HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Perubahan spasial kawasan waterfront di Kota Ternate ditandai dengan adanya perubahan garis pantai. Pengembangan kawasan waterfront untuk mendapatkan lahan baru/dataran baru yang berada di kawasan pesisir, sehingga secara langsung mempengaruhi perubahan garis pantai yang ada. Perubahan garis pantai baik maju atau mundur dapat menimbulkan berbagai permasalahan, diantaranya pemanfaatan lahan, bertambah atau berkurangnya luas daratan, terancamnya aktivitas manusia dan lain sebagainya. Terlepas dari faktor manusia yang menyebabkan perubahan, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor alam (Efendi et al., 1981 diacu dalam Hermanto, 1986). Perubahan morfologi pantai (garis pantai) merupakan rangkaian proses pantai yang diakibatkan oleh faktor eksternal yang meliputi arus, gelombang, angin dan pasang surut, serta faktor internal yang meliputi karakteristik dan tipe sedimen serta lapisan dasar dimana sedimen tersebut berada (Diposaptono, 2004 diacu dalam Kalay, 2008). Dalam kasus perubahan garis pantai di kawasan waterfront kota Ternate dipengaruhi oleh faktor manusia yakni adanya aktivitas reklamasi pantai. Pengembangan kawasan waterfront direncanakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006-2015, sebagai pusat pelayanan perkotaan khususnya bidang transportasi, jasa dan perdagangan, sarana ibadah dan taman kota. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan daratan, dimana daratan kawasan reklamasi ini berupa kawasan daratan lama yang berhubungan langsung dengan daratan baru. Identifikasi perubahan garis pantai di kawasan waterfront bertujuan untuk mengetahui seberapa luas kawasan yang direklamasi. Hal ini tentunya berkaitan dengan penambahan luas daratan kota Ternate secara keseluruhan. Dengan adanya penambahan luas daratan di kawasan waterfront, maka spasial kawasan pesisir mengalami perubahan. Analisis citra bersumber dari citra GeoEye dari Google Earth akuisisi citra tanggal 18 Mei 2001 dan citra Quickbird tahun 2010 yang digunakan untuk membandingkan garis pantai antara kedua tahun tersebut. Data yang tersedia
85
Embed
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Spasial Kawasan Pesisir ... · yang menyebabkan perubahan, ... pada objek permukiman atau perumahan yang berbatasan langsung dengan tepi ... yang tidak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
85
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate
Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront
Perubahan spasial kawasan waterfront di Kota Ternate ditandai dengan
adanya perubahan garis pantai. Pengembangan kawasan waterfront untuk
mendapatkan lahan baru/dataran baru yang berada di kawasan pesisir, sehingga
secara langsung mempengaruhi perubahan garis pantai yang ada. Perubahan garis
pantai baik maju atau mundur dapat menimbulkan berbagai permasalahan,
diantaranya pemanfaatan lahan, bertambah atau berkurangnya luas daratan,
terancamnya aktivitas manusia dan lain sebagainya. Terlepas dari faktor manusia
yang menyebabkan perubahan, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor alam
(Efendi et al., 1981 diacu dalam Hermanto, 1986). Perubahan morfologi pantai
(garis pantai) merupakan rangkaian proses pantai yang diakibatkan oleh faktor
eksternal yang meliputi arus, gelombang, angin dan pasang surut, serta faktor
internal yang meliputi karakteristik dan tipe sedimen serta lapisan dasar dimana
sedimen tersebut berada (Diposaptono, 2004 diacu dalam Kalay, 2008).
Dalam kasus perubahan garis pantai di kawasan waterfront kota Ternate
dipengaruhi oleh faktor manusia yakni adanya aktivitas reklamasi pantai.
Pengembangan kawasan waterfront direncanakan berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006-2015, sebagai pusat pelayanan perkotaan
khususnya bidang transportasi, jasa dan perdagangan, sarana ibadah dan taman
kota. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan daratan, dimana
daratan kawasan reklamasi ini berupa kawasan daratan lama yang berhubungan
langsung dengan daratan baru.
Identifikasi perubahan garis pantai di kawasan waterfront bertujuan untuk
mengetahui seberapa luas kawasan yang direklamasi. Hal ini tentunya berkaitan
dengan penambahan luas daratan kota Ternate secara keseluruhan. Dengan adanya
penambahan luas daratan di kawasan waterfront, maka spasial kawasan pesisir
mengalami perubahan.
Analisis citra bersumber dari citra GeoEye dari Google Earth akuisisi citra
tanggal 18 Mei 2001 dan citra Quickbird tahun 2010 yang digunakan untuk
membandingkan garis pantai antara kedua tahun tersebut. Data yang tersedia
86
sangat menunjang untuk mengukur seberapa luas perubahan garis pantai yang
terjadi akibat adanya reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dimulai
pengembangannya pada tahun 2001, sehingga data yang dibutuhkan adalah data
tahun sebelum diadakan reklamasi. Namun data yang tersedia, khususnya untuk
citra resolusi tinggi seperti citra Ikonos, GeoEye, dan sebagainya di tahun tersebut
sulit untuk diperoleh, sehingga data citra yang digunakan adalah citra GeoEye
tahun 2001.
Kenampakan visual dari citra resolusi tinggi sangat membantu untuk
mendelineasi garis pantai yaitu batas antara daratan dan lautan. Berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.40/PRT/M/2007 tentang Reklamasi
Pantai, definisi garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan
pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Pada kasus kawasan waterfront Kota
Ternate, kenampakan visual yang membatasi antara daratan dan lautan terletak
pada objek permukiman atau perumahan yang berbatasan langsung dengan tepi
laut. Oleh karena itu, acuan objek tersebut dijadikan dasar sebagai batas antara
darat dan laut.
Gambar 18. Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Tahun 2001-2010
87
Gambar 18 menyajikan perubahan garis pantai yang dianalisis secara
visual. Analisis dilakukan dengan cara overlay citra yang telah didelineasi garis
pantai pada masing-masing tahun (tahun 2001 dan 2010). Hasil analisis citra
berdasarkan kenampakan visual menunjukkan luas kawasan waterfront yang
direklamasi adalah 23,93 ha (0,23 km2), dengan titik awal delineasi pada
koordinat 0°46”941 LU, 127°23”305 BT dan titik akhir pada koordinat 0°48”033
LU, 127°23”160 BT. Panjang garis pantai sebelum reklamasi (tahun 2001) adalah
3,28 km, sedangkan panjang garis pantai setelah reklamasi (tahun 2010) menjadi
3,66 km, atau majunya garis pantai berkisar 30-250 m. Perubahan garis pantai
atau majunya garis pantai ke arah laut yang terbesar terletak pada koordinat
0°47”456 LU, 127°23”415 BT yaitu mencapai hingga 250 m dari garis pantai
awal (tahun 2001).
Adanya perubahan garis pantai tersebut menyebabkan luas daratan kota
Ternate semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, luas daratan
hanya 110,07 km2, namun setelah adanya kawasan tersebut maka daratan Pulau
Ternate bertambah menjadi 110,30 km2. Secara administratif, terjadi penambahan
luas daratan kota Ternate dari awalnya 250,85 km² (tahun 2001) menjadi 251,08
km² (tahun 2010) (Gambar 19).
Gambar 19. Perubahan Spasial Kota Ternate Tahun 2001-2010
88
Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront
Secara administratif, reklamasi pantai berada pada 4 (empat)
kelurahan/desa, yaitu Kelurahan Soasio, Makassar Timur, Gamalama dan
Muhajirin. Adanya reklamasi di lokasi tersebut menyebabkan penggunaan lahan
semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, kawasan ini merupakan
wilayah pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk
(perumahan dan pertokoan). Sebagian kawasan ini umumnya permukiman yang
tidak tertata sehingga terkesan kumuh akibat pencemaran terhadap badan air di
sekitar kawasan pesisir. Hal ini disebabkan karena aktivitas masyarakat yang
membuang limbah/sampah ataupun MCK langsung ke badan air tersebut.
