Top Banner
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK METANOL DAUN ZAITUN (Olea europaea L.) SEBAGAI ANTI- INFLAMASI TERHADAP JUMLAH EOSINOFIL PADA JARINGAN PARU MENCIT YANG DIINDUKSI OVALBUMIN Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN OLEH : Haseena Hersiwinukir NIM: 11151030000028 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M
91

Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

Apr 20, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK METANOL DAUN ZAITUN (Olea europaea L.) SEBAGAI ANTI-

INFLAMASI TERHADAP JUMLAH EOSINOFIL PADA JARINGAN PARU MENCIT YANG DIINDUKSI

OVALBUMIN

Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH : Haseena Hersiwinukir NIM: 11151030000028

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1440 H/2018 M

Page 2: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf
Page 3: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf
Page 4: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf
Page 5: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

v

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, berkah, dan hidayahNya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul EFEK PEMBERIAN

EKSTRAK METANOL DAUN ZAITUN (Olea europaea L.) SEBAGAI

ANTI-INFLAMASI TERHADAP JUMLAH EOSINOFIL PADA

JARINGAN PARU MENCIT YANG DIINDUKSI OVALBUMIN dengan

baik. Sholawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW

karena telah menuntun umatnya menuju jalan yang terang benderang. Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Program Studi Kedokteran, Fakultas

Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Secara umum, skripsi ini berisi tentang latar belakang, tujuan penelitian,

tinjauan pustaka, prosedur penelitian, dan hasil serta pembahasan dari efek

pemberian ekstrak methanol daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai antiiflamasi

terhadap jumlah eosinofil pada jaringan paru mencit yang diinduksi ovalbumin.

Dalam proses penyusunan skripsi, penulis melibatkan berbagai pihak

yang memberikan semangat, bimbingan, dukungan, bantuan, dan doa, sehingga

penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin

menyampaikan terima kasih kepada pihak yang telah terlibat, di antaranya :

1. Kedua orang tua, yang tetap bisa membuat penulis merasa terharu,

tersentuh, dan dicintai. Terima kasih kepada ibu yang selalu

memberi nasihat, doa, tempat curhat, pengalihan dari kesibukan

perkuliahan, selalu bisa memahami dan memaklumi penulis dalam

penyelesaian proses skripsi ini. Terima kasih kepada ayah yang

selalu bisa melindungi, menasihati, bertukar cerita dengan penulis,

dan mendorong penulis untuk menempuh pendidikan dan

penyelesaian skripsi ini.

Page 6: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

vi

2. Adik penulis, terima kasih karena memberikan penulis tawa,

sindiran, dorongan untuk terus bisa semangat, doa-doa, dan

menemani penulis di setiap waktu.

3. dr. Nurul Hiedayati, PhD sebagai pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan, dukungan, bantuan, doa, ide, ilmu, serta

motivasi yang membuat penulis semangat dan termotivasi dalam

menjalankan dan menyelesaikan seluruh proses penelitian ini dengan

baik.

4. Ibu Nurlaely Mida R., S.Si., M.Biomed., DMS. sebagai pembimbing

II yang telah membimbing, memberikan arahan, nasihat, pelajaran,

serta masukan sehingga penulis dapat menjalankan skripsi mulai

awal menangani mencit sampai penulisan penelitian ini selesai.

5. Dr. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P.(K), MARS, FIRS. sebagai penguji I

dan dr. Alyya Siddiqa, Sp.FK. sebagai penguji II penelitian ini untuk

waktu, ilmu, saran, dan masukannya dalam memperbaiki laporan

penelitian ini.

6. dr. Hari Hendarto, Sp.PD-KEMD., PhD., FINASIM. selaku Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

7. dr. Achmad Zaki, M.Epid., Sp.OT. selaku Kepala Program Studi

Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD. selaku penanggung jawab riset

Program Studi Kedokteran angkatan 2015, Chris Adhiyanto,

M.Biomed. selaku penanggung jawab umum laboratorium, dr. Nurul

Hiedayati, PhD. selaku penanggung jawab Laboratorium

Farmaklogi, Ibu Nurlaely Mida R., S.Si., M.Biomed., DMS. selaku

penanggung jawab Laboratorium Biokimia, dr. Devy Ariany,

M.Biomed. dan Ibu Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed. selaku

penanggung jawab Laboratorium Histopatologi, Ibu Dr. Zeti

Harriyati, M.Biomed. selaku penanggung jawab Laboratorium

Page 7: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

vii

Biologi yang telah memberikan izin menggunakan fasilitas

laboratorium pada proses penelitian ini.

9. Transfarmers, yaitu Alfa Karomah, Maudy Rahmi, Shoffira Fathiya.

3 perempuan kuat yang selalu bisa dihubungi di waktu dan saat

apapun, yang selalu memberikan semangat, dorongan, pengertian,

dan motivasi penuh kepada penulis.

10. Amigdala 2015, yang dari awal bersama, menjalani hari-hari di

perkuliahan, memberikan semangat, kehangatan, kesejawatan, dan

kekeluargaan yang akan terus berlanjut di masa depan.

11. 2 anggota tim skripsi, M. Fahmi Aprijal dan Arrafie Fikri A., yang

bersama dengan penulis dan anggota tim skripsi lain, bekerja sama

dalam mengerjakan skripsi dari awal hingga akhir serta selalu saling

mengingatkan. Terima kasih juga kepada adik-adik tim skripsi 2016

yang telah membantu penulis mengerjakan proses skripsi ini.

12. Almarhum kakek dan almarhumah nenek penulis, yang merupakan

alasan bagi penulis untuk tetap kuat menempuh setiap proses untuk

bisa sampai pada tahap ini.

13. Teman sebangku kelas 10 pada saat penulis ada di bangku sekolah

menengah atas. Terima kasih sudah mendukung dan selalu

mengingatkan penulis untuk terus tetap berproses dengan baik.

14. Teman-teman penulis saat di bangku sekolah menengah pertama

yang senantiasa mengingatkan penulis untuk segera menyusul

menjadi sarjana dan menyelesaikan penelitian ini.

15. Staf dosen Program Studi Kedokteran yang telah memberikan ilmu

pengetahuan, berbagi pengalaman, dan pelajaran hidup sehingga

penulis bisa mengambil hikmah dan belajar menjadi dokter yang

baik.

16. Staf laboratorium, Mba Ayi, Mba Sur, Mba Dien, dan staf pegawai

kampus yang membantu menyelesaikan proses pengerjaan skripsi

penulis.

Page 8: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

viii

17. Seluruh pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung

dalam pengerjaan skripsi ini yang namanya tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam pengerjaan dan penulisan skripsi ini

masih terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik, saran, dan masukan yang membangun.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademisi, terutama

mahasiswa kedokteran, masyarakat umum, dan ilmu pengetahuan.

Ciputat, 15 Oktober 2018

Haseena Hersiwinukir

NIM. 11151030000028

Page 9: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

ix

ABSTRAK

Haseena Hersiwinukir. Program Studi Kedokteran. Efek Pemberian Ekstrak Metanol Daun Zaitun (Olea europaea L.) Sebagai Anti-inflamasi Terhadap Jumlah Eosinofil Pada Jaringan Paru Mencit Yang Diinduksi Ovalbumin. Zaitun (Olea europaea L.) merupakan tumbuhan yang sudah mulai banyak diteliti efeknya terhadap asma. Namun, masih belum diketahui pasti efek ekstrak metanol daun zaitun (EMDZ) spesifik apa yang terjadi pada asma, oleh karena itu dilakukan penelitian efek pemberian ekstrak metanol daun zaitun terhadap jumlah eosinofil pada paru mencit. Penelitian ini menggunakan mencit jantan galur DDY yang dibagi dalam 8 kelompok perlakuan (n = 6); (K1) Phosphate Buffered Saline (PBS), (K2) PBS + Carboxymethylcellulose Sodium (NaCMC), (K3) Ovalbumin (OVA), (P1) OVA + EMDZ 100 mg/kgBB, (P2) OVA + EMDZ 200 mg/kgBB, (B) OVA + Budesonid, (E1) EMDZ 100 mg/kgBB, (E2) EMDZ 200 mg/kgBB. K3, P1, P2, dan B, disensitisasi asma secara intraperitoneal (ip) dengan 50 µg OVA dan adjuvan Al(OH)3 10% pada hari ke-0 dan ke-14, pada hari ke-15 sampai ke-21 disonde EMDZ, pada hari ke-19 sampai ke-20 diinhalasi OVA 2%, dan pada hari ke-21 diinhalasi OVA 5%. Mencit dipuasakan untuk nekropsi dan pengambilan jaringan paru pada hari berikutnya. Jaringan paru yang diambil kemudian dibuat preparat dengan pewarnaan HE dan diamati dengan mikroskop Olympus BX41. Jumlah rerata eosinofil pada K1, K2, K3, P1, P2, B, E1, E2 adalah 34, 29, 67, 23, 20, 35, 30, 32 secara berturut-turut. Jumlah rerata eosinofil pada P1 dan P2 lebih sedikit dan berbeda secara signifikan dibandingkan K3 sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian EMDZ memberikan efek anti-inflamasi pada kelompok yang diinduksi ovalbumin. Kata Kunci: Olea europaea L., zaitun, daun zaitun, eosinofil paru, anti-inflamasi

Page 10: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

x

ABSTRACT

Haseena Hersiwinukir. Department of Medicine. Effects of Methanolic Extracts of Olive Leaves (Olea europaea L.) as Anti-inflammation to Eosinophil Count in Lung Tissues on Ovalbumin-Induced Asthma in the DDY-strain Mice. Olive (Olea europaea L.) is one of the plants which the effects towards asthma has been studied in many researches. The exact effects of methanolic extracts of olive leaves (MEOL) in asthma response are still unknown. The aim of this study is to investigate the effects of MEOL to eosinophil cells count in lung tissue. The male DDY-strain mice were divided into 8 different groups (n = 6); (K1) Phosphate Buffered Saline (PBS), (K2) PBS + Carboxymethylcellulose Sodium (NaCMC), (K3) Ovalbumin (OVA), (P1) OVA + 100 mg/kgBW MEOL, (P2) OVA + 200 mg/kgBW MEOL, (B) OVA + Budesonide, (E1) 100 mg/kgBW MEOL, and (E2) 200 mg/kgBW MEOL. K3, P1, P2, and B, were sensitized with 50 µg OVA and adjuvant Al(OH)3 10% on 0d and 14d, MEOL were orally administered on 15d to 21d, OVA 2% exposure was nebulized on 19d to 20d and OVA 5% exposure was nebulized on 21d. On the next day, all the mice were dissected. Each lung tissues were stained with HE and examined microscopically with Olympus BX41 microscope for eeosinophil cells count. The averages of eosinophils for K1, K2, K3, P1, P2, B, E1, and E2 are 34, 29, 67, 23, 20, 35, 30, and 32, respectively. The eosinophil cells count for P1 and P2 were significantly lower than K3. In conclusion, orally administered MEOL has significant difference of eosinophil cells count from the group of OVA (K3) hence orally administered MEOL have the property of anti-inflammation on the ovalbumin-induced group. Keyword: Olea europaea L., olive, olive leaf, lung eosinophil, antiinflamation

Page 11: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

xi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................................ ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iv KATA PENGANTAR ............................................................................................. v ABSTRAK ............................................................................................................. ix DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv DAFTAR GRAFIK ................................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xvii BAB I ....................................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 2 1.3. Hipotesis .................................................................................................. 2 1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 2

1.4.1. Tujuan Umum .................................................................................. 2 1.4.2. Tujuan Khusus ................................................................................. 3

1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................... 3 1.5.1. Peneliti ............................................................................................. 3 1.5.2. Pendidikan ........................................................................................ 3 1.5.3. Institusi ............................................................................................. 4 1.5.4. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan ........................................... 4

BAB II ...................................................................................................................... 5 2.1. Zaitun (Olea europaea L.) ....................................................................... 5

2.1.1. Karakteristik ..................................................................................... 5 2.1.2. Zaitun dalam Al-Qur’an ................................................................... 6 2.1.3. Kandungan Kimiawi dan Manfaat Daun Zaitun .............................. 7 2.1.4. Zaitun sebagai Anti-inflamasi .......................................................... 8 2.1.5. Farmakokinetik Ekstrak Daun Zaitun .............................................. 9

2.2. Asma ...................................................................................................... 10 2.2.1. Pengertian, Penyebab, dan Faktor Predisposisi ............................. 10 2.2.2. Patofisiologi dan Patogenesis Asma .............................................. 11 2.2.3. Gambaran Histologis Asma pada Mencit ...................................... 13

2.3. Ovalbumin .............................................................................................. 14 2.3.1. Ovalbumin (OVA) sebagai Alergen Asma .................................... 14 2.3.2. Induksi OVA pada mencit ............................................................. 14

2.4. Mencit DDY ........................................................................................... 14 2.5. Ekstraksi Daun Zaitun ............................................................................ 16

2.5.1. Ekstraksi ......................................................................................... 16 2.5.2. Penggunaan Pelarut Metanol untuk Membuat Ekstrak Daun Zaitun 16

2.6. Eosinofil ................................................................................................. 17 2.6.1. Karakteristik Eosinofil ................................................................... 17

Page 12: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

xii

2.6.2. Eosinofil dalam Asma .................................................................... 19 2.7. Budesonid .............................................................................................. 20 2.8. NaCMC .................................................................................................. 22 2.9. Aluminium Hidroksida sebagai Adjuvan ............................................... 22 2.10. Paru .................................................................................................... 23

2.10.1. Anatomi Paru ................................................................................. 23 2.10.2. Histologi Paru ................................................................................ 23

2.11. Kerangka Teori .................................................................................. 24 2.12. Kerangka Konsep ............................................................................... 25

BAB III .................................................................................................................. 26 3.1. Desain Penelitian ................................................................................... 26 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 26 3.3. Definisi Operasional .............................................................................. 26 3.4. Populasi dan Sampel .............................................................................. 27

3.4.1. Populasi .......................................................................................... 27 3.4.2. Sampel ............................................................................................ 27

3.4.2.1. Kriteria Inklusi ....................................................................... 29 3.4.2.2. Kriteria Eksklusi .................................................................... 29

3.5. Variabel Penelitian ................................................................................. 30 3.5.1. Variabel Bebas ............................................................................... 30 3.5.2. Variabel Tergantung ...................................................................... 30

3.6. Alat dan Bahan ....................................................................................... 30 3.6.1. Alat ................................................................................................. 30 3.6.2. Bahan ............................................................................................. 30

