Top Banner
HASIL – HASIL PENELITIAN TERKAIT SISTEM INTEGUMEN KELOMPOK 9
44

Hasil – Hasil Penelitian Terkait Sistem Integumen

Sep 17, 2015

Download

Documents

persepsi penderita terkait penyakit kusta
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

HASIL HASIL PENELITIAN TERKAIT SISTEM INTEGUMEN

HASIL HASIL PENELITIAN TERKAIT SISTEM INTEGUMENKELOMPOK 9

Penelitian I : Faktor faktor yang melatarbelakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta

PENDAHULUANPenyakit kusta mempunyai pengaruh yang luas pada kehidupan penderita mulai dari perkawinan, pekerjaan, hubungan antar pribadi, kegiatan bisnis sampai kehadiran mereka pada acara acara keagamaan serta acara di lingkungan masyarakat (Leprosy Review, 2005).

Penyakit kusta juga menimbulkan masalah yang sangat kompleks, masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, psikologis, budaya, keamanan dan ketahanan nasional (Depkes RI, 2005).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tugurejo Semarang merupakan Rumah Sakit kelas B milik Provinsi Jawa Tengah. Terletak di semarang bagian barat, sebelum menjadi Rumah Sakit Khusus penderita kusta, sampai saat ini RSUD Tugurejo masih memberikan pelayanan penyakit kusta dan menjadi pusat rujukan serta pendidikan penyakit kusta di Jawa Tengah.

Data kunjungan rawat jalan penderita kusta setiap tahun meningkat, tahun 2005 adalah 3.839 pasien, tahun 2006 berjumlah 3.975 dan tahun 2007 sebanyak 4.127 kunjungan (RSUD Tugurejo, 2007). Tahun 2007 poliklinik khusus penderita kusta menemukan 192 kasus penderita baru. Jumlah penderita rawat inap khusus kusta tahun 2005 adalah 190 pasien, tahun 2006 sebanyak 145 penderita dan tahun 2007 terdapat 130 penderita yang harus dirawat (RSUD Tugurejo, 2007).

Dari pengamatan awal yang telah dilakukan peneliti ditemukan beberapa perilaku penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo berbeda dengan penderita penyakit lainnya, diantaranya mereka selalu mengambil tempat di belakang atau disudut ruang sambil menunggu giliran diperiksa.

Atas dasar hal tersebut diatas maka perlu diteliti mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta.

METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif yang menggunakan rancangan studi kasus (Moleong, 2002). Responden dipilih secara porposive terdiri dari penderita kusta yang berobat ke RSUD Tugurejo sebanyak 8 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, selanjutnya data di analisis dengan content analysis (diskripsi isi) (Bungin, 2005).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANKarakteristik RespondenGambaran umum responden menunjukkan bahwa responden terbanyak berumur antara 26 tahun sampai 35 tahun dengan jenis kelamin laki-laki.

Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kustaStigma penyakit kusta menurut persepsi respondenStigma adalah hal-hal yang membawa aib, hal yang memalukan, sesuatu dimana seseorang menjadi rendah diri, malu dan takut karena sesuatu (Salim, 1996).

Hasil wawancara mendalam didapatkan hasil, bahwa semua responden menyatakan masyarakat di sekitar tidak mengetahui bahwa responden menderita penyakit kusta dan sebagian keluarga responden, merasa sangat takut dan was-was saat mengetahui responden menderita kusta. Untuk mengatasi stigma ini, sebagian besar responden melakukannya dengan tetap bekerja, ada juga dengan cara membatasi diri, menutup diri, tidak memperdulikan lingkungannya, walaupun ada juga yang tetap mengikuti kegiatan di kampungnya seolah-olah tidak sedang sakit.

Persepsi penderita terhadap kemudahan kemungkinan terkena penyakitSebagian besar responden mempunyai persepsi bahwa penyakit kusta dapat menimpa semua orang, sebagian responden menganggap bahwa orang yang jorok dan kondisinya menurun yang dapat tertular penyakit kusta. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta kepada orang lain.

Sebagian besar responden tidak mengetahui cara penularan penyakit kusta dan ada yang mengatakan penyakit ini menular melalui udara dan satu responden menyatakan bisa tertular penyakit kusta apabila golongan darahnya sama dengan penderita, jika tidak sama tidak akan tertular.

Persepsi penderita terhadap kegawatan penyakitPada penelitian ini, didapatkan jawaban bahwa sebagian besar responden menganggap kusta merupakan penyakit yang berbahaya dan serius alasan responden adalah penyakit kusta mengakibatkan perubahan bentuk fisik dan kecacatan dimana kececacatan ini bisa menetap seumur hidupnya.