Setelah munculnya kebijakan dalam penataan kawasan pertumbuhan
ekonomi baru, maka kawasan tersebut dipilih karena dianggap strategis dan
memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta berperan untuk memperbaiki kualitas
lingkungan di sekitarnya. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan
luas daratan yang dimanfaatkan sebagai kawasan waterfront. Kegiatan reklamasi
ini memberikan dampak pada terjadinya perubahan spasial di kawasan pesisir
tersebut.
Analisis penggunaan lahan di kawasan waterfront dilakukan dengan cara
digitasi visual dari data citra Quickbird tahun 2010. Interpretasi citra secara visual
untuk klasifikasi penggunaan lahan yang didasarkan pada warna/rona, tekstur,
bentuk, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer, 1997) dan survey
langsung ke objek kawasan waterfront. Hal ini dilakukan karena kenampakan
objek pada citra resolusi tinggi (citra Quickbird) dapat dengan mudah untuk
mengenali atau membedakan antara objek satu dengan lainnya.
Penggunaan lahan di kawasan waterfront umumnya adalah kawasan jasa
dan perdagangan yaitu pasar tradisional, pertokoan, dan pusat perbelanjaan/Mall.
Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan
di lokasi tersebut yang masuk dalam fungsi Bagian Wilayah Kota II (BWK II)
yaitu sebagai pusat pelayanan jasa dan perdagangan. Kawasan waterfront
dimanfaatkan pula untuk kebutuhan rekreasi taman kota sekaligus sebagai ruang
terbuka hijau (RTH) yang langsung berhubungan dengan tempat wisata sejarah
kota Ternate yaitu Kadaton Kesultanan. Penyediaan RTH juga diwujudkan dalam
89
bentuk RTH jalur hijau yang berada hampir di sepanjang median jalan maupun di
sepanjang sisi trotoar. Unsur yang paling kuat dalam penyediaan kawasan
waterfront ini adalah fasilitas peribadatan (mesjid) yang dijadikan sebagai
landmark kota. Gambar 20 menunjukkan penggunaan lahan di kawasan
waterfront.
Gambar 20. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront
90
Penggunaan lahan di kawasan waterfront ditampilkan secara detil pada
Tabel 23. Secara detil penggunaan lahan yang terluas yaitu areal badan jalan
sebesar 3,90 ha (16%) atau panjang jalan 2,61 km. Penyediaan jaringan jalan
dimaksudkan sebagai jalur alternatif bagi kemudahan untuk akses ke pusat-pusat
sarana penting misalnya bandara, pelabuhan, pasar/pertokoan dan sebagainya.
Penggunaan lahan jasa dan perdagangan diantaranya Mall, pasar, pertokoan dan
ruko, masing-masing sebesar 2,56 ha (11%), 2,01 ha (8%), 1,42 ha (6%), dan 1,12
ha (5%), yang mendominasi penggunaan lahan kawasan waterfront. Hal ini
berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan,
dimana Kota Ternate sebagai pusat pelayanan niaga dan perdagangan skala
regional maupun lintas provinsi di Kawasan Indonesia Timur. Penggunaan lahan
untuk RTH disediakan sebagai kawasan hijau yang meliputi RTH taman kota
seluas 2,86 ha (12%) dan RTH jalur hijau seluas 1,40 ha (6%). Sementara untuk
penggunaan lahan sarana ibadah (mesjid) dengan luas 0,87 ha (4%), sebagai
landmark kota sekaligus islamic centre. Namun penggunaan lahan untuk
permukiman (perumahan) yang tidak terencana sebesar 2,02 ha (8%) mulai
menjamur khususnya di areal pinggiran kawasan waterfront.
Tabel 23. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront
Penggunaan Lahan Luas
(ha)
Persentase
(%)
Badan air 4,25 17
Jalan 3,90 16
RTH/Taman Kota 2,86 12
Mall/Dept.Store 2,56 11
Pasar Tradisional 2,01 8
Permukiman 2,02 8
Pertokoan 1,42 6
RTH/Jalur Hijau 1,40 6
Ruko 1,12 5
Sarana Ibadah 0,87 4
Terminal Angkutan Umum 0,90 4
Perkantoran 0,59 2
TPS 0,03 1
Jumlah 23,93 100
91
Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010
Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara overlay peta
penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010, dengan membedakan 2 kelas
penggunaan lahan yaitu lahan tidak terbangun (non built up) yang terdiri dari
hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan semak belukar, dan lahan
terbangun (built up) yang terdiri dari permukiman, kawasan jasa dan perdagangan
dan kawasan industri. Hasil analisis tersebut menunjukkan perubahan lahan
terbangun (built up) semakin bertambah di wilayah pesisir maupun dataran tinggi.
Penggunaan lahan terbangun dominan berkembang ke arah dataran tinggi. Hal ini
berkaitan dengan keterbatasan lahan di kawasan pesisir yang dapat dijadikan areal
untuk bermukim bagi masyarakat (lebih bersifat privat). Sementara untuk
penggunaan lahan terbangun yang berada di kawasan pesisir sebagian besar
dilakukan dengan reklamasi pantai untuk menambah luas daratan secara
horizontal, misalnya yang terletak di pusat kota (Central of Business District-
CBD). Kawasan pesisir tersebut lebih bersifat ruang publik (public space) untuk
melayani kebutuhan masyarakat kota. Perubahan penggunaan lahan pada tahun
2004-2010 disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. Perubahan Penggunaan Lahan Kota Ternate Tahun 2004-2010
92
Terhadap data atribut pada peta penggunaan lahan tahun 2004-2010
(Gambar 21) tersebut dilakukan analisis lanjutan untuk mengidentifikasi
perubahan luas lahan. Tabel 24 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 6 tahun
terjadi pengurangan luas penggunaan lahan tidak terbangun sebesar 411 ha (4%).
Sementara itu penggunaan lahan terbangun mengalami peningkatan seluas 521 ha
(55%). Jumlah luas lahan antara kedua tahun tersebut berbeda, yaitu tahun 2004
seluas 10.110 ha dan tahun 2010 seluas 10.220 ha. Ini menunjukkan bahwa pada
tahun 2010 luas daratan kota Ternate mengalami penambahan seluas 110 ha, yang
sebagian besar adalah lahan-lahan yang direklamasi untuk pengembangan
kawasan waterfront.
Tabel 24. Perubahan Penggunaan lahan Tahun 2004-2010
Penggunaan Lahan
Tahun Perubahan
2004
(ha)
2010
(ha)
Luas
(ha)
Persentase Perubahan luas/luas lahan awal
(%)
Lahan Tidak Terbangun
Lahan Terbangun
9.166
944
8.755
1.465
-411
521
-4
55
Jumlah Luas 10.110 10.220 110
Matriks transisi perubahan penggunaan lahan yang disajikan pada Tabel
25, menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan tidak
terbangun menjadi lahan terbangun seluas 445 ha. Hal ini menunjukkan bahwa
kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun kegiatan usaha (jasa dan
perdagangan) terus bertambah. Namun menarik juga disimak untuk lahan
terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun yaitu seluas 34 ha.
Lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun tersebut
dipengaruhi oleh adanya pengembangan kawasan bandara di kecamatan Ternate
Utara, sehingga permukiman yang berada di sekitar kawasan bandara direlokasi.
