109 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. 1 Gambaran Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merupakan partai politik yang sebenarnya adalah partai yang memiliki tali kesejarahan dengan partai politik masa orde lama. PDI Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973. Partai Demokrasi Indonesia lahir dari hasil fusi 5 (lima) partai politik. Kelima partai politik tersebut yaitu : Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Murba. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1973 di Kantor Sekretariat PNI di Jalan Salemba Raya 73 Jakarta, Kelompok Demokrasi dan Pembangunan melaksanakan fusi 5 Partai Politik menjadi satu wadah Partai yang bernama Partai Demokrasi Indonesia meskipun pada awal fusi sebenarnya muncul 3 (tiga) kemungkinan nama untuk fusi menjadi :Partai Demokrasi Pancasila, Partai Demokrasi Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia. Tahun 1998 membawa angin segar bagi PDI dibawah kepemimpinan Megawati.Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi politik, PDI dibawah kepemimpinan Megawati kian berkibar. Pasca Lengsernya
37
Embed
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_030033_chapture4.pdf · Di dalam Kongres V PDI, Megawati Soekarnoputri terpilih kembali
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
109
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. 1 Gambaran Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merupakan partai politik yang
sebenarnya adalah partai yang memiliki tali kesejarahan dengan partai politik
masa orde lama. PDI Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari Partai Demokrasi
Indonesia yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973. Partai Demokrasi Indonesia
lahir dari hasil fusi 5 (lima) partai politik. Kelima partai politik tersebut yaitu :
Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai
Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Murba.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pada tanggal 10 Januari
1973 di Kantor Sekretariat PNI di Jalan Salemba Raya 73 Jakarta, Kelompok
Demokrasi dan Pembangunan melaksanakan fusi 5 Partai Politik menjadi satu
wadah Partai yang bernama Partai Demokrasi Indonesia meskipun pada awal fusi
sebenarnya muncul 3 (tiga) kemungkinan nama untuk fusi menjadi :Partai
Demokrasi Pancasila, Partai Demokrasi Pembangunan, Partai Demokrasi
Indonesia.
Tahun 1998 membawa angin segar bagi PDI dibawah kepemimpinan
Megawati.Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi
politik, PDI dibawah kepemimpinan Megawati kian berkibar. Pasca Lengsernya
110
Soeharto, dukungan terhadap PDI dibawah kepemimpinan Megawati semakin
kuat, sorotan kepada PDI bukan hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar
negeri.
Pada tanggal 8-10 Oktober 1998, PDI dibawah kepemimpinan Megawati
menyelenggarakan Kongres V PDI yang berlangsung di Denpasar Bali. Kongres
ini berlangsung secara demokratis dan dihadiri oleh para duta besar negara
sahabat. Kongres ini disebut dengan "Kongres Rakyat".
Di dalam Kongres V PDI, Megawati Soekarnoputri terpilih kembali menjadi
Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi. Didalam Kongres
tersebut, Megawati diberi kewenangan khusus untuk mengambil langkah-langkah
organisatoris dalam rangka eksistensi partai, NKRI dan UUD 1945, kewenangan
tersebut dimasukan di dalam AD-ART PDI. Meskipun Pemerintahan sudah
berganti, namun yang diakui oleh Pemerintah adalah masih tetap PDI dibawah
kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea. Oleh karenanya agar dapat mengikuti
Pemilu tahun 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada
tanggal 1 Februari 1999 yang disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal,
kemudian dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999 di Istora Senayan Jakarta.
Bendera PDI Perjuangan berkibar di seluruh penjuru Nusantara. Partai
berlambang banteng bulat bermata galak ini, memenangkan pemilu 1999. Partai
Megawati ini meraih 35% suara. Pada Pemilu 2004, PDI perjuangan menargetkan
memperoleh 40% suara untuk kursi legislatif. Serta menghantarkan Megawati
kembali menduduki kursi RI-1.
111
PDI perjuangan menjalankan program pengentasan kemiskinan. Di
Kabupaten Bantul, Yogyakarta misalnya, bupatinya berasal dari PDI Perjuangan
menjalankan program perdayaan ekonomi rakyat, bertajuk babonisasi. Ada juga
program penghapusan rentenir, caranya Pemerintah daerah memberikan pinjaman
kepada pedagang kecil di pasar. Selain itu Pemerintah daerah setempat juga
membeli gabah hasil panen petani, harganya jauh lebih tinggi dibandingkan harga
Bulog. Lebih dari itu PDI Perjuangan juga menyatakan perang melawan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Birokrasi pada umumnya masih banyak melakukan
penyalahgunaan kekuasaan. KKN juga masih mewarnai pemilihan kepala daerah.
Tidak sedikit pemilihan kepala daerah di Indonesia yang tidak tercemar politik
uang. Karena itu, PDI Perjuangan getol menggolkan rencana pemilihan kepala
daerah secara langsung. Kasus politik uang dalam pemilihan kepala daerah di
beberapa tempat memang sempat menodai citra PDI Perjuangan. Walaupun
demikian, PDI Perjuangan adalah partai yang berani membersihkan diri, memecat
beberapa kader partainya yang ebrmasalah. Pembersihan kader bermasalah
bertujuan untuk mengembalikan citra PDI Perjuangan, karena kunci sukses partai
politik adalah bagaimana merebut hati rakyat.
1.2 Gambaran Umum Partai Golongan Karya
Partai Golkar merupakan kelanjutan Sekretariat Bersama Golongan Karya
yang didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964 di Jakarta.Golongan Karya
melakukan perubahan paradigma serta menegaskan dirinya sebagai partai politik
pada Rapat Pimpinan Paripurna Golongan Karya tanggal 19 Oktober 1998 dan
dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 7 Maret 1999, dengan nama Partai
112
Golongan Karya. Dengan perubahan tersebut, Partai Golongan Karya sepenuhnya
mengemban hakikat partai politik sebagai pilar demokrasi dan kekuatan politik
rakyat untuk memperjuangkan cita-cita dan aspirasinya secara mandiri, bebas dan
demokrasi. Bahwa Golongan Karya adalah pengemban hakikat tatanan baru, yang
dijiwai semangat pembaharuan, budi pekerti luhur, akhlak mulia dan moral serta
semangat pembangunan terus-menerus dalam meningkatkan karya dan kekaryaan
di segala bidang kehidupan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mengingat semangat cita
dan citra pembaharuan belum sepenuhnya dapat diwujudkan, mendorong
timbulnya tuntunan agar pembaharuan dilaksanakan dengan menggemakan
reformasi di segala bidang.
Sebagai partai politik, sumber daya manusia dan organisasi Golkar
memang diakui paling solid. Golkar beruntung menjadi partai utama sepanjang
Orde Baru. Di era politik otoriter ketika itu, hampir semua sumber daya manusia
terbaik di Indonesia terserap ke Golkar. Pada masa reformasi memang terjadi
migrasi eksponen Golkar ke partai lain. Sekalipun banyak dihujat dan dicerca
sebagai antek Orde Baru, Golkar tidak juga lumpuh. Bahkan pada pemilu 1999
kali pertama di zaman reformasi, Golkar mengungguli partai-partai baru yang
mengkalin mengusung reformasi. Partai berlambang pohon beringin ini meraup
22,43% suara, atau nomor dua di bawah PDI perjuangan (33%).
Partai besar yang sudah lama eksis dalam dunia perpolitikan Indonesia ini
resmi dinyatakan sebagai pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada
tahun 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara
113
sah. Kemenangan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai Golkar
karena pada Pemilu Legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Perjuangan mendominasi perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai Golkar
menduduki peringkat kedua dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari
suara sah. Sekilas Partai Golkar mendapat peningkatan 738.999 suara, tapi dari
presentase turun sebanyak 0,86%.