3.7. Cara Kerja .............................................................................................. 30 3.7.1. Determinasi Daun Zaitun ............................................................... 30 3.7.2. Aklimatisasi Hewan ....................................................................... 31 3.7.3. Sensitisasi Mencit .......................................................................... 31 3.7.4. Pemberian Ekstrak Daun Zaitun dan PBS + NaCMC ................... 31 3.7.5. Booster dan Challenge Mencit ....................................................... 31 3.7.6. Nekropsi dan Pengambilan Jaringan Paru ..................................... 32 3.7.7. Pembuatan Preparat ....................................................................... 32 3.7.8. Pengamatan Preparat dan dokumentasi ......................................... 32 3.7.9. Penghitungan Eosinofil .................................................................. 33

3.8. Analisis Data .......................................................................................... 33 3.9. Alur Penelitian ....................................................................................... 34

BAB IV .................................................................................................................. 35 4.1. Determinasi Daun Zaitun ....................................................................... 35 4.2. Gambaran Umum Sampel Penelitian ..................................................... 35 4.3. Jumlah Eosinofil Jaringan Paru ............................................................. 35 4.4. Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 44

BAB V ................................................................................................................... 45 5.1. Kesimpulan ............................................................................................ 45 5.2. Saran ...................................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 47 LAMPIRAN ........................................................................................................... 52

Page 13: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagian-bagian tumbuhan zaitun (Olea europaea L.), pohon (a), daun (b), bunga (c), buah (d), batang pohon (e) ....................................................... 6

Gambar 2.2 Gambar diagram skematik patogenesis asma yang diinduksi antigen........................................................................................................................ 11

Gambar 2.3 Gambar garis besar pembentukan leukotriene dan prostaglandin oleh pengaruh membran fosfolipid ........................................................................ 12

Gambar 2.4 Gambaran histologis jaringan paru mencit yang diinduksi asma ...... 13 Gambar 2.5 Mencit putih ....................................................................................... 16 Gambar 2.6 Elemen sel darah normal dan hitung sel darah manusia normal ........ 17 Gambar 2.7 Mekanisme dan pemeran penting (tebal) dalam peradangan

eosinofilik pada asma ..................................................................................... 20 Gambar 2.8 Efek selular kortikosteroid ................................................................. 21 Gambar 2.10 Zona respirasi pada paru mencit, terminal bronchioles (TB),

alveolar ducts (AD), (*) alveolus .................................................................. 23 Gambar 4.1 Gambaran mikroskopik parenkim paru mencit galur DDY pewarnaan

HE perbesaran 400x ....................................................................................... 36 Gambar 6.2. Pembuatan Ekstrak Metanol Daun Zaitun ........................................ 55 Gambar 6.3. Aklimatisasi Hewan Coba ................................................................. 56 Gambar 6.4. Sensitisasi Hewan Coba .................................................................... 56 Gambar 6.5 Penyondean Mencit ............................................................................ 57 Gambar 6.6 Nebulisasi Hewan Coba ..................................................................... 57 Gambar 6.7 Nekropsi dan Pengambilan Organ Paru ............................................. 57

Page 14: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel ............................................................... 27Tabel 3.2 Kelompok Perlakuan .............................................................................. 28Tabel 6.1. Uji Normalitas ....................................................................................... 58Tabel 6.2. Uji Normalitas setelah Transformasi Data ............................................ 58Tabel 6.3. Uji Kruskal-Wallis ................................................................................ 59Tabel 6.4. Uji Post-Hoc Mann-Whitney ................................................................ 59

Page 15: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

xv

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Grafik jumlah rerata eosinofil jaringan parenkim paru mencit ............ 39

Page 16: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Determinasi Tanaman Zaitun ............................................... 52Lampiran 2 Data Rendemen Ekstrak Metanol Daun Zaitun ............................. 53Lampiran 3 Surat Keterangan Sehat Hewan ..................................................... 54Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian ................................................................. 55Lampiran 5 Analisis Data .................................................................................. 58Lampiran 6 Riwayat Penulis ............................................................................. 74

Page 17: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

xvii

DAFTAR SINGKATAN

Al(OH)3 alumunium hidroksida APCs antigen presenting cells CD cluster of differentiation COX-2 cyclooxygenase-2 DDY Deutschland, Democratic, dan Yoken ECP eosinophil cationic protein EDN eosinophil derived neurotoxin EPO eosinophil peroxidase FGF-2 fibroblast growth factor GRs glucocorticoid receptors HIF-1a hypoxia inducible factor-1a HT hidroksitrirosol ICAM-1 intercellular adhesion molecule IgE immunoglobulin E IL-1b interleukin-1 beta IL-6 interleukin-6 IL-8 interleukin-8 iNOS inducible nitric oxide synthase Ip intraperitoneal LPS lipopolisakarida LTB4 leukotrien B4 MBP major basic protein NaCMC sodium carboxymethylcellulose NASH non-alcoholic steatohepatitis NF-kB nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells NGF nerve growth factor NO nitrogen monooksida OVA Ovalbumin PAF platelet activating factor PSGL-1 P-selectin-glycoprotein ligand ROS reactive oxygen species Th2 T helper 2 TNF-a tumor necrosis factor alfa VCAM-1 vascular adhesion molecule VEGF vascular endothelial growth factor VLA-4 eosinophil surface very late antigen

Page 18: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik di jalan napas yang tidak

menular. Menurut profil statistik negara-negara oleh World Health Organization

(WHO) asma dan penyakit paru obstruktif kronik menduduki peringkat ke 7

penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013

oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi asma meningkat seiring dengan

bertambahnya usia dan kurang lebih sama prevalensinya antara daerah perkotaan

dan daerah perdesaan. Data-data ini menunjukkan bahwa asma dan penyakit paru

obstruktif kronik di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan nasional dan

berpotensi menyebabkan peningkatan beban negara dan menurunnya

produktivitas masyarakat yang menderita penyakit tersebut.1, 2

Dewasa ini mulai banyak pemikiran mengenai pengobatan alternatif

herbal untuk asma. Hal ini dapat diketahui dari penggunaan obat agonis beta-2

dan antikolinergik, yang berasal dari tumbuhan herbal dan sudah digunakan sejak

5000 tahun yang lalu.3 Minyak zaitun telah cukup menarik perhatian karena

banyak bukti yang telah menyebutkan manfaatnya.5 Bahkan di Indonesia, zaitun

(Olea europaea L.) telah mulai dibudidayakan walaupun masih sedikit. Manfaat

minyak zaitun ini terkait dengan kandungan polifenolnya.52

Dalam Al-Qur’an, zaitun disebut sebanyak 7 kali, diantaranya pada surat

An-Nur ayat 35. Dari ayat tersebut menjelaskan tentang keistimewaan dan

manfaat tumbuhan zaitun bagi kehidupan manusia.

Menurut hasil penelitian sebelumnya (Anna Boss, et al., 2016) tentang

efek ekstrak daun zaitun terhadap inflamasi, dikatakan bahwa salah satu respon

inflamasi umum pada tubuh adalah adanya peningkatan sel darah putih atau

leukosit. Dari penelitian tersebut dapat pula disimpulkan bahwa ekstrak daun

zaitun berperan merubah inflamasi. Perubahan pada proses inflamasi oleh ekstrak

daun zaitun melalui mekanisme penghambatan nuclear factor kappa-light-chain-

Page 19: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

2

enhancer of activated B cells (NF-kB). Penghambatan NF-kB menyebabkan

produk turunannya, cyclooxygenase-2 (COX-2), interleukin-6 (IL-6), IL-8, IL-1b,

juga menurun.6 Fungsi leukosit adalah melindungi tubuh terhadap invasi benda

asing, seperti bakteri, virus, kotoran, dan sel tubuh yang abnormal. Salah satu sel

darah putih yang paling aktif saat terjadi asma adalah eosinofil. Jumlah eosinofil

pada jaringan paru saat terjadi asma dapat memberikan informasi mengenai proses

inflamasi yang terjadi dalam tubuh.7

Saat ini masih sedikit informasi mengenai bagaimana efek ekstrak daun

zaitun terhadap jumlah eosinofil pada proses inflamasi yang terjadi karena adanya

induksi inflamasi pada suatu organ. Untuk mengetahui efek ekstrak daun zaitun

tersebut, maka dilakukan penelitian efek ekstrak metanol daun zaitun sebagai anti-

inflamasi terhadap jumlah eosinofil pada jaringan paru mencit yang diinduksi

ovalbumin.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak metanol daun zaitun sebagai

anti-inflamasi terhadap jumlah eosinofil pada jaringan paru mencit yang diinduksi

asma dengan ovalbumin?

1.3. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah pemberian ekstrak metanol daun zaitun

(sebagai anti-inflamasi) memiliki efek anti-inflamasi sehingga dapat

mempengaruhi jumlah eosinofil pada jaringan paru mencit yang diinduksi

ovalbumin.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efek

pemberian ekstrak metanol daun zaitun (Olea europaea L.) terhadap jumlah

eosinofil pada jaringan paru mencit galur DDY yang diinduksi ovalbumin.

Page 20: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

3

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak metanol daun zaitun

(Olea europaea L.) sebagai antiiflamasi dalam dosis 100

mg/kgBB pada mencit galur DDY yang diinduksi ovalbumin,

apakah memberikan efek yang berbeda terhadap jumlah eosinofil

dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi ovalbumin.

2. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak metanol daun zaitun

(Olea europaea L.) sebagai antiiflamasi dalam dosis 200

mg/kgBB pada mencit galur DDY yang diinduksi ovalbumin,

apakah memberikan efek yang berbeda terhadap jumlah eosinofil

dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi ovalbumin.

3. Untuk mengetahui efek pemberian NaCMC terhadap jumlah

eosinofil.

4. Untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak metanol daun zaitun

saja bisa menginduksi asma, dengan membandingkan jumlah

eosinofil kelompok kontrol negatif (PBS +NaCMC) dan

kelompok kontrol positif (ovalbumin) dengan kelompok esktrak

saja.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dan

pengetahuan, serta pengamalan dan implementasi pengetahuan yang telah

dipelajari di Program Studi Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

1.5.2. Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan wawasan

mengenai efek pemberian ekstrak metanol daun zaitun terhadap jumlah eosinofil

pada mencit yang diinduksi ovalbumin.

Page 21: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

4

1.5.3. Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi

penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, sehingga dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian mengenai efek

ekstrak daun zaitun di kemudian hari. Selain itu juga diharapkan menjadi referensi

untuk pengembangan penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai manfaat zaitun serta dapat

diimplementasikan dalam mewujudkan visi FK Universitas Islam Negerti Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dimana salah satu visinya yaitu dapat mengintegrasikan

ilmu kedokteran dan keislaman serta menggali lebih lagi manfaat-manfaat yang

ada pada tanaman yang diberkahi oleh Allah SWT ini.

1.5.4. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar dalam

mengembangkan penelitian lain terkait dengan efek anti-inflamasi dan potensi

penggunaannya dalam pengobatan asma di masa depan. Bila hasil yang

didapatkan dari penelitian ini dan penelitian selanjutnya dapat mendukung potensi

pengobatan asma dengan ekstrak daun zaitun serta dapat dilanjutkan ke tahap uji

preklinik dan klinik, maka tidak menutup kemungkinan digunakannya ekstrak

daun zaitun sebagai anti-inflamasi untuk pengobatan asma supaya dapat

digunakan pada praktik pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia. Selain itu,

penelitian ini diharapkan pula menjadi pendukung budidaya tanaman zaitun yang

asli Indonesia.

Page 22: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Zaitun (Olea europaea L.)

2.1.1. Karakteristik

Zaitun merupakan tanaman yang berasal dari daerah Mediterania dan

telah dikenal kandungannya yang bermanfaat bagi kesehatan. Tanaman zaitun

tersebar secara alami pada area timur Mediterania, Eropa, Asia, dan Afrika.5

Tanaman zaitun memiliki batang dengan diameter tebal, warna kulit kayu

abu pucat, memiliki banyak cabang, dan tidak terlalu tinggi, tingginya bisa

mencapat 10 meter. Daun zaitun memiliki bentuk lanset atau oval, berukuran

kecil, pendek, sempit, dan tipis. Tekstur daun zaitun cukup kasar dengan warna

daunnya yang hijau pucat pada permukaan atasnya dan keabuan pada permukaan

bawahnya. Bunga zaitun relatif kecil dan berwarna putih krem dengan kelopak

berjumlah 4 buah. Buah zaitun berukuran kecil dengan kulit luar hitam gelap

keunguan dan biji di dalamnya yang keras.5 Tumbuhan zaitun terlihat seperti pada

Gambar 2.1.5

Klasifikasi taksonomi dari tumbuhan zaitun adalah 8

Kingdom : Plantae

Phylum : Magnoliophyta

Class : Rosopsida

Order : Lamiales

Family : Oleaceae

Sub-family : Oleideae

Genus : Olea

Sub-genera : Paniculatae

Tetrapilus

Olea

Sections : Ligustroides

Olea

Sub-species : cuspidata

Page 23: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

6

laperrinei

maroccana

cerasiformis

guanchica

europaea

varieties : sylvestris (wild olive)

europaea (cultivated olive)

Gambar 2.1 Bagian-bagian tumbuhan zaitun (Olea europaea L.), pohon (a), daun (b),

bunga (c), buah (d), batang pohon (e)5

Diestimasikan bahwa sekitar 7000 tahun yang lalu, budidaya tumbuhan

zaitun telah dimulai. Bukti arkeologi mengindikasikan bahwa tumbuhan zaitun

telah dikomersialkan di Crete sejak 3000 tahun sebelum masehi, oleh peradaban

Minoan. Literatur Yunani Kuno menunjukkan penggunaan minyak zaitun untuk

kesehatan tubuh.9

2.1.2. Zaitun dalam Al-Qur’an

Allah SWT telah banyak menyebutkan zaitun dalam Al-Qur’an.

Tepatnya Allah SWT menyebut sebanyak 7 kali. Dari beberapa ayat yang

mengandung penyebutan zaitun, dapat disimpulkan bahwa zaitun merupakan

suatu tumbuhan yang memiliki keistimewaan dan bermanfaat bagi kehidupan

manusia. Pada surat An-Nur ayat 35,

Page 24: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

7

yang berarti, Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.

Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang

di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan

bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari

pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur

(sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-

hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-

lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan

Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha

Mengetahui segala sesuatu.

Dari contoh ayat tersebut, manusia dapat berprasangka baik kepada Allah

SWT dan mencoba untuk menggali hikmah dari disebutnya zaitun berkali-kali

dalam Al-Qur’an sehingga manfaat dari zaitun dapat dioptimalkan untuk

meningkatkan kualitas hidup umat manusia.