Tabel 25. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010
Penggunaan Lahan
Tahun 2004 (ha)
Penggunaan Lahan Tahun 2010 (ha) Jumlah Luas
(ha) Lahan Tidak Terbangun
(non built up)
Lahan Terbangun
(built up)
Lahan Tidak Terbangun
(non built up) 8.721 445 9.166
Lahan Terbangun
(built up) 34 910 944
Jumlah Luas (ha) 8.755 1.355
93
Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate
Perkembangan kawasan waterfront kota Ternate diikuti pula oleh
berkembangnya kelurahan/desa yang berada di kawasan waterfront atau
sekitarnya. Hal ini dapat dilihat pada indikator berkembangnya infrastruktur yang
ada di kawasan waterfront dan sekitarnya. Analisis skalogram digunakan untuk
menentukan wilayah-wilayah mana (dalam unit kelurahan/desa) yang ikut
berkembang seiring dengan perkembangan kawasan waterfront. Hasil analisis
berupa klasifikasi hierarki wilayah berdasarkan ketersediaan infrastruktur yang
ada di unit wilayah tersebut.
Urutan hierarki yang diperoleh berdasarkan akumulatif masing-masing
kelurahan, yang kemudian dikelompokan atas kelas selang hierarki. Untuk studi
kasus ini, selang hierarki dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu hierarki 1
(pusat pelayanan), hierarki 2, dan hierarki 3 (wilayah belakang atau hinterland).
Penentuan pengelompokan didasarkan pada nilai standar deviasi Indeks
Perkembangan (IP) dan nilai rata-rata dari IP.
Data Potensi Desa (PODES) yang digunakan meliputi data dalam beberapa
kurun waktu yakni tahun 2005, tahun 2006, tahun 2008 dan tahun 2011. Keempat
titik tahun tersebut dimaksudkan untuk melihat tingkat perkembangan selama
masa periode setelah pengembangan kawasan waterfront. Seperti yang diketahui
bahwa pengembangan kawasan waterfront dimulai pada tahun 2001, sehingga
untuk menganalisis kawasan atau kelurahan/desa mana yang ikut berkembang
seiring dengan perkembangan waterfront, maka dibutuhkan minimal 2 (dua) titik
tahun (setelah tahun 2001) sebagai pembanding. Variabel yang digunakan untuk
menganalisis hierarki wilayah sebanyak 35 variabel yang terdiri dari kategori
variabel aksesibilitas serta variabel jumlah sarana dan prasarana pendidikan,
kesehatan, peribadatan dan niaga perdagangan.
Hasil analisis data PODES tahun 2011, menunjukkan nilai standar deviasi
(Stdev) IP 9,80 dan nilai rataan 24,86. Angka tersebut menggambarkan adanya
peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya misalnya tahun 2008 dengan
nilai Stdev IP 8,29 dan nilai rataan 26,05 dan tahun 2006 nilai Stdev IP 9,86 dan
nilai rataan 24,55 serta untuk tahun 2005 nilai Stdev IP 9,25 dan nilai rataan 25,04
(lihat Gambar 22).
94
Gambar 22. Nilai Rataan dan Nilai Standar Deviasi Indeks Perkembangan
Nilai Indeks Perkembangan (IP) yang tinggi menunjukkan hierarki
tertinggi (pusat pelayanan) di setiap unit wilayah. Ini ditandai dengan ketersediaan
infrastruktur yang banyak dalam ketogori jumlah jenis dan akses pencapaian ke
prasarana tersebut lebih mudah. Sementara untuk nilai IP yang rendah
menunjukkan wilayah tersebut merupakan wilayah belakang (hinterland), faktor
ketersediaan infrastruktur dalam jumlah sedikit jenisnya serta aksesibilitas sulit.
Secara keseluruhan tingkat perkembangan dari keempat titik tahun (2005, 2006,
2008 dan 2011) memperlihatkan adanya peningkatan hingga tahun 2011. Hal ini
berarti hingga pada tahun 2011, jumlah infrastruktur yang ada semakin meningkat
dan akses ke prasarana lebih mudah jika ditinjau dari jarak maupun waktu
tempuh.
Analisis skalogram untuk data PODES tahun 2011, memperlihatkan
terdapat 7 kelurahan yang masuk dalam hierarki 1 (pusat pelayanan), 15 kelurahan
tergolong dalam hierarki 2 dan 26 kelurahan yang tergolong dalam hierarki 3
(hinterland). Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 2,
dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,66 (IP rataan
ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang termasuk dalam hierarki 1
ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,
9,25 9,86 8,29 9,80
25,04 24,55 26,05 24,86
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
45,00
2005 2006 2008 2011
Stdev IP Average IP
58,49
10,17
59,73
10,15
48,34
12,75 11,95
60,17
95
terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana transportasi, serta jarak tempuh
yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Ada 7 kelurahan
yang termasuk dalam kelas ini yakni 6 kelurahan pesisir (Kelurahan
Gamalama, Makassar Timur, Soa-sio, Muhajirin, Kotabaru, dan Dufa-Dufa),
dan 1 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma).
2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP
24,86 - 34,66) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang
lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 15 kelurahan yang berada di hierarki
ini dengan 8 kelurahan pesisir dan 7 kelurahan bukan pesisir.
3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <24,86 yang ditunjukkan oleh tingkat
sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan
hierarki 2. Terdapat 26 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana ada 18
kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.
Tabel 26. Hierarki Wilayah Tahun 2011 Hierarki
Wilayah
Jenis
Kelurahan
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Indeks
Perkembangan (IP) Jumlah Jenis
Hierarki 1 Pesisir
Bukan pesisir
6
1 > 34,66 140
Hierarki 2 Pesisir Bukan pesisir
8 7
24,86 - 34,66 275
Hierarki 3 Pesisir
Bukan pesisir
18
8 < 24,86 398
Hasil analisis skalogram untuk data PODES tahun 2005, menunjukkan
banyaknya kelurahan yang berada pada hierarki 1 sebanyak 6 kelurahan, 12
kelurahan berada di hierarki 2, dan 30 kelurahan berada dalam hierarki 3 dari
jumlah 49 kelurahan yang ada di Kota Ternate. Hasil analisis lengkap disajikan
pada Tabel 27 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,29 (IP rataan
ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang tergolong dalam hierarki 1
ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,
terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana niaga dan perdagangan, serta
jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Pada
hierarki 1 terdapat 6 kelurahan yang terdiri dari 3 kelurahan pesisir
96
(Kelurahan Gamalama, Muhajirin dan Dufa-Dufa), dan 3 kelurahan bukan
pesisir (Kelurahan Takoma, Stadion, dan Maliaro).
2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP
25,04-34,29) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang
lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 12 kelurahan yang berada di herarki ini
dengan 7 kelurahan pesisir dan 5 kelurahan bukan pesisir.
3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <25,04 yang ditujukan oleh tingkat sarana
dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2.
Ada 30 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana terdapat 22 kelurahan
pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.
Tabel 27. Hierarki Wilayah Tahun 2005 Hierarki
Wilayah
Jenis
Kelurahan
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Indeks
Perkembangan (IP) Jumlah Jenis
Hierarki 1 Pesisir
Bukan pesisir
3
3 > 34,29 123
Hierarki 2 Pesisir
Bukan pesisir
7
5 25,04 - 34,29 213
Hierarki 3 Pesisir
Bukan pesisir
22
8 < 25,04 428
Analisis hierarki wilayah dari tahun 2005 hingga tahun 2011 menunjukkan
bahwa terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan
aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat
pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan (2005) menjadi 6 kelurahan (2011),
sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir terdapat 3 kelurahan berkurang
menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2
meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga
ikut meningkat dari 5 kelurahan meningkat menjadi 7 kelurahan. Kelurahan
pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 22 kelurahan menjadi
18 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir tetap 8 kelurahan. Hierarki
wilayah tahun 2005-2011 disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 23.