B. Deskripsi Hasil Wawancara
Penelitian yang telah dilakukan adalah melakukan wawancara terhadap
beberapa orang informan diantaranya adalah:
1. Suryana adalah aktifis dari PDI Perjuangan yang menjabat di Komisi II DPR
RI farksi PDI Perjuangan. Beliau beralamt di Wisma DPR-RI Blok E No. 330
Kalibata Jakarta Selatan 12750. Sementara posisinya di DPD PDI perjuangan
Jawa Barat adalah sebagai wakil ketua bidang politik dan pemenangan
pemilu.Berikutnya di sebut dengan kode SR
2. Rahadi Zakaria, S.Ip adalah aktifis senior dari PDI perjuangan yang juga
sebagai seorang dosen, posisinya di DPD PDI perjuangan Jawa Barat adalah
sebagai wakil ketua bidang informasi dan komunikasi. Berikutnya disebut
dengan kode RZ
3. Isa Subagja adalah aktifis dari PDI perjuangan yang berkedudukan sebagai
ketua DPC PDI perjuangan Kota Bandung. Beliau juga pernah menjabat
sebagai ketua DPRD kota Bandung , dan kini beliau berkedudukan di komisi
A DPRD kota Bandung. Berikutnya disebut dengan kode IS
114
4. Ir. Edi Susianto adalah aktifis dari Partai PDI perjuangan posisinya di DPD
PDI perjuangan Jawa Barat adalah sekretaris. Berikutnya disebut dengan
kode ES
5. H. Idris Yusuf Lubis adalah aktifis dari Partai PDI perjuangan posisinya di
DPD PDI perjuangan Jawa Barat adalah wakil sekretris bidang eksternal.
Berikutnya disebut dengan kode ES
6. Drs. H. Soleh adalah aktifis dari Partai Golkar, beliau merupakan salah satu
anggota DPRD provinsi Jawa Barat. Berikutnya disebut dengan kode SL
7. Dr. Sunatra MS. SH adalah aktifis dari partai Golkar yang juga merupakan
dosen di pasca sarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), di DPD Partai
Golkar Provinsi Jawa Barat beliau berkedudukan sebagai Wakil ketua dalam
bidang pemenangan pemilu, organisasi kepemudaan dan kaderisasi (PPOKK).
Berikutnya disebut dengan kode SN
8. Gani Kusuma Subrata adalah aktifis senior dari Partai Golkar, di DPD Partai
Golkar Provinsi Jawa Barat beliau berkedudukan sebagai sekertaris.
Berikutnya disebut dengan kode GS.
9. M. Hardi Maksud adalah aktifis senior dari Partai Golkar, beliau sempat
menjadi anggota DPR RI. Berikutnya disebut dengan kode HM
10. HR. Budiman Hanadja Suganda adalah aktifis senior dari Partai Golkar, di
DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Barat beliau berkedudukan sebagai ketua
dalam bidang kerohanian, pemberdayaan perempuan. Berikutnya disebut
dengan kode HS.
115
11. Euis Siti Juleha Sahidin, S.Ip. MBA adalah aktifis dari Partai Golkar, di DPD
Partai Golkar Provinsi Jawa Barat beliau berkedudukan sebagai Wakil ketua
dalam bidang kerohanian, pemberdayaan perempuan Berikutnya disebut
dengan kode SJ.
12. Hj. Ganiwati.SH adalah aktifis dari Partai Golkar, di DPD Partai Golkar
Provinsi Jawa Barat beliau berkedudukan sebagai Wakil ketua dalam bidang
Advokasi, Hukum dan HAM. Berikutnya disebut dengan kode GT.
13. H. Gunawan adalah aktifis dari partai Golkar, di DPD Partai Golkar Provinsi
Jawa Barat beliau berkedudukan di sekretariat. Berikutnya disebut dengan
kode GW.
1. Tanggapan Kognitif Aktifis Partai Politik Terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007
1.1 Interpretasi Aktifis Partai Politik Terhadap Calon Perseorangan
Calon perseorangan sebagai buah putusan Mahkamah konstitusi (MK)
Nomor 05/PUU V/2007 ditanggapi beragam oleh aktifis partai politik, akan tetapi
istilah perseorangan tersebut di tolak oleh semua informan. Menurut mereka,
tidak ada istilah perseorangan bagi seorang calon, bagaimanapun juga dalam
pemilu seorang calon tidak akan lepas dari masa pendukung sehingga istilah yang
lebih tepat digunakan bagi calon tanpa mekanisme partai politik (parpol) adalah
calon perorangan. Terhadap istilah perseorangan tersebut tidak sedikit yang
menyatakan bahwa istilah perseorangan sudah dipelesetkan oleh kelompok elit
yang menggiring pada proses pembodohan. Mereka juga menyatakan
116
kekecewaannya terhadap MK karena bertindak sangat subjektif dalam
memutuskan perkara, MK tidak berfikir ekses dalam memenangkan gugatan
tersebut.
Calon perseorangan banyak didefinisikan sebagai calon yang diusung oleh
pendukung yang bukan berasal dari parpol, akan tetapi definisi tersebut tidak
memberikan gambaran jelas akan sosok calon tersebut sehingga menimbulkan
pertanyaan baru yakni siapa yang boleh maju menjadi calon perseorangan.Draft
Rancangan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 seolah-olah menyatakan
bahwa yang perseorangan itu adalah pengusungnya, padahal menurut beberapa
informan wilayah perseorangan itu hendaknya diperuntukan bagi rakyat non
partisan baik untuk calonnya ataupun pendukungnya. Dibukanya kanal calon
perseorangan akan menjadi sebuah pintu masuk baru bagi para politisi yang
tidak kuat dengan partai politik, nama Sarwono dan Agum Gumelar disebut-sebut
sebagai contoh politisi yang mendeklarasikan dirinya sebagai calon perseorangan
padahal jelas-jelas mereka adalah seorang elit politik.
Lolosnya gugatan mengenai calon perseorangan ini menyita perhatian
masyarakat luas dan praktis harus disikapi serius oleh Pemerintah dan DPR
sebagai lembaga yang berwenang menindak lanjuti putusan MK tersebut.
Menurut wacana yang sedang beredar, ketentuan yang diberikan pada calon
perseorangan yaitu harus memenuhi syarat dukungan dan uang jaminan.
Mengenai ketentuan ini, sebagian besar informan memiliki jawaban yang
cenderung sama, pada dasarnya mereka menginginkan agar calon perseorangan
diberikan syarat yang sama dengan partai politik, dalam konteks ini calon
117
perseorangan harus mampu mengumpulkan 15% dukungan dari pemilih. Asas
keadilan menjadi alas an utama bagi mereka yang menginginkan syarat tersebut,
akan tetapi tidak sedikit juga yang mengakui bahwa sebenarnya syarat 15%
tersebut merupakan salah satu cara membatasi calon perseorangan dalam pilkada
agar terhindar dari keadaan chaos. Usulan lainnya adalah calon perseorangan
bebas dari ambang batas, mereka menghendaki calon perseorangan tidak
dibebankan oleh syarat dukungan atau sama dengan 0%. Pendapat berbeda
tersebut sebenarnya merupakan cara untuk mengingatkan MK, apabila putusan
itu memang memberikan ekses neagtif, berarti MK terbukti telah gegabah
memutuskan suatu perkara.
Mengenai syarat uang jaminan, sebagian besar informan menyetujui syarat
tersebut sebagai parameter dalam mengukur tingkat keseriusan seorang calon.
Suatau penyelenggaraan pasti membutuhkan biaya, jika calon terpilih sebagai
bakal calon lantas tidak mempunyai dana, dapat dipastikan dia tidak akan bisa
berjalan, maka calon harus menyimpan dulu uang ke KPU. Sementara itu,
menurut sebagian lainnya, parameter untuk mengukur tingkat keseriusan itu
berbeda-beda, maka dari itu syarat uang jaminan dianggap sesuatu yang tidak
baik, karena seorang politisi bukan seperti melamar kerja, sehingga tidak
memerlukan uang jaminan.
Sebagai kompetitor baru dalam pilkada, calon perseorangan mendapat
perhatian khusus dari berbagai elemen masyarakat terutama dari para pengamat
politik. Sebagaimana banyak dibicarakan oleh para pengamat politik, kelemahan
dan kelebihan calon perseorangan pun diakui oleh sebagian besar informan. Dari
118
seluruh informan, hanya SR yang tidak memberikan anlisis terhadap hal tersebut,
menurutnya terlalu prematur jika mengukur kelemahan dan kelebihan calon
perseorangan. Relasi politik antara DPRD dan eksekutif adalah dalam
kepentingan rakyat, masing-masing melakukan komunikasi, harus ada kesamaan
pandang, visi dan misi, karena yang menentukan bukan politisi tetapi rakyat.
kelemahan dan kelebihan calon perseorangan akan dapat diketahui setelah dia
duduk di lembaga eksekutif. Sebagian informan yang memberikan analisisnya
mengakui bahwa calon perseorangan memiliki kelebihan di bandingkan dengan
calon dari parpol. Tingkat legitimasi yang tinggi menjadi salah satu keunggulan
bagi calon perseorangan karena calon tersebut benar-benar diajukan oleh rakyat
dan mereka juga tidak akan terikat oleh kepentingan parpol. Berdasarkan hasil
survey, dalam pikada ataupun pilpres figur menentukan pemenangan yakni
sekitar 60% dan sisanya baru ditentukan oleh mesin politik ataupun ormas, dalam
hal ini calon perseorangan memiliki peluang yang besar apabila dia memang
seorang figur yang dicintai rakyat.
