i HAMBATAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPS BERBASIS KTSP DI KELAS III SD se-KECAMATAN GUNUNGPATI SEMARANG SKRIPSI Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan Oleh : EKA DESI DAMAYANTI 1401412328 JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016
103
Embed
HAMBATAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPS BERBASIS KTSP …lib.unnes.ac.id/28461/1/1401412328.pdf · skripsi yang berjudul “Hambatan Pelaksanaan Pembelajaran IPS Berbasis KTSP Di Kelas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
HAMBATAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPS
BERBASIS KTSP DI KELAS III SD se-KECAMATAN
GUNUNGPATI SEMARANG
SKRIPSI
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan
Oleh :
EKA DESI DAMAYANTI
1401412328
JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
saya yang bertandatangan di bawahini
Nama : Eka Desi Damayanti
Nim : 1401412328
JudulSkripsi : Hambatan Pelaksanaan Pembelajaran IPS Berbasis KTSP di
Kelas III SD Se-Kecamatan Gunungpati Semarang
Menyatakan bahwa isi skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan
jiplakan dari karya orang lain, baik sebagaian atau seluruhnya. Pendapat atau
temuan orang lain yang terdapat pada skripsi ini dirujuk berdasarkan kode etik
ilmiah.
Semarang, 5 September 2016
Eka Desi Damayanti
1401412328
Semarang, 5 September
EkE a Desi Damayantiii
iii
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu
kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia
dengan kemajuan selangkah pun.” (Ir. Soekarno)
“Pendidikan bukanlah sesuatu yang diperoleh seseorang, tapi pendidikan adalah
sebuah proses seumur hidup” (Gloria Steinem)
Persembahan:
Skripsi ini dipersembahkan untuk:
Kedua orang tuaku, Bapak Darwanto dan
Ibu Walinah yang selalu memberikan do’a
dan dukungannya untuk saya.
Almamaterku tercinta
vi
PRAKATA Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Hambatan Pelaksanaan Pembelajaran IPS Berbasis KTSP
Di Kelas III SD se-Kecamatan Gunungpati Semarang” dengan baik dan lancar.
Skripsi ini ditulis untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi di
Universitas Negeri Semarang jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak yang telah
memberikan masukan kepada peneliti, oleh karena itu dengan penuh kerendahan
hati menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang
yang telah memfasilitasi selama kuliah,
2. Prof. Dr. Fakhruddin, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Semarang yang telah mengijinkan melakukan penelitian,
3. Drs. Isa Ansori, M.Pd., Ketua jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar
yang telah memberikan bantuan pelayanan khususnya dalam penyelesaian
skripsi ini,
4. Dra. Nuraeni Abbas, M.Pd., Dosen Pembimbing I yang telah
membimbing, mengarahkan, dan memotivasi dalam penulisan skripsi ini,
5. Dra. Sumilah, M.Pd., Dosen Pembimbing II yang senantiasa membimbing
dengan baik,
6. Bapak/ Ibu Kepala Sekolah yang telah menginjinkan melakukan
penelitian,
7. Bapak/ Ibu guru kelas III yang bersedia membantu dalam pelaksanaan
penelitian,
8. Saudara, sahabat, teman seperjuangan dan semua pihak yang telah
membantu dan memberi motivasi dalam penulisan dan penyelesaian
skripsi ini.
vii
Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih belum
sempurna, diharapkan saran dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya, peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
peneliti dan pembaca.
Semarang, 5 September 2016
Eka Desi Damayanti Eka Desi Damayanti
viii
ABSTRAK
Eka Desi Damayanti, 2016, Hambatan Pelaksanaan Pembelajaran IPS Berbasis
KTSP di Kelas III SD se-Kecamatan Gunungpati Semarang, Skripsi,
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas
Negeri Semarang, Pembimbing Dra. Nuraeni Abbas, M. Pd., Dra. Sumilah,
M. Pd.
Aktivitas belajar bagi setiap individu tidak selamanya dapat berlangsung
secara wajar, kadang-kadang individu memiliki semangat tinggi, tetapi kadang-
kadang juga sulit untuk menumbuhkan konsentrasi. Dalam pelaksanaan proses
pembelajaran sering ditemui berbagai faktor penghambat. Hambatan tersebut
dapat datang dari guru, peserta didik, lingkungan keluarga maupun faktor fasilitas.
Permasalahan yang dibahas pada penelitian ini: 1) Bagaimanakah tingkat
hambatan dalam pembelajaran IPS berbasis KTSP di kelas III SD; 2)
Bagaimanakah cara mengatasi hambatan-hambatan dalam pembelajaran IPS
berbasis KTSP di kelas III SD. Tujuan dari penelitian ini: 1) Mendeskripsikan
tingkat hambatan dalam pembelajaran IPS berbasis KTSP di kelas III SD; 2)
Mendeskripsikan cara mengatasi hambatan-hambatan dalam pembelajaran IPS
berbasis KTSP di kelas III SD.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan lokasi SD
se-Kecamatan Gunungpati. Teknik penelitan yang digunakan: 1) observasi; 2)
wawancara; 3) catatan lapangan; dan 4) dokumentasi. Analisis data yang
dilakukan yaitu 1) reduksi data; 2) penyajian data; dan 3) penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini, bahwa tingkat hambatan pembelajaran IPS kelas III
terbagi dalam 4 kategori yaitu Rendah, Cukup Tinggi, Tinggi, dan Sangat Tinggi.
Data yang didapatkan di 4 SD memiliki kategori tingkat hambatan yang sama
yaitu Cukup Tinggi namun dengan jumlah skor yang berbeda. Satu SD dengan
skor 31, dua SD dengan skor 20, dan satu SD dengan skor 27. Hambatan yang
sering terjadi dalam proses pembelajaran adalah masalah alokasi waktu dan
tingkat kejenuhan peserta didik yang tinggi dalam mengikuti pembelajaran IPS.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa tingkat hambatan di 4 SD yang diteliti memiliki kategori yang
sama, yaitu Cukup Tinggi dengan skor yang berbeda-beda. Cara mengatasinya
dengan merangkum materi yang akan disampaikan dan menggunakan media
interaktif yang menarik. Saran kepada guru agar mampu menambah wawasan
untuk mengatasi hambatan yang terjadi. Bagi sekolah agar mampu memenuhi
fasilitas yang menunjang proses pembelajaran untuk meminimalisir hambatan
yang sering terjadi.
Kata Kunci: hambatan; pembelajaran; IPS
ix
ABSTRACT
Eka Desi Damayanti, 2016, The Obstacles of IPS Learning Based KTSP Third
Grade Elementary School, Final Project, Elementary School Teacher
Education Program, Faculty of Education,Semarang State University,
Advisor Nuraeni Abbas, M. Pd., Dra. Sumilah, M. Pd.
For each individual, learning activity can’t going on naturally, sometimes
the spirit is powerful, but sometimes it also difficult to grow the concentration..
In learning process, there will be found some obstacle factors. Those obstacles
may come from teacher it self, students, family and also from the learning facility.
Set of the problems of this research: 1) How’s the obstacle level in IPS learning
based KTSP in third grade elementary school; 2) How’sthe way to solve the
obstacles in IPS learning based KTSP in third grade elementary school. This
reasearch aimed: 1) describe the obstacle level in IPS learning based KTSP in
third grade elementary school; 2) describe the way to solve the obstacles in IPS
learning based KTSP in third grade elementary school.
This research used descriptive qualitative method, located in SD
Kecamatan Gunungpati. Data collection technique used: 1) observation; 2)
interview; 3) field note; and 4) documentation. Data analyze used are: 1) data
reduction; 2) data display; and 3) conclusion.
The result of the research indicate that the obstacle level of IPS learning
based KTSP in 3rd grade divided in 4 categories , those are Minus, Quite,
Goodand Excellent.All four elementary school data showed the same category for
the obstacle level, but with different total score.One school get 31 point, two
school get 20 point and one school get 27 point. The obstacles often happen are
time allocation problem and student’s high saturation level when they attend IPS
learning.
Based on the result and investigation in the chapter before conclud that the
level of the obstacle in four elementary school have the same category, it is Quite
High with different score. To solve the obstacle, teacher shall make summary and
use the interactive media. Teachers are suggested to develop their knowledge to
solve the obstacle. School may complete the facilities to minimalize the obstacle.
Keywords: IPS; learning; obstacle
x
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ................................................................................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iii
PENGESAHAN ........................................................................................................ vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v
PRAKATA ................................................................................................................ vi
ABSTRAK ............................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. x
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xv
DAFTAR DIAGRAM .............................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 6
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
perkembangan suatu bangsa. Pendidikan yang berkualitas mampu
menghasilkan sumber daya manusia yang mampu berpikir tinggi dan
kreatif. Suatu bangsa akan berkembang maju, apabila semua warga negara
sadar akan pentingnya pendidikan dan selalu berusaha untuk
meningkatkan kualitas pendidikannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 1 Ayat 3 disebutkan bahwa sistem
pendidikan nasional merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang
saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3
Sisdiknas 2003). Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang merumuskan Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
serta peradaban bangsa yang bemartabat dalam
2
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggungjawab.
Pendidikan sangat erat kaitannya dengan pembelajaran, salah satu
pembelajaran yang penting di Sekolah Dasar adalah pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS).
Istilah IPS di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1970-an sebagai hasil
kesepakatan komunitas akademik dan secara formal mulai digunakan dalam
sistem pendidikan nasional dalam Kurikulum 1975. Dalam dokumen
kurikulum tersebut, IPS merupakan salah satu nama mata pelajaran yang
diberikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Mata pelajaran IPS
merupakan integrasi dari mata pelajaran Sejarah, Geografi, dan Ekonomi
serta mata pelajaran ilmu sosial lainnya ( Sapriya, 2015: 7). Pembelajaran
IPS menuntut peserta didik untuk memahami apa yang telah dipelajari dan
memberikan contoh-contoh nyata dalam lingkungan masyarakat dari materi
yang telah dipelajari.