97
Tabel 28. Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011
Hierarki
Wilayah
Tahun 2005 Tahun 2011
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Bukan pesisir
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Pesisir
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Bukan pesisir
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Pesisir
Hierarki 1 3 3 1 6
Hierarki 2 5 7 7 8
Hierarki 3 8 22 8 18
Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah
penduduk dengan kuantitas dan kualitas relatif paling lengkap serta aksesibilitas
yang tinggi akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hierarki lebih tinggi
dibandingkan dengan unit wilayah lainnya. Sebaliknya, jika suatu wilayah
mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas
dan kualitas paling rendah serta aksesibilitas yang rendah merupakan wilayah
hinterland dari wilayah yang lainnya.
Gambar 23. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2005-2011
98
Cakupan Pelayanan Infrastruktur
Konsep pengembangan wilayah tidak terlepas dari ketersediaan
infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota yang semakin heterogen.
Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan
perekonomian wilayah, penunjang aspek sosial budaya serta dapat
mempertahankan daya dukung lingkungan. Pemerintah Daerah/Kota
berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk
kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk sebagai
tujuan pembangunan wilayah berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004.
Infrastruktur yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah/Kota
diantaranya adalah infrastruktur dasar (basic infrastructure) dan infrastruktur
pelengkap (complementary infrastructure) yang mempunyai karakteristik publik
dan kepentingan yang mendasar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.
Infrastruktur tersebut meliputi infrastruktur fisik (greey infrastructure),
infrastruktur sosial ekonomi (social economic infrastructure) dan infrastruktur
hijau (green infrastructure).
Dengan adanya pengembangan kawasan waterfront yang berorientasi
sebagai pemenuhan ruang publik kota, menyebabkan ketersediaan infrastruktur di
Kota Ternate secara langsung semakin meningkat. Hierarki wilayah yang telah
dianalisis sebelumnya menunjukkan adanya perkembangan ketersediaan
infrastruktur dan aksesibilitas di tiap-tiap kelurahan/desa yang berujung pada
peningkatan jumlah kelurahan/desa yang masuk kategori sebagai pusat pelayanan.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka dianalisis cakupan pelayanan
infrastruktur kondisi eksisting guna mengidentifikasi ketersediaannya dengan
membandingkan standar pelayanan (kebutuhan) yang harus disediakan.
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik
Infrastruktur Jaringan Jalan
Kondisi Eksisting Jaringan Jalan
Jaringan jalan eksisting disajikan pada Gambar 24, menunjukkan bahwa
jalan terkonsentrasi pada Kecamatan Ternate Tengah, sebagian Kecamatan
Ternate Utara dan sebagian Kecamatan Ternate Selatan. Hal ini berarti bahwa
99
pusat kota dengan permukiman terpadat berada di lokasi tersebut. Jalan kolektor
primer ditunjukkan oleh warna hitam yang terlihat mengelilingi pulau membentuk
jalan trans Ternate. Warna merah, biru dan hijau masing-masing menunjukkan
jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Jaringan
jalan kota Ternate berfungsi sebagai pendukung akses pencapaian yang
berpengaruh pada jarak dan waktu tempuh di dalam wilayah.
Gambar 24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010
Ketersediaan sarana dan prasarana jaringan jalan mengacu dari kondisi
fisik jalan yang berkaitan dengan pergerakan, perpindahan dalam wilayah dan
antar wilayah, distribusi komoditi antar wilayah dan akses pencapaian antar
permukiman dan dari permukiman ke sarana dan prasarana wilayah. Data jaringan
jalan yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate pada tahun 1997
hingga tahun 2010 secara makro terus mengalami peningkatan, meskipun pada
tahun 2005 kondisi jalan kategori baik mengalami penurunan dibandingkan
dengan tahun 2001. Kondisi jalan dengan kategori baik meningkat dari panjang
jalan 116,20 km (1997) menjadi 159,31 km (2010). Sementara untuk jalan dengan
kategori rusak di tahun 2010 meningkat dari 6,05 km (1997) menjadi 123,75 km
100
(2010). Selain itu kondisi jalan dalam kategori rusak berat semakin berkurang dari
panjang jalan 10,03 km (1997) menjadi 6,67 km (2010), meskipun pada tahun
2008 kondisi jalan yang rusak berat cukup tinggi yaitu berkisar 84,99 km.
Penyebab utama dari kerusakan jalan ialah adanya genangan akibat buruknya
saluran drainase yang terdapat di beberapa titik jalan kolektor primer, seperti jalan
kolektor Mangga Dua, jalan Nukila, jalan Pahlawan Revolusi dan jalan raya
Bastiong. Gambar 25 menyajikan perkembangan jaringan jalan di kota Ternate.
Gambar 25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan
Komparasi Ketersediaan Jalan dengan Pedoman No.010/T/BNKT/1990
Hierarki jalan yang berada di wilayah Kota Ternate terdiri dari jaringan
jalan kolektor primer (jalan nasional), dan jalan kota yang meliputi jalan kolektor
sekunder, jalan lokal primer serta jalan lokal sekunder (jalan lingkungan).
Jaringan jalan yang memiliki akses utama (kolektor primer) merupakan jaringan
jalan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada
kawasan kota. Jalan kolektor primer menghubungkan batas kota dengan luar kota
yang membentuk jalan trans Ternate yang mengelilingi pulau, dengan panjang
jalan 44,25 km. Kapasitas dan daya tampung kendaraan dengan berbagai jenis
moda angkutan terhadap jalan ini menunjukkan intensitas relatif tinggi, terutama
arus lalu lintas pada kawasan pusat kota. Kondisi dan tingkat pelayanan jalan ini
berupa jalan aspal dengan lebar jalur 6-8 meter.
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
1997 1998 2001 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Baik 116,20 143,11 131,78 57,19 88,30 83,36 85,03 141,05 159,32
Sedang 17,46 11,90 62,56 145,98 112,68 101,78 108,14 75,79 0,00
Sampah di kota Ternate dikelola oleh Dinas Kebersihan Kota Ternate
semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola pengolahan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan
sistem open dumping yang dinilai ekonomis dalam hal biaya serta mekanisme
pelaksanaannya yang mudah, namun berdampak terhadap lingkungan sekitar
TPA.
Pengelolaan persampahan di Kota Ternate telah menjangkau 28 Kelurahan
dari 59 kelurahan yang berada di Kota Ternate yang terbagi dalam 10 (sepuluh)
blok pelayanan. Kapasitas pelayanan sampah pada tahun 2005-2008 cenderung
meningkat dari 82% (134.499 jiwa) menjadi 83% (153.925 jiwa). Produksi
sampah yang dihasilkan tidak secara keseluruhan diangkut ke TPA. Produksi
sampah pada tahun 2008 adalah 146.880 m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA
61% dan sampah yang tidak terangkut berkisar 39%. Sampah yang tidak terangkut
135
ke TPA, umumnya dikelola masyarakat dengan cara pembakaran sampah dan
membuang sampah ke sungai atau tepi pantai. Hal ini mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan di sekitarnya.
Dengan demikian, pengelolaan sampah di Kota Ternate memerlukan
perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh, karena hal ini berkaitan erat
dengan keindahan kota dan kesehatan masyarakat. Semakin besar ukuran suatu
kota, maka masalah persampahan semakin sulit ditangani karena jumlah
bangkitan sampah semakin besar seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi
Prasarana Pendidikan
Kondisi Eksisting Prasarana Pendidikan
Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen
sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional. Secara berjenjang pendidikan dasar terdiri dari pendidikan
anak usia dini meliputi taman kanak-kanak, raudhatul athfal, kelompok bermain
dengan masa pendidikan 2-3 tahun, pendidikan dasar 6 tahun meliputi sekolah
dasar, madrasah ibtidaiyah, kelompok belajar paket A, dan pendidikan dasar 3
tahun meliputi sekolah menengah pertama, madrasah tsanawiyah dan kelompok
belajar paket B.