Menyoroti kelemahan calon perseorangan, sebagian informan melihatnya
dari sisi penggalangan kekuatan, partai mempunyai struktur sampai ke tingkat
ranting sehingga cost nya akan lebih mudah, tetapi calon perseorangan cost nya
akan lebih tinggi karena semuanya bersifat dadakan. Sebagian lainnya
menyatakan kekhawatirannya terhadap relasi calon perseorangan dengan DPRD.
Menurut mereka, calon perseorangan akan mengalami hambatan cukup sulit
secara politis jika dia tidak ada komunikasi politik yang baik dengan DPRD yang
notabene adalah orang-orang partai yang memiliki kepentingan dalam
119
Pemerintahan. Partai bisa saja menghambat calon perseorangan jika kebijakannya
nanti tidak sesuai dengan kepentingan partai.Calon perseorangan akan sulit
bekerja jika dia arogan dengan keperseoranganannya, selain itu juga dari sisi
pertanggungjawabannya calon perseorangan akan sulit dilacak. Apabila orang
partai melakukan kesalahan, maka partai tersebut akan di fanish oleh masyarakat,
tetapi apabila calon perseorangan melakukan kesalahan, siapa yang bisa dimintai
pertanggungjawaban, semuanya menjadi tidak jelas karena kita tidak tahu siapa
yang mengontrolnya saat dia menduduki jabatan kepala daerah.
1.2 Analisis Aktifis Partai Politik Terhadap Tampilnya Calon
Perseorangan Dalam Pilkada
Keputusan MK yang mengabulkan judicial review atas UU 32 /2004
tentang Pemerintah daerah, diharapkan dapat membangun sistem politik yang
lebih demokratis. Sejauh ini berbagai analisis terhadap tampilnya calon
perseorangan dalam pilkada mengerucut pada tiga pandangan. Pandangan
pertama meyakini bahwa calon perseorangan merupakan Hak Asasi Manusia
(HAM) yang dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28 tentang HAM. Mengakui calon
perseorangan sebagai HAM dalam negara demokrasi tidak lantas menyurutkan
kekecewaan terhadap keberadaan calon perseorangan dalam pilkada. Meskipun
mereka mengakui keberadaanya, tak pelak mereka mengutarakan kekecewaannya
terhadap keputusan MK tersebut. Jauh sebelum MK mengeleuarkan keputusan
kontroversial tersebut, pasal 59 ayat (3) UU No. 32/2004 telah lebih dulu
membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan namun memang dengan
mekanisme internal partai. Jadi jika memang ada calon dari luar yang memang
120
berkompeten, sebetulnya mereka bisa berafiliasi dengan partai, karena kini partai
sudah mulai terbuka. Seperti yang terjadi di Golkar, calon yang diajukan dalam
pilkada di Tasik dan Sukabumi merupakan calon yang bukan dari kalangan partai,
demikian yang diakui oleh informan yang berasal dari partai Golkar. Selain alasan
di atas, mereka memandang, pada dasarnya demokrasi di negara Indonesia
berbasis partai sehingga kepentingan masyarakat bisa disampaikan melalui parpol.
Argumen lain menyatakan bahwa meskipun mereka mengakui bahwa
calon perseorangan merupakan potensi, dengan melihat kondisi negara saat ini
keberadaan calon perseorangan dirasakan kurang bijaksana. Kemungkinan calon
perseorangan untuk tahun 2009 sangat kecil , karena ini juga kembali pada
kepentingan partai. Tahun 2009 partai besar atau pun kecil belum berani
pemilihan langsung seperti sekarang padahal iklim kita sudah bebas dengan
pilkada langsung ,hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa sistem politik di kita
belum siap. Menurut mereka, atas nama demokrasi pemilihan pilkada seperti saat
ini saja Negara kita hanya memproduk sampah dengan milyaran triliunan rupiah.
Sebagai contoh APBD untuk pilkada saja sekitar 600 milyar, itu hanya untuk
memproduk kertas suara, baligo, yang semuanya hanya habis pakai. Begitu juga
dengan calonnya, ada yang mengatakan calon harus mengeluarkan uang sampai
50 milyar bahkan ada isu sampai 100 milyar dan semuanya juga hanya
memproduk sampah. Keadaan seperti itu menggugah semua pihak untuk
mempertanyakan letak pendidikan politik dari pemilihan langsung tersebut,
masyarakat terus saja disuguhi pemilihan, dari mulai kepala desa sampai
pemilihan presiden sehingga kita stagnan hanya jalan di tempat dan tidak ada
121
peningkatan. Sementara itu, disaat yang sama masih banyak yang harus kita
pikirkan, pendidikan dan kesehatan harus tingkatkan, masih banyak sekolah-
sekolah yang sudah tidak layak dan semua itu membutuhkan waktu, pikiran,
tenaga dan uang karena sebenarnya yang harus kita pikirkan adalah kesejahteraan
rakyat. Putusan MK ini harus disikapi secara dewasa, lebih jauh lagi mereka
berharap sistem politik Negara kita untuk kembali pada keadaan semula karena
pada saat ini cost nya lebih tinggi, kecuali jika masyarakatnya sudah siap dan
terpenuhi berbagai kebutuhannya. Di samping itu juga menurut mereka setiap
Negara mempunyai budaya-budaya lokal yang tidak bisa disamakan dengan
Negara lainnya, oleh karena itu ukuran demokrasi di Negara lain belum tentu
sama dengan Negara kita.
Pandangan kedua menyatakan bahwa keberadaan calon perseorangan tidak
dapat dijadikan indikasi sebuah Negara demokrasi, dengan tegas mereka
menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keberadaan calon perseorangan.
Menurut mereka demokrasi merupakan rasa yang tidak bisa disamaratakan, hal
tersebut menunjukan bahwa demokrasi itu variatif, tergantung sudut pandang
suatu bangsa.Dalam konteks Negara Indonesia, demokrasi pancasila menjadi
sebuah acuan dalam kehidupan bernegara dengan cirinya yakni musyawarah
mufakat. Bertolak dari pemahaman tersebut, calon perseorangan tidak sesuai
dengan pancasila sila ke-4 yakni “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” mereka juga meyakini bahwa
pancasila dan UUD 1945 sudah sangat baik karena bersumber dari Alquran.
Mereka menganggap Negara kita sudah keliru dalam berfikir demokrasi, semua
122
yang berasal dari barat seolah-olah adalah yang terbaik. Kita selalu mencoba-coba
dan menyerap ajaran dari barat yang belum tentu sesuai dengan kebudayaan kita,
pada akhirnya kehadiran calon perseorangan hanya merusak sistem
ketatanegaraan kita.
Hadirnya calon perseorangan dalam pilkada seolah menumbuhkan harapan
baru bagi masyarakat yang terlanjur kecewa terhadap parpol.Namum demikian,
hal tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap eksistensi partai karena
dalam konteks pilkada langsung, partai telah mempunyai mekanisme sendiri.
Seperti di Golkar, ada mekanisme penjaringan, yaitu ketua, birokrasi dan
perseorangan. Setelah itu dilakukan survey dan siapa yang paling berpeluang
setelah itu dipilih melalui konvensi, lalu ditetapkanlah. Jadi partai sama sekali
merasa tidak terancam calon perseorangan asal dia memenuhi syarat dan
ketentuan yang berdasarkan pada azas keadilan.