Pengetahuan sosial memuat berbagai tujuan pokok pengajaran, yaitu: (a)
mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya; (b) memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan
kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan
dalam kehidupan sosial; (c) memiliki komitmen dan kesadaran terhadap
nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; (d) memiliki kemampuan berkomunikasi,
3
bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat
lokal, nasional, dan global.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa masih banyak permasalahan
pelaksanaan standar isi mata pelajaran IPS. Khususnya dalam menerapkan
pembelajaran lebih menekankan pada model yang mengaktifkan guru,
pembelajaran yang dilakukan kurang kreatif, lebih banyak menggunakan
metode ceramah dan kurang mengoptimalkan media pembelajaran, sehingga
peserta didik menjadi kurang aktif dalam proses pembelajaran (Depdiknas,
2007).
Rendahnya hasil belajar IPS merupakan masalah yang banyak
dihadapi oleh para pengajar, kecenderungan peserta didik mengalami
kesulitan dalam belajar, khusunya dalam belajar Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS). Secara garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kelompok, yaitu kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan
(developmental learning disabilities) dan kesulitan belajar akademik
(academic learning disabilities) (Abdurrahman, 2010: 11). Kondisi ini terjadi
juga dalam mata pelajaran IPS, yang kecenderungan memiliki materi yang
luas dan membuat peserta didik menjadi jenuh serta kesulitan guru dalam
menyampaikan materi. Mata pelajaran ini menuntut konsentrasi tinggi dari
peserta didik untuk menghubungkan satu konsep dengan konsep lain sehingga
muncul kebermaknaan dari konsep tersebut.
4
Penelitian yang mendukung dalam pemecahan masalah ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Totok Rochana tahun 2010 dengan judul
“Keberadaan dan Kendala Pembelajaran Antropologi di SMA” dengan hasil
penelitian yang menyatakan bahwa :pembelajaran Antropologi di SMA
mengalami beberapa kendala di antaranya : kendala struktural, kultural, dan
keterbatasan sumber daya manusia. Untuk itu diperlukan partisipasi dari
berbagai pihak dalam penyempurnaan kurikulum yang baru terkait dengan
keberadaan mata pelajaran Antropologi di SMA.
Penelitian lain yang mendukung pemecahan masalah ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Amna Aulia tahun 2014 dengan judul
“Strategi, Masalah, dan Upaya Menyinergikan Dalam Pembelajaran IPS
Terpadu Pada Kelas VIII Smp Negeri 2 Magelang Tahun Ajaran
2014/2015”dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa :masalah yang
timbul dalam pembelajaran IPS Terpadu kelas VIII di SMP Negeri 2
Magelang tahun ajaran 2014/2015 dapat dikategorikan dalam masalah internal
dan masalah eksternal. Masalah internal yang muncul berupa latar belakang
pendidikan guru bukan pendidikan IPS dan peserta didik kurang aktif dalam
pembelajaran. Masalah eksternal yang muncul dalam pembelajaran adalah
sarana prasarana berupa LCD yang tengah rusak, jam pelajaran IPS di siang
hari, dan yang dirasa paling memberatkan adalah pengimplementasian
kurikulum 2013 terutama dalam hal penilaian ketercapaian peserta didik.
5
Hal tersebut terjadi pada peserta didik Sekolah Dasar di Kecamatan
Gunungpati, bahwa hasil belajar mata pelajaran IPS peserta didik cenderung
rendah. Peserta didik memiliki hambatan untuk memahami materi mata
pelajaran IPS dan guru juga memiliki hambatan dalam menyampaikan materi
tersebut yang sangat luas kepada peserta didik.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti akan mengkaji melalui
penelitian deskriptif yang berjudul “HAMBATAN PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN IPS BERBASIS KTSP DI KELAS III SD se-
KECAMATAN GUNUNGPATI SEMARANG.”
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan
masalah yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari
berbagai masalah yang terdapat dari penelitian ini, masalah tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah tingkat hambatan dalam pembelajaran IPS berbasis KTSP
di kelas III SD se-Kecamatan Gunungpati Semarang?
b. Bagaimanakah cara mengatasi hambatan-hambatan dalam pembelajaran
IPS berbasis KTSP di kelas III SD se-Kecamatan Gunungpati Semarang?
6
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a. Mendeskripsikan tingkat hambatan dalam pembelajaran IPS berbasis
KTSP di kelas III SD se-Kecamatan Gunungpati Semarang.
b. Mendeskripsikan cara mengatasi hambatan-hambatan dalam
pembelajaran IPS berbasis KTSP di kelas III SD se-Kecamatan
Gunungpati Semarang.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang bersifat teoretis
maupun praktis, yaitu :
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dengan menambah
pengalaman sekaligus pengetahuan tentang tingkat hambatan dalam
pembelajaran IPS serta cara mengatasi hambatan-hambatan tersebut di kelas
III SD se-Kecamatan Gunungpati Semarang.
7
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis, bagi:
1.4.2.1 Peneliti
Penelitian ini memberikan kesempatan kepada peneliti untuk
mendeskripsikan tingkat hambatan dalam pembelajaran IPS dan memberikan
pengalaman kepada peneliti tentang cara mengatasi hambatan-hambatan
dalam pembelajaran IPS di SD.
1.4.2.2 Peserta Didik
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi peserta didik untuk meningkatkan
hasil belajar, khususnya pembelajaran IPS.
1.4.2.3 Guru
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi guru untuk menambah wawasan
serta pengalaman tentang cara-cara mengatasi hambatan-hambatan dalam
pembelajaran IPS.
1.4.2.4 Sekolah
Penelitian ini dapat berguna sebagai informasi dan masukan bagi
sekolah untuk melaksanakan pembelajaran yang lebih inovatif, berkualitas,
dan menarik untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dalam
pembelajaran IPS.
8
1.4.2.5 Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan isnpirasi dan
masukan kepada penelitian lain tentang tingkat hambatan dalam pembelajaran
IPS di Sekolah Dasar serta cara mengatasinya dan memberikan sumbangan
pada dunia pendidikan.
1.5 BATASAN ISTILAH
Untuk menghindari pembahasan yang meluas serta perbedaan
penafsiran dalam memahami istilah yang digunakan, maka diberikan batasan-
batasan istilah yang berhubungan dengan judul penelitian ini, yaitu:
a. Hambatan Pembelajaran
Menurut Rohani (2010: 178), pembelajaran merupakan suatu proses yang
dilakukan oleh individu untuk memperoleh sesuatu yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan
lingkungannya. Aktivitas belajar setiap individu tidak selamanya dapat
berlangsung secara wajar, kadang-kadang individu memiliki semangat tinggi,
tetapi kadang-kadang juga sulit untuk menumbuhkan konsentrasi. Demikian
kenyataan yang sering dijumpai pada setiap peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran akan ditemui berbagai
faktor penghambat. Hambatan tersebut datang dari guru, peserta didik,
lingkungan keluarga maupun faktor fasilitas. Hambatan dalam proses
pembelajaran tidak hanya disebabkan karena faktor intelegensi yang rendah,
akan tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor penghambat lainnya, seperti
9
metode pembelajaran yang kurang baik, tugas rumah yang terlalu banyak, dan
peserta didik malas belajar.
b. Pelaksanaan Pembelajaran
Menurut Hamalik, pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun
meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan
prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia
terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lain, misal
tenaga laboratorium. Material, meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur,
fotografi, slide, dan film, audio, dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan,
terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer.
Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik,
belajar, ujian, dan sebagainya (Hamalik, 2015: 55-57).
c. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji
berbagai disiplin ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang
dikemas secara ilmiah dalam rangka memberi wawasan dan pemahaman yang
mendalam kepada peserta didik, khususnya ditingkat dasar dan menengah
(Susanto, 2013: 137). Dalam penelitian ini dibatasi pada mata pelajaran IPS
dengan materi pada semester genap.
d. Kelas III
Objek dalam penelitian ini adalah kelas III. Hal yang akan diteliti
mengenai hambatan pembelajaran IPS di kelas III.
10
e. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dikemukakan
bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan
pendidikan. Penyusunan Kuikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan
standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Beberapa hal yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebagai berikut:
1) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan sesuai
dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, serta
sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
2) Sekolah dan komite sekolah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar
kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dibawah supervisi dinas
pendidikan kabupaten/kota, dan departemen agama yang
bertanggungjawab di bidang pendidikan.
3) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk setiap program
studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-
masing perguruan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan.
11
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah suatu ide
tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling
dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan.
Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi
yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap
tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisiensi,
dan pemerataan pendidikan. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah, serta
Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Badan ini merupakan lembaga yang
ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi
pendidikan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pejabat
pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga kependidikan, perwakilan otang tua
peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan segala
kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang pendidikan yang
berlaku. Selanjutnya komite sekolah perlu merumuskan dan menetapkan visi,
misi, dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya terhadap program-
program kegiatan operasional untuk mencapai tujuan sekolah (Mulyasa, 2011:
19-22).
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 KAJIAN TEORI
2.1.1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2.1.1.1 Pengertian Kurikulum
Istilah kurikulum berasal dari bahasalatin, yakni “Curriculae”, artinya
jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu itu, pengertian
kurikulum ialah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh peserta
didik yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada
hakikatnya merupakan suatu bukti bahwa peserta didik telah menempuh
kurikulum yangberupa rencana pelajaran, sebagaimana halnya seorang pelari
telah menempuh suatu jarak antara satu tempat ke tempat lainnya dan
akhirnya mencapai finish.
Berbagai tafsiran lainnya dikemukakan berikut ini:
a. Kurikulum Memuat Isi dan Materi Pelajaran
Kurikulum ialah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dan
dipelajari oleh peserta didik untuk memperoleh sejumlah pengetahuan.
b. Kurikulum sebagai Rencana Pembelajaran
Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk
membelajarkan peserta didik.
13
c. Kurikulum sebagai Pengalaman Belajar
Perumusan atau pengertian kurikulum lainnya yang agak berbeda dengan
pengertian-pengertian sebelumnya lebih menekankan bahwa kurikulum
merupakan serangkaian pengalaman belajar.
Pengertian ini menunjukkan, bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak
terbatas dalam ruang kelas saja, melainkan mencakup juga kegiatan-kegiatan
di luar kelas (Hamalik, 2015: 16-18).
2.1.1.2 Landasan Pengembangan Kurikulum
Secara umum, makna landasan dapat dikategorikan menjadi tiga hal.
Pertama, sebuah fondasi yang dibangun di atas sebuah bangunan. Kedua,
pikiran-pikiran abstrak yang dijadikan titik tolak atau titik berangkat bagi
pelaksanaan suatu kegiatan. Ketiga, pandangan-pandangan abstrak yang telah
teruji, kurikulum dipergunakan sebagai titik tolak dalam menyusun konsep,
pelaksanaan konsep, dan evaluasi konsep. Terkait dengan makna landasan
tersebut, maka ada empat landasan yang digunakan dalam pengembangan
kurikulum, yaitu sebagai berikut.
a. Filosofis/Yuridis
Sistem nilai atau pandangan hidup adalah dasar kehidupannya yang
dianut oleh suatu masyarakat. Pancasila adalah pandangan dan falsafah hidup
bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang tercantum dalam sila-sila pancasila harus
dapat menjiwai setiap arah pengembangan kurikulum. Landasan filosofis ini
kemudian diterjemahkan lebih rinci dalam landasan yuridis sebagai mana
14
termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003. Dalam undang-undang tersebut,
pengertian kurikulum mencerminkan beberapa konsepsi isi kurikulum, bahwa
pendidikan itu adalah suatu upaya, usaha atau kegiatan yang bertujuan; dalam
kegiatan pendidikan itu terhadap suatu rencana yang disusun atau diatur; dan
rencana tersebut dilaksanakan di sekolah melalui cara-cara yang telah
ditetapkan.
b. Psikologis
Landasan psikologis dimaksudkan agar dalam penyusunan kurikulum
patut diperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan karakteristik peserta didik.
Sebagai mana diketahui bersama, bahwa karakteristik peserta didik dalam
realitasnya sangatlah beragam dan memiliki tingkat perkembangan yang
berbeda di setiap jenjang pendidikannya. Karena itu, kurikulum diharapkan
dapat dirumuskan sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik, sehingga
nilai manfaat bagi perkembangan dan kemajuan peserta didik patut
diperhatikan dalam penyusunan kurikulum.
c. Sosiologis
Dengan menjadikan karakteristik masyarakat Indonesia sebagai landasan
dalam pengembangan kurikulum, maka pembelajar yang diajar nantinya tidak
akan teralienasi dari lingkungan sosialnya. Lembaga pendidikan sebenarnya
dibentuk oleh masyarakat dan dihidupi masyarakat, karenanya pendidikan
harus memberi kemanfaatan kepada masyarakat. Dengan demikian,
pendidikan tidak justru mengasingkan individu dari lingkungannya.
15
Kurikulum yang dikembangkan (tidak boleh tidak) harus sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
d. Organisatoris
Dalam perumusan kurikulum, perlu disusun suatu desain yang tepat dan
fungsional. Desain yang tepat akan mampu membawa perubahan yang positif
dari peserta didik. Selain itu, desain yang fungsional juga patut diperhatikan.
Desain kurikulum yang tidak fungsional akan berdampak pada tidak
bermanfaatnya kurikulum. Semakin tepat dan fungsional suatu kurikulum,
maka dalam pelaksanaanya akan memberi efektivitas dari keberadaan
kurikulum tersebut (Siregar, 2015: 62-64).
2.1.1.3 Prinsip Pengembangan Kurikulum
Kurikulum dikembangkan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang
dianutnya. Prinsip itu pada dasarnya merupakan kaidah yang menjiwai
kurikulum tersebut. Pinsip-prinsip yang biasa digunakan dalam suatu
pengembangan kurikulum, yaitu:
a. Prinsip Berorientasi pada Tujuan
Pengembangan kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu,
yang bertitik tolak dari tujuan pendidikan nasional. Tujuan kurikulum
mengandung aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang
selanjutnya menumbuhkan perubahan tingkah laku peserta didik yang
mencakup ketiga aspek tersebut dan bertalian dengan aspek-aspek yang
terkandung dalam tujuan pendidikan nasional.
16
b. Prinsip Relevansi (Kesesuaian)
Pengembangan kurikulum yang meliputi tujuan, isi, dan sistem
penyampaiannya harus relevan (sesuai) dengan kebutuhan dan keadaan
masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik, serta serasi
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
c. Prinsip Efisiensi dan Efektivitas
Pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan segi efisien dalam
pendayagunaan dana, waktu, tenaga, dan sumber-sumber yang tersedia agar
dapat mencapai hasil yang optimal. Demikian juga keterbatasan fasilitas
ruangan, peralatan dan sumber keterbacaan, harus digunakan secara tepat
guna oleh peserta didik dalam rangka pembelajaran, yang kesemuanya demi
untuk meningkatkan efektivitas atau keberhasilan peserta didik.
d. Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum yang luwes mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi atau
dikurangi berdasarkan tuntutan dan keadaan ekosistem dan kemampuan
setempat, jadi tidak statis atau kaku.
e. Prinsip Berkesinambungan (Kontinuitas)
Kurikulum disusun secara berkesinambungan, artinya bagian-bagian,
aspek-aspek, materi, dan bahan kajian disusun secara berurutan, tidak
terlepas-lepas, melainkan satu sama lain memiliki hubungan fungsional yang
bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur dalam satuan
pendidikan, dan tingkat perkembangan peserta didik.
17
f. Prinsip Keseimbangan
Penyusunan kurikulum supaya memperhatikan keseimbangan secara
proporsional dan fungsional antara berbagai program dan sub-program, antara
semua mata ajaran, dan antara aspek-aspek perilaku yang ingin
dikembangkan.
g. Prinsip Keterpaduan
Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip keterpaduan.
Perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topik dan konsistensi
antara unsur-unsurnya.
h. Prinsip Mutu
Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan mutu dan mutu
pendidikan. Pendidikan mutu berrati pelaksanaan pembelajaran yang bermutu,
sedang mutu pendidikan berorientasi pada hasil pendidikan yang berkualitas
(Hamalik, 2015: 30-32).
2.1.1.4 Konsep Dasar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15)
dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah
kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing
satuan pendidikan. Penyusunan Kuikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan
standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
18
Beberapa hal yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebagai berikut:
4) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan sesuai
dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, serta
sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
5) Sekolah dan komite sekolah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar
kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dibawah supervisi dinas
pendidikan kabupaten/kota, dan departemen agama yang
bertanggungjawab di bidang pendidikan.
6) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk setiap program
studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-
masing perguruan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah suatu ide
tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling
dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan.
Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi
yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap
tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisiensi,
dan pemerataan pendidikan. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah, serta
19
Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Badan ini merupakan lembaga yang
ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi
pendidikan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pejabat
pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga kependidikan, perwakilan otang tua
peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan segala
kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang pendidikan yang
berlaku. Selanjutnya komite sekolah perlu merumuskan dan menetapkan visi,
misi, dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya terhadap program-
program kegiatan operasional untuk mencapai tujuan sekolah (Mulyasa, 2011:
19-22).
2.1.1.5 Tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Secara umum tujuan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan
pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga
pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan
secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.
Secara khusus tujuan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) adalah untuk :
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah
dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan
sumber daya yang tersedia.
20
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang
kualitas pendidikan yang akan dicapai (Mulyasa, 2011: 22).
2.1.1.6 Landasan Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dilandasi oleh Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas dikemukakan bahwa Standar Nasional
Pendidikan (SNP) terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 adalah peraturan tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP).Standar Nasional Pendidikan (SNP)
merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
hokum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
21
c. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 mengatur
tentang standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang
selanjutnya disebut Standar Isi, mencakup lingkup materi minimal dan tingkat
kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
d. Permendiknas No. 23 tahun 2006 tentangStandar Kompetensi Lulusan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 mengatur
Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah
digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta
didik. Standar Kompetensi Lulusan meliputi standar kompetensi lulusan
minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan
minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan minimal
mata pelajaran, yang akan bermuara pada kompetensi dasar.
e. Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas No.
22 dan 23.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 mengatur
tentang pelaksanaan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi (Mulyasa,
2011: 28).
22
2.1.1.7 Karakteristik Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Karakteristik Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bisa
diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat
mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar,
profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem penilaian. Berdasarkan
uraian tersebut, dapat dikemukakan beberapa karakteristik Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai berikut:
a. Pemberian Otonomi Luas kepada Sekolah dan Satuan Pendidikan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberikan otonomi luas
kepada sekolah dan satuan pendidikan, disertai seperangkat tanggungjawab
untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi setempat. Sekolah
dan satuan pendidikan juga diberi wewenangan dan kekuasaan yang luas
untuk mengembangkan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
peserta didik serta tuntutan masyarakat.
b. Partisipasi Masyarakat dan Orang Tua yang Tinggi
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pelaksanaan
kurikulum didukung oleh partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik
yang tinggi. Orang tua peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung
sekolah melalui bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan
pendidikan merumuskan serta mengembangkan program-program yang dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran.
23
c. Kepemimpinan yang Demokratis dan Profesional
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pengembangan
dan pelaksanaan kurikulum didukung oleh adanya kepemimpinan sekolah
yang demokratis dan profesional. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai
tenaga pelaksana kurikulum merupakan orang-orang yang memiliki
kemampuan dan integritas profesional. Kepala sekolah adalah manajer
pendidikan profesional yang direkrut komite sekolah untuk mengelola segala
kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan. Guru-guru yang
direkrut oleh sekolah adalah pendidik profesional dalam bidangnya masing-
masing, sehingga mereka bekerja berdasarkan pola kinerja profesional yang
disepakati bersama untuk memberi kemudahan dan mendukung keberhasilan
pembelajaran peserta didik.
d. Tim Kerja yang Kompak dan Transparan
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), keberhasilan
pengembangan kurikulum dan pembelajaran didukung oleh kinerja tim yang
kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan.
Dewan pendidikan dan komite sekolah misalnya, pihak-pihak yang terlibat
bekerja sama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing untuk
mewujudkan suatu “sekolah yang dapat dibanggakan” oleh semua pihak.
Berbagai faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), terutama berkaitan dengan
24
sistem informasi, serta sistem penghargaan dan hukuman (Mulyasa, 2011: 29-
32).
2.1.1.8 Pelaksanaan Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP)
Menurut Mulyasa (2011: 255-258), pembelajaran pada hakekatnya
adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga
terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam pembelajaran, tugas
guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang
terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Pada umumnya pelaksanaan
pembelajaran berbasis Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
mencakup tiga hal, yaitu pre test, pembentukan kompetensi, dan post test.
a. Pre Test (Tes Awal)
Pada umumnya pelaksanaan proses pembelajaran dimulai dengan pre test.
Pre test ini memiliki banyak kegunaan dalam menjajagi proses pembelajaran
yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu pre test memegang peranan yang
cukup penting dalam proses pembelajaran. Fungsi pre test ini antara lain dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1) Untuk menyiapkan peserta didik dalam proses belajar, karena dengan pre
test maka pikiran mereka akan terfokus pada soal-soal yang harus mereka
kerjakan.
2) Untuk mengetahui tingkat kemajuan peserta didik sehubungan dengan
proses pembelajaran yang dilakukan.
25
3) Untuk mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki peserta didik
mengenai kompetensi dasar yang akan dijadikan topik dalam proses
pembelajaran.
4) Untuk mengetahui darimana seharusnya proses pembelajaran dimulai,
kompetensi dasar mana yang telah dikuasai peserta didik, serta
kompetensi dasar mana yang perlu mendapat penekanan dan perhatian
khusus.
Dalam hal ini pre test sebaiknya dilakukan secara tertulis, meskipun bisa saja
dilaksanakan secara lisan atau perbuatan.
b. Pembentukan Kompetensi
Pembentukan kompetensi merupakan kegiatan inti dari pelaksanaan
proses pembelajaran, yakni bagaimana kompetensi dibentuk pada peserta
didik dan bagaimana tujuan-tujuan belajar direalisasikan. Kualitas
pembentukan kompetensi dapat dilihat dari segi proses dan dari segi hasil.
Dari segi proses, pembentukan kompetensi dapat dikatakan berhasil dan
berkualitas apabila seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%)
peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam
proses pembentukan kompetensi, di samping menunjukkan kegairahan belajar
yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri.
Sedangkan dari segi hasil, proses pembentukan kompetensi dapat dikatakan
berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri peserta didik
26
seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) sesuai dengan
kompetensi dasar.
c. Post Test
Pada umunya pelaksanaan pembelajaran diakhiri dengan post test. Sama
halnya dengan pre test, post test juga memiliki banyak kegunaan, terutama
dalam melihat keberhasilan pembelajaran dan pembentukan kompetensi.
Fungsi post test antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi
yang telah ditentukan, baik secara individu maupun kelompok.
2) Untuk mengetahui kompetensi dan tujuan-tujuan yang dapat dikuasai oleh
peserta didik, serta kompetensi dan tujuan-tujuan yang belum
dikuasainya.
3) Untuk mengetahui peserta didik yang perlu mengikuti kegiatan remedial,
yang perlu mengikuti kegiatan pengayaan, serta untuk mengetahui tingkat
kesulitan belajar yang dihadapi.
4) Sebagai bahan acuan untuk melakukan perbaikan terhadap kegiatan
pembelajaran dan pembentukan kompetensi yang telah dilaksanakan, baik
terhadap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi.
27
2.1.1.9 Penilaian Hasil Belajar
Menurut Mulyasa, penilaian hasil belajar dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes
kemmapuan, dasar, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi,
benchmarking, dan penilaian program.
a. Penilaian Kelas
Penilaian kelas dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum, dan
ujian akhir. Ulangan harian dilakukan setiap selesai proses pembelajaran
dalam kompetensi dasar tertentu. Ulangan umum dilaksanakan secara bersama
untuk kelas-kelas paralel, dan pada umumnya dilakukan ulangan umum
bersama, baik tingkat rayon, kecamatan, kodya/kabupaten maupun provinsi.
Ujian akhir dilakukan pada akhir program pendidikan.
Penilaian kelas dilakukan oleh guru untuk mengetahui kemajuan dan hasil
belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik
untuk perbaikan proses pembelajaran, dan penentuan kenaikan kelas.
b. Tes Kemampuan Dasar
Tes kemampuan dasar dilakukan untuk mengetahui kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung yang diperlukan dalam rangka memperbaiki
program pembelajaran (program remedial). Tes kemampuan dasar dilakukan
pada setiap tahun akhir kelas III.
28
c. Penilaian Akhir Satuan Pendidikan dan Sertifikasi
Pada setiap akhir semester dan tahun pelajaran diselenggarakan kegiatan
penilaian guna mendapatkan gambaran secara utuh dan menyeluruh mengenai
ketuntasan belajar peserta didik dalam satuan waktu tertentu.
d. Benchmarking
Benchmarking merupakan suatu standar untuk mengukur kinerja yang
sedang berjalan, proses, dan hasil untuk mencapai suatu keunggulan yang
memuaskan. Untuk dapat memperoleh data dan informasi tentang pencapaian
benchmarking tertentu dapat diadakan penilaian secara nasional yang
dilaksanakan pada akhir satuan pendidikan.
e. Penilaian Program
Penilaian program dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan
Dinas Pendidikan secara kontinu dan berkesinambungan. Penilaian program
dilakukan untuk mengetahui kesesuaian Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional,
serta kesesuaiannya dengan tuntutan perkembangan masyarakat, dan
kemajuan jaman (Mulyasa, 2011: 258-261).
29
2.1.2 Pembelajaran
2.1.2.1 Pengertian Pembelajaran
Pendidikan, latihan, pembelajaran, teknologi pendidikan, istilah-istilah
tersebut masing-masing memiliki pengertiannya sendiri-sendiri, berbeda tetapi
berhubungan erat.
Menurut Hamalik, pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun
meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan
prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia
terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lain, misal
tenaga laboratorium. Material, meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur,
fotografi, slide, dan film, audio, dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan,
terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer.
Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik,
belajar, ujian, dan sebagainya (Hamalik, 2015: 55-57).
2.1.2.2 Ciri-Ciri Pembelajaran
Ada tiga ciri khas yang terkandung dalam sistem pembelajaran, yaitu:
a. Rencana, ialah penataan ketenagaan, material, dan prosedur yang
merupakan unsur-unsur sistem pembelajaran dalam suatu rencana khusus.
b. Kesalingtergantungan (interdependence), antara unsur-unsur sistem
pembelajaran yang serasi dalam suatu keseluruhan. Tiap unsur bersifat
esensial, dan masing-masing memberikan sumbangan kepada sistem
pembelajaran.
30
c. Tujuan, sistem pembelajaran mempunyai tujuan tertentu yang hendak
dicapai. Tujuan sistem menuntun proses merancang sistem, tujuan utama
sistem pembelajaran agar peserta didik belajar (Hamalik, 2015: 65-66).
2.1.2.3 Unsur-Unsur Pembelajaran
Unsur-unsur minimal yang harus ada dalam sistem pembelajaran
adalah seorang peserta didik.
a. Unsur Dinamis Pembelajaran pada Diri Guru
1) Motivasi membelajarkan peserta didik
Guru harus memiliki motivasi untuk membelajarkan peserta didik.
Motivasi itu sebaiknya timbul dari kesadaran yang tinggi untuk
mendidik peserta didik menjadi warga Negara yang baik.
2) Kondisi guru siap membelajarkan peserta didik
Guru perlu memiliki kemampuan dalam proses pembelajaran, di
samping kemampuan kepribadian dan kemampuan kemasyarakatan.
b. Unsur Pembelajaran Konkruen dengan Unsur Belajar
1) Motivasi belajar menuntut sikap tanggap dan pihak guru serta
kemampuan untuk mendorong motivasi dengan berbagai upaya
pembelajaran. Ada beberapa prinsip yang dapat digunakan oleh guru
dalam rangka memotivasi peserta didik agar belajar, ialah:
a) Prinsip kebermaknaan, peserta didik termotivasi untuk mempelajari
hal-hal yang bermakna baginya.
31
b) Prasyarat, peserta didik lebih suka mempelajari sesuatu yang baru
jika dia memiliki pengalaman prasyarat (prerekuisit).
c) Model, peserta didik lebih suka memperoleh tingkah laku baru bila
disajikan dengan suatu model perilaku yang dapat diamati dan
ditiru.
d) Komunikasi terbuka, peserta didik lebih suka belajar bila penyajian
ditata agar supaya pesan-pesan guru terbuka terhadap pendapat
peserta didik.
e) Daya tarik, peserta didik lebih suka belajar bila perhatiannya
tertarik oleh penyajian yang menyenangkan/menarik.
f) Aktif dalam latihan, peserta didik lebih senang belajar bila dia dapat
berperan aktif dalam latihan/praktik dalam upaya mencapai tujuan
pembelajaran.
g) Latihan yang terbagi, peserta didik lebih suka belajar bila latihan-
latihan dilaksanakan dalam jangka waktu yang pendek.
h) Tekanan instruksional, peserta didik lebih suka belajar bila tekanan
/kewajiban dalam pengajaran dimulai dari yang kuat tetapi lambat
laun semakin lemah.
i) Keadaan yang menyenangkan, peserta didik lebih suka belajar terus
bila kondisi-kondisi pembelajaran menyenangkan baginya.
32
2) Sumber-sumber yang digunakan sebagai bahan belajar terdapat pada:
a) Buku pelajaran yang sengaja disiapkan dan berkenaan dengan mata
ajaran tertentu.
b) Pribadi guru sendiri pada dasarnya merupakan sumber tak tertulis
dan sangat penting serta sangat kaya dan luas, yang perlu
dimanfaatkan secara maksimal.
c) Sumber masyarakat, juga merupakan sumber yang paling kaya bagi
bahan belajar peserta didik.
3) Pengadaan alat-alat bantu belajar dilakukan oleh guru, peserta didik
sendiri dan bantuan orang tua. Namun, harus dipertimbangkan
kesesuaian alat bantu belajar itu dengan tujuan belajar, kemampuan
peserta didik sendiri, bahan yang dipelajari, dan ketersediannya di
sekolah.
4) Untuk menjamin dan membina suasana belajar yang efektif, guru dan
peserta didik dapat melakukan beberapa upaya sebagai berikut:
a) Sikap guru sendiri terhadap pembelajaran di kelas. Guru diharapkan
bersikap menunjang, membantu, adil, dan terbuka dalam kelas.
b) Perlu adanya kesadaran yang tinggi di kalangan peserta didik untuk
membina disiplin dan tata tertib yang baik dalam kelas.
c) Guru dan peserta didik berupaya menciptakan hubungan dan
kerjasama yang serasi, selaras dan seimbang dalam kelas, yang
dijiwai oleh rasa kekeluargaan dan kebersamaan.
33
5) Subjek belajar yang berada dalam kondisi kurang mantap perlu
diberikan binaan (Hamalik, 2015: 66-70).
2.1.2.4 Pengertian Belajar
Untuk memperoleh pengertian yang objektif tentang belajar terutama
belajar di sekolah, perlu dirumuskan secara jelas pengertian belajar.
Pengertian belajar sudah banyak dikemukakan oleh para ahli psikologi
termasuk ahli psikologi pendidikan.
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses
perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. “Belajar ialah suatu
proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Belajar merupakan proses suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau
tujuan. Belajar bukan hanya mengingat akan tetapi lebih luas daripada itu
yakni mengalami dan menghasilkan suatu perubahan kelakuan (Hamalik,
2014: 36). Kemudian menurut Djamarah (2011: 13), belajar adalah
serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan
lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kesimpulan yang didapat dari beberapa pendapat mengenai pengertian
belajar bahwa belajar merupakan suatu proses atau serangkaian kegiatan
34
seseorang yang tidak hanya mengingat tetapi juga mengalami interaksi antara
individu dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan tingkah laku yang
menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor.
Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar, antara lain:
a. Perubahan terjadi secara sadar.
b. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.
c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif.
d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
e. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah.
f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 2013: 2-5).
2.1.2.5 Teori Belajar
a. Teori Gestalt
Teori ini dikemukakan oleh Koffka dan Kohler dari Jerman, yang
sekarang menjadi tenar di seluruh dunia. Hukum yang berlaku pada
pengamatan adalah sama dengan hukum dalam belajar, yaitu:
1) Gestalt mempunyai sesuatu yang melebihi jumlah unsur-unsurnya.
2) Gestalt timbul lebih dahulu daripada bagian-bagiannya.
Jadi dalam belajar yang penting adalah adanya penyesuaian pertama yaitu
memperoleh respon yang tepat untuk memecahkan problem yang dihadapi.
Belajar yang penting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi
mengerti atau memperoleh insight.
35
Prinsip belajar menurut teori Gestalt:
1) Belajar berdasarkan keseluruhan
Orang berusaha menghubungkan suatu pelajaran dengan pelajaran yang
lain sebanyak mungkin. Mata pelajaran yang bulat lebih mudah
dimengerti daripada bagian-bagiannya.
2) Belajar adalah suatu proses perkembangan
Anak-anak baru dapat mempelajari dan merencanakan bila ia telah
matang untuk menerima bahan pelajaran itu.
3) Peserta didik sebagai organisme keseluruhan
Peserta didik tak hanya inteleknya saja, tetapi juga emosional dan
jasmaniahnya. Dalam pengajaran modern guru di samping mengajar, juga
mendidik untuk membentuk pribadi peserta didik.
4) Terjadi transfer
Belajar pada pokoknya yang terpenting pada penyesuaian pertama ialah
memperoleh response yang tepat.
5) Belajar adalah reorganisasi pengalaman
Pengalaman adalah suatu interaksi antara seseorang dengan
lingkungannya. Peserta didik mengadakan analisis reorganisasi
pengalamannya.
36
6) Belajar harus dengan insight
Insight adalah suatu saat dalam proses belajar di mana seseorang melihat
pengertian tentang sangkut-paut dan hubungan-hubungan tertentu dalam
unsur yang mengandung suatu problem.
7) Belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan dan
tujuan peserta didik
Hal itu terjadi bila banyak berhubungan dengan apa yang diperlukan
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Di sekolah progresif, peserta
didik diajak membicarakan tentang proyek/unit agar tahu tujuan yang
akan dicapai dan yakin akan manfaatnya.
8) Belajar berlangsung terus-menerus
Peserta didik memperoleh pengetahuan tak hanya di sekolah, tetapi juga
di luar sekolah.
b. Teori Belajar Menurut J. Bruner
Menurut Bruner belajar tidak untuk mrngubah tingkah laku seseorang,
tetapi untuk mengubah kurikulum sekolah menjadi sedemikian rupa sehingga
peserta didik dapat belajar lebih banyak dan mudah. Di dalam proses belajar
Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap peserta didik, dan mengenal
dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk meningkatkan proses
belajar perlu lingkungan yang dinamakan “discovery learning environment”,
ialah lingkungan di mana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-
37
penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang
sudah diketahui.
Dalam lingkungan banyak hal yang dapat dipelajari peserta didik, hal mana
dapat digolongkan menjadi:
1) Enactive = seperti belajar naik sepeda, yang harus didahului dengan
bermacam-macam keterampilan motorik.
2) Iconic = seperti mengenal jalan yang menuju ke pasar, mengingat di
mana bukunya yangpenting diletakkan.
3) Symbolic = seperti menggunakan kata-kata, menggunakan formula.
Dalam belajar guru perlu memperhatikan 4 hal berikut ini:
1) Mengusahakan agar setiap peserta didik berpartisipasi aktif, minatnya
perlu ditingkatkan, kemudian perlu dibimbing untuk mencapai tujuan
tertentu.
2) Menganalisis struktur materi yang akan diajarkan, dan juga perlu
disajikan secara sederhana sehingga mudah dimengerti oleh peserta didik.
3) Menganalisis sequence. Guru mengajar, berarti membimbing peserta
didik melalui urutan pernyataan-pernyataan dari suatu masalah, sehingga
peserta didik memperoleh pengertian dan dapat men-transfer apa yang
sedang dipelajari.
4) Memberi reinforcement dan umpan balik (feed-back). Penguatan yang
optimal terjadi pada waktu peserta didik mengetahui bahwa “ia
menemukan jawab”nya.
38
c. Teori Belajar dari Piaget
Pendapat Piaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak
adalah sebagai berikut:
1) Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa.
2) Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut
suatu urutan yang sama bagi semua anak.
3) Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu
urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari suatu tahap ke
tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.
4) Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu:
a) Kemasakan
b) Pengalaman
c) Interaksi sosial
d) Equilibration (proses dari ketiga faktor tersebut bersama-sama untuk
membangun dan memperbaiki struktur mental).
5) Ada 3 tahap perkembangan, yaitu:
a) Berpikir secara intuitif ± 4 tahun.
b) Beroperasi secara konkret ± 7 tahun.
c) Beroperasi secara formal ± 11 tahun.
39
d. Teori dari R. Gagne
Terhadap masalah belajar, Gagne memberikan dua definisi, yaitu:
1) Belajar ialah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam
pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku.
2) Belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh
dari instruksi.
Tugas pertama yang dilakukan anak ialah meneruskan “sosialisasi”
dengan anak lain, atau orang dewasa, tanpa pertentangan bahkan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan, keramahan, dan konsiderasi pada anak
itu. Tugas kedua ialah belajar menggunakan simbol-simbol yang
menyatakan keadaan sekelilingnya, seperti gambar, huruf, angka,
diagram, dan sebagainya.
Gagne mengatakan pula bahwa segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia
dapat dibagi menjadi 5 kategori, yang disebut “yaitu:
1) Keterampilan motoris (motor skill).
2) Informasi verbal.
3) Kemampuan intelektual.
4) Strategi kognitif.
5) Sikap.
40
e. Purposeful Learning
Purposeful learning adalah belajar yang dilakukan dengan sadar untuk
mencapai tujuan dan yang:
1) Dilakukan peserta didik tanpa perintah atau bimbingan orang lain.
2) Dilakukan peserta didik dengan bimbingan orang lain di dalam situasi
belajar-mengajar di sekolah.
f. Belajar dengan Jalan Mengamati dan Meniru (Observation Learning
and Imitation)
Menurut Bandura dan Walters, tingkah laku baru dikuasai atau dipelajari
mula-mula dengan mengamati dan meniru suatu model/contoh/teladan.
1) Model yang Ditiru
Model yang diamati dan ditiru peserta didik dapat digolongkan menjadi:
a) Kehidupan yang nyata
b) Simbolik
c) Representasional
2) Pengaruh Meniru
Menurut Bandura dan Walters, penguasaan tingkah laku atau response
baru, pertama-tama adalah hasil dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam waktu bersamaan (kontinguitas) yang diamati. Menurut teori ini,
yang penting adalah bagaimana response itu mula-mula dipelajari. Proses
tersebut akan lebih jelas dengan memperhatikan 3 macam pengaruh yang
berbeda dari pengamatan (observasi) dan peniruan.
41
a) Modeling effect
b) Disinhibitory effect
c) Eliciting effect
3) Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Peniruan
a) Konsekuensi dari response yang dilakukan
b) Sifat-sifat peserta didik
4) Melupakan Response yang Ditiru
Bandura danWalters lebih tertarik perhatiannya pada peniadaan
(extinction) tingkah laku yang tak baik daripada memperlemah tingkah
laku yang baik. Beberapa cara untuk meniadakan response itu adalah:
a) Tidak memberi hadiah atau response
b) Menghilangkan penguat yang positif
c) Menggunakan perangsang yang tak menyenangkan, misalnya
hukuman
d) Belajar berkondisi (counterconditioning)
e) Penerapannya di Sekolah
g. Belajar yang Bermakna (Meaningful Learning)
1) Tipe-Tipe Belajar
Ada 2 dimensi dalam tipe-tipe belajar, yaitu:
a) Dimensi menerima (reception learning) dan menemukan (discovery
learning).
42
b) Dimensi menghafal (rote learning) dan belajar bermakna (meaningful
learning).
2) Struktur dan Proses Internal
Proses mengintegrasikan informasi atau ide baru ke dalam struktur
kognitif yang telah ada disebut subsumsi. Ada dua macam subsumsi,
yaitu:
a) Subsumsi derivatif
Bila informasi atau ide baru adalah kasus khusus yang membantu atau
menggerakan ide yang telah dipunyai, maka proses menghubungkan
keduanya sehingga terjadi belajar, disebut subsumsi derivatif.
b) Subsumsi korelatif
Bila ide (informasi, konsep, dan sebgainya) yang baru mengubah ide
(informasi, konse, dan sebagainya) yang telah dipunyai, maka proses
menghubungkan keduanya disebut subsumsi korelatif. Subsumsi itu
bermanfaat untuk memperkuat belajar atau mencegah lupa.
3) Variable-Variabel di dalam Belajar Bermakna
Macam-macam variable struktur kognitif adalah:
a) Pengetahuan yang telah dimiliki
b) Diskriminabilitas
c) Kemantapan dan kejelasan
43
4) Motivasi dan Belajar Bermakna
Motif keberhasilan (achievement motivation) terdiri dari 3 komponen,
yaitu:
a) Dorongan kognitif
b) Harga diri
c) Kebutuhan berafiliasi
5) Penerapannya di Sekolah
Teori Ausubel terutama berlaku pada peserta didik yang sudah dapat
membaca dengan baik dan yang sudah mempunyai konsep-konsep dasar
di dalam bidang-bidang pelajaran tertentu. Hal ini disebabkan oleh karena
teori itu pertama-tama menekankan penguasaan belajar mula, retensi,
transfer, dan variable-variabel yang berhubungan dengan belajar
semacam itu (Slameto, 2013: 11-27).
2.1.2.6 Prinsip-prinsip Belajar
Dengan mempelajari uraian-uraian yang terdahulu, maka calon
guru/pembimbing seharusnya sudah dapat menyusun sendiri prinsip-prinsip
belajar, yaitu prinsip belajar yang dapat dilaksanakan dalam situasi dan
kondisi yang berbeda, dan oleh tiap peserta didik secara individual.
Namun demikian marilah kita susun prinsip-prinsip belajar itu, sebagai
berikut:
44
a. Berdasarkan Prasyarat yang Diperlukan untuk Belajar
1) Dalam belajar setiap peserta didik harus diusahakan partisipasi aktif,
meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan
intruksional.
2) Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang
kuat pada peserta didik untuk mencapai tujuan intruksional.
3) Belajar perlu lingkungan yang menantang dimana anak dapat
mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan
efektif.
4) Belajar perlu ada interaksi peserta didik dengan lingkungannya.
b. Sesuai Hakikat Belajar
1) Belajar itu proses kontinu, maka harus tahap demi tahap menurut
perkembangannya.
2) Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery.
3) Belajar adalah proses kontinguitas (hubungan antara pengertian yang
satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian
yang diharapkan.
c. Sesuai Materi/Bahan yang Harus Dipelajari
1) Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur,
penyajian yang sederhana, sehingga peserta didik mudah menangkap
pengertiannya.
45
2) Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai
dengan tujuan instruksional yang harus dicapainya.
d. Syarat Keberhasilan Belajar
1) Belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga peserta didik dapat
belajar dengan tenang.
2) Repetisi, dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar
pengertian/keterampilan/sikap itu mendalam pada peserta didik
(Slameto, 2013: 27-28).
2.1.2.7 Jenis-Jenis Belajar
a. Belajar Bagian (Part Learning, Fractioned Learning)
Umumnya belajar bagian dilakukan oleh seseorang bila dihadapkan pada
materi belajar yang bersifat luas atau ekstensif, misalnya mempelajari sajak
ataupun gerakan-gerakan motoris seperti bermain silat.
b. Belajar dengan Wawasan (Leraning by Insight)
Konsep ini diperkenalkan oleh W. Kohler, salah seorang tokoh Psikologi
Gesalt pada permulaan tahun 1971. Sebagai suatu konsep, wawasan (insight)
ini merupakan pokok utama dalam pembicaraan psikologi belajar dan proses
berfikir.
c. Belajar Diskriminatif (Discriminatif Learning)
Belajar diskriminatif diartikan sebagai suatu usaha untuk memilih
beberapa sifat situasi/stimulus dan kemudian menjadikannya sebagai pedoman
dalam bertingkah laku.
46
d. Belajar Global/Keseluruhan ( Global Whole Learning)
Di sini bahan pelajaran dipelajari secara keseluruhan berulang sampai
pelajar menguasainya, lawan dari belajar bagian. Metode belajar ini sering
juga disebut metode Gestalt.
e. Belajar Insidental ( Incidental Learning)
Konsep ini bertentangan dengan anggapan bahwa belajar itu selalu
berarah-tujuan (intensional). Sebab dalam belajar incidental pada individu
tidak ada sama sekali kehendak untuk belajar. Dari salah satu penelitian
ditemukan bahwa dalam belajar insidental (dibandingkan dengan belajar
intensional), jumlah frekuensi materi belajar yang diperlihatkan tidak
memegang peranan penting, prestasi individu menurun dengan meningkatnya
motivasi.
f. Belajar Instrumental (Instrumental Learning)
Pada belajar instrumental, reaksi-reaksi seseorang peserta didik yang
dipelihatkan diikuti oleh tanda-tanda yang mengarah pada apakah peserta
didik tersebut akan mendapat hadiah, hukuman, berhasil atau gagal. Oleh
karena itu cepat atau lambatnya seseorang belajar dapat diatur dengan jalan
memberikan penguat (reinforcement) atas dasar tingkat-tingkat kebutuhan.
g. Belajar Intensional (Intentional Learning)
Belajar dalam arah tujuan, merupakan lawan dari belajar insidental.
47
h. Belajar Laten (Latent Learning)
Dalam belajar laten, perubahan-perubahan tingkah laku yang terlihat
tidak secara segera dan oleh karena itu disebut laten.
i. Belajar Mental (Mental Learning)
Perubahan kemungkinan tingkah laku yang terjadi di sini tidak nyata
terlihat, melainkan hanya berupa perubahan proses kognitif karena ada bahan
yang dipelajari. Ada tidaknya belajar mental ini sangat jelas terlihat pada
tugas-tugas yang sifatnya motoris.
j. Belajar Produktif (Productive Learning)
R. Berguis (1964) memberikan arti belajar produktif sebagai belajar
dengan transfer yang maksimum. Belajar adalah mengatur kemungkinan
untuk melakukan transfer tingkah laku dari satu situasi ke situasi lain. Belajar
disebut produktif bila individu mampu mentransfer prinsip menyelesaikan
satu persoalan dalam satu situasi ke situasi lain.
k. Belajar Verbal (Verbal Learning)
Belajar verbal adalah belajar mengenai materi verbal dengan melalui
latihan dan ingatan. Dasar dari belajar verbal diperlihatkan dalam eksperimen
klasik dari Ebbinghaus (Slameto, 2013: 5-8).
48
2.1.2.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi
dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor intern dan faktor
ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang
belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu.
a. Faktor-Faktor Intern
Di dalam faktor intern ini, akan dibahas menjadi tiga faktor, yaitu faktor
jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor kelelahan.
1) Faktor Jasmaniah
a) Faktor Kesehatan
Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-
bagiannya/bebas dari penyakit. Proses belajar seseorang akan
terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu juga ia akan
cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, ngantuk jika
badannya lemah, kurang darah ataupun ada gangguan-
gangguan/kelainan-kelainan fungsi alat inderanya serta tubuhnya.
b) Cacat Tubuh
Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau
kurang sempurna mengenai tubuh/badan. Keadaan cacat tubuh juga
mempengaruhi belajar. Peserta didik yang cacat belajarnya juga
terganggu. Jika hal ini terjadi, hendaknya ia belajar pada lembaga
49
pendidikan khusus atau diusahakan alat bantu agar dapat menghindari
atau mengurangi pengaruh kecacatannya itu.
2) Faktor Psikologis
Sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor
psikologis yang mempengaruhi belajar, faktor tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
a) Inteligensi
Untuk memberikan pengertian tentang inteligensi, J.P. Chaplin
merumuskannya sebagai:
(1) The ability to meet and adapt to novel situations quickly and
effectively.
(2) The ability to utilize abstract concepts effectively.
(3) The ability to grasp relationships and to learn quickly.
Jadi intelegensi itu adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu
kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang
baru dengan cepat dan efektif, mengetahui/menggunakan konsep-
konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan
mempelajarinya dengan cepat.Intelegensi besar pengaruhnya terhadap
kemajuan belajar. Dalam situasi yang sama, peserta didik yang
mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil
daripada yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah. Peserta
didik yang mempunyai tingkat intelegensi yang normal dapat berhasil
50
dengan baik dalam belajar, jika peserta didik belajar dengan baik
artinya belajar dengan menerapkan metode belajar yang efisien dan
faktor-faktor yang mempengaruhi belajarnya (faktor jasmaniah,
psikologi, keluarga, sekolah, masyarakat) memberi pengaruh yang
positif.Jika peserta didik memiliki intelegensi yang rendah, peserta
didik perlu mendapat pendidikan di lembaga pendidikan khusus.
b) Perhatian
Perhatian menurut Gazali adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa
itu pun semata-mata tertuju kepada suatu obyek (benda/hal) atau
sekumpulan obyek. Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik,
maka peserta didik harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang
dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian peserta
didik, maka timbulah kebosanan sehingga peserta didik tidak suka
belajar.
c) Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang beberapa kegiatan. Minat besar pengaruhnya terhadap
belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan
minat peserta didik, peserta didik tidak akan belajar dengan sebaik-
baiknya karena tidak ada daya tarik baginya. Bahan pelajaran yang
menarik minat peserta didik, lebih mudah dipelajari dan disimpan
karena minat menambah kegiatan belajar.
51
d) Bakat
Bakat itu mempengaruhi belajar. Jika pelajaran yang dipelajari peserta
didik sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih baik karena
peserta didik senang belajar dan pastilah selanjutnya peserta didik
lebih giat lagi dalam belajarnya itu.
e) Motif
Motif erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai. Di
dalam menentukan tujuan itu dapat disadari atau tidak, akan tetapi
untuk mencapai tujuan itu perlu berbuat, sedangkan yang menjadi
penyebab berbuat adalah motif itu sendiri sebagai daya
penggerak/pendorongnya.
Dalam proses belajar haruslah diperhatikan apa yang dapat mendorong
peserta didik agar dapat belajar dengan baik atau padanya mempunyai
motif untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan dan
melaksanakan kegiatan yang berhubungan/menunjang belajar.
f) Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan seseorang,
di mana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan
baru. Kematangan belum berarti peserta didik dapat melaksanakan
kegiatan secara terus-menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan
pelajaran.
52
g) Kesiapan
Kesiapan adalah kesediaan untuk member response atau bereaksi.
Kesediaan itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berhubungan
dengan kematangan, karena kematangan berarti kesiapan untuk
melaksanakan kecakapan.
3) Faktor Kelelahan
Kelelahan pada seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan
rohani (bersifat psikis).
Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul
kecenderungan untuk membaringkan tubuh, sedangkan kelelahan rohani
dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan, sehingga minat dan
dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang.
b. Faktor-Faktor Ekstern
Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap belajar dapatlah
dikelompokkan menjadi 3 faktor, yaitu faktor keluarga, faktor sekolah, dan
faktor masyarakat.
1) Faktor Keluarga
Peserta didik yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa:
a) Cara Orang Tua Mendidik
Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar
anaknya. Mendidik anak dengan cara memanjakannya adalah cara
53
mendidik yang tidak baik. Orang tua yang terlalu kasihan terhadap
anaknya tak sampai hati untuk memaksa anaknya belajar bahkan
membiarkan saja jika anaknya tidak belajar dengan alasan segan
adalah tidak benar, karena jika hal itu dibiarkan berlarut-larut anak
menjadi nakal. Mendidik anak dengan cara memperlakukannya terlalu
keras, memaksa dan mengejar-ngejar anaknya untuk belajar adalah
cara mendidik yang juga salah. Dengan demikian anak tersebut diliputi
ketakutan dan akhirnya benci terhadap belajar.
Di sinilah bimbingan dan penyuluhan memegang peranan yang
penting, anak/peserta didik yang mengalami kesukaran-kesukaran
tersebut dapat ditolong dengan memberikan bimbingan belajr yang
sebaik-baiknya.
b) Relasi Antaranggota Keluarga
Relasi antaranggota keluarga yang terpenting adalah relasi orang tua
dengan anaknya. Selain itu, relasi anak dengan saudaranya atau dengan
anggota keluarga yang lain pun turut mempengaruhi belajarnya. Demi
kelancaran belajar serta keberhasilan anak, perlu diusahakan relasi
yang baik di dalam keluarga anak tersebut. Hubungan yang baik
adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai
dengan bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk
mensukseskan belajar anak sendiri.
54
c) Suasana Rumah
Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadian-kejadian
yang sering terjadi di dalam keluarga di mana anak berada dan belajar.
Selanjutnya agar anak dapat belajar dengan baik perlulah diciptakan
suasana rumah yang tenang dan tentram selain anak betah di rumah,
anak juga dapat belajar dengan baik.
d) Keadaan Ekonomi Keluarga
Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak.
Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya,
missal makan, pakaian, perlindungan kesehatan, dll. Anak juga
membutuhkan fasilitas belajar seperti ruang belajar, meja, kursi,
penenrangan, alat tulis-menulis, buku-buku, dan lain-lain.
e) Pengertian Orang Tua
Anak belajar perlu dorongan dan pengertian orang tua. Bila anak
sedang belajar jangan diganggu dengan tugas-tugas di rumah.
f) Latar Belakang Kebudayaan
Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi
sikap anak dalam belajar. Perlu kepada anak ditanamkan kebiasaan-
kebiasaan yang baik, agar mendorong semangat anak untuk belajar.
55
2) Faktor Sekolah
a) Metode Mengajar
Metode mengajar adalah suatu cara/jalan yang harus dilalui di dalam
mengajar. Metode mengajar guru yang kurang baik akan
mempengaruhi belajar peserta didik yang tidak baik pula. Guru yang
progresif berani mencoba metode-metode yang baru, yang dapat
membantu meningkatkan kegiatan belajar mengajar, dan
meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar.
b) Kurikulum
Kurikulum diartikan sebagai sejumlah kegiatan yang diberikan kepada
peserta didik. Kegiatan itu sebagian besar adalah menyajikan bahan
pelajaran agar peserta didik menerima, menguasai dan
mengembangkan bahan pelajaran itu. Guru perlu mendalami peserta
didik dengan baik, harus mempunyai perencanaan yang mendetail,
agar dapat melayani peserta didik belajar seara individual.
c) Relasi Guru dengan Peserta Didik
Di dalam relasi (guru dengan peserta didik) yang baik, peserta didik
akan menyukai gurunya juga akan menyukai mata pelajaran yang
diberikan sehingga peserta didik berusaha mempelajari sebaik-
baiknya. Guru yang kurang berinteraksi dengan peserta didik secara
akrab, menyebabkan proses belajar mengajar itu kurang lancar.
56
d) Relasi Peserta Didik dengan Peserta Didik
Menciptakan relasi yang baik antarpeserta didik adalah perlu, agar
dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap belajar peserta
didik.
e) Disiplin Sekolah
Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan kerajinan peserta didik
dalam sekolah dan juga dalam belajar. Agar peserta didik lebih maju,
peserta didik harus disiplin di dalam belajar baik di sekolah, di rumah,
dan di perpustakaan. Agar peserta didik disiplin haruslah guru beserta
staf yang lain disiplin pula.
f) Alat Pelajaran
Alat pelajaran erat hubungannya dengan cara belajar peserta didik,
karena alat pelajaran yang dipakai oleh guru pada waktu mengajar
dipakai pula oleh peserta didik untuk menerima bahan yang diajarkan.
Mengusahakan alat pelajaran yang baik dan lengkap adalah perlu agar
dapat mengajar dengan baik sehingga peserta didik dapat menerima
pelajaran dengan baik serta dapat belajar dengan baik pula.
g) Waktu Sekolah
Waktu sekolah ialah waktu terjadinya proses belajar mengajar di
sekolah, waktu itu dapat pagi hari, siang sore atau malam hari. Waktu
sekolah juga mempengaruhi belajar peserta didik. Jika terjadi peserta
didik terpaksa masuk sekolah di sore hari, sebenarnya kurang dapat
57
dipertanggungjawabkan. Di mana peserta didik harus beristirahat,
tetapi terpaksa masuk sekolah, sehingga mereka mendengarkan
pelajaran sambil mengantuk dan sebagainya. Sebaliknya peserta didik
belajar di pagi hari, pikiran masih segar, jasmani dalam kondisi yang
baik.
h) Standar Pelajaran di Atas Ukuran
Guru berpendirian untuk mempertahankan wibawanya, perlu memberi
pelajaran di atas ukuran standar. Akibatnya peserta didik merasa
kurang mampu dan takut kepada guru. Guru dalam menuntut
penguasaan materi harus sesuai dengan kemampuan peserta didik
masing-masing, yang penting tujuan yang telah dirumuskan dapat
tercapai.
i) Keadaan Gedung
Dengan jumlah peserta didik yang banyak serta variasi karakteristik
mereka masing-masing menuntut keadaan gedung dewasa ini harus
memadai di dalam setiap kelas.
j) Metode Belajar
Banyak peserta didik melaksanakan cara belajar yang salah. Dalam hal
ini perlu pembinaan dari guru, dengan cara belajar yang tepat akan
efektif pula hasil belajar peserta didik itu. Maka perlu belajar secara
teratur setiap hari, dengan pembagian waktu yang baik, memilih cara
belajar yang tepat dan cukup istirahat akan meningkatkan hasil belajar.
58
k) Tugas Rumah
Waktu belajar terutama adalah di sekolah, di samping untuk belajar
waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain.
3) Faktor Masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap
belajar peserta didik. Pengaruh itu terjadi karena keberadaannya peserta
didik dalam masyarakat.
a) Kegiatan Peserta Didik dalam Masyarakat
Kegiatan siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan terhadap
perkembangan pribadinya. Tetapi, jika peserta didik ambil bagian
dalam kegiatan masyarakat yang terlalu banyak, misalnya
berorganisasi, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan, dan lain-lain,
belajarnya akan terganggu.
b) Mass Media
Contoh mass media, antara lain bioskop, radio, TV, surat kabar,
majalah, buku-buku, komik-komik, dll. Semuanya itu ada dan beredar
dalam masyarakat. Mass media yang baik member pengaruh yang baik
terhadap peserta didik dan juga terhadap belajarnya. Sebaliknya, mass
media yang jelek juga berpengaruh jelek terhadap peserta didik. Maka
perlulah kiranya peserta didik mendapatkan bimbingan dan control
yang cukup bijaksana dari pihak orang tua dan pendidik, baik di dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
59
c) Teman Bergaul
Teman bergaul yang baik akan berpengaruh baik terhadap diri peserta
didik, begitu juga sebaliknya teman bergaul yang jelek pasti
mempengaruhi yang bersifat buruk juga. Agar peserta didik dapat
belajar dengan baik, maka perlulah diusahakan agar peserta didik
memiliki teman bergaul yang baik-baik dan pembinaan pergaulan yang
baik serta pengawasan dari orang tua dan pendidik harus cukup
bijaksana.
d) Bentuk Kehidupan Masyarakat
Kehidupan masyarakat di sekitar peserta didik juga berpengaruh
terhadap belajar peserta didik. Adalah perlu untuk mengusahakan
lingkungan yang baik agar dapat member pengaruh yang positif
terhadap anak atau peserta didik sehingga dapat belajar dengan sebaik-
baiknya (Slameto, 2013: 54-72).
2.1.2.9 Klasifikasi Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris
learning disability. Terjemahan tersebut sesungguhnya kurang tepat karena
learning artinya belajar dan disability artinya ketidakmampuan; sehingga
terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar. Membuat
klasifikasi kesulitan belajar tidak mudah karena kesulitan belajar merupakan
kelompok kesulitan yang heterogen. Tidak seperti tunanetra, tunarungu, atau
60
tunagrahita yang bersifat homogeny, kesulitan belajar memiliki banyak tipe
yang masing-masing memerlukan diagnosis dan remediasi yang berbeda-beda.
Secara garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam
dua kelompok, yaitu:
a. Kesulitan Belajar yang Berhubungan dengan Perkembangan
(Developmental Learning Disabilities)
Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan mencakup
gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi,
dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial. Kesulitan belajar
yang bersifat perkembangan umumnya sukar diketahui baik oleh orang
tua maupun oleh guru karena tidak ada pengukuran-pengukuran yang
sistematik seperti halnya dalam bidang akademik. Kesulitan belajar yang
berhubungan dengan perkembangan sering tampak sebagai kesulitan
belajar yang disebabkan oleh tidak dikuasainya keterampilan prasyarat
(prerequisite skills), yaitu keterampilan yang harus dikuasai lebih dahulu
agar dapat menguasai bentuk keterampilan berikutnya.
b. Kesulitan Belajar Akademik (Academic Learning Disabilities)
Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan
pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang
diharapkan. Kesulitan belajar akademik dapat diketahui oleh guru atau
orang tua ketika anak gagal menampilkan salah satu atau beberapa
kemampuan akademik. Untuk mencapai prestasi akademik yang
61
memuaskan seorang anak memerlukan penguasaan keterampilan
prasyarat.
Salah satu kemampuan dasar yang umumnya dipandang paling penting dalam
kegiatan belajar adalah kemampuan untuk memusatkan perhatian atau yang
sering disebut perhatian selektif. Perhatian selektif adalah kemampuan untuk
memilih salah satu di antara sejumlah rangsangan seperti rangsangan auditif,
taktil, visual, dan kinestik yang mengenai manusia setiap saat (Abdurrahman,
2010: 11-12).
2.1.2.10 Penyebab Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar dipengaruhu oleh dua faktor, yaitu faktor internal
dan eksternal. Penyebab utama kesulitan belajar (learning disabilities) adalah
faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis, sedangkan
penyebab utama problema belajar (learning problems) adalah faktor eksternal,
yaitu antara lain berupa strategis pembelajaran yang keliru, pengelolaan
kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan
pemberian ulangan penguatan (reinforcement) yang tidak tepat.
Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan
belajar, tetapijuga dapat menyebabkan tunagrahita dan gangguan emosional.
Berbagai faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis yang pada
gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain adalah:
a. Faktor genetik
b. Luka pada otak karena trauma fisik atau karena kekurangan oksigen
62
c. Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk
memfungsikan saraf pusat)
d. Biokimia yang dapat merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan)
e. Pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam)
f. Gizi yang tidak memadai, dan
g. Pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan
anak (deprivasi lingkungan.
Berbagai penyebab tersebut dapat menimbulkan gangguan dari taraf ringan
hingga yang tarafnya berat (Abdurrahman, 2010: 13).
2.1.3 Hambatan Pembelajaran
2.1.3.1 Hambatan Guru dalam Pembelajaran IPS
Menurut Rohani, pembelajaran merupakan suatu proses yang
dilakukan oleh individu untuk memperoleh sesuatu yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan
lingkungannya. Aktivitas belajar setiap individu tidak selamanya dapat
berlangsung secara wajar, kadang-kadang individu memiliki semangat tinggi,
tetapi kadang-kadang juga sulit untuk menumbuhkan konsentrasi. Demikian
kenyataan yang sering dijumpai pada setiap peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran akan ditemui berbagai
faktor penghambat. Hambatan tersebut datang dari guru, peserta didik,
lingkungan keluarga maupun faktor fasilitas. Hambatan dalam proses
pembelajaran tidak hanya disebabkan karena faktor intelegensi yang rendah,
63
akan tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor penghambat lainnya, seperti
metode pembelajaran yang kurang baik, tugas rumah yang terlalu banyak, dan
peserta didik malas belajar.
Salah satu faktor penghambat pembelajaran adalah guru yang
mengalami kesulitan dalam memperlajari berbagai bidang studi, khusunya
pembelajaran IPS. Dalam pembelajaran IPS, guru dituntut menggunakan
media yang tepat dan sesuai dengan materi yang diajarkan. Namun pada
kenyataannya, guru kurang memanfaatkan media yang ada di lingkungan
sekolah dan guru juga mengalami permasalahan dengan waktu yang telah
ditentukan dalam proses pembelajaran IPS.
Rohani (2010: 181) mengatakan bahwa guru merupakan faktor
penghambat dalam melaksanakan penciptaan suasana yang menguntungkan
dalam proses pembelajaran. Faktor penghambat yang datang dari guru juga
berupa hal-hal seperti berikut:
a. Tipe kepemimpinan guru.
b. Format belajar mengajar yang monoton.
c. Kepribadian guru.
d. Pengetahuan guru.
e. Pemahaman guru tentang peserta didik.
64
2.1.3.2 Hambatan Fasilitas dalam Pembelajaran IPS
Faktor fasilitas merupakan salah satu penghambat dalam
pembelajaran. Faktor tersebut meliputi:
a. Jumlah Peserta Didik dalam Kelas
Kelas yang jumlah peserta didiknya banyak sulit untuk dikelola. Jumlah
peserta didik dalam suatu kelas mencapai rata-rata 50 orang peserta didik,
hal tersebut dapat menyebabkan hambatan dalam pembelajaran.
b. Besar Ruangan Kelas
Ruang kelas yang kecil dibanding dengan jumlah peserta didik dan
kebutuhan peserta didik untuk bergerak dalam kelas merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan munculnya hambatan dalam pembelajaran.
c. Ketersediaan Alat
Jumlah buku yang kurang atau alat lain yang tidak sesuai dengan jumlah
peserta didik yang membutuhkannya akan menimbulkan masalah dalam
pembelajaran (Rohani, 2010: 183-184).
2.1.3.3 Hambatan Peserta Didik dalam Pembelajaran IPS
Faktor lain yang dapat merupakan hambatan dalam pembelajaran
adalah faktor peserta didik. Peserta didik dalam kelas dapat dianggap sebagai
seorang individu dalam suatu masyarakat kecil yaitu kelas dan sekolah.
Mereka harus tahu hak-haknya sebagai bagian dari suatu kesatuan masyarakat
di samping juga harus tahu akan kewajibannya dan keharusan menghormati
hak-hak orang lain.
65
Peserta didik harus sadar bahwa menggangu teman yang sedang
belajar berarti tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota suatu
masyarakat kelas dan tidak menghormati hak peserta didik lain untuk
mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari kegiatan pembelajaran.
Kekurangsadaran peserta didik dalam memenuhi tugas dan haknya sebagai
anggota suatu kelas atau suatu sekolah dapat merupakan faktor utama
penyebab hambatan dalam pembelajaran (Rohani, 2015: 182-183).
2.1.4 Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
2.1.4.1 Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Menurut Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang
diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan
generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) memuat materi Geografi, Sejarah,
Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS), peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia
yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
Di masa yang akan datang peserta didik akan menghadapi tantangan berat
karena kehidupan masyarakat global selalu mengalami perubahan setiap saat.
Oleh karena itu mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dirancang
untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis
66
terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan
bermasyarakat yang dinamis.
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) disusun secara
sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju
kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan
pendekatan tersebut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman
yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan.
2.1.4.2 Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial
Menurut Soemantri (1988) mengatakan bahwa pendidikan IPS adalah
suatu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, ideologi negara dan disiplin
ilmu lainnya serta masalah-masalah sosial terkait yang diorganisasikan dan
disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah.
National Council for Social Studies (NCSS), social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as antophology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political sciences, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences (Ilmu pengetahuan sosial adalah studi terintegrasi
tentang ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk membentuk warga
negara yang baik atau berkompeten. Program IPS disekolah
merupakan gambaran kajian sistematis dan koordinatif dari disiplin
ilmu-ilmu sosial seperti antrophology, arkeologi, ekonomi, geografi,
sejarah, hukum, filsafat, ilmu pengetahuan politis, psikologi, agama,
dan sosiologi, juga yang bersumber dari humaniora, matematika, dan
Asarina, Riski. 2014. Studi Eksplorasi Kendala-Kendala Guru Dalam Pembelajaran IPS Di SMP Wilayah Kecamatan Moyudan.Vol 3(3).
Aulia, Amna. 2014. Strategi, Masalah, Dan Upaya Menyinergikan Dalam Pembelajaran IPS Terpadu Pada Kelas VIII SMP Negeri 2 Magelang Tahun Ajaran 2014/2015. Indonesian Jaournal of History Education.Vol
3(2).
Badan Standar Nasional Indonesia. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: BSNP.
Darwis.2013. Kemampuan Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Dalam Meningkatkan Kedisiplinan BelajarSiswa Dalam Pembelajaran di SMKN Parigi Selatan.
Depdiknas. 2007. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPS. Jakarta:
Gracy Delaney, dkk. 2014. Health Barries to Learning: A Survey of New York City Public School Leadership.
Gunawan, Rudy. 2013. Pendidikan IPS. Bandung: Alfabeta.
Hamalik, Oemar. 2015. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Khan, A. Intakhab. 2011. An Analysis of Learning Barriers: The Saudi Arabian Context. International Education Studies.Vol 4(1).
Mulyasa, E. 2011.Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ningsih, Nuroktya. 2012. Hambatan Guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pelaksanaan Evaluasi Pembelajaran di SMAN 1 Sanden.Jurnal
Citizenship.Vol 1(2).
144
Nurhayati, dkk. 2015. .Kompetensi Profesional Guru Dalam Pengelolaan Pembelajaran BidangStudi IPS Pada SMP Kecamatan Jaya Baru Kota Banda Aceh. Jurnal Magister Administrasi Pendidikan.Vol 3(3).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2006 tentang Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 dan 23.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pia, Fatema Kniz. 2015. Barriers in Teaching Learning Process of Mathematics at Secobdary Level: A Quest for Quality Improvement. American Journal of
Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Ridhowati, Berliana dan Sumarsih. 2015. Hambatan Guru Dalam Pembelajaran Akuntansi Dengan Pendekatan Kontekstual Di SMK Bisnis dan Manajemen. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia.Vol 13(1).
Rochana, Totok. 2010. Keberadaan Dan Kendala Pembelajaran Antropologi Di SMA.Jurnal Komunitas. Vol 2(2).