Sebagian besar responden berpandangan bahwa penyakit kusta bisa menimbulkan kematian hal ini dikemukakan bahwa gejala yang muncul saat terkena penyakit ini sangat berat, dan saat pertama kali berobat tidak langsung diketahui penyakitnya sehingga responden merasa pengobatan yang dilakukan kurang tepat, justru penyakitnya bertambah berat dalam arti lain terlambat berobat untuk penyakit kustanya karena salah dalam mendiagnosa penyakit.

Persepsi penderita terhadap manfaat perilaku positif.Sebagian besar dari responden menyatakan, perawatan diri dengan rajin sangat perlu, supaya cacatnya tidak bertambah parah, dengan mengoles pelembab di tangan dan kakinya akan mengurangi kekeringan pada kulit yang bisa membuat luka / pecah-pecah. Menurut responden setiap hari penderita kusta harus memeriksa anggota badannya apakah terjadi luka atau tidak, karena anggota badan penderita mengalami mati rasa sehingga kalau terjadi luka tidak terasa sakit, menurut responden mengetahui terjadinya luka secara dini akan mengurangi terjadinya kecacatan karena luka bisa cepat diobati sehingga tidak bertambah berat / menjalar.

Persepsi penderita terhadap resiko berperilaku negatifSebagian besar responden menanggapi bahwa penderita kusta yang selalu mengucilkan diri karena malu itu tidak baik, karena penderita kusta harus berobat, apabila tidak berobat secara rutin maka tidak akan sembuh dan sebagian lagi menyatakan mengucilkan diri adalah tindakan yang paling tepat agar tidak menjadi bahan pembicaraan tetangga. Responden lain sebenarnya mengetahui bahwa tindakan mengucilkan diri adalah tidak baik, akan tetapi responden tersebut melakukannya juga karena malu dan down mentalnya.

Faktor internal yang melatar belakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta Pada umumnya responden tidak mengetahui bahwa menderita kusta, informasi tentang penyakit kusta didapat dari orang lain seperti petugas kesehatan, saudara atau perangkat desa, sebagian besar responden merasa kaget, takut dan tidak percaya saat pertama kali mengetahui terserang penyakit kusta dan satu responden berusaha bunuh diri saat mengetahuinya.

Faktor eksternal yang melatar belakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kustaSemua responden mengatakan, masyarakat disekitar tempat tinggal dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa responden menderita kusta, mereka mengira responden berpenyakit lain seperti penyakit saraf, diabetes, karena alergi obat atau karena salah obat sehingga masyarakat dan teman responden tidak melakukan tindakan apapun terhadap responden.

SIMPULANResponden (penderita kusta) dalam penelitian ini berjumlah 8 orang dengan rentang usia 14-51 tahun, berjenis kelamin laki-laki sebanyak lima orang dan enam orang berasal dari luar Semarang. Dilihat dari latar belakang tingkat pendidikan responden, mulai dari tidak sekolah sampai dengan lulus Sekolah Menengah Atas. Lima orang responden tidak bekerja dan enam orang telah menderita penyakit kusta antara 1 tahun sampai 5 tahun lamanya.

Penderita kusta berpersepsi, masyarakat disekitar tempat tinggal dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa penderita sedang mengalami sakit kusta, penderita beranggapan bahwa, tetangga dan teman-temannya menyangka penderita berpenyakit lain seperti penyakit diabetes, penyakit saraf atau penyakit alergi karena salah minum obat, penderita kusta berpersepsi, sikap membatasi diri dalam pergaulan, menutupi kekurangannya / kecacatannya merupakan tindakan untuk mengurangi / mengatasi cap buruk / stigma.

Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit kusta merupakan penyakit menular , dapat menimpa semua orang, terutama orang yang tidak melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit kusta merupakan penyakit yang berbahaya dan serius, bisa menimbulkan kematian dan kecacatan seumur hidupnya.Penderita kusta berpersepsi untuk berperilaku positif ditujukan dengan : berobat secara rutin, melakukan perawatan diri dengan rajin, dan mau berintekasi dengan lingkungan.Penderita kusta berpersepsi, berperilaku negative yaitu : tidak mau berobat karena malu, mengucilkan/mengisolasikan diri, dan putus asa.