1.3 Tanggapan aktifis partai politik terhadap kemenangan calon
perseorangan
Lolosnya gugatan terhadap UU pemda menyusul kemenangan calon
perseorangan di Nangro Aceh Darusalam (NAD) telah menimbulkan opini publik
yang menyudutkan partai. Seperti banyak di lansir diberbagai media massa,
lolosnya gugatan tersebut serta kemenangan calon perseorangan di NAD
dijadikan sebagai indikasi gagalnya parpol dalam rekrutmen parpol. Opini yang
sudah terlanjur beredar tersebut di tanggapi serius oleh aktifis parpol, mereka
berspekulasi bahwa terbentuknya opini tersebut merupakan salah satu kehebatan
dari kaum kapitalis asing yang ingin menguasai kekayaan Indonesia. Lebih jauh
123
mereka menduga bahwa tidak sedikit politisi yang menjadi antek kaum kapitalis
sehingga amandemen UUD 1945 pun adalah bagian dari rencana kaum kapitalis
tersebut.Walaupun demikian, mereka mengakui bahwa masyarakat NAD
memang telah lama kecewa terhadap rezim Pemerintahan negara Republik
Indonesia. Menurut mereka, parpol baru tumbuh pasca reformasi, sehingga
parpol yang masih baru belajar tidak patut disalahkan jika pada akhirnya
sebagian masyarakat alergi terhadap parpol. Untuk mengetahui tingkat
kepercayaan publik terhadap parpol, parpol meminta publik untuk
membuktikannya nanti dalam pemilihan legislatif.
Terhadap kemenangan aktifis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di NAD,
parpol menganggap itu suatu hal yang sangat wajar karena dalam pemilihan
kepala daerah figur mendominasi penentuan pemenangan. Kemenangan tersebut
tidak menjadi suatu masalah selama gubernur dan wakil gubernur NAD
melakukan komunikasi yang baik dengan parpol. Parpol hanya meminta gubernur
dan wakil gubernur memang bekerja untuk rakyatnya dan mereka berharap agar
NAD tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
tanpa ditunggangi oleh kepentingan asing.
124
2. Implemetasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007
Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat
2.1 Pemerintah dan DPR Dalam Revisi UU 32/2004 Sebagai Tindak Lanjut
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007
Revisi UU 32/2004 yang telah menjadi pilihan mutlak bagi tindak lanjut
putusan MK Nomor 05/PUU V/2007, sampai bulan Maret 2008 ini belum juga
dilaksanakan padahal tidak sedikit daerah yang akan melaksanakan pilkada. Telah
didesak oleh berbagai pihak, DPR dan Pemerintah hanya menjanjikan revisi
tersebut tanpa pelaksanaan. Keadaan tersebut memancing anggapan bahwa DPR
dan Pemerintah tidak serius menangani tindak lanjut putusan MK tersebut, bahkan
lebih jauh lagi kalangan tertentu menduga bahwa DPR dan Pemerintah sengaja
menunda sebagai salah satu cara menahan calon perseorangan sehingga hal ini
banyak diberitakan sebagai penjegalan teknis kepada calon perseorangan.
Konsisten atau tidaknya DPR dan Pemerintah dalam memprioritaskan
revisi UU 32/2004 selayaknya ditanyakan langsung kepada DPR dan Pemerintah,
tidak banyak informan yang tahu persis alasan Pemerintah dan DPR belum
mewujudkan revisi tersebut. Sebagian informan hanya menduga bahwa
kelambatan tersebut dikarenakan DPR dan Pemerintah sedang mencari format
yang tepat untuk calon perseorangan agar bisa mebuat aturan yang adil bagi
semua pihak. Sebetulnya partai politik sudah banyak menghimpun aspirasi dari
kalangan perseorangan. Partai politik melalui DPR mendesak Pemerintah untuk
segera mengeluarkan peraturan perundangan. Idealnya mengajukan Rancangan
Undang-Undang unuk calon perseorangan agar ada kepastian hukum. Sedangkan
125
menurut salah satu informan yang notabene adalah seorang anggota DPR RI dari
fraksi PDI Perjuangan, sebelumnya beliau memprediksi bahwa revisi tersebut
akan rampung bulan maret 2008. Menurutnya membuat suatu Undang-Undang
bukanlah suatu hal yang mudah, lagi-lagi beliau menyalahkan MK yang
dianggapnya sesuka hati meloloskan suatu gugatan . MK dipandangnya
memutuskan suatu perkara dengan sleranya sendiri tanpa memikirkan tindak
lanjutnya yang senantiasa menjadi pekerjaan sulit bagi DPR.
2.2 Peluang Bagi Calon Perseorangan Dalam Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur Jawa Barat Pada April 2008.
Peluang bagi calon perseorangan dalam pemilihan gubernur dan wakil
gubernur di Jawa Barat sangat sedikit , aturan teknis menjadi alasan urungnya
calon perseorangan membuktikan keseriusannya dalam arena pilkada. Hingga
Maret 2008, DPR dan Pemerintah belum juga melakukan revisi terhadap UU
32/2004 padahal sebelumnya salah satu anggota DPR memperediksikan revisi
tersebut akan rampung bulan Maret 2008. Seperti sebuah janji, sebagian pihak
yang berkepentingan dalam pilkada mendesak agar DPR dan Pemerintah untuk
segera menepatinya.
Beragam solusi pun ditawarkan agar calon perseorangan bisa lolos
mengikuti pilkada, diantaranya tidak sedikit yang mengajukan usulan agar
persyaratan bagi calon perseorangan disamakan dengan di NAD yakni
mengumpulkan dukungan sebanyak 3% dari jumlah pemilih. Terhadap usulan
tersebut, sebagian besar aktifis parpol tidak menyetujui nya, mereka menegaskan
bahwaq Negara kita adalah Negara hukum, calon perseorangan diputuskan oleh
126
MK akan tetapi MK tidak memiliki hak eksekusi karena MK hanya berwenang
menetapkan saja. Sebagai tindak lanjutnya Pemerintah sudah memilih untuk
merevisi undang-undang Pemerintahan daerah, sehingga menurut mereka calon
perseorangan memang harus sabar menunggu aturan yang dituangkan dalam
revisi UU 32/2004.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Tanggapan Kognitif Aktifis Partai Politik Terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007
1.1 Interpretasi Aktifis Partai Politik Terhadap Calon Perseorangan.
Keputusan MK yang telah meloloskan calon perseorangan dalam pilkada
sebenarnya menjadi semangat baru bagi penguatan hak-hak publik, yang
memungkinan adanya ruang bebas dan kompetisi yang sehat sesuai dengan rule of
the game yang berlaku. Selain itu calon perseorangan membuka ruang baru dalam
demokrasi yang selama ini dihegemoni oleh partai politi, karena saat itu kendati
rakyatlah yang menentukan calon, namun pilihan itu telah lebih dahulu dipilih
dan ditetapkan oleh partai politik.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran McIver (Pito, 299) yang
mengkritisi hegemoni parpol dalam pemilihan umum, dinyatakannya bahwa:
Dengan pemilihan umum saja rakyat sudah dibatasi dalam pilihannya . pada umumnya mereka memilih antara calon-calon yang tidak diajukan mereka sendiri. Organisasi partai menguasai bagian yang terbesar dari seleksinya. Partai hanya memberikan kepada rakyat pemutusan antara calon-calonnya dan calon-calon partai lain. Kandidat yang merdeka sangat dipersulit dan sekurang-kurangnya ia membaurkan persoalan. Seleksi oleh partai adalah jauh daripada suatu proses demokratis. Ia dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan ; jasa yang telah diberikan
127
dalam hal keuangan atau dengan cara lain kepada organisasi, tentang gengsi yang melekat pada golongan-golongan keluarga yang terkenal, tentang kesediaan calon untuk mentaati perintah partai dan tentang keinginan-keinginan daripada pemimpin-pemimpin inti pusat partai yang mengendalikan partai. Memang ada unsur positifnya ketika seorang calon diajukan oleh partai
politik atau kekuatan politik yang juga berada di parlemen. Karena seorang
kepala daerah pada dasarnya adalah jabatan politik yang diperoleh dari sebuah
proses politik. Partai politik secara teoritis merupakan perwujudan atau akulturasi
dari keseluruhan aspirasi masyarakat dan DPRD adalah bagian dari mekanisme
demokrasi dengan sistem perwakilan.Keadaan tersebut memang banyak di
khawatirkan banyak pihak, bisa jadi seorang kepala daerah non partai yang
terpilih dalam pemilihan langsung oleh rakyat kemudian tidak bisa efektif bekerja
karena kurang didukung oleh lembaga legislatif. Namun bisa juga berpikir
sebaliknya karena bukankah akan lebih baik bila antara lembaga eksekutif dan
legislatif tidak berasal dari satu kekuatan politik sehingga bisa terjadi mekanisme
check and balance.
