantasan. Buletin Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar, Vol. XXI, 74.13-26
Windiyaningsih, C., Wilde, H., Meslin, F.X., Suroso, T and Widarso, H.S. (2004). The RabiesEpidemic on Flores Insland, Indonesia (1998-2003). J. Med. Assoc. Thai. 87(11) 1389-1393
Salman, M.D (2013). Surveillance Tools and Strategies for Animal Disease in Shifting ClimateContext. Anim. Helath Res. Rev. 23: 1-4
Supartika, I.K.E., Setiaji, G., Wirata, K., Hartawan, D.H., Putra, A.A.G., Dharma, D.M.N.,Soegiarto dan Djusa, E.R. (2009). Kasus Rabies Pertama Kali di Provinsi Bali. BuletinVeteriner, Vol. XXI; 74. 7-12.
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I. G. J, dan Diarmita, I. K.(2013) . Rabies Pada HewanDi Provinsi Bali Tahun 2008-2012 Bulletein Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar
Townsend, S.E., Lembo, T., Cleaveland, S., Meslin, F.X., Miranda, M.E., Putra, A.A.G., Haydon,D.T and Hampson, K (2013). Surveillance Guidelines for Disease Elimination: A CaseStudy of Canine Rabies. Comparative Immunology, Microbiology and InfectiousDiseases. 36. 249-261.
153
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSIDI WILAYAH KERJA (PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMUR) TAHUN 2016
I Ketut Eli Supartika, dan I Gede Agus Joni Uliantara
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Kelainan patologi organ genital pada ternak sapi potong dapat mengakibatkan infertilitas dansterilitas serta sebagai salah satu faktor penyebab menurunnya populasi ternak sapi potong.Dalam rangka mendukung program peningkatan produksi dan reproduksi ternak sapi potong,telah dilakukan surveilans penyakit gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayahkerja Balai Besar Veteriner Denpasar tahun anggaran 2016.
Surveilans bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan patologi pada organ reproduksiternak sapi potong yang dapat mengakibatkan infertilitas yang pada akhirnya berkontribusi padapenurunan populasi ternak sapi potong.
Pengamatan perubahan patologi organ reproduksi sapi dilakukan di rumah potong hewan atautempat pemotongan hewan yang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Baratdan Nusa Tenggara Timur. Perubahan patologi organ reproduksi sapi diamati. Umur, jeniskelamin juga dicatat. Sampel organ reroduksi diambil dan dimasukkan ke dalam formalin buffer10% untuk pemeriksaan histopatologi
Hasil pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi menunjukkan bahwa dari 468 sampelorgan reproduksi yang diperoleh dari rumah potong hewan atau tempat pemotongan hewan diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur semuanya nampak normal dantidak ada perubahan patologi yang mengarah ke penyakit gangguan reproduksi yangmengakibatkan infertilitas.
Hasil surveilans di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menunjukkanbahwa prosentase pemotongan sapi betina produktif masih cukup tinggi, yaitu masing-masingsebesar 69/83 (83,13%), 77/262 (29,39%) dan 98/123(79,67%).
Dapat disimpulkan bahwa dugaan penurunan jumlah populasi ternak sapi potong di ProvinsiBali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur bukan disebabkan oleh adanya gangguanreproduksi akibat penyakit namun ada kecendrungan faktor lain seperti pemotongan sapi betinaproduktif yang cukup tinggi.
Kata kunci: gangguan reproduksi, rumah potong hewan, surveilans, sapi potong
154
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangPopulasi ternak sapi potong di Indonesia ada kecenderungan menurun dari
tahun ke tahun, mengakibatkan Indonesia masih mengimpor sapi potong dari
luar negeri untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat setiap
tahun. Hal ini secara otomatis akan menguras devisa negara sangat besar. Bila
kondisi ini tidak diwaspadai, maka dapat menyebabkan kemandirian dan
kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan,
yang pada gilirannya berpotensi masuk dalam food trap negara eksportir.
Penurunan populasi ternak sapi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah : pemotongan sapi betina produktif yang secara nasional
masih sangat besar, diperkirakan mencapai sekitar 150-200 ribu ekor/tahun
terutama di NTT, NTB, Bali, dan Jawa ; prosentase kematian pedet yang sangat
tinggi mencapai 20-40%, kematian induk yang mencapai 10-20%, khususnya di
beberapa wilayah sumber bibit sebagai akibat kekurangan pakan dan air pada
saat musim kering ; dan adanya gangguan reproduksi yang disebabkan oleh
penyakit menular maupun tidak menular (Anon, 2010). Hasil surveilans yang
dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar (Dharma dkk, 1993) menemukan
kista ovari (1,3%), phimosis (1,5%), paraphimosis (0,5%) dimana kelainan
patologis pada saluran reproduksi ternak sapi tersebut nampaknya tidak
berpengaruh banyak terhadap penurunan populasi ternak. Justru ditemukan
adanya pemotongan sapi betina bunting/produktif yang cukup banyak sebesar
9,4%. Hasil surveilans yang dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar
(Uliantara, 2014) menemukan data prosentase jumlah sapi betina produktif yang
dipotong di Provinsi Bali yaitu sebesar 59,17%, di NTB sebesar 58,64% dan di
NTT sebesar 90,82%, tentunya ini sebagai salah faktor pemicu penurunan
populasi ternak sapi, disamping faktor lain seperti adanya mekanisasi dibidang
pertanian, minat petani memelihara sapi menurun akibat biaya pemeliharaan
sapi tidak sebanding dengan nilai jual.
155
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
1.2. Rumusan Masalah.a. Telah terjadi penurunan populasi ternak sapi potong di beberapa wilayah
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT.
b. Apakah penurunan populasi ternak sapi potong tersebut akibat faktor
penyakit gangguan reproduksi atau akibat faktor lain.
1.3. Tujuan Kegiatan.Kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja (Provinsi
Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) tahun 2016,
dilaksanakan dengan tujuan:
a. Untuk mendapatkan informasi tentang dugaan penyebab penurunan
populasi ternak sapi di Provinsi Bali, NTB dan NTT.
b. Mengidentifikasi kelainan-kelainan patologis pada saluran reproduksi ternak
sapi potong dikaitkan dengan kemajiran.
c. Mengidentifikasi kemungkinan berbagai faktor selain faktor penyakit
gangguan reproduksi pada ternak sapi potong sebagai pemicu penurunan
populasi ternak sapi.
1.4. Manfaat Kegiatan.Manfaat dari kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja
(Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) tahun 2016,
antara lain:
a. Tersedianya data/informasi tentang dugaan yang menjadi penyebab
penurunan populasi ternak sapi potong di Provinsi Bali, NTB dan NTT selain
akibat adanya gangguan reproduksi.
b. Teridentifikasinya kelainan-kelainan patologis pada saluran reproduksi
ternak sapi potong dikaitkan dengan kemajiran yang berdampak pada
penurunan populasi ternak sapi potong.
156
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
1.5. Keluaran/outputOutput yang diharapkan dari kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi
di wilayah kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur)
tahun 2016adalah: dugaan penyebab penurunan populasi ternak sapi potong di
Provinsi Bali, NTB dan NTT dapat diidentifikasi sehingga kegiatan strategis
untuk meningkatkan populasi sapi potong segera bisa diprogramkan dan
dilaksanakan.
1.6. Analisa Risiko Penyakit.Setiap penyakit hewan ada analisa risikonya. Analisa risiko penyakit gangguan
reproduksi di wilayah kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur) dijabarkan pada Tabel 1 dan 2.
1.7. Analisa Risiko Kegiatan.Kajian risiko kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja
(Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun 2016,
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 1. Analisa Risiko Penyakit Gangguan Reproduksi di Wilayah Kerja(Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
No Risiko Manajemen Risiko1 Service per conception rate (S/C) dan calving interval
(CI)yang cukup tinggi, mengindikasikan adanya gangguanpada sistem reproduksi ternak sapi
Adanya pengumpulan datamengenai S/C dan CI melaluisurvilans
2 Wilayah Nusa Tenggara Timur masih endemis Brucellosis.Penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) belummaksimal. Hal ini berpotensi menyebarkan penyakit yangditularkan melalui kawin alam.
3 Sistem pemeliharaan ternak yang digembalakan padapadang penggembalaan, menyebabkan kurangnyapengawasan terhadap ternak. Penyakit gangguanreproduksi seperti Brucellosis ditularkan melaui pakan danair minum yang terkontaminasi kuman melalui abortusan.Pada sistem penggembalaan, kemungkinan hal ini terjadisangat tinggi.
Menyarankan kepada Dinas/Instansiterkait untuk meningkatkanpenyuluhan mengenai intensifikasipeternakan rakyat.
157
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 2. Alur (flow charts) Analisa Risiko Penyakit Gangguan Reproduksi
Tabel 3. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans Gangguan Reproduksi padaTernak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun2016
No Risiko Solusi1 Target sampel tidak terpenuhi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai lokasi
dimana jumlah sampel cukup sehingga dapat terpenuhi2 Lokasi tidak sesuai dengan yg dijadwalkan Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai
kepastian lokasi sebelum hari keberangkatan menujulokasi pengambilan sampel sehingga lokasi sesuaidengan yang diharapkan
3 Jadwal pengambilan sampel tidak sesuaidengan waktu yang dialokasikan oleh petugassetempat
Koor dinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenaikepastian waktu pengambilan sampel sebelumkeberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel,sehingga dapat di sesuaikan dengan kegiatan yang adapada Dinas/Instansi terkait
4 Jadwal transportasi tidak sesui dengan waktukegiatan dikarenakan tidak adanyapenerbangan (kendala teknis-non teknis)
Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenaikepastian waktu kegiatan pengambilan sampel agarDinas/Instansi terkait menyesuaikan perubahan jadwalkegiatan
5 Tidak ada rute penerbangan menuju wilayahlokasi surveilans
Penerbangan dialihkan ke lokasi terdekat yang ada rutepenerbangan, selanjutnya perjalanan dilajutkan dengantransportasi darat.
6 Surat pemberitahuan jadwal survailans tidaksampai/terlambat diterima oleh instansitempatdilakukan surveilans
Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait dapat dilakukansebelum hari keberangkatan dengan telpon atau smskepada petugas yang berwenang di Dinas/Instansi terkaitmengenai jadwal pengambilan sampel
1.8. Analisa Risiko Pengujian.
Analisa risiko pengujian sampel surveilans gangguan reproduksi pada ternak
sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2016 disajikan pada
Tabel 4.
SC dan/ Sistem Sistem Kegiatan Kriteriaatau CI Reproduksi Produksi Suveilans Lokasi
Peningkatan produksi dengan menekan kematian pedet Wil. BaliGangguan Rendah akibat parasit gastrointestinal dan penyakit infeksi lainnya terutamaReproduksi pet. Intensif
Peningkatan manajemen peternakan spt: pencegahan Bali, NTB &Tinggi Inseminasi dan pengobatan gangguan fisiologi reproduksi melalui NTT (klpk2-
Intensifikasi Semi intensif dan pengobatan gangguan fisiologi reproduksi melalui (klpk&ternakKawin Alam terapi hormonal dan nutrisi, serta penerapan teknologi IB masyrkt).
Peningkatan sistem produksi ternak, pengobatan Bali,NTB,NTTTradisional Ada penyakit gangguan reproduksi serta penerapan (ternak ma-
teknologi reproduksi : IB, sinkronisasi birahi dan lain-lain. syarakat).Surveilans, pemetaan penyakit, peningkatan sistem Bali,NTB,NTT
Tidak ada produksi ternak, pengobatan penyakit gangguan (ternak ma-reproduksi serta penerapan teknologi reproduksi syarakat).
Manajemen ResikoResiko
158
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 4. Analisa Risiko Pengujian Sampel Kegiatan Surveilans GangguanReproduksi pada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali,NTB Dan NTT Tahun 2016
No Risiko Manajemen Risiko1 Bahan kimia yang digunakan
untuk pengujian telahhabis/kadaluwarsa
Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agar bahankimia tersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman padalaboratorium lainnya di BBVet Denpasar
2 Peralatan pengujian ada yangrusak/belum tersedia
Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agar alattersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman alatpada laboratorium lainnya di BBVetDenpasar yang menggunakan alat yangsama
II. TINJAUAN PUSTAKA.
Konsumsi daging di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun pengikatan
tersebut tidak diimbangi dengan produksi daging yang memadai. Untuk
mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri pemerintah telah
mencanangkan program percepatan pencapaian swasembada daging sapi
(PSDS) yang diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
60/Permentan/HK.060/8/2007. Kementerian Pertanian melalui Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengusung 21 program utama
terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak
berbasis sumberdaya domestik yang salah satunya adalah Program
Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) yang tertuang dalam blue print
Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan daging, pemerintah berupaya meningkatkan
populasi sapi potong salah satunya dengan jalan mengatasi kasus gangguan
reproduksi pada ternak sapi potong. Gangguan reproduksi yang bersifat
patologis sering kali berpengaruh terhadap produktifitas ternak. Gangguan
reproduksi bisa terjadi karena ketidakseimbangan hormonal yang diakibatkan
oleh terganggunya organ-organ reproduksi, penyakit pada saluran reproduksi
159
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
atau kelainan patologis pada alat reproduksi. Gangguan reproduksi pada sapi
potong disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: cacat anatomi saluran
Hasil penelitian Winarso dkk di Jawa Timur pada tahun 2005 menyebutkan
bahwa menurunnya populasi ternak sapi potong juga dapat disebabkan karena
semakin berkurangnya lahan pertanian karena berubah fungsi dan
kegunaannya, beralihnya profesi peternak ke profesi lainnya, tingginya
permintaan ternak sapi potong untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal,
regional maupun nasional, serta belum maksimalnya keberhasilan intensifikasi
ternak melalui proses Inseminasi Buatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Hastuti tahun 2008 menyebutkan bahwa ketidaktahuan peternak akan tanda-
tanda birahi yang berdampak pada kegagalan inseminasi buatan atau kawin
alami tentu berakibat juga pada penurunan populasi ternak sapi.
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi.Materi yang diperlukan dalam kegiatan surveilans gangguan reproduksi pada
ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2016 adalah
berupa spesimen organ reproduksi dari ternak sapi yang dipotong di RPH-RPH
pemerintah atau yang berada dibawah pengawasan dinas setempat. Spesimen
organ terdiri dari bagian ovarium, uterus dan/ atau saluran reproduksi lainnya
yang secara patologi anatomi mengalami perubahan. Spesimen selanjutnya di
simpan dalam pengawet formalin buffer netral 10% untuk kemudian diproses
dilaboratorium. Bahan kimia dan peralatan yang diperlukan dalam surveilans ini
disajikan pada Tabel 5.
160
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 5. Bahan kimia dan peralatan habis pakai yang diperlukan dalamrangka surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potongdi wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2016
3.2. Metode.Metode pemeriksaan sampel; spesimen yang diambil selanjutnya diproses
dalam alat tissue prosesor, di embeding, kemudian dibuat preparat histopatologi
dengan mempergunakan pewarnaan rutin Hematoxilin-Eosin (H&E).
Pemeriksaan dilakukan dibawah mikroskop sinar dengan perbesaran 40 – 400
kali.
161
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
IV. PELAKSANAAN KEGIATAN
4.1. Pelaksanaan Pengambilan Sampel
Kegiatan surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah
Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2016 dilaksanakan oleh Balai Besar
Veteriner Denpasar yang pengambilan sampelnya dilakukan oleh petugas
pengambil sampel dengan melibatkan petugas Dinas Peternakan, Dokter Hewan
PUSKESWAN dan petugas RPH yang ada di wilayah setempat. Jumlah sampel
organ reproduksi yang diambil sebanyak 510 sampel; semua sampel diambil
oleh petugas BBVet Denpasar, (Tabel 6).
Tabel 6. Jumlah sampel organ reproduksi ternak sapi potong serta jumlahbiaya yang diperlukan dalam rangka surveilans gangguanreproduksi pada ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTBDan NTT Tahun 2016
biaya sebesar Rp.91.980.000,- (Sembilan puluh satu juta Sembilan ratus
delapan puluh ribu rupiah) dengan rincian sebagaimana tercantum dalam Tabel
8.
Tabel 7. Matrik Pelaksanaan Kegiatan Surveilans Gangguan Reproduksipada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTTTahun 2016
Bulan keTahapan Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Persiapan bahan/ alat yang untukkegiatan surveilansPenentuan lokasi surveilans, jenis danjumlah sampelPenyusunan Rencana Anggaran BiayaKegiatanPelaksanaan kegiatan surveilans
Pengujian spesimen hasil surveilans danPelaporan
Tabel 8. Rincian Anggaran Biaya (RAB) Surveilans Gangguan Reproduksipada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTTTahun 2016
No Jenis kegiatan Jumlah Satuan Harga Satuan
(Rp)Harga
Seluruhnya(Rp)
1 Pengadaan bahan kimia dan peralatanhabis pakai
1 Paket 50.000.000,- 50.000.000,-
2 Pembuatan KAK/TOR 1 Lap 250.000,- 250.000,-3 Biaya pembuatan laporan,KAK 1 Lap. 500.000,- 500.000,-4 Operasional pengambilan sampel oleh
PKH di Bali1 Thn 4.200.000- 4.200.000,-
Operasional pengambilan sampel olehPKH di NTB
1 Thn 2.800.000,- 2.800.000,-
Operasional pengambilan sampel olehPKH di NTT
1 Thn 2.800.000,- 2.800.000,-
Biaya kirim alat/bahan operasional 1 Thn 2.680.000,- 2.680.000,-Perjalanan surveilans penyakit gangguanreproduksi di Prov. Bali
8 OH 300.000,- 2.400.000,-
Perjalanan surveilans penyakit gangguanreproduksi di Prov. NTB
2 OP 6.100.000,- 12.200.000,-
Perjalanan surveilans penyakit gangguanreproduksi di Prov. NTT
2 OP 7.200.000 14.400.000
Jumlah 91.980.000,-
164
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
V. HASIL
Selama kegiatan surveilans yang dilakukan di RPH/TPH yang ada di
kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT telah diperiksa sebanyak 468
organ reproduksi sapi potong yang terdiri dari: 83 sampel berasal Provinsi Bali,
262 sampel berasal dari NTB dan 123 sampel berasal dari NTT. Data yang
diperoleh selama surveilans menunjukkan bahwa jumlah pemotongan sapi
betina lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan. Ini terjadi di Provinsi Bali
dan NTT. Sedangkan Provinsi NTB, jumlah pemotongan sapi betina produktif
lebih sedikit dibandingkan dengan permotongan sapi jantan. Di Provinsi Bali
pemotongan sapi betina produktif sebanyak 83,13%, di NTB 29,39% dan di NTT
79,67%. Berdasarkan umurnya, sapi-sapi yang dipotong tersebut masih
tergolong produktif. Keadaan ini hampir terjadi di RPH/TPH yang ada di
kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 7, Gambar 1, 2 dan 3).
Pada pengamatan patologi anatomi dilanjutkan dengan pemeriksaan
histopatologi semua sampel organ reproduksi nampak normal, tidak ada
perubahan patologis yang mengarah adanya gangguan reproduksi yang
mengakibatkan infertilitas pada ternak sapi potong (Gambar 4A dan 4B).
165
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 7. Data Jumlah Sampel Organ Reproduksi, Jenis Kelamin dan UmurSapi yang Dipotong di RPH/TPH Kabupaten/Kota di Provinsi Bali,NTB dan NTT tahun 2015
Provinsi Kabupaten Jantan (%) Betina (%) Umur ≤5 Umur > 5 Jumlah
Gambar 1. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH diKabupaten/Kota di Provinsi Bali Berdasarkan Jenis KelaminTahun 2016.
166
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Gambar 2. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH diKabupaten di Provinsi NTB Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun2016.
Gambar 3. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH diKabupaten/Kota di Provinsi NTT Berdasarkan Jenis Kelamin,Tahun 2016.
167
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Gambar 4. Organ reproduksi ternak sapi potong. A. Uterus; nampak normal, tidak ditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang, nekrosis (H & E; 40X). B.Testis: nampak normal, tubulus seminiferus dilapisi multilapis sel-selepitel, tidak ditemukan adanya sel-sel radang maupun nekrosis. (H & E;40X).
VI. PEMBAHASAN
Data dasar sebelum ternak dipotong dan pemeriksaan antemortem dan
postmortem di rumah potong hewan sangatlah penting sebagai bahan
pertimbangan bagi petugas/pengawas RPH, peternak dalam mengelola
manajemen peternakannya serta pemerintah dalam kebijakanya pengendalian
penyakit menular strategis dalam rangka peningkatan kesehatan hewan
(Tulayakul et al., 2008). Data hasil surveilans menunjukan bahwa jumlah ternak
sapi betina yang dipotong jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan
terutama di RPH Provinsi Bali dan NTT masing-masing sebesar 83,13% dan
79,67%. Sedangkan di NTB pemotongan sapi betina produktif cukup rendah
yakni sebesar 29,39%. Kalau dilihat dari segi umur sapi betina yang dipotong
tersebut masih dalam katagori produktif (Tabel 7, Gambar 1, 2 dan 3).
Rendahnya pemotongan sapi jantan di RPH/TPH di Provinsi Bali 16,87% dan
NTT 20,33% mungkin karena provinsi ini sebagai daerah sentra produksi sapi
potong dan sebagai wilayah pemasok nasional ternak sapi potong. Ternak sapi
jantan lebih banyak diantarpulaukan untuk konsumen daging sapi di daerah
A B
168
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Di sisi lain untuk keperluan konsumsi
lokal ternak sapi jantan sudah sulit dicari, sedangkan kegiatan usaha para
pedagang daging sapi harus tetap berjalan untuk menopang biaya hidup
keluarga mereka sehingga bisnis jual beli sapi betina produktif terpaksa
dilakukan. Faktor lain yang mendukung pemotongan sapi betina produktif,
antara lain; harga sapi betina hidup lebih murah dibandingkan sapi jantan tetapi
harga dagingnya sama mahalnya. Petani ternak memerlukan dana segera untuk
membiayai kebutuhan hidupnya (Purba dan Hadi, 2012). Selain itu, penegakan
hukum untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif sesuai dengan yang
diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 yang telah
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 41Tahun 2014 masih sangat
lemah. Sanksi yang tegas terhadap mereka yang memotong sapi betina
produktif belum dijalankan sepenuhnya. Keadaan ini dimanfaatkan oleh
pedagang daging sapi untuk memotong sapi betina produktif yang tentunya akan
berdampak pada penurunan populasi ternak sapi. Prosentase pemotongan sapi
betina produktif di NTB cukup rendah dikarenakan pemerintah daerah
kabupaten/kota melarang secara tegas pemotongan sapi betina yang masih
produktif.
Hasil pengamatan patologi organ reproduksi pada ternak sapi potong, baik pada
sapi jantan maupun betina di RPH /TPH yang ada di kabupaten/kota di Provinsi
Bali, NTB dan NTT semuanya nampak normal (Gambar 4A dan 4B). Tidak
ditemukan adanya lesi-lesi patologi seperti: eksudat, infiltrasi sel-sel radang,
nekrosis, bentukan tumor pada organ reproduksi sapi jantan maupun betina
yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi. Perubahan patologi pada
saluran reproduksi ternak sapi potong baik yang disebabkan oleh agen infeksi
maupun non infeksi dapat mengakibatkan infertilitas bahkan sterilitas yang pada
akhirnya menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi peternak bibit sapi
potong. Perubahan patologis organ reproduksi akibat penyakit yang umumnya
bisa diamati antara lain: kista ovarium, endometritis, pyometra, retensi plasenta,
atrofi testis.
169
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Barangkali yang perlu dicermati adalah adanya birahi tenang (silent heat) yang
sering dilaporkan pada sapi potong. Sapi dengan birahi tenang mempunyai
siklus reproduksi dan ovulasi normal, namun gejala birahinya tidak nampak (Nitis
dkk, 2000; Mastika, 2012). Birahi tenang mengakibatkan peternak tidak dapat
mengetahui kapan sapinya birahi sehingga dikira mandul dan akhirnya dijual.
Hasil pelaksanaan penanganan gangguan reproduksi pada ternak sapi dan
kerbau di Provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2015 menyebutkan bahwa
kasus gangguan reproduksi yang paling banyak ditemukan dilapangan adalah
hipofungsi ovari sebesar 33,60% (Dibia dan Dartini, 2015). Secara patologi,
organ reproduksi sapi dengan birahi tenang atau yang mengalami hipofungsi
ovari kalau diperiksa akan nampak normal. Sifat birahi tenang dan hipofungsi
pada sapi potong lebih banyak disebabkan oleh faktor manajemen peternakan
tradisional dan akibat defisiensi nutrisi.
Analisa resiko kegiatan.Di Provinsi Bali dan NTT jumlah target sampel organ reproduksi ternak sapi
untuk surveilans gangguan reproduksi masing-masing sebanyak 150 sampel
dan 180 sampel, namun realisasinya tidak memenuhi target yaitu hanya 83
sampel dan 123 sampel. Hal ini disebabkan karena jumlah sapi yang dipotong di
RPH kabupaten jumlahnya tidak tentu, tergantung pada permintaan pasar. Para
jagal tidak berani memmotong sapi lebih banyak, takut daging tidak terjual habis.
Sedangkan di provinsi NTB sampel yang diperoleh sebanyak 262 melebihi target
dari yang telah ditetapkan yakni sebesar 180 sampel. Untuk mempermudah
pengambilan sampel reproduksi sapi potong, koordinasi yang baik antara
petugas pengambil sampel, jagal serta petugas di RPH sangat diperlukan.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Pada pengamatan patologi saluran reproduksi ternak sapi potong di RPH di
kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTb dan NTT tidak ditemukan adanya kelainan-
kelainan yang bersifat patologis yang mengarah ke penyakit infeksi. Justru yang
terjadi adalah adanya pemotongan sapi betina produktif yang cukup tinggi di
170
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Provinsi Bali dan NTT. Penurunan populasi ternak sapi potong di wilayah kerja
Balai Besar Veteriner Denpasar mungkin bukan disebabkan oleh penyakit infeksi
namun barangkali lebih banyak disebabkan oleh faktor lain seperti adanya
pemotongan sapi betina produktif.
2. Saran.
a. Dalam upaya penyelamatan sapi betina produktif, pelaksanaan kegiatan
pemberian insentif kepada peternak dan kelompok peternak melalui pola
bantuan sosial (Bansos) oleh pemerintah/Kementerian Pertanian tetap
dilanjutkan
b. Pembinaan dan sosialisasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan terutama pasal 18 ayat 2 dan pasal 86
yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014,
yang mengatur tentang pemotongan sapi betina produktif terus dilaksanakan
secara berkelanjutan dan pemberian sanksi yang tegas terhadap mereka
yang melanggar ketentuan ini.
c. Data dasar dan hasil pemeriksaan ante dan post mortem di RPH-RPH di
Provinsi Bali, NTB dan NTT perlu didokumentasikan dengan baik. Data ini
sangat bermanfaat untuk melihat kecendrungan adanya penyakit ternak di
lapangan sehingga antisipasi penyakit dapat segera dilakukan.
171
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Anon. (2010). BLUE PRINT Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat JenderalPeternakan, Kementerian Pertanian.
Dharma, D.M.N., Merthanadi, K., Sudiarka, I.W. dan Sudira, I.W., 1993. Kelainan AlatReproduksi Sapi Bali. Survei Rumah Potong. Bull. Vet. BPPH VI. Vol. VI No. 37. pp. 1-7.
Dibia, I.N dan Dartini, N.L (2015). Pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi Ternak Sapidan Kerbau di provinsi Bali, Nusa Tenggara barat dan Nusa Tenggara Timur. LaporanTeknis Balai Besar Veteriner Denpasar, Tahun 2015. 307-325.
Hastuti, D. (2008). Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Potong di Tinjau Dari AngkaKonsepsi dan Service Per Conception. MEDIAGRO 12 Vol.4. No.1:12- 20
Nitis, I.M., Lana, K., Sukanten, W., Pemayun, T.G.O., dan Pugeh, A.W., (2000). Reproduksi SapiBali Pada Sistem Tiga Strata di Daerah Tingkat II Badung. Penampilan Reproduksi ke-4.Fakultas Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar. pp.18
Purba, H.J dan Hadi, P.U., (2012). Dinamika dan Kebijakan Pemasaran Produk Ternak SapiPotong di Indonesia Timur. Analisa Kebijakan Pertanian. Vol. 10 No. 4. pp. 361-373.