Penelitian II : Perbedaan Efektivitas Penyembuhan Luka Bakar dengan Propolis dan Silver Sufadiazin 1 %

PENDAHULUANLuka bakar adalah kerusakan kulit tubuh yang disebabkan oleh api, atau oleh penyebab lain seperti air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi (Sudjatmiko, 2007). Di unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya jumlah kasus yang dirawat selama satu tahun (Januari 2000 sampai Desember 2000) sebanyak 106 kasus luka bakar atau 48,4% dari seluruh penderita bedah plastik (Noer dkk., 2006).

BAHAN DAN METODEPenelitian menggunakan true eksperimental design menggunakan post test only control group. Pemilihan sampel dilakukan dengan simple random sampling. Penelitian ini menggunakan hewan coba marmut (cavia cobaya) dan untuk menghindari sampel yang drop out, peneliti telah menetapkan kriteria sampel subyek penelitian yaitu: usia marmut 3 bulan, berat badan 350-450 gram, jenis lokal dan jenis kelamin jantan.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah pemberian propolis dan silver sulfadizine 1%. Variable dependen pada penelitian ini adalah proses penyembuhan luka yang terdiri atas fase inflamasi (kemerahan disekitar luka, edema di sekitar luka dan cairan pada luka) dan fase proliferasi (granulasi pada jaringan luka dan ukuran diameter luka).

Sampel yang terpilih dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok propolis, kelompok silver sulfadiazine dan kelompok kontrol masing-masing berjumlah 6 ekor marmut. Pembuatan luka bakar dilakukan pada seluruh kelompok dengan cara memanaskan logam berdiameter 1 cm diatas api selama 13 menit, kemudian ditempelkan pada punggung marmut selama 6 detik.

Luka bakar pada kelompok propolis dirawat dengan propolis, pada kelompok sulfadiazine dirawat dengan sulfadiazine 1% dan kelompok kontrol hanya dibilas dengan normal salin. Perawatan luka bakar ini dilakukan setiap hari sekali selama 14 hari. Penilaian terhadap proses penyembuhan luka dilakukan pada hari ke-3 (fase inflamasi), hari ke-7 (peralihan fase inflamasi ke fase proliferfasi) dan hari ke-14 (fase proliferasi). Data yang didapat kemudian dianalisis menggunakan uji One Way Anova dan Kruskal Wallis dengan derajat kemaknaan 0,05.

HASILHasil perawatan luka pada hari ke-3 dengan propolis menunjukkan tidak terbentuk jaringan pus pada luka, ada kemerahan dan edema disekeliling luka, jaringan granulasi belum tampak dan diameter luka bakar belum mengecil. Kelompok perawatan silver sulfadiazine 1% menunjukkan tidak ada cairan pada luka, ada kemerahan dan edema yang cukup lebar di sekeliling luka, jaringan granulasi belum nampak dan diameter luka bakar belum mengecil. Kelompok kontrol normal salin 0,9% memiliki luka yang kering dan tidak ada cairan pus pada luka, ada kemerahan dan edema yang lebar disekeliling luka, jaringan granulasi belum nampak dan diameter luka bakar belum mengecil.

Kondisi luka bakar pada hari ke-7 kelompok propolis terlihat tidak ada cairan luka, ada sedikit kemerahan dan edema disekeliling luka, jaringan granulasi belum nampak, diameter luka bakar belum mengecil dan luka masih berukuran 1 cm. kelompok perlakuan dengan silver sulfadiazine 1% terlihat tidak ada cairan pada luka, ada kemerahan dan edema yang cukup lebar disekeliling luka, jaringan granulasi belum nampak, luka bakar semakin melebar dan meradang. Kelompok kontrol normal salin 0,9% pada hari ke-7 menunjukan kondisi luka yang terlihat kering dan tidak ada cairan luka, kemerahan di sekeliling luka masih cukup lebar, ada edema, jaringan granulasi belum nampak, diameter luka bakar tetap berukuran 1 cm.

Hari ke-14 perawatan luka bakar pada kelompok propolis memiliki luka yang terlihat kering dan tidak terdapat cairan pus pada luka, tidak ada kemerahan dan edema disekeliling luka, terdapat jaringan granulasi di seluruh bagian luka, luka bakar semakin mengecil. Kelompok silver sulfadiazine 1% tidak terlihat ada cairan luka, terlihat jaringan granulasi pada seluruh bagian luka, luka bakar semakin mengecil. Kelompok kontrol normal salin menunjukkan luka yang terlihat kering, tidak tampak kemerahan dan edema di sekitar luka, pada bagian tengah luka tertutup oleh keropeng dan dibagian tepi luka sudah muncul granulasi, diameter luka bakar sedikit mengecil.

Berdasarkan hasil perawatan selama 14 hari, kelompok propolis memiliki diameter ukuran luka terkecil diantara semua kelompok. Kelompok SSD 1% dan kontrol memiliki ukuran diameter luka bakar yang hampir sama pada hari ke-14 post pembuatan luka.

TABEL

PEMBAHASANFase inflamasi merupakan tahapan yang penting pada penyembuhan luka. Walaupun inflamasi diperlukan untuk penyembuhan luka, namun bila terjadi perpanjangan inflamasi justru akan memperlambat penyembuhan luka.

Kemerahan hari ke-3 pada kelompok propolis berukuran rata-rata 0,41 cm dari tepi luka, sedangkan nilai kemerahan SSD 1% adalah 0,6 cm dan kontrol 0,54 cm. ukuran kemerahan pada ketiga kelompok tersebut mengalami penurunan pada hari ke-7, dimana ukuran kemerahan kelompok propolis menjadi sebesar 0,13 cm, kelompok SSD 1% sebesar 0,32 cm, dan kontrol sebesar 0,33 cm. Hal ini menunjukkan bahwa baik penggunaan propolis maupun SSD 1% dapat menurunkan kemerahan.

Edema hari ke-3 pada kelompok propolis berukuran rata-rata 0,44 cm dari tepi luka, sedangkan nilai edema SSD 1% adalah 0,6 cm dan kontrol 0,55 cm. ukuran edema pada ketiga kelompok tersebut mengalami penurunan ada hari ke-7, dimana ukuran edema kelompok propolis menjadi sebesar 0,14 cm, kelompok SSD 1% sebesar 0,32 cm dan kontrol sebesar 0,33 cm. Hal ini menunjukkan bahwa baik penggunaan propolis maupun SSD 1% dapat menurunkan edema.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Biokimia FK Unair Surabaya, hasil perawatan luka dengan menggunakan propolis, SSD 1% dan kontrol normal salin 0,9% didapatkan data bahwa tidak ada cairan pus pada semua kelompok pada hari ke-3, 7, dan 14. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok tidak mengalami infeksi mikroba pada luka bakar.

Kelompok propolis, SSD 1% dan kontrol 100% pada hari ke-3 dan ke-7 tidak terdapat granulasi luka. Jaringan granulasi baru terlihat pada hari ke-14 dimana kelompok propolis 100% terdapat granulasi diseluruh bagian luka, kelompok SSD 1% juga 100% terdapat granulasi di seluruh bagian luka dan kelompok kontrol 100% hanya terdapat granulasi di sebagian luka. Hal ini menunjukkan bahwa baik penggunaan propolis dan SSD 1% mampu meningkatkan granulasi pada luka.

Semua kelompok mengalami penurunan atau pengecilan ukuran diameter luka bakar yang semula berukuran 1 cm menjadi sebesar 0,48 cm pada kelompok propolis, 0,69 cm pada SSD 1% dan 0,75 cm pada kelompok kontrol. Hal ini berarti bahwa perawatan luka dengan SSD 1% dan propolis dapat membuat ukuran diameter luka bakar semakin mengecil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemerahan dan edema merupakan tanda fase inflamasi lebih kecil pada kelompok propolis dibandingkan dengan kelompok SSD 1%. Walaupun kemerahan dan edema masih terlihat pada kelompok propolis dan SSD 1% pada hari ke-7 post pembuatan luka bakar yang menandakan bahwa kedua kelompok mengalami perpanjangan fase inflamasi, tetapi kelompok propolis memiliki nilai kemerahan dan edema yang lebih kecil daripada kelompok SSD 1%.

Hal ini menandakan bahwa propolis lebih efektif dalam menghilangkan kemerahan dan edema yang merupakan tanda inflamasi pada luka bakar. Penggunaan propolis dan SSD 1% membuat diameter luka bakar semakin kecil tetapi diameter kelompok propolis lebih kecil daripada kelompok SSD 1% sehingga penggunaan propolis lebih efektif dalam memperkecil ukuran diameter luka bakar yang merupakan tanda fase proliferasi dibandingkan SSD 1%. Hal tersebut membuktikan bahwa penggunaan propolis lebih efektif dalam penyembuhan luka bakar dibandingkan dengan SSD 1%.

SIMPULAN Propolis lebih efektif menghilangkan kemerahan dan edema pada fase inflamasi serta memperkecil ukuran diameter luka bakar pada fase proliferasi dibandingkan SSD1%. Hal ini disebabkan senyawa bioflavonoid dan CAPE dalam propolis bersifat sebagai anti-inflamasi, anti-oksidan, antibakteri dan merangsang pembentukan fibroblast pada luka bakar.

Thengkyu