Legitimasi menjadi hal yang sangat penting dan diperlukan oleh suatu
Pemerintahan yang akan atau tengah berkuasa.Seperti halnya menurut Franz
Magnis Suseno bahwa legitimasi pencalonan termasuk legitimasi eliter, paham
legitimasi ini berdasarkan pada anggapan bahwa untuk memerintah masyarakat
diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki seluruh rakyat. Mereka yang
memilikinya merupakan elit masyarakat dan dengan sendirinya berhak untuk
memegang kekuasaan.Namun kenyataan kerap tidak sesuai dengan harapan,
pemilihan kepala daerah tidak langsung memberikan pelajaran berharga pada kita
128
selama ini bahwa pemilihan yang elitis kerapkali mengesampingkan aspirasi
masyarakat di akar rumput.Maka dari itu tidak salah jika kehadiran calon
perseorangan sangat digandrungkan dalam melahirkan pemimpin berkualitas,
yang selama ini tidak muncul karena mekanisme internal partai politik yang
kurang bersih. Apalagi dalam sistem politik yang demokratis menjadi keharusan
pada setiap proses politik yang terjadi menciptakan masyarakat yang lebih
partisipatif, terbuka dan bertanggungjawab yang bisa menjadi media bagi
kebaikan bersama. Oleh karenanya maka penyelenggaraan Pilkada harus
mendorong peningkatan partisipasi politik masyarakat seperti banyak diyakini
oleh banyak ahli politik diantaranya Samuel Huntington (Pito, 301) menyatakan
bahwa ”pemilu sebagai media pembangunan partisipasi politik rakyat dalam
negara modern. partisipasi politik merupakan arena seleksi bagi rakyat untuk
mendapatkan jabatan-jabatan penting dalam Pemerintahan”.
Implikasi dikabulkannya judicial review ini akan membawa konsekuensi
pada tuntutan untuk diberikannya hak bagi calon perseorangan ikut dalam
mekanisme seleksi kepemimpinan politik pada pemilu 2009 mendatang. Adanya
tuntutan masyarakat agar calon perseorangan menggunakan hak politiknya
merupakan cermin adanya ketidakpercayaan parpol menjadi wadah penyalur
aspirasi politik masyarakat. Tuntutan calon perseorangan ini pun mencerminkan
adanya ketidakpercayaan masyarakat kepada para elit politik yang berasal dari
parpol. Dengan dikabulkannya judicial review tersebut dapat menjadi pengalaman
dan pembelajaran bagi parpol di Indonesia untuk lebih meningkatkan peranannya
sebagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat konstituennya.
129
Dalam situasi ini, calon perseorangan menjadi penting kehadirannya untuk
menyadarkan partai politik pada tugas utamanya. Lebih sensitif lagi terhadap
berbagi tuntutan dan harapan publik, calon perseorangan secara positif akan bisa
meminimalisir lahirnya praktek money politic yang selama ini mewarnai transaksi
politik khususnya dalam penetapan calon kepala daerah. Untuk kepentingan
tumbuhnya demokrasi dan iklim politik yang lebih bersih, partai politik harus
memberikan jalan bagi calon perseorangan, sehingga punya kekuatan selektif dan
lebih cerdas mempelajari berbagai kelemahan dan keunggulan yang dimilikinya.
Partai politik yang sehat seharusnya tidak punya keraguan pada calon
perseorangan, karena partai politik memiliki mesin politik yang bisa diandalkan
untuk bekerja lebih efektif dibandingkan dengan calon perseorangan. Belum lagi
lahirnya berbagai manuver yang berusaha membatasi calon perseorangan dengan
persyaratan 15 persen dari jumlah pemilih, sebagaimana yang berlaku bagi calon
kepala daerah dari partai politik. Padahal dukungan 15 persen yang dipakai oleh
partai politik bukanlah untuk kepentingan calon kepala daerah, karena suara
publik itu untuk kepentingan anggota legislatif yang seharusnya tidak bisa
dimonopoli partai politik. Sementara calon perseorangan betul-betul murni untuk
kepentingan pencalonan kepala daerah.Sangat tidak rasional ketika calon
perseorangan harus disamakan dengan partai politik, partai politik bekerja
berkelompok dalam kekuatan mesin partai yang sudah memiliki jaringan kuat
sampai pada tingkat ranting (kelurahan/desa). Kebijakan tersebut sangat tidak
adil, apalagi jika dihubungankan dengan keputusan sebelumnya yang berlaku di
Aceh yang hanya memberlakukan 3 persen bagi calon perseorangan. Sehingga
130
tidak heran jika sikap partai politik yang menetapkan persyaratan 15 persen tanpa
ada kompromi bagi calon perseorangan, dapat dipahami sebagai langkah
sistematis partai politik untuk memberatkan dan menghadang lahirnya calon
perseorangan. Partai politik rupanya tidak rela hak-hak politknya dipangkas,
apalagi hanya dari kalangan perorangan.
Berapa syarat besaran dukungan bagi calon perseorangan yang rasional
memang harus dibicarakan terbuka. Demikian pula, sebelum membahas draft
awal RUU tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, sebaiknya
DPR melakukan dengar pendapat atau dialog publik untuk menemukan formula
yang tepat. Tujuannya tentu agar pengaturan mengenai calon perseorangan
mendapat dukungan masyarakat. Syarat dukungan yang kecil dipandang
demokratis namun memicu masalah teknis dan legitimasi. Syarat dukungan yang
kecil identik dengan banyaknya calon kepala daerah. Hal itu memperumit
penyelenggaraan pilkada, seperti proses verifikasi dukungan, pengadaan logistik,
pembesaran biaya, dan sebagainya. Selain itu, banyaknya calon juga menyulitkan
kontestan meraih legitimasi keterpilihan yang kuat. Kedua, syarat dukungan yang
besar dinilai kurang demokratis namun mempermudah masalah teknis dan
pencapaian legitimasi bagi calon terpilih. Syarat dukungan yang besar identik
dengan sedikitnya calon kepala daerah. Sedikitnya calon tentu mempermudah
terknis penyelenggaraan pilkada dan pencapaian legitimasi yang kuat dari
konstestan. Argumen mengenai syarat dukungan yang kecil identik dengan
banyaknya calon kepala daerah tidak sepenuhnya benar karena Putusan MK
harus bisa dilaksanakan dengan aturan yang realistis, misalkan di Jawa Barat
131
yang memiliki penduduk sekitar 20 juta, jika disyaratkan tiga persen saja, calon
harus mencari tanda tangan 600 ribu penduduk. Itu sudah cukup berat. Bayangkan
jika syaratnya 15 persen atau 10 persen, mustahil dilaksanakan. Cost-nya akan
sangat tinggi. Kekhawatiran akan membeludaknya calon perseorangan tidak perlu
terjadi. Di Aceh terbukti hanya muncul enam calon perseorangan.
1.2 Analisis Aktifis Partai Politik Terhadap Tampilnya Calon
Perseorangan Dalam Pilkada
Calon perseorangan tanpa mekanisme partai dalam pilkada telah
memaknai esensi demokrasi yang sesungguhnya karena kedaulatan benar-benar
di tangan rakyat. Aturan yang hanya menetapkan partai politk sebagai pintu satu-
satunya dalam memasuki arena kompetisi dalam politik hanya akan
menghilangkan salah satu keping nilai demokrasi.
Hal tersebut sejalan dengan teori negara modern yang diungkapkan oleh
Samuel Huntington (Pito, 301) :
Negara modern, adalah Negara demokratis yang memberikan ruang khusus bagi keterlibatan rakyat dalam jabatan-jabatan publik. Setiap jabatan publik ini merupakan arena kompetisi yang diperebutkan secara wajar dan melibatkan setiap warga Negara tanpa meminimalkan partisipasi setiap orang. Sesungguhnya, partisipasi politik dalam sistem pemilihan langsung
mempunyai dua sisi. Pertama, partisipasi untuk memilih dan memutuskan sendiri
pilihannya. Kedua, partisipasi untuk memilih dan sekaligus juga untuk dipilih.
Hak seorang warga negara untuk dipilih tidak dapat dibatasi oleh lembaga negara
dan partai politik. Baik sebagai anggota masyarakat biasa ataupun sebagai
anggota dari sebuah partai politik, mempunyai kesamaan kedudukan di dalam
132
konstitusi negara.Artinya, undang-undang manapun tak dapat diadakan untuk
membatasi hak politik warga negara hanya karena ia bukan bagian atau anggota
dari partai politik tertentu. Segala peraturan dan ketentuan perundang-undangan
harus tunduk dan patuh terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang telah
menjamin hak-hak politik yang paling mendasar dari setiap warga negara
Republik Indonesia tersebut.