Sebaran prasarana pendidikan dasar di kota Ternate tahun 2010 adalah
jumlah TK 42 unit, jumlah SD 96 unit, jumlah SMP sebesar 19 unit, jumlah
SMU/SMK sebesar 19 unit. Sebaran prasarana pendidikan dasar pada setiap
jenjang dikaitkan dengan jumlah peserta didik (siswa) dan jumlah tenaga pendidik
(guru). Jumlah prasarana pendidikan dasar di Kota Ternate disajikan dalam Tabel
45 dan Tabel 46.
Tabel 45. Jumlah Prasarana Pendidikan
Kecamatan Jumlah Praarana Pendidikan
TK SD SLTP SMU/SMK
Pulau Ternate 7 13 4 1
Ternate Selatan 12 33 8 7 Ternate Tengah 12 27 5 6
Ternate Utara 11 23 2 5
Kota Ternate 42 96 19 19
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
136
Tabel 46. Jumlah Peserta dan Tenaga Pendidik
Kecamatan TK SD SLTP SMU/SMK
Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru
Pulau Ternate 249 37 1.637 189 440 64 118 33
Ternate Selatan 395 56 5.912 391 2.088 208 1.630 197 Ternate Tengah 396 62 6.283 372 2.473 187 3.213 255
Ternate Utara 381 57 3.819 274 1.502 96 2.353 280
Kota Ternate 1.421 212 17.651 1.226 6.503 555 7.314 765
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
Komparasi Ketersediaan Prasarana Pendidikan Berdasarkan Standar SNI 19-
2454-2002
Perencanaan fasilitas pendidikan yang didasarkan pada tujuan pendidikan,
harus menyediakan ruang belajar untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan, serta sikap siswa (peserta didik) secara optimal. Penyedian fasilitas
pendidikan di suatu wilayah harus mempertimbangkan usia anak sekolah yang
membutuhkan pendidikan, pendekatan ruang setiap unit dalam lingkungan, dan
memperhatikan jangkauan radius pelayanan.
Kebutuhan prasarana pendidikan berdasarkan SNI-03-1733-2004,
dianalisis dari jumlah penduduk (usia anak sekolah) secara berjenjang dari unit
terendah (PAUD/TK) hingga unit tertinggi (SMU/SMK). Kebutuhan taman
kanak-kanak (TK) per 1.250 jiwa dengan radius 500 meter, dimana 1 gedung
sekolah minimal terdapat 2 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 25-30 siswa dan
berada di dalam lingkungan perumahan. Sekolah Dasar (SD) per 1.600 jiwa
dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 6 ruang
belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa serta berada di dalam lingkungan
perumahan bergabung dengan taman dan ruang terbuka hijau. Sekolah Menengah
Pertama (SLTP) per 4.800 jiwa dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah
minimal terdapat 6 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa dan dapat
bergabung dengan Sekolah Dasar serta akses pencapaian dapat juga ditempuh
dengan kendaraan dan berlokasi di jalan lokal atau jalan lingkungan perumahan.
Dengan mengetahui jumlah anak usia sekolah, maka secara langsung akan
diketahui kebutuhan prasarana pendidikan dalam suatu wilayah. Hingga tahun
2010, jumlah usia sekolah di Kota Ternate pada masing-masing jenjang
pendidikan disajikan pada Tabel 47.
137
Tabel 47. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Sekolah Pendidikan Dasar
Kecamatan Umur 0-4
Tahun (jiwa)
Umur 5-9
Tahun (jiwa)
Umur 10-14
Tahun (jiwa)
Umur 15-19
Tahun (jiwa)
Pulau Ternate
Ternate Selatan
Ternate Tengah
Ternate Utara
2.243
4.807
5.952
4.020
1.798
6.038
6.311
3.974
1.938
3.277
3.954
2.819
2.595
3.121
4.412
3.892
Kota Ternate 17.022 18.121 11.988 14.020
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Taman Kanak Kanak (TK)
Usia sekolah untuk pendidikan usia dini (TK) diasumsikan rata-rata 2-4
tahun sebanyak 10.000 jiwa (Tabel 47), maka kebutuhan ruang belajar ialah 333
kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @ 25-30 siswa) atau 167 sekolah
(1 gedung sekolah minimal 2 ruang belajar).
Jika dibandingkan dengan kondisi eksisting TK yang ada di Kota Ternate
(tahun 2010) yang hanya berkisar 42 unit sekolah atau ketersediaan hanya
berkisar 25% (lihat Tabel 48), maka ketersediaan gedung sekolah TK belum
mencukupi dari segi jumlah penduduk usia sekolah yang terlayani. Dari
perhitungan tersebut maka terlihat bahwa masih kekurangan fasilitas sekolah
sebanyak 125 unit (75%). Jumlah penduduk yang tercatat sebagai siswa TK hanya
berkisar 1.421 siswa, sementara dengan melihat jumlah anak usia sekolah
pendidikan usia dini sebanyak 10.000 jiwa menunjukkan bahwa masih ada sekitar
8.000 jiwa (75%) yang belum mendapatkan akses pendidikan TK.
Tabel 48. Jumlah Prasarana Pendidikan TK di Kota Ternate
Kecamatan Jumlah
Penduduk
(Usia 0-4)
Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan
Ket Anak Usia Sekolah*
Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %
Pulau Ternate 2.243 1.300 22 249 7 32 15 68 Tidak cukup
Ternate Selatan 4.807 2.800 47 395 12 26 35 74 Tidak cukup
Ternate Tengah 5.952 3.500 58 396 12 21 46 79 Tidak cukup
Ternate Utara 4.020 2.400 40 381 11 28 29 73 Tidak cukup
Kota Ternate 17.022 10.000 167 1.421 42 25
125 75
Tidak Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 0-4 tahun
Akses pencapaian sekolah TK pada masing-masing kecamatan rata-rata
berada pada radius <500 m dan berada pada lingkungan perumahan. Sebaran
138
fasilitas pendidikan TK, umumnya merata pada 3 (tiga) kecamatan, yaitu
kecamatan Ternate Utara, kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate
Selatan. Sementara untuk kecamatan Pulau Ternate hanya terdapat 8 sekolah TK
yang hanya tersebar pada beberapa kelurahan, sehingga ada sekitar 6 kelurahan
yang tidak mendapatkan akses fasilitas gedung sekolah. Namun demikian, jumlah
sekolah tentunya berkaitan dengan jumlah usia anak sekolah, dimana jumlahnya
di kecamatan Pulau Ternate lebih sedikit dibandingkan dengan kecamatan
lainnya, sehingga sebaran fasilitas gedung sekolah lebih sedikit atau terbatas
(Gambar 41).
Gambar 41. Sebaran Fasilitas Pendidikan TK
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Dasar (SD)
Pendidikan sekolah dasar (SD) dengan usia sekolah 6-12 tahun
diasumsikan jumlah penduduk sebanyak 17.800 jiwa (dianalisis dari Tabel 47),
maka kebutuhan ruang belajar adalah 445 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1
ruang kelas @40 siswa) atau 74 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang
belajar).
139
Ketersediaan SD di kota Ternate pada tahun 2010 sebanyak 96 sekolah,
maka ketersediaan sekolah SD telah melebihi dari standar jumlah penduduk yang
terlayani. Meskipun demikian, belum secara keseluruhan jumlah usia anak
sekolah SD mendapat akses pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah siswa
SD yang terdaftar sebanyak 17.651 siswa, sedangkan jumlah usia sekolah SD
sebanyak 17.800 jiwa, sehingga diasumsikan bahwa masih terdapat sekitar 150
jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan SD. Selanjutnya dapat disajikan
pada Tabel 49.