Tulayakul, P., Sithisarn, P., Sanguankiat, A., Kuntamoon, T., Poolkhet, C., Kosorndorkbua, C.,Kasemsuwan, S (2008). Development of Disease Monitoring and Follow-up System inCattle Slaughter House. Proceeding the 5th Congres of FAVA, 27-30 October 2008.P111-P112.
Uliantara, G.A.J., Supartika, I.K.E dan Wirata, I.K (2014). Surveilans Patologi Reproduksi PadaTernak Sapi Potong Dalam Rangka Mendukung Program Swasembada Daging Sapiddan Kerbau (PSDK-2016) di Provinsi Bali, Nusa tenggara Barat dan Nusa TenggaraTimur Tahun 2014. Laporan Tahunan 2014. Balai Besar Veteriner Denpasar.
Winarso.B., Sajuti, R., Muslim, C(2005). Tinjauan Ekonomi Ternak Sapi Potong di Jawa Timur.Forum Penelitian Agro Ekonomi.. Vol. 23 No. 1: 61 - 71
172
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
ANALISA RISIKO DAN SURVEILANS BOVINE SPONGIFORMENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2016
I. K. E. Supartika, dan I. G. A. J. Uliantara
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Bovine spongiform encephalopathy (BSE) merupakan penyakit zoonosis serta menimbulkankerugian ekonomi yang cukup besar bagi perokonomian negara tertular. Balai Besar VeterinerDenpasar telah melakukan surveilans BSE yang bertujuan untuk mendeteksi berdasarkanpemeriksaan histopatologi dan menganalisa kemungkinan masuknya penyakit BSE pada sapiBali sebagai tindakan kewaspadaan dini terhadap keberadaan BSE di wilayah kerja BB-VetDenpasar.
Informasi dari peternak dan staf dinas peternakan di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB danNTT mengindikasikan bahwa tidak ada indikasi peternak sapi memberikan pakan yang didugamengandung meat bone meal (MBM) untuk diberikan kepada ternak sapi.
Secara histopatologis, 440 sampel medula oblongata dari sapi yang dipotong di RPH semuanyanegatif BSE, ditandai dengan tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrositataupun plak amiloid.
Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebasdari BSE.
Kata kunci: BSE, histopatologi, surveilans.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi Porpinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, merupakan daerah tujuan wisata
banyak mengimpor daging sapi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan
hotel berbintang. Penggunaan limbah hotel sebagai pakan ternak merupakan
sumber potensial penularan penyakit sapi gila/BSE. Disamping itu, intensifikasi
pemeliharaan ternak oleh masyarakat berdampak pada peningkatan
penggunaan konsentrat atau pakan jadi sebagai pakan ternak. Walaupun belum
bisa dibuktikan bahwa konsentrat atau pakan jadi untuk ternak mempergunakan
173
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
MBM sebagai bahan baku, akan tetapi tidak ada jaminan pula bahwa
pakan/konsentrat tersebut tidak mempergunakan MBM hasil importasi.
Balai Besar Veteriner Denpasar selama beberapa tahun telah melakukan
surveilan BSE dengan hasil tidak ditemukan adanya indikasi BSE di wilayah
kerja (Supartika dkk, 2010, Hartawan dkk, 2013; Supartika dkk, 2014), namun
demikian dalam rangka melaksanakan PERMENTAN Nomor. 367/Kpts/T
N.530/12/2002, tentang Pernyataan Negara Indonesia Tetap Bebas Dari Bovine
Spongiform Encephalopathy (BSE) dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor:
4026/Kpts/OT.140/3/2013 dimana BSE belum ada di Indonesia namun
berpotensi muncul dan menimbulkan kerugian ekonomi, kemanusiaan,
lingkungan dan kesehatan masyarakat maka dipandang perlu untuk melakukan
kegiatan monitoring patologi BSE di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar secara terstruktur dan berkesinambungan sebagai pembuktian bahwa
Indonesia masih bebas dari BSE.
1.2. Rumusan Masalah.
a. BSE merupakan penyakit zoonosis, keberadaannya di wilayah kerja BB-Vet
Denpasar perlu dimonitoring agar penyakit ini tidak masuk ke Indonesia
pada umumnya dan wilayah kerja BB-Vet Denpasar pada khususnya.
b. Indikasi penggunaan limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat sebagai pakan
ternak juga perlu dipantau karena diduga merupakan sumber potensial
penularan BSE.
1.3. Tujuan Kegiatan
Kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016 dilaksanakan dengan tujuan
untuk :
a. Mendeteksi kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak sapi
yang dipotong di RPH.
174
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
b. Penelusuran kemungkinan adanya penggunaan limbah hotel dan pakan
jadi/konsentrat yang diberikan ke ternak sapi potong di wilayah kerja Balai
Besar Veteriner Denpasar.
1.4. Manfaat Kegiatan.
Manfaat dari kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016 adalah :
a. Terdeteksinya kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak
sapi yang dipotong di RPH yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar.
b. Tersedianya data dan informasi tentang penggunaan limbah hotel dan pakan
jadi/kosentrat yang diberikan ke ternak sapi potong.
c. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah
dalam pengambilan kebijakan terkait penyakit BSE.
1.5. Keluaran/ Output
Output yang diharapkan dari kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016
adalah:
a. Tersedianya data dan informasi tentang kemungkinan adanya BSE secara
histopatologik pada otak sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
b. Tersedianya data untuk pemetaan BSE diwilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar.
c. Tersedianya informasi tentang kemungkinan penggunaanlimbah hotel dan
pakan jadi/konsentrat diberikan ke ternak sapi potong.
1.6. Analisa Risiko Penyakit.Analisa risiko BSE di wilayah kerja BB-Vet Denpasar disajikan pada Tabel 1
dan 2.
175
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
1.7. Analisa Risiko KegiatanKajian risiko kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016 disajikan pada
Tabel 3.
1.8. Analisa Risiko Pengujian.
Analisa risiko pengujian sampel kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 1. Analisa Risiko BSE di Wilayah Kerja Balai Besar VeterinerDenpasar.
No Risiko Manajemen Risiko1 Kebocoran importasi MBM dari negara
yang pernah dilaporkan terjadi kasusBSE, dimana MBM yang semula untukcampuran konsentrat pakan ayamkarena jumlahnya berlebihandipergunakan juga untuk konsentratpada hewan ruminansia
Adanya pengawasan mengenai penggunaanpakan asal hewan untuk pakan ternak danmembatasi pengiriman MBM dari daerah yangpernah terjadi kasus BSE, adanya surveilanspenyakit BSE untuk memantau perkembanganpenyakit tersebut di daerah bebas atau daerahyang berdekatan dengan daerah tertular
2 Tingginya daging impor untuk kebutuhanhotel dan restoran,dimana dikhawatirkanadanya impor daging dari daerahdengan kasus BSE yang mana dapatmenyebarkan BSE pada daerah yangbebas kasus BSE
Mengawasi dan membatasi daging impor daridaerah kasus, serta mengupayakanswasembada daging dengan melakukanmonitoring penyakit BSE secara berkaladidaerah bebas atau daerah yang berisikosehingga dapat mengurangi risiko penyebaranBSE melalui peredaran daging dari Negaraterjangkit BSE
3 Pemanfaatan limbah hotel dan restoranuntuk pakan ternak di kawatirkan akanmenimbulkan penularan penyakit BSEpada ternak ruminansia denganmemakan limbah hotel/restoran yangbanyak menggunakan daging import danbahan makanan lain dari luar negeri
Melakukan pengawasan terhadaphotel/restoran serta para peternak untuk tidakmenggunakan limbah hotel/restoran sebagaipakan ternak agar dapat mengurangi risikotertular penyakit BSE melalui limbahhotel/restoran
4 Pemeliharaan ternak ditempatpembuangan akhir/penampungan limbahmerupakan pemeliharaan yang salahkarena di tempat pembuanganakhir/limbah adalah sarana penularanpenyakit melalui sampah yang dimakanoleh ternak
Melalukan pengawasan serta penyuluhankepada para peternak bagaimana carabeternak dengan baik dan risiko penyakit yangakan timbul terhadap ternak yangdigembalakan di tempat pembuanganakhir/penampungan limbah
176
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 2. Alur (flow charts) Analisa Risiko Penularan Penyakit BSE
Resiko KomoditiImport
PeruntukanKomoditi danPenanganan
Limbah
KegiatanSurveilans
ManajemenResiko
KriteriaLokasi
BSE Bahan bakupakan /MBMyangberpotensiterpapar
Bahan bakupakan unggas
- PengawasanpemanfaatanMBM
Bahan bakupakanruminansia
Ada SurveilansBSE terutamadi wilayahyangmemanfaatkanMBM sebagaibahan pakanternakruminansia
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 3. Kajian risiko kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur,tahun 2016 .
No Risiko Solusi1 Target sampel tidak terpenuhi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai lokasi
dimana jumlah sampel cukup sehingga dapat terpenuhi2 Lokasi tidak sesuai dengan yg dijadwalkan Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai
kepastian lokasi sebelum hari keberangkatan menujulokasi pengambilan sampel sehingga lokasi sesuaidengan yang diharapkan
3 Jadwal pengambilan sampel tidak sesuaidengan waktu yang dialokasikan oleh petugassetempat
Koor dinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenaikepastian waktu pengambilan sampel sebelumkeberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel,sehingga dapat di sesuaikan dengan kegiatan yang adapada Dinas/Instansi terkait
4 Jadwal transportasi tidak sesui dengan waktukegiatan dikarenakan tidak adanyapenerbangan (kendala teknis-non teknis)
Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenaikepastian waktu kegiatan pengambilan sampel agarDinas/Instansi terkait menyesuaikan perubahan jadwalkegiatan
5 Tidak ada rute penerbangan menuju wilayahlokasi surveilans
Penerbangan dialihkan ke lokasi terdekat yang ada rutepenerbangan, selanjutnya perjalanan dilajutkan dengantransportasi darat.
6 Surat pemberitahuan jadwal survailans tidaksampai/terlambat diterima oleh instansitempatdilakukan surveilans
Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait dapat dilakukansebelum hari keberangkatan dengan telpon atau smskepada petugas yang berwenang di Dinas/Instansi terkaitmengenai jadwal pengambilan sampel
Tabel 4. Analisa risiko pengujian sampel kegiatan analisa risiko dansurveilans BSE di Provinsi Bali, NTB dan NTT, tahun 2016 .
No Risiko Manajemen Risiko1 Bahan kimia yang digunakan
untuk pengujian telahhabis/kadaluwarsa
Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BB-Vet Denpasar agarbahan kimia tersebut segera diadakan.Untuk sementara lakukan peminjamanpada laboratorium lainnya di BB-VetDenpasar
2 Peralatan pengujian ada yangrusak/belum tersedia
Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BB-Vet Denpasar agar alattersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman alatpada laboratorium lainnya di BB-VetDenpasar yang menggunakan alat yangsama
178
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
II. TINJAUAN PUSTAKA.
BSE merupakan penyakit neurodegeneratif pada sapi disebabkan oleh prion
yakni “Proteinaceous infectious particles” yang diindentifikasi tahun 1982 oleh
ilmuwan Amerika, Stanley Prusiner. BSE pada sapi menimbulkan gejala klinis
ditandai dengan gejala syaraf dan selalu berakhir dengan kematian. Muncul
pertama kali di Inggris tahun 1986. Penyakit ini menular ke manusia menibulkan
penyakit new varian Creutzfeld Jacob Disease (nvCJD). Masa inkubasi BSE
cukup panjang, menimbulkan penyakit kronis berkelanjutan pada system saraf
pusat. Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada gejala klinis berupa
hiperaesthia dan inkoordinasi didukung dengan pemeriksaan histopatologi
berupa adanya degenerasi pada neuron, reaktif astrositosis dan mikrogliosis.
Dampak sosial ekonomi BSE sangat besar, disamping bersifat zoonosis juga
berdampak pada perdagangan internasional. Negara-negara tertular BSE
dilarangan mengekspor produk ternak sapinya ke luar negeri.
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi.Kegiatan analisa risiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016
dilakukan dengan pengambilan sampel otak sapi (Medulla oblongata) di Rumah
Potong Hewan yang berada dibawah pengawasan Pemerintah Daerah/ Dinas
Peternakan setempat yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
Pengambilan sampel otak sapi dilakukan pada bagian obex dari medulla
oblongata. Otak sapi yang diambil sebagai sampel adalah berasal dari sapi yang
berumur 2 tahun keatas. Bahan kimia dan peralatan yang digunakan kegiatan
analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur, tahun 2016 disajikan pada Tabel 5.
179
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
3.2. Metode.Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada pemeriksaan histopatologik. Pada
kasus BSE, secara histopatologik akan ditemukan lesi pada otak dikenal
sebagai spongiform encephalophaty. Terjadi degenerasi vakuoler neuron,
gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang (Debeer et al., 2002), reaksi
astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid. Surveilans berbasis
risiko akan diterapkan dalam kegiatan surveilans BSE ini. Data penggunaan
limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat oleh peternak diperoleh melalui teknik
wawancara dengan peternak dan staf petugas dinas peternakan yang
membidangi fungsi peternakan di masing-masing kabupaten/kota di Provinsi
Bali, NTB dan NTT
Tabel 5. Bahan dan peralatan untuk kegiatan kegiatan analisa risiko dansurveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali,Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016.
No Bahan Kimia/Alat JmlSatuan
HargaSatuan Jumlah
1 Cover glas, 40X24 mm, Deckglaser 20 box 36.000 720.0002 Objek glass, 25.4X 76,2 mm, Sail
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
IV. PELAKSANAAN KEGIATAN
4.1. Pelaksanaan Pengambilan SampelKegiatan monitoring patologi BSE tahun anggaran 2016 dilaksanakan oleh Balai
Besar Veteriner Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan oleh petugas
pengambil sampel dengan melibatkan Dokter Hewan Puskeswan dan petugas di
Rumah Potong Hewan Dinas setempat. Jumlah sampel medulla oblongata yang
diambil sebanyak 360 sampel (Tabel 6.).
4.2. Sumber Pembiayaan.Kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di wilayah kerja BB-Vet Denpasar
seluruhnya dibebankan pada DIPA BB-Vet Denpasar tahun anggaran 2016
Nomor: 018.06.2.239022/2016 tanggal 14 Nopember 2016. Dana yang
dialokasikan sebesar : Rp 119.110.000,- (Seratus delapan belas juta tujuh ratus
ribu rupiah)
181
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 6 Distribusi lokasi dan jumlah sampel dalam rangka pelaksanaankegiatan kegiatan analisa risiko dan surveilans bovinespongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016.
Lokasi Kegiatan Jumlah SampelNo
Provinsi Kabupaten/Kota BB-Vet PKH
TotalSampel Jumlah
Kunjungan Keterangan
A Bali
1 Badung 20 0 20 2X Terintegrasi, dana PMSR,dana BSE
2 Buleleng 15 0 15 2X Terintegrasi, dana PMSR3 Denpasar 35 0 35 1X Terintegrasi, dana PMSR
4 Jembrana 15 0 15 2X Terintegrasi, dana PMSR,dana BSE
2 Biaya pembuatan KAK, TOR 1 Lap. 250.000,- 250.000,-3 Biaya perjalanan dinas di Prov. Bai 5 OH 300.000- 1.500.000,-
Biaya perjalanan dinas di Prov. NTB 2 OP 6.145.000,- 12.290.000,-Biaya perjalanan dinas di Prov. NTT 2 OP 7.410.000,- 14.820.000,-Biaya pembuatan laporan 1 Lap 250.000,- 250.000,-Jumlah 119.110.000,-
V. HASIL
Pengambilan sampel otak sapi untuk pengujian BSE dilakukan di RPH atau TPH
yang berada dibawah pengawasan Dinas Peternakan atau yang membidangi
fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Pengambilan sampel didampingi oleh
petugas dari Dinas atau petugas jaga RPH. Untuk wilayah Provinsi Bali, sampel
otak diambil di RPH Kabupaten Badung, Denpasar, Jembrana dan Karangasem.
Di Provinsi NTB sampel otak diambil di RPH Kabupaten Dompu, Sumbawa,
Kota Bima, Lombok Barat, Bima dan Kota Mataram, sedangkan di Provinsi NTT
diambil di RPH di kabupaten Nagekeo, Belu, Manggarai, Sikka, Ende, Kota
Kupang dan Sumba Timur (Tabel 1). Selama tahun 2016, jumlah sampel
medulla oblongata sapi yang di periksa BB-Vet Denpasar sebanyak 440 sampel.
Jumlah sampel otak yang diambil dan jenis kelamin sapi yang dipotong di
masing-masing RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disajikan
pada Tabel 8, Grafik 1, 2, 3.
184
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 8. Jumlah sampel yang diambil, jenis kelamin sapi dan hasilpemeriksaan histopatologi sampel otak yang berasal dari RPHkabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2016.
Jenis Kelamin Hasil UjiProvinsi Kabupaten/Kota Jumlah SampelJantan Betina BSE (+) BSE (-)
Hasil pengamatan di RPH menunjukkan bahwa sapi-sapi yang dipotong di RPH
tersebut rata-rata berumur di atas 2 tahun dan kebanyakan berjenis kelamin
betina. Pada pengamatan kegiatan surveilans ditemukan bahwa sapi-sapi yang
dipelihara di Bali dan NTB kebanyakan dikandangkan, sedangkan di NTT sapi-
sapi kebanyakan dilepas pada padang gembalaan. Informasi dari peternak dan
staf dinas peternakan kabupaten/kota yang membidangi fungsi peternakan di
Provinsi Bali, NTB dan NTT serta melihat langsung ke lapangan bahwa peternak
tidak ada memberikan pakan komersiil untuk ternak sapinya apa lagi pemberian
pakan unggas komersiil yang diduga mengandung MBM atau pemberian limbah
hotel dan restoran. Sapi-sapi peternak kebanyakan makan rumput, kadang-
kadang diberi pakan tambahan berupa dedak dan juga rumput gajah.
185
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Pada pemeriksaan sampel medulla oblongata (Tabel 1) semua sampel yang
berasal dari RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT negatif BSE.
Hasil pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan adanya lesi yang mengarah ke
BSE seperti: degenerasi vakuoler neuron, gliosis, kematian neuron tanpa diikuti
reaksi radang, reaksi astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid
(Gambar 1B).
Grafik 1. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2016.
Grafik 2. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi NTB tahun 2016.
186
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Grafik 3. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi NTT tahun 2016.
Gambar 1. A. Mesencefalon sapi positif BSE, terlihat adanya vakuolisasipada neuron, tanpa ada sel radang (H&E, 400X; Sumber: Gubler et al.,2007) B. Histopatologi medula oblongata negatif BSE, tidak ditemukandegenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrosit ataupun plak amyloid(H&E; 200X)
1
3
A B
187
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
VI. PEMBAHASAN
Bovine spongiform encehalopathy merupakan penyakit neurogedegeneratif fatal
dan bersifat zoonosis. Negara-negara yang terjangkit BSE mengalami kerugian
ekonomi yang sangat besar serta berusaha keras untuk membebaskan kembali
negaranya dari penyakit infeksius ini. Indonesia sampai saat ini merupakan
negara bebas BSE. Untuk mempertahankan Indonesia tetap bebas dari BSE,
pemerintah telah mengambil langkah-langkah antara lain: penghentian importasi
hewan ruminansia dan produknya yang berasal dari negara tertular BSE,
pelarangan penggunaan tepung daging dan tulang (TDT) dan MBM asal
ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia serta melakukan deteksi dini
melalui surveilans dan kajian resiko setiap tahun secara berkelanjutan.
Hasil surveilan melalui pemeriksaan histopatologi. yang dilakukan oleh Balai
Besar Veteriner Denpasar tahun 2016 di RPH yang ada di kabupaten/kota yang
ada di Provinsi Bali, NTB dan NTT tidak ditemukan adanya sapi-sapi yang positif
BSE. Pemeriksaan histopatologi merupakan pengujian gold standar untuk
peneguhan penyakit BSE (Cooley et al., 2001). Di Provinsi Bali, NTB dan NTT
tidak ada peternakan sapi berskala besar/komersial. Peternakan sapi
merupakan peternakan rakyat, sebagai usaha sambilan bukan merupakan
usaha pokok. Di Provinsi Bali petani ternak rata-rata memelihara sapi Bali
sebanyak 2 ekor. Pakan yang diberikan adalah rumput, kadang-kadang ada
diberikan dedak atau sedikit mineral blok. Di Provinsi NTB dan NTT ternak sapi
ada yang dikandangkan dan ada juga dilepas di padang pengembalaan. Tidak
ada pemberian pakan komersial yang mengandung MBM atau TDT. Sistem
peternakan sapi yang dianut oleh sebagian besar peternak sapi di wilayah kerja
Balai Besar Veteriner Denpasar sejak dari jaman dahulu telah menerapkan
prinsip-prinsip peternakan organik. Ternak sapi secara alami diberikan rumput
sebagai pakan utama, tidak pernah diberikan pakan yang berasal dari hewan.
188
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Seperti diketahui bahwa sumber utama penularan BSE adalah melalui
pemberian pakan ternak yang mengandung MBM atau TDT dari ruminansia
yang tercemar prion protein. BSE tidak ditularkan melalui kontak langsung antar
ternak sapi. Di Inggris, pelarangan penggunaan MBM pada pakan ternak telah
menurunkan jumlah kasus BSE secara nyata (Anderson et al., 1996). Di dalam
saluran pencenaan PrPsc oleh sel-sel dendritik usus halus disalurkan ke organ
limfoid skunder (Payer’s patches), limpa, tonsil dan timus untuk selanjutkan
diekspresikan ke sel T dan B (Huang and MacPherson, 2004). PrPsc selanjutnya
melalui mekanisme retrograde transport menuju ke sistem saraf tepi dan sistem
saraf pusat. Akumulasi PrPsc pada otak menimbulkan lesi spesifik yaitu:
degenerasi neuron, vakuolisasi neural bersifat intrasitoplasmik tanpa diikuti
adanya respon radang, sel-sel astrosit mengalami hipertropi dan hiperplasia
(Scott et al., 1990; Williams and Young, 1993; Wells et al., 1994). Pada sapi
menderita BSE agen penyakit banyak ditemukan di jaringan otak, spinal cord ,
retina, bagian distal ileum, tonsil dan trigeminal ganglion.
Hasil pengamatan di RPH kabupaten/kota di Bali, NTB dan NTT didapatkan data
bahwa jumlah sapi betina yang dipotong lebih banyak dibandingkan dengan sapi
jantan. Para ahli menyebutkan bahwa jenis kelamin sapi bukan merupakan
faktor resiko penularan penyakit BSE, sehingga baik sapi jantan maupun betina
mempunyai peluang yang sama untuk tertular penyakit BSE selama
mendapatkan perlakuan atau mempunyai resiko paparan yang sama.
Analisa resiko kegiatan.
Target sampel BSE untuk Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2016 ada sebanyak
360, namun dari surveilans ini melebih target yaitu sebesar 440. Sampel BSE
yang berlebih berasal dari Provinsi NTB yaitu dari target 130 menjadi 250
sampel. Lebih sebanyak 120 sampel. Disisi lain, target sampel di Provinsi Bali
dan NTT tidak memenuhi target masing-masing sebesar 100 dan 120. Di
Provinsi Bali hanya mendapatkan 70 sampel dan di NTT 120 sampel. Adanya
ketimpangan dalam jumlah pengambilan sampel ini perlu kiranya dari Bidang
Pelayanan Veteriner, BB-Vet Denpasar sebelum melakukan surveilans
189
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
hendaknya mengkonfirmasi dulu jumlah sampel yang telah dikumpulkan di
bagian Epidemiologi.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN1. Kesimpulan.
a. Berdasarkan hasil surveilans BSE yang diadakan di RPH yang ada di
kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disimpulkan bahwa
Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebas dari penyakit BSE.
b. Tidak ada indikasi pemberian konsentrat/pakan komersiil untuk dijadikan
pakan ternak sapi.
2. Saran.Sampai saat ini di Provinsi Bali, NTB dan NTT belum ditemukan adanya
kasus BSE oleh karena itu kebijakan untuk melarang penggunaan TDT dan
MBM yang berasal ruminansia sebagai pakan ternak tetap dilanjutkan.
190
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, R.M., Donnelly, C.A., Ferguson, N.M., Woolhouse, M.E.J., Whatt, C.J., Udy, H.J.,MaWhinney, S., Dunstan, S.P., Southwood, T.R.E., Wilesmith, J.W., Ryan, J.B.M.,Hoinville, L.J., Hillerton, J.E., Austin, A.R and Wells, G.A.H (1996). Transmissiondynamics and epidemiology of BSE in British cattle. Nature. 382. pp. 779-788.
Cooley, W.A., Clark, J.K., Ryder, S.J., Davis, L.A., Farrelly, S.S., and Stack, M.J (2001).Evaluation of a Rapid Western Immunoblotting Procedure for the Diagnosis of BovineSpongiform Encephalopathy (BSE) in the UK. J Comp Pathol. 125(1):64-70.
Debeer, S.O.S., Baron, T.G.M and Bencsik, A.A (2001). Immunohistochemistry of PrPsc withinbovine spongiform encephalopathy brain samples with graded autolysis. The Journal ofHistochemistry & Cytochemistry. 49. pp. 1519-1524.
Gubler, E., Hilbe, M and Ehrensperger, F (2007). Lesion profiles and gliosis in the brainstem of135 Swiss cows with bovine spongiform encephalopathy (BSE). Schweiz ArchTierheilkd.149(3):111-22.
Hartawan, D.H., Wirata, I.K dan Saputra, I.G.N.A.W. (2013). Analisa Risiko dan SurveilansPenyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013. Laporan Tahunan. Balai Besar VeterinerDenpasar Tahun 2013.
Huang, F.P and MacPherson, G.G (2004). Dendritic cells and oral transmission of priondiseases. Adv. Drug. Deliv. Rev. 56. pp. 901-913.
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Nurlatifah, I., Saraswati, N.K.H, Dharma, D.M.N dan Djusa, E(2010) Surveilans Penyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Rumah PtongHewan Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. BulletinVeteriner. Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol. XXII. 76. 33-37
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., dan Uliantara, I.G.A.J (2014)0) Analisa Risiko dan SurveilansPenyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2014. Laporan Tahunan. Balai Besar VeterinerDenpasar Tahun 2014.
Scott, A.C., Wells, G.A.H., Stack, M.J., White, H. and Dawson, M (1990). Bovine spongiformencephalopathy: detection and quantitation of fibrils, fibril protein (PrP) and vacuolationin brain. Veterinary Microbiology. 23. pp. 295-304.
Wells, G.A.H., Spencer, Y.I and Haritani. M (1994). Configuration and topographic distribution ofPrP in the central nervous system in bovine spongiform encephalopathy: animmunohistochemistry study: Ann NY Acad Sci. 724. pp. 350-352.
Williams, E.S and Young, S (1993). Neuropathology of chronic wasting disease of mule deer(Odocoileus hemionus) and elk (Cervus elaphus nelsoni). Veterinary Pathology. 30. pp.36-45.
191
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
MONITORING DAN SURVEILANS ZOONOSIS (Salmonellosis)PADA TELUR AYAM DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Office International of Epizootic (OIE) mendefinisikan bahwa zoonosis merupakan penyakit yangsecara alamiah dapat menular diantara hewan vertebrata dan manusia. Beberapa penyakitzoonosis dapat bersifat foodborne zoonosis, merupakan hasil dari pencernaan dan penyerapanmakanan yang mengandung mikroba ditubuh manusia, salah satunya adalah Salmonellosisyang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. Untuk menciptakan perlindungan kesehatanmasyarakat dan pencegahan serta pengendalian zoonosis, telah dilakukan monitoring dansurveilans zoonosis dengan melakukan pengambilan sampel telur ayam di peternakan ayam(farm) di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT. Total jumlah sampel yang diambil adalah 200sampel. Hasil uji terhadap 200 sampel telur ayam menunjukkan bahwa semua sampel (100%)negatif bakteri Salmonella sp. Hal ini sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam StandarNasional Indonesia (SNI) 7388:2009, yaitu Salmonella sp. adalah negatif/ 25g. Hasil pengujianini mengindikasikan bahwa peternakan ayam petelur pada situasi saat ini bebas dariSalmonellosis dan telur ayam tersebut aman untuk dikonsumsi.Oleh karena itu perlu dilakukanpemantauan secara regular untuk memastikan status peternakan ayam tersebut melalui programmonitoring dan surveilans yang berkelanjutan.