2.1.3. Kandungan Kimiawi dan Manfaat Daun Zaitun

Pada daun zaitun yang sudah diekstrak terkandung berbagai macam

senyawa kimia, di antaranya adalah beberapa jenis polifenol dengan berat molekul

rendah, yaitu oleuropein (60-90 mg/g daun kering), hidroksitirosol, tirosol,

tokoferol, turunan asam elenolat, caffeic acid, p-coumaric acid, dan vanilic acid

serta flavonoid (luteolin, diosmetin, rutin, luteolin-7-glucoside, apigenin-7-

glucoside, dan diosmetin-7-glicoside).10

Kandungan fenol yang paling dominan pada daun zaitun adalah

oleuropein.11 Oleuropein diketahui bisa berperan sebagai antioksidan, anti-

hipertensi, anti-inflamasi, dan memiliki fungsi hipoglikemik dan

Page 25: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

8

hipokolesterolemik.9 Efek antioksidan dari oleuropein pada daun zaitun dapat

melalui berbagai mekanisme. Salah satu mekanisme oleuropein pada daun zaitun

sehingga bisa mengakibatkan efek antioksidan adalah karena kemampuannya

untuk meningkatkan stabilitas radikal melalui pembentukan ikatan hidrogen

intramolekuler antara hidrogen bebas pada kelompok hidroksil dengan radikalnya,

fenoksil. Oleuropein juga memperlihatkan potensi antioksidan yang mirip dengan

efek antioksidan yang dimiliki oleh asam askorbat (vitamin C) dan alfa tokoferol

(vitamin E).12

Oleuropein, salah satu senyawa fenol terbanyak yang diekstraksi dari

daun zaitun juga diketahui dapat membangkitkan efek anti-inflamasi oleh

aktivitas lipoksigenase, produksi leukotrien B4 (LTB4), dan menghambat

biosintesis sitokin pro-inflamasi. Aktivitas anti-inflamasinya terutama ditunjukkan

dengan adanya reduksi signifikan tumor necrosis factor alfa (TNF-a), IL-1b, dan

nitrogen monooksida (NO). Respons inflamasi meliputi komponen seluler dan

non-seluler. Senyawa fenol yang didapat dari zaitun, termasuk oleuropein, dapat

menurunkan produksi mediator inflamasi monositik dan dapat menurunkan

konsentrasi IL-6 yang bersirkulasi. Selain itu, oleuropein juga menghambat

produksi anion superoksida, tromboksan dan LTB4, oleh neutrofil dan dengan

menurunkan agregasi platelet.9

Ekstrak daun zaitun yang mengandung banyak oleuropein juga memiliki

efek hepatoprotektif. Diet dengan kandungan oleuropein pada mencit yang diberi

diet tinggi lemak menunjukkan penurunan hepatik steatosis dan penurunan

perkembangannya menjadi non-alcoholic steatohepatitis (NASH).13, 14

2.1.4. Zaitun sebagai Anti-inflamasi

Senyawa fenol merupakan satu kelompok yang telah banyak memiliki

bukti dapat meningkatkan kesehatan dengan efek antioksidannya. Komponen

fenol yang didapat dari zaitun, salah satunya adalah oleuropein, dapat

menurunkan produksi mediator inflamasi monositik, menurunkan produksi IL-1b

pada kultur darah manusia yang distimulasi dengan monosit yang sudah terpicu

oleh lipopolisakarida (LPS). Selain itu, senyawa fenol pada ekstrak daun zaitun

Page 26: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

9

juga memiliki kemampuan untuk berikatan dengan dan menghilangkan NO serta

menghancurkan reactive oxygen species (ROS).15,16 NO dan ROS terlibat dalam

suplai energi, detoksifikasi, sinyal kimia, dan respon imun dan sangat berperan

penting dalam keberlangsungan fungsi sel. Namun, jika dalam jumlah banyak

atau produksinya berlebih, mereka dapat menyebabkan stres dengan cara merusak

DNA, lemak, dan protein yang berperan dalam patologi dan proses penuaan.

Penyakit kronik yang berkaitan dengan stres oksidatif, seperti kanker, dapat

meningkatkan NO dan ROS. Dari mekanisme inilah banyak yang berhipotesis

bahwa efek antioksidan pada oleuropein dari ekstrak daun zaitun dapat

menurunkan risiko penyakit kronik yang berkaitan dengan stres oksidatif.17,18

Respon inflamasi meliputi komponen seluler dan nonseluler. Sitokin

proinflamasi poten yang mencakup TNF-a dan IL-1b disintesis segera setelah

adanya kerusakan seluler. TNF-a dan IL-1b terlibat dalam banyak proses,

termasuk permeabilitas vaskular, perekrutan sel-sel inflamasi, induksi inducible

nitric oxide synthase (iNOS) dan cyclooxygenase-2 (COX-2). iNOS adalah salah

satu enzim yang memproduksi NO, molekul gas radikal bebas yang memiliki

peran penting dalam pembentukan respon inflamasi sekunder. Penelitian

Khalatbary, et al. mendemonstrasikan pengobatan oleuropein secara signifikan

melemahkan ekspresi TNF-a dan IL-1b sehingga berakibat pada ekspresi iNOS

dan COX-2.9

2.1.5. Farmakokinetik Ekstrak Daun Zaitun

Banyak faktor yang mempengaruhi bioavailibilitas suatu senyawa,

seperti waktu untuk absorpsi, struktur senyawa, dan faktor individu.19 Struktur

atau bentuk dari daun zaitun yang dikonsumsi dan dipertahankan mungkin

memiliki pengaruh pada bioavailabilitas bahan aktif dari daun zaitun. Dibutuhkan

kemampuan bahan bioaktif polifenol dari ekstrak daun zaitun atau metabolitnya

untuk bisa memasuki daerah target supaya dapat menghasilkan efek yang

bermanfaat bagi tubuh. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Serra A., 2012,

menunjukkan bahwa setelah pemberian senyawa fenol dari zaitun dalam jangka

dekat (akut), menunjukkan terjadinya absorpsi turunan fenol dan konjugasinya,

Page 27: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

10

seperti oleuropein, tirosol, hidroksitrirosol (HT) dan luteolin. Oleuropein

mencapai konsentrasi puncaknya di dalam plasma 4 jam setelah konsumsi

sebanyak 24 nmol/l dan hidroksitirosol setelah 2 jam sebanyak 5,2 nmol/l.

Luteolin mencapai konsentrasi puncak di ginjal 1 jam setelah konsumsi sebanyak

0,04 nmol/l dan hidroksitirosol pada 4 jam setelah konsumsi sebanyak 3,8 nmol/l.

Luteolin mencapai konsentrasi puncak di jantung 1 jam setelah konsumsi

sebanyak 0,47 nmol/l. Luteolin mencapai konsentrasi puncak di testis pada 2 jam

setelah konsumsi sebanyak 0,07 nmol/l dan hidroksitirosol pada 2 jam setelah

konsumsi sebanyak 2,7 nmol/l. Oleuropein mencapai konsentrasi puncak di otak

pada 2 jam setelah konsumsi sebanyak 2,8 nmol/l.20

Lin P., 2013, pada penelitiannya menyebutkan pada tikus yang diberi

konsumsi oleuropein, terdeteksi adanya oleuropein, oleuropein aglycone, elenolic

acid, dan HT dalam feses dan urin setelah 24 jam.21 Ini menunjukkan stabilitas

dari senyawa ini dan potensinya untuk mencapai organ-organ dengan keadaan

intak dan dalam bentuk utuh.

Corona, et al, 2006, melaporkan bahwa HT dan tirosol dapat melalui

perfusi membran usus halus tikus tetapi tidak untuk oleuropein. Ini berarti

oleuropein lebih cenderung ada pada usus besar dalam keadaan intak.22

2.2. Asma

2.2.1. Pengertian, Penyebab, dan Faktor Predisposisi

Asma adalah serangan berulang dari kesulitan bernapas, disertai

inflamasi saluran napas dan mengi karena konstriksi bronki secara spasmodik.

Asma mempengaruhi manusia dalam berbagai usia dan penyebab paling

banyaknya adalah alergen. Penyebab lain dari asma lebih dominan merupakan

faktor-faktor predisposisi, antara lain genetik, faktor lingkungan yg didapat,

infeksi, kerja berat dan hiperventilasi, udara dingin, stres, dan iritan.23, 24, 25, 26, 27

Asma dengan predisposisi genetik mencakup proporsi yang banyak dari

seluruh pasien asma dengan riwayat alergi. Pada pasien-pasien asma dengan

predisposisi genetik, eksaserbasi asma sering disebabkan oleh paparan beberapa

alergen, dimana alergen tersebut sudah pernah tersensitisasi kepada pasien. Pada

Page 28: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

11

pasien asma dengan predisposisi genetik juga terdapat riwayat keluarga asma

yang jelas. Studi epidemiologis telah mengkonfirmasi bahwa terdapat peningkatan

frekuensi asma pada keluarga derajat pertama dari subjek asma dibandingkan

dengan subjek kontrol. Usaha untuk mengidentifikansi daerah kromosomal yang

membawa gen terkait asma telah menemukan beberapa daerah kromosomal,

terutama pada lengan panjang kromosom 5, 11, dan 12 (5q, 11q, dan 12q secara

berurutan) dan pada lengan pendek kromosom 6 (6p).26

Asma dengan predisposisi faktor lingkungan yang juga didukung dengan

faktor genetik telah dikemukakan. Paparan terhadap alergen, mungkin pada saat

masa kritis anak, mungkin menjadi faktor lingkungan yang penting dalam proses

terjadinya asma. Beberapa paparan umumnya didapat dari lingkungan umum,

seperti kutu rumah, hewan peliharaan, dan kecoa. Infeksi virus pada saluran

pernapasan juga menimbulkan inflamasi saluran napas dan memicu eksaserbasi

asma akut, tetapi peran virus sebagai pemicu asma tunggal masih kontroversial. 26

2.2.2. Patofisiologi dan Patogenesis Asma

Tidak ada faktor atau jenis sel yang bertanggung jawab atas terjadinya

asma, justru serangkaian kejadian, meliputi infiltrasi selular, pengeluaran sitokin,

dan remodelling saluran napas, berujung pada hiperresponsifitas dan penyempitan

saluran napas yang prosesnya dapat dilihat pada Gambar 2.2.26

Gambar 2.2 Gambar diagram skematik patogenesis asma yang diinduksi antigen26

Page 29: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

12

Berbagai mediator yang dikeluarkan oleh sel inflamasi dapat mengubah

keadaan ekstraselular otot polos bronkial, meningkatkan responsifitasnya terhadap

stimulus bronkokonstriktif. Mediator yang telah diketahui memiliki peran tersebut

adalah prostaglandin dan leukotrien, yang merupakan produk dari metabolisme

asam arakidonat. Beberapa mediator sitokin yang dirilis dari sel inflamasi

memiliki banyak efek terhadap sel inflamasi lainnya sehingga memperpanjang

respon inflamasi. Contohnya, limfosit T helper 2 (Th2) produksi IL-5, yang

memiliki efek kemotraktan untuk eosinofil. IL-5 juga menstimulasi pertumbuhan,

aktivasi, dan degranulasi eosinofil. IL-4, sitokin lain yang dilepaskan oleh limfosit

Th2, menghasilkan efek proinflamasi yang berbeda-beda dengan mengaktifkan

limfosit B, meningkatkan produksi imunoglobulin E (IgE) dan mempromosi

diferensiasi sel Th2. 26

Gambar 2.3 Gambar garis besar pembentukan leukotriene dan prostaglandin oleh

pengaruh membran fosfolipid26

Mediator yang dilepas dari sel inflamasi dapat menyebabkan kerusakan

jaringan yang berkontribusi pada patogenesis asma. Contohnya, eosinofil

degranulasi melepas protein toksik dari granul-granulnya, seperti major basic

protein dan eosinophil cationic protein. Dua protein toksik ini dan produk

eosinofil dapat berkontribusi terhadap kerusakan epitel pada saluran napas yang

mengalami asma. Sel epitel dapat berperan aktif dalam memperparah proses

inflamasi melalui produksi mediator sitokin dan kemokin serta memperpanjang

Page 30: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

13

masa edema saluran napas melalui vasodilatasi yang dimediasi oleh NO,

leukotrien, dan prostaglandin. Peran membran fosfolipid dari sel-sel epitel dapat

dilihat pada Gambar 2.3. 26

2.2.3. Gambaran Histologis Asma pada Mencit

Gambaran histologis jaringan paru mencit yang diinduksi asma dapat

dilihat pada Gambar 2.4.28 Jaringan paru mencit sickel cell disease (SCD), wild-

type (WT), dan transgenic hemoglobin A (HbA) yang diinduksi oleh OVA

memperlihatkan perubahan histologi yang umumnya adalah infiltrasi eosinofil

pada perivaskular dan peribronkial.

Gambar 2.4 Gambaran histologis jaringan paru mencit yang diinduksi asma (A) Gambaran histologis umum jaringan parenkim paru mencit yang diinduksi asma, (B) Baris pertama menunjukkan histologis jaringan paru pada mencit WT yang tidak disensitisasi OVA (Un), disensitisasi OVA rendah (Lo), disensitisasi OVA tinggi (Hi) dan disensitisasi OVA tinggi dengan perbesaran besar (Hi Magnified). Baris kedua menunjukkan histologis jaringan paru pada mencit HbA yang Un, Lo, Hi, dan Hi

A

B

Page 31: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

14

Magnified. Barisan ketiga menunjukkan histologis jaringan paru pada mencit SCD yang Un, Lo, Hi, dan Hi Magnified.28

2.3. Ovalbumin

2.3.1. Ovalbumin (OVA) sebagai Alergen Asma

OVA telah digunakan sebagai alergen pada beberapa model hewan

eksperimental asma yang didapat dari albumin telur ayam. Mencit mudah

tersensitisasi oleh OVA dengan menginduksi inflamasi alergik pada parunya.29,30

OVA akan memicu antigen presenting cells (APCs) mendegradasi OVA menjadi

peptida-peptida yang selanjutnya akan dipresentasikan kepada sel Th2 sehingga

sel Th2 akan melepas sitokin proinflamasi dan menyebabkan radang pada saluran

napas.31

2.3.2. Induksi OVA pada mencit

Induksi OVA pada mencit untuk menghasilkan model hewan asma

meliputi sebuah proses sensitisasi hewan terhadap antigen dan diikuti dengan efek

pada saluran napas sebagai respon alergi. Pada mencit, terutama, proses sensitisasi

terhadap alergen dilakukan secara injeksi intraperitoneal (ip) dengan alumunium

hidroksida (Al(OH)3) sebagai adjuvan. Setelah injeksi ip OVA, dilakukan

pemaparan OVA aerosol. Metode lain dalam sensitisasi OVA pada mencit dapat

dilakukan dengan sensitisasi OVA via ip diikuti dengan challenge OVA secara

intranasal dan sensitisasi OVA secara injeksi subkutan diikuti dengan challenge

OVA secara intranasal.29

Metode sensitisasi OVA pada mencit dengan injeksi ip diikuti dengan

pemaparan OVA aerosol dapat dilakukan dengan dosis dan konsentrasi OVA dan

Al(OH)3 yang berbeda-beda.29

2.4. Mencit DDY

Mencit (Mus musculus) merupakan hewan yang paling umum digunakan

pada penelitian laboratorium sebagai hewan coba, yaitu sekitar 40-80%.32 Mencit

memiliki banyak keunggulan sebagai hewan coba, khususnya dalam penelitian

Page 32: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

15

biologi, karena siklus hidupnya yang relatif pendek dan jumlah anakan per

kelahiran yang banyak.33

Menurut taksonomi, mencit dapat diklasifikasikan sebagai berikut34

kingdom : animalia

phylum : chordata

class : mammalia

order : rodentia

superfamily : muroidea

family : muridae

subfamily : murinae

genus : Mus.