Tabel 49. Jumlah Prasarana Pendidikan SD di Kota Ternate
Kecamatan Jumlah
Penduduk (Usia 5-14)
Kebutuhan Ketersediaan
Keterangan Anak Usia Sekolah*
Sekolah Siswa Sekolah
Pulau Ternate 3.736 2.200 9 1.637 13 Cukup Ternate Selatan 9.315 5.500 23 5.912 33 Cukup Ternate Tengah 10.265 6.100 25 6.283 27 Cukup Ternate Utara 6.793 4.000 17 3.819 23 Cukup
Kota Ternate 30.109 17.800 74 17.651 96 Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 6-12 tahun
Akses pencapaian sekolah SD pada masing-masing kecamatan terbilang
mudah, karena memiliki sebaran merata pada tiap kelurahan. Rata-rata akses
pencapaian ke fasilitas SD berada pada radius <1.000 m dan berada pada
lingkungan perumahan maupun jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder.
Umumnya fasilitas gedung sekolah yang berada di jalan lokal primer dan jalan
kolektor sekunder terkonsentrasi di pusat kota, yaitu pada kecamatan Ternate
Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara. Sebaran
fasilitas pendidikan SD yang terlihat pada Gambar 42 menunjukkan sebaran
merata pada 4 (empat) kecamatan dan kecamatan Ternate Selatan memiliki
ketersediaan sekolah SD yang lebih banyak yaitu 33 sekolah. Jumlah siswa yang
hanya 5.912 siswa di kecamatan Ternate Selatan lebih kecil dibandingkan
kecamatan Ternate Tengah, sehingga secara keseluruhan kecamatan Ternate
Tengah lebih cenderung mempunyai daya tampung terpadat dibandingkan dengan
kecamatan lainnya (lihat Tabel 49).
140
Gambar 42. Sebaran Fasilitas Pendidikan SD
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama
Kebutuhan prasarana pendidikan sekolah lanjutan pertama (SLTP) dengan
usia sekolah 13-15 tahun, diasumsikan jika jumlah penduduk usia sekolah
sebanyak 7.400 jiwa, maka kebutuhan ruang belajar adalah 185 kelas (standar SNI
03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa) atau 30 sekolah (1 gedung sekolah
minimal 6 ruang belajar).
Jika sarana pendidikan SLTP yang ada di kota Ternate pada tahun 2010
sebanyak 19 unit sekolah (cakupan pelayanan 12%) dengan jumlah siswa
sebanyak 6.503 siswa (Tabel 50), maka ketersediaan sekolah masih kurang dari
standar untuk dapat melayani jumlah usia sekolah tingkat pertama. Berdasarkan
perhitungan tersebut, maka diasumsikan bahwa masih dibutuhkan sarana sekolah
sekitar 11 unit (37%) untuk dapat menampung sekitar 900 jiwa (jumlah penduduk
usia sekolah) yang tersisa.
141
Tabel 50. Jumlah Prasarana Pendidikan SLTP di Kota Ternate
Kecamatan Jumlah
Penduduk (Usia 10-19)
Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan
Ket Anak Usia Sekolah*
Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %
Pulau Ternate 4.533 1.200 6 440 4 67 2 33 Tidak cukup
Ternate Selatan 6.398 1.900 7 2.088 8 100 - - Cukup
Ternate Tengah 8.366 2.400 10 2.473 5 50 5 50 Tidak cukup
Ternate Utara 6.711 1.900 7 1.502 2 29 5 71 Tidak
cukup
Kota Ternate 26.008 7.400 30 6.503 19 63 11 37
Tidak Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 13-15 tahun
Gambar 43. Sebaran Fasilitas Pendidikan SLTP
Akses pencapaian sekolah SLTP pada masing-masing kecamatan yang
terlihat pada Gambar 43 memiliki sebaran merata hampir pada tiap kecamatan.
Rata-rata akses pencapaian ke fasilitas sekolah berada pada radius <1 km untuk
kecamatan Ternate Tengah dan sebagian kecamatan Ternate Selatan, sedangkan
untuk kecamatan Ternate Utara, kecamatan Pulau Ternate dan sebagian
kecamatan Ternate Selatan berada pada radius >1 km atau jarak terjauh dengan
radius 2 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer maupun
142
terletak pada jalan kolektor sekunder, sehingga akses menuju sekolah lebih mudah
meskipun waktu tempuh perjalanan berbeda-beda. Rata-rata waktu tempuh ke
fasilitas sekolah yang berada di kecamatan Ternate Tengah dan sebagian
kecamatan Ternate Selatan hanya sekitar 10-15 menit. Sementara untuk wilayah
kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate membutuhkan waktu
tempuh lebih dari 25 menit untuk sampai ke lokasi.
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Sekolah Menengah Umum/Kejuruan
Usia sekolah untuk pendidikan sekolah menengah baik umum maupun
kejuruan (SMU/SMK), diasumsikan rata-rata 16-18 tahun dengan perhitungan
jumlah penduduk usia sekolah sebanyak 8.200 jiwa, maka kebutuhan ruang
belajar adalah 200 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa)
atau dibutuhkan sekitar 30 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar).
Jika sarana pendidikan SMU/SMK yang ada di kota Ternate pada tahun
2010 diketahui sebanyak 19 unit sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 7.314
siswa (Tabel 51), maka berdasarkan standar ketersediaan sekolah masih kurang
untuk dapat melayani jumlah usia sekolah menengah. Bila dibandingkan dengan
jumlah penduduk untuk usia sekolah, maka diasumsikan bahwa masih terdapat
sekitar 1.000 jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan dan masih
kekurangan fasilitas sekolah adalah 15 unit (44%).
Tabel 51. Jumlah Prasarana Pendidikan SMU/SMK di Kota Ternate
Kecamatan Jumlah
Penduduk (Usia 15-19)
Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan
Ket Anak Usia Sekolah*
Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %
Pulau Ternate 2.595 1.500 6 118 1 17 5 83 Tidak cukup
Ternate Selatan 3.121 1.800 7 1.630 7 100 - - Cukup
Ternate Tengah 4.412 2.600 10 3.213 6 60 4 40 Tidak cukup
Ternate Utara 3.892 2.300 9 2.353 5 56 4 44 Tidak cukup
Kota Ternate 14.020 8.200 34 7.314 19 56 15 44 Tidak Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 16-18 tahun
143
Gambar 44. Sebaran Fasilitas Pendidikan SMU/SMK
Akses pencapaian ke fasilitas sekolah SMU/SMK pada masing-masing
kecamatan (lihat Gambar 44) memiliki sebaran cenderung bergerombol pada
wilayah pusat kota (berada atau dekat kecamatan Ternate Tengah). Radius
pencapaian dari permukiman ke fasilitas sekolah untuk kecamatan Ternate Tengah
dan kecamatan Ternate Selatan <1 km, sedangkan untuk kecamatan Ternate
Utara dan kecamatan Pulau Ternate berada pada radius >1 km atau radius terjauh
hingga 3 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer dan
jalan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses pencapaiannya.
Waktu tempuh tiap kecamatan berbeda, misalnya untuk kecamatan Pulau Ternate
membutuhkan waktu tempuh >30 menit untuk menuju sekolah, dibanding 3 (tiga)
kecamatan lainnya yang cenderung membutuhkan waktu <15 menit. Perbedaan
jarak antara permukiman dan fasilitas pelayanan menyebabkan adanya perbedaan
dalam waktu tempuh.