Kata kunci : Monitoring, Surveilans, Zoonosis, Telur
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Office International of Epizootic (OIE) mendefinisikan bahwa zoonosis
merupakan penyakit yang secara alamiah dapat menular diantara hewan
vertebrata dan manusia. Penyakit yang tergolong zoonosis dengan penyebaran
penyakit yang tersebar keseluruih dunia sering ditemukan di Indonesia seperti
Anthrax, Rabies, Leptospira, Brucelosis, Toxoplasmosis, dan Salmonellosis.
Diketahui dari 1.415 mikroorganisme pathogen pada manusia, 868 (61,3%)
diantaranya bersumber pada hewan atau bersifat zoonosis. Beberapa penyakit
zoonosis dapat ditularkan melalui makanan (food-borne disease).
192
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Foodborne disease adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari
pencernaan dan penyerapan makanan yang mengandung mikroba ditubuh
manusia. Oleh karena itu, untuk menciptakan perlindungan kesehatan
masyarakat dan pencegahan serta pengandalian zoonosis diperlukan upaya -
upaya yang dapat memberikan peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya
zoonosis, salah satunya dapat dilakukan melalui pelaksanaan Surveilans
Zoonosis sesuai dengan kaidah – kaidah ilmiah. Salmonellosis di Indonesia
adalah penyakit endemis dengan angka kejadian yang cukup tinggi yaitu,
358.810/100.000 penduduk/ tahun dengan angka kematian demam tifoid
dibeberapa daerah adalah 2 – 5 %.
Salmonellosis merupakan penyakit yang termasuk dalam penyakit zoonosis
prioritas sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian nomor 4971/2012, tentang
Zoonosis Prioritas. Salmonellosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
yang berasal dari genus Salmonella sp. Salmonella adalah bakteri gram negatif,
berbentuk batang, non spora yang memfermentasi glukosa dengan membentuk
gas, tumbuh pada temperatur 6,7°C – 45,6°C, pH 4,1 – 9,0. Salmonellosis
merupakan zoonosis yang banyak menyebabkan kasus penyakit pada manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan surveilans zoonosis khususnya
Salmonella sp.sebagai peringatan dini, juga merupakan bagian dalam sistem
pengendalian dan penanggulangan penyakit zoonosis. Hasil monitoring dan
surveilans zoonosis tahun 2015 terhadap 200 sampel telur yang disampling di
beberapa peternakan (farm) ayam petelur di Provinsi Bali, NTB dan NTT
menunjukkan bahwa, semua sampel (100%) tidak tercemar bakteri Salmonella
sp. Namun demikian, monitoring dan surveilans zoonosis dilakukan secara
berkesinambungan setiap tahun untuk memastikan bahwa peternakan (layer
farm) tersebut bebas dari Salmonellosis. Oleh karena itu, tahun 2016 monitoring
dan surveilans zoonosis dilanjutkan dan dilakukan pada farm layer di Provinsi
Bali, NTB dan NTT.
193
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan yaitu belum diketahuinya situasi terkini (prevalensi) Salmonellosis
pada telur ayam konsumsi di peternakan ayam petelur (layer farm) di wilayah
Provinsi Bali, NTB dan NTT serta faktor – faktor yang berkaitan dengan kegiatan
Salmonellosis tersebut.
3. Tujuan Kegiatan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Salmonellosis pada wilayah
kerja BBVet Denpasar dan faktor-faktor yang berasosiasi dengan kejadian
tersebut.
4. Manfaat Kegiatan
Sebagai bahan pengambilan kebijakan untuk pengendalian zoonosis
khususnya Salmonellosis di wilayah kerja BBVet Denpasar.
5. Output1. Tersedianya data prevalensi bakteri Salmonella sp. pada telur ayam
konsumsi.
2. Pemetaan daerah resiko Salmonella sp. peternakan ayam petelur (layer
farm) di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT.
II. MATERI DAN METODE1. Materi
1.1. Bahan
Jenis sampel yang diambil berupa telur ayam konsumsi sebanyak 200
sampel yang berasal dari Provinsi Bali, NTB dan NTT. Sampel diambil dari
peternakan ayam petelur (layer farm) di Provinsi Bali, NTB dan NTT. yaitu di
Kabupaten Tabanan dan Karangasem masing-masing sebanyak 50 sampel,
Kota Mataram 50 sampel dan Kabupaten Kupang 50 sampel.
194
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
2. Metode2.1. Pemilihan Lokasi
Lokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel uji Salmonellosis adalah
kabupaten yang dikategorikan memiliki resiko cukup tinggi, karena terdapat
peternakan ayam petelur (layer farm).
2.2. Metode Sampling
Pemilihan lokasi pengambilan sampel menggunakan metode purposive yaitu
lokasi sampel sudah ditentukan sebelumnya.Alokasi tempat pengambilan
sampel berdasarkan pertimbangan adanya peternakan ayam petelur (layer
farm).
Sample Size
Mengingat keterbatasan sumber daya, maka proses sampling diperlukan.
Untuk itu sampel size (jumlah sampel minimal yang diambil agar mewakili)
dihitung berdasarkan rumus :
n =[Zα/2]2 x P x Q L2
Keterangan : n = Jumlah sampel
Z = Nilai standar normal (baku)
P = Proporsi = Prevalensi
Q = Peluang tidak terjadi cemaran
L = Tingkat Ketelitian
α = Tingkat Kepercayaan
Dalam hal ini nilai P (Prevalensi) yang diambil adalah asumsi 1 %, α yang
dipilih adalah 5 %, L yang dipilih adalah 5 %.
Perhitungan :
n =[2]2 x 0,01 x (1-0,01)=15,84 dibulatkan menjadi 16 0,05
195
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
2.2.1. Penanganan dan Transportasi Sampel
Sampel yang diperoleh diletakkan dalam wadah telur (egg tray) untuk
menghindari adanya telur yang pecah atau busuk dan dikirim ke BBVet
Denpasar.
2.2.2. Pengujian Sampela. Pra-pengayaan
Sebanyak 25 ml sampel dimasukkan ke dalam kantong steril kemudian
ditambahkan dengan 225 ml Lactose Broth (LB), homogenkan dengan
stomacher selama 1 menit selanjutnya pindahkan suspensi ke dalam
erlenmeyer steril dan diinkubasikan pada suhu 35° C, selama 24 jam ± 2
jam.
b. Pengayaan
Aduk perlahan biakan pra-pengayaan, kemudian diambil 1 ml tambahkan
dalam 10 ml Tetrathionate Broth (TTB), diinkubasikan kembali pada suhu
35° C, selama 24 jam ± 2 jam.
c. Isolasi dan Identifikasi
Dari media TTB diambil 1 loop digoreskan pada 3 media plate yaitu
Hektoen Enteric Agar (HEA), Xylose Lysine Deoxycholate Agar(XLDA)
dan Bismuth Sulfite Agar (BSA), diinkubasikan pada suhu 35° C, selama
24 jam ± 2 jam.
Pada media HEA kuman Salmonella sp terlihat berwarna hijau kebiruan
dengan atau tanpa titik hitam (H2S).Pada media XLD koloni terlihat
berwana merah muda dengan atau tanpa titik mengkilat atau terlihat
hampir seluruh koloni berwarna hitam. Pada media BSA koloni terlihat
berwarna keabu-abuan atau kehitaman, kadang metalik, media di sekitar
koloni akan berubah warna menjadi coklat dan semakin lama masa
inkubasi akan berubah menjadi hitam.
196
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Selanjutnya perlu dilakukan identifikasi dengan mengambil koloni yang
diduga dari ketiga media tersebut, diinokulasikan pada media Triple
Sugar Iron Agar (TSIA) dan Lysine Iron Agar (LIA).
Tabel 1. Hasil Uji Salmonella sp. pada TSIA dan LIA
Media AgarMiring(Slant)
Dasar Agar(Buttom)
H2S Gas
TSIA Alkalin / K(merah)
Asam / A(kuning)
Positif(hitam)
Negatif/Positif
LIA Alkalin / K(ungu)
Alkalin / K(ungu)
Positif(hitam)
Negatif/Positif
d. Uji Biokimia
Koloni positif dari media biakan TSIA diinokulasikan pada media uji
biokimia, dengan interpretasi hasil sebagai berikut :
197
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 2.Reaksi Biokimia Salmonella sp.
HasilUji Substrat
Positif Negatif Salmonellasp.
Urease Pink sampai merah Tetap kuning -
Indole Permukaan warnamerah
Permukaan warnakuning
-
Voges-Proskauer
(VP)Pink sampai merah Tidak berubah
warna-
Methyl Red (MR) Merah Kuning +
Citrate Biru Tidak berubahwarna
+
LysineDecarboxylase Broth(LDB)
Ungu Kuning +
Kalium CyanidaBroth (KCNB)
Ada pertumbuhan(kekeruhan)
Tidak adapertumbuhan
-
Phenol Red DulcitolBroth
Warna kuning danatau dengan gas
Tidak berubahwarna dan tanpagas
+
Malonate Broth Biru Tidak berubahwarna
-
Phenol Red LactoseBroth
Warna kuning danatau dengan gas
Tidak berubahwarna dan tanpagas
-
Phenol Red SucroseBroth
Warna kuning danatau dengan gas
Tidak berubahwarna dan tanpagas
-
Polyvalent Somatic
(O)Agglutinasi Tidak terjadi
agglutinasi+
Polyvalent flagelar
(H)Agglutinasi Tidak terjadi
agglutinasi+
198
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
III. HASIL
Hasil uji Salmonella sp. terhadap 200 sampel telur ayam, menunjukkan bahwa
semua sampel (100%) tidak tercemar bakteri Salmonella sp. Hasil uji ini sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan dalam batas maksimum cemaran mikroba
dalam Standard Nasional Indonesia (SNI) No.7388:2009. Hasil selengkapnya
tersaji pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Hasil uji Salmonella sp. sampel telur ayam yang berasal daribeberapa peternakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2016.
Provinsi Kabupaten/Kota Lokasi Jenis
sampelJumlahsampel
Hasil ujiSalmonella sp
((∑ smpl negatif)Tabanan Peternakan
(layer farm)Telurayam
50 50 (100%)Bali
Karangasem Peternakan(layer farm)
Telurayam
50 50 (100%)
NTB Mataram Peternakan(layer farm)
Telurayam
50 50 (100%)
NTT Kupang Peternakan(layer farm)
Telurayam
50 50 (100%)
Jumlah 200 200 (100%)Keterangan : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) berdasarkan SNI7388 : 2009, Salmonella sp. pada sampel telur segar : negatif / 25 gr.
Tabel 4. Diagram Prosentase Jumlah Sampel Telur AyamNegatifSalmonella sp.
199
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
IV. PEMBAHASAN
Salmonella sp.merupakan agen zoonosis yang menyebabkan terjadinya
penyakit Salmonellosis serta dapat menyerang unggas, mamalia dan manusia.
Salmonellosis merupakan peringkat kelima dalam zoonosis prioritas, sesuai
Keputusan Menteri Pertanian nomor 4971/2012 tentang zoonosis
prioritas.Penyakit ini terjadi akibat mengkonsumsi makanan atau minuman yang
tercemar oleh bakteri Salmonella sp., dengan gejala – gejala seperti : diare,
mual, muntah, sakit perut, sakit kepala , kedinginan dan demam. (Doyle and
Cliver, 1990; Jawet, 1996).Menurut Cox (2000), genus Salmonella sp., termasuk
dalam famili Enterobacteriacceae, adalah bakteri gram negatif, berbentuk batang
(0,7 – 1,5 x 2,5 µm), fakultatif anaerobic, oxidase negatif dan katalase positif.
Sebagian besar strain motil dan memfermentasi glukosa dengan membentuk
gas dan asam.
Salmonellosis di Indonesia adalah penyakit endemis dengan angka kejadian
yang cukup tinggi yaitu, 358.810/100.000 penduduk/ tahun dengan angka
kematian demam tifoid dibeberapa daerah adalah 2 – 5 %. Penyebaran mikroba
ini biasanya melalui daging dan telur yang tidak dimasak. Daging ayam, telur
ayam dan produk unggas adalah tempat perkembangbiakan yang paling utama.
Jika pangan yang tercemar Salmonella sp. tertelan, dapat menyebabkan infeksi
usus yang diikuti oleh diare, mual, kedinginan dan sakit kepala. Konsekuensi
kronisnya ialah gejala arthritis terjadi 3-4 minggu setelah serangan gejala akut.
Kasus keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini biasanya terjadi jika manusia
menelan pangan yang mengandung bakteri Salmonella sp., dalam jumlah besar.
Jumlah bakteri Salmonella sp., yang dapat menyebabkan sakit yaitu 107 sel/gr –
109 sel/gr (Anonimus, 2009). Sesuai amanat Undang – Undang No.18 Tahun
2009 Peternakan dan Kesehatan Hewan Tentang Kesehatan Masyarakat
Veteriner untuk melakukan pengadilan dan penanggulangan zoonosis,
menjamin keamanan, kesehatan, keutuhan dan kehalalan produk hewan, maka
perlu dilakukan pengujian Salmonella sp. Dalam Standar Nasional Indonesia
(SNI 7388 : 2009), disebutkan bahwa Batas Maksimum Cemaran Mikroba
(BMCM) Salmonella sp. pada telur segar adalah negatif/ 25 gram. Sementara itu
200
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
hasil uji terhadap 200 sampel telur ayam yang berasal dari tiga Provinsi Bali,
NTB dan NTT menunjukkan semua sampel (100%) negatif Salmonella sp.
Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa peternakan ayam petelur (farm) yang
diambil sampelnya dalam situasi saat ini bebas dari Salmonellosis dan telur –
telur tersebut dikategorikan aman untuk dikonsumsi.Hal ini sesuai dengan Quin
et.al (2002), yang menyatakan bahwa jika pada telur ayam ditemukan bakteri
Salmonella sp., maka sumber penularan bisa berasal dari induk yang menderita
Salmonellosis. Ada beberapa cara untuk menghindari terjadinya Salmonellosis
dari telur diantaranya : buang telur yang cangkangnya retak atau kotor, simpan
telur dalam kulkas pada suhu 4°C, cuci tangan serta peralatan masak yang
bersentuhan dengan telur mentah menggunakan air dan sabun, tidak
mengkonsumsi telur yang mentah maupun tidak matang secara sempurna.
(Anonimus1, 2016). Menurut Nesheim et.al., (1979), telur yang masih segar
memiliki pori – pori kecil dan dalam penyimpanan pori – pori tersebut dapat
meningkat dan bertambah banyak hal ini memungkinkan kontaminasi bakteri ke
dalam telur yang pada akhirnya berpengaruh pada kualitas telur. Sedangkan
kutikula pada telur sebagai salah satu pelindung alami yang dimiliki oleh telur
selain lizosim yang bersifat bakteriosid hanya dapat bertahan selama 4 hari
(Idris, 1984)
Cemaran pada telur dari dalam maupun luar. Infeksi dari dalam biasanya terjadi
akibat infeksi kronik saluran genital ayam, sedangkan infeksi dari luar terjadi
akibat makanan yang terkontaminasi. Telur yang kotor dapat dicuci, tetapi harus
hati – hati karena dapat terjadi kontaminasi selama mencuci jasad renik seperti
Salmonella sp., yang menempel di bagian luar kulit telur dapat dengan mudah
berpindah ke makanan. Suherman (2005) menyebutkan, bahwa pencemaran
bakteri ke dalam telur juga dapat terjadi akibat keretakan atau kepecahan yang
disebabkan oleh kemiringan kandang, pengumpulan dan pengepakan yang
salah karena tenaga kerja yang kurang terampil serta pengangkutan dan alat
transportasi yang kasar.
Anonimus2(2016) juga menyatakan bakteri Salmonella sp. bisa terdapat di luar
cangkang telur, hal ini dikarenakan telur dikeluarkan melalui saluran yang sama
dengan feses, oleh karena itu kulit cangkang telur perlu dibersihkan. Disamping
201
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
itu, Salmonella sp. Bisa terdapat pada bagian dalam cangkang telur atau pada
telur yang utuh, kontaminasi ini kemungkinan terjadi akibat infeksi dalam saluran
reproduksi ayam sebelum cangkang telur terbentuk.
Pakan yang terkontaminasi Salmonella sp. merupakan sumber penyakit yang
dapat masuk ke peternakan unggas. Kontaminasi Salmonella sp. merupakan
masalah yang serius karena kontaminasinya dapat mencapai telur dan
menghasilkan anak ayam carrier terhadap bakteri Salmonella sp. Peternakan
unggas yang terkontaminasi Salmonella sp. merupakan sumber terjadinya Food-
borne disease (Jones dan Richardson, 2004).Salmonella sp. sebagai penyebab
terjadinya Salmonellosis pada ternak yang ditandai dengan diare.Hal ini lebih
rentan dijumpai pada ternak yang masih muda bila dibandingkan dengan ternak
dewasa (Davies, 2001).
V. SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Hasil pengujian ini mengindikasikan bahwa peternakan ayam petelur di Provinsi
Bali, NTB, NTT saat ini bebas dari Salmonellosis dan telur ayam tersebut aman
untuk dikonsumsi.
2. Saran
Perlu dilakukan pemantauan secara regular untuk memastikan status
peternakan ayam tersebut melalui program monitoring dan surveilans yang
berkelanjutan.
202
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2009.Kajian Keamanan Salmonella sp. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalamPangan. Standar Nasional Indonesia SNI 7388:2009. Badan Standarisasi Nasional ICS67.220.20.
Anonimus, 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba Dalam Daging, Telur dan Susu sertaHasil Olahannya SNI 2897: 2008, Standar Nasional Indonesia. Badan StandarisasiNasional.
Anonimus1. 2016. Salmonella and Eggs. www.cdc.gov/features/salmonellaeggs/index.html.
Anonimus2. 2016. Shell Eggs From Farm To Table.https://www.fsis.usda.gov/wps/portal/fsis/topics/food-safety-education/get-answers/food-safety-fact-sheets/egg-products-preparation/shell-eggs-from-farm-to-table/CT_Index/.
Cox, J., 2000.Salmonella (introduction).Encyclopedia of Food Microbiology, vol.3. Robinson,R.K., C.A. Batt and P.D. Patel (editors) Academic Press, San Diego.
Davies, R. 2001. Salmonella typhimurium DT 104: has it had its day? In Practice. June. Pp:342-349.
Idris, S. 1984. Telur dan Cara Pengawetannya. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.Malang. 5-55.
Jones, F.T., and K.E, Richardson. 2004. Salmonella in Commercially Manufactured Feeds.Poult.Sci, 83:384-391.
Nesheim, M.C.R.E, Austic and L.E, Card. 1979. Poultry Production, 12th. Ed.Lea and Febriger,Philadelpia, 282-306.
Quin, P.J., K.Markey., M.E.Carter., W.J.Donneldy and F.C.Leonard. 2002. VeterinaryMicrobiology and Microbial Disease. Blackwell Publishing. 115.
Suherman, D. 2005. Pengaruh Faktor Manajeman Terhadap Kepecahan Telur. PoultryIndonesia, Edisi 302. Jakarta. 62-65.
203
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
MONITORING DAN SURVEILANS RESIDUDAN CEMARAN MIKROBA (PMSR-CM) PADA PANGAN ASAL HEWAN
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Daging, telur dan susu merupakan pangan asal hewan yang bersifat perishable food (mudahrusak) dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan karena mudah tercemarsecara fisik, kimiawi (residu) dan biologis (mikroba) sehingga dapat membahayakankeselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, serta mengganggu ketentramanbathin masyarakat termasuk kehalalan. Program Monitoring dan surveilans residu dan cemaranmikroba (PMSR-CM) pada pangan asal hewan tahun 2016 di Provinsi Bali, NTB dan NTT telahdilakukan dengan pendekatan mengutamakan pengujian food safety key indicators (hanyamelakukan beberapa jenis pengujian yang menjadi indikator keamanan pangan) berbasiskepada pendekatan produk dan disesuaikan dengan komoditas yang beredar di suatu daerah.Pengambilan sampel dilakukan di rumah potong hewan (RPH), pasar tradisional, kios pengecer(retail) dan perusahaan pemasok daging (importir) dengan total jumlah sampel adalah 1688sampel. Hasil uji terhadap cemaran mikroba terutama Total Plate Count (TPC) menunjukkanbahwa sebanyak 47,1-65,9% sampel mengandung total jumlah kuman melebihi batasmaksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI 7388:2009 yaitu 1x106
koloni/gram, sedangkan hasil uji terhadap E.coli menunjukkan sebanyak 10,7% sampelmengandung bakteri E.coli melebihi BMCM yaitu 1 x 101 koloni/gram. Hasil uji terhadap bakteriS.aureus menunjukkan hasil negatif dan hasil uji terhadap bakteri Salmonella sp sebanyak 0,3-1,4% sampel daging dan telur positif mengandung bakteri Salmonella sp. Hasil uji cemaranmikroba ini mengindikasikan bahwa secara umum tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantaiproduksi pangan relatif rendah sehingga tingkat higiene khususnya daging segar tersebut jugarelatif rendah. Sementara itu hasil uji terhadap residu antibiotika menunjukkan bahwa masihditemukan adanya residu antibiotika (1,4-5,26,9%) pada sampel telur ayam dan hati sapi. Hal inimengindikasikan bahwa kurangnya perhatian terhadap masa henti obat (withdrawal time)sebelum ternak dipotong. Sedangkan hasil uji terhadap residu logam berat timbal (Pb), AflatoksinM1, Hormon Trenbolon Acetat (TBA) dan Identifikasi spesies babi menunjukkan negatif dan hasiluji Anti Mikrobial Resistant (AMR) menunjukkan bahwa obata-obatan antimikroba sepertichlroramphenicol merupakan pilihan yang lebih baik untuk infeksi E.coli.
Kata kunci : Monitoring, surveilans, Residu , Cemaran Mikroba, Pangan Asal Hewan
204
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangPangan asal hewan berupa daging telur dan susu merupakan protein hewani
yang mengandung asam amino essensial yang tidak dapat diganti dengan
protein nabati atau protein sintetis lainnya, sehingga dapat bermanfaat bagi
pertumbuhan, kesehatan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Anon, 2013).
Namun demikian, pangan asal hewan merupakan bahan pangan yang mudah
rusak (perishable food) dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan
lingkungan (hazardous food) karena mudah tercemar secara fisik, kimiawi
(residu) dan biologis (mikroba) sehingga dapat membahayakan keselamatan
hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, serta mengganggu
ketentraman bathin masyarakat termasuk kehalalan.
Oleh karena itu, untuk mencegah dan mengurangi risiko yang dapat
membahyakan keselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan,
serta mengganggu ketentraman batin masyarakat termasuk kehalalan, dan guna
mendorong pelaku usaha untuk dapat menghasilkan produk hewan yang
memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk hewan yang diproduksi,
dimasukkan dari dan/atau dikeluarkan ke luar negeri, dan yang diedarkan di
dalam negeri, perlu dilakukan pengawasan dan pengujian keamanan dan mutu
produk hewan
Berdasarkan hasil monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba
(PMSR-CM) tahun 2016 di Provinsi Bali, NTB dan NTT, tingkat kontaminasi
mikroba pada pangan asal hewan masih relatif tinggi yaitu sebanyak 66,7%
pangan asal hewan khususnya daging segar mengandung total jumlah kuman
(TPC) melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang dipersyaratkan dalam
Standar Nasional Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya
tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantai penyediaan pangan asal hewan
ditingkat unit usaha atau unit proses Sementara itu, pangan asal hewan
terutama telur belum terbebas dari residu antibibiotika karena masih ditemukan
residu antibiotika pada sampel tersebut.
205
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Oleh karena itu pelaksanaan PMSR-CM tahun 2016 dilakukan dengan
Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram untuk E.coli; daging segar: 1x101
Sedangkan hasil uji terhadap cemaran bakteri Staphylococcus aureus
(S.aureus) disajikan dalam tabel 3 di bawah ini. Hasil uji menunjukkan bahwa
semua sampel (7 sampel telur bebek dan 108 sampel daging olahan ) tidak
tercemar bakteri S.aureus.
217
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 3. Hasil Uji S.aureus pada sampel daging olahan dan telur asal Bali,NTB dan NTT tahun 2016
Hasil Uji S.aureus
Pasar Tradisional RetailAsal
SampelJenis
sampel∑ sampel > BMCM ∑ sampel > BMCM
Bali Dg. olahan - - 34 0
Dg. olahan - - 29 0NTB
Telur bebek 7 0
NTT Dg. olahan 45 0
Total 7 0 (0,0%) 108 0 (0,0%)
Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram , S.aureus : 1x102 .
Hasil uji terhadap Salmonella sp, menunjukkan bahwa sebanyak 2 sampel
(1,4%) dari 148 sampel daging segar yang berasal dari RPH positif Salmonella
sp dan sebanyak 2 sampel (0,3%) dari 739 sampel daging dan telur yang
berasal dari pasar tradisional positif Salmonella sp. Hasil selengkapnya tersaji
dalam table 4 di bawah ini.
Tabel 4. Hasil uji Salmonella sp pada sampel daging segar, daging olahandan telur asal Bali, NTB dan NTT tahun 2016
Hasil Uji Salmonella spRPH Pasar Tradisional
AsalSampel
Jenissampel
∑ sampel ∑ positif ∑ sampel ∑ positifDg. Sapi 24 0 28 0
Dg. Babi 10 0 39 0
Dg. Ayam 35 0
Telur ayam 135 0
Susu
Bali
Dg. Olahan
218
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Dg. Sapi 58 2* (3,4%) 50 1* (2,0%)
Dg. Ayam 44 0
Telu ayam 160 0
Telur bebek 7 0
Dg. Kuda 2 0
Dg. Kerbau
NTB
Dg. Olahan
Dg. Sapi 50 0 46 0
Dg. Babi 4 0 12 0
Dg. Ayam 33 0
NTT
Telur ayam 150 1* (0,6%)
Total 148 2 (1,4%) 739 2 (0,3%)
Ket : * sampel daging sapi positif Salmonella sp berasal dari Kota Mataram(NTB) dan telur ayam positif Salmonella sp berasal dari Sumba Timur (NTT).Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram untuk Salmonella sp :negatif/25 gram
Sementara itu, hasil uji terhadap residu antibiotika disajikan dalam tabel 5 di
bawah ini.. Hasil uji menunjukkan, sebanyak 110 sampel (15,4%) positif
mengandung residu antibiotika golongan penisillin (PC’s), sebanyak 10 sampel
(1,4%%) positif golongan tetrasiklin (TC’s), sebanyak 192 sampel (26,9%%)
positif golongan Aminoglikosida (AG’s) dan sebanyak 143 sampel (20%) sampel
positif golongan makrolida (MC’s) dari 715 sampel yang diuji.
219
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 5. Hasil Uji Residu Antibiotika sampel daging dan telur asal Bali,NTB dan NTT tahun 2016
∑ Sampel Positif Residu AntibiotikaAsalSampel
JenisSampel
JumlahSampel PC’s TC’s AG’s MC’s
Dagingayam
34 0 0 0 0
Telurayam
120 12(10,0%)
0 27(22,5%)
21(17,5%)
Hati sapi 22 3 (13,6%) 1 (4,5%) 3(13,6%)
1 (4,5%)
Bali
Hati babi 10 0 0 0 0Dagingayam
49 0 0 0 0
Telurayam
175 52(29,7%)
7 (4,0%) 85(48,6%)
60(34,3%)
Hati sapi 52 0 0 1 (1,9%) 0HatiKerbau
2 0 0 0 0
NTB
Hati Kuda 2 0 0 0 0Dagingayam
37 0 0 0 0
Telurayam
156 43 (27,6%) 2(10,6%)
76(48,7%)
61(39,1%)
Hati sapi 47 0 0 0 0
NTT
Hati babi 9 0 0 0 0Total 715 110
(15,4%)10(1,4%)
192(26,9%)
143(20%)
Ket : PC’s : golongan Penisillin, TC’s : golongan Tetrasiklin, AG’s : golonganAminoglikosida, MC’s : golongan Macrolida
Hasil uji terhadap residu hormon trenbolon acetat (TBA), menunjukkan bahwa
40 sampel daging sapi beku import dan 60 sampel hati sapi lokal negatif residu
hormon trenbolon acetat. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 6 di bawah ini.
220
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 6. Hasil Uji Residu Hormon Trenbolon Acetat (TBA) pada sampeldaging dan hati sapi asal Bali, NTB dan NTT tahun 2016
Hasil Uji TBAAsalSampel Jenis Sampel Jumlah
sampel Konsentrasi(ppt) Interpretasi
Daging sapi beku
import
40 63,9 – 91,9 NegatifBali
Hati sapi lokal 23 60,8 – 98,2 Negatif
NTB Hati sapi lokal 21 68,8 – 94,1 Negatif
NTT Hati sapi lokal 16 67,6 – 97,1 Negatif
Total 100
Batas Maksimum Residu (BMR) hormon trenbolon acetat yang ditetapkan
Keterangan: Batas Maksimum Residu (BMR) Aflatoksin M1 dalam SNI 7385-
2009:500 ppt
Tabel 9. Hasil Uji Identifikasi Spesies (pemalsuan daging babi) padasampel daging olahan asal Bali, NTB dan NTT tahun 2016
AsalSampel Jenis Sampel Jumlah Sampel Hasil Uji
ID Spesies BabiBali Daging olahan - -
NTB Daging olahan 35 Negatif
NTT Dasging olahan 85 Negatif
Total 120
Dalam table 10 disajikan hasil uji anti mikrobial Resistant (AMR) terhadap isolat
E.coli dari sampel daging segar (daging sapi dan babi). Hasil uji menunjukkan
bahwa dari 37 isolat E.coli yang diuji, sebanyak 54% resistant terhadap
streptomycin, 49% resistant terhadap cephalotin, 46% resistant terhadap
amoxicillin, 35% resistant terhadap oxytetrasiklin, 32% resistant terhadap
penicillin, 16% resistant terhadap ofloxacin, 5% resistant terhadap trimethoprim.
Sedangkan semua isolat E.coli sensitif terhadap chloramphenicol.
222
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 10. Hasil uji AMR (Anti Mikrobial Resistant) terhadap isolat E.coli
Hasil uji AMR terhadap isolat E.coli(∑ isolat yang resistant terhadap jenis antibiotika)
Asal isolatE.coli
JumlahisolatE.coli P W S10 KF30 C30 AMC30 OFX30 OTC30
Dg.Sapi
15 4(27%)
0(0%)
15(100%)
15(100%)
0(0%)
10(67%)
4(27%)
5(33%)
Dg.Babi
22 8(36%)
2(9%)
5(23%)
3(14%)
0(0%)
7(32%)
2(9%)
8(4%)
37 12(32%)
2(5%)
20(54%)
18(49%)
0(0%)
17(46%)
6(16%)
13(35%)
Ket : P = Penicillin, W = Trimethoprim, S10 = Streptomycin, KF30 = Cephalotin,C30 = Chloramphenicol, AMC30 = Amoxycillin, OFX30 = Ofloxacin, OTC30 =Oxytetracyclin
IV. PEMBAHASAN
Cemaran mikroba adalah mikroba yang keberadaannya dalam pangan pada
batas tertentu dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan. Cemaran mikroba
yang dikatagorikan membahayakan pada pangan asal hewan (daging, telur dan
susu) berdasarkan SNI 7388:2009 adalah TPC, Coliform, Eschericia coli,
Staphylococcus aureus, Salmonella sp, Campylobacter sp dan Listeria
monocytogenes (Anon., 2009). Total Plate Count (TPC) menunjukkan jumlah
mikroba dalam suatu produk. Di beberapa negara dinyatakan sebagai Aerobic
Plate Count (APC) atau Standard Plate Count (SPC) atau Aerobic Microbial
Count (AMC). Secara umum TPC tidak terkait dengan bahaya keamanan
pangan namun kadang bermanfaat untuk menunjukkan kualitas, masa
simpan/waktu paruh, kontaminasi dan status higienis pada saat proses produksi
(Anon, 2009).
Berdasarkan hasil uji TPC pada pangan asal hewan terutama daging segar
yang diambil di beberapa RPH dan pasar tradisional menunjukkan bahwa tingkat
cemaran mikroba relatif cukup tinggi yaitu sebanyak 47,1% - 65,9% sampel
daging segar mengandung TPC melebihi nilai batas maksimum cemaran
mikroba (MBCM) yang dipersyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
7388 : 2009 untuk TPC 1 x 106 koloni/gram. Hal ini mengindikasikan bahwa
tingkat higiene dan sanitasi di RPH dan pasar tradisional di Bali, NTB dan NTT
relatif kurang memenuhi standar higiene dan sanitasi yang baik.
223
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Sementara itu, dari hasil uji terhadap terhadap beberapa bakteri yang
dikatagorikan membahayakan seperti E.coli, S.aureus dan Salmonella sp
menunjukkan bahwa kontaminasi bakteri ini pada pangan asal hewan relatif
rendah. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji terhadap E,coli yaitu sebanyak 10,7%
sampel mengandung E.coli melebihi persyaratan SNI yaitu 1x 101 koloni/gram
pada daging dan hasil uji terhadap S.aureus negatif dan sebanyak 0,3-1,4%
sampel mengandung Salmonella sp. Dalam persyaratan yang ditetapkan dalam
SNI bahwa bakteri Salmonella sp tidak boleh ada dalam pangan asal hewan
(negatif), sedangkan terhadap bakteri S.aureus masih diperbolehkan ada dalam
pangan asal hewan sebanyak 1 x 102 koloni/gram.
Escherichia .coli merupakan bakteri berbentuk batang pendek, gram negatif,
ukuran 0,4 um – 0,7 um x 1,4 um, dan beberapan strain mempunyai kapsul.
Terdapat beberapa strain E.coli yang patogen dan non patogen. Strain patogen
E.coli dapat menyebabkan kasus diare berat pada semua kelompok usia melalui
endotoksin yang dihasilkannya. Sumber pencemaran E.coli adalah feses,
saluran pencernaan hewan atau manusia. Escherichia. coli yang bersifat
hemolitik dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin dari kuman
tersebut diabsorbsi pada sel endothelial dimana reseptor toksin banyak terdapat
seperti di ginjal sehingga akan menimbulkan gejala klinik seperti haemolitik
uremik syndrome (HUS) dan juga disaraf sehingga dapat juga menimbulkan
gejala syaraf. Sanitasi yang baik, memasak daging sampai suhu 650 C
merupakan cara untuk mengontrol E.coli.
Pangan asal hewan berupa daging dan telur mentah sering ditemukan bakteri
patogen seperti Salmonella terutama pada kasus sporadik dan wabah
Salmonellosis pada manusia (Schlundt, et al., 2004). Namun pada surveilans ini
, kontaminasi bakteri Salmonella sp ditemukan pada 2 sampel daging sapi yang
berasal dari RPH, 1 sampel daging sapi yang berasal dari pasar tradisonal Kota
Mataram (NTB) dan 1 sampel telur ayam yang berasal dari pasar tradisional
Sumba Timur (NTT). Terjadinya kontaminasi bakteri Salmonella sp pada daging
dan telur kemungkinan karena terkontaminasi pada saat penanganan sampel
atau terkontaminasi dari feses ataupun dari air yang digunakan dalam proses
224
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
produksi. Berdasarkan kajian keamanan pangan sesuai SNI 7388 : 2009 kasus
keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini biasanya terjadi jika manusia
menelan pangan yang mengandung Salmonella dalam jumlah signifikan.
Jumlah Salmonella yang dapat menyebabkan Salmonellosis yaitu antara 107 –
109 koloni/gram. Kontaminasi Salmonella juga dapat terjadi pada ternak.
Kontaminasi pada ternak dapat terjadi sebelum disembelih yaitu akibat
kontaminasi horizontal eksternal pada telur-telur saat pengeraman telur ayam
pedaging sehingga akan dihasilkan daging ayam yang terkontaminasi oleh S.
enteritidis, selama penyembelihan, selama atau setelah pengolahan (Supardi
dan Sukamto, 1999).
Sementara itu, daging olahan sering tercemar bakteri S.aureus, namun pada
surveilans ini tidak ditemukan adanya bakteri S.aureus mencemari pangan
tersebut. Bakteri S.aureus sering ditemukan sebagai mikroflora normal pada kulit
dan selaput lendir manusia. Dapat meyebabkan infeksi baik pada manusia
maupun pada hewan. Pada susu jumlah bakteri S.aureus sebanyak 107
koloni/gram akan memproduksi enterotoksin yang dapat menyebabkan
gastroenteritis atau radang lapisan saluran usus. Walaupun pengolah pangan
merupakan sumber pencemaran pangan yang utama, peralatan dan lingkungan
dapat juga menjadi sumber pencemaran S.aureus. Mencuci tangan dengan
teknik yang benar, membersihkan peralatan dan membersihkan permukaan
penyiapan pangan diperlukan untuk mencegah masuknya bakteri ke pangan.
Secara umum, hasil uji ini menunjukkan bahwa tingkat higiene daging yang
beredar di Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah yang ditunjukkan dari hasil
uji TPC. Hal ini bisa mengakibatkan waktu paruh atau masa simpan daging
tersebat pendek (tidak bertahan lama pada suhu ruang) sehingga menyebabkan
daging cepat busuk. Hasil uji ini juga mengindikasikan bahwa status higiene dan
sanitasi pada mata rantai produksi pangan asal hewan relatif kurang memenuhi
persyaratan sanitasi yang baik.
225
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Untuk dapat menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH)
maka proses produksi daging di RPH harus memenuhi persyaratan teknis,
mengingat RPH merupakan lokasi tranformasi dari ternak hidup menjadi produk
pangan (daging). Berdasarkan hasil pemantauan, ada beberapa RPH yang
memenuhi standar higiene dan sanitasi yang baik, namun sebagian besar
kondisi RPH di Provinsi Bali, NTB dan NTT saat ini cukup memprihatinkan dan
tidak memenuhi persyaratan teknis baik fisik (bangunan dan peralatan), sumber
daya manusia serta prosedur teknis pelaksanaanya. Hal ini dibuktikan dengan
tidak semua RPH memilki nomor kontrol veteriner (NKV) sebagai standar
pelaksanaan higiene dan sanitasi pada sebuah RPH.
Demikian juga situasi di pasar tradisional, meskipun ada beberapa pasar yang
sudah memiliki kios daging, namun sebagian besar pasar tradisional tidak
memiliki kios daging. Situasi di pasar tradisional dengan segala kegiatan dan
kondisi lingkungannya memiliki potensi banyak penyimpangan atau ketidak-
asuhan. Disadari bahwa untuk dapat mewujudkan penyediaan pangan asal
hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) di pasar tradisional
kenyataannya relatif berat mengingat permasalahan yang dihadapi tidak sekedar
masalah teknis tetapi juga masalah sosial yang justru lebih dominan (Anon,
2013).
Sampel pangan asal hewan (daging, hati dan telur) juga diuji terhadap 4 (empat)
golongan residu antibiotika yaitu golongan penicillin, tetrasiklin, aminoglikosida
dan makrolida. Residu merupakan bahan-bahan obat atau zat kimia dan hasil
metabolit yang tertimbun dan tersimpan di dalam sel, jaringan atau organ serta
kandungan yang tidak diinginkan dan tertinggal dalam makanan atau lingkungan
sekitar (Anon., 2005).
226
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Hasil uji residu antibiotika menunjukkan bahwa ke empat golongan residu
antibiotika masih ditemukan pada pangan asal hewan terutama telur ayam dan
beberapa hati sapi. Dari 715 sampel yang diuji, residu antibiotika golongan
penisillin ditemukan sebanyak 110 sampel (15,4%), golongan tetrasiklin
sebanyak 10 sampel (1,4%), golongan aminoglikosida sebanyak 192 sampel
(26,9%%) dan golongan makrolida sebanyak 143 sampel (20%).
Hal ini bisa terjadi mengingat ternak unggas terutama ayam petelur yang
dipelihara secara intensif dan dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga
seluruh waktu hidupnya mendapatkan antibiotika yang ditambahkan dalam
pakan maupun dalam minuman. Sedangkan residu antibiotika yang ditemukan
pada sampel hati sapi mengindikasikan bahwa kurangnya pengawasan terhadap
penggunaan antibiotika di peternakan.. Disamping itu juga kurangnya perhatian
terhadap withdrawal time (waktu henti obat) sebelum ternak dipotong.
Antibiotika golongan aminoglikosida (streptomysin) yang dikombinasi dengan
penisillin banyak dipergunakan pada ternak unggas dan babi. Antibiotika
golongan penisillin merupakan senyawa antibakterial yang cukup potensial dan
efektif terhadap berbagai spesies Gram negatif dan Gram positif. Antibiotika
golongan penisillin juga sering ditambahkan dalam pakan dan efektif untuk
menstimulasi laju pertumbuhan, berat dan komposisi karkas dan efisiensi
konversi pakan pada ternak muda (Soeparno, 1994).
Penggunaan antibiotika tersebut mempunyai peranan yang cukup penting, tidak
hanya untuk menjamin kesehatan ternak tetapi juga mencegah terjadinya
transmisi penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) dan meningkatkan efisiensi
sistem produksi. Namun demikian, aplikasinya harus disertai dengan kontrol
yang baik dan memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) agar tidak
menimbulkan residu pada pangan asal hewan. Pangan asal hewan yang
mengandung residu, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan gangguan
kesehatan pada manusia.
227
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Sementara itu, sebanyak 40 sampel daging sapi yang diambil dari 4 perusahaan
(importir) dan 60 sampel hati sapi yang diambil dari RPH dan pasar tradisional
diperiksa terhadap residu hormon trenbolon asetat (TBA). Hasil uji menunjukkan
bahwa nilai kandungan hormon TBA dengan Elisa terdeteksi pada sampel
daging sapi beku impor dengan nilai konsentrasi berkisar antara 63,9-91,9 ppt
dan pada sampel hati sapi lokal berkisar antara 60,8-97,1 ppt. Nilai kandungan
hormon TBA ini masih dibawah limit deteksi yaitu 200 ppt sehingga
diinterpretasikan tidak terdeteksi (negatif).
Demikian juga nilai tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan
maximum residue limits (MRL) TBA yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius
Commisions (CAC) yaitu 2 ppb (2000 ppt) dan 10 ppb (10.000 ppt) pada sampel
hati sapi (Horie, 2000). Rendahnya nilai konsentrasi TBA tersebut menunjukkan
bahwa penggunaan TBA di negara asal telah mengikuti aturan waktu henti obat
(withdrawal times) yang telah ditetapkan yaitu sekitar 60 hari (Widiastuti, dkk.
2007), sehingga sampel daging sapi beku import dan hati sapi lokal tersebut
aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu hormon trenbolon asetat.
Penggunaan hormon pertumbuhan seperti TBA dipeternakan sapi bertujuan
untuk meningkatkan berat karkas, rata-rata pertumbuhan dan efisiensi pakan.
Trenbolon asetat adalah hormon steroid sintetik yang diimplantasikan secara
subkutan atau diberikan secara oral pada sapi dan domba. Trenbolon asetat
pada daging meninggalkan residu 17β-trenbolon, sedangkan pada hati berupa
17α-trenbolon. Trenbolon memberikan efek negatif terhadap organ reproduksi
mamalia dari berbagai spesies (Jecfa, 1988).
Hormon TBA digunakan di negara Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru,
Australia, Afrika Selatan, Meksiko dan Chile sejak tahun 1970, namun tidak
digunakan di negara-negara Uni Eropa. Sedangkan di Indonesia penggunaan
dan peredaran TBA masih dilarang dan diklasifikasikan dalam golongan obat
keras berdasarkan Surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 806 tahun 1994.
Widiastuti, dkk (2001) menjelaskan bahwa Indonesia mengimpor daging sapi
dari Australia sehinga pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap residu
hormon tersebut.
228
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Sementara itu dari hasil uji Aflatoksin M1 terhadap sampel susu menunjukkan
bahwa semua sampel susu yang diuji tidak mengandung residu Aflatoksin M1
atau konsentrasinya di bawah batas maksimum residu (BMR). Batas maksimum
residu Aflatoksin M1 dalam SNI 7385 : 2009 adalah 500 ppt sehingga secara
umum sampel susu tersebut dikatagorikan belum membahayakan untuk
dikonsumsi.
Namun demikian perlu tetap diwaspai mengingat susu (segar, pasteurisasi,
UHT, olahan) merupakan salah satu bahan pangan asal hewan yang potensial
sebagai sumber masuknya aflatoksin melalui rantai makanan manusia melalui
terbentuknya Aflatoksin M1 (Aycicek et al, 2001). Aflatoksin M1 merupakan
metabolit sekunder dari Aflatoksin B1 yang diketahui sebagai senyawa alami
yang memiliki efek toksik dan karsinogenik paling tinggi diantara jenis mikotoksin
lainnya sehingga dikelompokkan sebagai kelompok 1 oleh IARC (Richard,
2007).
Hasil uji terhadap residu logam berat khususnya Timbal (Pb) terhadap sampel
hati sapi dalam surveilans ini menunjukkan tidak terdeteksi (negatif). Namun
demikian beberapa penelitian menemukan residu Timbal pada beberapa hati
sapi. Menurut Bahri (2008), pencemaran Timbal (Pb) pada pangan hewani dapat
terjadi pada proses praproduksi, produksi, dan proses pasca-produksi.
Praproduksi mencakup proses pembibitan dan pemeliharaan hewan ternak.
Pencemaran pada saat praproduksi bisa saja terjadi melalui udara yang
tercemar dari kendaraan bermotor. Rumput liar yang digunakan sebagai pakan
ternak mengandung kadar Timbal (Pb) yang cukup tinggi, terutama rumput yang
diambil dari lokasi dekat dengan jalan raya karena tingginya emisi Timbal (Pb)
dari kendaraan bermotor.
Oleh karena itu perlu diperhatikan sumber pakan dan lokasi pemeliharaan sapi.
Sumber pakan dan kualitas udara sekitar peterrnakan merupakan faktor resiko
pencemaran timbal (Pb) terhadap sapi. Oleh karena itu, sangat penting untuk
memilih lokasi yang jauh dari jalan raya dan tempat pembuangan sampah baik
229
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
untuk lokasi peternakan sapi maupun lokasi sumber pakan sapi. Akan tetapi
masih banyak peternak yang tidak memperdulikan hal ini.
Hasil uji Identifikasi spesies daging babi (pemalsuan daging babi) terhadap
beberapa daging olahan menunjukkan bahwa tidak ada penambahan daging
babi pada sampel daging olahan. Hal ini mengindikasikan bahwa sampel daging
olahan tersebut utuh (tidak dicampur) dengan daging babi.
Sementara itu, resistensi anti mikroba kemudian disebut dengan Anti Mikrobial
Resistance (AMR) adalah resistensi yang terjadi oleh mikroorganisme terhadap
obat-obatan mikroba untuk yang sebelumnya sensitive. Organisme yang
resistant (termasuk didalamnya bakteri, virus dan beberapa parasit) mampu
melawan serangan obat-obatan anti mikroba seperti antibiotik, anti virus dan anti
malaria, sehingga pengobatan standar menjadi tidak efektif lagi. Sehingga
infeksi yang muncul akan bertahan dan dapat menyebar kepada orang atau
populasi lain. AMR merupakan konsekuensi logis dari penggunaan antimikroba,
termasuk didalamnya didalamnya adalah penggunaan reguler maupun
penyalahgunaan.
Hasil uji anti mikrobial resistant (AMR) terhadap isolat E.coli dari sampel daging
sapi dan babi menunjukkan bahwa dari 37 isolat E.coli yang diuji, sebanyak 54%
resistant terhadap streptomycin, 49% resistant terhadap cephalotin, 46%
resistant terhadap amoxicillin, 35% resistant terhadap oxytetrasiklin, 32%
resistant terhadap penicillin, 16% resistant terhadap ofloxacin, 5% resistant
terhadap trimethoprim. Sedangkan semua isolat E.coli sensitif terhadap
chloramphenicol. Hasil uji ini mengindikasikan bahwa apabila terinfeksi oleh
mikroorganisme E.coli maka pilihan pengobatan adalah lebih baik menggunakan
chloramphenicol dibandingkan antibiotika yang lain.
230
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SimpulanDari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkat higiene
pangan asal hewan khususnya daging segar yang beredar di wilayah Provinsi
Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah bila dibandingkan dengan persyaratan
yang ditetapkan dalam SNI 7388;2009. Rendahnya higiene daging tersebut
karena masih relatif tingginya prevalensi cemaran mikroba terutama total jumlah
kuman (TPC) yang mencemari daging tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa
rendahnya tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantai proses produksi
pangan.
Dengan masih ditemukannya residu antibiotika pada pangan asal hewan
khususnya telur ayam dan hati sapi mengindikasikan bahwa pemakaian
antibiotika dipeternakan ayam dan sapi masih cukup tinggi dan kurangnya
pengawasan terhadap penggunaannya dan kurangnya pengetahuan terhadap
waktu henti obat (witdrawal time) sebelum ternak dipotong. Sementara itu,
pangan asal masih aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu
hormon Trenbolon Acetat (TBA), Aflatoksin M1, Logam berat Timbal (Pb), dan
Identifikasi spesies babi (pemalsuan daging babi).
Dari hasil pengujian anti mikrobial resistant (AMR) terhadap isolat E.coli yang
diisolasi dari sampel daging sapi dan daging babi, bahwa pengobatan yang lebih
baik untuk infeksi E.coli adalah chloramphenicol
5.2. SaranUntuk dapat menyediakan pangan asal hewan yang memenuhi standar jaminan
mutu (ASUH), disarankan kepada Pemerintah Pusat dan Derah melalui Dinas
Peternakan agar meningkatkan higiene dan sanitasi mata rantai proses produksi
dengan cara merevitalisasi RPH dan pembuatan kios-kios daging di pasar
tradisional. Petugas juga perlu melakukan pengawasan terhadap peredaran dan
pemakaian obat-obatan di peternakan untuk menghindari adanya residu pada
pangan asal hewan. Sedangkan untuk mengetahui resistensi antimikroba maka
perlu dilakukan pengujian AMR secara berkesinambungan terhadap berbagai
isolat mikroorganisme.
231
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Aycicek, H., E. Yarsan, B. Sarimeh Metoglu and O. Cakmak. 2002. Aflatoxin M1 in white cheeseand butter consumed in Istanbul Turkey. Vet. Human Toxicol. 44: 295 – 296.
Anonimus, 2005. Foodborne Disease Salmonellosis. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner.Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian.
Anonimus, 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu serta hasilolahannya. SNI 2897 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan StandardisasiNasional.
Anonimus, 2008. Metode uji tapis (screening test) residu antibiotika pada daging, telur dan sususecara bioassay. SNI 7424 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan StandardisasiNasional.
Anonimus, 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. SNI 7388 :2000. StandarNasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.
Anonimus, 2013. Metode pengujian kadar logam berat (Pb) dan kadmium (Cd) dalam daging,telur, susu dan olahannya dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom(SSA). SNI 7853 :2013. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.
Anonimus, 2013. Kumpulan Peraturan Menteri Pertanian Bidang Kesehatan MasyarakatVeteriner dan Pasca Panen. Direktorat Kesmavet dan Pasca Panen, Direktorat jenderalPeternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian
Bahri, S., 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia, JurnalPengembangan Inovasi Pertanian, Hal 225- 242.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke dua. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.
Supardi, I. dan Sukamto, 1999. Mikroorganisme Penyebab Penyakit Menular. DalamMikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan Pangan. Edisi Pertama, YayasanAdikarya IKAPI dengan The Ford Foundation. Hal. 157-173
Schlundt, J., H. Toyofuku, J. Jansen dan S.A. Herbst , 2004. Emerging Food-Borne Zoonoses.Rev.Sci.Tech.Off.Int.Epiz 23(2): 512-515, 522-527.
Richard, J.L., 2007. Some major mycotoxins and their mycotoxicosis : An overview. InternationalJournal of food Microbiology 11:3-10.
Widiastuti, R., Indraningsih, T.B. Murdiati, dan R. Firmansyah, 2007. Residu trenbolon padajaringan dan urin dari sapi jantan muda peranakan ongole yang diimplantasi dengantrenbolon acetat. JITV. 12 (1) : 60,67.
232
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS DAN MONITORING DALAM RANGKA UPAYAPEMBEBASAN PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALI
TAHUN 2016
Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana, Erni PuspitasariI Ketut Mayun, I Nengah Mundera, I Wayan Ekaana.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Sapi Bali merupakan plasma nutfah /primadona Indonesia karena keunggulan yang dimiliki.Dibalik keunggulan tersebut sapi Bali memiliki beberapa kelemahan dan salah satunya adalahsangat peka terhadap penyakit Jembrana /Jembrana Disease (JD). JD merupakan penyakithewan menular pada sapi Bali yang disebabkan oleh Retrovirus, famili Lentivirinae. Saat ini JDmasih endemik di Bali dan merupakan kendala dalam pengembangan peternakan sapi Bali diProvinsi Bali. Pada bulan September sampai dengan Desember 2016 telah dilakukan surveilansuntuk mengetahui situasi JD di Bali dalam rangka pemetaan penyakit dan rencana pembebasanJD di provinsi Bali Pengambilan sampel dilakukan di seluruh Kabupaten/kota di Bali, berbasisdesa dan selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 20759 sampel serumdan 20721 sampel darah EDTA sampel darah dengan antikoagulan EDTA. Semua sampelserum diuji ELISA menggunakan antigen Jembrana J Gag 6 histidin, sedangkan sampel darahEDTA diuji PCR. Hasil surveilans menunjukkan situasi JD di Bali cukup terkendali ditandaidengan tidak ditemukan adanya kasus positif JD di semua lokasi surveilans. Dari 20759sampel serum yang diuji ELISA hanya 5 (0.02 %) seropositif JD., konfirmasi dengan ujiWestern Blotting hanya 1 sampel (0.005%) seropositif JD. Sedangkan hasil uji PCR terhadap20721 sampel darah, menunjukkan negatif virus JD. Dari hasil surveilans dapat disimpulkanbahwa situasi JD di Bali cukup terkendali dengan persentase seropositif sangat rendah, dantidak ditemukan hewan carrier / positif virus JD. Perlu diupayakan pembebasan JD di provinsiBali melalui surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur, peningkatan pengawasan lalulintas ternak dan pengendalian vektor.
Kata Kunci : Penyakit Jembrana, surveilans, sapi Bali
233
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar BelakangSapi Bali adalah salah satu dari tiga ras sapi di dunia , merupakan salah satu
plasma nutfah/ primadona Indonesia dan diharapkan mampu menggantikan
posisi sapi import dalam memenuhi kebutuhan daging sapi di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena sapi Bali memiliki beberapa keunggulan antara lain
mempunyai kemampuan adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan,
calving interval yang sangat pendek, kualitas daging yang cukup bagus namun
di balik keunggulan yang dimiliki tersebut sapi Bali memiliki kelemahan yaitu
sangat peka terhadap penyakit Jembrana.
Penyakit Jembrana/Jembrana disease (JD) merupakan salah satu penyakit virus
yang menyerang sapi Bali, disebabkan oleh Retrovirus famili Lentivirinae.
Kasus JD di Bali pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1964, hingga saat ini
JD endemik di Bali dan telah menyebar ke beberapa daerah di luar Bali seperti
Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah (Hartaningsih, 2005).
Keberadaan JD di Bali sampai saat ini masih merupakan salah satu kendala
dalam pengiriman sapi bibit ke luar Bali sehingga berdampak dalam
pengembangan peternakan sapi Bali di Provinsi Bali. Hal ini disebabkan karena
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No: 46 Tahun 2011 mensyaratkan
agar semua bibit sapi Bali yang akan diantarpulaukan harus benar-benar bebas
JD untuk mencegah penyebaran JD ke luar pulau Bali.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian KepMentan
4026/Kpts.OT.140/3/2013, JD merupakan salah satu penyakit strategis di
Indonesia yang harus mendapatkan prioritas dalam penanggulangan dan
pemberantasannya. Salah satu upaya pencegahannya adalah dengan cara
vaksinasi. Dalam upaya pencegahan JD di Bali, Dinas Peternakan Provinsi Bali
telah melakukan vaksinasi JD dengan menggunakan vaksin JD Vacc Sp 15,
produksi Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar berturut-turut selama 4 tahun
dari tahun 2001-2004. Dengan cakupan vaksinasi kurang dari 70%. Vaksinasi
234
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
hanya dapat dilakukan di beberapa daerah saja karena keterbatasan jumlah
vaksin yang tersedia, sehingga cakupan vaksinasi sangat rendah, akibatnya
masih banyak sapi yang berisiko terserang penyakit Jembrana. Dalam kurun
waktu 2005 sampai dengan 2011 vaksinasi JD tidak pernah dilakukan lagi,
Vaksinasi JD dilakukan kembali mulai akhir tahun 2012, tahun 2013 dan 2014
terbatas pada beberapa Kelompok Ternak SIMANTRI dan ternak masyarakat.
Dalam rangka mengetahui situasi JD di Bali, BBVet Denpasar telah melakukan
surveilans dan monitoring JD secara rutin setiap tahun dan melakukan uji
serologis (ELISA) untuk mendeteksi antibodi terhadap JD dan uji PCR untuk
mendeteksi adanya virus JD. Hasil surveilans dan monitoring JD yang dilakukan
BBVet Denpasar, selama lima tahun terakhir menunjukkan trend terjadinya
penurunan seropositif dan positif virus JD,. Berdasarkan data tersebut sangat
mungkin dilakukan upaya pembebasan JD di Bali . Selain itu tidak adanya
pemasukan sapi ke provinsi Bali juga sangat mendukung pembebasan JD di
provinsi Bali.. Bebasnya JD di Bali akan berdampak positif terhadap
pengembangan peternakan sapi di Bali karena bibit sapi asal Bali akan dapat
dintarpulaukan sehingga akan meningkatkan pendapatan peternak dan
pendapatan asli daerah (PAD) Bali
Upaya pembebasan JD di Bali telah diputuskan oleh Dirjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan, pada rapat bersama dengan BBVet Denpasar, BBPMSOH,
dan Pusvetma tanggal 14 Pebruari 2015 di Denpasar Selain itu upaya
pembebasan JD di Bali juga telah disetujui oleh Dinas Peternakan Provinsi
Bali, dan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota se-Bali, Kepala BBVet
Denpasar dan staf , Expert penyakit Jembrana (Dr Hartaningsih, Dr Anak
Agung Gde Putra ) dan ahli epidemiologi Prof Setyawan Budiharta pada rapat
khusus penyakit Jembrana di Denpasar tanggal 3 Maret 2015, Untuk
mengetahui situasi JD di provinsi Bali pada tahun 2016, maka dilakukan
surveilans dan monitoring JD.
235
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan JD di Provinsi Bali sebagai berikut :
1. Sampai saat ini penyakit Jembrana (JD) di Bali bersifat endemik, sehingga
ada larangan pengeluaran bibit sapi Bali dari provinsi Bali.
2. Hasil monitoring BBVet Denpasar selama lima tahun terakhir menunjukkan
rendahnya seropositif JD , namun kasus JD tidak pernah terjadi.
1.3. Tujuan KegiatanSurveilans dan monitoring ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui situasi JD di Bali dalam rangka program pembebasan JD
sehingga bibit sapi asal Bali boleh diantarpulaukan
2. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus JD sebagai
dasar penentuan program surveilans selanjutnya
1.4. Manfaat KegiatanManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah :
1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD di Bali sebagai bahan
masukan dan pertimbangan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam upaya
pembebasan JD di Bali
2. Terpetakannya situasi JD di Bali dalam rangka pembebasan JD
1.5. OutputOutput/keluaran yang diharapkan dari surveilans dan monitoring ini adalah :
1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD di provinsi Bali, terkait
upaya pembebasan JD di Provinsi Bali .
2. Provinsi Bali bebas JD sehingga bibit sapi asal Bali boleh diantarpulaukan
untuk meningkatkan PAD provinsi Bali dan mendukung penyediaan bibit sapi
Nasional.
236
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
II. MATERI DAN METODA
BAHAN DAN ALATBahan dalam surveilans ini meliputi bahan-bahan untuk isolasi PBMC, KIT untuk
ekstraksi DNA, bahan untuk uji ELISA dan PCR, sedangkan alat-alat dalam
surveilans ini meliputi : alat-alat untuk pengambilan sampel darah dan serum,
alat-alat untuk uji ELISA dan PCR
METODEProgram pembebasan penyakit Jembrana di provinsi Bali dilakukan dalam tiga
tahapan sampling yaitu Langkah pertama preliminary studi, langkah kedua
merupakan survey deteksi penyakit di tingkat kecamatan, desa, sensus tingkat
individu ternak dan tahap ketiga adalah eliminasi ternak carrier serta evaluasi
program pembebasan. Penjelasan tahapan program sampling pemberantasan
penyakit Jembrana di provinsi Bali dapat dilihat sebagai berikut;
237
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
A. Metode SurveilansSurveilans Terstruktur
Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah serum dan darah sapi Bali dari
ternak Simantri dan masyarakat di wilayah Bali. Surveilans pembebasan
penyakit Jembrana di provinsi Bali dilakukan dalam dua tingkat unit observasi
yaitu :
1. Unit observasi desa
Desa yang akan dilakukan pengambilan sampel dipilih menggunakan metode
detect presence of the disease dari Martin et al (1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x[N-(d-1)/2]dengan tingkat kepercayaan 95 %, n adalah besaran sampel, P1
adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah unit sampel
tersebut, d adalah harapan minimal jumlah unit sampel yang terinfeksi dengan
asumsi prevalensi sebesar 1 % dan N adalah jumlah populasi unit observasi
yaitu populasi desa di provinsi Bali sebanyak 716 desa.Pemilihan desa tersebut
dilakukan secara random dengan menggunakan metode random dalam aplikasi
online (Ausvet, 2016). Sehingga terpilih 287 desa dan pada tahun anggaran
2016 desa yang disurvei hanya 116 desa dan sisanya dilanjutkan tahun 2017.:
Tabel 1. Tabulasi jumlah sampel unit desa program pembebasan penyakitJembrana di Bali tahun 2016.
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
2. Unit Observasi Ternak
Pengambilan sampel unit ternak yang akan dilakukan dengan menggunakan
metode detect presence of the disease dari Martin et al (1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan tingkat kepercayaan 95 % n adalah besaran sampel,
P1 adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah unit sampel
tersebut, d adalah harapan minimal jumlah unit sampel yang terinfeksi dengan
asumsi prevalensi sebesar 1 % dan N adalah jumlah populasi unit observasi
yaitu populasi ternak di masing – masing desa di provinsi Bali. Adapun tabulasi
jumlah sampel ternak yang akan diambil adalah sebagai berikut ;
Tabel 2. Tabulasi jumlah sampel tingkat Ternak program pembebasanpenyakit Jembrana di Bali. Tahun 2016 dan RencanaTahun 2017
ke dalam setiap well (blank, kontrol dan serum sampel), diamkan selama 2
menit. Kemudian stop reaksi dengan menambahkan 50 µl larutan asam oxalat 2
% ke semua well.
240
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Pembacaan hasil uji ELISA dilakukan pada ELISA READER dengan panjang
gelombang 405 nm. Bila nilai OD sampel lebih besar atau sama dengan OD
pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan positif antibodi JD sedangkan bila
nilai OD sampel lebih kecil dari OD pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan
negatif antibodi JD.
b. UJI POLYMERASE CHAIN REACTION(PCR)DNA virus JD dari PBMC diisolasi dengan menggunakan QIAmp DNA Blood Kit
(Qiagen). Tabung eppendorf yang sudah berisi DNA filtrat diberi label dan
disimpan pada -20oC sampai siap diuji. Sedangkan metoda uji PCR yang
dipakai untuk mendeteksi provirus Jembrana ini adalah metoda PCR yang
dikembangkan oleh Tenaya dkk., (2003 & 2004). Bahan-bahan yang diperlukan
dalam teknik PCR JD antara lain: Master mix, PCR water,Primer JDV–1, Primer
JDV–3, DNA template, Agarose gel 1%, TAE buffer, dan Ethidium Bromide.
Primer yang digunakan terdiri dari Primer JDV-1 dan Primer JDV–3.Forward
primer (JDV –1) dengan sekuen 5’GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA3’.Reverse primer (JDV – 3) dengan sekuen 5’CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’ (Chadwick et al., 1995).
Untuk setiap reaksi PCR digunakan 12.5 µL Master Mix, 1 µL primer JDV-1,
satu uL primer JDV-3, 8.5 µL PCR water dan DNA template sebanyak 2 µL.
Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur ke dalam tabung effendorf volume
500 µL. Campuran tersebut diamplifikasi dengan thermocycler sebanyak 35
siklus dengan perincian sebagai berikut: Step 1 (denaturasi) 94oC selama 5
menit, Step 2 (denaturasi) 94oC selama 30 detik dan (annealing) 66oC selama 1
menit, Step 3 pemanjangan (ekstensi) 72oC selama 1,5 menit. Pada akhir siklus,
ada program tambahan 72oC selama 10 menit untuk melengkapi pemanjangan
DNA yang belum selesai, dan satu siklus untuk masa inkubasi di bawah suhu
ruang, biasanya 15oC dengan waktu tak terbatas. Total siklus adalah selama 2
jam 15 menit.
241
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Analisa dan dokumentasi hasil PCRHasil PCR kemudian dielectrophoresis dengan 1% gel agarose yang
mengandung 5 ug Etidium bromide/ ml. Elektrophoresis dilakukan dengan
voltase 70 volt selama 45 menit. Hasil PCR dalam gel kemudian divisualisasi
dengan sinar UV pada alat UV transluminator dan dianalisa dengan program Gel
Doc untuk melihat adanya band / pita DNA.
III. HASIL
Dalam perencanaan awal surveilans JD tahun 2016 jumlah desa terpilih adalah
sebanyak 116 desa, namun dalam pelaksanaannya tidak seluruh desa terpilih
bisa dilakukan pengambilan sampel. Pengambilan sampel pada surveilans JD
di Provinsi Bali Tahun 2016 dilakukan di 112 desa di 56 kecamatan se-provinsi
Bali. Hal ini disebabkan karena di beberapa desa terpilih terjadi penurunan
jumlah populasi dan adanya alih fungsi lahan sehingga target sampel tidak bisa
terpenuhi. Selain itu juga terjadi pemindahan lokasi pengambilan sampel karena
populasi sapi di desa terpilih tidak mencukupi. Berkurangnya populasi sapi
tersebut banyak terjadi di Kota Denpasar, hal ini disebabkan karena banyaknya
alih fungsi lahan yang terrjadi di Denpasar sehingga banyak peternak yang
beralih profesi akibat tidak bisa beternak lagi.
Selama pelaksanaan surveilans tidak ditemukan sapi yang menunjukkan gejala
klinis JD. dan berhasil dikumpulkan sebanyak 20759 sampel serum dan 20721
sampel darah EDTA. Berbeda dengan hasil surveilans tahun 2015 pada
surveilans JD tahun 2016 hasil uji ELISA terhadap sampel serum asal
Kabupaten Jembrana menunjukkan 5 sampel serum seropositif JD. sedangkan
setelah dikonfirmasi dengan uji WB dari 5 sampel tersebut hanya 1 sampel yang
menunjukkan seropositif JD. Hasil uji PCR tehadap sampel darah dari hewan
yang sama menunjukkan negatif virus JD. Hasil uji ELISA dan PCR dari sampel
Kabupaten/kota di Bali Tahun 2016 seperti tersaji pada Tabel 1 dan 2.
242
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 1. Hasil Uji ELISA JD sampel dari Kabupaten/Kota di BaliTahun 2016.
NO KABUPATEN/KOTA JUMLAHSAMPEL
JUMLAHPOSITIF
PERSENTASESEROPOSITIF
(%)1 Badung 2657 0 0
2 Bangli 2288 0 0
3 Buleleng 3254 0 0
4 Denpasar 814 0 0
5 Gianyar 2262 0 0
6 Jembrana 2910 5 0.17
7 Karangasem 2657 0 0
8 Klungkung 1625 0 0
10 Tabanan 2292 0 0
TOTAL 20759 5 0.02
Hasil uji konfirmasi terhadap 5 sampel seropositif ELISA dengan uji WB
menunjukkan hanya 1 sampel seropositif JD. Hasil uji selengkapnya seperti
pada gambar 1.
Gambar 1.Hasil uji WB sampel serum asal Kabupaten Jembrana.
(1) sampel 119 (2) sampel 146: (3) sampel 23: (4) sampel 43 (5) kontrolnegatif: ; (6) sampel 24 (7) sampel 11 : (8 ) kontrol positif
243
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 2. Hasil Uji PCR JD sampel dari Kabupaten/Kota di Provinsi BaliTahun 2016
Terjadinya perbedaan jumlah seropositif antara hasil uji ELISA dan WB
disebabkan karena pada uji ELISA masih terjadi “cross reaction” dengan BIV. Uji
ELISA merupakan uji screening selanjutnya dilakukan konfirmasi dengan uji
Western Immunoblotting yang memiliki spesifisitas lebih tinggi dibandingkan
dengan uji ELISA. Untuk lebih memastikan apakah antibodi tersebut merupakan
antibodi JD maka dilakukan konfirmasi dengan uji PCR. Hasil uji PCR terhadap
sampel tersebut menunjukkan negatif virus JD. Hasil uji PCR inilah yang dipakai
sebagai acuan untuk menentukan hewan positif JD atau tidak. Hal ini
disebabkan karena primer yang digunakan yaitu primer JDV-1 dan JDV-3 sangat
spesifik , dimana primer tersebut mampu membedakan antara proviral DNA JDV
dan BIV. Selain itu uji PCR mampu mendeteksi keberadaan proviral DNA pada
saat hewan klinis, maupun setelah hewan sembuh (carrier). Saat ini uji PCR
digunakan sebagai gold standar untuk diagnosa JD .
Dari petugas Dinas Peternakan Kabupaten Jembrana diperoleh informasi bahwa
sampel serum yang menunjukkan seropositif JD tersebut berasal dari sapi yang
pernah divaksinasi JD. Informasi ini semakin memperkuat dugaan bahwa
antibodi yang terdeteksi adalah adalah antibodi JD dan semakin memastikan
bahwa antibodi yang terdeteksi bukan merupakan antibodi Bovine
Immunodefisiensi Virus (BIV). Hasil penelitian Hartaningsih, dkk., 2009
menemukan bahwa sapi yang pernah divaksinasi JD akan menunjukkan hasil
negatif pada uji PCR karena vaksin JD merupakan vaksin inaktif sehingga virus
JD tidak dapat melakukan penetrasi ke dalam sel induk semang untuk
bereplikasi.
245
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Jumlah seropositive dari hasil surveilans JD tahun 2016 hanya 0.02% lebih
rendah , dibandingkan dengan hasil surveilans JD tahun 2015 . Trend,
terjadinya penurunan persentase seropositif dan positif virus JD di Bali sudah
terjadi sejak lima tahun terakhir.
Rendahnya hasil seropositif ini disebabkan karena mayoritas sampel serum
berasal dari sapi yang tidak divaksinasi JD. Dari total 20759 sampel serum yang
diambil hanya sebanyak 120 (0.6%) berasal dari sapi .yang divaksinasi JD..
Antibodi JD bisa terbentuk apabila hewan pernah divaksinasi JD atau terinfeksi
JD sebelumnya. Dari informasi yang terkumpul selama pelaksanaan surveilans
infeksi JD tidak pernah terjadi sebelumnya. Hasil surveilans 2016 ini
membuktikan bahwa tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD di
Bali sangat rendah disebabkan karena virus JD dan hewan carrier JD tidak
ditemukan di semua lokasi surveilans JD di Bali
V. KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanDari hasil surveilans ini dapat disimpulkan beberapa hal antara lain :
Situasi JD di Bali cukup terkendali dengan persentase seropositif JD sangat
rendah hanya 0.02%
Hewan “carrier JD” (positif virus JD) tidak ditemukan di semua lokasi
surveilans)
Tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD sangat rendah
disebabkan karena virus JD (hewan carrier JD) tidak ditemukan di semua
lokasi surveilans di Kabupaten /Kota di Bali .
Saran
Surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur , peningkatan
pengawasan lalu lintas ternak. dan pemberantasan vektor tetap harus
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit Jembrana.
Upaya pembebasan JD di Provinsi Bali harus dilakukan sehingga dengan
bebasnya JD di Bali maka bibit sapi Bali boleh diantarpulaukan untuk
memenuhi kebutuhan bibit sapi Bali di Indonesia.
246
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
VI. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar atas dana, kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan
surveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan kabupaten/kota se-Provinsi Bali, beserta staf atas bantuan dan
kerjasamanya dalam membantu pelaksanaan pengambilan sampel.Penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Medik dan
Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu
dalam pengambilan dan pengujian sampel ini.
247
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, NLP., and Hartaningsih, N. 2002. Uji Elisa untuk Mendeteksi Antibodi LentivirusMenggunakan Antigen Rekombinan J Gag-6. .Manual Diagnosa Laboratorik JD. MateriKursus Peningkatan Metode Diagnosa JD ACIAR-BPPV VI.
Chadwick, B J., Coelen, RJ., Wilcox, G E., Sammels, L M., Kertayadnya, G (1995). Nucleotidesequence analysis of Jembrana disease virus : a bovine lentivirus associated with anacute disease syndrome. Journal of General Virology. 76: 1637-1650
Hartaningsih, N., Sulistyana, K.,and G.E. Wilcox. (1996). Serological Test for JDV Antibodiesand Antibody Respons of Infected Cattle. In Jembrana Disease and the BovineLentiviruses, ACIAR Proceedings No.75, page 79-84
Hartaningsih, N. 2005. Laporan Hasil Investigasi JD di Kalimantan Timur. Laporan TahunanBalai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Denpasar
Hartaningsih, N, Irvani, I dan Agustini, N.L.P. 2009. Uji Molekuler Pada Sapi Bali UntukMenetapkan Keamanan Vaksin Penyakit Jembrana JD Vacc Sp 15. Buletin VeterinerBalai Besar Veteriner Denpasar. .
Putra, AAG. 2003. Peranan Hewan Karier JD dalam penularan penyakit di lapangan. BuletinVeteriner. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar. XV (63) :16-26
Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Soetrisno, M., Kertayadnya, G., and Wilcox, GE. 1990. Studiesexperimental Jembrana disease of infectious agen in Bali cattle. Transmission andpersistence of the infectious agent in ruminant and pigs and resistance of recoveredcattle to re-infection, Journal of Comparative Pathology 103 : 49-59.
Soeharsono, S., Wilcox, G.E., Putra, A.A, Hartaningsih, N, Sulistyana K and Tenaya, M. 1995.The transmission of Jembrana disease a lentivirus disease of Bos javanicus cattle.Epidemiology and Infection 115: 367:374
Tenaya, IWM., Ananda, CK dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNA Virus Jembranapada Limposit Sapi Bali dengan Uji Polymerase Chain Reaction.Buletin Veteriner. 63:44-48, BPPV VI Denpasar.
Tenaya, IWM dan Hartaningsih, N. (2004). Detection of JDV Carrier Animals by PCR.BuletinVeteriner. 65: 46-50, BPPV VI Denpasar.
Wilcox G.E., Kertaydnya G., Hartaningsih N., Dharma D.M.N., Soeharsono S., and Robertson T(1992). Evidence for viral aetiology of Jembrana disease in Bali cattle. VeterinaryMicrobiology 33: 367-374
248
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT, DAN NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 2016
Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana, Erni Puspitasari,I Ketut Mayun, I Nengah Mundera dan I Wayan Ekaana
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut menimbulkan ensefalitisfatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae. Vaksinasi merupakansalah satu upaya pencegahan dan pengendalian Rabies. Pemerintah provinsi Bali telahmelakukan vaksinasi massal Rabies dan tahun 2016 telah memasuki Round 7 (tujuh).Walaupun vaksinasi massal dilakukan setiap tahun namun kejadian Rabies masih terus terjadi .Serosurveilans untuk mengetahui profil antibodi pascavaksinasi Rabies di Bali, dan NTT serta,mengetahui gambaran serologis dan situasi Rabies di provinsi NTB telah dilakukan pada bulanJuli sampai dengan Agustus 2016. Serosurveilans Rabies di provinsi Bali dilakukan di 9kabupaten/kota sedangkan untuk provinsi NTB dan NTT dilakukan di lima kabupaten/kota.Selama pelaksanaan serosurveilans di provinsi Bali berhasil dikumpulkan sebanyak 1359sampel, sedangkan dari provinsi NTT 487 sampel dan sebanyak 275 sampel serum dariprovinsi NTB . Semua sampel serum diuji ELISA menggunakan KIT ELISA Rabies produksiPusat Veteriner Farma Surabaya. Hasil uji ELISA menunjukkan terjadi peningkatan titer antibodiyang sangat signifikan pascavaksinasi Rabies di provinsi Bali. Persentase seropositif Rabies diprovinsi Bali mencapai 60,2%, persentase seropositif Rabies di provinsi NTT sebesar 45%sedangkan sampai saat ini provinsi NTB masih bebas Rabies. Perlu dilakukan vaksinasi ulang(booster) pada HPR yang memiliki titer antibodi kurang dari 0.5 IU/ml serta diupayakanpenggunaan vaksin oral pada anjing yang diliarkan/tidak diikat sehingga mampu meningkatkanpersentase seropositif Rabies .
Kata Kunci : Rabies, serosurveilans, vaksinasi
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar BelakangRabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut
menimbulkan ensefalitis fatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari
famili Rhabdoviridae (Murphy et.al.2009; Fischer et al., 2013). Rabies
ditransmisikan dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia (zoonosis)
melalui gigitan atau jilatan pada luka.
Di provinsi Bali sumber penularan Rabies diduga berasal dari masuknya anjing
dalam masa inkubasi yang dibawa oleh pelaut asal Sulawesi Selatan (Putra
et.al., 2009). Sejak munculnya kasus Rabies di desa Kedonganan kecamatan
Kuta Selatan, kabupaten Badung pada bulan November 2008 berdasarkan
249
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Keputusan Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008
provinsi Bali secara resmi dinyatakan sebagai daerah tertular Rabies.
Kejadian Rabies di provinsi NTT khususnya pulau Flores sudah terjadi sejak
tahun 1998 di Kabupaten Sikka , kemudian menyebar ke Ende tahun 1999,
Ngada Juni 2000, dan Manggarai Juli 2000, sedangkan untuk provinsi NTB
sampai saat ini masih bebas Rabies namun merupakan daerah bebas terancam.
Sejak tahun 2008 hingga saat ini kejadian kasus Rabies di Bali masih terus
terjadi walaupun jumlah kasus sudah menurun. Anjing masih merupakan hewan
penular Rabies (HPR) utama di Provinsi Bali. Dari 672 kasus Rabies pada
hewan di Bali periode tahun 2008-2013 semuanya ditularkan oleh anjing Rabies.
(Supartika et.al., 2013). Cepatnya penyebaran Rabies di Bali dan Flores tidak
terlepas dari tingginya populasi anjing di kedua daerah tersebut dan hampir
setiap rumah tangga di Bali dan Flores memiliki anjing. Tingginya angka
kepemilikan anjing khususnya di Flores disebabkan karena anjing memiliki nilai
sosial budaya dan ekonomi yang sangat tinggi serta sangat dibutuhkan pada
upacara adat. Walaupun demikian, sistim pemeliharaan anjing di Flores,
mayoritas masih diliarkan, sehingga sangat berpotensi menjadi sumber
penularan Rabies ke hewan lainnya dan ke manusia.
Pengendalian penyakit Rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan
eliminasi anjing secara selektif dan tertarget terutama anjing liar/diliarkan, serta
program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan penular Rabies (HPR).
Vaksinasi merupakan cara yang paling efektif untuk pencegahan dan
pengendalian Rabies. Pemerintah provinsi Bali secara rutin telah melakukan
vaksinasi massal terhadap HPR .Seiring dengan pelaksanaan vaksinasi Rabies
massal Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar melakukan serosurveilans
Rabies di provinsi Bali.
.
Hasil serosurveilans Rabies BBVet Denpasar tahun 2015 di provinsi Bali
menunjukkan persentase seropositif Rabies sebesar 47.3%. Sedangkan
persentase seropositif Rabies di provinsi NTT hanya 27.4% (Agustini, et.al.,
250
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
2015). Angka tersebut masih di bawah standar yang dipersyaratkan OIE dan hal
ini sangat berpotensi menyebabkan terjadinya kasus Rabies. Sehubungan
dengan hal tersebut Dinas Peternakan provinsi Bali dan NTT melakukan
vaksinasi massal Rabies pada HPR pada tahun 2016.
1.2. Rumusan Masalah1. Dalam rangka pengendalian Rabies pemerintah provinsi Bali dan NTT telah
melakukan vaksinasi massal Rabies namun belum diiketahui secara pasti
titer antibodi yang terbentuk pascavaksinasi
2. Secara historis provinsi NTB merupakan daerah bebas Rabies, namun
mengingat adanya lalu lintas HPR ilegal, maka perlu dipantau situasi Rabies
di NTB
1.3.Tujuan KegiatanKegiatan serosurveilans ini bertujuan untuk
1. Mengetahui profil antibodi pascavaksinasi Rabies di provinsi Bali dan NTT
2. Mengetahui gambaran serologis dan situasi Rabies di provinsi NTB
3. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit
Rabies sebagai dasar penentuan program surveilans selanjutnya
1.4. Manfaat KegiatanManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah:
1. Diiketahuinya profil antibodi pascavaksinasi Rabies di Bali dan NTT
2. Diketahuinya gambaran serologis dan situasi Rabies di provinsi NTB
1.5. Keluaran/OutputOutput yang diharapkan dari kegiatan serosurveilans ini adalah :
1. Tersedianya data dan informasi tentang profil antibodi yang terbentuk
pascavaksinasi Rabies , terkait dengan upaya pembebasan penyakit Rabies
di provinsi Bali
2. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Rabies di NTB dalam rangka
mempertahankan status NTB tetap bebas Rabies.
251
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
II. MATERI DAN METODE
2.1. Materi2.1.1 BahanBahan yang digunakan pada pelaksanaan surveilans Rabies ini meliputi : KIT
ELISA Rabies produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya.
2.1.2. AlatAlat yang digunakan untuk surveilans meliputi : spuite disposible 3 ml, , tabung
effendorf 2 ml , multichanel pipet, micropipet, microtip pipet 300 ul dan 1000 ul,
TOTAL 1359 818 60.2Sumber Data : Bagian Epidemiologi Balai Besar Veteriner Denpasar.
255
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
0
50
100
150
200
250
300
350
400
Jumlah sampel
Jumlah Positif
% positif
Grafik 1Hasil seropositif Rabies di Kabupaten/kota Provinsi Bali Tahun 2016
Tabel 4. Hasil Serosurveilans Rabies di Provinsi NTT Tahun 2016
No Kabupaten/ kotaJumlahsampelserum
Jumlahseropositif
Persentaseseropositif
1 Ende 100 60 60
2 Flores Timur 101 19 19
3 Ngada 151 52 34
4 Sikka 31 12 39
5 Manggarai Timur 104 74 71
Total 487 217 45
Sumber Data : Bagian Epidemiologi Balai Besar Veteriner Denpasar.
256
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Grafik 2Hasil seropositif Rabies di Provinsi NTT Tahun 2016
68.3
43.947.3
60.2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016
% seropositif
% seropositif
Grafik 3Persentase seropositif Rabies di Bali tahun 2013-2016
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Ende FloresTimur
Ngada Sikka ManggaraiTimur
Jumlah sampel serum
Jumlah seropositif
Persentase seropositif
257
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
IV. PEMBAHASAN
Vaksinasi merupakan program pilihan utama dalam pengendalian dan
pemberantasan Rabies di Indonesia , karena vaksinasi Rabies akan
merangsang sistim imun membentuk antibodi sehingga mampu memberikan
proteksi pada HPR terhadap infeksi Rabies.
Vaksinasi massal Rabies yang dilakukan di Provinsi Bali tahun 2016 mampu
merangsang terbentuknya antibodi terhadap Rabies. Hal ini dibuktikan dengan
terjadinya peningkatan persentase seropositif Rabies di provinsi Bali tahun
2016 dibandingkan dengan tahun 2015 yaitu dari 47.3% menjadi 60,2%.
Hasil serosurveilans Rabies tahun 2016 menunjukkan terjadi peningkatan titer
antibodi dari pre dan pascavaksinasi. Hasil uji ELISA terhadap 266 sampel
serum menunjukkan rata-rata titer antibodi pre vaksinasi sebesar 1.5 IU/ml
meningkat menjadi 4.5 IU/ml setelah dilakukan vaksinasi. Hasil Ini
mengindikasikan bahwa vaksin Rabies mampu merangsang respon imun untuk
membentuk antibodi
Hasil serosurveilans 2016 menunjukkan tidak semua anjing yang divaksinasi
menghasilkan antibodi protektif. Hal ini diduga kuat dipengaruhi oleh : status gizi
dan managemen pemeliharaan yang kurang baik. Mayoritas sampel serum
yang diperiksa di laboratorium berasal dari anjing lokal (anjing Bali) dengan
sistem pemeliharaan sebagian besar diliarkan, dengan makanan seadanya
sehingga kebutuhan gizinya tidak terpenuhi. Selain itu ada dugaan rendahnya
persentase seropositif Rabies dipengaruhi oleh interval waktu pelaksanaan
vaksinasi dengan pengambilan sampel serta tidak validnya data tentang
pelaksanaan vaksinasi.
Menurut Widodo, 2009 perbedaan respon antibodi hasil vaksinasi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : kondisi tubuh hewan , status gizi,
status imun host, kualitas dan kuantitas vaksin serta lingkungan. Selain itu
perbedaan respon antibodi yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh faktor individu
258
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
dan pengaruh stres akibat perlakuan pada saat pelaksanaan vaksinasi, sistim
penanganan vaksin (transportasi dan penyimpanan (cold chain system).
(Suprapto, 2008). Menurut WHO, 1998 komponen cold chain (sistem rantai
dingin) meliputi : peralatan untuk penyimpanan dan transportasi vaksin, prosedur
pengelolaan, program dan kontrol distribusi vaksin .
Ada kecenderungan titer antibodi lebih tinggi pada anjing yang sudah pernah
divaksinasi dibandingkan dengan anjing yang baru divaksinasi pertama kali .
Hal ini sesuai dengan Simani et al., 2004 yang menyatakan bahwa booster
penting dilakukan untuk mempertahankan titer antibodi protektif . Hal ini juga
sesuai dengan yang di laporkan oleh Wilde dan Tepsumethanon (2010), bahwa
satu dosis vaksin tidak menghasilkan antibodi neutralisasi yang lama sehingga
perlu dilakukan booster. Sistem pemeliharaan anjing di Bali kebanyakan masih
diliarkan sehingga menyebabkan pelaksanaan vaksinasi ulangan secara massal
sangat sulit dilakukan. Kesulitan tersebut meliputi kesulitan melakukan
penangkapan anjing, karena aplikasi vaksin Rabies umumnya melalui suntikan.
Berdasarkan fakta tersebut perlu dipikirkan atau dicarikan alternatif penggunaan
vaksin Rabies lainnya yang lebih mudah aplikasinya namun mampu memberikan
kekebalan lebih lama terutama untuk anjing-anjing yang diliarkan/tidak diikat.
Anjing yang diliarkan perlu mendapatkan vaksinasi Rabies karena anjing
tersebut mempunyai potensi sangat besar untuk menyebarkan Rabies. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soeharsono (2007), bahwa anjing
liar/anjing geladak (stray dogs) merupakan pelestari Rabies yang potensial
karena hidup bebas sehingga sangat berpotensi menyebarkan Rabies ke
hewan lain, bahkan juga ke manusia.
Hasil serosurveilans Rabies di provinsi NTB menunjukkan satu sampel
seropositif Rabies namun setelah dikonfirmasi dengan uji FAT terhadap sampel
otak anjing tersebut menunjukkan hasil negatif virus Rabies. Adanya seropositif
tersebut dapat terjadi karena reaksi positif palsu yang disebabkan oleh
spesifisitas KIT ELISA Rabies yang digunakan kurang dari 100%. Hasil
penelitian Dartini. 2011 menemukan bahwa spesifisitas KIT ELISA Rabies
Pusvetma hanya 73.5%. Rendahnya spesifisitas ini diduga kuat menyebabkan
259
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
terjadinya positif palsu karena antigen yang digunakan pada KIT ELISA tersebut
berasal dari whole virus Rabies.
Hasil serosurveilans Rabies di provinsi NTT tahun 2016 menunjukkan terjadi
peningkatan persentase seropositif Rabies.bila dibandingkan dengan persentase
seropositif tahun 2015. Hal ini disebabkan karena adanya vaksinasi massal
Rabies yang dilakukan oleh Dinas Peternakan bekerjasama dengan FAO.
Walaupun dilakukannya vaksinasi massal namun masih banyak anjing yang
belum menunjukkan titer antibodi protektif. Rendahnya titer antibodi yang
terbentuk diduga kuat karena anjing-anjing yang diambil sampel serumnya
tersebut baru pertama kali divaksinasi sehingga tidak mampu menghasilkan titer
antibodi protektif. Keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia masih menjadi
kendala utama dalam pelaksanaan vaksinasi di NTT sehingga tidak bisa
mengcover semua populasi yang ada. Selain itu kurangnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat terhadap pentingnya vaksinasi Rabies pada HPR, faktor
tofografi NTT yang sangat sulit dijangkau, juga berpengaruh terhadap
keberhasilan pelaksanaan vaksinasi Rabies di NTT. Mengingat vaksinasi
merupakan faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan pemberantasan
Rabies maka perlu diupayakan penggunaan vaksin Rabies oral terutama pada
anjing-anjing yang diliarkan /tidak diikat, sehingga membantu dalam
meningkatan persentase cakupan vaksinasi.
260
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
V. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULANBerdasarkan hasil serosurveilans dapat disimpulkan :
Vaksinasi menyebabkan terjadinya peningkatan titer antibodi yang signifikan
antara pre dan pascavaksinasi yaitu dari 1.5 IU/ml menjadi 4.6 IU/ml.
Persentase seropositif Rabies di provinsi Bali tahun 2016 sebesar 60.2%
sedangkan untuk provinsi NTT hanya 45%
Sampai saat ini provinsi NTB masih bebas penyakit Rabies.
SARAN
Mengingat persentase seropositif Rabies di Bali dan NTT masih di bawah
70% maka perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) pada anjing yang
memiliki titer antibodi dibawah 0.5 IU/ml.
Vaksinasi massal Rabies secara periodik perlu dilakukan sehingga mampu
meningkatkan kekebalan kelompok (herd immunity)
Perlu digunakan vaksin Rabies oral untuk mempermudah pelaksanaan
vaksinasi pada anjing yang diliarkan atau tidak diikat,
Sosialisasi tentang bahaya Rabies, pengawasan lalu lintas HPR dan
pengendalian populasi perlu dilakukan untuk mempertahankan provinsi
NTB tetap bebas Rabies
VI. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar atas kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan
serosurveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan kabupaten/kota se-provinsi Bali , Kepala Dinas Peternakan
Kabupaten Ende, Flores Timur, Sikka, Ngada dan Manggarai Timur beserta staf,
serta kepada Medik dan Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar
yang telah membantu dalam pengambilan dan pengujian sampel.
261
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous 2010. Laporan Penanggulangan Rabies Provinsi Bali
Agustini, N.L.P., Dilasdita K.P., dan Melyantono, S., 2015. Laporan Teknis SerosurveilansRabies di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur Tahun2015. Laporan Teknis Hasil Surveilans , Monitoring dan Pengembangan Metode UjiBalai Besar Veteriner Denpasar Tahun 2015. Hal : 201-216
Chiliquet, F.Verdier ,Y. , Sagne,L.Aubert,M. Schereffer, J.L. 2003. Neutralising antibody titrationin 25,000 sera of dogs and cats vaccinated against Rabies in France, in the frameworkof the new regulationsthat offer an alternative to quarantine.
Cliquet, F,. Wasniewski ,M. Guiot ,A.,L., 2007.Comparison of antibody responses aftervaccination with two inactivated Rabies vaccines,
Dartini, N,L. 2011. Profil Imun Respon Terhadap Rabies dan Analisis Genetik dan Gen PenyandiGlikoprotein Virus Rabies Isolat Bali. Kumpulan Thesis Program Pascsarjana UniversitasUdayana
.Fischer, M., Wemike, K., Freuling, C.M. Muller, T., Avylan, O., Brocher, B., Cliquet, F., Vasquez-
Maron, S., Hostnik, P., Huovialanen, A., Isakson, M., Kooi, E.E., Mooney, J., Turcitu, M.,Rasmussen, T.B., Revila-Fernandez, S., Sunreczak, W., Fooks, A.R., Maston, D.A.,Beer, M., Hoffman, B. 2013. A step Forward in molecular diagnostic of LyssavirusesResult of a Ring Trial among European Laboratories PLOS ONE. Vol 8 Issue 3E5.
Menteri Pertanian. 2008. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1/Kpts/PD640/12.2008. Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies) diKabupaten Badung, Provinsi Bali.
Murphy, F.A. Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C, and Studdert, M.J. 2009. Rhabdoviridae in VeterinatyVirology, 3nd Ed. 429-439
Putra, A.A.G. , Gunata, I.K., Faizah., Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji,G., Putra, A.A.G.,Soegiarto dan Scott-Orr. H. 2009. Situasi Rabies di Bali Enam Bulan Pasca ProgramPemberantasan . Buletin Veteriner . Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol.: XXI, 74: 13-26.
Simani S., A.Amirkhani, F.Farahtaj, B.Hooshmand, A.Nadim, J.Sharifion,N.Howaizi, N.Eslami,A.Gholami, A.Janami, and A.Fayas. 2004. Evaluation of The Effectiveness of PreExposure Rabies Vaccination in Iran. Arch Med.7(4) : 251-255.
Soeharsono.2007. Penyakit Zoonotik Pada Anjing dan Kucing. Edisi 1. Penerbit KanisiusJogyakarta.
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I.G.A.J dan Diarmita, I.K. 2014. Surveilans danmonitoring agen Penyakit Rabies Pada Anjing Di Provinsi Bali, Nusa Tenggara BaratDan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013. Buletin Veteriner. alai Besar Veteriner Denpasar. Vol. XXVI, No. 84. Edisi Juni 2014. Hal :46-59
Tepsumethanon V., B.Lumlertdacha, C. Mitmoonpitak, V.Sitprija, F.X. Meslin,and H.Wilde. 2010.Survival of Naturally Infected Rabid Dogs and Cats.Brief Report. Clinical InfectiousDiseases. 39 : 278-280
.WHO, Guidelines for dog Rabies control, WHO/VPH/ 83.43 Rev.1, 1987
Suprapto H. 2008. Vaksinasi sebagai usaha pencegahan penyakit pada ikan. Orasi IlmiahGuru Besar Universitas Airlangga, Surabaya
Widodo J. 2009. Imunologi Vaksin. Chlidren Allergy Centre
262
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS DAN MONITORING HOG CHOLERADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA
TIMUR TAHUN 2016
Dibia, I N., Melyantono, S.E., Abioga, D. P., Purnatha, N.,Suryadinata, L. M. F., Kurniawan, F. R.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilakukan surveilans di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT yang bertujuan untukmendeteksi antigen / kasus dan mengetahui proporsi seropositive antibodi Hog Cholera, baikpada babi yang divaksinasi maupun yang terindikasi terinfeksi penyakit ini. Pengujian dilakukandengan metode Elisa antibodi dan antigen capture dengan menggunakan Kit Elisa Hog Cholera.Hasil dari pengambilan sampel diperoleh sebanyak 441 sampel PBMC darah babi dari wilayahprovinsi Bali. Seluruh sampel tersebut menunjukkan hasil negatif virus Hog cholera. Untuk diprovinsi NTB diperoleh sebanyak 163 sampel PBMC darah babi dan semua sampelmenunjukkan hasil negatif virus Hog cholera. Sedangkan untuk provinsi NTT diperoleh sebanyak176 sampel PBMC darah babi dan tiga sampel (1,7 %) diantaranya menunjukkan hasil positifvirus Hog cholera. Sementara kegiatan pengambilan sampel serum babi juga dilakukan untukmendeteksi antibodi Hog cholera. Jumlah sampel yang diperoleh di provinsi Bali sejumlah 558sampel serum babi dan 195 sampel (34,95%) diantaranya positif antibodi Hog cholera. Untuk diprovinsi NTB, dari 328 sampel serum yang diuji semuanya negatif antibodi Hog cholera.Sementara di provinsi NTT diperoleh hasil 138 dari 452 sampel (30,53%) positif antibodi Hogcholera.
Kata kunci: Hog cholera. antigen capture. antibodi Elisa
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Classical Swine Fever atau (HC) merupakan penyakit hewan yang sangat
menular pada babi yang disebabkan oleh virus HC dari genus Pestivirus
(Ressang, 1986). Virus HC merupakan virus RNA berukuran kira kira 38-44 nm,
berbentuk bundar dan memiliki amplop (selubung). Virus HC stabil pada pH 5-
10. Virus HC juga diketahui bersifat imunosupresif. Masa inkubasi pada
umumnya berkisar antara 3- 6 hari dan viremia terjadi segera setelah beberapa
jam virus HC menginfeksi babi. Babi merupakan satu satunya hewan yang
rentan terhadap HC. Hog Cholera ditularkan terutama melalui kontak langsung
antara babi sakit dan sehat, juga melalui sekreta dan ekskreta yang segar baik
263
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
secara langsung maupun tidak langsung. Penyebaran penyakit dipercepat
dengan perpindahan babi sakit ke daerah baru. Kendaraan dan peralatan yang
tercemar juga dapat menularkan virus HC dari satu peternakan ke peternakan
lainnya. Disamping itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak babi yang
dipotong untuk konsumsi pada stadium permulaan penyakit. Pada stadium ini
organ tubuh mengandung kosentrasi virus yang cukup tinggi dan virus ini dalam
daging segar dapat tahan hidup untuk jangka waktu yang panjang. Hog Cholera
sering ditularkan melalui limbah cucian daging yang berasal dari pemotongan
babi yang terinfeksi yang diberikan pada ternak babi lainnya. Tingkat morbiditas
dan mortalitas dapat mencapai 95 – 100%. Penyakit dapat terjadi secara akut
tetapi dapat juga menjadi kronis. Tanda klinis yang pertama terlihat ialah babi
tampak lesu, nafsu makan menghilang, depresi, demam tinggi hingga 41O C,
muntah, dan diare yang berseling dengan konstipasi. Perubahan warna kulit
merah kebiruan dapat ditemukan pada pangkal telinga dan pada daerah perut.
Pada stadium lanjut akan tampak gejala saraf, dimana babi terlihat terhuyung-
huyung, kejang lalu rebah dengan kaki bergerak gerak seperti mendayung
sepeda (Dharma dan Putra, 1997).
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 4026/Kpts/OT.140/4/2013
tentang penetapan jenis penyakit hewan menular strategis (PHMS), Hog
Cholera termasuk dalam 25 jenis penyakit hewan menular strategis yang
menjadi prioritas nasional dalam pengendalian dan penanggulangan di
Indonesia (Direktorat Kesehatan Hewan, 2015). Ternak babi di wilayah kerja
Balai Besar Veteriner Denpasar, pada umumnya dikembangkan sebagai
peternakan rakyat dan memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi yang tinggi.
Sejak tahun 1995 sampai saat ini peternakan babi di Bali dan NTT masih
terkendala dengan adanya letupan kasus Hog Cholera. Sedangkan di Pulau
Lombok Provinsi NTB kasus HC sudah tidak pernah dilaporkan dalam 5 tahun.
264
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut;
1. Bagaimana aras Hog Cholera di Provinsi Bali dan Provinsi NTT.
2. Apakah virus Hog Cholera masih terdeteksi di P. Lombok, Provinsi NTB.
Tujuan kegiatan1. Mengetahui aras Hog Cholera di Provinsi Bali dan Provinsi NTT.
2. Mendeteksi keberadaan virus Hog Cholera di P. Lombok, Provinsi NTB.
Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi
ilmiah aras Hog Cholera di Provinsi Bali dan NTT dan keberadaan agen
penyebab Hog Cholera di P. Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, sehingga
dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka pencegahan, pengendalian
dan pemberantasannya.
Out putTermonitornya Hog Cholera yang ada di Propinsi Bali, dan Nusa Tenggara
Timur, serta tersedianya data sebagai pijakan awal program pembebasan pulau
Lombok NTB.
Out comeTerwujudnya lingkungan ternak bebas Hog Cholera di Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
ANALISA RISIKO HOG CHOLERA DI BALI, NTB DAN NTT
Hog Cholera merupakan penyakit yang sangat signifikan secara ekonomi.
Penyakit ini cepat menyebar dalam populasi babi dan dapat menyerang segala
umur. Besarnya dampak Hog Cholera terhadap populasi babi yang rentan tidak
hanya mempengaruhi industri babi secara local, namun juga internasional
melalui pembatasan perdagangan antar Negara. Karena dampak internasional
ini, Hog Cholera termasuk salah satu penyakit yang harus dilaporkan menurut
OIE. Beberapa faktor risiko penyebaran Hog Cholera di Bali, NTB dan NTT
265
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
antara lain manajemen kesehatan hewan belum terimplementasikan secara
optimal, pengawasan lalu lintas ternak babi (pergerakan babi) masih lemah,
pencampuran babi di setiap rantai pasar, status biosekuriti terbatas, dan
minimnya manajemen produk peternakan babi dan hasil sampingannya (by
product).
ANALISA RISIKO KEGIATAN
Pada kegiatan surveilans / monitoring HC diwilayah kerja BBVet Denpasar dapat
diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring HC di Wilayah Kerja Balai BesarVeteriner Denpasar.
No Risiko Solusi
1 Jadwal pengambilan sampel tidaksesuai
Melakukan koordinasi dengandinas peternakan atau yangmenangani peternakan dankesehatan hewan terkaitkepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikandengan kegiatan lain pada Dinas /instansi terkait.
2 Target sampel tidak terpenuhi Melakukan koordinasi dengandinas terkait sehingga jumlahsampel minimal terpenuhi.
3 Rusaknya sampel akibat tidaktersedianya sarana penyimpananyang layak (pendingin)
Berkoordinasi dengan dinassetempat untuk dapat menitipkansampel yang diperoleh padakulkas atau freezer, untukselanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan coolerbox beserta ice pack sehinggasampel masih tetap baik sampaidi laboratorium.
4 Bahan pengujian belum tersedia Berkomunikasi secara intensifdengan tim pengadaan barangdan jasa BBVet Denpasar terkaitketersediaan bahan pengujian
266
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alatpengujian yang rusak. Untuksementara waktu dapatmenggunakan alat yang sama dilaboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaranpengujian.
II. MATERI DAN METODE
MateriBahan : Serum dan PBMC babi
Kit Elisa Hog Cholera (VDProCSFV)
Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum
venoject, handle, mikrotube 2 ml, tips, mikropipet, dan elisa reader.
Metode Sampling
Sampel yang diambil pada kegiatan surveilans HC di provinsi Bali dan NTT
adalah ternak babi pada peternakan tradisional. Besaran sampel yang diambil
menggunakan rumus mengukur aras atau Meassure of prevalence (Martin et al,
1987) yakni n = 4PQ/L2 . Dengan tingkat konfidensi 95% dan galat yang
diinginkan 0,1 serta asumsi prevalensi untuk Bali 44,65 %, sementara asumsi
prevalensi untuk NTT 25,11% (Hartawan et al., 2015) maka diperoleh jumlah
sampel n = 99 sampel (Bali), dan n = 75 sampel (NTT). Sedangkan sampel di
pulau Lombok NTB menggunakan rumus Detect Disease (Martin et al, 1987).
Dengan asumsi prevalensi sebesar 1 %, tingkat kepercayaan 95 % maka
diperoleh hasil penghitungan jumlah sampel sebanyak 299 sampel di seluruh
pulau Lombok.
267
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Prosedur Uji
Prosedur uji Elisa HC Antigen
Darah babi diambil dari vena jugularis menggunakan tabung yang berisi EDTA.
Kemudian darah disentrifus dengan kecepatan 2.500 rpm selama 10 menit.
Kemudian ambil sebanyak 1 ml lapisan leukosit dengan menggunakan pipet dan
tambahkan sebanyak 0.5 ml. Sentrifus larutan tersebut dengan kecepatan 3000
rpm selama 1 menit dan buang supernatant. Kemudian tambahkan pellet ke
dalam 300 µl STB 1x, vortex dan inkubasi selama 1 jam di suhu ruangan,
kemudian sentrifus sampel dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit dan
gunakan supernatant untuk uji. Inkubasi semua komponen kit pada suhu
ruangan. Buka tutup plate dari tempatnya, selanjutnya masukkan 50 µl dilution
buffer ke setiap well. Masukkan 50 µl sampel, kontrol positif dan kontrol
negative ke dalam well yang telah berisi dilution buffer (1:2). Tutup plate dan
inkubasi selama 90 menit atau semalaman pada suhu ruangan. Setelah
inkubasi, cuci setiap well sebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per
well) dan buang konten dalam well setiap tahap pencucian. Setelah itu,
tambahkan 100 µl konjugat HRPO anti-CSFV (CSFV-CAB) ke dalam setiap well.
Tutup plate dan inkubasi selama 60 menit pada suhu ruangan. Cuci setiap well
sebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per well) dan buang konten
dalam well setiap tahap pencucian. Tahap elanjutnya, tambahkan 100 µl TMB
Substrat ke dalam setiap well dan tutup plate dan inkubasi selama 10 menit
pada suhu ruangan. Amati densitas perkembangan warna pada kontrol negative.
Stop reaksi enzymatic dengan menambahkan 50 µl stop solution ke setiap well
dan baca pada panjang gelombang 450 nm. Validasi dan hitung hasilnya
Interpretasi hasil
Hitung % kompetisi (%PC) sampel menggunakan rumus sebagai berikut:
(OD sampel - Rata-rata OD Kontrol negatif)PI = x 100
(Rata-rata OD Kontrol positif - Rata-rata OD Kontrol negatif)
268
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan provinsi Bali, NTB dan NTT
diambil sejumlah 1338 sampel serum babi. Dari Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan hasil 333 dari 1338 sampel serum babi positif antibodi Hog cholera
(24.88 %) di provinsi Bali, NTB dan NTT. Untuk di provinsi Bali diperoleh hasil
195 sampel dari 558 sampel serum positif antibodi Hog cholera (34.94 %). Untuk
di provinsi NTB diperoleh hasil 0 dari 328 sampel serum positif antibodi Hog
cholera (0%). Sementara di provinsi NTT diperoleh hasil 138 dari 452 sampel
positif antibodi Hog cholera (30.53 %).
IV. PEMBAHASAN
Pada tahun 2016 di Provinsi Bali tidak terdeteksi positif virus HC sedangkan
untuk deteksi antibodi mencatat ada 195 sampel seropositif HC dari 558 sampel.
Tidak diketahui secara pasti apakah hasil positif antibodi ini disebabkan karena
pemberian vaksinasi anti Hog Cholera atau karena infeksi alam oleh virus Hog
Cholera. Sehingga hasil ini tidak bisa digunakan sepenuhnya untuk menilai
pelaksanaan vaksinasi terkait upaya pengendalian dan atau pemberantasan.
Hasil surveilans pada tahun 2016 di Provinsi NTT menunjukkan hasil positif virus
HC di Kab. Saburaijua (1 sampel terdeteksi positif virus HC), di Kab. Sumba
Barat pun diperoleh hasil 2 sampel positif virus HC. Tahun 2016 Pemerintah
Provinsi NTT melakukan Program vaksinasi HC, sesuai data pengambilan
sampel pada tahun 2016 diperoleh 126 sampel dari 229 sampel memiliki status
vaksinasi HC (55.02%).
Kasus Hog Cholera di Provinsi NTT dilaporkan pertama kali tahun 1998 di desa
Tarus, Kabupaten Kupang dan tahun 1999 dilaporkan juga terjadi di Pulau Sabu,
Rote, Sumba dan terus menyebar ke Pulau Alor dan Pantar tahun 2002.
Wabah terakhir dilaporkan di Lembata tahun 2011 akibat tingginya lalu lintas
perdagangan babi antar pulau di NTT. Hog cholera cendrung bersifat endemis di
kabupaten Sabu Raijua. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada
tahun 2012 dan 2013 melaporkan adanya kasus Hog Cholera di Kabupaten
Sabu Raijua masing-masing 19 dan 3 kasus. Sementara pada tahun 2014 tidak
273
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
ada laporan adanya kasus kematian ternak babi akibat HC. Munculnya kasus
Hog Cholera di kabupaten Sabu Raijua tahun 2015 tidak lepas dari beberapa
faktor antara lain: kebanyakan ternak babi dipelihara dalam keadaan bebas
berkeliaran, hanya sedikit ternak babi dipelihara dalam kandang. Banyaknya
babi yang diantarpulaukan melalui pelabuhan Seba, Sabu Barat yang berasal
dari Kupang, Ende, dan Rote Endao yang merupakan daerah endemis Hog
Cholera. Kurang lebih ada sebanyak 50 ekor babi ke luar/masuk pelabuhan
Seba setiap dua minggu yang lebih banyak untuk kepentingan adat (Drh. Wayan
Rudi, mantan petugas Karantina Hewan dan Tumbuhan kabupaten Sabu
Raijua). Disamping itu realisasi vaksinasi Hog Cholera di kabupaten Sabu Raijua
masih rendah. Rata-rata realisasi vaksinasi Hog Cholera setiap tahunnya
berkisar 6.996 dosis sedangkan populasi ternak babi di Kabupaten Sabu Raijua
berkisar 25.987 ekor. Kalau pelaksanaan vaksinasi Hog Cholera sesuai dengan
rencana, ini berarti bahwa cakupan vaksinasi Hog Cholera di kabupaten Sabu
Raijua baru mencapai 26,92%. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak ternak
babi yang belum memperoleh vaksinasi Hog Cholera. Untuk melindungi
peternakan babi dari Hog Cholera cakupan vaksinasi di daerah tersebut perlu
terus ditingkatkan sehingga terbentuk herd immunity yang mampu melindungi
populasi dari infeksi Hog Cholera.
Pada tahun 2012, NTB pernah terdeteksi positif virus HC di Kabupaten Lombok
Utara dan Mataram (Hartawan et al., 2012), akan tetapi di tahun 2013 sampai
2016, hasil pengujian dari Balai Besar Veteriner Denpasar menunjukkan hasil uji
negatif dan seronegatif untuk masing-masing uji. Penurunan atau tidak adanya
kasus penyakit HC di Nusa Tenggara Barat kemungkinan karena jumlah
peternak babi di NTB relative sedikit mengingat sosioreligi masyarakat daerah
NTB yang mayoritas beragama muslim.
274
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan1. Proporsi hasil positif deteksi virus Hog cholera tahun 2016 di provinsi NTT
sebesar 1.7%, sedangkan provinsi Bali dan NTB tidak terdeteksi sampel
yang positif virus Hog cholera (0 %).
2. Proporsi hasil positif antibodi Hog cholera pada tahun 2016 di Provinsi di
Bali 34.95 %, NTB sebesar 0 %, dan di NTT 30.53 %.
3. Antigen Hog cholera masih terdeteksi di Provinsi NTT yaitu di Kecamatan
Sabu Barat, Kabupaten Saburaijua dan di Kec. Kota Waikabubak,
Kabupaten Sumba Barat.
Saran1. Surveilans untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya infeksi maupun melalui
indikator antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar agar tetap dilaksanakan terutama untuk wilayah yang tidak
melakukan program vaksinasi seperti di provinsi NTB. Hal tersebut juga
untuk melihat kemungkinan dilakukan upaya pembuktian wilayah NTB
sebagai wilayah bebas penyakit Hog cholera.
2. Pada peternakan yang terdeteksi positif virus Hog cholera disarankan untuk
melakukan vaksinasi Hog cholera dan pengawasan lalu lintas ternak babi
secara ketat serta mengimplementasika prinsip prinsip biosecurity.
3. Mengembangkan sistem surveilans sindromik yang akan diusulkan untuk
dilakukan pada tahun selanjutnya dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas
surveilans yang lebih tinggi untuk dapat mendeteksi virus Hog cholera.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta
staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan
surveilans Hog Cholera, sehingga surveilans dapat dilaksanakan dengan baik.
275
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA.
Dharma, D.M.N dan Putra, A.A.G (1997). Penyidikan Penyakit Hewan. Bali Media.
Direktorat Kesehatan Hewan (2015). Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan ClassicalSwine Fever. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
Hartawan, D. H. W., Dewi, A. A. S., Purnatha, N., Sutami, N., Suryadinata, L. (2012). DeteksiAntigen Seroprevalensi Penyakit Hog Cholera di Bali dan Nusa Tenggara Timur.Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar.
Hartawan, D. H. W.,Dibia, I N. ., Laksmi, L. K. N., Pitriani, K., Abiyoga, P. D., Suryadinata, L. M.F, Sutami, N., Purnatha, N., Kurniawan.,F.R. (2015). Surveilans Penyakit Hog Cholera diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun 2015. LaporanTeknis Balai Besar Veteriner Denpasar.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods : veterinaryEpidemiology. IOWA State University Press. USA.
Ressang, A. A. (1986). Penyakit Viral pada Hewan. UI-press. Jakarta.
276
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DAN KUKUDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA
TIMUR TAHUN 2016
Dibia, I N., Melyantono, S.E., Abioga, D. P., Purnatha, N.,Suryadinata, L. M. F., Kurniawan, F. R.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Deteksi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) telah dilakukan melalui surveilans dan monitoring diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selama surveilans berhasildikumpulkan sampel sebanyak 386 sampel serum di provinsi Bali dan 302 sampel serum diNusa Tenggara Barat dan 329 sampel serum di Nusa Tenggara Timur. Hasil pengamatan danpemeriksaan selama pelaksanaan surveilans, tidak ditemukan ternak sapi dan babi yangmenunjukkan gejala klinis PMK. Demikian pula hasil uji dengan metode ELISA menggunakanPriocheck FMDV NS Elisa Kit menunjukkan semua sampel serum negatif antibodi PMK. Dapatdisimpulkan bahwa provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tetap bebasPMK.
Kata Kunci : Deteksi, Penyakit Mulut dan Kuku, Elisa.
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit Mulut dan Kuku adalah penyakit viral yang sangat menular dan
menyerang semua hewan berkuku belah/ genap seperti sapi, kerbau, kambing,
domba dan babi. PMK disebabkan oleh virus yang termasuk genus Aphthovirus
dari family Picornaviridae, berukuran sangat kecil yaitu sekitar 20 milimikron.
Virus PMK terdiri dari 7 serotipe yaitu: O, A, C, SAT-1, SAT-2, SAT-3, dan Asia-
1 (Ressang, 1986). Penyakit ditularkan melalui kontak langsung antara hewan
sakit dengan yang sehat atau secara kontak tidak langsung melalui makanan
yang tercemar (terutama peternakan yang mempraktekan swill feeding) atau
melalui lalu lintas bahan bahan lain yang tercemar. Masa inkubasi PMK pada
umumnya antara 2-5 hari atau lebih. Penyakit ini ditandai dengan adanya
pembentukan vesikel / lepuh dan erosi pada mukrosa mulut, lidah, gusi, nostril,
277
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
ambing, dan pada kulit diantara kuku (Donaldson, 1993). Pada hewan
ruminansia dapat membawa virus setelah sembuh dan virus tetap persisten
dalam faring sapi selama 3 tahun.
Kejadian PMK di daerah bebas akan bersifat epidemik / mewabah. Tingkat
morbiditas PMK sangat tinggi yakni dapat mencapai 100% tetapi tingkat
kematian penderita sangat rendah. Meskipun demikian kerugian yang
ditimbulkan sangat besar yakni terjadi penurunan berat badan, penurunan
produksi susu, dan hambatan lalu lintas ternak.
Pada tahun 1986, pemerintah menyatakan Indonesia bebas PMK melalui SK
Mentan 260/1986, selanjutnya OIE mengirim tim ahli ke Indonesia dan secara
resmi diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia atau Office International
des Epizooties (OIE) pada tahun 1990 seperti tercantum dalam resolusi OIE No.
XI tahun 1990. Masuknya PMK ke Negara bebas pada umumnya melalui
importasi daging atau importasi ternak. Mengingat Indonesia setiap tahun masih
mengimport daging beku atau sapi bakalan maka masuknya PMK perlu
diwaspadai. Disamping itu, wilayah kerja BBVet Denpasar pada umumnya
dikenal sebagai daerah tujuan wisata dunia sehingga tingginya arus lalu lintas
manusia dari daerah tertular PMK ke Indonesia juga berpotensi menyebarkan
PMK. Untuk itu surveilans / monitoring dalam rangka mengevaluasi status bebas
dan deteksi dini penyakit Mulut dan Kuku di wilayah kerja BBVet Denpasar
(Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur ) perlu dilakukan.
Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut; Apakah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur masih bebas Penyakit Mulut dan Kuku ?
278
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tujuan KegiatanMendeteksi virus PMK di wilayah kerja BBVET Denpasar melalui surveilans
sindromik dan uji serologis dengan indikator antibodi untuk membuktikan bahwa
Bali, NTB dan NTT masih bebas PMK.
Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi
ilmiah status PMK di wilayah kerja BBVet Denpasar serta dijadikan bahan
pertimbangan dalam rangka peningkatan kewaspadaan dini terhadap PMK
Out putTermonitornya status bebas penyakit Mulut dan Kuku di Propinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Out comeTerwujudnya lingkungan ternak bebas PMK di Provinsi Bali, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur.
ANALISA RISIKO PMK DI BALI, NTB DAN NTT
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar belum mampu memenuhi
kebutuhan daging sapi / kerbau secara lokal. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, Indonesia harus melakukan importasi baik dalam bentuk daging beku
maupun sapi bakalan. Tingginya arus perdagangan internasional yang masuk
tentunya meningkatkan potensi ancaman masuknya Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK) ke Indonesia termasuk ke wilayah kerja BBVet Denpasar (Bali, NTB dan
NTT). Selama ini sebagian besar wabah PMK di beberapa Negara di dunia
selalu mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan / lalu lintas hewan
dan produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk hewan
tercatat dapat menjadi media pembawa virus PMK antara lain yaitu daging dan
produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll. Selain hewan dan produk
hewan, hijauan pakan ternak, jerami, dan beberapa jenis material lainnya dapat
juga berperan dalam penyebaran PMK. Meningkatnya jumlah penumpang
internasional dari daerah / negara tertular juga merupakan salah satu potensi
279
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
ancaman masuknya PMK yang cukup besar. Berdasarkan hasil kajian peneliti
sebelumnya menyatakan bahwa virus PMK dapat disebarkan oleh orang melalui
sepatu, tangan dan pakaian yang tercemar.
ANALISA RISIKO KEGIATAN
Pada kegiatan surveilans / monitoring PMK diwilayah kerja BBVet Denpasar
dapat diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada Tabel
1.
Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring PMK di Wilayah Kerja Balai BesarVeteriner Denpasar.
No Risiko Solusi
1 Jadwal pengambilan sampel tidaksesuai
Melakukan koordinasi dengandinas peternakan atau yangmenangani peternakan dankesehatan hewan terkaitkepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikandengan kegiatan lain pada Dinas /instansi terkait.
2 Target sampel tidak terpenuhi Melakukan koordinasi dengandinas terkait sehingga jumlahsampel minimal terpenuhi.
3 Rusaknya sampel akibat tidaktersedianya sarana penyimpananyang layak (pendingin)
Berkoordinasi dengan dinassetempat untuk dapat menitipkansampel yang diperoleh padakulkas atau freezer, untukselanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan coolerbox beserta ice pack sehinggasampel masih tetap baik sampaidi laboratorium.
4 Bahan pengujian belum tersedia Berkomunikasi secara intensifdengan tim pengadaan barangdan jasa BBVet Denpasar terkaitketersediaan bahan pengujian
280
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alatpengujian yang rusak. Untuksementara waktu dapatmenggunakan alat yang sama dilaboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaranpengujian.
II. MATERI DAN METODE
Materi
Bahan : Serum hewan peka (sapi dan babi),
Kit Elisa antibodi PMK (PrioCHECK FMDV NS)
Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum
venoject, handle, mikrotube 2 ml, tips, mikropipet, dan elisa reader.
Metodea. Metode sampling
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah serum ternak peka PMK pada
peternakan di wilayah Bali, NTB dan NTT. Surveilans PMK di provinsi Bali, NTB
dan NTT menggunakan rumus Detect present of the Disease (Martin et al,
1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan asumsi
prevalensi adalah 1 %, serta ukuran populasi di masing-masing provinsi di atas
10.000 ekor maka diperlukan 299 sampel untuk mendeteksi setidaknya satu
positif dengan peluang 0,95.
b. Metode pengujianPengujian sampel serum untuk mendeteksi antibodi Non Struktural Protein virus
penyebab PMK akibat infeksi alam (OIE, 2014) menggunakan Kit Elisa antibodi
PMK (Priocheck FMDV NSP), dengan prosedur uji sebagai berikut :
281
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Hari pertama proses pengujian1. ELISA buffer sebanyak 80 µl dimasukkan ke semua well plate yang sudah
dilapisi antigen virus PMK
2. Serum kontrol negatif sebanyak 20 µl dimasukkan ke well A1 dan B1
3. Serum kontrol positif lemah sebanyak 20 µl dimasukkan ke well C1 dan D1
4. Serum kontrol positif sebanyak 20 µl dimasukkan ke well E1 dan F1
5. Sampel serum sebanyak 20 µl dimasukkan ke masing masing well yang
masih kosong.
6. Plate uji ditutup menggunakan penutup yang telah disediakan
7. Plate uji digoyang dengan pelan
8. Plate uji di inkubasi semalaman (16-18 jam) pada suhu 22 °C
Hari kedua proses pengujian1. Plate uji yang telah diinkubasi dikosongkan selanjutnya plate dicuci
menggunakan washing solution sebanyak 6x pencucian masing-masing
200-300 µl/well. Tap plate dengan kuat setelah tahap pencucian yang
terakhir.
2. Konjugat sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells
3. Plate uji ditutup menggunakan penutup yang telah tersedia.
4. Plate uji diinkubasi selama 60 menit pada suhu 22 °C
5. Plate uji yang telah diinkubasi dikosongkan dan cuci plate tersebut
menggunakan washing solution sebanyak 6x pencucian masing masing
200-300 µl/well. Tap plate dengan kuat setelah tahap pencucian yang
terakhir.
6. Substrat chromogen (TMB) sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells
7. Plate uji diinkubasi selama 20 menit pada suhu 22 °C
8. Stop solution sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells
9. Mix semua bagian di wells plate uji untuk di ukur
10. Densitas diukur dengan menggunakan ELISA reader dengan panjang
gelombang 450 nm setelah 15 menit
11. Nilai OD450 dihitung sebagai berikut:
OD450 sampelPI = 100 - x 100
OD450 max
282
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Interpretasi Hasil
1. OD450 max (rata-rata OD450 kontrol negatif harus >1.000
2. Rata-rata persetase inhibisi kontrol positif lemah harus >50%
3. Rata-rata persetase inhibisi kontrol positif harus >70%
4. Bila tidak menemukan kriteria itu, berarti hasilnya tidak terpakai
5. Bila PI ≥50% = seropositif PMK
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Kegiatan pengambilan sampel di wilayah provinsi Bali pada tahun 2016
dilakukan di delapan kabupaten/kota yaitu Bangli, Buleleng, Denpasar, Gianyar,
Jembrana, Karangasem, Klungkung dan Tabanan. Jumlah sampel yang diambil
sejumlah 386 sampel yang terbagi dari seluruh kabupaten yang disampling. Dari
hasil pengujian, semua sampel serum tidak terdeteksi atau negatif antibodi
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) diprovinsi Bali.
Provinsi Kabupaten Kecamatan Seropositif
Seronegatif
JumlahSampel
BALI Bangli Kintamani 0 50 50Buleleng Sawan 0 50 50
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Kegiatan pengambilan sampel di wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
pada tahun 2016 dilakukan di tiga kabupaten/kota yaitu Lombok Barat, Lombok
Tengah dan Kota Mataram. Jumlah sampel yang diambil berjumlah 302 sampel.
Dari hasil pengujian, semua sampel serum tidak terdeteksi atau negatif antibodi
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) diprovinsi Nusa Tenggara Barat .
Provinsi Kabupaten Kecamatan Seropositif
Seronegatif
JumlahSampel
Lombok Barat Kediri 0 50 50Lombok Tengah Jonggat 0 50 50
Praya Barat 0 21 21Praya Tengah 0 26 26Pujut 0 53 53
Mataram Ampenan 0 9 9Sandubaya 0 50 50
NUSATENGGARABARAT
Sekarbela 0 43 43
Total 0 302 302
Sampel yang diuji dari provinsi Nusa Tenggara Timur sejumlah 329 sampel
serum, yang diambil di kabupaten Alor, Belu dan Flores Timur. Dari hasil
pengujian diperoleh hasil semua sampel negatif antibodi Penyakit Mulut dan
Kuku (PMK), seperti Tabel 4.
284
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 4. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) diprovinsi Nusa Tenggara Timur.
Provinsi Kabupaten Kecamatan Seropositif
Seronegatif
JumlahSampel
Alor Alor Barat Daya 0 33 33Kabola 0 17 17Teluk Mutiara 0 53 53
Belu Atambua Barat 0 9 9Atambua Kota 0 8 8Atambua Selatan 0 10 10Kakuluk Mesak 0 24 24LamaknenSelatan 0 10 10Lasiolat 0 10 10Nanaet Duabesi 0 10 10Raihat 0 15 15Tasifeto Barat 0 15 15Tasifeto Timur 0 15 15
FloresTimur Ile Mandiri 0 51 51
NUSATENGGARATIMUR
Larantuka 0 49 49Total 0 329 329
IV. PEMBAHASAN
Penyakit Mulut dan Kuku merupakan penyakit hewan menular yang mempunyai
dampak ekonomi yang sangat besar, antara lain karena kehilangan
produktivitas, pemusnahan ternak terinfeksi, kehilangan peluang ekspor dan
biaya eradikasi. Telah diketahui secara umum bahwa lalu lintas ternak dan
produk asal ternak serta bahan bahan lainnya yang tercemar virus merupakan
sarana penular / pembawa virus PMK atau sumber penular. Oleh karenanya,
terhadap bahan-bahan tersebut di atas pada saat terjadinya wabah atau adanya
ancaman wabah perlu memperoleh pengawasan yang sangat ketat. Beberapa
negara di kawasan Asia Tenggara (Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam,
Laos, dan Kamboja) masih tertular PMK, sehingga selalu menjadi ancaman
yang besar terhadap kemungkinan introduksi PMK ke Indonesia. Mengingat
kejadian PMK di daerah bebas akan bersifat epidemik / mewabah, dan
menyebar sangat cepat serta dapat melintasi batas batas negara, maka perlu
285
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
dicermati secara seksama agar Indonesia yang telah bebas dari PMK tidak
tertular kembali, yang pada akhirnya akan sangat merugikan perekonomian
nasional.
Hasil surveilans dan monitoring Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) oleh Balai
Besar Veteriner Denpasar tahun 2016 di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur menunjukkan tidak ada kasus klinis PMK yang ditemukan
dilapangan dan secara serologis semua sampel serum negatif antibodi Penyakit
Mulut dan Kuku (PMK). Hasil ini mengukuhkan bahwa Bali, Nusa Tenggara
Barat, dan Nusa Tenggara Timur masih tetap bebas Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK). Bebasnya wilayah ini dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) karena telah
dilakukan tindak pencegahan melalui pengawasan lalu lintas/ tindak karantina
yang sangat ketat terhadap pemasukan atau import ternak ruminansia dan
produknya dari negara tertular Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
Surveilans PMK di daerah yang memiliki risiko paling tinggi untuk kemungkinan
masuknya hewan/produk hewan dari negara tertular PMK merupakan kunci
utama dalam rangka mempertahankan status bebas PMK di Indonesia. Untuk
itu, dipandang perlu penguatan system surveilans untuk membangun suatu
sistem deteksi dini (early detection system) yang memiliki sensitivas tinggi
terhadap PMK terutama di daerah / kawasan yang memiliki potensi ancaman
karena penyelundupan hewan atau produk hewan dari negara tertular, dan
lokasi dengan peternakan babi yang pakannya menggunakan sisa hotel (swill
feeding). Disamping itu, dalam rangka mengantisipasi kemungkinan masuknya
PMK ke Indonesia, mengingat beberapa negara tetangga di Asia Tenggara telah
tertular, dipandang perlu segera ditetapkan rencana aksi darurat yang bertujuan
untuk menguraikan prosedur-prosedur yang perlu dilaksanakan, struktur
manajemen dan peran yang harus dijalankan oleh masing-masing pihak yang
terlibat apabila ada dugaan / kasus PMK.
286
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
V. KESIMPULAN DAN SARAN.
KesimpulanBerdasarkan kegiatan surveilans / monitoring PMK oleh BBVet Denpasar pada
tahun 2016 dapat disimpulkan ;
1. Selama pelaksanaan surveilans tidak ditemukan ternak yang menunjukkan
gejala klinis PMK.
2. Dari 1017 sampel serum yang diuji, tidak terdeteksi antibodi PMK (negatif
antibodi PMK).
3. Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur masih tetap
bebas PMK.
Saran
Mengingat ancaman masuknya PMK ke Indonesia sangat tinggi dan
berlangsung setiap saat, maka kegiatan surveilans/ monitoring perlu
dilaksanakan secara berkelanjutan, terutama di daerah-daerah yang berisiko
tinggi dengan metode surveilans yang memiliki sensitivitas yang tinggi
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta
staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan
surveilans penyakit Mulut dan Kuku (PMK), sehingga surveilans dapat
dilaksanakan dengan baik.
287
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Donaldson, A.I (1993). Eidemiology of Foot and Mouth Disease the Curent and New Perspective.Diagnosis and epidemiology of foot and mouth disease in southeast Asia. AciarProceeding No 51, 9-15.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods VeterinaryEpidemiology. IOWA State University Press. USA.
OIE, (2014). Manual Diagnostic and Vaccine for Terestrial, Chapter 2.1.5. Office Internationaldes Epizooties.
Ressang, A. A. (1986). Penyakit Viral pada Hewan. UI-press. Jakarta.
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
PENINGKATAN KOMPETENSI DAN PENGEMBANGAN METODAIDENTIFIKASI BAKTERI Campylobacter jejuni DAN IDENTIFIKASIDAGING TIKUS PADA PANGAN ASAL HEWAN MENGGUNAKAN
TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)( Increasing Competence and Development Method Identification of
Bacteria Campylobacter jejuni and Identification of Rat meat in Foodof Animal Origin using Polymerase Chain Reaction)
Dewi,A.A.S., D.H.W.Hartawan., A.Rachim, Y. Suryawan, P.B.Frimananda
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Bahan pangan yang dikonsumsi manusia harus aman dan layak yang disebut dengan ASUH(Aman, Sehat, Utuh dan Halal). Dalam upaya mewujudkan jaminan penyediaan pangan yangASUH dibutuhkan laboratorium yang memiliki kemampuan teknis dalam menghasilkan data atauhasil uji yang tepat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode uji yangdikembangkan saat ini di Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar adalah Polymerase ChainReaction (PCR) untuk identifikasi bakteri Campylobacter jejuni dan daging tikus. Campylobacterjejuni dikenal sebagai pathogen enterik yang penting. Bakteri ini pada umumnya ada dalamjumlah besar pada feses individu yang diare dan sering pada pangan asal hewan terutama ayammentah. Isolasi dan identifikasi Campylobacter jejuni pada pangan dilakukan secarakonvensional dengan mengkultur bakteri tersebut. Isolasi dan identifikasi membutuhkan waktuyang lebih lama dan membutuhkan tenaga teknis yang terampil dalam melakukan kultur bakteri.Pengembangan metode dilakukan secara molekuler dengan menggunakan teknik PCR supayapengujian dapat dilakukan secara cepat dan akurat. Primer yang digunakan yaitu gen HipO(Hippopuricase) merupakan novel primer yang hanya terdapat pada C. jejuni. Hasil ujimenunjukkan bahwa hasil amplifikasi DNA C. jejuni terlihat pada amplikon berkisar pada 323 bpdan mampu terdeteksi dengan tingkat kekeruhan minimum pada OD 0,22. Sementara itu, dagingtikus disinyalir menjadi daging penambah dalam kaitan dengan pemalsuan daging. Untukmendeteksi daging tikus dengan PCR, digunakan primer yang didesain spesifik dengan targetgen CytB. Hasil amplifikasi DNA daging tikus menunjukkan hasil positif mengandung DNA tikusdengan panjang amplikon 188 bp. Dengan demikian BB-Vet Denpasar telah mampumeningkatkan kompetensi dalam melakukan deteksi bakteri C. jejuni dan daging tikus denganteknik PCR
Kata kunci : C. jejuni, daging tikus, PCR
ABSTRACT
Foodstuff for human consumption must be safe and feasible as called ASUH (Safe, Healthy,Whole and Halal). In an effort to actualize food supply assurance, the laboratory which hastechnical capability to generate the data and an appropriate, accurate and accountable testresult scientifically is needed. The test method which developed at this time in BBVet Denpasaris the Polymerase Chain Reaction (PCR) for identification of the bacteria Campylobacter jejuniand rat meat. C. jejuni is known as an important enteric pathogen. This bacteria is generallypresented in large amount of individual stool with diarrhea and often in animal-based foodproduct, especially raw chicken. Isolation and identification of C.jejuni in food had been done byculturing bacteria conventionally. Isolation and identification took longer and required a technicalskilled personal in performing bacterial culture. Development of molecular method by using PCR
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
technique in order to make the test could be performed rapidly and accurately. Primer that usedwas HipO (Hippopuricase) which was novel primer that could be found in C.jejuni. The test resultshowed that C.jejuni DNA amplicon product could be seen at the range 323 bp, and was able tobe detected with a minimum turbidity level at OD 0.22. Meanwhile, rat meat was allegedly in theconnection with meat adulteration. To detect rat meat with PCR, used scientifically designedprimer with CytB gene. DNA amplification result showed positive rat meat containing the DNA ofrat with length of 188 bp amplicon. Thus BB-Vet Denpasar had been able to improvecompetence in perfoming the detection of C. jejuni bacteria and rat meat by PCR.
Keywords : Campylobacter jejuni, rat meat, PCR
I. PENDAHULUAN
Pangan asal hewan adalah bahan makanan bernilai gizi tinggi yang sangat
berguna bagi kesehatan manusia. Selain itu, pangan asal hewan juga
merupakan bahan makanan mudah rusak (perishable food) dan berpotensi
berbahaya (potentially hazardous food). Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Pada prinsipnya bahan pangan yang dikonsumsi manusia harus aman dan layak
yang disebut dengan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).
Dalam upaya mewujudkan jaminan penyediaan pangan yang ASUH dibutuhkan
laboratorium yang memiliki kemampuan teknis dalam menghasilkan data atau
hasil uji yang tepat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Namun demikian metode uji tersebut harus tetap dimutakhirkan sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Metode uji yang dikembangkan
saat ini di Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar adalah Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk identifikasi bakteri Campylobacter jejuni
Dari kajian keamanan pangan, Campylobacter jejuni (C. jejuni) dikenal sebagai
pathogen enterik yang penting. Bakteri ini pada umumnya ada dalam jumlah
besar pada feses individu yang diare dan sering pada pangan asal hewan
terutama ayam mentah. Diare disebabkan karena sifat Campylobacter yang
invasif yaitu dapat masuk ke lapisan usus halus dan akan mengeluarkan toksin
yang merusak mukosa usus tersebut. Dosis infeksi C. jejuni cenderung kecil.
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Jumlah 400-500 sel bakteri dapat menyebabkan penyakit pada beberapa
individu.
Isolasi dan identifikasi C. jejuni pada pangan dilakukan secara konvensional
dengan mengkultur bakteri tersebut. Namun demikian, mengisolasi C. jejuni
pada pangan sulit karena jumlahnya sangat rendah dan dibutuhkan kaldu yang
mengandung antibiotika dan media yang mengandung antibiotika khusus dan
lingkungan yang kadar oksigennya sebesar 5% (SNI 7388, 2009). Isolasi dan
identifikasi membutuhkan waktu yang lebih lama dan membutuhkan tenaga
teknis yang terampil dalam melakukan kultur bakteri. Pengembangan metode
dilakukan secara molekuler dengan menggunakan teknik PCR supaya pengujian
terhadap C. jejuni dapat dilakukan secara cepat dan akurat. Primer yang
digunakan yaitu gen HipO (Hippopuricase) merupakan novel primer yang hanya
terdapat pada C. jejuni. Strain ini memberikan reaksi positif pada uji hidrolisis
hipurat (Wang et al., 2002).
Selain identifikasi C. jejuni, BB-Vet Denpasar juga melakukan peningkatan
kompetensi untuk identifikasi daging tikus yang masih terkait dengan
penyediaan pangan yang ASUH. Pangan diperuntukkan sebagai konsumsi bagi
manusia sehingga kejelasan bahan asal sangat diutamakan. Pangan olahan,
contohnya bakso, seringkali dipalsukan dengan cara menambah dengan daging
tikus yang lebih murah, mudah didapat, namun statusnya haram dan juga
berbahaya bagi kesehatan. Tindak pemalsuan tersebut mengancam keamanan
pangan yang beredar di masyarakat, sehingga dibutuhkan teknik yang spesifik
dan akurat untuk mendeteksi daging tikus yang disinyalir menjadi daging
penambah (Widiyanti, 2015). Salah satu metode yang dapat diaplikasikan
adalah PCR yang diaplikasikan dengan memakai primer yang digunakan untuk
amplifikasi dioxynucleic acid (DNA) didesain spesifik untuk tikus dengan target
gen CytB (Srihanto dkk, 2015).
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
II. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1 Isolasi dan Identifikasi Campylobacter jejuniBahan-bahan yang dibutuhkan antara lain : isolat murni (standar) Campylobacter
selama 30 detik), annealing (550C selama 30 detik, dan ekstensi (720C selama 1
menit) kemudian ditunggu hingga proses PCR selesai.
Produk PCR kemudian diperiksa dengan elektroforesis gel agarose. Agarose gel
1% dengan 1 x TBE (Tris Boric EDTA) ditambah 10 ul ethidium bromide solution.
Selanjutnya Run elektroforesis 125 volt, 400 mA selama 35 menit. Visualisasi
(untuk melihat pita gen target) digunakan transluminator ultraviolet dan hasilnya
didokumentasikan dengan kamera. Analisis hasil amplifikasi berdasarkan ukuran
dari masing-masing fragmen atau pita DNA dibandingkan dengan posisi pita dari
marker.
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
III. HASIL
Hasil isolasi dan identifikasi Campylobacter jejuni (bentuk sel bakteri di bawah
mikroskop) terlihat seperti gambar 1 di bawah ini :
Gambar 1. Sel Campylobacter jejuni
Sel Campylobacter terlihat berbentuk koma atau melengkung, panjang 1,5-5
um dan dengan formasi zigzag.
Sementara itu hasil PCR isolat C. jejuni ditunjukkan dalam gambar 2 di bawah
ini
Gambar 2. Hasil PCR menggunakan primer HipO dari isolat C.jejuni (323bp) berdasarkan nilai kekeruhan (OD)
100bp
400bp200bp
323 bp
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Keterangan :
M : Marker (100 bp)1 : isolat C.jejuni OD 0,22 ( kontrol positif)2 : isolat C.jejuni OD 0,44 (kontro positif)3 : isolat C.jejuni OD 0,89 (kontrol positif)4 : isolat C.jejuni OD 1,79 (kontrol positif)5 : isolat C.jejuni OD 1,79 (kontrol positif)6 : sampel positif C. jejuni (sampel spike )7 : sampel positif C. jejuni (sampel spike)8 : sampel positif C. jejuni (sampel spike)9 : kontrol negatif
Hasil PCR spesies tikus (188 bp) ditampilkan pada gambar 3 dibawah ini
Keterangan :M : Marker (100 bp)1 : daging tikus got (kontrol positif)2 : daging tikus putih (kontrol positif)3 : daging tikus got positif (sampel spike)4 : daging tikus putih positif (sampel spike)5 : sampel tahu ayam6 : sampel bakso ayam7 : sampel mie ayam8 : kontrol negatif
100bp
200bp
400bp
188 bp
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
IV. PEMBAHASAN
Campylobacter spp. adalah bakteri Gram-negatif, non spora dan merupakan
famili Campylobacteraceae. Genus Campylobacter terdiri dari 17 spesies dan 6
subspesies (Nachamkin, 2007; Silva et al., 2011). Hasil isolasi dan identifikasi
pada media modified charcoal cefoperazone desoxycholate agar (mCDDA) dan
pembesaran di bawah mikroskop (gambar 1) sel Campylobacter terlihat
berbentuk koma atau melengkung, panjang 1,5-5 um dan dengan formasi
zigzag. Campylobacter spp adalah bakteri mikroaerobik tetapi telah ditemukan
tumbuh pada kondisi aerobik dan anaerobik. Suhu optimum yang diperlukan
untuk pertumbuhan Campylobacter spp adalah 420C tetapi dapat tumbuh pada
suhu 300C (Moore et al., 2005).
Campylobacter spp. adalah bakteri yang menyebabkan penyakit gastrointestinal
yang biasa disebut Kampilobakteriosis. Gejala klinis Kampilobakteriosis yaitu
diare, demam dan kram perut dengan durasi rata-rata enam hari (Butzler, 2004).
Infeksi Campylobacter spp. juga dikaitkan dengan sindrom Guillain-Barre, yang
mempunyai gejala klinis berupa kelemahan otot yang progresif atau
kelumpuhan. Dua spesies yang paling umum berhubungan dengan penyakit
manusia adalah C. jejuni dan C. coli. Campylobacter jejuni teridentifikasi lebih
dari 80% dari penyakit Kampilobakteriosis, sedangkan C. coli teridentifikasi
hingga 18,6% dari penyakit manusia (Wilson et al., 2008).
Umumnya daging unggas diketahui sebagai sumber infeksi bakteri
Campylobacter pada manusia. Sebuah penelitian yang dilakukan pada retail di
Selandia Baru antara tahun 2005-2008 menemukan 72,7% dari karkas unggas
terkontaminasi dengan C. jejuni (n=500). Survei awal yang dilakukan di Uni
Eropa pada tahun 2008 mengungkapkan bahwa 75,8% dari 9.213 samepl
karkas ayam broiler terkontaminasi dengan Campylobacter spp. dan prevalensi
C. jejuni adalah 51,0% (Efsa, 2010). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian
yang dilakukan di Indonesia khususnya di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat
(Bogor dan Sukabumi) dan Jawa Tengah (Kudus dan Demak) tahun 2009-2011
menemukan 19,8% dari 298 sampel karkas ayam terkontaminasi C. jejuni
dengan menggunakan deteksi isolasi dan identifikasi secara konvensional.
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Sedangkan dengan menggunakan deteksi molekuler (metode PCR) ditemukan
prevalensi lebih tinggi yaitu 62,6% (Andriani dkk., 2013)
Metode deteksi C. jejuni secara konvensional memerlukan waktu yang lebih
lama karena terlebih dahulu menumbuhkan bakteri pada media melalui tahap
pra-pengayaan, pengayaan, isolasi dan identifikasi selanjutnya uji konfirmasi
dan biokimia. Waktu yang dibutuhkan adalah 4 (empat) hari untuk mengetahui
hasil negatif dan 6-7 hari untuk melakukan konfirmasi hasil yang positif (Anon,
2009). Pengembangan metode deteksi molekuler Campylobacter jejuni dengan
metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan sampel enrichment
sebelumnya telah banyak dilakukan. Metode PCR ini telah digunakan di
beberapa negara salah satunya Denmark untuk skrining rutin swab kloaka dari
ayam broiler di rumah jagal (Bang et al., 2001). Identifikasi C. jejuni
menggunakan metode PCR lebih baik dibandingkan metode konvensional
(Lawson et al., 1998)
Karakterisasi genetik isolat Campylobacter jejuni yang dilakukan secara PCR
menggunakan primer gen HipO (Hippuricase). Gen HipO merupakan novel
primer yang hanya terdapat pada C. jejuni. Strain ini memberikan reaksi positif
pada uji hidrolisis hipurat (Wang et al., 2002). Kemampuan spesies C. jejuni
menghidrolisis hipurat (N-benzoylglycine) menjadi benzoic acid dan glycine
dapat digunakan untuk membedakan C. jejuni dari spesies Campylobacter yang
lain. Target gen C. jejuni HipO yang memiliki lokasi gen 1662-1665 bp
memberikan hasil positif pada 323 bp.
Hasil peningkatan kompetensi dan pengembangan metode deteksi C. jejuni
secara PCR di BB-Vet Denpasar disajikan dalam gambar 2. Hasil uji
menunjukkan bahwa hasil amplifikasi DNA isolat C. jejuni (sebagai control
positif) maupun isolat yang ditambahkan pada sampel daging ayam (sampel
spike) terlihat pada amplikon berkisar pada 323 bp dan mampu terdeteksi dari
isolat dengan tingkat kekeruhan minimum pada OD 0,22 pada panjang
gelombang 600 nm. Hasil uji ini sesuai dengan metode untuk ekstraksi isolat C.
jejuni yaitu kekeruhan diukur pada OD 0,3 dengan panjang gelombang 600 nm
(Alexandrino et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa BB-Vet Denpasar telah
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
mampu meningkatkan kompetensi dan pengembangan metode deteksi C. jejuni
secara molekuler menggunakan teknik PCR.
Sementara itu, untuk mengetahui keutuhan suatu bahan makanan (daging) dari
adanya pencampuran daging lain yang tidak semestinya sering kali sulit
dilakukan, misalnya pada produk sosis atau bakso yang dagingnya telah
dihancurkan. Penemuan beberapa kasus pencampuran bahan daging babi
dalam keadaan segar dengan daging sapi juga pernah terjadi dan ini
menunjukkan tidak hanya produk olahan saja yang dicampur tapi juga daging
segar (Yuni dkk, 2012). Upaya untuk melakukan identifikasi telah dilakukan
dengan berbagai metode dan metode yang dianggap paling valid saat ini adalah
PCR dengan berbagai variasinya. Teknik PCR digunakan karena mampu
mendeteksi DNA dalam jumlah sedikit, waktu pengujian yang cepat dan hasilnya
akurat walaupun proteinnya telah mengalami degradasi (Matsunaga, 1999).
Hasil peningkatan kompetensi dan pengembangan metode identifikasi daging
tikus dengan teknik PCR di BB-Vet Denpasar disajikan dalam gambar 3.
Amplifikasi dilakukan terhadap DNA sampel daging tikus putih, tikus got dan
beberapa sampel makanan (bakso ayam, mie ayam, tahu ayam) menggunakan
primer spesifik untuk tikus dengan target CytB yang di desain oleh Eko AS
(2013). Hasil amplifikasi DNA daging tikus putih, tikus got, bakso yang
ditambahkan daging tikus (sampel spike) menunjukkan hasil positif mengandung
DNA tikus dengan panjang amplikon 188 bp. Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Srihanto dkk (2015). Dengan demikian BB-Vet Denpasar
telah mampu meningkatkan kompetensi dalam melakukan deteksi daging tikus
dengan teknik PCR.
Dengan metode yang sama telah dilakukan amplifikasi DNA terhadap sampel
tahu ayam, bakso ayam dan mie ayam yang berasal dari beberapa pedagang di
pasar tradisional. Hasil uji menunjukkan hasil negatif yang mengindikasikan
bahwa sampel olahan daging ayam tersebut tidak dicampur (tidak dipalsukan)
dengan daging tikus. Deteksi daging tikus ini sangat berguna untuk memberikan
rasa aman pada konsumen karena dapat terhindar dari kemungkinan adanya
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
penipuan produk sehingga dapat meningkatkan rasa keyakinan dalam
mengkonsumsi suatu produk asal hewan.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SimpulanPeningkatan kompetensi dan pengembangan metode identifikasi bakteri
Campylobacter jejuni dan identifikasi daging tikus menggunakan teknik PCR
telah berhasil dilakukan di Balai Besar Veteriner Denpasar. Hasil uji
menunjukkan bahwa amplifikasi DNA C. jejuni menggunakan primer HipO
terdeteksi pada pada amplikon 323 bp dengan minimum kekeruhan (OD) adalah
0,22 pada panjang gelombang 600 nm. Amplifikasi DNA daging tikus terdeteksi
pada amplikon 188 bp. Teknik PCR digunakan karena dapat mendeteksi DNA
dalam jumlah sedikit, waktu pengujian yang cepat dan lebih baik dibandingkan
metode konvensional.
5.2. SaranPerlu dilakukan peningkatan kompetensi dan pengembangan metode identifikasi
terhadap jenis spesies bakteri yang lain dengan menggunakan teknik PCR.
DAFTAR PUSTAKA
Alexandrino M, Grohmann E, Szewzyk U. 2004. Optimation of PCR-based for rapid detection ofCampylobacter jejuni, Campylobacter coli, and Yersinia enterocolitica serovar 0:3 inwaste samples. Water Res 38: 1340-1346.
Andriani, Sudarwanto M, Setiyanjingsih S, Kusumaningrum HD. 2013. Metode DirectPolymerase Chain Reaction untuk melacak Campylobacter sp. Pada daging ayam.Jurnal Veteriner Vol.14 No.1 :45-52
Anonimus. 2009. Food Standards Agency report for the UK survey of Campylobacter andSalmonella contamination of fresh chicken at retail sale. B18025: 1–97.
Bang D. D., Scheutz F., Ahrens P., Pedersen K., Blom J., Madsen M. 2001. Prevalence ofcytolethal distending toxin (cdt) genes and CDT production in Campylobacter spp.isolated from Danish broilers. J. Med. Microbiol. 50, 1087–1094 PubMeds
Butzler JP. 2004. Campylobacter, from obscurity to celebrity. Clin Microbiol Infect. (10):868-76PubMed.
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
EFSA, 2010. Analysis of the baseline survey on the prevalence of Campylobacter in broilerbatches and of Campylobacter and Salmonella on broiler carcasses in the EU, 2008 - Part A.
Campylobacter and Salmonella prevalence estimates. EFSA Journal 8(03):1503
Lawson AJ, Shafi MS, Pathak K, Stanley J.1998. Detection of Campylobacter in gastroenteritis:comparison of direct PCR assay faecal samples with selective culture.
Epidemiol Infect 121:547-553.
Matsunaga, T. 1999. A quick and simple method for the identification of meat spesies. Meat sci.51 : 143-148
Moore JE1, Corcoran D, Dooley JS, Fanning S, Lucey B, Matsuda M, McDowell DA, Mégraud F,Millar BC, O'Mahony R, O'Riordan L, O'Rourke M, Rao JR, Rooney PJ, Sails A, WhyteP. 2005. Campylobacter. Vet Res. 2005 May-Jun;36(3):351-82.
Nachamki I, Viraj N, N. Perera, Huong Ung, John H. Patterson, Malcolm J. McConville, Peter J.Coloe, Benjamin N. FrY. 2007. Molecular mimicry in Campylobacter jejuni : role of thelipo-oligosaccharide core oligosaccharide in inducing anti-ganglioside antibodie. OxfordJournal. Vol 50, issue page 27-36.
Silva J, Leite D, Fernandes M, Mena C, Gibbs PA, Teixeira P. 2011. Campylobacter spp. as afoodborne pathogen: A review. Frontiers in Microbiology 2:200
Srihanto, E.A, Setiaji G, Rumpaka R, Firwantoni. 2015. Identifikasi Daging Tikus Pada ProdukAsal Hewan Dengan Menggunakan Teknik Poymerase Chain Reaction (PCR). ProsidingSeminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian.
SNI 2897 , 2008 . Metode Pengujian Cemaran Mikroba Dalam Daging, Telur dan Susu sertaHasil Olahannya. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
SNI 7388, 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. Badan StandardisasiNasional. Jakarta.
Wang G, Clifford G, Tracy M, Taylor, Chad P, Connie B, Lawrence P, David L, Woodward, FrankG.R. 2002. Colony multiplex PCR assay for identification and differentiation ofCampylobacter jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, and C. fetus subsp. fetus. J ClinMicrobiol 40(12):4744-4747.
Widiyanti R. 2015 Deteksi Daging Tikus Pada Bakso Dari Warung Makan Dengan TeknikPolymerase Chain Reaktion (PCR).
Wilson DJ, Gabriel E, Leatherbarrow AJH, Cheesbrough J, Gee S, Bolton E, Fox KA, Hart CA,Diggle PJ, Fearnhead P (2009) Rapid evolution and the importance of recombination tothe gastroenteric pathogen Campylobacter jejuni. Molecular Biology and Evolution26(2):385–397
Yuni E., Sugiono, Abdul Rohman, Mohammad Zainal Abidin, Dwi Ariyani, 2012. IdentifikasiDaging Babi menggunakan metode PCR-RFLP Gen Cytochrome B dan PCR PrimerSpesifik Gen Amelogenin. Agritech, Vol 32, No.4.
1
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016
SURVEILANS PENYAKIT HEWAN DI UPT BALAI PEMBIBITAN TERNAKUNGGUL – HIJAUAN PAKAN TERNAK (BPTU-HPT)
TAHUN 2016
Ni Made Sri Handayani
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilaksanakan surveilans di Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan TernakPulukan dan Dompu yang terletak di Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat untukmengetahui situasi penyakit hewan menular mengetahui tingkat kekebalan kelompok(herd immunity) serta menyusun rekomendasi yang dapat menjadi masukan dalam upayamenghasilkan bibit berkualitas, unggul dan tersertifikasi. Sejumlah 4528 spesimen dariBPTU-HPT Pulukan dan 3311 dari BPTU-HPT Dompu spesimen serum, darah, swab, preparatulas darah dan feses dikoleksi secara acak sejak bulan Mei sampai bulan September 2016.Seluruh sampel diperiksa terhadap penyakit Brucellosis, Jembrana, SE, IBR, BVD, parasitgastrointestinal dan parasit darah, hasil pengujian sampel serum untuk deteksi antibodi penyakitJD, SE, IBR dan BVD di BPTU-HPT Pulukan. Hasil pengujian sampel serum untuk deteksiantibodi penyakit SE, IBR dan BVD di BPTU-HPT Dompu, sebanyak 186 (22,2%) dari836 sampel positif antibodi SE, 61 (22,7%) dari 269 sampel positif antibodi IBR dan 194 (64,9%)dari 269 sampel positif antibodi BVD. Sama halnya dengan di BPTU-HPT Pulukan, hasilpengujian deteksi antigen penyakit SE, IBR dan BVD di BPTU-HPT Dompu juga semua negatif.Prevalensi cacing Nematoda dari BPTU-HPT Pulukan 11,3% dan BPTU-HPT Dompu 20,4%,sedangkan prevalensi cacing Trematoda masing-masing BPTU-HPT Pulukan adalah 14,1% danDompu 20,4%. Jenis protozoa yang menginfeksi saluran pencernaan ternak sapi di BPTU-HPTadalah Genus Eimeria dengan prevalensi 1,2% untuk BPTU-HPT Pulukan dan 5,1% untukBPTU-HPT Dompu. Hasil pemeriksaan 727 sampel preparat ulas darah sapi bali yang berasaldari BPTU-HPT Pulukan dan Dompu menunjukkan semua negatif namun ditemukan adanyajenis parasit darah yang lain seperti Anaplasma sp, Babesia sp dan Theileria sp. Hasil inimenunjukkan bahwa masih perlu dilakukan tata cara pemeliharaan sapi yang baik danmelakukan pengendalian dengan melakukan pendekatan epidemiologi menggunakan suatuprogram pengendalian yang tepat dan efektif untuk menghasilkan bibit berkualitas.
Kata Kunci: Penyakit Hewan, BPTU-HPT Pulukan dan Dompu
2
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangKerjasama antar Unit Pelayanan Teknis (UPT) lingkup Kementerian Pertanian
yang merujuk pada surat tugas No. 22038/ OT.140/F/07/2013 tentang
pelaksanaan Bimbingan teknis UPT Perbibitan Pusat di wilayah kerja Balai
Besar Veteriner Denpasar, maka perlu dilakukan suatu program untuk
mencegah, melindungi dan memelihara proses kegiatan produksi sapi bibit yang
sesuai dan berkualitas. Dengan melakukan program surveilans dan monitoring
yang terstruktur akan sangat membantu dan berguna buat BPTU-HPT Bali
dalam menghasilkan bibit sapi bali berkualitas dan tersertifikasi, bebas dari
penyakit menular strategis dan memenuhi kriteria bibit sapi unggul, serta
mewujudkan tujuan Renstra setiap tahunnya.
Berdasarkan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) dari Balai Besar Veteriner
Denpasar yaitu monitoring dan surveilans penyakit hewan, laboratorium
kesehatan hewan dan status bebas penyakit hewan menular, diharapkan Balai
Besar Veteriner Denpasar dapat memberikan kontribusi teknis terhadap UPT
Perbibitan pusat yang ada di wilayah kerjanya yakni Balai Perbibitan Ternak
Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) dalam mewujudkan Tugas Pokok
BPTUHPT sesuai SK Menteri Pertanian No.13 / Permentan / OT.140 / 2 / 2007,
adalah melaksanakan pelestarian, pemuliaan, pembibitan, produksi dan
pengembangan serta penyebaran hasil produksi bibit Sapi Bali Murni Unggul
secara Nasional.
Untuk memperoleh data yang lebih akurat perlu dilakukan surveilans yang
berkelanjutan. Oleh karena itu tahun 2017 surveilans dan monitoring akan
dilanjutkan untuk memantau situasi penyakit serta mencegah masuknya
penyakit hewan menular sehingga hasilnya dapat meningkatkan performa
BPTU-HPT Bali sebagai salah satu Balai Perbibitan yang menghasilkan ternak
Sapi Bali Bibit yang berkualitas dan tersertifikasi.
3
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016
1.2. Tujuan.1. Untuk mengetahui situasi penyakit hewan menular yang ada di BPTU-HPT
Pulukan Bali dan Dompu.
2. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di BPTU-HPT
Pulukan Bali dan Dompu.
3. Menyusun rekomendasi yang dapat menjadi masukan dalam upaya
menghasilkan bibit berkualitas, unggul dan tersertifikasi.
1.3. Manfaat.1. Mendapatkan informasi tentang status dan situasi Penyakit Hewan
Menular di UPT BPTU-HPT Pulukan Kabupaten Jembrana dan
Kabupaten Dompu NTB.
2. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di BPTU-HPT
Pulukan dan Dompu
3. Menghasilkan rekomendasi berdasarkan kajian ini untuk meningkatkan
produksi bibit sapi bali yang berkualitas.
1.4. SasaranMendeteksi penyakit hewan menular strategis yang tidak diperbolehkan
pada pusat pembibitan sapi, status penyakit di BPTU-HPT Pulukan dan
Dompu dapat diidentifikasi dan sebagai salah satu usaha kewaspadaan dini
terhadap munculnya penyakit baru.
1.5. Output1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit hewan menular strategis
serta tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi JD dan
SE di BPTU-HPT Pulukan dan Dompu ;
2. BPTU-HPT pulukan dan Dompu dapat menghasilkan bibit berkualitas,
unggul dan tersertifikasi.
1.6. Out come1. Adanya data yang lebih lengkap untuk kepentingan pemetaan penyakit
SE di wilayah kerja.
4
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016
2. Terciptanya lingkungan ternak bebas penyakit hewan menular strategis di
BPTU-HPT Pulukan dan Dompu.
1.7. Analisa Risiko Penyakit Hewan Menular Strategis
Tabel 1. Analisa Risiko Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) diBPTU-HPT
RisikoPemasukanTernak
AsalWilayah
SistemPemeliha
raan
StatusVaksina
siManajemen
Resiko Kriteria Lokasi
Penyakit PHMS(SE,JD,Anthrax,IBR,BVD,Brucellosis diBPTU-HPT
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak
Tidak
Lepas
Tidak
Surveilansdeteksipenyakit
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak
AdaSurveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternakKandang
TidakSurveilansdeteksipenyakit
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak
5
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016
1.8. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans Penyakit Hewan Menulardi BPTU-HPT Pulukan dan Dompu
Berikut ini disajikan pada Tabel 2 analisa risiko kegiatan surveilans penyakit
hewan menular di BPTU-HPT Pulukan dan Dompu.
Tabel 2. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans PHMS di BPTU-HPT
No Risiko Manajemen Risiko/Solusi1 Jumlah target sampel tidak tercapai Berkoordinasi dengan BPTU-HPT, terkait data
populasi ternak pada lokasi yang akandisampling dan agar dikoordinasikan tentangpentingnya pengambilan sampel yang akandilakukan.
2 Lokasi target tidak sesuai denganunit sampel yang direncanakan
Berkoordinasi dengan BPTU-HPT mengenaikondisi geografis, alur transportasi ke lokasi dankesiapan pemilik ternak pada lokasi yang akandisampling.
3 Waktu pengambilan sampel tidaksesuai dengan waktu yangdirencanakan
Berkoordinasi BPTU-HPT mengenai kepastianwaktu pengambilan sampel sebelum menujulokasi pengambilan sampel.
4 Jadwal transportasi dari Balai keBPTU-HPT yang akan dikunjungitidak sesuai dengan waktu kegiatanyang direncanakan (kendala nonteknis)
Segera berkoordinasi ulang dengan BPTU-HPTterkait mengenai penjadwalan ulang waktukegiatan pengambilan sampel termasuk kepadapeternak agar dapat menyesuaikan perubahanjadwal kegiatan
5 Tidak ada rute transportasi (udara,laut, darat) menuju Kabupaten/Kotayang akan dikunjungi sebagai lokasisurveilans
Transportasi seperti penerbangan dan lainnyaagar dialihkan ke lokasi terdekat dariKabupaten/Kota yang dituju sehingga terjangkauoleh transportasi yang digunakan.
6 Surat pemberitahuan serta jadwalsurvailans dan monitoring tidaksampai/terlambat diterima olehDinas Kabupaten/Kota yang akandituju.
Koordinasi dengan BPTU-HPT atau contactpersonnya sebelum hari keberangkatan dengansarana telekomunikasi yang tersedia mengenaijadwal pengambilan sampel yang akandilakukan.
7 Rusaknya sampel yang diambil dilapangan karena tidak tersedianyasarana penyimpanan (mesinpendingin) yang layak di lokasipengambilan sampel
Sampel dapat kita titipkan pada petugas dilapangan/tempat menginap agar disimpan dalammesin pendingin, selanjutnya dalam perjalananagar menggunakan es batu/ice pack untukmenjaga sampel tetap dalam keadaan baiksampai di laboratorium.
6
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016
II. MATERI DAN METODE
2.1. MateriKegiatan Surveilans dan Monitoring penyakit Hewan Menular ini akan diambil
data dan sampel dari individu sapi yang disampling, kelompok sapi yang
dipelihara sesuai kualifikasinya. Sampel yang diambil adalah serum, darah dan
feses Sapi Bali yang dipelihara di padang penggembalaan dan di kandang
isolasi di BPTU-HPT di Pulukan Kabupaten Jembrana Provinsi Bali dan
Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Sampel tersebut akan diuji untuk beberapa
penyakit Hewan Menular seperti penyakit Brucellosis, Jembrana Disease,
Anthrax, SE, BVD, IBR dan identifikasi parasit gastrointestinal serta parasit
darah. Bahan dan materi pengujian akan disesuaikan dengan metode uji yang
dilakukan di Balai Besar Veteriner Denpasar.
2.2. Metode2.2.1. Metode samplingDalam surveilans dan monitoring penyakit Hewan Menular di BPTU-HPT
Pulukan dan Dompu ini dilakukan pengambilan sampel serum untuk
pemeriksaan Elisa BVD, IBR, SE, Jembrana Desease dan Brucellosis.
Pengambilan sampel swab untuk pemeriksaan PCR IBR dan isolasi SE
(Pasteurella multocida), pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan PCR
Jembrana Desease, pengambilan sampel PUD untuk pemeriksaan parasit darah
(Surra) dan pengambilan sampel feses untuk pemeriksaan parasit gastro
intestinal. Pelaksanaan Surveilans dan monitoring akan dilakukan dengan
pengambilan sampel di lapangan untuk unit ternak. Estimasi jumlah sampel
dapat dilihat pada tabel berikut :
7
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016
Tabel 3. Estimasi Jumlah Sampel dan Distribusi Pengambilan SampelPenyakit Hewan Menular di BPTU-HPT Pulukan Jembrana Bali
Parasit gastrointestinal pada sapi bali di BPTU-HPT Pulukan dan Dompu
menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi terutama di BPTU-HPT Dompu yaitu
46,0%. Untuk pemberantasan penyakit gastrointestinal terutama cacingan dapat
dilakukan dengan menggunakan anthelminthika seca rutin dan dilakukan sejak
sapi berumur 7 hari dan diulang secara berkala setiap 3-4 bulan sekali guna
membasmi cacing secara tuntas (Anonim, 2004).
17
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016
Hasil pemeriksaan 727 sampel preparat ulas darah sapi bali yang berasal dari
BPTU-HPT Pulukan dan Dompu menunjukkan semua negatif selengkapnya
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 12. Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra pada Sapi Bali diBPTU – HPT Pulukan dan Dompu
Lokasi JumlahSampel
NegatifTrypanosoma
PositifTrypanosoma Prevalensi (%)
Pulukan 338 338 0 0Dompu 389 389 0 0Total 727 0 0
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa tidak adanya kejadian Trypanosomiasis
pada sapi bali di BPTU HPT Pulukan dan Dompu, namun di BPTU-HPT Pulukan
ditemukan adanya jenis parasit darah yang lain seperti Anaplasma sp, Babesia
sp dan Theileria sp. Selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa sapi bali yang terdapat di BPTU-HPT Pulukan terinfeksi
Theileriosis, Anaplasmosis dan Babesiosis.
Tabel 13. Distribusi Prevalensi Berbagai Jenis Parasit Darah pada Sapi Balidi BPTU-HPT Pulukan dan Dompu
No Lokasi JumlahSampel
JenisParasitDarah
JumlahPositif
Prevalensi(%)
ID Hewan(No Ear Tag)
1 Pulukan 338 TheileiriaAnaplasmaBabesia
5*1*1*
1,50,30,3
0838.08 ; 0946.09 ;;0102.06 ; 0219.10
338 7 2,12 DOMPU 389 - 0 0,1
389 0 0TOTAL 727 10 1,4
Keterangan : * ID Hewan (Ear Tag) tidak lengkap
Penyakit parasit darah merupakan masalah kesehatan hewan yang
menimbulkan kerugian ekonomi pada ternak sapi di Indonesia. Kerugian
tersebut berupa pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan, penurunan
daya kerja, penurunan daya reproduksi (Nasution, 2007) dan aborsi (Kocan et
al. 2003). Infeksi berat jika tidak diobati dapat menyebabkan kematian sapi
terutama pada hewan muda. Iklim tropis merupakan lingkungan ideal bagi
18
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016
perkembangan dan transmisi parasit sehingga perlu dilakukan pengendalian
sebagai upaya pencegahan penyakit. Pengendalian kuratif untuk sapi yang
terinfeksi dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan namun pengendalian
bersifat kuratif biasanya tidak mampu menurunkan tingkat prevalensi.
Pengendalian infeksi parasit darah pada sapi yang efektif dapat dilakukan
melalui pendekatan epidemiologi. Dalam merancang suatu program
pengendalian yang tepat dan efektif sangat diperlukan kajian tentang data dasar
yang berkaitan dengan jenis parasit, prevalensi, tingkat parasitemia dan
berbagai faktor risiko yang berpengaruh pada kejadian infeksi parasit darah.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa disimpulkan bahwa :
1. Ternak sapi bali di BPTU-HPT Pulukan hasil pemeriksaan penyakit SE, JD,
IBR dan BVD dengan metode isolasi dan PCR di BPTU-HPT menunjukkan
semua negatif, demikian juga halnya BPTU-HPT Dompu.
2. Ternak sapi di BPTU-HPT Pulukan dan Dompu terinfeksi cacing dengan
prevalensi di BPTU-HPT Pulukan 28,5% dan BPTU-HPT Dompu 46,0%,
sedangkan protozoa Genus Eimeria menginfeksi dengan prevalensi 1,2%
untuk BPTU-HPT Pulukan dan 5,1% untuk BPTU-HPT Dompu.
3. Tidak ditemukan adanya indikasi penyakit Trypanosomiasis pada sapi bali di
BPTU HPT Pulukan dan Dompu, namun ditemukan adanya jenis parasit
darah yang lain seperti Anaplasma sp, Babesia sp dan Theileria sp dengan
prevalensi 1,4%.
19
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016
4.2. Saran
Saran yang ingin disampaikan untuk BPTU-HPT Pulukan dan Dompu adalah:
1. Melakukan pemberian obat cacing dari usia 3 bulan secara kontinyu dan
pemberian obat preparat sulfa untuk pengobatan penyakit yang disebabkan
oleh protozoa secara rutin sesuai dengan petunjuk dokter hewan serta
melakukan tata cara pemeliharaan sapi yang baik.
2. Melakukan pengendalian dengan melakukan pendekatan epidemiologi
dengan suatu program pengendalian yang tepat dan efektif, kajian tentang
data dasar yang berkaitan dengan jenis parasit, prevalensi, tingkat
parasitemia dan berbagai faktor risiko yang berpengaruh pada kejadian
infeksi parasit darah.
3. Petugas yang melaksanakan surveilans diharapkan untuk melengkapi data
vaksinasi.
V. DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2004.Ivermectin.http://cal.vet.upenn.edu/dxendopar/drug%20pages/fenbendazole.htm.Diakses 24 Januari 2017
Brown, J. D., Goekijan, G., Poulsan, R., Valeika, S., dan Stallknecht, D. E., 2008. Avian InfluenzaVirus in Water Infectivity is depend on pH, Salinity and Temperature. Vet Microbiol. Doi :10.1016/j.vetmic.1 Veterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.
Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review- The Natural Historyof Anaplasma Marginale. Vet Parasitol. 167:95-1070.027.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods
Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima Kecamatan, KotaJambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.