Dalam pengertian modern, demokrasi berkonotasi perwakilan
(representative democracy) yang mengandaikan bahwa suara publik yang
mayoritas dilimpahkan kepada sedikit orang/elite, yang selanjutnya diberi
kewenangan untuk memerintah atas nama suara publik mayoritas tersebut. Namun
demikian, akar filosofisnya tetap sama yakni demi menjamin terpenuhi kebebasan
individual. Sesungguhnya, pilkada langsung dari awal prosesnya ingin
mengembalikan kesadaran berdemokrasi pada hakikat yang sesungguhnya.
Pilkada langsung memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa
yang berhak untuk dijadikan pelayannya (kepala daerah), yang tentu diharapkan
dapat menjadi pelayan masyarakat yang baik
Hak politik yang paling mendasar dari setiap warga negara dalam
demokrasi adalah terbukanya kesempatan untuk menentukan sendiri dan ikut serta
(partisipasi) dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Pilkada adalah
salah satu sarana yang mewadahi hak politik mendasar tersebut. Oleh karenanya
maka penyelenggaraan Pilkada harus mendorong peningkatan partisipasi politik
masyarakat. Tak seorang pun bisa membantah bahwa institusi partai politik
merupakan tulang punggung demokrasi modern. Meskipun demikian, ironi pula
133
jika seluruh persoalan bangsa kita diserahkan bulat-bulat kepada para politikus
partai yang tidak memiliki komitmen etis mengelola perubahan dalam rangka
perbaikan nasib rakyat.Citra kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat tak mungkin
dilepaskan dari perilaku para anggotanya. Perilaku buruk anggota Dewan bisa
membuat citra lembaga menjadi terpuruk, bahkan menghapus kerja keras yang
sudah mereka lakukan. Hal inilah yang kini terjadi pada DPR karena itu, berbagai
elemen civil society tampaknya perlu lebih solid dan bekerja lebih keras agar
dapat mengisi peran komplementer dan substitusi atas ketiadaan komitmen moral
dan atau etis partai-partai mewujudkan Pemerintahan yang baik dan bersih karena
sejatinya demokrasi memang menyediakan ruang tersebut.
Tinjauan tersebut sejalan dengan pemikiran tentang negara demokratis
yang diungkapkan oleh Deliar Noer (1982:206) bahwa:
Didalam negara demokratis dimana pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk menilai kebijaksanaan Pemerintah dan negara, oleh karena kebijaksanaan ini menentukan hidup rakyat itu.
Dari pendapat tersebut dapat dibenarkan bahwa termasuk di dalamnya,
mendesak perubahan kebijakan dan rencana kebijakan yang menafikan peran
komplementer dan substitusi masyarakat dalam ikut mengawal partai-partai agar
kembali ke fitrah mereka sebagai representasi kepentingan publik bukan malah
representasi kapital. Dalam hubungan ini, wacana tentang perlunya calon
perseorangan dalam pilkada secara langsung, mestinya tidak dicurigai oleh partai-
partai sebagai upaya "mempreteli" peran dan fungsi mereka.
134
Para politikus partai di DPR khususnya, sangat tidak patut jika tetap
mencurigai hadirnya calon perseorangan dalam pilkada langsung, karena hal itu
tidak akan pernah mengurangi fungsi dan peranan partai sebagai institusi
demokrasi yang terpenting. Dalam situasi di mana rakyat yang begitu muak
terhadap ulah sebagian politisi partai, hadirnya calon perseorangan dalam pilkada
langsung menjadi obat bagi luka politik yang dialami rakyat. Penolakan sebagian
aktifis parpol terhadap calon perseorangan tidak hanya makin mengecewakan
publik, tetapi juga bisa berdampak pada munculnya pembangkangan rakyat di
daerah-daerah yang diwujudkan dalam bentuk golput massal dalam pilkada
langsung dan pemilu 2009. Bukankah pilkada langsung akan kehilangan makna
jika mayoritas rakyat melakukan golput massal sebagai wujud protes mereka.
masyarakat antara lain melalui introduksi calon perseorangan dalam pilkada
langsung dalam era transisi demokrasi dewasa ini jelas tetap diperlukan dalam
rangka mendukung peran partai yang lebih optimal.
Era transisi demokrasi pada tataran ideal memang memerlukan penguatan
eksistensi parpol.Akan tetapi,jika oligarki parpol semakin menguat, jawaban yang
tepat adalah memunculkan calon perseorangan untuk mengikis oligarki tersebut.
Hegemoni parpol inilah yang tidak kita inginkan, sedangkan calon perseorangan
bisa menjadi wacana untuk meminimalisasi hegemoni partai-partai politik tersebut
dalam setiap kontes-kontes politik di Tanah Air. Sekurang-kurangnya, kehadiran
calon perseorangan, kendati belum tentu berpeluang menang tetapi diyakini dapat
mengerem arogansi dan orientasi harta-takhta sebagian politisi partai di satu
pihak, dan meningkatkan antusiasme masyarakat dalam pilkada langsung di lain
135
pihak.Pilkada belum bisa dikatakan sebagai perwujudan demokrasi yang menjadi
amanah reformasi, ketika kita melihat bahwa pilkada bukan lagi untuk
kepentingan masyarakat melainkan untuk kemenangan politik yang secara
otomatis untuk kemenangan golonganya saja. Padahal dalam sebuah reformasi
kemenangan yang diperoleh tentu semata-mata untuk masyarakat. bahkan secara
umum reformasi saat ini lebih terkesan berpihak kepada kelompok kepentingan
seperti elite politik, pengusaha, LSM, dan partai politik dari pada kepentingan
masyarakat sendiri.
Salah satu fenomena yang menarik dalam proses pilkada di Indonesia
adalah cost politik yang harus dibayar seorang calon ketika nantinya ia berhasil
memenangkan pilkada. Di banyak daerah, untuk menjadi gubernur, bupati, atau
wali kota, bahkan kepala desa, seorang calon mengabiskan miliaran rupiah.
Sebuah jumlah yang sangat besar dan membuat kita bertanya untuk apa uang itu
dan dari mana berasal. Dalam proses demokratisasi politik memang sering
membutuhkan biaya social dan ekonomi yang tinggi, karenanya mungkin tidak
bisa dipungkiri kalau seandainya pasangan calon terpilih maka dia akan berusaha
mengembalikan dana yang telah dikeluarkan terlebih dahulu dengan berbagai
cara. sehingga kemenangan pasangan calon yang notabennya kemenangan
masyarakat hanya tinggal kenangan. Kuat dugaan, politik uang akan kembali
terjadi, seorang calon tak akan memperoleh tiket dengan gratis.
136
1.3 Tanggapan Aktifis Partai Politik Terhadap Kemenangan Calon
Perseorangan
Secara umum, persepsi masyarakat terhadap calon perseorangan
menunjukan gejala positif, berdasarkan survei dari lembaga penelitian,
masyarakat lebih bisa menerima calon perseorangan daripada kandidat yang
diajukan oleh parpol. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan calon perseorangan
memang seharusnya menjadi sebuah kenyataan politik.
Seperti yang ditegaskan oleh Masdar (1999:127), salah satu syarat pemilu
demokratis adalah tersedia mekanisme rekrutmen politik bagi calon-calon wakil
rakyat yang demokratis, berikut penjelasannya:
Harus ada sebuah mekanisme pemilihan calon wakil rakyat yang tidak top down (diturunkan oleh elite partai dan penguasa, dari atas), melainkan bottom up (berdasarkan inisiatif mandiri dan aspirasi dari bawah). Praktik dropping calon wakil rakyat yang berjalan di Indonesia selama ini adalah sebuah kekeliruan. Sesuai pemilihan di tingkat internal partai, seyogyanya tidak ada mekanisme eksternal partai yang dapat membatalkan keputusan-demokratis yang telah dibuat di dalam partai. Kondisi politik Indonesia memang memberikan penjelasan lain,
kemunculan calon perseorangan ini menunjukan kulminasi dari ketidakpercayaan
masyarakat terhadap parpol, lebih tepatnya perilaku elit parpol yang
memunculkan suasana oligarki dalam tubuh parpol semakin menguat.
Dalam hubungannya dengan kemenangan calon perseorangan di Nangroe
Aceh Darussalam (NAD), parpol tidak serta merta bisa disalahkan atas keadaan
tersebut. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2006 mengenai
Pemerintahan Aceh (PA) memang mengatur calon perseorangan di Aceh, akan
tetapi patut dipertanyakan apakah calon perseorangan itu benar-benar
137
perseorangan, sebenarnya di balik calon perseorangan di Aceh, terdapat mesin
politik yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM walalupun tidak mengaku
sebagai parpol, tetapi pada prakteknya, GAM melakukan fungsi-fungsi parpol dan
tujuannya juga merebut kekuasaan dan memepertahankannya jika berhasil
diperoleh. Aceh sangat khusus karena pada 2004 eksponen GAM tidak terwakili
dalam parpol. Saat itu, GAM berperang di hutan-hutan dan tidak ikut pemilu.
Mesti ada sebuah klarifikasi bahwa kemunculan calon perseorangan
bukanlah merupakan suatu usaha yang dilakukan bagi mematikan eksistensi
parpol. Parpol harus diperkuat pada era transisi politik. Akan tetapi pada sisi lain,
jika parpol terlalu kuat akan melahirkan oligarki. Era transisi demokrasi pada
tataran ideal memang memerlukan penguatan eksistensi partai. Akan tetapi jika
oligarki parpol semakin menguat, jawaban yang tepat adalah memunculkan calon
perseorangan untuk mengikis oligarki tersebut.Hegemoni parpol inilah yang tidak
kita inginkan, sedangkan calon perseorangan bisa menjadi wacana untuk
meminimaisasi hegemoni parpol tersebut dalam setiap kontes politik di Tanah air.
Sekali dalam proses rekrutmen terjadi aroma korupsi, hanya
mementingkan aspek kemampuan ekonomis dari calon, maka selamanya dalam
proses berikutnya akan melahirkan penyakit politik uang sampai kegagalan
Pemerintahan melayani masyarakat. Masyarakat sendiri akan mudah
mendelegitimasi kepala daerah terpilih ketika prosesnya dinilai cacat secara
hukum dan moral. Situasi buruk akan selalu membayangi. Dan itu bukanlah
pelajaran demokrasi yang baik untuk masyarakat. Kita sendiri harus belajar dari
banyak pengalaman betapa parpol telah gagal dalam proses rekrutmen politik saat
138
ini. Kita tentu tidak lupa dalam proses rekrutmen politik terbesar ketika rentang
Pemilu Legislatif 2004, yang kini menghasilkan wakil rakyat di parlemen. Proses
rekrutmen itu ternyata justru menjerumuskan partai dalam kegagalan tiada henti:
aroma kolusi, politik uang, korupsi, nepotisme, konflik dst bertebaran di berbagai
wilayah.
Apa yang terjadi saat itu adalah karena masih kuatnya elit partai untuk
yang secara oligarkis menentukan orang yang akan menduduki kursi dewan.
Rakyat sendiri hanya memiliki kesempatan yang sempit untuk berperan. Tak
heran pembakaran bendera dan logo partai, demonstrasi warga partai sangat
marak saat itu. Kita harus belajar dari sana sekarang juga. Ada beberapa catatan
untuk konteks ini yakni perlunya mempertegas mekanisme penjaringan partai dari
bawah hingga sang calon terseleksi menjadi tunggal untuk dijadikan jago dalam
pilkadal. Selama ini yang terjadi, proses penjaringan yang terjadi di partai terjadi
sangat elitis. Seperti halnya ditegaskan M. Kemal Tamsir (2005) bahwa :
Parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan untuk mengajukan calon hendaknya lebih mengutamakan pendapat atau tanggapan masyarakat dalam mekanisme pencalonan kepala daerah. Sehingga pasangan calon yang ikut menjadi peserta pemilihan sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Pada kenyataannya anggota partai dan masyarakat umum tidak
mengetahui mengapa tiba-tiba muncul sejumlah nama yang tidak familiar
baginya. Masyarakat harus mengetahui ini untuk menghindari intrik politik yang
tidak sehat, di mana calon hanya ditentukan oleh kapasitas ekonominya sendiri
atau kapasitas ekonomi becking-nya. Hal ini berkaitan dengan kompetisi
demokratis dan kriteria yang ditentukan di dalam partai bersangkutan. Jangan
139
terjadi, justru karena penetapan kriteria yang tidak transparan membuat konflik di
tingkat internal partai semakin merunyam.Selanjutnya perlunya melembagakan
partisipasi masyarakat dalam bentuk forum-forum warga yang kritis yang akan
mengawasi dalam proses penjaringan balon kepala daerah ini. Hal ini penting
sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam mengawasi proses politik yang
terjadi di daerahnya. Tugas utama forum warga ini adalah untuk mengawasi
kinerja parpol dalam proses rekrutmen ini. Kemudian komponen masyarakat
lainnya seperti LSM dan perguruan tinggi, kelompok keagamaan, pondok
pesantren dst harus juga berperan dalam proses pengawasan ini. Jangan biarkan
partai berjalan atas nama elitnya sendiri, dan jangan berikan kesempatan partai
untuk bertindak di luar batas keinginan rakyat.Partai perlu melakukan proses
rekrutmen yang sehat dan rasional. Ini memang sulit dilakukan tetapi wajib
diterapkan jika memang demokrasi yang kita tuju. Mereka diseleksi bukan
sekedar karena dia punya uang banyak. Sistem partai dalam proses penjaringan ini
harus optimal dan sehat.Partai perlu melakukan seleksi awal kepada masyarakat
tentang figur seperti apa yang diidamkan menjadi kepala daerah. Masyarakat kita
sudah pintar dan jangan dianggap bodoh. Partai bisa melakukan survey, jajak
pendapat, riset tentang figur ini. Partai jangan melakukan simplifikasi bahwa
keinginan pengurusnya adalah sama dengan keinginan rakyat. Simplifikasi ini
tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi ke depan. Dengan kata lain,
dalam proses rekrutmen politik ini partai harus benar-benar menjalankan
fungsinya tidak secara karitatif belaka, melainkan sungguh-sungguh berorientasi
kepada rakyat. Partisipasi politik harus bermakna agar seseorang atau sekelompok
140
orang secara aktif turut serta dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih
pemimpin mereka secara langsung. Karena saluran yang dipakai untuk
mengartikulasikan partisipasi politik ini secara formal adalah melalui partai
politik, maka pengelola partai dengan kesadaran penuh harus bersedia
menjalankan politik yang demokratis. Bukan berdasarkan simbol, petuah atau
senioritas.
2 Implemetasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007
Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat
2.1 Pemerintah dan DPR Dalam Revisi UU 32/2004 Sebagai Tindak Lanjut
Putusan MK Nomor 05/PUU V/2007
Masa depan transisi politik di negara ini merupakan bagian dari tanggung
jawab dari civil society, seharusnya semua kalangan mendukung keberadaan
calon perseorangan.Jangan sampai, keberadaan calon perseorangan ini hanya lolos
di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) semata,juga meminta unsur Pemerintah
dan DPR-RI memformalkan hal tersebut dalam UU Pemda. Melihat besarnya
dukungan masyarakat serta dalam upaya meningkatkan partisipasi politik
masyarakat dalam Pilkada, maka perjuangan menyukseskan calon perseorangan,
atau terselenggaranya Pilkada yang lebih akomodatif dan demokratis, terus
bergulir menjelang dilaksanakannya revisi UU No 32 tahun 2004 tentang Pemda
pasca selesainya pembahasan paket UU Politik. Karena itu, sebagai warga
masyarakat yang menginginkan perubahan politik di negeri ini tentu kita harus
mendukung semangat dan komitmen Pemerintah dan DPR dalam
141
memperioritaskan revisi UU No.32 tahun 2004 tentang pemda.Pemerintah dan
DPR tidak perlu terlibat dalam wacana dan kontroversi yang membuat energi
habis percuma, karena sudah merupakan keputusan hukum yang perlu secepatnya
mendapat respon. Lembaga negara baik presiden, DPR, maupun KPU, harus
segera mengambil langkah khusus dalam menindak lanjuti keputusan MK
tersebut. Sebab bila kondisi ini dibiarkan, akan memunculkan potensi konflik di
tengah masyarakat. Presiden sudah layak untuk mengeluarkan Perpu mengingat
tingginya tuntutan masyarakat agar calon perseorangan bisa ikut serta dalam
pilkada yang akan di laksanakan dalam waktu dekat ini. Kalau saja Pemerintah
dan DPR bersikap setengah hati dalam memberikan peluang calon perseorangan
dan sengaja memperlambat regulasinya, bukan hanya tidak reformis tetapi bisa
dikatakan anti demokrasi. Sebab calon perseorangan adalah tawaran baru bagi
perbaikan kinerja partai politik dan sistem politik yang lebih baik. Realitas
tersebut tentu menyimpang berbagai misteri yang dengan sekian banyak
pertanyaan. Misteri besarnya adalah keinginan baik mereka (Pemerintah dan DPR
yang nota bene berasal dari partai politik) untuk membangun sistem politik yang
lebih demokratis.
2.2 Peluang Bagi Calon Perseorangan Dalam Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur Jawa Barat Pada April 2008.
Pupus harapan calon perseorangan dalam pemilihan gubernur dan wakil
gubernur di Jawa Barat, calon perseorangan tidak diperkenankan menunjukan
keseriusannya dikarenakan revisi UU 32/2004 yang dijanjikan rampung bulan
142
Maret lagi-lagi tidak ditepati oleh Pemerintah dan DPR. Memang tidak mudah
untuk mengimplementasikan keputusan MK tentang calon perseorangan dalam
kontestasi politik pilkada langsung.Namun demikian selayaknya diperlukan
ikhtiar yang cerdas, cermat dan jernih dari berbagai pihak.Tidak sedikit para ahli
politik memberikan tawaran agar Pemerintah dan DPR mencoba iktiar tersebut
dengan beberapa langkah.Pertama, DPR meminta Pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu). Kedua Pemerintah dan
DPR melakukan revisi terhadap UU 32/2004 tentang pemda dan ketiga Komisi
Penyelenggaraan Pemilu (KPU) menyusun tata cara pilkada langsung dengan
berpedoman pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Menurut para ahli
sebenarnya bila ditelisik lebih mendalam, pada Undang-Undang Nomor 22 tahun
2007 tentang penyelenggaraan pemilu, maka KPU dapat saja menerbitkan
peraturan mengenai calon perseorangant. KPU adalah lembaga yang mandiri, dan
bila itupun dilaksanakan tidak akan melanggar Undang-Undang ataupun Undang-
Undang Dasar terlebih adanya keputusan MK yang dapat dijadikan sandaran dan
paying hukum. Memang idealnya yang mengatur calon perseorangan adalah revisi
UU 32/2004 tentang pemda, akan tetapi hal tersebut terbentur pada kendala masa
pmbahasan revisi Undang-Undang tersebut yang dapar berlangsung lama,
sementara akan banyak pilkada yang berlangsung di daerah pada tahun 2007 dan
2008 mendatang. Keputusan tersebut dapat saja diberlakukan sampai adanya
ketentuan atau peraturan yang lebih tinggi. Pilihan lainnya yang bisa
dilaksanakan dan juga mempunyai kekuatan hukum adalah meminta kepada
KPUD agar bisa menunda pelaksanaan pilkada. Dalam UU 22/2007 tentang
143
Penyelenggaraan Pemilu, disebutkan bahwa KPUD merupakan satu-satunya
institusi yang mempunyai otoritas untuk menyelenggarakan pilkada. namun harus
juga memperhatikan kemungkinan kekosongan jabatan karena masa jabatan
kepala daerah yang sudah habis.
3. Analisis Kelemahan dan Kelebihan Calon perseorangan
Kebutuhan akan adanya calon pemimpin dari jalur perseorangan saat ini
sangat besar, pasalnya masyarakat selama ini banyak yang tidak puas dengan
seleksi pimpinan yang dimonopoli oleh parpol. Dalam melakukan seleksi tersebut
padahal, parpol justru tidak memberikan calon yang terbaik bagi masyarakat.
Calon-calon yang dimunculkan selama ini justru lebih untuk kepentingan parpol
itu sendiri dibandingkan mengemban amanat rakyat. Kegandrungan masyarakat
akan calon perseorangan setidaknya diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan.
Pertama, mendobrak partitokrasi (demokrasi yang dikangkangi parpol) agar
aspirasi dari bawah mendapatkan tempat dalam proses politik. Kedua,
memungkinkan calon dari masyarakat yang dianggap publik lebih berkualitas
daripada sekadar figur yang diusung segelintir elite partai politik. Ketiga,
mendorong demokratisasi internal partai politik.
Calon perseorangan merupakan alternatif bagi masyarakat untuk
mendapatkan calon pemimpin yang memiliki kredibilitas di tengah-tengah
kemerosotan kepercayaan terhadap partai parpol. Di satu sisi calon perseorangan
merupakan aktualisasi hak asasi setiap rakyat untuk mengajukan dirinya sebagai
calon dalam pilkada, tetapi di sisi lain membuat nirtata kekuasaan. Justru dengan
144
kekuasaan tidak terinstitusionalisasi, kekuasaan pada calon perseorangan menjadi
sangat mentah, personal, bukan komunal.Parpol sebagai komunitas kekuasaan
merupakan wilayah tarik menarik, toleransi kekuatan di antara elite-elitenya,
daripada calon perseorangan yang lebih egosentrisme. Namun demikian
sesungguhnya penggiat Partai Politik pun selayaknya tidak menanggapi secara
berlebihan kemunculan calon perseorangant.Logikanya perseorangan bila
dibandingkan dengan sekelompok orang tentunya akan berlaku peribahasa ringan
sama dijinjing berat sama dipikul, artinya kemungkinan menangnya perseorangan
jauh lebih kecil dibandingkan sekelompok orang yang bargabung dalam sistem
Partai Politik yang mana jaringan serta kekuatan mekanisme organisasi akan
sangat berperan.Perseorangan dirasakan sebagai putih, bersih, dan tidak
mempunyai kepentingan apa-apa.Padahal, rasa bahasa perseorangan tetap
menyimpan sangat banyak ketergantungan. Istilah perseorangan dalam konteks
calon perseorangan hanya mempunyai konotasi bebas dari payung parpol saja,
lain tidak. Jika calon yang dependen, dalam hal ini berada dalam payung parpol
saja mempunyai ketergantungan politik yang sangat banyak pada elite parpol,
ideologi kelompok, konstituen, Pemerintah, dan lain-lain yang sedang menjabat.
Mustahil bahwa calon perseorangan tidak mempunyai ketergantungan apa-apa
baik dengan massa pengusungnya, ideologi pribadi yang divisikan, Pemerintah,
dan lain-lain, bahkan tidak menutup kemungkinan calon perseorangan juga
mempunyai hubungan gelap dengan parpol tertentu. Politik adalah soal
kepentingan, hal mana menjadi sulit dilacak. Wacana calon perseorangan harus
didalami bukan hanya pada upaya mengajukan calon yang tidak diusung parpol
145
pada menjelang pemilihan, tetapi harus dipertanyakan apakah calon tersebut tetap
perseorangan setelah memenangkan pemilihan.
Kekhawatiran akan calon perseorangan yang muncul dalam pilkada ialah
bahwa dukungan calon perseorangan ada di kekuasaan rakyat, di bilik suara dan
kelak menjadi parlemen jalanan karena tidak terwakilinya dalam parpol.Apa
jadinya jika dia memenangkan pilkada, dia mempunyai basis massa di luar kursi
parlemen yang sah. Beda dengan calon yang diusung parpol, keterwakilan dalam
parlemen otomatis ada dan parpol biasanya mengajukan calon pemimpin yang
sudah memiliki track record bagus, baik dalam komunitas parpol sebagai
komunitas kekuasaan pun dalam birokrasi bukan tiba-tiba muncul. Bagaimana
calon perseorangan bisa bekerja tanpa dukungan wakil rakyat yang dikuasai orang
parpol dalam operasional kepemimpinannya kelak. Begitu pula bagaimana reaksi
bawahannya, jika pemimpin daerah tidak didukung birokrasi bawahannya, bisa
jadi malah sebaliknya terjadi sabotase internal. Calon perseorangan membawa
romantisme politik. Dalam prakteknya tidaklah mudah bagi calon Perseorangan
atau perseorangan bila memimpin suatu Pemerintahan karena dukungan parlemen
pun tentunya akan menjadi sangat penting. Ini karena tidak adanya basis
kelembagaan dan kaderisasi pada calon perseorangan yang teruji oleh waktu. Dia
hanya difasilitasi kepentingan politik sesaat menjelang pemilihan.Di samping itu,
lemahnya upaya penggodokan kekuasaan konstituennya yang masih mentah
menjadi sebuah ideologi dengan massanya sebagaimana biasa dibudayakan