144
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Pendidikan
Analisis jumlah penduduk berdasarkan tingkat usia sekolah pada tiap
jenjang pendidikan memperlihatkan bahwa kebutuhan akan sarana dan prasarana
pendidikan dasar belum mencukupi. Fasilitas pendidikan yang belum mencukupi
diantaranya sekolah TK, SLTP dan SMU/SMK, sedangkan fasilitas sekolah SD
telah mencukupi standar pelayanan. Jika jumlah penduduk usia sekolah
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mendapatkan akses pendidikan,
maka diketahui masing-masing jenjang pendidikan masih membutuhkan fasilitas
sekolah TK 75%, SLTP 36% dan SMU/SMK 44%. Jumlah usia sekolah untuk
jenjang pendidikan usia dini (TK) lebih tinggi untuk kategori yang belum
mendapatkan akses pendidikan. Hal ini disebabkan karena umumnya usia sekolah
TK di Kota Ternate rata-rata setelah 4 tahun, sehingga jumlah anak yang
bersekolah di TK hanya separuh dari jumlah yang ada. Sementara ketentuan
pendidikan anak usia dini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan ialah usia sekolah untuk jenjang tersebut antara 2-5 tahun.
Sebaran fasilitas pendidikan berhubungan dengan jumlah penduduk usia
sekolah di suatu wilayah. Jumlah penduduk usia sekolah yang lebih banyak
misalnya pada Kecamatan Ternate Tengah (pusat kota), maka ketersediaan
fasilitas akan semakin tinggi. Pola sebaran terlihat merata pada tiap kelurahan
untuk sarana pendidikan SD, sedangkan untuk sarana pendidikan TK, SLTP, dan
SMU/SMK lebih cenderung (lebih banyak) terkonsentrasi di pusat kota. Akses
pencapaian pada jenjang pendidikan TK dan SD telah memenuhi standar dengan
radius pencapaian masing-masing >500 m dan >1 km. Jenjang pendidikan SLTP
dan SMU/SMK di kecamatan Pulau Ternate memiliki jarak tempuh dalam radius
terjauh masing-masing 2 km dan 3 km, dan untuk wilayah sekitar pusat kota yang
meliputi 3 (tiga) kecamatan memiliki radius ke fasilitas pendidikan < 1 km.
Pendidikan merupakan hal yang mendasar untuk dapat meningkatkan
kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi. Jumlah
fasilitas atau sarana penunjang yang lengkap berkorelasi positif terhadap kualitas
pendidikan. Kualitas pendidikan yang baik dapat memainkan peran kunci dalam
membentuk sumberdaya manusia untuk menciptakan, menyerap teknologi
modern, dan untuk mengembangkan kapasitas serta menyebarluaskan
145
pengetahuan. Secara makro mutu pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan
daya saing bangsa.
Prasarana Kesehatan
Kondisi Eksisting Prasarana Kesehatan
Sarana dan prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam
mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk
mengendalikan pertumbuhan penduduk. Dasar penyediaan prasarana ini adalah
didasarkan jumlah penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut.
Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI 03-1733-
2004 adalah sebagai berikut :
a. Posyandu
b. Balai Pengobatan Warga
c. Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA/Klinik Bersalin)
d. Puskesmas dan Balai Pengobatan
e. Puskesmas
f. Tempat Praktek Dokter
g. Apotek
Kondisi eksisiting ketersediaan prasarana kesehatan di Kota Ternate pada
tahun 2011 meliputi, 6 rumah sakit, 3 rumah sakit bersalin, 1 poliklinik/balai
dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi dalam melayani suatu
wilayah. Berdasarkan SNI 03-1733-2004, kebutuhan Posyandu dengan ratio
147
pelayanan per 2.500 jiwa berada pada radius pelayanan 1 km2, balai kesejahteraan
ibu dan anak (BKIA/klinik bersalin) per 30.000 jiwa radius pelayanan 4 km2,
puskesmas pembantu dan balai pengobatan per 30.000 jiwa radius pelayanan 1,5
km2, puskesmas dan balai pengobatan per 120.000 jiwa dengan radius pelayanan
3 km2, tempat praktek dokter per 5.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km
2,
dan Apotek per 30.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km2.
Tabel 53. Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate
Prasarana Kesehatan
Kecamatan
Pulau Ternate (15.024 jiwa)*
Ternate Selatan (65.888 jiwa)*
Ternate Tengah (54.677 jiwa)*
Ternate Utara (47.724 jiwa)*
Rumah Sakit
Kebutuhan1 - 1 1 1 Ketersediaan - 1 4 1
Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup
Rumah Sakit Bersalin
Kebutuhan2 - 2 1 1 Ketersediaan - 1 1 1 Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup
Puskesmas
Kebutuhan3 1 1 1 1 Ketersediaan 1 2 2 1
Keterangan cukup cukup cukup cukup
Posyandu
Kebutuhan4 3 13 10 9 Ketersediaan 3 13 10 11
Keterangan cukup cukup cukup cukup
Praktek Dokter
Kebutuhan5 3 13 11 10
Ketersediaan - 11 32 4
Keterangan tidak cukup tidak cukup cukup tidak cukup
Apotek
Kebutuhan6 - 2 1 1
Ketersediaan - 7 15 4 Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup
* Jumlah Penduduk tahun 2011 1 Standar 150.000 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 120.000 jiwa; 4 Standar 5.000 jiwa; 5 Standar 5.000 jiwa; 6 Standar 30.000 jiwa;
Evaluasi ketersediaan fasilitas kesehatan masyarakat didasarkan pada
jumlah layanan dari jenjang terendah yakni posyandu, puskesmas atau balai
pengobatan hingga jenjang tertinggi yakni rumah sakit. Ketersediaan fasilitas
yang terlihat pada Tabel 53 menunjukkan bahwa untuk fasilitas posyandu, rumah
sakit, praktek dokter dan apotek sebarannya tidak merata. Fasilitas tersebut
cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota.
Jumlah posyandu terbanyak berada di Kecamatan Ternate Utara dengan
jumlah penduduk hanya berkisar 47.724 jiwa, sehingga masyarakat terlayani
untuk setiap Posyandu adalah sekitar 4.000 jiwa. Untuk fasilitas Puskemas di
Kecamatan Ternate Utara memiliki 1 Puskesmas yang melayani 47.724 jiwa.
Sama halnya pada kecamatan Pulau Ternate yang memiliki 1 Puskesmas untuk
dapat melayani 15.024 jiwa, namun jumlah tersebut masih memenuhi standar SNI
148
03-1733-2004 untuk 30.000 jiwa/Puskesmas. Kapasitas pelayanan Puskesmas
juga masih tercukupi untuk kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate
Selatan.
Fasilitas praktek dokter dan apotek terpusat di beberapa lokasi, sehingga
sebarannya tidak merata. Kecamatan Ternate Tengah memiliki fasilitas tersebut
paling banyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Untuk itu pelayanan
kesehatan di kecamatan ini tergolong lebih tinggi. Selain itu faktor kemudaan
dalam akses pencapaian menjadi faktor utama dalam penyediaan tempat praktek
dokter dan apotek, dimana hampir keseluruhan berada pada jalan-jalan utama
(jalan kolektor).
Akses pencapaian dari permukiman ke fasilitas kesehatan didukung oleh
adanya jaringan jalan untuk menuju ke lokasi sarana kesehatan. Wilayah
pelayanan posyandu rata-rata berjarak <0,5 km dengan waktu tempuh <25 menit,
puskesmas rata-rata 1-3 km dengan waktu tempuh >30 menit, RSB/BKIA dan RS
jarak rata-rata 2-3 km dengan waktu tempuh >40 menit, dan praktek dokter
maupun apotek berjarak rata-rata 0,5-1 km dengan waktu tempuh <30 menit.
Umumnya lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat
kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga untuk akses
ke fasilitas kesehatan sangat mudah. Kondisi jaringan jalan yang baik menjadi
titik tolak terpenting untuk melayani pertolongan pertama/tindakan darurat. Akses
pencapaian ke sarana kesehatan berkaiatan dengan jaringan jalan dari jenjang
jalan lingkungan hingga jalan kolektor. Jarak pencapaian ke fasilitas kesehatan
oleh masyarakat disajikan dalam Tabel 54.
Tabel 54. Jarak Pencapaian ke Fasilitas Kesehatan
Kecamatan
Radius Pencapaian
Posyandu
(km)
Puskesmas
(km)
RSB/
BKIA
(km)
RS
(km)
Praktek
Dokter
(km)
Apotek
(km)
Pulau Ternate
Ternate Selatan
Ternate Tengah
Ternate Utara
0,5-1
0,2-0,5
0,2-0,5
0,2-0,5
5-6
2-3
1-2
2-3
6-7
2-3
1-2
4-5
6-7
2-3
1-1,5
3-4
6-7
1,5-2
0,5-1
1,5-2
6-7
1-1,5
0,5-1
1,5-2
149
Radius pencapaian dari permukiman di kecamatan Pulau Ternate ke
berbagai fasilitas kesehatan sangat jauh yakni berkisar 6-7 km. Hal ini disebabkan
karena minimnya fasilitas yang ada di kecamatan ini, sehingga untuk menjangkau
fasilitas kesehatan yang terdekat harus menempuh radius jarak hingga 7 km
dengan waktu tempuh > 1 jam.
Untuk akses ke fasilitas kesehatan di kecamatan Ternate Tengah,
kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara tergolong sangat mudah.
Khususnya di kecamatan Ternate Tengah, radius pencapaian terdekat untuk
menuju fasilitas kesehatan misalnya puskesmas, rumah sakit, atau praktek dokter
berjarak rata-rata < 1 km. Sebaran sarana dan prasarana kesehatan masyarakat di 3
(tiga) kecamatan tersebut rata-rata berjarak 1-2,5 km. Pencapaian dari
permukiman ke sarana dan prasarana kesehatan masyarakat terlayani mulai dari
lingkungan hingga ke jenjang kecamatan. Jarak pencapaian terpenuhi atau sesuai
standar karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai.
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Kesehatan
Ketersediaan fasilitas kesehatan di Kota Ternate menunjukkan sebaran
tidak merata untuk fasilitas posyandu, rumah sakit, praktek dokter dan apotek, dan
cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota. Lokasi
pelayanaan pada tiap kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan
kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses ke
fasilitas kesehatan. Puskesmas Pembantu dan Posyandu sebarannya merata pada
tiap-tiap kecamatan. Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan
minimum kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Ini
berarti ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan telah memenuhi standar
pelayanan minimum.
Prasarana Niaga dan Perdagangan
Kondisi Eksisting Prasarana Niaga dan Perdagangan
Dasar penyediaan fasilitas niaga dan perdagangan selain berdasarkan
jumlah penduduk yang akan dilayaninya, juga mempertimbangkan pendekatan
desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Lokasi
penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan
150
terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk melayani
pada area tertentu.
Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lingkungan perumahan
dapat dirunut dari jenjang terendah dengan radius pelayanan kecil hingga jenjang
tertinggi dengan radius pelayanan skala kota. Urutan sarana dan prasarana niaga
dan perdagangan dari jenjang terendah hingga jenjang tertinggi adalah sebagai
berikut:
1. Toko/warung.
2. Pertokoan, Rumah Toko.
3. Pasar di Lingkungan tingkat Kelurahan dan Kecamatan.
4. Mini Market/Swalayan kecil.
5. Supermarket/Pasar Swalayan.
6. Pusat Perbelanjaan/Plaza/Mall.
Ketersediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di Kota Ternate
pada tahun 2010 meliputi, 3 unit Pasar Tradisional, 21 unit Minimarket, 11 unit
Pusat Pertokoan (Ruko), 2 unit Pusat Perbelanjaan (Mall) yang tersebar hanya
pada 3 (tiga) kecamatan, sedangkan 3.152 unit toko/warung tersebar di semua
kecamatan (lihat Tabel 55).
Tabel 55. Prasarana Niaga dan Perdagangan
Kecamatan Toko/
Warung
Pasar
Tradisional Minimarket
Pusat
Pertokoan
(Ruko)
Pusat
Perbelanjaan/
Mall
Pulau Ternate
Ternate Selatan
Ternate Tengah
Ternate Utara
204
815
1.379
754
-
1
1
1
-
13
6
2
-
2
6
3
-
-
2
-
Jumlah 3.152 3 21 11 2
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, khususnya untuk fasilitas
toko/warung memiliki sebaran merata di seluruh kecamatan yang ada di Kota
Ternate. Fasilitas ini yang melayani kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat yang
bermukim di kecamatan Pulau Ternate. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya
fasilitas niaga dan perdagangan lainnya misalnya pasar tradisional maupun
minimarket di wilayah tersebut. Berdasarkan standar kebutuhan, maka jumlah
penduduk manjadi acuan sebagai faktor penyediaan sarana niaga dan
151
perdagangan. Jumlah penduduk kecamatan Pulau Ternate yang hanya berkisar
14.692 jiwa, belum mencukupi standar pelayanan untuk fasilitas pasar atau
minimarket. Namun demikian akses ke prasarana tersebut cukup mudah karena
ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai, yakni adanya jalan
kolektor primer (jalan trans Ternate) sehingga memudahkan akses pencapaian ke
pusat kota.
Sebaran prasarana niaga dan perdagangan skala besar misalnya pusat
perbelanjaan/Mall, atau pusat pertokoan (ruko) yang ada di Kota Ternate, hampir
semuanya terkonsentrasi di pusat kota atau dekat pusat kota. Sementara untuk
pasar tradisional seperti yang terlihat dalam Gambar 46, menunjukkan pola
sebaran merata di masing-masing kecamatan, meskipun wilayah kecamatan Pulau
Ternate tidak terlayani pasar tradisional. Secara makro, kecamatan Ternate
Tengah memiliki fasilitas niaga dan perdagangan yang lengkap, atau dengan kata
lain bahwa aglomerasi fasilitas niaga dan perdagangan berada di kecamatan ini.
Hal ini berkaitan pula dengan peruntukan Bagian Wilayah Kota I (BWK I)
berdasarkan RTRW Kota Ternate, dimana kecamatan Ternate Tengah difokuskan
sebagai pusat perdagangan skala kota/lokal.
Gambar 46. Sebaran Fasilitas Niaga dan Perdagangan di Kota Ternate
152
Studi Komparasi Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan Berdasarkan
Standar SNI 03-1733-2004
Kebutuhan fasilitas niaga dan perdagangan berdasarkan SNI-03-1733-
2004 dianalisis berdasarkan ratio jumlah penduduk terlayani dan radius
pelayanannya. Kebutuhan toko/warung ratio per 250 jiwa dengan radius 300 m,
dan pertokoan/ruko ratio 6.000 jiwa dengan radius 2 km berlokasi di pusat
kegiatan sub lingkungan. Kebutuhan pasar berdasarkan ratio penduduk 30.000
jiwa berlokasi di pusat lingkungan jenjang kelurahan atau kecamatan dengan
radius pelayanan 5-10 km. Minimarket/swalayan kecil ratio 30.000 jiwa dengan
radius pelayanan 500 m dari pasar dan dapat dijangkau dengan berkendaraan.
Kebutuhan pusat perbelanjaan/mall ratio per 120.000 jiwa berlokasi di jalan
utama dan pusat kegiatan serta memiliki fasilitas parkir mandiri.
Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan seperti toko/warung,
minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate berdasarkan standar pelayanan
minimum penduduk telah terpenuhi (Tabel 56). Sementara untuk pasar masih
diperlukan 1 unit untuk mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan.
Pasar tradisonal dan minimarket berada di lokasi sama (berdampingan) yakni pada
kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan, sedangkan kecamatan
Ternate Utara pasar tradisional tidak dilengkapi dengan minimarket. Jumlah
sebaran fasilitas toko/warung dan minimarket melebihi jumlah layanan dengan
jarak pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada
wilayah pelayanannya terpusat di satu lokasi (kecamatan Ternate Tengah).
Tabel 56. Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan