ISSN : 1410-1971 HASIL-HASIL PENELITIAN DAN KAJIAN PERTANAHAN Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007 1. Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN. 2. Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL 2007
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ISSN : 1410-1971
HASIL-HASIL PENELITIAN DAN KAJIAN PERTANAHAN
Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
1. Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
2. Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL
2007
HASIL-HASIL PENELITIAN PERTANAHAN
Jurnal Ilmiah ini memuat Hasil-hasil Penelitian yang dilakukan secara swakelola
oleh Puslitbang BPN maupun secara kerjasama dengan Perguruan Tinggi dan
Lembaga-Lembaga Penelitian, serta Hasil Penelitian/Pengkajian Pertanahan
yang dilakukan oleh Aparat BPN dan Pengamat Masalah Pertanahan
ALAMAT REDAKSI
Redaksi Jurnal Ilmiah, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Pertanahan
Nasional.
Jalan H. Agus Salim No. 58, Jakarta Pusat 10350.
Telp. (021) 390 9016, Fax. (021) 390 9016
ORGANISASI
Penanggung Jawab : Kepala Puslitbang BPN
Pemimpin Umum : Mulyadi, BSc.
Dewan Redaksi : 1. Ir. Eliana Sidhipurwanty, MSi.
2. Drs, Darman Hutasoit, MSi
Redaksi Pelaksana : 1. Riprasasti Utami, S. Sos.
2. Waluya, SH
Jurnal ini dibiayai melalui Anggaran Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan
2007, untuk Penerbitan Jurnal dengan mata anggaran 05.05.03.0039.0896.521119 A
Redaksi Pelaksana Jurnal Ilmiah mengundang Karya Ilmiah dari para Peneliti dan
Praktisi Pertanahan sepanjang sesuai dengan tujuan penerbitan jurnal.
Pengantar Redaksi i
KATA PENGANTAR
Jurnal Ilmiah Hasil-Hasil Penelitian dan Kajian Pertanahan Edisi VIII Nomor 2
Tahun 2007 kali ini memuat dua topik kajian. Kajian pada bagian pertama berjudul
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum dan pada bagian kedua berjudul Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU) di Bidang Pertanahan.
Kajian pada bagian pertama yang berjudul Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ditulis oleh Trie Sakti, SH. CN.
Kajian ini menginventarisir permasalahan pertanahan yang berkaitan dengan pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Sedangkan tujuan dari
kajian adalah mengembangkan penyelesaian masalah pertanahan melalui musyawarah
yang dapat diterima oleh para pihak, dan untuk mengetahui peran Kantor Pertanahan,
Pemerintah Daerah dan Stakeholder dalam menyelesaikan masalah pertanahan yang
mempunyai kepastian hukum dan mengikat para pihak.
Bagian kedua merupakan kajian mengenai Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU) di Bidang Pertanahan yang ditulis oleh Ir.
Eliana Sidipurwanty. M.Si. Tulisan ini mengkaji kelayakan penerapan PPK BLU di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) berdasarkan persyaratan-persyaratan yang
harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.
23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum.
Demikian sekilas pengantar dari redaksi, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, Mei 2007
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
1
PERMASALAHAN PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Oleh :
Trie Sakti, SH. CN*) I. Pendahuluan
Masalah pertanahan tidak dapat dipungkiri merupakan masalah yang mendominasi
kasus-kasus yang ditemukan baik di peradilan maupun di lembaga non peradilan. Dari
seluruh sengketa di Peradilan pada tingkat kasasi selama tahun 2001 dari 4048 perkara
kasasi perdata sekitar 51,06 % atau sebanyak 2066 kasus adalah sengketa pertanahan.
Sementara Komisi Ombudsman Nasional mencatat masalah pertanahan menduduki peringkat ke lima dari pengaduan yang diterima, sedangkan data base KPA merekam
sekitar 1.753 kasus sengketa/konflik agraria.
Permasalahan yang terkait dengan pembebasan tanah masyarakat untuk kepentingan
umum senantiasa menimbulkan polemik. Disatu sisi, negara menjamin kepemilikan sah
individu atas tanah, disisi lain pelaksana kekuasaan negara, yakni pemerintah
berkewajiban menjalankan agenda pembangunan infrastruktur fisik yang seringkali
harus mengorbankan nilai kepentingan individu. Kepentingan umum yang dijabarkan
dari fungsi sosial tanah tidak kalah pentingnya dengan kepentingan individu pemilik yang dijabarkan dari fungsi ekonomi tanah. Artinya pada saat dibutuhkan demi kepentingan
umum , kepentingan individu bisa dikompromikan bahkan dikalahkan dan hak milik atas
tanah harus dilepaskan.
Dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H menyatakan setiap orang juga
berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun. Hal tersebut mengandung makna perlunya mekanisme yang adil dalam proses pengambil alihan hak atas tanah.
Dalam penanganan masalah pertanahan TAP MPR No. IX/MPR/2001 telah memberi
arahan perlunya penanganan masalah pertanahan dengan menyelesaikan konflik-konflik
pertanahan yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini
sekaligus dapat mengantisipasi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip antara lain
memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, menghormati supremasi hukum
dengan mengakomodasi keaneka ragaman unifikasi hukum, mewujudkan keadilan
termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,pemilikan, penggunaan, pemanfaatan
dan pemeliharaan sumberdaya agraria/sumberdaya alam, melaksanakan fungsi sosial
dan sebagainya
Berbagai kajian internasional menyebutkan praktek penggusuran yang semena-mena merupakan akar utama dari kemiskinan perkotaan, membuat korban yang pada
umumnya kelompok miskin menjadi semakin miskin. Demikian pula kajian Centre on
Housing Rights and Evictions (COHRE) yang berbasis di Geneva, Swiss, menyatakan di
6o negara selama tahun 2003 periode 2000-2002 sebanyak 6,7 juta penduduk diusir dan
*) Trie Sakti, SH. CN, Peneliti Muda Bidang Pertanahan pada Puslitbang BPN-RI
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
2
dipaksa melepaskan hak atas tanah dan rumahnya karena penggusuran paksa, dan
yang memprihatinkan sebagian besar penggusuran paksa terjadi akibat adanya proyek-proyek pembangunan yang diprakarsai pemerintah sendiri.
Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa dan berbagai konvensi internasional lain telah
sepakat menganggap penggusuran paksa dan semacamnya sebagai bentuk
pelanggaran hak asasi manusia. Dalam kasus terjadi penggusuran yang tidak bisa
dielakkan, persoalan kuncinya adalah adanya sosialisasi, pelibatan warga dalam pengambilan keputusan, jaminan program relokasi,tersedianya pilihan-pilihan dan
kompensasi yang pantas untuk menjamin korban tidak dirugikan dan bertambah miskin
(Kompas, Sabtu, 25 Juni 2005).
Dalam jajak pendapat Kompas yang mengulas tentang pembebasan tanah menyiratkan
bahwa sebagian besar responden menyetujui konsep hilangnya kepentingan individu
demi terpenuhinya kepentingan umum yang lebih luas, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum II UUPA bahwa ….hak atas tanah apapun yang ada pada seserang
tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak
dipergunakan)semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu
menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Disisi lain, para investor yang ingin berinvestasi di sektor infrastruktur tidak berani
menanamkan modalnya, karena adanya kekuatiran walaupun proyeknya sudah disetujui
untuk dibangun namun pada saat pembangunannya terhambat oleh persoalan
pembebasan tanah, akibatnya penyelesaian proyek tertunda dan bahkan kemungkinan tidak dapat dioperasikan, sebagai contoh pembangunan lingkar luar jalan tol lingkar luar
jakarta di ruas hankam-Cikunir dimana sejumlah kepala keluarga korban penggusuran
meminta ganti rugi sesuai dengan SK Wali Kota Bekasi sebesar Rp. 1,35 juta untuk
tanah bersertipikat dan Rp. 1,25 juta per meter persegi untuk tanah berstatus girik,
padahal harga tanah berdasarkan Nilai Jual Obyek pajak (NJOP) di lokasi tersebut
antara Rp. 300-350 ribu saja.
Kejadian di atas menunjukkan bahwa ekses-ekses pengambil-alihan tanah untuk
berbagai kepentingan itu sebagian disebabkan oleh kesenjangan antara das sollen
sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan das
sein berupa kenyataan yang terjadi di lapangan.
Dengan demikian permasalahan pertanahan yang terkait dengan pembebasan tanah
pada masa kini sudah demikian kompleks dan tak bisa begitu saja terjawab oleh
peraturan yang sudah ada, dan pelaksanaannya oleh aparat kerap diwarnai bias kepentingan dan kurangnya komunikasi ataupun sosialisasi pada akhirnya
menumbuhkan prasangka publik yang tak kunjung selesai.
Berbagai peraturan telah dikeluarkan Pemerintah untuk mengatur pembebasan tanah, yang kemudian istilah pembebasan tanah ini direvisi dengan istilah pengadaan tanah
sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum. Keppres Nomor 55 tahun 1993 mendefinisikan kepentingan umum sebagai kepentingan seluruh lapisan
masyarakat, sedangkan lingkup pembangunan untuk kepentingan umum dibatasi untuk
kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak
digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang yang meliputi 14 item.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
3
Dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan, dimana dalam salah satu pasalnya menyatakan :
• sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan berupa
penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten
• pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan oleh Bupati/Walikota
• BPN menetapkan standar dan norma pelaksanaan pengadaan tanah
• Panitia Pengadaan wajib melaporkan hasil pelaksanaan kepada BPN
Dengan demikian maka penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan dilaksanakan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten.
Keluarnya Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 untuk menyempurnakan Keppres
Nomor 55 tahun 1993 karena Keppres tersebut dianggap belum memenuhi kebutuhan
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam konsiderans menimbang disebutkan bahwa latar belakang diterbitkannya Perpres Nomor
36 tahun 2005 yaitu, a)dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum
yang memerlukan tanah, maka pengadaannya prlu dilakukan secara cepat dan
transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang
sah atas tanah;b)bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor
55 tahun 1993 sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka
melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum.
Adanya kontroversi mengenai Perpres Nomor 36 tahun 2005 yang dinilai sangat
merugikan masyarakat, terutama mengenai persepsi kepentingan umum, proses
musyawarah dan pencabutan hak mengakibatkan terjadinya revisi terhadap Perpres
tersebut dengan keluarnya Perpres Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan Terhadap
Perpres Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Mekanismenya pun mengalami perubahan yakni terdapat unsur Lembaga Penilai
Independen yang dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 dapat menetapkan harga namun
dalam revisinya lembaga Independen hanya melakukan penilaian dasar ganti rugi
sedangkan penetapan besarnya ganti rugi ditetapkan oleh Panitia pengadaan Tanah.
Komposisi Panitia Pengadaan Tanah juga mengalami perubahan dengan masuknya
unsur Badan Pertanahan Nasional dalam keanggotaan Panitia Pengadan Tanah.
Berkaitan dengan berbagai persoalan di atas dan fenomena yang terjadi pada
masyarakat, maka penelitian ini bermaksud untuk mengetahui permasalahan yang
terjadi dalam proses pengadaan tanah dan solusi yang dapat diberikan untuk mengatasi
terjadinya permasalahan tersebut.
I.1 Permasalahan
1. Bagaimana mengembangkan penyelesaian masalah pertanahan melalui
musyawarah yang dapat diterima oleh para pihak. 2. Bagaimana peran kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan stake holders
dalam penyelesaian masalah pertanahan yang mempunyai kepastian hukum dan
mengikat para pihak.
I.2 Tujuan Penelitian
1. Mengembangkan penyelesaian masalah pertanahan melalui musyawarah yang dapat diterima oleh para pihak.
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
4
2. Mengetahui peran Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan stakeholder
dalam penyelesaian masalah pertanahan yang mempunyai kepastian hukum dan mengikat para pihak
II. Hasil Pelaksanaan
2.1 Permasalahan Pengadaan Tanah
2.1.1 Gambaran Umum
Data yang diperoleh dari PSH-PTIP BPN Pusat tahun 2006 menunjukkan
sengketa/permasalahan pertanahan yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menempati urutan ke lima
sebesar 2,51 % (dari total permasalahan pertanahan diseluruh Indonesia tahun 2000-
2005), setelah sengketa penguasaan/pemilikan tanah sebesar 38,79 %, sengketa
pelaksanaan putusan Pengadilan sebesar 24,87 %, sengketa pengukuran/pendaftaran tanah sebesar 18,57 % sengketa pemberian hak sebesar 10,92 dan urutan ke-enam
atau terakhir adalah sengketa reclaiming ulayat sebesar 1,89 %.
Walaupun secara kuantitas sengketa /permasalahan pengadaan tanah cukup rendah,
namun karena menyangkut atau bersinggungan dengan hak azasi manusia maka
permasalahan pengadaan tanah mendapat sorotan yang cukup tajam dari berbagai
elemen masyarakat.
Permasalahan Pengadaan Tanah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi Pemerintah dan masyarakat yang tanahnya terkena proyek pengadaan tanah.
Dari sisi Pemerintah, kebutuhan untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur dan
fasilitas publik bagi rakyat harus dilaksanakan. Lahirnya Peraturan Presiden (Perpres)
No 36/2005 menurut Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto sebagai akibat
banyaknya proyek infrastruktur yang tidak terselesaikan karena ulah spekulan dan
sebagian kecil masyarakat yang nakal. Padahal, pemerintah sudah berketetapan
mempercepat pembangunan, yang memprioritaskan infrastruktur, supaya berdampak
ikutan bagi kegiatan ekonomi.
Sebagai contoh adalah proyek banjir kanal timur yang tak kunjung selesai akibat
pembebasan tanah yang tertunda berlarut-larut. Akibatnya, setiap tahun warga Jakarta
Timur terkena banjir. Demikian pula proyek jalan tol yang di banyak ruas terhenti karena
pembebasan lahan. Uang yang telanjur dikeluarkan untuk proyek tol itu sedemikian
besar sehingga berdampak pada hambatan kegiatan perekonomian secara menyeluruh.
Contoh lain persoalan terhambatnya proyek infrastruktur akibat kendala lahan ini adalah
pembangunan jalan tol lingkar luar Jakarta di ruas Hankam-Cikunir.
Sejumlah kepala keluarga korban penggusuran meminta ganti rugi sesuai dengan SK
Wali Kota Bekasi No 593.83/Kep-Bipem/V/2004, yang menetapkan ganti rugi sebesar
Rp1,35 juta per meter persegi untuk tanah besertifikat dan Rp1,25 juta per meter persegi
untuk tanah berstatus girik. Padahal, harga tanah berdasarkan
Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) di lokasi tersebut antara Rp350-500 ribu saja.
Selanjutnya Menteri Pekerjaan Umum menjelaskan, pemerintah tidak sekadar
membebaskan lahan tanpa memberikan alternatif bagi pemilik lahan sehubungan
dengan kompensasi yang diberikan. Mereka dapat memilih mendapat pembayaran
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
5
berupa uang, lahan pengganti, atau ikut dalam penyertaan modal sebuah proyek. Untuk
model terakhir, masyarakat akan mendapat dividen sebagai layaknya pemegang saham.
Pemerintah kini merintis mekanisme sedemikian rupa sehingga tata ruang diumumkan di
mana-mana. Masyarakat dengan demikian tahu pasti rencana pemerintah. Sebaliknya,
pemerintah dapat mencegah aksi spekulasi oknum tertentu. Ketika tata ruang sebuah
kawasan ditetapkan, pengalihan hak tak lagi boleh dilakukan.
Ada hal mendasar yang perlu dipahami: begitu sebuah lokasi ditetapkan pemerintah—
semisal suatu lahan sudah ditetapkan menjadi waduk atau sarana publik lain—maka
tidak boleh terjadi jual beli tanah di kawasan tersebut. Pencabutan hak bukanlah barang
baru karena sudah diatur dalam Undang-Undang No 20/1961 dan Keputusan Presiden
(Keppres) No 55/1993. Dalam Perpres No 36/2005, yang diatur adalah ihwal kepastian
nilai jual obyek pajak (NJOP) atau harga pasaran dalam perundingan pembebasan
tanah. Tim penetap harga berintikan orang profesional dan independen. Tenggat paling lama 90 hari. Dengan itu diharapkan ada kepastian pelaksanaan pembangunan
infrastruktur.
Disisi lain, masyarakat yang tergusur tidak memperoleh harga ganti rugi yang sesuai
dengan yang diharapkan, atau tidak adanya pemberian kompensasi yang memadai bagi
korban penggusuran. Pemilik tanah mengharapkan besaran ganti rugi sesuai dengan
harga pasar setempat, sementara di pihak lain, dana Pemerintah sangat terbatas.
Disamping itu, praktek yang sering terjadi selama ini, masyarakat yang digusur tidak
bisa ikut menikmati proyek yang dibangun seperti infrastruktur dan fasilitas umum.
Mencermati fenomena permasalahan pengadaan tanah tersebut di atas, kehadiran
Perpres Nomor 36 tahun 2005 menurut Pengamat sosial ekonomi Gunawan Wiradi
menilai Perpres No 36/2005 ini bersifat parsial karena persoalan mendasar adalah
kondisi yang sengaja dibuat: negara tidak mampu membayar utang luar negeri sehingga
negara donor dapat menyetirnya. Salah satu bentuk kendali negara pemberi utang adalah prinsip pengadaan infrastruktur yang menguntungkan mereka yang membuat
negara terutang terikat dan harus mengadakan pembebasan tanah demi kepentingan
negara donor.
Salah satu skenario paling mudah dari negara donor adalah mendorong pembangunan
infrastruktur, terutama listrik, sarana komunikasi, dan perhubungan. Bantuan mereka
tidak berupa aliran dana tunai, melainkan bentuk fisik yang sangat membebani negara
berkembang. Selanjutnya pelbagai dalih proyek infrastruktur juga dimanfaatkan oknum
birokrat lokal untuk menangguk keuntungan. Semisal pembangunan lahan untuk PON 2008 di Samarinda, lahan lokasi pertandingan sudah telanjur dikuasai oknum pejabat di
tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di Kalimantan Timur. Gejala percaloan dan
spekulan ini ternyata terjadi merata di Indonesia.
Padahal, menurut Gunawan Wiradi, dalam keadaan sekarang seharusnya kita
memprioritaskan revitalisasi pertanian dan perkebunan dengan reformasi agrarian.
Perpres No 36/2005 masih merupakan upaya mengatasi gejala dan tidak menuntaskan inti persoalan, yakni keadilan lewat reformasi agraria.
Sementara itu Usep Setiawan, menyatakan bahwa Perpres Nomor 36 tahun 2005
berpotensi memperbanyak konflik karena maraknya penggusuran tanah rakyat dengan
dalih pembangunan untuk kepentingan umum, Perpres memberi kewenangan kepada
Presiden untuk mencabut hak rakyat atas tanah. Presiden telah memberi kewenangan
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
6
sangat besar kepada dirinya untuk mencabut hak milik atas tanah (pasal 3 dan 10).
Perpres ini dapat memproduksi konflik sosial yang dipicu konflik agraria/sengketa tanah di kota, desa hingga pedalaman.
Berdasarkan pengamatan Juanda Hermawan dari Pusat Kajian Kebijakan Hukum dan
Ekonomi, sampai saat ini psikologi masyarakat dan kelompoknya terlalu apriori terhadap
ketentuan baru yang mengatur kepentingan umum, padahal dalam suasana perubahan
ini kepentingan Bangsa yaitu pembangunan dan kepentingan yang lebih besar harus diutamakan dengan tidak mengabaikan kepentingan masyarakat perseorangan. Oleh
karena itu menurutnya, Pemerintah perlu menetralisir dan dan memberikan penjelasan
yang utuh terhadap masyarakat yang masih apriori dan traumatis atas bayang-bayang
masa lalu (orde baru) yang menimbulkan prasangka dan kekecewaan publik berulang
kembali sebaiknya disamping sosialisasi secara gencar juga perlu dilaksanakan
konsultasi publik.
2.1.2 Asas-Asas Hukum Pengadaan Tanah
Dalam setiap kegiatan pengadaan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah harus
memperhatikan konsepsi yang melandasi Hukum Tanah Nasional kita yaitu Hukum
Adat, yang diangkat pada tingkat nasional, yaitu konsepsi komunalistik religius, yang
memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.
Dengan hak apapun suatu bidang tanah dikuasai, tanah yang bersangkutan adalah
sebagian dari tanah bersama Bangsa Indonesia. Maka penetapan peruntukan dan
penggunaannya misalnya, selain berpedoman pada kepentingan pribadi pemegang
haknya, wajib juga memperhatikan kepentingan bersama. Kepentingan bersama
tersebut antara lain diujudkan dan dituangkan dalam Rencana tata Ruang atau Rencana
Tata Guna tanah Wilayah yang bersangkutan yang ditetapkan oleh Pemerintah daerah. (Boedi Harsono, 1994:4)
Adalah merupakan salah satu asas pokok dalam berkehidupan bersama, bahwa
kepentingan bersama harus didahulukan daripada kepentingan pribadi dan golongan.
“Tetapi ............hal itu tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak
sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria
memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat
dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya
akan tercapai tujuan pokok”. Demikian dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUPA mengenai Dasar-dasar dari Hukum Agraria Nasional.
Dengan demikian dalam setiap kegiatan pengadaan tanah harus memperhatikan asas-
asas yang berlaku mengenai penguasaan dan pemilikan tanah dan perlindungan yang diberikan oleh Hukum Tanah Nasional kita kepada para pemegang hak atas tanah.
Menurut Boedi Harsono paling tidak asas-asas yang perlu diperhatikan dalam
pengadaan tanah adalah ( Boedi Harsono, 1994:4,5) : a. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan
apapun harus dilandasi hak atas tanah.
b. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya tidak
dibenarkan bahkan diancam dengan sanksi pidana (UU No. 51/Prp tahun 1960
tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya)
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
7
c. bahwa penguasan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang
disediakan oleh Hukum tanah Nasional dilindungi oleh hukum terhadaap gangguan oleh siapapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh
pihak Penguasa/Pemerintah sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada
landasan hukumnya.
d. Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi
gangguan yang ada:
• gangguan oleh sesama anggota masyarakat : gugatan perdata melalui
Pengadilan Umum atau meminta perlindungan Bupati/Walikota sebagai yang
diatur oleh UU No. 51/Prp/1960 di atas
• gangguan oleh Penguasa/Pemerintah : gugatan melalui Pengadilan Umum
atau PTUN.
e. bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun (juga untuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang
dihaki seseorang, haruslah melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan
bersama. Baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan
maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan untuk menerimanya;
f. bahwa sehubungan dengan apa yang tersebut di atas, dalam keadaan biasa,
untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan
dalam bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada pemegang haknya untuk
menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya;
g. bahwa dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan
untuk penyelenggaraan kepentingan umum, yang tidak mungkin menggunakan
tanah yang lain, dapat dilakukan pengambilannya secara paksa. Dalam arti tidak
memerlukan persetujuan pemegang haknya. Kemungkinannya dibuka oleh
Undang-Undang 20/1961 yang disebut di atas, dengan menggunakan apa yang
disebut acara pencabutan hak;
h. bahwa dalam perolehan atau pengambilan, baik atas dasar kesepakatan
bersama maupun melalui pencabutan hak, pihak yang empunya tanah berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian;
i. bahwa bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut haruslah
sedemikian rupa hingga bekas yang empunya tanah tidak mengalami
kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun pada tingkat ekonominya. Ini
merupakan suatu asas universal, yang dinyatakan secara tegas dalam
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah 39/1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-
hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Lain Yang Ada Di Atasnya. Pernyataan
dalam PP tersebut menunjukkan, bahwa dalam usaha memperoleh tanah untuk
penyelenggaraan kepentingan umum pun berlaku asas tersebut. Dalam
penentuan imbalan sebagai pengganti kerugian tidak ada perbedaan ukuran,
apakah tanah yang bersangkutan diperlukan bagi penyelenggaraan kepentingan
umum atau bukan.
2.2 Peran BPN dan Pemda dalam Pengadaan Tanah
Adanya UU Nomor 22 tahun 1999 pada akhirnya ditindak lanjuti dengan Keppres Nomor
34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang menyerahkan
sembilan kewenangan Pemerintah di bidang Pertanahan kepada Pemerintah Kabupaten
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
8
dan Kota, antara lain adalah penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan.
Sejak berlakunya Keppres Nomor 34 tahun 2003 maka penanganan permasalahan
pengadaan tanah termasuk kegiatan pengadaan tanah lebih banyak dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah. Dari 10 Kota/Kab yang menjadi sample, hanya kota Surabaya dan
Sidoarjo yang masih tetap eksis melaksanakan kegiatan tersebut dengan adanya surat
dari Walikota/Bupati yang isinya tetap menyerahkan pelaksanaannya pada BPN terutama dari segi administrasi.
Peran Pemda dalam kegiatan Pengadaan Tanah cukup tinggi, seperti :
• melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat sebelum kegiatan
dilaksanakan,
• melakukan inventarisasi tanah yang akan terkena kegiatan,
• memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya kegiatan
pengadaan tanah tersebut untuk dilaksanakan melalui pertemuan dengan
masyarakat,
• mengadakan rapat dikecamatan, dan
• menfasilitasi rapat koordinasi dengan instansi terkait pelaksanaan pengadaan
tanah tersebut.
Akibat adanya Keppres tersebut maka segala administrasi yang berkaitan dengan
pengadaan tanah dilaksanakan oleh Pemda, BPN sama sekali tidak memiliki arsip
mengenai kegiatan pengadaan tanah yang ada di wilayahnya karena semua arsip ada di
Pemerintah Daerah. Kelemahannya jika terjadi permasalahan BPN kesulitan untuk membantu menanganinya.
Peran BPN saat ini dalam kegiatan pengadaan tanah dapat dikatakan hanya membantu
Pemda melaksanakan berbagai kegiatan pengadaan tanah seperti sosialisasi,
penyuluhan dan mediasi dengan para pihak jika terjadi permsalahan, bahkan untuk
Kabupaten 50 Kota keseluruhan kegiatan ditangani Pemda, BPN hanya memberikan
saran atau masukan dalam pelaksanaan atau dalam rapat koordinasi.
Untuk Surabaya dan Sidoarjo, BPN tetap berperan terutama dalam penelitian data
administrasi dan peninjauan lapangan, dan dalam kepanitiaan Wakil Ketua II dipegang Kakan Pertanahan dan Sekretaris II ada pada BPN.
Khusus untuk Provinsi Jawa Timur, terdapat Perda Nomor 6 tahun 2004 tentang
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Propinsi Jawa Timur. Peraturan daerah ini
dimaksudkan sebagai landasan hukum untuk operasionalisasi bagi Pemerintah Provinsi
Jawa Timur dalam rangka pelaksanaan pengadaan/pembebasan tanah untuk
kepentingan umum, mengingat Keppres Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum beserta peraturan
pelaksanaannya dan Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Bidang Pertanahan beserta peraturan pelaksanaannya dirasakan belum cukup
efektif dalam pelaksanaannya.
Adapun Koordinasi dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah antara Pemerintah
daerah dan BPN cukup baik. Jika ada kegiatan pengadaan tanah maka rapat koordinasi
secara intensif dilaksanakan oleh Pemda, BPN dan instansi terkait yang menanganinya, kegiatan yang dilaksanakan lebih banyak difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. Jika terjadi
masalah maka Bupati/Walikota akan menugaskan kepada asisten untuk menyelesaikan,
dan asisten mengundang para pihak ke Kantor Bupati/Walikota.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
9
2.3 Sistem dan Mekanisme
2.3.1 Cara/Perolehan Pengadaan Tanah
Dalam pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 36 tahun 2005 dinyatakan bahwa pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara :
• pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
• pencabutan hak atas tanah
Kemudian dalam Perpres Nomor 65 tahun 2006, mengatur cara perolehan Pengadaan
Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara melalui pelepasan atau penyerahan hak,
dan tidak menyebutkan mengenai pencabutan hak.
Menurut Prof. Boedi Harsono, SH ada empat faktor yang harus diperhatikan dalam
menentukan cara pengadaan tanah, namun untuk menetapkan sistem tata cara
pengadaan tanah sekarang ini cukup jika sudah diketahui :
a. status (hukum) tanah yang tersedia, apakan merupakan tanah Negara, tanah
ulayat ,asyarakat hukum adapt atau tanah hak;
b. ada-tidaknya kesediaan yang empunya tanah, artinya kalau yang tersedia tanah hak, apakah yang punya tanah :
• bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak atas tanah yang
dipunyainya, atau;
• tidak bersedia menyerahka tanah atau melepaskan hak atas tanah yang
dipunyainya;
c. status hukum yang memerlukan tanah
Kalau yang tersedia tanah hak dan pihak yang mempunyai bersedia menyerahkan atau
melepaskan hak atas tanah yang dipunyainya, apakah yang memerlukannya :
• memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang akan
diterimanya, atau;
• tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak yang akan diperolehnya
Berdasarkan criteria di atas, maka cara pengadaan tanah dapat disusun dalam suatu
sistem sebagai berikut :
a. Jika tanah yang tersedia/diperlukan berstatus tanah Negara, maka cara yang
harus digunakan adalah acara permohonan dan pemberian hak atas tanah;
b. Jika tanah yang tersedia berstatus tanah ulayat, maka acaranya adalah meminta
kesediaan Penguasa Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan untuk
melepaskan hak ulayatnya, dengan pemberian ganti rugi atas tanah. Tanah
tersebut kemudian dimohonkan hak atas tanah sesuai dengan status pihak yang akan menggunakannya melalui acara permohonan pemberian hak tersebut di
atas.
c. Jika tanah yang dimohon berstatus tanah hak, maka acara yang akan digunakan,
tergantung pada ada atau tidaknya kesediaan yang empunya tanah untuk
menyerahkannya kepada yang memerlukan, dengan ketentuan :
• jika ada kesediaan untuk menyerahkan dengan suka rela, maka ditempuh
acara pemindahan hak, melalui jual beli, tukar menukar, hibah atau dengan
acara pelepasan hak (dulu disebut pembebasan tanah), diikuti dengan
permohonan hak baru yang sesuai, yaitu jika pihak memerlukan tidak
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
10
memenuhi syarat sebagai subyek hak yang semula menentukan status tanah
tersebut.
• Jika yang punya tanah tidak bersedia untuk menyerahkannya dengan suka
rela, apabila syarat-syarat telah dipenuhi, maka dapat ditempuh acara
pencabutan hak, sebagai cara pengambilan tanah secara paksa.
2.3.2 Penyuluhan dan Pengumuman
Keberhasilan suatu kegiatan pengadaan tanah juga ditentukan oleh penyuluhan yang
dilakukan apakah dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai
pentingnya pembangunan yang akan dilaksanakan.
Pelaksanaan penyuluhan sebelum dilaksanakannya kegiatan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum frekwensinya berkisar rata-rata 3 x di setiap
daerah, yang menjadi pelaksana dari setiap kegiatan penyuluhan adalah Pemerintah
daerah dan instansi yang terkait dan masuk dalam kepanitiaan Pengadaan Tanah. Dan
lokasi penyuluhan pada umumnya dilakukan dilokasi pengadaan tanah atau di kantor
Desa tempat dilaksanakannya kegiatan pengadaan tanah.
Pasal 8-10 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahun 1994 menunjukkan bahwa setelah menerima permohonan instansi pemerintah
yang memerlukan tanah, Panitia mengundang instansi pemerintah yang memerlukan
tanah tersebut untuk mempersiapkan pelaksanaan pengadaan tanah. Selanjutnya,
Panitia bersama-sama Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah memberikan
penyuluhan kepada masyarakat yang terkena lokasi pembangunan mengenai maksud
dan tujuan pembangunan agar masyarakat memahami dan menerima pembangunan
yang akan dilaksanakan. Jika pembangunan yang akan dilaksanakan itu mempunyai
dampak yang penting dan mendasar pada kehidupan masyarakat, penyuluhan dilakukan
dengan melibatkan peran serta tokoh masyarakat dan pimpinan informal setempat.
Adapun Hasil pengukuran bidang tanah dan inventarisasi bangunan dan tanaman
diumumkan secara terbuka di kantor lurah/desa/nagari dan di kantor kecamatan selama
satu bulan.
Hal ini sejalan dengan pasal 13 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 1 tahun 1994 menyatakan bahwa untuk memberi kesempatan
kepada yang berkepentingan mangajukan keberatan, maka Panitia mengumumkan hasil
inventarisasi mengenai bidang-bidang tanah, termasuk bangunan, tanaman dan/atau
benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan, dalam bentuk daftar dan peta yang ditandatangani oleh Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan para anggota
Panitia.
Pengumuman dilaksanakan di Kantor Pertanahan Kabupaten/kota, kantor camat dan
kantor Kelurahan/Desa setempat selama 1 bulan. Jika ada keberatan yang diajukan
dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan itu, yang oleh Panitia dianggap beralasan, maka
Panitia mengadakan perubahan terhadap daftar dan peta tersebut.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
11
2.3.3 Musyawarah
Proses musyawarah sangat menentukan dalam kegiatan pengadaan tanah karena
Pengadaan tanah yang telah tercapai dengan cara musyawarah sudah pasti tidak ada
lagi persoalan lagi bagi semua pihak, masalah atau persoalan akan timbul apabila dalam
usaha pengadaan itu tidak tercapai azas musyawarah yang diharapkan disebabkan oleh
beraneka ragam faktor yang mempengaruhinya.
Dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 jo Perpres Nomor 65 tahun 2006 disebutkan
bahwa, musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah bersama
panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang
memerlukan tanah. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan
terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah sebagaimana
dimaksud di atas dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk
diantara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selakuk
kuasa mereka.
Rumusan musyawarah dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 telah mengabaikan
jurisprudensi Mahkamah Agung dalam perkara Waduk Kedungombo yang memasukkan
unsur dalam musyawarah yakni tiadanya rasat takut dan tertekan. Rasa takut dan
tertekan bisa terjadi apabila dalam proses musyawarah itu dijaga oleh hansip atau
aparat Keamanan sedemikian rupa sehingga membuat suasana tidak bebas. Keadaan demikian akan lebih dimungkinkan apabila dikaitkan dengan pasal 8 ayat 2 yang
menyatakan musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan.
Mengapa tidak dilakukan di tempat yang netral dan bersifat terbuka, mudah terjangkau
sehingga dengan demikian akan menjamin bebasnya rasa takut dan tertekan dan asas
kesukarelaan dan kesetaraan.
Karena Perpres tersebut di atas belum ada peraturan pelaksanaannya maka mekanisme
musyawarah yang dilaksanakan sampai saat ini masih menggunakan peraturan
pelaksanaan yang terdapat dalam PMNA/KBPN Nomor 1 tahun 1994 pada pasal 14-15,
16 dan 18 pada intinya mengatur musyawarah mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian, yang pada intinya menyatakan bahwa setelah penyuluhan dan penetapan
lokasi (termasuk inventarisasi dan pengumuman hasil inventarisasi), Panitia
mengundang instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas
tanah serta pemilik bangunan dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah
yang bersangkutan untuk mengadakan musyawarah mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Jadi, musyawarah dilaksanakan secara langsung antara pihak yang
membutuhkan tanah dengan yang empunya tanah.
Jika pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan tidak memungkinkan
terselenggaranya musyawarah secara efektif (misalnya karena terlalu banyak),
musyawarah dapat dilakukan bergiliran secara parsial atau dengan yang ditunjuk diantara dan oleh mereka, dengan surat kuasa yang diketahui lurah/kepala desa
setempat.
Apabila musyawarah menghasilkan kesepakatan, maka Panitia mengeluarkan
keputusan tentang bentuk dan besarnya ganti kerugian. Sebaliknya, jika kesepakatan
belum tercapai, maka diadakan lagi musyawarah, hingga tercapai kesepakatan
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
12
dimaksud di atas. Namun apabila musyawarah yang kedua itupun belum tercapai,
Panitia mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi berdasarkan nilai nyata atau sebenarnya, dengan tetap memperhatikan Nilai Jual Obyek pajak dan
faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan
rencana tata ruang wilayah, prasarana yang tersedia, fasilitas dan utilitas, lingkungan
dan lain-lain yang mempengaruhi harga tanah.
Dengan demikian Panitia akan tetap membuat keputusan mengenai besarnya ganti rugi, meskipun musyawarah belum menghasilkan kesepakatan. Namun keputusan Panitia
yang belum berdasarkan kesepakatan ini, bukan merupakan keputusan final yang dapat
dipaksakan, artinya terhadap keputusan itu dapat diajukan keberatan yakni kepada
Gubernur. Selanjutnya keputusan mengenai bentuk dan besar ganti rugi tersebut (baik
yang diputuskan berdasarkan kesepakatan maupun yang belum tercapai kesepakatan)
disampaikan kepada kedua belah pihak.
Dari hasil penelitian ini diperoleh data penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi melalui
musyawarah antara instansi pengguna tanah dan masyarakat pemilik tanah yang
difasilitasi oleh panitia dilakukan secara langsung kepada pemilik tanah dengan
frekwensi pada umumnya berjalan 1-3 x pertemuan, bahkan ada yang 2 x musyawarah
sudah tercapai kesepakatan.
Hanya saja proses musyawarah yang terjadi tidak ada komunikasi dua arah, Pemerintah
sudah menetapkan harga atau biaya ganti rugi yang akan diberikan, dan masyarakat
harus bisa menerima harga ganti rugi yang ditawarkan itu. Sehingga musyawarah yang
dilaksanakan selama ini terkesan hanya merupakan mekanisme formal saja, dilaksanakan namun kurang memperhatikan aspirasi pemilik tanah sehingga akhirnya
setelah kegiatan berjalan muncul keberatan dari pemilik tanah.
Adapun Jangka waktu musyawarah dalam Keppres Nomor 55 tahun 1993 tidak
ditetapkan, hal ini berbeda dengan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 yang
menetapkan jangka waktu 90 hari dan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 yang menetapkan jangka waktu musyawarah lebih lama yaitu 120 hari.
Dari 10 responden sebagian besar menyatakan kegiatan pengadaan tanah dapat
diselesaikan dalam jangka waktu 90 hari kecuali untuk Kabupaten dan Kota Jayapura,
Kota Surabaya dan Kab. Sidoarjo pelaksanaan musyawarah memakan waktu lebih dari
90 hari.
2.3.4 Penetapan Ganti Rugi
Bentuk dan besaran ganti rugi dari pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang akan diberikan dan telah disepakati serta
disetujui dalam musyawarah antara para pihak yaitu pemilik tanah dengan panitia pengadaan tanah yang terdiri dari Pemerintah Daerah, BPN, dan instansi terkait
ditetapkan dalam Surat Keputusan Panitia Pengadaan Tanah yang diumumkan secara
langsung kepada pemilik tanah dan ada yang diumumkan secara terbatas kepada wakil-wakil masyarakat.
Pemberian ganti rugi dalam bentuk uang dibayarkan secara langsung kepada yang
berhak dilokasi yang ditentukan Panitia, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya
tiga orang anggota Panitia. Sedangkan pemberian ganti rugi selain berupa uang,
dituangkan dalam berita acara pemberian ganti rugi yang ditanda tangani oleh penerima
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
13
ganti rugi yang bersangkutan dan Ketua atau Wakil ketua panitia serta sekurang-
kurangnya dua orang anggota Panitia. Pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang dibuktikan dengan tanda penerimaan.
Mekanisme pembayaran ganti rugi kepada pemilik tanah yang diperoleh dalam
penelitian ini bervariasi, sebagian besar responden (60 %) menyatakan pembayaran
ganti rugi selama ini melalui bank/panitia, sisanya menggunakan pembayaran langsung
dengan menerima cek cash dari pimpro.
Dalam penetapan ganti rugi selama ini yang menjadi dasar penetapan adalah Nilai Jual
Obyek Pajak (NJOP) tahun berjalan dan harga pasar, hal ini sejalan dengan peraturan
yang digunakan pada waktu pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah yaitu Keputusan
Presiden Nomor 55 tahun 1993 dan peraturan pelaksananya PMNA Nomor 1 tahun
1994.
Yang sering menjadi persoalan manakala pemegang hak atas tanah menuntut besarnya ganti rugi atas berdasarkan harga pasar karena hal ini dinilai layak olehnya, sedangkan
Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah menetapkan besarnya
ganti rugi atas tanah berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Pajak Bumi Dan
Bangunan (PBB) tahun terakhir karena hal ini sesuai dengan pasal 15 ayat 1 Perpres
Nomor 36 tahun 2005. Kalau dasar perhitungan ganti rugi atas tanah didasarkan atas
NJOP PBB tahun terakhir, maka hal ini kurang memberikan penghargaan terhadap hak
atas tanah karena NJOP PBB sangat jauh dari harga pasar.
Ketentuan ini tidak memberikan penjelasan lebih rinci mengenai cara menghitung besarnya ganti rugi atas tanah berdasarkan nilai nyata/sebenarnya, untuk itu perlu diatur
lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya.
Perlu diperhatikan pula asas-asas yang dipakai sebagai tolok ukur pemberian ganti rugi
harus lebih terinci dan obyektif. Dalam pasal 1 angka 11 disebutkan ganti rugi yang
......dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Namun demikian hendaknya
memperhatikan asas keseimbangan dan kelumrahan.
Ada perangkat baru yang tugasnya membantu Panitia Pengadaan Tanah dalam
menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yaitu Lembaga/Tim Penilai harga tanah.
Dalam pasal 1 angka 12 Perpres Nomor 36 tahun 2005 dinyatakan bahwa Lembaga/Tim
Penilai harga tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan independen untuk
menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai
kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi.
Ada semacam kerancuan apabila diteliti kedudukan Lembaga/Tim penilai harga Tanah
yang dikatakan profesional dan independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang
akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi, pasal 1(12) dihubungkan dengan tugas Panitia Pengadaan Tanah, yaitu antara lain
menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan (pasal 6 huruf c). banyak yang meragukan Independensi dan profesionaltas Panitia Pengadaan Tanah, sehingga untuk apa ia harus melakukan
penaksiran dan pengusulan besarnya ganti rugi. Akan lebih baik bila penilaian ganti rugi
diserahkan kepada Lembaga Penilai harga Tanah yang independen dan profesional.
Lembaga/Tim penilai harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi
Provinsi DKI Jakarta. Dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 tidak mengatur berapa
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
14
jumlah anggota dan dari unsur apa saja anggota Lembaga/Tim Penilai harga Tanah
serta tugas Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah apakah sifatnya tetap ataukah intidental. Sedangkan dalam Perpres Nomor 65 tahun 2006, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah
tidak lagi menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna
mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi melainkan hanya melakukan
penilaian besarnya ganti rugi.
Kalau dibandingkan antara Keppres Nomor 55 tahun 1993 dengan Perpres Nomor 36 tahun 2005, maka Keppres nomor 55 hanya memberikan ganti kerugian yang bersifat
fisik, yang berupa tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah, sedangkan Perpres Nomor 36 tahun 2005 memberikan ganti kerugian
baik yang bersifat fisik, berupa tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah, dan ganti kerugian yang bersifat non fisik, serta ganti rugi
tersebut dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat sosial
ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Meskipun Perpres Nomor 36 tahun 2005 mengatur ganti rugi yang bersifat non fisik, namun sayangnya Perpres Nomor 36 tahun
2005 tidak mengatur lebih lanjut dan rinci apa yang dimaksudkan dengan kerugian yang
bersifat non fisik dan bagaimana cara menetapkan atau menghitung besarnya kerugian
yang bersifat non fisik. Untuk itu perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan
yang akan melaksanakan Perpres Nomor 36 tahun 2005.
Ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum diberikan untuk :
• hak atas tanah;
• bangunan;
• tanaman
• benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang perlu mendapatkan ganti kerugian
dapat berupa meteran air, listrik, jaringan telpon, sumur pompa, sumur batu bata.
Bentuk ganti rugi dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum dapat berupa:
• uang
• tanah pengganti dan/atau
• pemukiman kembali
Bentuk ganti rugi tidak selalu dalam bentuk, tanah pengganti, atau pemukiman kembali.
Menurut pasal 13 ayat 2 Perpres Nomor 36 tahun 2005 dapat diberikan dalam bentuk
kompensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional yang melaksanakan Perpres
Nomor 36 tahun 2005 perlu diatur mengenai prosedur kompensasi penyertaan modal
(saham) apabila pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi berupa
uang, tanah pengganti atau pemukiman kembali.
2.3.5 Panitia Pengadaan Tanah
Keppres Nomor 55 tahun 1993 menyatakan bahwa panitia Pengadaan Tanah adalah
panitia yang dibentuk untuk membantu pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan demikian Panitia Pengadaan tanah
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
15
hanya bisa terlibat untuk untuk membantu pengadaan tanah jika dilakukan bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Ada dua macam Panitia Pengadaan Tanah, yaitu Panitia Pengadaan tanah yang dibentuk di kabupaten/Kota dan
Panitia Pengadaan tanah yang dibentuk di Provinsi.
Susunan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk di setiap Kabupaten/Kota sebagai
berikut :
• Bupati/Walikota sebagai Ketua merangkap anggota;
• Kepala Kantor Pertanahan sebagai Wakil Ketua merangkap anggota;
• Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai anggota;
• Kepala Instansi Pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian
sebagai anggota;
• Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan
pelaksanaaan pembangunan akan berlangsung sebagai anggota
• Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan
pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai anggota;
• Asisten Sekretaris Wilayah daerah Bidang Pemerintahan atau Kepala Bagian
Pemerintahan pada kantor Bupati/Walikota sebagai Sekretaris I bukan anggota;
• Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai Sekretaris bukan
anggota.
Berdasarkan komposisi Panitia pengadaan tanah di atas, maka Panitia itu merupakan panitia daerah yang berada di bawah tanggung jawab Pemerintah daerah setempat,
sedangkan badan Pertanahan nasional hanya berkewajiban membantu pelaksanaan
tugas dimaksud, baik dalam kepemimpinan maupun kesekretariatan. Karena itulah yang
menjadi ketua Panitia Pengadaan tanah adalah Bupati/Walikota.
Dalam Panitia Pengadaan Tanah instansi yang membutuhkan tanah tidak diikutsertakan lagi sebagai anggota panitia. Tidak dimasukkannya lagi instansi yang memerlukan tanah
sebagai anggota panitia pengadaan tanah semakin menegaskan posisi panitia
pengadaan tanah sebagai mediator dalam proses pengadaan tanah.
Panitia Pengadaan Tanah dalam kegiatan pengadaan tanah jika terjadi permasalahan
antara para pihak mengenai besaran ganti rugi kalau diperlukan menjadi mediator para
pihak yang bersengketa (50 %), sisanya menyatakan selalu menjadi mediator jika terjadi permasalahan. Sebagai mediator, keputusan yang ditetapkannya adalah keputusan
sebagai pihak ketiga yang sifatnya hanya membantu terwujudnya kesepakatan diantara
para pihak. Bagi mediator tidak ada kewenangan untuk memaksakan keputusannya
agar dipatuhi oleh para pihak yang dibantunya.
Pasal 6 Perpres Nomor 36 tahun 2005 menyebutkan Panitia pengadaan tanah dibagi menjadi 4 yaitu :
• Panitia Pengadaan Tanah tingkat kabupaten/kota dibentuk oleh Bupati/walikota
• Panitia Pengadaan Tanah untuk DKI jakarta dibentuk oleh Gubernur
• Panitia Pengadaan Tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih
dibentuk oleh Gubernur
• Panitia Pengadaan Tanah yang terletak di dua wilayah Provinsi atau lebih
dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri
Perpres Nomor 36 tahun 2005 tidak mengatur siapa ketua dan anggota Panitia
Pengadaan Tanah baik ditingkat kabupaten/Kota, Provinsi maupun Pusat. Dalam
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
16
Keppres Nomor 55 tahun 1993 disebutkan secara eksplisit keanggotaan dan Ketua
Panitia Pengadaan Tanah sedangkan dalam PMNA/KBPN Nomor 1 tahun 1994 menyebutkan secara eksplisit keanggotaan dan Ketua Panitia Pengadaan Tanah
Provinsi.
Dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005, Susunan keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah
adalah terdiri dari unsur perangkat daerah. Panitia ini nertugas mengadministrasikan,
meneliti, menaksir besarnya ganti rugi, memberikan penjelasan, mengadakan musyawarah, melaksanakan pemberian ganti rugi, membuat berita acara maka satu hal
yang kurang ialah mengapa tidak ada wakil rakyat yang tanahnya dibebaskan.
Hal ini untuk mendekatkan pada obyektivitas, menghindari penaksiran dan pengusulan
ganti rugi yang sifatnya sepihak. Ini berarti asas kesetaraan antara pihak pemerintah
dengan rakyat pemilik tanah benar benar telah dimuali sejak dibentuknya panitia yang
menyusun usulan besarnya ganti rugi.
Pola ini akan meminimalisasi perbedaan besarnya ganti rugi yang diusulkan dalam
musyawarah, menerapkan asas kesetaraan dalam proses yang lebih dini.
Dalam Perpres Nomor 65 tahun 2006 BPN masuk sebagai anggota dalam Panitia
Pengadaan tanah.
Adapun yang menjadi Kendala Panitia Pengadaan Tanah dalam pelaksanaan tugas,
adalah :
a. Norma/peraturan :
• petunjuk pelaksanaan kurang lengkap
• berbenturan dengan hak ulayat
b. Personil :kurang memadai, kurang keahlian
c. Sarana/Prasarana/peta: tidak memadai
d. Pembiayaan :tidak memadai, belum mendukung, terbentur anggaran belanja
daerah
2.4 Konsinyasi dalam Pengadaan Tanah
Penitipan uang atau konsinyasi kepada Pengadilan negeri setelah tidak dicapainya
kesepakatan harga, sejak sebelum berlakunya Keppres Nomor 55 tahun 1993 sudah
banyak terjadi. Padahal dalam hal ini belum terjadi hubungan hukum yang mengikat antara pemilik tanah dengan pemerintah.
Dalam Keppres Nomor 55 tahun 1993 pasal 17 ayat 2 menyatakan bahwa dalam hal
tanah, bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah dimiliki bersama-
sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak
dapat diketemukan tersebut, maka ganti kerugian yang menjadi hak orang yang tidak
dapat diketemukan tersebut, dikonsinyasikan di pengadilan Negeri setempat oleh instansi Pemerintah yang memerlukan tanah.
Dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 terdapat dua pasal yang mengatur tentang
penerapan lembaga konsinyasi (penitipan uang ke pengadilan) dalam pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, yaitu :
a. Pasal 10 ayat 2
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
17
Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai kesepakatan, Panitia Pengadaan Tanah menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan
menitipkan ganti rugi ke Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi
lokasi tanah yang bersangkutan.
b. Pasal 16 ayat (2)
Dalam hal tanah, bangunan, tanaman, atau benda yang berkaitan dengan
tanah yang dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang pemegang hak atas tanah tidak dapat ditemukan, maka
ganti rugi yang menjadi hak orang yang tidak dapt ditemukan tersebut
dititipkan di pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah
yang bersangkutan.
Berkenaan dengan ketentuan pasal 10 ayat 2 tersebut di atas menimbulkan pertanyaan,
yaitu apakah Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang memerlukan tanah sudah dapat mengambil tanah-tanah hak setelah Panitia Pengadaan Tanah menitipkan uang ganti
rugi ke Pengadilan Negeri setempat sebagai akibat tidak tercapainya musyawarah
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.
Dengan konsinyasi ini, Pemerintah atau Pemerintah daerah yang memerlukan tanah
beranggapan telah melaksanakan kewajiban memberikan ganti rugi kepada pemegang
hak atas tanah, terserah pemegang hak atas tanah mau mengambil atau tidak uang
ganti rugi ke Pengadilan Negeri setempat. Untuk selanjutnya Pemerintah atau
Pemerintah Daerah yang memerlukan tanah mengambil tanah-tanah hak dan proyek pembangunan segera dapat dilaksanakan.
Kalau Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang memerlukan tanah sudah dapat
mengambil tanah setelah menitipkan uang ganti rugi ke Pengadilan Negeri setempat
berarti tindakan tersebut merupakan bentuk tidak adanya penghormatan terhadap hak
atas tanah yang menjadi prinsip Perpres Nomor 36 tahun 2005.
Upaya konsinyasi ganti rugi oleh panitia Pengadaan tanah ke Pengadilan Negeri
setempat merupakan penyimpangan terhadap pasal 1404 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa “Jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berpiutang dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangnya, jika si berpiuang
menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada Pengadilan. Penawaran yang
demikian, diikuti dengan penitipan, membebaskan si berpiutang, dan berlaku baginya
sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan dengan cara menurut Undang-
Undang, sedangkan apa yang dititipkan itu tetap atas tanggungan si berpiutang”.
Dari pasal 1404 KUHPerdata tersebut di atas, jelas mengatur bahwa lembaga penitipan
uang ke Pengadilan (konsinyasi) mensyaratkan adanya hubungan hukum terlebih dulu
antara debitur dan kreditur. Apabila kreditur menolak pembayaran yang sudah disepakati sebelumnya dari debitur, maka debitur dapat menitipkan uang yang besarnya telah
disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak ke Pengadilan Negeri setempat. Dengan
menitipkan uang ke Pengadilan Negeri setempat, maka kewajiban debitur terhadap kreditur telah dipenuhi.
Selama dalam proses musyawarah antara pemegang hak atas tanah dengan Panitia
Pengadaan Tanah dan instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang memerlukan
tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tidak mencapai kesepakatan, maka
tindakan menitipkan uang ganti rugi ke Pengadilan Negeri setempat tidak dapat
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
18
dibenarkan dikarenakan belum ada hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah
dengan instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang memerlukan tanah.
Konsinyasi (menitipkan uang ganti rugi) ke Pengadilan Negeri setempat dapat
dibenarkan untuk diterapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah apabila dalam musyawarah
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi antara pemegang hak atas tanah dengan
Panitia Pengadaan Tanah dan instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah yang
memerlukan tanah telah tercapai kesepakatan yang dibuktikan secara tertulis. Konsinyasi disini dapat dibenarkan dikarenakan telah ada hubungan hukum antara
pemegang hak atas tanah dengan Panitia Pengadaan Tanah.
Pasal selanjutnya dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 yang mengatur konsinyasi
adalah pasal 16 ayat (2), yaitu sebidang tanah yang dimiliki oleh beberapa orang secara
bersama-sama, sebagian dari beberapa orang tersebut telah setuju mengenai bentuk
dan besarnya ganti rugi, sedangkan sebagian yang lain tidak ditemukan tempat tinggalnya, maka ganti rugi yang menjadi hak orang yang tidak diketemukan tersebut
dititipkan ke Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang
bersangkutan. Berkenaan dengan pasal 16 ayat (2) ini, timbul pertanyaan, yaitu siapa
yang berkewajiban mencari satu atau beberapa orang yang tidak ditemukan tempat
tinggalnya tersebut, bagaimana mencarinya, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk mencari satu atau beberapa orang tersebut. Hal ini perlu diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pelaksanaan Perpres Nomor 36 tahun 2005.
2.5 Pencabutan Hak Atas Tanah
Pasal 1 angka 3 Perpres Nomor 36 tahun 2005, yang dimaksud dengan pengadaan
tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, benda-
benda lain yang berkaitan dengan pencabutan hak atas tanah.
Selanjutnya dalam pasal 17 dan 18 Perpres Nomor 36 tahun 2005 mengatur pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dapat ditempuh
melalui pencabutan hak atas tanah. Pencabutan hak atas tanah dalam pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dapat dilaksanakan sebagai
upaya terakhir (ultimum remidium) dengan persyaratan, yaitu :
• pemegang hak atas tanah tidak menyetujui keputusan bentuk dan besarnya ganti
rugi yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan tanah disertai dengan sebab-sebab
dan alasan-alasan keberatan.
• upaya penyelesaian yang ditempuh oleh Bupati/Walikota atau Gubernur atau
Menteri dalam Negeri tetap tidak diterima oleh para pemegang hak atas tanah
• Lokasi pembangunan yang bersangkutan yang ditetapkan oleh Pemerintah atau
Pemerintah daerah yang memerlukan tanah tidak dapat dipindahkan ke tempat
lain.
Ketentuan pasal 17 dan 18 Perpres Nomor 36 tahun 2005 memberikan penghormatan
dan perlindungan terhadaap hak-hak atas tanah dikarenakan untuk mencabut hak atas
tanah untuk kepentingan umum menjadi kewenangan Presiden sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961. Kewenangan Presiden ini tidak
dilimpahkan kepada Menteri Dalam Negeri, Kepala badan Pertanahan nasional, Gubernur atau Walikota.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
19
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961, hak atas tanah yang sudah dicabut
dengan Keputusan Presiden, pemegang hak atas tanah masih dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi setempat dengan tuntutan untuk meninjau kembali
besarnya ganti rugi yang dimuat dalam Keputusan Presiden. Upaya banding ini
merupakan upaya pertama dan terakhir yang dapat ditempuh oleh pemegang hak atas
tanah dan tidak menunda pelaksanaan pencabutan hak atas tanah.
2.6 Upaya yang perlu dilakukan untuk memperbaiki pelaksanaan Pengadaan
tanah
Menurut para responden penelitian, harus dilakukan langkah-langkah untuk
mengoptimalkan pelaksanaan pengadaan tanah, antara lain yaitu :
• Agar peraturan pelaksanaan segera diterbitkan sehingga tidak mengganggu
kelancaran tugas pelaksana;
• ada rumusan baru mengenai konsinyasi ganti rugi dititipkan di Bank di bawah
rek.Panitia/pimproHarus dilengkapi dengan lembaga yg bertugas sebagai
mediator.
Peraturan pelaksana Perpres 36 tahun 2005 yang sudah direvisi dengan Perpres Nomor
65 tahun 2006 seharusnya memuat hal-hal yang bersifat teknis dan operasional seperti:
• administrasi pengadaan tanah:bentuk baku berita acara, blanko surat menyurat,
dsb.
• tata cara pengadaan tanah:mekanisme penyuluhan, pengumuman,musyawarah
dan penetapan ganti rugi serta pelaksanaan pemberian ganti rugi termasuk
mengenai mekanisme konsinyasi
• tata cara penyelesaian permasalahan pengadaan tanah
Disamping peraturan pelaksanaan tersebut di atas, Perpres Nomor 65 tahun 2006 perlu
disempurnakan terutama :
• Pasal 6 ayat 5 mengenai susunan keanggotaan panitia Pengadaan tanah terdiri
atas unsur perangkat daerah dan unsur BPN. Sebaiknya ada wakil pemilik tanah,
hal ini untuk menghindari pengusulan ganti rugi yang sifatnya sepihak. Pola ini
akan meminimalisasi perbedaan besarnya ganti rugi yang diusulkan dalam
musyawarah, menerapkan asas kesetaraan dalam proses yang lebih dini.
• pasal 9 ayat (2) mengenai kuasa dari pemilik tanah, harus ada kriteria yang
membolehkan untuk bertindak sebagai kuasa, misalnya ditentukan adanya
hubungan darah dengan pemilik tanah sehingga profesi tertentu seperti
pengacara atau LSM tidak bisa bertindak sebagai kuasa;
• pasal 10 ayat 1 mengenai jangka waktu musyawarah 120 hari, sebaiknya jangka
waktu tidak perlu diatur, tetapi intensitas dari musyawarah itu yang perlu ditingkatkan dan tercapainya komunikasi dua arah antara pemilik tanah dan
Pemerintah atau Pemerintah daerah.
• Pasal 1 angka 12 menyebutkan bahwa Lembaga/Tim Penilai harga Tanah
adalah lembaga/tim yang profesional dan independen. Dalam pasal 15
disebutkan bahwa lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditunjuk oleh Panitia dan
ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Siapa yang membentuk Lembaga/Tim Penilai itu
dan terdiri dari berapa anggotanya tidak diatur. Tugas lembaga/Tim Penilai
Harga Tanah ini sudah dibatasi oleh pasal 15 ayat 1 huruf a yang mengatur
bahwa dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas NJOP atau nilai
sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan penentuan
besarnya ganti rugi tetap menjadi wewenang Panitia Pengadaan Tanah dalam
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
20
bentuk keputusan Panitia. Sehingga tugas lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ini
cukup dirangkap oleh Panitia Pengadaan tanah, sehingga keberadaan lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah sesuatu yang memperpanjang tata
cara operasional sehingga perlu ditinjau kembali.
III. Kesimpulan Dan Saran
1. Kesimpulan
1. Sengketa/permasalahan pertanahan yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menempati urutan ke
lima sebesar 2,51 % (dari total permasalahan pertanahan diseluruh Indonesia
tahun 2000-2005), setelah sengketa penguasaan/pemilikan tanah sebesar 38,79
%, sengketa pelaksanaan putusan Pengadilan sebesar 24,87 %, sengketa pengukuran/pendaftaran tanah sebesar 18,57 % sengketa pemberian hak
sebesar 10,92 dan urutan ke-enam atau terakhir adalah sengketa reclaiming
ulayat sebesar 1,89 %. Walaupun secara kuantitas sengketa /permasalahan
pengadaan tanah cukup rendah, namun karena menyangkut atau bersinggungan
dengan hak azasi manusia maka permasalahan pengadaan tanah mendapat
sorotan yang cukup tajam dari berbagai elemen masyarakat.
2. Sejak berlakunya Keppres Nomor 34 tahun 2003 maka penanganan
permasalahan pengadaan tanah termasuk kegiatan pengadaan tanah lebih banyak dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Dari 10 Kota/Kab yang menjadi
sample, hanya kota Surabaya dan Sidoarjo yang masih tetap eksis
melaksanakan kegiatan tersebut dengan adanya surat dari Walikota/Bupati yang
isinya tetap menyerahkan pelaksanaannya pada BPN terutama dari segi
administrasi. Peran BPN saat ini dalam kegiatan pengadaan tanah dapat
dikatakan hanya membantu Pemda melaksanakan berbagai kegiatan pengadaan tanah seperti sosialisasi, penyuluhan dan mediasi dengan para pihak jika terjadi
permsalahan, bahkan untuk Kabupaten 50 Kota keseluruhan kegiatan ditangani
Pemda, BPN hanya memberikan saran atau masukan dalam pelaksanaan atau
dalam rapat koordinasi.
3. Koordinasi dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah antara Pemerintah
daerah dan BPN cukup baik. Jika ada kegiatan pengadaan tanah maka rapat
koordinasi secara intensif dilaksanakan oleh Pemda, BPN dan instansi terkait
yang menanganinya, kegiatan yang dilaksanakan lebih banyak difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. Jika terjadi masalah maka Bupati/Walikota akan
menugaskan kepada asisten untuk menyelesaikan, dan asisten mengundang
para pihak ke Kantor Bupati/Walikota.
4. Pelaksanaan penyuluhan sebelum dilaksanakannya kegiatan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum frekwensinya berkisar rata-rata 3 x
di setiap daerah, yang menjadi pelaksana dari setiap kegiatan penyuluhan adalah Pemerintah daerah dan instansi yang terkait dan masuk dalam
kepanitiaan Pengadaan Tanah. Dan lokasi penyuluhan pada umumnya dilakukan
dilokasi pengadaan tanah atau di kantor Desa tempat dilaksanakannya kegiatan
pengadaan tanah. Adapun Hasil pengukuran bidang tanah dan inventarisasi
bangunan dan tanaman diumumkan secara terbuka di kantor lurah/desa/nagari
dan di kantor kecamatan selama satu bulan.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
21
5. Dari hasil penelitian ini diperoleh data penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi melalui musyawarah antara instansi pengguna tanah dan masyarakat pemilik
tanah yang difasilitasi oleh panitia dilakukan secara langsung kepada pemilik
tanah dengan frekwensi pada umumnya berjalan 1-3 x pertemuan, bahkan ada
yang 2 x musyawarah sudah tercapai kesepakatan. Hanya saja proses
musyawarah yang terjadi tidak ada komunikasi dua arah, Pemerintah sudah
menetapkan harga atau biaya ganti rugi yang akan diberikan, dan masyarakat harus bisa menerima harga ganti rugi yang ditawarkan itu. Sehingga
musyawarah yang dilaksanakan selama ini terkesan hanya merupakan
mekanisme formal saja, dilaksanakan namun kurang memperhatikan aspirasi
pemilik tanah sehingga akhirnya setelah kegiatan berjalan muncul keberatan dari
pemilik tanah.
6. Mekanisme pembayaran ganti rugi kepada pemilik tanah yang diperoleh dalam penelitian ini bervariasi, sebagian besar responden (60 %) menyatakan
pembayaran ganti rugi selama ini melalui bank/panitia, sisanya menggunakan
pembayaran langsung dengan menerima cek cash dari pimpro.
7. Panitia Pengadaan Tanah dalam kegiatan pengadaan tanah jika terjadi
permasalahan antara para pihak mengenai besaran ganti rugi kalau diperlukan
menjadi mediator para pihak yang bersengketa (50 %), sisanya menyatakan
selalu menjadi mediator jika terjadi permasalahan. Sebagai mediator, keputusan
yang ditetapkannya adalah keputusan sebagai pihak ketiga yang sifatnya hanya membantu terwujudnya kesepakatan diantara para pihak. Bagi mediator tidak
ada kewenangan untuk memaksakan keputusannya agar dipatuhi oleh para
pihak yang dibantunya.
8. Kendala Panitia Pengadaan Tanah dalam pelaksanaan tugas, adalah :
a. Norma/peraturan :
• petunjuk pelaksanaan kurang lengkap
• berbenturan dengan hak ulayat
b. Personil :kurang memadai, kurang keahlian
c. Sarana/Prasarana/peta: tidak memadai
d. Pembiayaan :tidak memadai, belum mendukung, terbentur anggaran
belanja daerah.
9. Apabila terjadi sengketa pemilikan tanah atau pemilik tanah tidak diketemukan
maka dilakukan penitipan biaya ganti rugi. penitipan dapat dilakukan di
Pengadilan Negeri,Panitia Pengadaan Tanah atau dikembalikan ke Proyek.Dari
pelaksanaan pengadaan tanah yang ada selama ini, 50 % responden
menyatakan pernah dilakukan konsinyasi atau penitipan biaya ganti rugi.
10. Konsinyasi (menitipkan uang ganti rugi) ke Pengadilan Negeri setempat dapat dibenarkan untuk diterapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah apabila dalam
musyawarah mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi antara pemegang hak
atas tanah dengan Panitia Pengadaan Tanah dan instansi Pemerintah atau
Pemerintah daerah yang memerlukan tanah telah tercapai kesepakatan yang
dibuktikan secara tertulis. Konsinyasi disini dapat dibenarkan dikarenakan telah
ada hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan Panitia
Pengadaan Tanah.
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
22
2. Saran
1. Agar peraturan pelaksanaan segera diterbitkan sehingga tidak mengganggu
kelancaran tugas pelaksana, dan memuat hal-hal yang bersifat teknis dan
operasional seperti:
• administrasi pengadaan tanah:bentuk baku berita acara, blanko surat
menyurat, dsb.
• tata cara pengadaan tanah:mekanisme penyuluhan, pengumuman, musyawarah dan penetapan ganti rugi serta pelaksanaan pemberian ganti
rugi termasuk mengenai mekanisme konsinyasi
• tata cara penyelesaian permasalahan pengadaan tanah
2. Perpres Nomor 65 tahun 2006 perlu disempurnakan terutama mengenai:
• Pasal 6 ayat 5 mengenai susunan keanggotaan panitia Pengadaan tanah terdiri
atas unsur perangkat daerah dan unsur BPN. Sebaiknya ada wakil pemilik tanah,
hal ini untuk menghindari pengusulan ganti rugi yang sifatnya sepihak. Pola ini
akan meminimalisasi perbedaan besarnya ganti rugi yang diusulkan dalam
musyawarah, menerapkan asas kesetaraan dalam proses yang lebih dini.
• pasal 9 ayat (2) mengenai kuasa dari pemilik tanah, harus ada kriteria yang membolehkan untuk bertindak sebagai kuasa, misalnya ditentukan adanya
hubungan darah dengan pemilik tanah sehingga profesi tertentu seperti
pengacara atau LSM tidak bisa bertindak sebagai kuasa;
• pasal 10 ayat 1 mengenai jangka waktu musyawarah 120 hari, sebaiknya jangka
waktu tidak perlu diatur, tetapi intensitas dari musyawarah itu yang perlu
ditingkatkan dan tercapainya komunikasi dua arah antara pemilik tanah dan
Pemerintah atau Pemerintah daerah.
• Pasal 1 angka 12 menyebutkan bahwa Lembaga/Tim Penilai harga Tanah
adalah lembaga/tim yang profesional dan independen. Dalam pasal 15
disebutkan bahwa lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditunjuk oleh Panitia dan
ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Siapa yang membentuk Lembaga/Tim Penilai itu dan terdiri dari berapa anggotanya tidak diatur. Tugas lembaga/Tim Penilai
Harga Tanah ini sudah dibatasi oleh pasal 15 ayat 1 huruf a yang mengatur
bahwa dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas NJOP atau nilai
sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan penentuan
besarnya ganti rugi tetap menjadi wewenang Panitia Pengadaan Tanah dalam
bentuk keputusan Panitia. Sehingga tugas lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ini
cukup dirangkap oleh Panitia Pengadaan tanah, sehingga keberadaan
lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah sesuatu yang memperpanjang tata
cara operasional sehingga perlu ditinjau kembali.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
23
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Koran dan Laporan Penelitian
Abdurrahman, Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Cetakan Ke-1, Bandung, Penerbit PT Citra Adtya Bakti,1994
Badrulzaman, Mariam Darus, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung, Penerbit Alumni, 1983
Harsono, Budi, UUPA (Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya): Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan,1994.
Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan,2000.
Harsono, Budi, Kasus-kasus Pengadaan Tanah dalam Putusan Pengadilan Suatu Tinjauan Yuridis, Makalah pada Seminar Nasional Pengadaan tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum, Permasalahan dan kebijaksanaan Dalam Pemecahannya), Kerjasama fakultas Hukum Universitas Trisakti dengan Badan Pertanahan Nasional di Hotel Horison, Jakarta, 1994.
Hartati Sri, Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, antara teori dan praktek, Jakarta, Kompas, 25 Juni 2005.
Kajian Pola Penyelesaian Masalah Pertanahan, Jakarta, Puslitbang BPN 2002.
Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sambutan Menteri negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Trisakti ke XXIV tanggal 3 Desember 1994.
Laporan Penelitian Keputusan Pengadilan Yang Berkaitan Dengan Produk Pelayanan Pertanahan, Jakarta, Puslitbang BPN, 2004.
Laporan Penelitian Penyelesaian Masalah Pertanahan, Jakarta, Puslibang BPN, 2005.
Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Hak atas Tanah di Indonesia, Surabaya, Arkola, 2003.
Parlindungan, A.P, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju,1990.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1984.
Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya, Arkola, 2003.
Sarjita, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Yogyakarta, Penerbit TuguJogja, 2005.
B. Peraturan dan Perundang-undangan
Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya
Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Permasalahan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Trie Sakti, SH. CN.
24
Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang No. 8 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 2/1986 tentang Peradilan Umum
Undang-Undang No 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Keppres Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Keppres No. 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di bidang Pertanahan
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 yang mengatur Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 yang mengatur Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang ketentuan Pelaksanaan Keppres Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Instruksi Menteri Negara Agraria/Ka BPN No. 3/1998 tentang Peningkatan Efisiensi dan Kualitas Pelayanan Masyarakat di Bidang Pertanahan.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
25
KELAYAKAN PENERAPAN POLA PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM (PPK BLU)
DI BIDANG PERTANAHAN
Oleh : Ir. Eliana Sidipurwanty, MSi*]
I. Pendahuluan Instansi Pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan pelayanan masyarakat menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum, dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU). Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) yang mempunyai tugas pengaturan kebijakan dan pelayanan di bidang pertanahan kepada masyarakat, dimungkinkan untuk menerapkan PPK BLU, karena tupoksinya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Anggaran pelayanan pertanahan selama ini diperoleh BPN dari pemerintah, masyarakat, serta bantuan luar negeri yang berupa pinjaman dan hibah. Anggaran pelayanan pertanahan yang berasal dari masyarakat merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. Realisasi PNBP di bidang pertanahan pada tahun anggaran 1999 - 2004 sebesar Rp. 1.836.849.804.979 (satu trilyun delapan ratus tiga puluh enam milyar delapan ratus empat puluh sembilan juta delapan ratus empat ribu sembilan ratus tujuh puluh sembilan rupiah) atau 96,77 % dari target yang telah ditetapkan sebesar Rp. 1.898.209.339.000 (Satu trilyun delapan ratus sembilan puluh delapan milyar dua ratus sembilan juta tiga ratus tiga puluh sembilan ribu rupiah).
Anggaran pembangunan pertanahan tahun 2005 - 2009 telah ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan penyediaan dana pemerintah saat ini, namun penambahan anggaran yang berasal dari masyarakat, hibah dan pinjaman masih dimungkinkan. Penambahan anggaran yang berasal dari masyarakat dilakukan sehubungan dengan meningkatnya animo masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pertanahan terutama kegiatan sertipikasi massal swadaya (SMS), sedangkan penambahan anggaran hibah dan pinjaman luar negeri berkenaan dengan kebijakan pemerintah belum dapat diprediksi sebelumnya.
Anggaran yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan BPN
Tahun 2005-2009 adalah sebesar Rp. 7.135.000.000.000 (tujuh triliun seratus tiga puluh lima milyar rupiah). Anggaran pembangunan pertanahan tersebut berasal dari pemerintah, masyarakat, serta bantuan luar negeri berupa pinjaman dan hibah (BPN, 2005 : 37). Dalam rangka pelayanan pertanahan telah ditargetkan PNBP di bidang pertanahan Tahun 2005-2009 sebesar Rp. 4.113.978.525.000 atau 57,66 persen dari anggaran kegiatan pembangunan BPN (BPN, 2005 : 37).
PNBP yang berasal dari masyarakat untuk menyelenggarakan kegiatan
pelayanan pertanahan tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, akan tetapi harus disetor seluruhnya ke Kas Negara (pasal 16 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara). Hal ini menyebabkan banyak kendala dalam melaksanakan kegiatan pelayanan pertanahan tersebut. Penelitian Puslitbang BPN Tahun 2005 tentang Pola Pembiayaan Pelayanan Pertanahan di Daerah menyimpulkan
*]
Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi. Peneliti Madya Bidang Pertanahan pada Puslitbang BPN-RI
Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi 26
bahwa terdapat kendala-kendala dalam pengelolaan anggaran yang berasal dari masyarakat, yaitu proses dan prosedur penggunaan PNBP yang dirasakan cukup sulit, lama, berbelit-belit dan adanya biaya tambahan yang tidak terdapat dalam anggaran.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum, akan memberikan kemudahan dalam penggunaan anggaran dari masyarakat. Menurut peraturan tersebut, penerimaan negara dari masyarakat dapat dikelola secara langsung tanpa disetorkan kepada Negara, melalui pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU). Pola pengelolaan keuangan ini dapat memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan anggaran, pengelolaan kas dan pengadaan barang dan jasa.
BPN sebagai instansi pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi
memberikan pelayanan masyarakat, dimungkinkan untuk melaksanakan pola PPK-BLU untuk mengatasi berbagai kendala dalam mengelola anggaran yang berasal dari masyarakat tersebut, sebagaimana instansi pemerintah lain yang sudah terlebih dahulu menerapkannya. Sampai saat ini Instansi Pemerintah yang sudah menerapkan pola pembiayaan pelayanan keuangan BLU adalah pelayanan bidang kesehatan seperti Rumah Sakit Pusat/Daerah, pelayanan penyelenggaraan pendidikan, pelayanan jasa penelitian dan pengujian, dan pengelolaan wilayah kawasan secara otonom (otorita).
Untuk dapat melaksanakan PPK BLU, satuan kerja instansi pemerintah harus
memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Apabila syarat-syarat telah dipenuhi, baru diizinkan untuk mengelola keuangan dengan PPK BLU. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi tersebut meliputi : 1. Syarat substantif diantaranya instansi tersebut memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang/jasa yang dijual tanpa mencari keuntungan. 2. Syarat teknis diantaranya kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsi layak
dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya dengan pola BLU yang ditetapkan oleh Menteri/Ketua Lembaga.
3. Syarat administratif, diantaranya membuat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan keuangan dan manfaat bagi masyarakat, mempunyai standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Menteri/Ketua Lembaga dan pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
II. Tinjauan Pustaka 1. Badan Pertanahan Nasional Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional yang berada di daerah Provinsi adalah Kantor Wilayah BPN Provinsi (Kanwil BPN), bertanggung jawab langsung kepada Kepala BPN. Kanwil BPN mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi BPN di Provinsi yang bersangkutan. Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal BPN di Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala BPN melalui Kepala Kanwil. Kantor Pertanahan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi BPN di Kabupaten dan Kota yang bersangkutan. Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, BPN memerlukan anggaran untuk melaksanakan. Anggaran untuk melaksanakan kegiatan pembangunan tersebut berasal dari pemerintah, masyarakat, serta bantuan luar negeri berupa pinjaman dan hibah. Anggaran dari masyarakat untuk biaya pelayanan pertanahan yang merupakan
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
27
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan. PNBP yang berasal dari masyarakat tersebut digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan pertanahan tertentu, sesuai dengan ketentuan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). 2. Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan sumber penerimaan negara diarahkan dengan menggali penerimaan di luar minyak dan gas alam. Sumber lain yang cukup potensial adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP). PNBP adalah seluruh penerimaan pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan (Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak). Penerimaan ini antara lain terdiri atas penerimaan negara dari departemen atau lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang diperoleh dari pelayanan jasa yang diberikan kepada masyarakat. PNBP dalam sektor pertanahan adalah keseluruhan penerimaan yang diperoleh oleh seluruh kantor atau satuan kerja dan unit yang terkait dalam lingkup dan wewenang Badan Pertanahan Nasional Pusat. Berkaitan dengan PNBP dari sektor pertanahan dan untuk melaksanakan Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tersebut, maka, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menyangkut tentang tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada BPN yakni melalui PP No. 46 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, menyatakan bahwa PNBP yang berasal dari masyarakat untuk menyelenggarakan kegiatan pertanahan tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, akan tetapi harus disetor seluruhnya ke Kas Negara. Namun setelah ditetapkannya PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum, PNBP dari pelayanan pertanahan dapat langsung digunakan tanpa terlebih dahulu disetorkan ke kas Negara. Hal ini dimungkinkan untuk dapat dilaksanakan, karena menurut UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum, instansi pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan pelayanan masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU). Fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan anggaran (termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja) pengelolaan kas dan pengadaan barang dan jasa. Kantor yang dapat menggunakan secara langsung dari masyarakat tersebut merupakan satuan kerja/kantor yang telah berstatus BLU.
3. Pelayanan Pertanahan
Pelayanan merupakan kegiatan yang ditawarkan oleh organisasi atau
perorangan kepada konsumen/pelanggan (costumer), yang bersifat tidak terwujud dan tidak dapat dimiliki (Daviddow dan Uttal dalam Sugiyanto, 2001:4). Dalam pelayanan yang disebut konsumen/pelanggan (costumer) adalah masyarakat yang mendapat manfaat dari aktifitas yang dilakukan oleh organisasi atau petugas dari organisasi pemberi pelayanan tersebut.
Pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah disebut dengan pelayanan umum. Menurut Keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993,
Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi 28
pelayanan umum adalah segala bentuk pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat dan daerah, dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dapat berupa fisik, non fisik maupun
administratif. Pelayanan fisik dapat berbentuk penyediaan jalan, jembatan, gedung sekolah, gedung rumah sakit dan sebagainya. Pelayanan non fisik merupakan pelayanan yang diberikan pada masyarakat dan pemanfaatannya dinikmati oleh personal yang berupa pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan dan sebagainya. Sedangkan pelayanan administratif adalah pelayanan yang bersifat legalitas misalnya melegalkan sesuatu kepemilikan atau keberadaan sesorang/indivindu atau kegiatan indivindu/organisasi dalam masyarakat misalnya pelayanan perijinan, pelayanan kartu tanda penduduk, akte kelahiran, bukti kepemilikan atas tanah (sertipikat), dan sebagainya.
BPN merupakan salah satu LPND yang memberikan pelayanan umum kepada masyarakat dalam bidang pertanahan. Macam pelayanan pertanahan yang diberikan dan besarnya tarif pelayanan diatur dalam PP No. 46 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional. Pelayanan yang telah ditetapkan tarifnya tersebut meliputi kegiatan : a. Pelayanan Pendaftaran Tanah b. Pelayanan Pemeriksaan Tanah c. Pelayanan Informasi Pertanahan d. Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya e. Pelayanan Redistribusi Tanah Secara Swadaya f. Penyelenggaraan Pendidikan Program Diploma I Pengukuran dan Pemetaan
Kadastral g. Pelayanan Penetapan Hak Atas Tanah. 4. Badan Layanan Umum (BLU)
Reformasi yang terjadi secara signifikan di bidang keuangan negara adalah pergeseran dari penganggaran tradisional ke penganggaran berbasis kinerja. Melalui basis kinerja ini mulai dirintis arah yang jelas bagi penggunaan dana pemerintah, berpindah sekedar membiayai masukan (inputs) atau proses ke pembayaran terhadap apa yang dihasilkan (outputs). Perubahan ini merupakan proses pembelajaran yang lebih rasional untuk mempergunakan sumber daya yang dimiliki pemerintah mengingat tingkat kebutuhan dana yang tinggi, sedangkan sumber dana terbatas.
Orientasi kepada outputs menjadi praktek yang dianut luas oleh pemerintahan
modern di berbagai negara. Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) adalah paradigma yang memberi arah yang tepat bagi keuangan sektor publik. Dalam kaitan ini, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menekankan basis kinerja dalam penganggaran, memberi landasan yang penting bagi orientasi baru di Indonesia.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka
koridor baru bagi penerapan basis kinerja ini di lingkungan pemerintah. Pasal 68 dan pasal 69 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa instansi pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Instansi demikian disebut sebagai Badan
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
29
Layanan Umum (BLU), diharapkan menjadi contoh konkrit yang menonjol dari penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil kerja (kinerja).
Peluang ini secara khusus menyediakan kesempatan bagi satuan-satuan kerja
pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik, untuk membedakannya dari fungsi pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan. Praktik ini telah berkembang luas di manca negara berupa upaya pengagenan (agencification) aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi murni, tetapi diselenggarakan oleh instansi yang dikelola ala bisnis (business like) sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.
Pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka
pelaksanaan anggaran termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. Kepada BLU juga diberikan kesempatan untuk mempekerjakan tenaga profesional non PNS serta kesempatan pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan konstribusinya. Namun sebagai pengimbang, BLU harus dikendalikan secara ketat dalam perencanaan dan penganggarannya serta dalam pertanggung jawabannya.
BLU wajib menghitung harga pokok dari layanannya dengan kualitas dan
kuantitas yang distandarkan oleh menteri teknis pembina. Dalam pertanggung jawabannya, BLU harus mampu menghitung dan menyajikan anggaran yang digunakannya dalam kaitannya dengan layanan yang telah direalisasikan. Oleh karena itu, BLU berperan sebagai agen dari menteri/pimpinan lembaga induknya. Kedua belah pihak menandatangani kontrak kinerja (a contractual performance agreement), dimana menteri/lembaga induk bertanggung jawab atas kebijakan layanan yang hendak dihasilkan, dan BLU bertanggung jawab untuk menyajikan layanan yang diminta. BLU tetap menjadi instansi pemerintah yang tidak dipisahkan, sehingga seluruh pendapatan yang diperolehnya dari non APBN/ APBD dilaporkan dan dikonsolidasikan dalam pertanggung jawaban APBN/APBD.
Sehubungan dengan previlese yang diberikan dan tuntutan khusus yang
diharapkan dari BLU, keberadaannya harus diseleksi dengan tata kelola khusus. Untuk itu, menteri/pimpinan lembaga/satuan kerja dinas terkait diberi kewajiban untuk membina aspek teknis BLU, sementara Menteri Keuangan/PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) berfungsi sebagai pembina di bidang pengelolaan keuangan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum menyatakan bahwa Badan Layanan umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. BLU menyelenggarakan kegiatan tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.
BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/pemerintah daerah sebagai instansi induk. Menteri/pimpinan lembaga/ gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum
Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi 30
yang didelegasikan kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan. Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja kementerian kemeterian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)/pemerintah daerah.
Pola Pengelolaan Keuangan BLU (PPK-BLU) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diatur dalam PP No. 23 Tahun 2005, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Persyaratan substantif, apabila instansi pemerintah yang bersangkutan
menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan : a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum, b. Pengelolaan wilayah kawasan tertentu untuk tujuan meningkatakan
perekonomian masyarakat atau layanan umum, dan/atau, c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau
layanan kepada masyarakat. 2. Persyaratan teknis, apabila :
a. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga kepada SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan
b. Kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
3. Persyaratan administratif, apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen berikut : a. Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan
manfaat bagi masyarakat, b. Pola tata kelola, c. Rencana Strategi bisnis, d. Laporan keuangan pokok, e. Standar pelayanan minimum, dan f. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara
independen. Intansi pemerintah yang memenuhi persyaratan substantive, teknis, dan
administrative untuk menerapkan PPK-BLU dapat diusulkan oleh Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD kepada Menteri Keuangan/Gubernur/Bupati/Walikota. Menteri Keuangan/Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan instansi pemerintah yang telah memenuhi persyaratan untuk menerapkan PPK-BLU. Penetapan tersebut dapat berupa pemberian status sebagai berikut : a. BLU secara penuh
Apabila seluruh persyaratan (substantive, teknis, dan administrative) telah dipenuhi secara memuaskan
b. BLU bertahap Apabila persyaratan substantive dan teknis telah terpenuhi, namun persyaratan administrative belum terpenuhi secara memusakan.
Status BLU bertahap ini, berlaku paling lama 3 (tiga) tahun.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
31
Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/ Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Standar pelayanan minimum harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.
BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas
barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan diusulkan oleh BLU Kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepada SKPD sesuai dengan kewenangannya. Tarif layanan harus mempertimbangkan : a. Kontinuitas dan pengembangan layanan, b. Daya beli masyarakat c. Asas keadilan dan kepatutan, dan d. Kompetisi yang sehat.
BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) (RJPMD). BLU menyusun RBA Tahunan dengan mengacu kepada rencana strategis bisnis. RBA disusun berdasarkan basis kinerja dan perhitungan akuntasi biaya menurut jenis layanannya. RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima masyarakat, badan lain, dan APBD.
Penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU. Pendapatan yang diperoleh dan jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional BLU. Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan. Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya merupakan pendapatan bagi BLU. Pendapatan dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA. Pendapatan dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) kementerian/lembaga atau pendapatan negara bukan pajak pemerintah daerah.
Pengelolaam BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan kesetaraan
antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, mengikuti praktek bisnis yang sehat. Flexibilitas pengelolaan belanja berlaku dalam ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan RBA. Dalam hal terjadi keurangan anggaran, BLU dapat mengajukan usulan tambahan anggaran dari APBN?APBD kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan lembaga kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya. Belanja BLU dilaporkan sebagai belanja barang dan jasa kemeterian negara/lembaga/SKPD/ Pemerintah Daerah.
Dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan :
a. Merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas, b. Melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan, c. Menyimpan kas dan mengelola rekening bank, d. Melakukan pembayaran, e. Mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek, dan f. Memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan
tambahan.
Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi 32
Pengeloaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan praktek bisnis yang sehat. Penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
BLU menerapkan sistem informasi manajemen keuangan sesuai dengan kebutuhan dan praktek bisnis yang sehat. Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntasikan dan dokumen pendukungnya dikelola secara tertib. Laporan keuangan BLU setidak-tidaknya meliputi laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan mengenai kinerja. Laporan keuangan BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan laporan pertanggungjawaban keuangan kementerian negara/lembaga/SKPD/Pemerintah Daerah. 5. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Dalam Mewujudkan
Good Governance a. Karakter Good Governance Menurut UNDP
Beberapa karakteristik yang ditetapkan UNDP dalam pelaksanaan good
governance adalah sebagai berikut : 1. Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan secara langsung
maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. 3. Transparency, transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi.
Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
4. Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder.
5. Consensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. 6. Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh
kesejahteraan dan keadilan. 7. Efficiency and Effectiveness, pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara
berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). 8. Accountability, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang
dilakukan. 9. Strategic vision, penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi
jauh ke depan.
Dari sembilan karakter tersebut, terdapat tiga hal yang dapat diperankan oleh akuntasi sektor publik atau penciptaan tranparansi, akuntabilitas publik, dan value for money (economy, efficiency, dan effectiveness). b. Reformasi Sektor Publik
Untuk mewujudkan good governance diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik (publik management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan baik struktur maupun infra strukturnya. Kunci reformasi kelembagaan tersebut adalah pemberdayaan masing-masing elemen, yaitu masyarakat umum sebagai ”stakeholder”, pemerintah sebagai eksekutif, dan DPR sebagai ”shareholder”.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
33
Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan Zaman, karena perubahan tidaklah sekedar perubahan paradigma, namun juga perubahan manajemen. Model manajemen yang cukup populer misalnya New Public Management yang mulai dikenal tahun 1980 dan populer tahun 1990-an yang mengalami beberapa bentuk konsep, misalnya munculnya konsep ”managerialism”, ”market based public administration”, ”post-bureaucratic paradigm”, dan ”entrepreneurial government. New Public Management berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah, diantaranya adalah perubahan pendekatan dalam penganggaran dari basis tradisional (traditional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance budget), tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender (compulsory competitive tendering contract).
Selain reformasi kelembagaan dan reformasi manajemen sektor publik, untuk mendukung terciptanya good governance, maka diperlukan serangkaian reformasi lanjutan terutama yang terkait dengan sistem pengelolan keuangan pemerintah, yaitu : a. Reformasi Sistem Pembiayaan (financing reform), b. Reformasi Sistem Penganggaran (budgeting reform), c. Reformasi Sistem Akuntansi (accounting reform), d. Reformasi Sistem Pemeriksaan (audit reform), dan e. Reformasi Sistem Manajemen Keuangan (financial management reform) Tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut adalah agar pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan dengan mendasarkan konsep value for money, sehingga tercipta akuntabilitas publik (public accountability) c. Perubahan Pendekatan Penganggaran Sektor Publik dari Traditional Budget
Menuju New Public Management
Sistem anggaran sektor publik dalam perkembangannya telah menjadi instrumen kebijakan multifungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut terutama tercermin pada komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan pelayanan masyarakat yang diharapkan. Anggaran sebagai alat perencanaan kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter sekaligus berfungsi sebagai alat pengendalian. Dengan demikian, agar fungsi perencanaan dan pengawasan dapat berjalan dengan baik, maka sistem anggaran harus dilakukan dengan cermat dan sistematis.
Sebagai suatu sistem, perencanaan anggaran sektor publik telah mengalami
banyak perkembangan. Sistem perencanaan anggaran publik berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika perkembangan manajemen sektor publik dan perkembangan tuntutan yang muncul di masyarakat. Pada dasarnya terdapat beberapa jenis pendekatan dalam perencanaan dan penyusunan anggaran sektor publik. Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah : a. Anggaran tradisional atau anggaran konvensional, dan b. Pendekatan baru yang dikenal dengan pendekatan New Public Management. Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang banyak digunakan di beberapa negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini yaitu : a. Struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item. b. Cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism.
Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi 34
Ciri lainnya adalah cenderung sentralistis, bersifat spesifikasi, tahunan, dan menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New Public Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dan rasional terhadap perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Base Budgeting (ZBB), dan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS).
Reformasi yang signifikan di bidang keuangan negara saat ini telah terjadi yaitu
dari penganggaran tradisional ke penganggaran berbasis kinerja. Melalui basis kinerja ini mulai dirintis arah yang jelas bagi penggunaan dana pemerintah, yang berpindah dari sekedar membiayai masukan (inputs) atau proses ke pembayaran terhadap apa yang dihasilkan (outputs). Perubahan ini merupakan proses pembelajaran yang lebih rasional untuk mempergunakan sumber daya yang dimiliki pemerintah mengingat tingkat kebutuhan dana yang tinggi, sedangkan sumber dana terbatas.
Orientasi kepada outputs ini telah dianut luas oleh pemerintahan modern di
berbagai negara. Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) adalah paradigma yang memberi arah yang tepat bagi keuangan sektor publik. Dalam kaitan ini, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menekankan basis kinerja dalam penganggaran, memberi landasan yang penting bagi orientasi baru di Indonesia.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara telah
membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja ini di lingkungan pemerintah. Pasal 68 dan pasal 69 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa instansi pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Instansi demikian disebut sebagai Badan Layanan Umum (BLU), diharapkan menjadi contoh konkrit yang menonjol dari penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil kerja (kinerja.
Pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka
pelaksanaan anggaran termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. Kepada BLU juga diberikan kesempatan untuk mempekerjakan tenaga profesional non PNS serta kesempatan pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan konstribusinya. Namun sebagai pengimbang, BLU harus dikendalikan secara ketat dalam perencanaan dan penganggarannya serta dalam pertanggung jawabannya. Reformasi yang signifikan di bidang keuangan negara adalah pergeseran dari penganggaran tradisional ke penganggaran berbasis kinerja. Melalui basis kinerja ini mulai dirintis arah yang jelas bagi penggunaan dana pemerintah, berpindah sekedar membiayai masukan (inputs) atau proses ke pembayaran terhadap apa yang dihasilkan (outputs). Perubahan ini merupakan proses pembelajaran yang lebih rasional untuk mempergunakan sumber daya yang dimiliki pemerintah mengingat tingkat kebutuhan dana yang tinggi, sedangkan sumber dana terbatas.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
35
III. Kelayakan Penerapan PPK BLU di Lingkungan BPN
Kelayakan penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU) di Kantor Wilayah BPN Provinsi, dan Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kota dapat diketahui sebagai berikut :
Tabel 1. Kelayakan PPK BLU di lingkungan BPN
Persyaratan No.
Kanwil/Kantah Substantif Teknis Administrati
f
Kelayakan
1. Kanwil BPN Prov. Kaltim + + + Layak
2. Kantah Kota Balik Papan + + + Layak
3. Kantah Kab. Kutai K. + + + Layak
4. Kawil BPN Prov. Papua - - - Belum layak
5. Kantah Kota Jayapura + + - Layak bersyarat
6. Kabupaten Jayapura * + - + Belum layak
7. Kanwil BPN Prov. Sumsel + - - Belum layak
8. Kantah Kota Palembang + + + Layak
9. Kantah Kab. Banyuasin + + + Layak
10. Kanwil BPN Prov. Jatim + - - Belum layak
11. Kantah Kota Surabaya + + + Layak
12. Kantah Kab. Sidoarjo + + + Layak
13. Kanwil BPN Prov. Jateng + - - Belum layak
14. Kantah Kota Semarang * + - - Belum layak
15. Kanwil BPN Prov. Jabar + - + Belum layak
16. Kantah Kota Bandung + + + Layak
17. Kantah Kab. Karawang + + + Layak
Sumber : Studi Kelayakan Penerapan BLU di Bidang Pertanahan (Penerapan PPK BLU), 2006 Keterangan : + = memenuhi syarat, - = tidak memenuhi syarat
Hasil studi menunjukkan bahwa belum semua kantor di lingkungan BPN dapat memenuhi persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan persyaratan administratif. Dari 6 (enam) Kanwil BPN yang dijadikan sampel, hanya 1 (satu) Kanwil (20 %) yang layak untuk menerapkan PPK BLU. Sedangkan Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kota pada umumnya layak melaksanakan PPK BLU, karena dari 11 sampel yang diteliti 9 sampel (82 %) layak untuk menerapkan PPK BLU. Namun dengan catatan, kantor yang layak tersebut harus meningkatkan Sumber Daya Manusianya (SDM) keuangan dan juru ukur, melengkapi sarana dan prasarana kerja, membuat dan menyempurnakan Rencana Strategi Bisnisnya (RSB), dan meningkatkan realisasi penerimaan dan pengeluaran (DIPA) PNBP. Sehingga untuk menerapkan PPK BLU di lingkungan BPN harus mempertimbangkan SDM, Sarana dan prasarana kantor yang ada selain persyaratan yang telah ditentukan.
Persyaratan substantif, persyaratan teknis dan persyaratan administratif yang
dapat dipenuhi oleh Kantor Wilayah BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kota untuk menerapkan PPK BLU adalah sebagai berikut : 1. Kelayakan Persyaratan Substantif a. Persyaratan substantif yang dapat dipenuhi oleh Kanwil BPN Persyaratan substantif yang dapat dipenuhi oleh Kanwil BPN adalah menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan penyediaan jasa. Layanan umum yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah kawasan tertentu untuk
Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi 36
meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum dan pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau layanan kepada masyarakat tidak dilayankan oleh Kanwil BPN.
Jenis jasa yang dapat dilayankan oleh Kanwil BPN adalah kegiatan pelayanan
pertanahan sebagai berikut : 1. Pelayanan pendaftaran tanah yaitu pelayanan pengukuran dan pemetaan bidang
tanah meliputi : a. Pelayanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah secara sporadik. b. Pelayanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah secara sistematik. c. Pelayanan pengembalian batas. d. Pelayanan pembuatan peta situasi lengkap (topografi).
2. Pelayanan Pemeriksaan Tanah a. Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia B 1) Pelayanan pemeriksaan tanah secara sporadis. 2) Pelayanan pemeriksaan tanah secara massal.
3) Pelayanan survey pemetaan PGT. b. Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah
1) Pelayanan Pemeriksaan Tanah di Perkotaan 2) Pelayanan Pemeriksaan Tanah di Perdesaan 3) Pelayanan Pemeriksaan Tanah secara massal
c. Pelayanan pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi . 1) Pelayanan pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi untuk
perpanjangan atau pembaharuan HGB dan Hak Pakai. 2) Pelayanan pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi untuk
perpanjangan atau pembaharuan HGU. 3. Pelayanan Informasi pertanahan 4. Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya 5. Pelayanan Redistribusi Tanah Secara Swadaya
Persyaratan substantif yang berhubungan dengan penyediaan barang layanan
umum yang diselenggarakan oleh Kanwil BPN adalah : 1. Surat ukur dengan kertas (bidang) 2. Titik Dasar Teknis Orde 2 (titik) 3. Titik Dasar Teknis Orde 3 (titik) 4. Peta Pendaftaran Blue Print (lembar) 5. Peta Pendaftaran Tanah Digital (lembar) 6. Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Blue Print
(lembar) 7. Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Sephia
(lembar) 8. Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Drafting
Film (lembar) 9. Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Digital
(lembar) 10. Photo Udara Blow Up (lembar) 11. Photo Udara Digital (lembar) 12. Peta Photo Drafting Film (lembar) 13. Peta Photo Digital (lembar) 14. Peta Penggunaan Tanah dengan Kertas (lbr/ blad) 15. Peta Penggunaan Tanah dgn Kertas (lbr/ wilayah) 16. Peta Kemampuan Tanah dengan Kertas (lbr/ blad) 17. Peta Kemampuan Tanah dgn Kertas (lbr/ wilayah) 18. Peta Analisa Penggunaan Tnh dgn Kertas (lbr/wil) 19. Informasi teksual (lembar)
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
37
Persyaratan substantif yang berhubungan dengan penyediaan barang layanan ini sudah diatur dalam PP 46 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada BPN. b. Persyaratan substantif yang dapat dipenuhi oleh Kantor Pertanahan Kota
Persyaratan substantif yang dapat dipenuhi oleh Kantor Pertanahan Kota adalah menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan penyediaan jasa. Layanan umum yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah kawasan tertentu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum dan pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau layanan kepada masyarakat tidak dilayankan oleh Kantor Pertanahan Kota.
Jenis jasa yang dapat dilayankan oleh Kantor Pertanahan Kota adalah kegiatan
pelayanan pertanahan sebagai berikut : 1. Pelayanan pendaftaran tanah yaitu a. Pelayanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah meliputi :
1) Pelayanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah secara sporadik. 2) Pelayanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah secara sistematik. tidak
b. Pelayanan pendaftaran tanah untuk pertama kali c. Pelayanan pemeliharaan data pendaftaran tanah
2. Pelayanan pemeriksaan tanah a. Pelayanan pemeriksaan tanah oleh Panitia A
1) Pelayanan pemeriksaan tanah di perkotaan. 2) Pelayanan pemeriksaan tanah di perdesaan. 3) Pelayanan pemeriksaan tanah secara massal.
b. Pelayanan pemeriksaan tanah oleh Tim Peneliti Tanah 1) Pelayanan pemeriksaan tanah di perkotaan. 2) Pelayanan pemeriksaan tanah di perdesaan. 3) Pelayanan pemeriksaan tanah secara massal.
c. Pelayanan pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi 1) Pelayanan pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi untuk
perpanjangan atau pembaharuan HGB dan Hak Pakai. 2) Pelayanan pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi untuk
perpanjangan atau pembaharuan HGU. 3. Pelayanan Informasi pertanahan
Persyaratan substantif yang berhubungan dengan penyediaan barang layanan
umum yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Kota adalah : 1. Surat ukur dengan kertas (bidang) 2. Titik Dasar Teknis Orde 2 (titik) 3. Titik Dasar Teknis Orde 3 (titik) 4. Peta Pendaftaran Blue Print (lembar) 5. Peta Pendaftaran Tanah Digital (lembar) 6. Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Blue Print
(lembar) 7. Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Sephia
(lembar) 8. Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Drafting
Film (lembar) 9 Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Digital
(lembar)
Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi 38
10. Photo Udara Blow Up (lembar) 11. Photo Udara Digital (lembar) 12. Peta Photo Drafting Film (lembar) 13. Peta Photo Digital (lembar) 14. Peta Penggunaan Tanah dengan Kertas (lbr/ blad) 15. Peta Penggunaan Tanah dgn Kertas (lbr/ wilayah) 16. Peta Kemampuan Tanah dengan Kertas (lbr/ blad) 17. Peta Kemampuan Tanah dgn Kertas (lbr/ wilayah) 18. Peta Analisa Penggunaan Tanah dgn Kertas (lbr/wil) 19. Informasi teksual (lembar) Persyaratan substantif yang berhubungan dengan penyediaan barang layanan ini sudah diatur dalam PP 46 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada BPN. c. Persyaratan substantif yang dapat dipenuhi oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten
Persyaratan substantif yang dapat dipenuhi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten adalah menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan penyediaan jasa. Layanan umum yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah kawasan tertentu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum dan pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau layanan kepada masyarakat tidak dilayankan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten.
Jenis jasa yang dilayankan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten adalah kegiatan
pelayanan pertanahan sebagai berikut : 1. Pelayanan pendaftaran tanah yaitu a. Pelayanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah meliputi :
1) Pelayanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah secara sporadik. 2) Pelayanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah secara sistematik. 3) Pelayanan pembuatan peta situasi lengkap (topografi).
b. Pelayanan pendaftaran tanah untuk pertama kali c. Pelayanan pemeliharaan data pendaftaran tanah
2. Pelayanan pemeriksaan tanah a. Pelayanan pemeriksaan tanah oleh Panitia A
1) Pelayanan pemeriksaan tanah di perkotaan. 2) Pelayanan pemeriksaan tanah di perdesaan. 3) Pelayanan pemeriksaan tanah secara massal.
b. Pelayanan pemeriksaan tanah oleh Tim Peneliti Tanah 1) Pelayanan pemeriksaan tanah di perkotaan. 2) Pelayanan pemeriksaan tanah di perdesaan. 3) Pelayanan pemeriksaan tanah secara massal.
c. Pelayanan pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi 1) Pelayanan pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi untuk
perpanjangan atau pembaharuan HGB dan Hak Pakai. 2) Pelayanan pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi untuk
perpanjangan atau pembaharuan HGU. 3. Pelayanan Informasi pertanahan
Persyaratan substantif yang berhubungan dengan penyediaan barang layanan
umum tidak diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten adalah : 1. Surat ukur dengan kertas (bidang) 2. Titik Dasar Teknis Orde 2 (titik) 3. Titik Dasar Teknis Orde 3 (titik) 4. Peta Pendaftaran Blue Print (lembar)
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
39
5. Peta Pendaftaran Tanah Digital (lembar) 6. Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Blue Print
(lembar) 7. Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Sephia
(lembar) 8. Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Drafting
Film (lembar) 9 Peta Dasar/Peta Dasar Pendaftaran/Peta Garis/ Peta Tata Guna Tanah Digital
(lembar) 10. Photo Udara Blow Up (lembar) 11. Photo Udara Digital (lembar) 12. Peta Photo Drafting Film (lembar) 13. Peta Photo Digital (lembar) 14. Peta Penggunaan Tanah dengan Kertas (lbr/ blad) 15. Peta Penggunaan Tanah dgn Kertas (lbr/ wilayah) 16. Peta Kemampuan Tanah dengan Kertas (lbr/ blad) 17. Peta Kemampuan Tanah dgn Kertas (lbr/ wilayah) 18. Peta Analisa Penggunaan Tnh dgn Kertas (lbr/wil) 19. Informasi teksual (lembar) Persyaratan substantif yang berhubungan dengan penyediaan barang layanan ini sudah diatur dalam PP 46 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada BPN.
Berdasarkan kelayakan mengenai persyaratan substantif dapat diketahui bahwa Kantor Wilayah BPN, dan Kantor Pertanahan dapat memenuhi persyaratan tersebut, karena menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan penyediaan jasa dan barang. Jenis jasa layanan dan barang yang dilayankan adalah sebagai berikut : a. Jenis jasa yang dilayankan oleh Kanwil BPN adalah Pengukuran dan Pemetaan
bidang tanah, Pemeriksaan Tanah oleh Panitia B, Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah, pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi, Informasi pertanahan, Konsolidasi Tanah Secara Swadaya, dan Redistribusi Tanah Secara Swadaya. Sedangkan barang yang dilayankan adalah Surat Ukur dan Peta.
b. Jenis jasa yang dilayankan oleh Kantor Pertanahan adalah pengukuran dan pemetaan bidang tanah, pendaftaran tanah untuk pertama kali, pemeliharaan data pendaftaran tanah, pemeriksaan tanah oleh Panitia A, pemeriksaan tanah oleh Tim Peneliti Tanah, pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi, dan Informasi pertanahan. Sedangkan barang yang dilayankan adalah Surat Ukur dan Peta.
Persyaratan substantif yang berhubungan dengan jasa dan barang layanan tersebut sudah diatur dalam PP 46 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada BPN.
Layanan umum yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah kawasan
tertentu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum, dan pengelolaan khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau layanan kepada masyarakat, tidak dilayankan oleh kantor di lingkungan BPN.
Menurut Supriyanto dan Suparjo, 2006 : 1, jenisnya Badan Layanan Umum dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : 1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga
pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain; 2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita
pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (Kapet); dan 3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir,
dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai.
Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi 40
Oleh karena itu, jenis BLU di bidang pertanahan, berdasarkan pengelompokkan tersebut dapat dikategorikan ke dalam jenis BLU yang kegiatannya menyediakan barang dan jasa. 2. Kelayakan Persyaratan Teknis a. Persyaratan teknis yang dapat dipenuhi oleh Kanwil BPN
Persyaratan teknis yang dapat dipenuhi oleh Kanwil BPN adalah : 1. Kinerja pelayanan di bidang tupoksi
Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran (DIPA) PNBP Kanwil BPN Provinsi tidak semuanya dapat memenuhi kinerja pelayanan di bidang tupoksi, karena realisasi penerimaan dan pengeluaran (DIPA) PNBP tidak semuanya dapat dikategorikan baik (> 50 persen), namun ada pula yang jelek (< 50 persen).
2. Kinerja keuangan Kanwil BPN Provinsi pada umumnya dalam keadaan sehat, karena telah ada dokumen-dokumen kinerja keuangan dalam bentuk kuitansi, LKKUP (Laporan Keadaan Kas Uang Penerimaan), Surat Tugas, SPPD, BA, SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana), SPS (Surat Perintah Setor), SPM (Surat Perintah Bayar), SSBP (Surat Setoran PNBP), dan SSP (Surat Setoran Pajak).
b. Persyaratan teknis yang dapat dipenuhi oleh Kantor Pertanahan
Persyaratan teknis yang dapat dipenuhi oleh Kantor Pertanahan adalah : 1. Kinerja pelayanan di bidang tupoksi
Realisasi Penerimaan PNBP Kantor Pertanahan Kota pada umumnya adalah cukup baik dan baik. Namun realisasi Pengeluaran (DIPA) PNBP Kantor Pertanahan Kota pada umumnya adalah jelek. tidak semuanya dapat memenuhi kinerja pelayanan di bidang tupoksi, karena realisasi penerimaan dan pengeluaran (DIPA) PNBP tidak semuanya dapat dikategorikan baik (> 50 persen), namun ada pula yang jelek (< 50 persen).
2. Kinerja keuangan Kanwil BPN Provinsi pada umumnya dalam keadaan sehat, karena telah ada dokumen-dokumen kinerja keuangan dalam bentuk kuitansi, LKKUP (Laporan Keadaan Kas Uang Penerimaan), Surat Tugas, SPPD, BA, SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana), SPS (Surat Perintah Setor), SPM (Surat Perintah Bayar), SSBP (Surat Setoran PNBP), dan SSP (Surat Setoran Pajak).
c. Persyaratan teknis yang dapat dipenuhi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Persyaratan teknis yang dapat dipenuhi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten adalah : 1. Kinerja pelayanan di bidang tupoksi
Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran (DIPA) PNBP Kantor Pertanahan Kabupaten tidak seluruhnya dapat memenuhi kinerja pelayanan di bidang tupoksi, karena realisasi penerimaan dan pengeluaran (DIPA) PNBP tidak semuanya dapat dikategorikan baik (> 50 persen), namum ada pula yang dikategorikan jelek (< 50 persen).
2. Kinerja keuangan Kantor Pertanahan Kabupaten pada umumnya dalam keadaan sehat, karena telah ada dokumen-dokumen kinerja keuangan dalam bentuk kuitansi, LKKUP (Laporan Keadaan Kas Uang Penerimaan), Surat Tugas, SPPD, BA, SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana), SPS (Surat Perintah Setor), SPM (Surat Perintah Bayar), SSBP (Surat Setoran PNBP), dan SSP (Surat Setoran Pajak).
Persyaratan teknis tidak dapat dipenuhi oleh seluruh Kanwil BPN dan Kantor
Pertanahan, karena persyaratan teknis yang dapat dipenuhi oleh seluruh kantor
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
41
hanyalah persyaratan yang meliputi kinerja keuangan (dokumen-dokumen pertanggungjawaban keuangannya lengkap). Sedangkan persyaratan teknis yang berupa realisasi penerimaan PNBP dan pengeluaran (DIPA) PNBP tidak semua kantor dapat memenuhinya. Hal ini disebabkan karena tidak semua Kantor dapat merealisasikan target kegiatannya hingga mencapai di atas lima puluh persen. 3. Kelayakan Persyaratan Administratif
Persyaratan administratif dapat dipenuhi oleh Kanwil BPN Provinsi, Kantor Pertanahan Kota dan Kantor Pertanahan Kabupaten. Persyaratan administrasi yang dapat dipenuhi tersebut meliputi : a. Kesanggup untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi
masyarakat dengan surat pernyataan; a. Menetapkan pola tata kelola yang meliputi organisasi, tata laksana, akuntabilitas,
dan transparansi. b. Menetapkan Rencana Strategis Bisnis (RSB) yang meliputi Visi, Misi, Program
Strategis, dan Pengukuran Pencapaian Kinerja. Walaupun masih ada Kantor yang belum dapat menetapkannya.
c. Laporan keuangan pokok yang meliputi Laporan Keuangan Instansi, Laporan Realisasi Anggaran/laporan operasional keuangan, Laporan Posisi keuangan, Laporan arus kas (dalam hal berlaku), Catatan atas laporan keuangan, dan neraca/prognosa neraca.
d. SPOPP yang merupakan kegiatan pelayanan pertanahan kepada masyarakat. e. Laporan audit terakhir, karena telah diaudit setiap tahun oleh Inspektorat Utama BPN
dan BPKP. Bersedia untuk diaudit secara independen dan dinyatakan secara tertulis.
Sesuai dengan pasal 4 PP 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU yang menyatakan bahwa satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK BLU apabila telah memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif, maka hasil analisis menunjukkan bahwa belum semua kantor di lingkungan BPN layak untuk menerapkan PPK BLU. Kantor-kantor yang dapat menerapkan PPK BLU adalah kantor yang mempunyai volume pelayanan pertanahannya tinggi, realisasi penerimaan PNBPnya baik, bahkan melebihi target, realisasi pengeluaran (DIPA) PNBPnya baik, jumlah dan kualitas SDM Teknis dan SDM pengelola keuangan cukup memadai, dan sarana dan prasarana kerja memadai. Sehingga terdapat dua kriteria kantor yaitu kantor yang dapat melaksanakan PPK BLU dan kantor yang merupakan kandidat untuk dapat menerapkan PPK BLU.
Selain daripada itu, Mulya, 2004 : 3 menyatakan bahwa ada 2 tahapan untuk menjadi BLU, yakni tahapan kandidat BLU dan status BLU. Kandidat BLU harus telah memenuhi persyaratan minimum, mampu membuat statement of intent/commitment, neraca awal, laporan keuangan, renstra, business plan, memiliki standar pelayanan minimal dan AD/ART. Sedangkan pada tahap status BLU harus mampu mengimplementasikan AD/ART, output berdasarkan dana dari pemerintah dan yang dihasilkan sendiri, sistem informasi yang baik, standar akuntansi, sistem pengelolaan keuangan, sistem informasi manajemen finansial menurut standar nasional, sistem audit independent. Persyaratan ini harus sudah dipenuhi paling lambat 3 tahun sejak ditetapkan sebagai Kandidat BLU.
Penetapan suatu kantor menjadi BLU diharapkan dapat meningkatkan
akuntabilitas dan transparansi tersebut, karena ada kejelasan hak dan tanggung jawab kepada konsumen. Pelaporan dan pertanggung jawaban pengelolaan keuangan dapat dikatakan sangatlah penting. Pengelolaan keuangan tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara langsung dan dipisahkan. BLU pada dasarnya merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Cakupan kantor-kantor
Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi 42
di lingkungan BPN dalam pelayanan kepada masyarakat adalah menyediakan barang dan jasa di bidang pertanahan tanpa berorientasi keuntungan. IV. Kendala dan Pendukung Penerapan PPK BLU
Upaya untuk menerapkan PPK BLU di lingkungan BPN, dalam pelaksanaannya
akan mendapat kendala sebagai berikut : 1. SDM yang mempunyai kompetensi sebagai bendahara masih terbatas dan belum
mencukupi. 2. Honor pengelola keuangan sangat kecil dibandingkan dengan tanggung jawabnya 3. Sulit untuk mencari orang yang mau menjadi Bendahara penerima dan Bendahara
pengeluaran. 4. Jumlah Juru Ukur masih kurang. 5. Sarana dan prasarana Kantor (komputer, program, mesin hitung, plotter) masih
belum memadai. 6. Adanya pelayanan pertanahan yang belum tercantum dalam PP 46 Tahun 2002,
namun layak dikelola melalui PPK BLU. 7. Belum ada kebijakan kerjasana dalam pensertifikatan tanah dengan perbankan. 8. Adanya kebijakan membayar pajak dan BPHTB dalam pengurusan sertifikat tanah,
sehingga mengurangi minat masyarakat untuk mensertifikatkan tanahnya. 9. Adanya kebijakan yang mengatur hal-hal teknis dalam pelaksanaan keuangan,
sehingga Kasubsi tidak mengetahui pekerjaan yang telah diselesaikannya, karena hanya petugasnya yang tahu. Hal ini menghambat pertanggungjawaban dan pencairan berikutnya.
10. Adanya perbedaan persepsi antar instansi terhadap kebijakan keuangan yang ada. 11. Kebijakan yang berkaitan dengan keuangan yang berhubungan dengan PPK BLU
belum lengkap (belum adanya peraturan pelaksanaan dari PP 23 Tahun 2005), sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda.
12. Belum ada kebijakan yang mengatur pengembalian uang masyarakat yang telah disetor ke kas negara, apabila sertifikat tidak dapat diproses.
13. Target penerimaan PNBP harus memenuhi syarat (dapat terpenuhi dengan baik). 14. Pembukuan kinerja keuangan, pengarsipan dokumen dan pelaporan masih kurang
disiplin. Sedangkan pendukung dalam menerapkan PPK BLU tersebut adalah volume
pensertifikatan yang besar pada Kantor Pertanahan tertentu, sehingga target penerimaan dapat terpenuhi, bahkan dapat melebihi target. Kondisi ini akan menyebabkan uang pemasukan negara yang diperoleh cukup besar. V. Dampak Penerapan PPK BLU
Dampak terhadap pelayanan kepada masyarakat apabila PPK BLU dilaksanakan di lingkungan BPN adalah : 1. Pelaksanaan pelayanan akan menjadi lebih cepat, karena lebih mudah dan fleksibel,
sehingga jumlah masyarakat yang dapat dilayani dapat meningkat. 2. Pengelolaan keuangan dapat tepat waktu, karena tidak perlu setor ke kas negara. 3. Pelaksanaan pekerjaan akan lebih cepat, karena birokrasinya berkurang. 4. Pelaksanaan pekerjaan dan pertanggungjawaban keuangan akan lebih mudah
sehingga dapat dilaksanakan lebih cepat 5. Tanggung jawab satuan kerja menjadi besar dan tidak ada filter KPKN 6. Kemudahan keuangan akan memberi peluang untuk disalahgunakan, sehingga
pengawasan harus diperkuat.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
43
7. Prosedur dan programnya baru, sehingga perlu pembimbing dan pengarah apabila ada perbedaan persepsi antara Kantah dan KPKN,.
8. Perencanaan keuangan lebih luas dan sesuai dengan kebutuhan.
VI. Srategi Menuju Penerapan BLU
Badan Layanan Umum (BLU) merupakan paradigma baru pengelolaan keuangan
negara. Paradigma ini dimaksudkan untuk memangkas ketidakefisienan pemerintah dalam melayani masyarakat. Persepsi masyarakat selama ini adalah bahwa pemerintah dinilai sebagai organisasi yang birokratis yang tidak efisien, lambat dan tidak efektif. Padahal dalam manajemen modern unit pemerintahan harus profesional, akuntabel dan transparan. Seperti dikatakan Max Weber, bapak sosiologi modern bahwa pemerintah memiliki peranan yang sangat penting. Ditinjau dari mechanic view pemerintah sebagai regulator dan sebagai administrator, sedangkan dari organic view pemerintah berfungsi sebagai public service agency dan sebagai investor. Peranan sebagai regulator dan administrator erat sekali kaitannya dengan birokrasi sedangkan sebagai agen pelayan masyarakat dan sebagai investor harus dinamis dan dapat diitransformasikan menjadi unit yang otonom.
BLU merupakan salah satu bentuk untuk memperbaiki sistem pelayanan umum
yang belum memuaskan masyarakat sampai saat ini. Diterapkannya BLU diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu diharapkan BLU dapat memberikan peluang untuk menyelesaian permasalah pelayan pertanahan.
BLU adalah istilah baru yang muncul dari UU No 1 Tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara, yang lahir karena tekanan reformasi dan otonomi daerah, (Pudjianto, 2004:2). Misi refomasi keuangan ditujukan pada akuntabilitas dan transparansi keuangan yang professional. BLU pada dasarnya merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan instansi pemerintah yang melaksanakan pelayanan di bidang pertanahan kepada masyarakat. Sampai saat ini pelayanan yang dilaksanakan oleh kantor-kantor di lingkungan BPN belum sepenuhnya dapat memuaskan masyarakat. Untuk itu perlu upaya untuk meningkatkan pelayanan pertanahan kepada masyarakat dengan cara menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU.
PPK BLU di bidang pertanahan dapat diterapkan oleh Kanwil BPN dan Kantor
Pertanahan Kota dan Kantor Pertanahan Kabupaten apabila telah memenuhi persyaratan substantif, teknis dan administratif, sesuai dengan PP 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum. Hasil studi menunjukkan bahwa belum semua kantor di lingkungan BPN layak untuk menerapkan PPK BLU, karena belum seluruhnya dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. Oleh karena itu untuk menerapkan PPK BLU tidak dapat dilakukan secara serentak di seluruh kantor yang ada, namun harus dilakukan secara bertahap hanya terhadap kantor-kantor yang telah layak saja. Mengingat masih heterogennya kondisi kantor di lingkungan BPN dan belum semua Kantor dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan telah ditentukan untuk menerapkan BLU, maka untuk menetapkan kantor tersebut menjadi BLU harus dilaksanakan melalui tahap sebagai berikut : 1. Menetapkan kantor untuk melaksanakan PPK BLU
Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi 44
2. Merubah status kantor yang telah dapat melaksanakan PPK BLU dengan baik menjadi BLU secara penuh atau secara bertahap.
Status BLU secara penuh diberikan pada kantor di lingkungan BPN yang telah memenuhi persyaratan substantive, teknis, dan administratif dengan memuaskan. Status BLU bertahap diberikan apabila persyaratan teknis dan administrative telah dapat dipenuhi, namun persyaratan administratif belum terpenuhi secara memuaskan. Status BLU bertahap ini berlaku paling lama 3 (tiga tahun). Apabila Kantor yang melaksanakan PPK BLU telah mampu menjadi BLU dan kebijakannya telah ada, maka kantor tersebut dapat ditingkatkan menjadi BLU (Badan Layanan Umum). Kepala BPN mengusulkan Kantor di lingkungan BPN yang telah mampu untuk menerapkan PPK BLU kepada Menteri Keuangan (Pasal 5 ayat 1 PP 23 Tahun 2005). Studi kelayakan menunjukkan bahwa Kantor-kantor di lingkungan BPN yang dapat melaksanakan PPK BLU adalah kantor-kantor yang mempunyai kondisi sebagai berikut : 1. Volume pelayanan pertanahannya tinggi, 2. Realisasi penerimaan PNBPnya baik, bahkan melebihi target. 3. Realisasi pengeluaran (DIPA) PNBPnya baik. 4. Jumlah dan kualitas SDM Teknis dan SDM pengelola keuangan cukup memadai. 5. Sarana dan prasarana kerja memadai. VII. Penutup Kelayakan penerapan PPK BLU di lingkungan BPN dapat diketahui sebagi berikut : 1. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU) di bidang
pertanahan pada dasarnya dapat diterapkan oleh Kanwil BPN, dan Kantor Pertanahan setelah memenuhi persyaratan substantif, teknis dan administratif. Sebagian besar Kanwil BPN belum layak untuk menerapkan PPK BLU, sedangkan Kantor Pertanahan, sebagian besar layak untuk menerapkan PPK BLU.
2. Persyaratan substantif yang dapat dipenuhi adalah menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan penyediaan jasa dan barang. Jenis jasa layanan dan barang tersebut adalah sebagai berikut : a. Jenis jasa yang dilayankan oleh Kanwil BPN adalah Pengukuran dan Pemetaan
bidang tanah, Pemeriksaan Tanah oleh Panitia B, Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah, pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi, Informasi pertanahan, Konsolidasi Tanah Secara Swadaya, dan Redistribusi Tanah Secara Swadaya. Sedangkan barang yang dilayankan adalah Surat Ukur dan Peta.
b. Jenis jasa yang dilayankan oleh Kantor Pertanahan adalah pengukuran dan pemetaan bidang tanah, pendaftaran tanah untuk pertama kali, pemeliharaan data pendaftaran tanah, pemeriksaan tanah oleh Panitia A, pemeriksaan tanah oleh Tim Peneliti Tanah, pemeriksaan tanah dalam bentuk laporan konstatasi, dan Informasi pertanahan. Sedangkan barang yang dilayankan adalah Surat Ukur dan Peta.
Layanan umum yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah kawasan tertentu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum , dan pengelolaan khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau layanan kepada masyarakat, tidak dilayankan oleh kantor di lingkungan BPN. Persyaratan substantif yang berhubungan dengan jasa dan barang layanan sudah diatur dalam PP 46 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada BPN.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007
45
3. Persyaratan teknis tidak dapat dipenuhi oleh semua Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan. Persyaratan teknis yang dapat dipenuhi oleh seluruh kantor hanyalah persyaratan yang meliputi Kinerja keuangan, karena dokumen-dokumen pertanggungjawaban keuangannya lengkap. Sedangkan persyaratan teknis yang berupa realisasi penerimaan PNBP dan pengeluaran (DIPA) PNBP tidak semua kantor dapat memenuhinya, karena tidak semua Kantor dapat merealisasikan target kegiatannya hingga mencapai di atas lima puluh persen.
4. Persyaratan administratif dapat dipenuhi oleh Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan. Persyaratan tersebut adalah : a. Kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat
bagi masyarakat, b. Menetapkan pola tata kelola yang meliputi organisasi, tata laksana, akuntabilitas,
dan transparansi, c. Rencana strategis bisnis (RSB) yang meliputi Visi, Misi, Program Strategis, dan
Pengukuran pencapaian kinerja. Walaupun belum semua kantor telah menetapkan Visi, Misi, Program Strategis, dan Pengukuran pencapaian kinerjatersebut.
d. Laporan keuangan pokok, e. SPOPP, yang merupakan standar pelayanan pertanahan kepada masyarakat, f. Laporan audit terakhir, dan bersedia untuk diaudit secara independen dan
dinyatakan secara tertulis. 5. Kendala penerapan PPK BLU adalah :
a. Jumlah SDM teknis dan bendahara yang masih sangat kurang, b. Sarana dan prasarana kantor untuk melaksanakan PPK BLU masih kurang, c. Adanya pelayanan pertanahan yang layak dikelola melalui PPK BLU, namun
belum tercantum dalam PP 46 Tahun 2002, d. Belum adanya kebijakan pensertifikatan tanah yang dapat bekerjasama dengan
Bank, e. Kebijakan membayar pajak dan BPHTB dalam pengurusan sertifikat, mengurangi
keinginan masyarakat untuk mensertifikatkan tanahnya f. Target penerimaan PNBP harus dapat terpenuhi dengan baik, g. Perbedaan persepsi terhadap peraturan keuangan antar instansi, h. Kebijakan yang berkaitan dengan keuangan yang berhubungan dengan PPK
BLU belum lengkap. 6. Pendukung penerapan BLU adalah uang pemasukan negara pada beberapa Kantor
Pertanahan yang cukup besar . 7. Dampak penerapan PPK BLU adalah :
a. Pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, karena pelaksanaannya menjadi lebih mudah dan fleksibel, sehingga jumlah masyarakat yang dilayani dapat meningkat,
b. Pengelolaan keuangan dapat tepat waktu, karena tidak perlu setor ke kas negara.
c. Kemudahan pengelolaan keuangan dapat memberi peluang untuk disalahgunakan, sehingga pengawasan terhadap pengelolaannya perlu diperkuat.
Kelayakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) di Bidang Pertanahan, Ir. Eliana Sidipurwanty, Msi 46
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku dan Laporan Penelitian Badan Pertanahan Nasional, 2005. Rencana Strategis (Renstra) Badan Pertanahan
Nasional Tahun 2005 – 2009. BPN, Jakarta. Hadjon, Philipus M, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta, Gajah
Mada University Press. Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta, Penerbit
Andi. Pudjianto, 2004. Lokakarya Kupas Tuntas Rumah Sakit Pemerintah Sebagai Badan
Layanan Umum (BLU), Jakarta, Departemen Keuangan. Puslitbang BPN, 2006. Studi Kelayakan Penerapan Badan Layanan Umum di Bidang
Pertanahan (Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan BLU), Jakarta. Sugiyanto, 2001, Konsepsi dan Pedoman Penyusunan Pelayanan Prima, Jakarta,
Universitas Terbuka, Unit Pengembangan Sumber Daya Manusia Supriyanto, Joko dan Suparjo, 2006, Badan Layanan Umum : Sebuah Pola Pemikiran
Baru atas Unit Pelayanan Masyarakat, Jakarta, Departemen Keuangan. B. Peraturan dan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Pertanggung Jawaban Keuangan Negara Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum (BLU) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum (BLU), Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 606/PMK.06/2004 tentang Pedoman Pembayaran
Dalam Pelaksanaan APBN Tahun 2005. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 77/KMK.06/2003 tentang Persetujuan
Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan.
Jurnal Ilmiah Edisi VIII Nomor 2, Tahun 2007 47
PEDOMAN BAGI PENULIS
etiap tulisan yang akan dimuat dalam majalah ini mengalami proses penyesuaian dengan pedoman yang telah ditentukan. Untulk memperlancar penyiipan tulisan kepada para penyumbang tulisan agar memperhatikan pedoman yang diuraikan dibawah ini
Ruang lingkup:
Jurnal ini memuat kajian maupun basil studi yang dilakukan secara swakelola oleh Puslitbang BPN maupun secara kerjasama dengan Perguruan Tinggi dan Lembaga-Lembaga Peneliti, dan hasil penebtian/kajian pertanahan yang dilaksanakan oleh aparat BPN dalam rangka menunjang pengembangan teknologi bidang pertanahan di masa yang akan datang. Bahasa:
Jurnal ini memuat tulisan dalam bahasa Indonesia yang baik. Pemakaian istilah yang baru supaya mengikuti Pedoman Lembaga pembinaan Bahasa. Bentuk Naskah:
Naskah diketik di atas kertas kuarto putih pada satu permukaan saja, memakai satu spasi. Pinggir kiri kanan, tuisan disediakan ruang kosong minimal 3.00 cm dari pinggir kertas. Panjang naskah tidak melebihi 20 halaman termasuk tabel dan gambar. Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut :
a. Judul tulisan, nama pengarang e. Metode Penelitian dan alamatnya f. Analisa dan Pembahasan b. Abstrak g. Kesimpulan dan Saran c. Pendahuluan h. Daftar Pustaka d. Pokok Masalah Judul Karangan:
Judul karangan terdiri dari suatu ungkapan dngan tepat mencerminkan isi kranagan. Nama serta instansi kerja penulis dengan alamat jelas harus dicantumkan di bawah judul. Bila penulis lebih dari seorang maka perlu menuliskan namanya secara berturut sesuai dengan kode etik penulisan. Kalau dirasa perlu, judul karangan masih dapat dilengkapi subjudul untuk mempertegas maksud tulisan. Teks Karangan:
Stasi literatur di dalam teks menggunakan nama penggarang bukan nomor dan harus tercantum dalam daftar pustaka. Satuan ukuran di dalam teks dan grafik memakai sistem metric. Tabel:
Tabel diberi judul yang singkat tetapi jelas dengan catatan bawah secukupnya termasuk sumbernya sedemikian rupa sehingga setiap tabel mampu disajikansecara mandiri. Tabel diberi nomor urut dengan angka. Gambar dan Grafik:
Gambar dan grafik dibuat dengan garis cukup tebal sehingga memungkinkan penciutan dalam proses cetak. Keterangan grafik dan gambar, nama penulis/sumber serta nomor gambar jangan ditulis pada grafik dan gambar itu, melainkan pada selembar kertas sendiri dengan tulisan pensil lunak sebagai suatu legenda dua spasi- agar dapat disajikan secara mandiri.
48 Pedoman Bagi Penulis
Daftar Pustaka:
Semua pustaka yang disitir dalam teks hendaknya disusun menurut abjad sesuai nama penggarang dan urutan waktu terbitnya, lebih diutamakan pustaka dalam negeri. Lain-lain:
Redaksi berpihak menolak tulisan yang dianggap tidak memenuhi pedoman penulisan Jurnal Pertanahan. Tulisan yang tidak dimuat akan dikembalikan secepatnya. Surat Menyurat:
Naskah tulisan hendaknya dikirim rangkap dua, dialamatkan kepada: Redaksi Pelaksana jumal Ilmiah, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Pertanahan Nasional :
Jl. H. Agus Salim 58, Jakarta Pusat Telp./Fax: (021) 3909016