Mencit laboratorium umumnya memiliki karakter biologis seperti, jinak,

lebih aktif pada malam hari, takut pada cahaya, memiliki warna rambut putih atau

keabuan. Berat badan mencit laboratorium umumnya sekitar 20-40 gram.

Pada penelitian ini, mencit laboratorium yang digunakan sebagai hewan

coba adalah mencit strain DDY. Mencit galur DDY dikembangkan dari outbred

“dd”; mencit yang berasal asli dari Jerman dan ditransfer ke Jepang sebelum tahun

1920. Nama ddY merupakan singkatan dari Deutschland, Denken, dan Yoken. Di

Jepang, mencit ddY digunakan sebagai mencit umum; belum diketahui apakah

karakter pada ddY ditemukan pada DDY. Sampai saat ini mencit galur DDY dan

ddY baru digunakan dalam penelitian neurobiologi35, hewan coba nefritis IgA

(HIGA) dan obesitas/diabetes58, serta tepat untuk menginduksi IgA nefropati

spontan, dengan adanya glomerulonefritis dan deposit IgA yang bersamaan

dengan deposit IgG, IgM, dan C359. Gambar mencit DDY yang digunakan dalam

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Page 33: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

16

Gambar 2.5 Mencit putih53

2.5. Ekstraksi Daun Zaitun

2.5.1. Ekstraksi

Ekstraksi adalah salah satu teknik pemisahan kimia untuk memisahkan

atau menarik satu atau lebih komponen atau senyawa-senyawa (analit) dari suatu

sampel dengan menggunakan pelarut tertentu yang sesuai. Prinsip pada ekstraksi

didasarkan pada kemampuan atau daya larut suatu analit dalam pelarut tertentu.

Dengan demikian pelarut tersebut dapat menarik komponen analit dari sampel

secara maksimal.

Jenis ekstraksi yang digunakan untuk mendapatkan ekstrak daun zaitun

pada penelitian ini adalah maserasi dan ekstraksi dengan pelarut metanol 80%.

Maserasi merupakan salah satu jenis ekstraksi padat cair yang paling sederhana.

Proses ekstraksi dilakukan dengan cara merendam sampel pada suhu kamar

menggunakan pelarut metanol sehingga dapat melarutkan analit dalam sampel.

Sampel biasanya direndam 3-5 hari sambil diaduk sesekali untuk mempercepat

proses pelarutan analit. Ekstraksi dilakukan berulang kali sehingga analit

terekstraksi secara sempurna. Indikasi bahwa semua analit telah terekstraksi

adalah pelarut yang digunakan tidak berwarna.36

2.5.2. Penggunaan Pelarut Metanol untuk Membuat Ekstrak Daun

Zaitun

Metanol dalam penggunaannya sebagai pelarut dalam pembuatan ekstrak

daun zaitun merupakan pelarut yang bersifat polar. Pelarut yang polar dapat

Page 34: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

17

melarutkan senyawa-senyawa lain yang juga bersifat polar karena adanya prinsip

like dissolve like, yaitu suatu senyawa akan terlarut pada pelarut yang sifatnya

sama.37

Dengan teknik ekstraksi yang menggunakan etanol, metanol, aseton, dan

bentuk larutannya (10%-90%, v/v) dalam durasi waktu ekstraksi 24 jam

didapatkan hasil observasi dalam 70% etanol sebagai pelarut terdapat senyawa

fenol dalam konsentrasi tinggi dan kemampuan antioksidan yang tinggi,

oleuropein (13,4%), flavonol (rutin) (0,18%).38

Dengan teknik ekstraksi yang menggunakan daun zaitun segar yang

dilarutkan dengan cairan metanol 80% terobsevasi hasil secoiridoid glucosides

baru yang terindentifikasi sebagai respon fisiologis karena adanya defisiensi

nutrien pada sampel daun. 38

2.6. Eosinofil

2.6.1. Karakteristik Eosinofil

Gambar 2.6 Elemen sel darah normal dan hitung sel darah manusia normal39

Ada lima jenis leukosit yang bervariasi dalam hal struktur dan fungsi.

Kelima jenis leukosit tersebut adalah neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, dan

limfosit. Kelima leukosit tersebut umumnya berukuran lebih besar dari pada

eritrosit (sel darah merah) dan tidak memiliki hemoglobin sehingga mereka tidak

berwarna kecuali saat diwarnai untuk kebutuhan pengamatan mikroskopik.

Kelima jenis leukosit di atas juga dibagi lagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok

Page 35: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

18

pertama adalah granulosit polymorfonuclear (neutrofil, eosinofil, basofil), dimana

granulosit berarti terdapat granul-granul dalam sitoplasmanya dan

polymorfonuclear yang berarti inti selnya memiliki bentuk yang beragam dan

berlobus-lobus; kelompok kedua adalah agranulosit mononuclear (limfosit dan

monosit), dimana agranulosit berarti tidak terdapat granul dalam selnya dan

mononuclear yang berarti hanya memiliki satu inti sel.39 Gambaran perbedaan

masing-masing jenis leukosit dapat dilihat pada Gambar 2.6.39

Eosinofil memiliki fungsi berbeda dari leukosit lainnya. Eosinofil akan

meningkat pada keadaan alergi, seperti asma dan hay fever dan pada keadaan

infeksi oleh parasit, seperti cacing. 39

Eosinofil merupakan leukosit granulositik polimorfonuklear. Eosinofil

menyumbang jumlah 1-4% dari keseluruhan leukosit yang bersirkulasi. Eosinofil

memiliki ciri fenotip nukleus yang bilobus (dua lobus) dan granul sitoplasmik

asidofilik yang menyebabkan warna sitoplasma eosinofil pada pewarnaan

Hematoxylin Eoscin (HE) cenderung kemerahan.41

Eosinofil memiliki fungsi primer yaitu untuk proteksi terhadap parasit

helmin. Bukti-bukti dari penelitian baru, menyebutkan bahwa eosinofil juga

memiliki peran penting pada proses remodeling setelah kerusakan jaringan dan

imunomodulasi.40

Granul pada eosinofil terdiri dari 4 jenis yang dapat dibedakan dengan

mikroskop elektron, yaitu granul primer, granul sekunder, granul kecil, dan badan

lipid. Granul primer mengandung galectin-10, kristal protein Charcot-Leyden.

Granul sekunder mengandung protein kationik toksik. Granul kecil mengandung

protein seperti, arylsulphatase B dan acid phosphatase. Badan lipid mengandung

asam arakidonat. Pada granul sekunder dan badan lipid juga terdapat sitokin,

kemokin, dan faktor pertumbuhan. 40

Langkah awal dalam inisiasi perekrutan eosinofil adalah adhesi yang

dimediasi oleh adanya interaksi antara P-selectin-glycoprotein ligand (PSGL-1)

pada eosinofil dengan P-selectin pada sel endotel dan rolling, proses yang

berkaitan dengan platelet activating factor (PAF) dan eotaxin. Pelekatan eosinofil

pada sel endotel dihasilkan oleh aktivasi eosinophil surface very late antigen

Page 36: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

19

(VLA-4) dan cluster of differentiation 11b/18 (CD11b/CD18) yang berikatan

dengan vascular adhesion molecule (VCAM-1) dan intercellular adhesion

molecule (ICAM-1) secara berurutan. 40

Setelah rolling dan bertransmigrasi melewati pembuluh darah, eosinofil

memasuki matriks ekstrasel dan berikatan dengan fibronektin. Ikatan ini

dimediasi oleh integrin dan selectin pada eosinofil. Eosinofil kemudian bermigrasi

ke jaringan mengikuti gradien kemokin.40

2.6.2. Eosinofil dalam Asma

Banyak laporan dalam literatur yang mendemonstrasikan hubungan

antara derajat keparahan asma dengan level eosinofil dan produknya dalam darah,

sputum, bronchoalveolar lavage fluid (cairan BAL), dan biopsy bronkial. Peran

eosinofil dalam asma meliputi penghancuran jaringan, remodeling, dan

imunoregulasi.40

Peran eosinofil dalam penghancuran jaringan berkaitan dengan protein

kationik toksik yang dikeluarkan eosinofil dari granul sekunder, seperti major

basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP), eosinophil peroxidase

(EPO), dan eosinophil derived neurotoxin (EDN).40

Peran eosinofil dalam remodelling dapat dilihat dari terjadinya hipertrofi

epitelial, deposisi subepitelial dari matriks ekstrasel, hipertrofi kelenjar mukus,

hipertrofi otot polos saluran napas, dan perubahan vaskular. Faktor-faktor yang

dihasilkan oleh eosinofil sehingga terjadi perubahan struktur pada paru antara

lain, fibroblast growth factor (FGF-2), IL-4, IL-11, IL-13, IL-17, nerve growth

factor (NGF), dan vascular endothelial growth factor (VEGF).40

Peran eosinofil dalam imunoregulasi ditandai dengan respon imun sel

Th2 yang menyebabkan peningkatan produksi sitokin (IL-4, IL-5, IL-9, IL-13).

Eosinofil juga menghasilkan sinyal kostimulator untuk limfosit dengan

mengekspresikan CD40 yang meningkat ekspresinya pada pasien atopi.40

Saat terjadi inflamasi pada asma, eosinofil berinteraksi dengan limfosit,

sel mast, sel dendritik, makrofag, dan neutrofil, serta sel-sel pada jaringan yang

inflamasi seperti, sel epitel, sel endotel, sel otot polos, fibroblast, dan sel saraf.40

Page 37: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

20

Gambar 2.7 dapat menjelaskan secara singkat gambaran mekanisme peradangan

eosinofilik pada asma.40

Gambar 2.7 Mekanisme dan pemeran penting (tebal) dalam peradangan eosinofilik pada

asma40

2.7. Budesonid

Terapi yang umum digunakan untuk menangani asma adalah

glukokortikoid, antagonis reseptor leukotrien, dan teofilin. Kortikosteroid (juga

dikenal sebagai glukokortikoid, dan steroid) sampai saat ini masih merupakan

pengontrol asma paling efektif dan merupakan obat satu-satunya yang dapat

menekan karakteristik inflamasi pada saluran napas saat asma.42 Salah satu obat

kortikosteroid yang tersedia di Indonesia pada fasilitas kesehatan tingkat 1 adalah

budesonid inhalasi. Budesonid inhalasi juga masuk ke dalam pilihan

kortikosteroid inhalasi pada panduan tata laksana asma Global Initiative of

Asthma (GINA).44, 45

Budesonid dapat memperbaiki inflamasi saluran napas akibat alergi,

menurunkan angiogenesis, mengurangi ekspresi VEGF, menurunkan ekspresi

Page 38: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

21

hypoxia inducible factor-1a (HIF-1a) yang memediasi VEGF pada pasien asma.42

Budesonid inhalasi memiliki mekanisme kerja kortikosteroid dalam mengontrol

asma. Mekanisme kerja dalam tingkat selular adalah dengan menurunkan sel-sel

inflamasi pada saluran napas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast, dan sel

dendritik. Sel-sel epitel mungkin menjadi target kerja kortikosteroid inhalasi.

Kortikosteroid inhalasi menekan gen inflamasi yang teraktivasi di sel epitel

saluran napas dan integritas sel epitel dikembalikan oleh kortikosteroid inhalasi.43

Gambar 2.8 Efek selular kortikosteroid43

Mekanisme kerja kortikosteroid inhalasi yang kedua adalah dengan

berikatan dengan glucocorticoid receptors (GRs) pada sitoplasma. GRs yang

teraktivasi secara cepat bertranslokasi ke nukleus kemudian akan berikatan

dengan elemen respon glukokortikoid pada regio tertentu di DNA sehingga akan

menghasilkan efek anti-inflamasi oleh kortikosteroid inhalasi. 43

Mekanisme kerja kortikoteroid inhalasi yang paling berperan dalam

terapi asma adalah dengan menonaktifkan beragam gen inflamatori yang

mengkode sitokin, kemokin, molekul adhesi, enzim inflamatori, dan reseptor.

GRs yang teraktivasi bertanslokasi ke nukleus dan berikatan dengan koaktifator

untuk menghambat langsung histone acetyltransferase (HAT) dan merekrut

histone deacetylase-2 (HDAC2) yang akan mengembalikan asetilasi histon

sehingga menekan gen-gen inflamasi yang teraktifkan saat asma. 43 Pengaruh

kortikosteroid pada tingkat sel dapat dirangkum pada Gambar 2.8. 43

Page 39: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

22

2.8. NaCMC

Sodium carboxymethylcellulose (NaCMC) adalah polimer water-soluble

anionik yang dihasilkan melalui reaksi antara selulosa dan natrium

monokloroasetat. Berat molekul NaCMC berkisar antara 90.000-700.000 Dalton.

NaCMC berwarna putih, bubuk tidak berbau, dan mudah terdispersi di air

membentuk solusi koloid jernih.46

Molekul CMC umum digunakan pada formulasio oral dan topikal,

terutama digunakan sebagai agen peningkat konsistensi. CMC juga digunakan

sebagai stabilisator pada pembuatan suspensi dan emulsi.46

2.9. Aluminium Hidroksida sebagai Adjuvan

Adjuvan adalah suatu substansi yang meningkatkan respon imun melalui

aspek fisik atau kimia dari suatu antigen. Selama beberapa dekade, ratusan bahan

telah diuji sebagai adjuvan, contohnya metabolit bakteri, mikropartikel, asam

nukleat, liposom, dan polisakarida. Namun, hanya adjuvan berbasis Al(OH)3 yang

terus digunakan luas secara global. Al(OH)3 dipakai sebagai adjuvan dalam

sensitisasi OVA untuk menginduksi terjadinya asma pada mencit.48

Karakteristik fisik dari Al(OH)3 adalah bubuk kering amorf putih tanpa

bau, tidak larut dalam air, larut dalam solusi alkalin atau asam.47 Pemberian

adjuvan Al(OH)3 melalui injeksi intraperitoneal menyebabkan efek stimulatori

imun pada mencit. Pemberian sensitisasi secara intraperitoneal menjadi pilihan

dikarenakan stimulasi reaksi alergi pada rodensia umumnya terjadi bila sensitisasi

antigenik diberikan secara parenteral, intraperitoneal, intradermal, subkutan, dan

sebaliknya pemberian oral jarang membangkitkan respon alergi. Al(OH)3 dapat

secara selektif menstimulasi respon imun sel Th2 pada mencit dan respon yang

beragam pada manusia. Peneliti cenderung menyimpulkan bahwa adjuvan

Al(OH)3 mempersiapkan atau mengawali respon imun sel Th2, tetapi belum dapat

dipahami dengan jelas. Adjuvan Al(OH)3 juga dapat memfasilitasi pengambilan

antigen oleh APC.48

Page 40: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

23

2.10. Paru

2.10.1. Anatomi Paru

Paru mencit diselubungi pleura visera dan terdiri dari paru kiri yang tidak

terbagi dan paru kanan yang terbagi menjadi 4 lobus. 4 lobus yang tersebut adalah

cranial, middle, caudal, dan accessory.49 Gambaran posisi paru mencit pada

rongga toraks dapat dilihat pada Gambar 2.9.

2.10.2. Histologi Paru

Bronkiolus respiratorik pada mencit jarang hingga tidak ada, sehingga

udara secara berurutan mengalir dari bronkiolus terminal ke duktus alveolus

kemudian menuju alveolus. Antara alveolus satu dengan lainnya terdapat pori

pada septum alveolus yang dikenal dengan sebagai pores of Kohn (pori Kohn).

Pori ini menyediakan ventilasi kolateral untuk menunjang ekualitas tekanan pada

masing-masing alveolus dan bisa menyalurkan sel imun, cairan, dan agen

infeksius.49 Gambaran histologi paru mencit normal dapat dilihat pada Gambar

2.10.

Gambar 2.10 Zona respirasi pada paru mencit, terminal bronchioles (TB), alveolar ducts

(AD), (*) alveolus49

Page 41: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

24

2.11. Kerangka Teori

Paparan OVA + ajuvan Al(OH)

3

Alergen ditangkap oleh APC paru

APC presentasi antigen OVA

Aktivasi sel Th2

Pengeluaran sitokin

IL-5 (kemotraktan)

IL-4

Perekrutan eosinofil

­ Jumlah eosinofil

Aktivasi limfosit Produksi IgE

IgE berikatan dengan reseptor Fc pada sel

mast

Degranulasi sel mast

Mediator inflamasi

­ Produksi mukus

­ Permeabilitas vaskular

Kontraksi otot polos saluran

napas

Asma

Pemberian EMDZ Zat aktif EMDZ (oleuropein,

hidroksitirosol, dan senyawa

fenol lain)

¯ TNF-a dan IL-1b COX-2

PGD-2

(-)

Pemberian budesonid

Budesonid berikatan dengan reseptor glukokortikoid

¯ ekspresi gen proinflamasi

(-)

Page 42: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

25

2.12. Kerangka Konsep

Mencit DDY OVA + Al(OH)3

Asma EMDZ

Jumlah eosinofil

¯ Jumlah ­ Jumlah

Budesonid

Page 43: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

26

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimental.

Penelitian ini menggunakan mencit galur DDY, yang akan melalui fase sensitisasi

dan fase penyondean. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan melihat

gambaran histopatologi paru dari mencit DDY pada semua perlakuan dan

menghitung jumlah sel eosinofil pada 10 lapang pandang pada setiap ekor mencit.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari Februari 2018 hingga September 2018.

Penelitian ini sebagian besar dilakukan di Laboratorium FK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Pembuatan ekstrak metanol daun zaitun dilakukan di

Laboratorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pemeliharaan dan

beberapa perlakuan pada mencit dilakukan di Laboratorium Hewan FK UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Beberapa perlakuan lainnya (nebulisasi dan

pengambilan jaringan) dilakukan di Laboratoriun Farmakologi FK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Sedangkan pembuatan preparat dilakukan di Laboratorium

Sitologi. Dokumentasi dan analisis preparat dilakukan di Laboratorium Histologi

dan Biologi FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.3. Definisi Operasional

Untuk memudahkan peneliti agar penelitian tidak menjadi terlalu luas,

maka dibuatlah definisi operasional seperti yang tertera pada tabel berikut:

Page 44: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

27

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Pengukuran Skala Dosis ekstrak

zaitun Jumlah dosis ekstrak metabol daun zaitun yang diberikan secara oral pada mencit dalam satuan mg per berat badan (BB).

Menimbang berat mencit kemudian hitung dosis 100 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB.

Numerik

Jumlah eosinofil

Jumlah eosinofil dengan ciri sel memiliki nukleus dengan 2 lobus dan granula eosinofilik asidofilik (berwarna kemerahan) pada preparat jaringan paru bagian parenkim paru mencit galur DDY.

Menghitung jumlah eosinofil pada 10 lapang pandang setiap ekor mencit pada setiap kelompok dengan perbesaran mikroskop 40x.

Numerik

3.4. Populasi dan Sampel

3.4.1. Populasi

Populasi hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit

jantan galur DDY berumur 5 minggu dengan berat badan sekitar 25-35 gram yang

didatangkan dan telah diverifikasi sebelumnya dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

3.4.2. Sampel

Jumlah kelompok perlakuan pada penelitian ini adalah 8 kelompok yang

dapat dilihat pembagiannya pada Tabel 3.1.

Page 45: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

28

Tabel 3.2 Kelompok Perlakuan

Kelompok Perlakuan

K1 Kontrol Negatif

(PBS)

1. Phosphate buffered saline (PBS) + Aluminium Hidroksida (Al(OH)3) (ip),

2. PBS oral, 3. PBS inhalasi

K2 Kontrol Negatif

(PBS + NaCMC)

1. PBS + Al(OH)3 (ip), 2. PBS + Sodium Carboxymethylcellulose

(NaCMC) oral, 3. PBS inhalasi

K3 Kontrol Positif

(OVA)

1. OVA 50 µg + PBS + Al(OH)3 10% (ip), 2. PBS + NaCMC oral, 3. OVA 2% dan 5% inhalasi

B Budesonid

1. OVA 50 µg + PBS + Al(OH)3 10% (ip) 2. PBS + NaCMC oral 3. Budesonide 0,5 mg/50 ml inhalasi 4. OVA 2% dan 5% inhalasi

P1 Dosis Zaitun 1 + OVA

1. OVA 50 µg + PBS + Al(OH)3 10% (ip) 2. Ekstrak Metanol Daun Zaitun (EMDZ) 100

mg/kgBB + NaCMC 3. OVA 2% dan 5% inhalasi

P2 Dosis Zaitun 2 + OVA

1. OVA 50 µg + PBS + Al(OH)3 10% (ip) 2. EMDZ 200 mg/kgBB + NaCMC 3. OVA 2% dan 5% inhalasi

E1 Dosis Ekstrak Daun Zaitun

1

1. EMDZ 50 µg (ip) 2. EMDZ 100 mg/kgBB + NaCMC oral 3. EMDZ 100 mg/kgBB inhalasi

E2 Dosis Ekstrak Daun Zaitun

2

1. EMDZ 50 µg (ip) 2. EMDZ 200 mg/kgBB + NaCMC oral 3. EMDZ 200 mg/kgBB inhalasi

Jumlah total sampel penelitian ini menggunakan perhitungan rumus

Mead51: E = N - B – T, dengan

Page 46: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

29

E = Derajat kebebasan komponen kesalahan (10-20)

N = Jumlah total sampel dalam penelitian (dikurangi 1)

B = Blocking component, menggambarkan pengaruh lingkungan yang

diperbolehkan dalam penelitian (dikurangi 1)

T = Jumlah kelompok perlakuan (dikurangi 1)

10 ≤ E ≤ 20

E = N – B – T E = N – B – T

10 ≥ (N – 1) – 0 – (8 – 1) 20 ≤ (N–1) – 0 – (8 – 1)

10 ≥ N – 1 – 7 20 ≤ N – 1 – 7

10 ≥ N – 8 20 ≤ N – 8

10 ≥ 18 N ≤ 28

Artinya, berdasarkan rumus Mead tersebut, jumlah total sampel mencit

yang digunakan adalah berjumlah 18-28 ekor. Pada penelitian ini jumlah total

sampel yang digunakan sebanyak 48 ekor dengan jumlah sampel tiap kelompok

berjumlah 6 ekor mencit. Hal ini dilakukan untuk antisipasi adanya kematian

sampel selama penelitian berlangsung.

3.4.2.1. Kriteria Inklusi

a. Mencit jantan galur DDY

b. Tingkah laku dan aktivitas mencit normal

c. Tidak ada kelainan anatomi yang tampak sebelum perlakuan

d. Tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, botak

e. Preparat satu paru mencit utuh

3.4.2.2. Kriteria Eksklusi

a. Mencit mati selama riset berlangsung

b. Mencit mengalami kelainan anatomis, seperti pembesaran abnormal di

daerah leher

c. Preparat satu paru mencit terbagi-bagi dalam beberapa pecahan

Page 47: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

30

3.5. Variabel Penelitian

3.5.1. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian ekstrak metanol

daun zaitun (Olea europaea L.) secara peroral.

3.5.2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah jumlah eosinofil pada

histopatologi paru mencit galur DDY.

3.6. Alat dan Bahan

3.6.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu kandang mencit, tempat

makanan dan minuman mencit, perlengkapan kebersihan, bedding (serutan kayu),

handscoon, neraca analitik, neraca hewan, alat bedah minor, styrofoam, spuit 1ml,

sonde, gelas ukur, gunting, label, kulkas, kandang plastik tempat inhalasi, set alat

nebulisasi, lakban, plastisin, sekrup pengencang kandang inhalasi, cutter, kapas,

tissue.

3.6.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu ekstrak metanol

daun zaitun, mencit putih strain DDY, makanan (pur 512) dan minuman mencit

galur DDY. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan aquadest, PBS (MP

Biomedicals), OVA (Sigma-Aldrich, batch # A5503-10G), NaCMC, alumunium

hidroksida (Sigma-Aldrich, batch # 239186-25G), dan Budesonid (Pulmicort 0,5

mg/2 ml) untuk perlakuan mencit.

3.7. Cara Kerja

3.7.1. Determinasi Daun Zaitun

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak metanol daun

zaitun. Sebelum melakukan penelitian, tumbuhan terlebih dahulu dideterminasi

Page 48: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

31

untuk mengidentifikasi kandungan dalam ekstrak metanol daun zaitun.

Determinasi dilakukan di LIPI Bogor.

3.7.2. Aklimatisasi Hewan

Mencit diadaptasikan di Laboratorium Hewan selama tujuh hari. Mencit

diadaptasikan dengan tempat tinggal barunya, pemberian makanan dan minuman.

Perlakuan disamakan terhadap semua mencit.50

3.7.3. Sensitisasi Mencit

Sensitisasi pada mencit jantan galur DDY dilakukan dengan penyuntikan

PBS + Al(OH)3 ip pada kelompok perlakuan K1 dan K2; OVA 50 µg + Al(OH)3

10% ip pada kelompok perlakuan K3, B, P1, dan P2; EMDZ + Al(OH)3 ip pada

kelompok perlakuan E1 dan E2. Sensitisasi dilakukan pada hari ke-0 dan hari ke-

14.50

3.7.4. Pemberian Ekstrak Daun Zaitun dan PBS + NaCMC

Mencit pada kelompok perlakuan P1, P2, E1, dan E2 diberikan EMDZ,

kelompok perlakuan K1 hanya diberi PBS, sedangkan K2, K3, dan B diberikan

PBS + NaCMC. Pemberian sonde pada masing-masing kelompok perlakuan

dilakukan selama tujuh hari dari hari ke-15 sampai hari ke-21 dengan frekuensi

setiap hari secara peroral dengan menggunakan sonde. Pemberian secara oral ini

dimaksudkan untuk menyamakan dengan kondisi di masa depan jika ekstrak

metanol daun zaitun akan dibuat dalam sediaan obat oral dan pemberian selama 1

minggu dimaksudkan untuk mengetahui efek dari ekstrak metanol daun zaitun

yang diberikan selama 1 minggu.56

3.7.5. Booster dan Challenge Mencit

Mencit dilakukan booster dengan inhalasi OVA 2% selama 10 menit

pada hari ke-19 dan ke-20 kepada kelompok perlakuan K3, P1, P2, dan B.

Selanjutnya pada kelompok yang tersebut di atas, kecuali kelompok B, dilakukan

challenge inhalasi OVA 5% selama 30 menit pada hari ke-21. Pada kelompok

perlakuan B, sekitar 4 jam setelah booster, dilakukan challenge dengan inhalasi

budesonid 0,5 mg/50 ml selama 30 menit pada hari ke-21. Pada kelompok

Page 49: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

32

perlakuan E1 dan E2, dilakukan booster dengan inhalasi EMDZ 100 mg/kgBB

pada E1 dan 200 mg/kgBB pada E2 selama 10 menit pada hari ke-19 dan ke-20.

Setelah itu, pada hari ke-21, kelompok yang sama dilakukan challenge dengan

inhalasi EMDZ 100 mg/kgBB pada E1 dan 200 mg/kgBB pada E2 selama 30

menit.50

3.7.6. Nekropsi dan Pengambilan Jaringan Paru

Sebelum mencit dinekropsi, terlebih dahulu mencit dianastesi dengan

cara dimasukkan ke dalam toples berisi kapas yang telah diberi eter. Tunggu

hingga tikus hilang kesadaran dengan cara memberikan rangsang nyeri pada

telapak kaki tikus. Bila tidak memberi respon berarti anastesi telah bekerja.

Eksplorasi orgAan kemudian dilakukan melalui abdomen dilanjutkan dengan

insisi toraks untuk mengekspos paru. Jaringan paru yang diambil adalah lobus

cranial bagian apeks. Jaringan paru kemudian dicuci dengan cara dibilas dalam

larutan PBS untuk membersihkan darah yang masih menempel. Setelah itu

dimasukkan ke dalam plastik klip bening yang telah diisi larutan formalin 10%

sebanyak sekitar 20 kali volume potongan jaringan paru. Plastik klip bening yang

sudah berlabel tersebut disimpan dalam lemari pendingin pada suhu sekitar 4-

8°C.49

3.7.7. Pembuatan Preparat

Pembuatan preparat pada penelitian ini dikerjakan di Laboratorium

Sitologi. Pewarnaan yang digunakan adalah Hematoxylin Eoscin (H&E).

3.7.8. Pengamatan Preparat dan dokumentasi

Pengamatan preparat dan dokumentasi dilakukan di Laboratorium

Histologi dan Biologi FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Alat yang digunakan

adalah mikroskop Olympus BX41 dan perangkat lunak komputer yang digunakan

adalah DP2-BSW.

Komputer dan mikroskop dipastikan terlebih dahulu terkoneksi dengan

saluran listrik dan stabilisator. Nyalakan komputer dan mikroskop, buka

perangkat lunak DP2-BSW. Letakkan preparat di meja objek, atur cahaya

Page 50: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

33

secukupnya dan perbesaran dari yang lensa terkecil. Berangsur amati dengan

menaikkan perbesaran sampai lensa 40 kali. Foto lapang pandang preparat yang

diinginkan dan simpan hasilnya ke dalam DVD-RW.

3.7.9. Penghitungan Eosinofil

Penghitungan eosinofil dilakukan dengan mengamati dan menghitung

jumlah sel yang memiliki karakter berlobus 2 dan berwarna cenderung

kemerahan. Penghitungan eosinofil dilakukan dalam 10 lapang pandang pada

sediaan jaringan paru setiap mencit dalam 8 kelompok perlakuan.

3.8. Analisis Data

Setelah hasil penghitungan eosinofil terkumpul untuk seluruh mencit

dalam 8 kelompok perlakuan, dilakukan pengolahan data dengan perangkat lunak

Microsoft Excel dan analisis statistik menggunakan perangkat lunak Statistical

Product and Service Solution (SPSS) versi 25.

Pada SPSS versi 25 dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas terlebih

dahulu. Jika hasil dari salah satu uji tidak terpenuji maka dilakukan transformasi

data. Jika sudah dilakukan transformasi data dan hasil masih tidak terpenuhi maka

dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis untuk mengindentifikasi apakah terdapat

setidaknya 2 kelompok yang berbeda secara signifikan. Jika hasil sudah terpenuhi

maka dilanjutkan dengan uji One Way Anova untuk menguji perbedaan data lebih

dari 2 kelompok.

Page 51: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

34

3.9. Alur Penelitian

Adaptasi selama 7 hari diberi makan dan minum

Kelompok K1

Kelompok K2

Kelompok K3

Kelompok B

Kelompok P1

Kelompok E1

Sensitisasi ekstrak alum i.p. (hari ke-0 dan 14)

Sensitisasi PBS alum i.p. (hari ke-0 dan 14)

Sensitisasi OVA PBS alum i.p. (hari ke-0 dan 14)

Mencit tiba di Animal House

Kelompok P2

Kelompok E2

Sonde PBS NaCMC

(hari ke-15 sampai hari

ke-21)

Sonde PBS (hari ke-15 sampai hari

ke-21)

Sonde ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB (P1 dan E1) dan 200 mg/KgBB (P2 dan E2 ) (hari ke-15 sampai hari ke-21)

Sonde PBS NaCMC (hari ke-15 sampai hari ke-

21)

Booster inhalasi OVA 2% selama 10 menit(hari ke-19 dan 20)

Booster inhalasi ekstrak

100mg/KgBB (hari

ke-19 dan 20)

Booster inhalasi PBS 10% selama 10 menit (hari ke-

19 dan 20)

Booster inhalasi ekstrak

200mg/KgBB (hari

ke-19 dan 20)

Challenge inhalasi OVA 5% selama 30 menit (hari ke-21)

Challenge inhalasi ekstrak 100mg/ KgBB

NaCMC 30 menit (hari

ke-21)

Inhalasi budesonid

0,5mg / 50mL 30

menit (hari ke-21)

Challenge inhalasi PBS 10% selama 30 menit (hari

ke-21)

Challenge inhalasi ekstrak 200mg/ KgBB

NaCMC 30 menit (hari

ke-21)

Mencit puasa 1 hari penuh

Nekropsi dan pengambilan organ paru

Pembuatan preparat

Penghitungan eosinofil

Analisis data

Page 52: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

35

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Determinasi Daun Zaitun

Determinasi daun zaitun (Olea europaea L.) dilakukan di Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi

menunjukkan bahwa daun zaitun yang menjadi sampel pada penelitian ini

merupakan Olea europaea L. dari family Oleaceae (Lampiran 1).

Daun zaitun yang digunakan adalah daun zaitun kering yang diperoleh

dari Kebun Qur’an Depok sebanyak 500 gram. Daun tersebut kemudian dikirim

ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong untuk dilakukan

ekstraksi dengan pelarut metanol. Bubuk ekstrak metanol daun zaitun yang

dihasilkan sebanyak 16,3 gram dengan nilai rendemen sebesar 21,54% (w/w)

(Lampiran 2).

4.2. Gambaran Umum Sampel Penelitian

Pada akhir masa penelitian, didapatkan jumlah sampel dalam masing-

masing kelompok berbeda-beda. Jumlah sampel pada kelompok K1, K2, K3, B,

P1, P2, E1, dan E2 secara berurutan adalah 3, 3, 3, 5, 4, 4, 5, dan 3 ekor mencit.

Hal ini disebabkan banyaknya mencit yang mati selama penelitian berlangsung.

Mencit mati disebabkan teknik menyonde mencit yang kurang tepat, sehingga

cairan yang akan disonde masuk ke saluran pernapasan dan mencit mati tersedak.

4.3. Jumlah Eosinofil Jaringan Paru

Penelitian ini terdiri dari 8 kelompok yang pembagian perlakuannya

dapat dilihat pada Tabel 3.1. Gambaran mikroskopik jaringan parenkim paru

berdasarkan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Page 53: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

36

Gambar 4.1 Gambaran mikroskopik parenkim paru mencit galur DDY pewarnaan HE perbesaran 400x. K1= PBS; K2= PBS + NaCMC; K3= OVA; B= OVA + Budesonid; P1= OVA + ekstrak daun zaitun 100 mg/kgBB; P2= OVA + ekstrak daun zaitun 200 mg/kgBB; E1= ekstrak daun zaitun 100 mg/kgBB; E2= ekstrak daun zaitun 200 mg/kgBB. Tanda panah hijau menunjukkan eosinofil pada parenkim paru mencit.

K1 K2

E1

P1

B

K3

P2

E2

Page 54: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

37

Pada Gambar 4.1, dapat dilihat kelompok K1 (kontrol negatif dengan

PBS saja), dapat diidentifikasi struktur zona respirasi pada parenkim paru normal

mencit yang terdiri dari alveolus, duktus alveolus, sel epitel alveolus, dan jaringan

ikat. Pada kelompok ini tampak jumlah eosinofil yang sama jika dibandingkan

dengan kelompok K2. Pada kelompok K1, tampak jumlah eosinofil lebih sedikit

jika dibandingkan dengan kelompok K3 (kontrol positif dengan induksi

ovalbumin). Pada kelompok K1 juga tampak lumen alveolus dan alveolus masih

cukup intak sehingga cukup mudah untuk mengidentifikasi sel-sel yang ada pada

gambaran mikroskopik kelompok K1 jika dibandingkan dengan struktur jaringan

parenkim paru pada kelompok K3. Hal ini berarti pada kelompok K1 (kontrol

negatif dengan PBS saja), PBS yang diberikan pada kelompok tersebut tidak

menginduksi asma karena merupakan larutan fisiologis.

Gambaran mikroskopik kualitatif pada kelompok K2 (kontrol negatif

dengan NaCMC) juga tidak menunjukkan perbedaan jauh dari gambaran

mikroskopik normal paru mencit (Gambar 2.10). Jika kelompok K2 dibandingkan

dengan kelompok K3 (kontrol positif dengan induksi ovalbumin), tampak jumlah

eosinofil yang lebih sedikit sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa

pemberian NaCMC tidak menginduksi inflamasi.

Pada kelompok P1 (kelompok induksi oleh ovalbumin dengan pemberian

EMDZ dosis 100mg/kgBB setelahnya) tampak jumlah eosinofil lebih sedikit jika

dibandingkan dengan kelompok K3 (kontrol positif dengan induksi ovalbumin).

Ini berarti bahwa pemberian EMDZ dosis 100mg/kgBB pada kelompok yang

sebelumnya sudah diinduksi ovalbumin memiliki efek anti-inflamasi.

Pada Gambar 4.1, gambaran mikroskopik kelompok P2 (kelompok

induksi oleh ovalbumin dengan pemberian EMDZ dosis 200mg/kgBB setelahnya)

dibandingkan dengan kelompok K3 (kontrol positif dengan induksi ovalbumin)

tampak jumlah eosinofil pada kelompok P2 lebih sedikit sehingga berarti bahwa

pemberian EMDZ 200mg/kgBB pada kelompok yang sebelumnya sudah

diinduksi ovalbumin memiliku efek anti-inflamasi.

Jika gambaran mikroskopik jaringan parenkim paru kelompok K2

(kontrol negatif dengan NaCMC) dibandingkan dengan kelompok P1 (kelompok

Page 55: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

38

induksi oleh ovalbumin dengan pemberian EMDZ dosis 100mg/kgBB

setelahnya), terlihat jumlah eosinofil yang lebih banyak dan jika kelompok K2

dibandingkan dengan kelompok P2 (kelompok induksi oleh ovalbumin dengan

pemberian EMDZ dosis 200mg/kgBB setelahnya), tampak jumlah eosinofil yang

juga lebih banyak. Kemudian, masih pada Gambar 4.1, tampak jumlah eosinofil

yang lebih banyak pada kelompok K2 dibandingkan dengan kelompok B. Selain

itu juga tampak jumlah eosinofil lebih banyak pada gambaran mikroskopik

kelompok K2 dibandingkan dengan pada gambaran mikroskopik kelompok E1

dan E2.

Pada kelompok B (kelompok induksi oleh ovalbumin dengan pemberian

terapi obat anti-inflamasi standar budesonid) tampak jumlah eosinofil yang lebih

sedikit dibanding kelompok K3 (kontrol positif dengan induksi ovalbumin)

sehingga berarti bahwa budesonid memiliki efek anti-inflamasi.

Tampak jumlah eosinofil yang sama pada kelompok P1 (kelompok

induksi oleh ovalbumin dengan pemberian EMDZ dosis 100mg/kgBB setelahnya)

dan P2 (kelompok induksi oleh ovalbumin dengan pemberian EMDZ dosis

200mg/kgBB setelahnya) sehingga ada kemungkinan bahwa pemberian EMDZ

dosis 100mg/kgBB dan 200mg/kgBB tidak memiliki perbedaan efek.

Pada kelompok B (kelompok induksi oleh ovalbumin dengan pemberian

terapi obat anti-inflamasi standar budesonid) tampak jumlah eosinofil yang lebih

banyak dibandingkan kelompok perlakuan dengan ekstrak metanol daun zaitun P1

dan P2 sehingga ini berarti ada kemungkinan pemberian EMDZ pada kelompok

P1 dan P2 memiliki efek anti-inflamasi yang lebih baik.

Tampak jumlah eosinofil pada kelompok E1 dan E2 (kelompok dengan

induksi EMDZ dan pemberian oral EMDZ) lebih sedikit dibandingkan dengan

kelompok K3 (kontrol positif dengan induksi ovalbumin) sehingga ini berarti

bahwa pemberian EMDZ tidak menginduksi inflamasi.

Untuk memastikan ada atau tidaknya perbedaan jumlah eosinofil secara

signifikan pada masing-masing kelompok, dilakukan perhitungan jumlah eosinofil

tiap kelompok sebanyak 10 lapang pandang acak pada setiap preparat jaringan

Page 56: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

39

parenkim paru mencit sesuai dengan penelitian Nandedkar (2008)28. Hasil jumlah

rerata eosinofil paru mencit pada penelitian ini, dapat dilihat pada Grafik 4.1.

Grafik 4.1 Grafik jumlah rerata eosinofil jaringan parenkim paru mencit. * : p<0,05.

Pada uji statistik normalitas (Lampiran 5, Tabel 6.1.) didapatkan

kelompok K2, K3, P1, P2, B, E1, E2 memiliki distribusi data yang normal

(p>0,05). Pada kelompok K1 didapatkan memiliki distribusi data yang tidak

normal (p<0,05). Setelah dilakukan transformasi data dan menguji normalitas

kembali (Lampiran 5, Tabel 6.2.), didapatkan kelompok K1 masih memiliki

distribusi yang tidak normal. Oleh karena ada data yang tidak terdistribusi secara

normal, maka uji Kruskal Wallis yang dipilih sebagai uji selanjutnya.

Pada uji statistik Kruskal Wallis (Lampiran 5, Tabel 6.3.) didapatkan

nilai p=0,011 (p<0,05) yang berarti setidaknya ada 2 kelompok perlakuan yang

memiliki perbedaan jumlah eosinofil yang signifikan. Untuk mengetahui

kelompok perlakuan mana yang memiliki perbedaan yang signifikan, maka

dilakukan uji statistik Post Hoc Mann-Whitney (Lampiran 5, Tabel 6.4.).

34 29 67 23 20 35 30 320

10

20

30

40

50

60

70

80

90

K1 K2 K3 P1 P2 B E1 E2

JUM

LAH

RER

ATA

EOSI

NO

FIL

(SEL

)

KELOMPOK PERLAKUAN

** *

*

**

*

*

**

Page 57: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

40

Pada Grafik 4.1., jumlah rerata eosinofil pada kelompok K1 adalah 34.

Jumlah rerata eosinofil pada kelompok K2 adalah 29. Hasil uji statistik Post Hoc

Mann-Whitney perbandingan kelompok K1 dan kelompok K2 menunjukkan

p=0,105 (p>0,05) sehingga tidak terdapat perbedaan signifikan jumlah rerata

eosinofil. Hal ini sesuai dengan penelitian Tahara (2015)54 dan Haryoto (2011)55,

yang menyebutkan bahwa pemberian NaCMC per oral tidak menginduksi

inflamasi.

Jumlah rerata eosinofil kelompok K3 adalah 67. Hasil uji statistik Post

Hoc Mann-Whitney pada kelompok K2 dan K3 menunjukkan p=0,050 (p<0,05)

sehingga terdapat perbedaan signifikan jumlah rerata eosinofil. Hal ini, sesuai

dengan penelitian oleh Diding (2007)31 yang menyebutkan bahwa OVA yang

diberikan akan didegradasi oleh APC menjadi peptida-peptida yang dikenali oleh

sel Th2 sehingga menyebabkan sel Th2 mengeluarkan sitokin proinflamasi. Salah

satu sitokin proinlamasi yang berpengaruh pada perekrutan eosinofil pada lokasi

inflamasi adalah IL-5.31 Hal ini juga sesuai dengan penelitian Kim (2018)56 yang

menyebutkan bahwa pemberian ovalbumin pada mencit dapat meningkatkan

perekrutan eosinofil di paru sehingga dijadikan sebagai kontrol positif. Perbedaan

yang signifikan ini juga berarti bahwa pemberian NaCMC tidak menginduksi

inflamasi.

Pada kelompok P1, jumlah rerata eosinofil adalah 23. Hasil uji statistik

Post Hoc Mann-Whitney pada kelompok K3 dan kelompok P1 menunjukkan

p=0,032 (p<0,05) sehingga terdapat perbedaan signifikan jumlah eosinofil pada

kedua kelompok. Hal ini dikarenakan oleuropein pada ekstrak daun zaitun dapat

melemahkan ekspresi sitokin proinflamasi seperti TNF-a dan IL-1b, sesuai

dengan penelitian oleh Barbara (2014)9 dan Kim (2018)56 yang berarti bahwa

pemberian ekstrak metanol daun zaitun dengan dosis 100mg/kgBB dapat

memberikan efek anti-inflamasi. Pelemahan ekspresi sitokin proinflamasi tersebut

dapat menurunkan ekspresi COX-2, enzim yang akan merubah asam arakidonat

menjadi prostaglandin, sehingga prostaglandin menurun dan perekrutan eosinofil

juga menurun.

Page 58: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

41

Pada kelompok P2, jumlah rerata eosinofil adalah 20. Hasil uji statistik

Post Hoc Mann-Whitney didapatkan tidak adanya perbedaan jumlah eosinofil

signifikan, p=0,772 (p>0,05), jika dibandingkan dengan kelompok P1. Belum ada

referensi yang menyebutkan mengenai perbedaan efek ekstrak daun zaitun pada

dosis yang berbeda. Sedangkan jika kelompok P2 dibandingkan dengan kelompok

K3 secara statistik Post Hoc Mann-Whitney, hasilnya menunjukkan p=0,034

(p<0,05) sehingga terdapat perbedaan signifikan pada jumlah eosinofil keduanya.

Hal ini sesuai dengan penelitian Kim (2018)54, yang menyebutkan bahwa

pemberian oleuropein secara oral mengurangi influks eosinofil dan limfosit ke

saluran napas serta sekresi IL-4 di paru yang diinduksi oleh ovalbumin sehingga

dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak metanol daun zaitun dengan dosis

200mg/kgBB dapat memberikan efek anti-inflamasi.

Pada B, jumlah rerata eosinofil adalah 35. Setelah diuji secara statistic

Post Hoc Mann-Whitney didapatkan perbedaan signifikan, p=0,025 (p<0,05),

pada jumlah eosinofil kelompok B dibandingkan kelompok K3. Hal ini sesuai

dengan penelitian Peter (2012)43, yang menyebutkan bahwa kortikosteroid dapat

berikatan dengan GR, mengaktifkannya, kemudian menghambat HAT dan

merekrut HADC2 sehingga menekan gen-gen inflamasi yang teraktifkan saat

asma. Hal ini berarti budesonid memiliki efek anti-iflamasi pada mencit yang

sebelumnya telah diinduksi inflamasi oleh OVA.

Kesimpulan tersebut juga didukung oleh hasil uji statistik Post Hoc

Mann-Whitney kelompok K2 dengan kelompok B yang hasilnya tidak terdapat

perbedaan signifikan jumlah eosinofil pada kelompok B dengan p=0,297 (p>0,05)

sehingga dapat disimpulkan bahwa budesonid dapat menurunkan proses inflamasi

dimana jumlah rerata eosinofilnya tidak berbeda secara signifikan dengan

kelompok K2. Hal ini sesuai dengan penelitian Fokje (2000)57, yang menyebutkan

bahwa budesonid menghambat aktivasi eosinofil secara in vitro yang utamanya

melalui efek pada fibroblas paru, yang diasumsikan dengan menghambat produksi

granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Penghambatan

aktivasi eosinofil, dan mekanisme kerja kortikosteroid inilah yang dapat

Page 59: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

42

menurunkan jumlah eosinofil pada kelompok B hingga tidak ada perbedaan

dengan kelompok K2.

Jika kelompok B dibandingkan dengan kelompok P1, secara statistik

Post Hoc Mann-Whitney, tidak terdapat perbedaan signifikan jumlah eosinofil

pada keduanya dengan p=0,085 (p>0,05). Ini sesuai dengan penelitian Barbara

(2014)9 dan Peter (2012)43, bahwa oleuropein pada ekstrak daun zaitun memiliki

efek anti-inflamasi dan bahwa kortikosteroid dapat menekan gen-gen inflamasi

yang teraktivasi saat asma. Kedua penelitian ini mendukung bahwa kelompok B

dan P1 sama-sama dapat menurunkan efek inflamasi pada asma sehingga jumlah

eosinofil pada kedua kelompok tersebut tidak berbeda secara signifikan sehingga

dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak metanol daun zaitun 100mg/kgBB

memiliki efek anti-inflamasi yang sama dengan budesonid.

Namun, jika dibandingkan dengan kelompok P2, secara statistik, terdapat

perbedaan signifikan pada kelompok B dan P2 dengan p=0,014 (p<0,05).

Dikarenakan belum ada penelitian yang menyebutkan perbedaan efek pada dosis

ekstrak metanol daun zaitun yang berbeda, maka belum bisa disimpulkan apakah

perbedaan signifikan pada kelompok B dan P2 adalah dikarenakan perbedaan efek

anti-inflamasi dosis kelompok P1 dan P2. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk

mengetahui adanya perbedaan efek anti-inflamasi pada dosis ekstrak metanol

daun zaitun yang lebih bervariasi.

Pada kelompok E1, jumlah rerata eosinofil adalah 30. Pada kelompok

E2, jumlah rerata eosinofil adalah 32. Berdasarkan uji statistik Post Hoc Mann-

Whitney, jika dibandingkan antara kelompok E1 dan E2, didapatkan p=0,453

(p>0,05), maka tidak didapatkan perbedaan signifikan jumlah eosinofil sehingga

dapat disimpulkan bahwa pemberian dosis yang berbeda pada ekstrak metanol

daun zaitun tidak memberikan efek anti-inflamasi yang berbeda (tidak bersifat

dose-dependent).

Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil statistik perbandingan kelompok P1

dan P2 yang hasilnya p=0,772 (p>0,05) tidak berbeda secara signifikan sehingga

pemberian ekstrak metanol daun zaitun dengan dosis 100mg/kgBB atau

200mg/kgBB tidak memberikan efek anti-inflamasi yang berbeda. Belum ada

Page 60: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

43

penelitian yang menguatkan ada atau tidaknya perbedaan efek pada dosis ekstrak

metanol daun zaitun yang berbeda sehingga masih perlu penelitian lebih jauh

mengenai dosis ekstrak metanol daun zaitun yang lebih bervariasi.

Namun, jika kelompok E1 dan E2 dibandingkan dengan kelompok K3,

secara statistik Post Hoc Mann-Whitney, maka didapatkan secara berurutan

p=0,024 dan p=0,050 (p<0,05) sehingga terdapat perbedaan signifikan pada

jumlah eosinofil. Jumlah eosinofil pada kelompok K3 lebih banyak secara

signifikan dibandingkan kelompok E1. Hal ini sesuai dengan penelitian Barbara

(2014)9 dan El (2009)17 yang menyebutkan bahwa oleuropein pada ekstrak daun

zaitun memiliki efek anti-inflamasi yang tidak menginduksi inflamasi sehingga

pada kelompok E1, jumlah eosinofil lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok

K3 yang memang hanya diberi OVA.

Kesimpulan bahwa ekstrak metanol daun zaitun tidak menginduksi

inflamasi didukung dengan uji statistik Post Hoc Mann-Whitney antara kelompok

E1 dan E2 dibandingkan dengan kelompok K2 yang mengahasilkan nilai, secara

berurutan, p=1,000 dan p=0,513 (p>0,05) sehingga tidak didapatkan perbedaan

signifikan diantara jumlah eosinofil keduanya. Hal ini berarti pemberian ekstrak

metanol daun zaitun tidak menginduksi inflamasi sehingga dapat dipastikan

bahwa inflamasi yang terjadi pada kelompok perlakuan bukan diakibatkan

pemberian ekstrak metanol daun zaitun.

Namun, jika dilihat dari jumlah rerata eosinofil pada kelompok E1, E2,

B, K1, dan K2 dibandingkan dengan kelompok K3 umumnya perbedaan jumlah

rerata eosinofilnya sebanyak setengahnya. Meskipun secara statistik hasilnya

berbeda secara signifikan, tetapi masih dapat diindikasikan adanya pengaruh lain

yang terlibat dalam perekrutan eosinofil sehingga perbedaan jumlah rerata

eosinofil pada kelompok E1, E2, B, K1, dan K2 sebesar 50% lebih sedikit

dibandingkan dengan kelompok K3. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya

pengaruh lingkungan terhadap proses inflamasi. Ditinjau dari Laboratorium

Hewan yang ada pada FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terdapat beberapa hal

yang dapat mempengaruhi proses inflamasi, yaitu ventilasi udara yang tidak

berjalan sehingga mengakibatkan udara di Laboratorium Hewan tidak bersirkulasi

Page 61: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

44

dengan baik dan mengakibatkan bahan-bahan iritan atau alergen terus berada di

tempat tersebut. Selain itu, serbuk yang digunakan sebagai sekam untuk

mengalasi kandang mencit terbuat dari kayu serut yang berpotensi menjadi

sumber iritan dan pemicu inflamasi jika terhirup oleh mencit.

Dari seluruh hasil uji statistik perbandingan kelompok-kelompok

perlakuan menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun zaitun memiliki efek anti-

inflamasi yang dapat berpotensi menjadi pengobatan asma di masa depan. Ini juga

menunjukkan bahwa tanaman zaitun, seperti yang sudah disebut oleh Allah SWT

dalam Al-Qur’an Q.S. An-Nuur ayat 35, merupakan tanaman yang diberkahi.

Diharapkan dengan adanya penelitian ini, peneliti lain dapat termotivasi dan

berprasangka baik terhadap maksud-maksud Allah SWT mengenai tanaman

zaitun sehingga tanaman zaitun dapat lebih diteliti dan dikembangkan budidaya,

manfaat, serta penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama pada bidang

kesehatan karena “tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga

menurunkan penawarnya,” (HR. Bukhari).

4.4. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki banyak keterbatasan, antara lain :

1. Ketidaksempurnaan dalam proses pembuatan preparat sehingga

beberapa preparat tidak dapat dinilai.

2. Interval dosis yang dipakai untuk ekstrak metanol daun zaitun 100

mg/kgBB dan 200 mg/kgBB masih cukup jauh.

3. Aspek subjektivitas pada proses identifikasi eosinofil.

4. Keadaan lingkungan Laboratorium Hewan yang berpotensi

menyebabkan inflamasi.

Page 62: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

45

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, peneliti menyimpulkan bahwa:

1. Pemberian EMDZ dosis 100 mg/kgBB pada mencit galur DDY

yang diinduksi asma memiliki gambaran serta jumlah rerata

eosinofil yang lebih sedikit dengan perbedaan signifikan jika

dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi ovalbumin

sehingga pemberian EMDZ dosis 100 mg/kgBB memiliki efek

anti-inflamasi.

2. Pemberian EMDZ dosis 200 mg/kgBB pada mencit galur DDY

yang diinduksi asma memiliki gambaran serta jumlah rerata

eosinofil yang lebih sedikit dengan perbedaan signifikan jika

dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi ovalbumin

sehingga pemberian EMDZ dosis 200 mg/kgBB memiliki efek

anti-inflamasi.

3. Pemberian PBS dengan NaCMC tidak memiliki gambaran serta

rerata jumlah eosinofil yang berbeda secara signifikan

dibandingkan kelompok PBS tanpa NaCMC sehingga pemberian

NaCMC tidak menginduksi inflamasi.

4. Pemberian EMDZ dosis 100mg/kgBB dan 200mg/kgBB pada

mencit galur DDY yang tidak diinduksi asma memiliki gambaran

serta rerata jumlah eosinofil yang tidak berbeda secara signifikan

dengan kelompok yang diberi PBS dengan NaCMC, tetapi

memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok yang

hanya diberi ovalbumin sehingga pemberian EMDZ dosis 100

mg/kgBB dan 200 mg/kgBB tidak menginduksi inflamasi.

Page 63: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

46

5.2. Saran

Untuk penelitian selanjutnya :

1. Memperbanyak sampel penelitian sebagai data penelitian pada

masing-masing kelompok.

2. Memperbanyak variasi dosis yang dipakai dalam penelitian, supaya

dapat membandingkan efek dosis yang berbeda.

3. Membandingkan dengan hewan coba yang lebih sensitif terhadap

reaksi alergi, seperti BALB/c.

4. Penilaian dan identifikasi eosinofil dilakukan oleh minimal 2 orang

untuk meminimalisir subjektivitas.

Page 64: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

47

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2013.

2. World Health Organization. Country statistics and global health estimates 2015. Tersedia dari http://www.who.int/gho/countries/idn.pdf?ua=1 [diakses pada tanggal 27 Juni 2018].

3. Supriyatna, R. Maya F, Dewanto, Indra W, Ferry F. Fitoterapi sistem organ: pandangan dunia barat terhadap obat herbal global. Yogyakarta: Dee Publish; 2015.

4. Supardi S, Susyanty AL. Penggunaan obat tradisional dalam upaya pengobatan sendiri di Indonesia (analisis data susenas tahun 2007). Bul Penelit Kesehat 2010; 38(2): 80-9.

5. Hashmi MA, Khan A, Hanif M, Farooq U, Perveen S. Traditional uses, phytochemistry, and pharmacology of olea europaea (Olive). Evidence-Based Complementary Alternative Medicine 2015: 541-91. Tersedia dari doi: 10.1155/2015/541591 [diakses pada tanggal 17 Juli 2018].

6. Boss A, Bishop KS, Marlow G, Barnett MPG, Ferguson LR. Evidence to Support the Anti-Cancer Effect of Olive Leaf Extract and Future Directions. Nutrients 2016; 8(8): 513. Tersedia dari doi: 10.3390/nu8080513 [diakses pada tanggal 17 Juli 2018].

7. Qutayba H, Meri KT, Mark CL, Redwan M. Inflammatory cells in asthma: mechanisms and implications for therapy. Journal of Allergy Clinical Immunology 2003; 111(1): 5-17.

8. Chiapetta A, Muzzalupo I. Botanical description in: olive germplasm ¾ the olive cultivation, table olive and olive oil industry in italy. Italy: InTech; 2012.

9. Barbara B, et al. Effects of the olive-derived polyphenol oleuropein on human health. International Journal of Molecular Sciences. 2014;15(10):18508-18524. Tersedia dari doi: 10.3390/ijms151018508 [diakses pada tanggal 19 Juli 2018].

10. Hamdi HK, Castellon R. Oleuropein, a non-toxic olive iridoid, is an anti-tumor agent and cytoskeleton disruptor. Biochemical and Biophysical Research Communications 2005; 334: 769–78. Tersedia dari doi: 10.1016/j.bbrc.2005.06.161 [diakses pada tanggal 21 Juli 2018].

11. Casaburi I, et al. Potential of olive oil phenols as chemopreventive and therapeutic agents against cancer: A review of in vitro studies. Molecular Nutrition Food Research 2013; 57: 71–83. Tersedia dari doi: 10.1002/mnfr.201200503 [diakses pada tanggal 21 Juli 2018].

12. Hamdi HK, Tavis R, Castellon R. Methods for inhibiting angiogenesis. U.S. Patent 2003.

13. Park S, Choi Y, Um SJ, Yoon SK, Park T. Oleuropein attenuates hepatic steatosis induced by high-fat diet in mice. Journal of Hepatology 2011; 54: 984–93. Tersedia dari doi: 10.1016/j.jhep.2010.08.019 [diakses pada tanggal 29 Juli 2018].

Page 65: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

48

14. Kim SW, et al. Oleuropein prevents the progression of steatohepatitis to hepatic fibrosis induced by a high-fat diet in mice. Experimental and Molecular Medicine 2014; 46: e92. Tersedia dari doi: 10.1038/emm.2014.10 [diakses pada tanggal 29 Juli 2018].

15. De La Puerta R, Domínguez MEM, Ruíz-Gutíerrez V, Flavill JA, Hoult JRS. Effects of virgin olive oil phenolics on scavenging of reactive nitrogen species and upon nitrergic neurotransmission. Life Sciences 2001; 69: 1213–22. Tersedia dari doi: 10.1016/S0024-3205(01)01218-8 [diakses pada tanggal 29 Juli 2018].

16. De La Puerta R, Ruiz Gutierrez V, Hoult JR. Inhibition of leukocyte 5-lipoxygenase by phenolics from virgin olive oil. Biochemical Pharmacology 1999; 57: 445–9. Tersedia dari doi: 10.1016/S0006-2952(98)00320-7 [diakses pada tanggal 31 Juli 2018].

17. El SN, Karakaya S. Olive tree (Olea europaea) leaves: potential beneficial effects on human health. Nutritions Reviews 2009; 67: 632–8. Tersedia dari doi: 10.1111/j.1753-4887.2009.00248.x [diakses pada tanggal 31 Juli 2018].

18. Murphy MP, et al. Unraveling the biological roles of reactive oxygen species. Cell Metabolism 2011; 13: 361–6. Tersedia dari doi: 10.1016/j.cmet.2011.03.010 [diakses pada tanggal 1 Agustus 2018].

19. D’Archivio M, Filesi C, Varì R, Scazzocchio B, Masella R. Bioavailability of the polyphenols: Status and controversies. International Journal of Molecular Sciences 2010; 11: 1321–42. Tersedia dari doi: 10.3390/ijms11041321 [diakses pada tanggal 1 Agustus 2018].

20. Serra A, et al. Distribution of olive oil phenolic compounds in rat tissues after administration of a phenolic extract from olive cake. Molecular Nutrition and Food Research 2012; 56: 486–96. Tersedia dari doi: 10.3109/13693786.2010.504752 [diakses pada tanggal 10 Agustus 2018].

21. Lin P, Qian W, Wang X, Cao L, Li S, Qian T. The biotransformation of oleuropein in rats. Biomedical Chromatography 2013; 27: 1162–7. Tersedia dari doi: 10.3109/13693786.2010.504752 [diakses pada tanggal 10 Agustus 2018].

22. Corona G, et al. The fate of olive oil polyphenols in the gastrointestinal tract: Implications of gastric and colonic microflora-dependent biotransformation. Free Radical Research 2006; 40: 647–58. Tersedia dari doi: 10.1080/10715760500373000 [diakses pada tanggal 14 Agustus 2018].

23. Newman D. Dorland’s illustrated medical dictionary. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.

24. Agarwal R, Gupta D. Severe asthma and fungi: current evidence. Medical Mycology 2011; 49(1): 150–7. Tersedia dari doi: 10.3109/13693786.2010.504752 [diakses pada tanggal 14 Agustus 2018].

25. Corrigan CJ, Kay AB. The roles of inflammatory cells in the pathogenesis of asthma and of chronic obstructive pulmonary disease. The American Review of Respiratory Disease 1991; 143(5): 1165-8. Tersedia dari doi: 10.1164/ajrccm/143.5_Pt_1.1165 [diakses pada tanggal 14 Agustus 2018].

26. Steven W, Barbara C, Jess M. Principles of pulmonary medicine. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014.

Page 66: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

49

27. Anthony F. Harrison’s principles of internal medicine. New York: McGraw Hill; 2008.

28. Nandedkar SD, et al. Histopathology of experimentally induced asthma in a murine model of sickle cell disease. Blood 2008; 112(6): 2529-38. Tersedia dari doi: 10.1182/blood-2008-01-132506 [diakses pada tanggal 14 Agustus 2018].

29. Majid K, Vahideh G, Mohammad HB. Animal model of asthma, various methods, and measured parameters: a methodological review. Iranian Journal of Allergy, Asthma, and Immunology 2016; 15(6): 445-65.

30. Marcelo VA, . Animal models of asthma: utility and limitations. Journal of Asthma and Allergy 2017; 10: 293-301. Tersedia dari doi: 10.2147/JAA.S121092 [diakses pada tanggal 14 Agustus 2018].

31. Diding HP. Efek pemaparan ovalbumin aerosol terhadap eosinofilia bronkus pada mencit balb/c. Nexus Medicus Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta 2007: 9-13.

32. Aditya D. Organ reproduksi dan kualitas sperma mencit (Mus musculus) yang mendapat pakan tambahan kemangi (ocinum basilicum) segar. Program Studi Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor 2006.

33. Fransius S. Penampilan reproduksi mencit (Mus musculus) yang diberi daun torbangun (Coleus ambonicuslour) dan taraf sop daun torbangun kering. Program Studi Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor 2008.

34. Carl L. Tomus I. Syst. nat., 10th ed. Homiae, Laurentii Salvii 1758;1-4:1-824. 35. The Jackson Laboratory. Mouse strain datasheet 002243. Tersedia dari:

https://www.jax.org/strain/002243 [diakses pada tanggal 12 Agustus 2018]. 36. Maria A. Buku ajar ekstraksi dan real krematografi. Yogyakarta: Deepublish

Publisher; 2017. 37. Lusiana A, Rice DO, Idha K. Pengaruh jenis pelarut terhadap kadar sinensetin

dalam ekstrak daun ortosiphon stamineus benth. E-Journal Planta Husada 2014; 2(1): 1.

38. Abaza L, Taamalli A, Nsir H, Zarrouk M. Olive tree (Olea europeae L.) leaves: importance and advances in the analysis of phenolic compounds. Antioxidants 2015; 4(4): 682-98. Tersedia dari doi: 10.3390/antiox4040682 [diakses pada tanggal 14 Agustus 2018].

39. Lauralee S. Fundamentals of human physiology. California: Cengange Learning; 2012.

40. Peter JB, et al. Asthma and copd basic mechanisms and clinical management. USA: Elsevier; 2009.

41. Leena G, Critopher EB. Eosinophilic airway inflammation: role in asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Therapeutic Advances in Chronic Disease 2015: 2-4. Tersedia dari doi: 10.1177/2040622315609251 [diakses pada tanggal 12 Agustus 2018].

42. Yan S, et al. The effects of budesonide on angiogenesis in a murine asthma model. Archives of Medical Sciences 2013; 9, 2: 361-7. Tersedia dari doi: 10.5114/aoms.2013.33194 [diakses pada tanggal 12 Agustus 2018].

Page 67: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

50

43. Peter JB. Corticosteroid therapy for asthma. Pulmão RJ 2012; 21(2): 53-9. 44. Kemenkes RI. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor

hk.02.02/menkes/523/2015. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: Indonesia; 2015.

45. GINA. Pocket guide for asthma management and prevention: for adults and children older than 5 years. Global Initiative for Asthma 2018: 11-20.

46. Vijay KT, Manju KT. Handbook of polymers for pharmaceutical technologies. USA: Scrivener Publishing; 2015.

47. Haynes WM. CRC Handbook of chemistry and physics. USA: CRC Press Inc.; 2011.

48. He P, Zou Y, Hu Z. Advances in aluminum hydroxide-based adjuvant research and its mechanism. Human Vaccines & Immunotherapeutics 2015; 11(2): 477-88. Tersedia dari doi: 10.1080/21645515.2014.1004026 [diakses pada tanggal 14 Agustus 2018].

49. Piper M, Suzanne M, Kathleen S. Comparative anatomy and histology: a mouse, rat, and human atlas. UK: Elsevier; 2018.

50. Reddy AT. Murine model of allergen induced asthma. Journal of Visualized Experiments 2012; 63: 1–7. Tersedia dari doi: 10.3791/3771 [diakses pada tanggal 14 Agustus 2018].

51. Singh AS, Masuku MB. Sampling techniques and determination of sample size in applied statistics research: an overview. Journal of Economics 2014; 2(11).

52. Sari AP. Karakter vegetatif tanaman zaitun (Oleo europaea L.) pada kondisi tanam yang berbeda serta konsentrasi oleuropein dan asam askorbat pada daunnya. Institut Pertanian Bogor (IPB) 2016. Tersedia dari http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/81689 [Diakses tanggal 17 September 2018].

53. Budhi A. Tumbuhan dengan kandungan senyawa aktif yang berpotensi sebagai bahan antifertilitas. Adabia Press 2010: 7. Tersedia dari http://hdl.handle.net/123456789/1705 [Diakses tanggal 17 September 2018].

54. Tahara DS. Uji toksisitas akut dan efek anti-inflamasi ekstrak metanol dan n-heksana daun papaya (Carica papaya L.) Pharmaceutical Sciences and Research 2015; 2(2): 112. Tersedia dari doi: 10.7454/psr.v2i2.3341 [diakses pada tanggal 14 September 2018].

55. Haryoto, Kendri SY, Nurcahyanti W. Efek anti-inflamasi ekstrak etanol kulit kacang tanah (Arachis hypogaea L.) pada tikus putih jantan galur wistar yang diinduksi karagenin. Pharmacon 2011; 11(1): 11. Tersedia dari http://journals.ums.ac.id/index.php/pharmacon/article/view/63/61[diakses tanggal 18 September 2018].

56. Kim YH, et al. Oleuropein curtails pulmonary inflammation and tissue destruction in models of experimental asthma and emphysema. Journal of Agricultural and Food Chemistry 2018; 66(29): 7643-54. Tersedia dari doi: 10.1021/acs.jafc.8b01808 [diakses pada tanggal 20 September 2018].

57. Fokje MS, et al. Effects of budesonide and formoterol on eosinophil activation induced by human lung fibroblasts. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine 2000; 162(4): 1229-34. Tersedia dari

Page 68: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

51

doi: 10.1164/ajrccm.162.4.9911077 [diakses pada tanggal 21 September 2018].

58. Tomomi Y, Kyoko K, Osamu E. The ddY mouse: a model of postprandial hypertriglyceridemia in response to dietary fat. Journal of Lipid Japan 2012; 53: 2024-37. Tersedia dari doi: 10.1194/jlr.M023713 [diakses pada tanggal 21 September 2018].

59. P. Michael Conn. Animal models for the study of human disease. Academic Press 2017; 2: 404. Tersedia dari doi: 10.1016/C2011-0-05225-0.= [diakses pada tanggal 30 September 2018].

Page 69: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

52

LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Determinasi Tanaman Zaitun

Page 70: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

53

Lampiran 2 Data Rendemen Ekstrak Metanol Daun Zaitun

Page 71: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

54

Lampiran 3 Surat Keterangan Sehat Hewan

Page 72: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

55

Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian

Gambar 6.1. Daun Zaitun (Olea europaea L.)

(dokumentasi pribadi)

Gambar 6.2. Pembuatan Ekstrak Metanol Daun Zaitun

(dokumentasi pribadi)

Page 73: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

56

Gambar 6.3. Aklimatisasi Hewan Coba

(dokumentasi pribadi)

Gambar 6.4. Sensitisasi Hewan Coba

(dokumentasi pribadi)

Page 74: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

57

Gambar 6.5 Penyondean Mencit

(dokumentasi pribadi)

Gambar 6.6 Nebulisasi Hewan Coba (dokumentasi pribadi)

Gambar 6.7 Nekropsi dan Pengambilan Organ Paru (dokumentasi pribadi)

Page 75: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

58

Lampiran 5 Analisis Data

Tabel 6.1. Uji Normalitas

Tabel 6.2. Uji Normalitas setelah Transformasi Data

Page 76: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

59

Tabel 6.3. Uji Kruskal-Wallis

Tabel 6.4. Uji Post-Hoc Mann-Whitney

Page 77: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

60

Page 78: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

61

Page 79: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

62

Page 80: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

63

Page 81: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

64

Page 82: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

65

Page 83: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

66

Page 84: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

67

Page 85: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

68

Page 86: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

69

Page 87: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

70

Page 88: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

71

Page 89: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

72

Page 90: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

73

Page 91: Haseena Hersiwinukir-FK.pdf

74

Lampiran 6 Riwayat Penulis

Nama : Haseena Hersiwinukir

NIM : 11151030000028

Tempat, tanggal lahir : Sukabumi, 7 Agustus 1996

Agama : Islam

Alamat : Kompleks LP Pemuda RT04/09 No.60, Buaran Indah,

Tangerang, Kota Tangerang, Banten

Email : [email protected]

Riwayat pendidikan :

2001-2002 : TK Aisyah 2, Sukabumi

2002-2008 : SDN Tangerang 12

2008-2011 : SMPN 1 Kota Tangerang

2011-2014 : SMAN 1 Kota Tangerang

2015-sekarang : Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta