Vol. 01, Ed. 20, November 2021 Dana Abadi Pesantren: Keberpihakan Pemerintah bagi Pendidikan di Pesantren Hal. 1 Tantangan dan Upaya Penurunan Angka Stunting di Masa Pandemi Hal. 3 Meninjau Permasalahan Penyelenggaraan Program Indonesia Pintar (PIP) Hal. 5
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Vol. 01, Ed. 20, November 2021
Dana Abadi Pesantren: Keberpihakan Pemerintah bagi Pendidikan di Pesantren
Hal. 1
Tantangan dan Upaya Penurunan Angka Stunting di Masa Pandemi
Hal. 3
Meninjau Permasalahan Penyelenggaraan Program Indonesia Pintar (PIP)
Hal. 5
Penanggung Jawab
Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.
Pemimpin Redaksi
Slamet Widodo
Redaktur
Marihot Nasution * Martha Carolina
Savitri Wulandari * Mutiara Shinta Andini
Editor
Marihot Nasution
Sekretariat
Husnul Latifah * Musbiyatun
Memed Sobari * Hilda Piska Randini
Budget Issue Brief Kesejahteraan Rakyat ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Anggaran, Badan
Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di
terbitan ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan
resmi Badan Keahlian DPR RI.
Dana Abadi Pesantren: Keberpihakan Pemerintah bagi Pendidikan di Pesantren ................ 1
Tantangan dan Upaya Penurunan Angka Stunting di Masa Pandemi ......................................... 3
Meninjau Permasalahan Penyelenggaraan Program Indonesia Pintar (PIP) ........................... 5
1 Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 20, November 2021 ISSN 2775-7994
Komisi IX KESEJAHTERAAN RAKYAT
Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2020-2024 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, pemerintah menargetkan prevalensi stunting sebesar 14 persen pada tahun 2024, untuk mencapai target tersebut diperlukan reorientasi program yang lebih nyata dan terarah dengan melakukan penekanan yang spesifik pada pemenuhan nutrisi, baik nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil, anak-anak, dan bayi.
Perlu diketahui capaian prevalensi stunting di Indonesia sejak tahun 2013 hingga tahun 2019 berfluktuatif dengan tren positif (menurun). Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa dalam periode 2013-2019 terjadi penurunan prevalensi stunting sekitar 3 persen dari 30,8 persen tahun 2018 (Riskesdas, 2018) menjadi 27,67 persen tahun 2019 (SSGBI, 2019).
Capaian Prevalensi Stunting Tahun 2013-2019
Sumber: Survei Status Gizi Balita Indonesia (2021)
Berdasarkan dari data di atas, tujuan dari penulisan artikel ini untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting pada masa pandemi Covid-19, dan untuk mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan angka prevalensi stunting, serta mengetahui inovasi-inovasi yang dilakukan pemerintah dalam melaksanakan percepatan penurunan angka prevalensi stunting guna mencapai target yang telah ditentukan. Tantangan Penurunan Stunting
Terdapat beberapa tantangan dalam melaksanakan program percepatan penurunan stunting, di antaranya adalah pelaksanaan intervensi gizi untuk penurunan stunting di daerah masih banyak yang belum terintegrasi dan konvergen (terkoordinir dan terpadu) dengan pusat, dan masih terdapat kegiatan-kegiatan yang dilakukan tidak direncanakan secara tepat dan pelaksanaannya pun tidak terorganisir, yang mengakibatkan program penurunan prevalensi
37.20
28.90 29.00 27.50 29.60 30.8027.67
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Capaian Prevalensi Stunting (%)
• Tahun 2019 capaian prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan survei SSGBI tercatat 27,67 persen, angka ini masih jauh dari target pemerintah sebesar 14 persen pada tahun 2024.
• Pelaksanaan intervensi gizi untuk penurunan stunting di daerah masih banyak yang belum terintegrasi dan konvergen (terkoordinir dan terpadu).
• Meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran dikhawatirkan akan meningkatkan stunting.
• Upaya pemerintah dalam menurunkan angka prevalensi stunting dengan melaksanakan 8 aksi konvergensi, aksi konvergensi ini dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi program/kegiatan.
HIGHLIGHTS
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI
Penanggung Jawab Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Slamet Widodo · Marihot Nasution · Martha Carolina · Mutiara Shinta Andini · Savitri Wulandari Penulis Marihot Nasution · Firly Nur Agustiani
Tantangan dan Upaya Penurunan Angka Stunting di Masa
stunting di daerah tidak akan bisa mencapai maksimal, karena pelaksanaannya tidak fokus dan tidak tepat sasaran (Karnavian, Kemendagri, 2021).
Tantangan penurunan stunting saat ini menjadi lebih besar lagi akibat adanya pandemi Covid-19 yang sedang terjadi saat ini. Pertama, pandemi Covid-19 dikhawatirkan akan meningkatkan angka stunting, sebagai dampak dari meningkatnya angka pengangguran dan angka kemiskinan selama pandemi Covid-19. Kondisi ini dikhawatirkan akan menurunkan konsumsi nutrisi pada kelompok ibu hamil, anak-anak, dan bayi yang secara tidak langsung akan menimbulkan risiko kejadian berat badan bayi rendah disertai juga tanda-tanda pertumbuhan secara fisik organnya juga rendah (Suprapto, Kemenko PMK, 2021). Kedua, adanya pandemi Covid-19 mengakibatkan banyaknya perubahan perilaku di masyarakat, salah satunya perubahan perilaku hidup bersih dan sehat, baik dalam langkah promotif maupun preventif. Dalam perubahan perilaku di masyarakat ini tidaklah mudah, yang mana diperlukan edukasi dan penyesuaian serta dalam pelaksanannya pun dibutuhkan waktu, kontinuitas, dan konsisten (Sadikin, Kemenkes, 2021). Perubahan perilaku yang dapat memengaruhi stunting ini, diperkuat dengan adanya 29 persen anak-anak dari kelompok menengah ke atas mengalami stunting (Mursalin, TP2AK, 2021). Ketiga, kegiatan program pencegahan stunting di masyarakat sempat terhenti karena petugas menerapkan pembatasan jarak dan aktivitas (Mursalin, TP2AK, 2021).
Dari Kementerian Kesehatan sendiri menyampaikan dalam laporan kinerja tahun 2020-nya mengakui beberapa tantangan yang dihadapi dalam penanganan stunting di masa pandemi diantaranya: 1) terjadinya gangguan layanan gizi terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dan posyandu karena adanya pembatasan mobilitas masyarakat untuk mencegah penularan virus Covid-19; 2) dalam menjalankan layanan kesehatan di masa pandemi diketahui bahwa hanya 19,2 persen puskesmas yang tetap melaksanakan Posyandu, sementara pelaksanaan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita dilakukan di Posyandu tersebut. Upaya Percepatan Penurunan Stunting
Upaya pemerintah dalam percepatan penurunan stunting dengan melaksanakan 8 aksi konvergensi yang terdiri dari a) analisis situasi; b) rembug stunting; c) peran walikota/bupati, d) peran desa/kelurahan; e) pembinaan kader pembangunan manusia; f) sistem manajemen data; g) pengukuran dan publikasi data stunting; dan h) reviu kinerja tahunan. Aksi konvergensi ini dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi program/kegiatan. Selain dari 8 aksi konvergensi di atas, upaya yang sudah dilakukan pemerintah antara lain: melakukan intervensi spesifik terdiri dari pemberian makanan pendamping ASI; makanan tambahan ibu hamil dan balita kurus; imunisasi; konseling dan pendidikan gizi, dan intervensi sensitif terdiri dari: penyediaan air bersih; sanitasi; perlindungan sosial; stimulasi dini; PAUD; dan bantuan pangan.
Upaya lain yang dilakukan dalam menurunkan angka prevalensi stunting yang disebabkan adanya pembatasan jarak dan aktivitas, tenaga kesehatan dari Posyandu masing-masing daerah melakukan pemantauan ibu hamil dan anak balita. Upaya ini dilakukan di lingkungan RT dengan melakukan pemantauan melalui grup WhatsApp dengan sasaran bayi, balita dan ibu hamil, serta melakukan Posyandu keliling (Posling) langsung ke rumah sasaran secara door to door untuk menyambangi setiap rumah bayi, balita, dan ibu hamil. Kegiatan ini menjadi rutinitas para kader-kader Posyandu selama pandemi Covid-19, para kader tersebut mendatangi rumah-rumah sasaran didampingi tim dari Puskesmas dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Melihat adanya tantangan dan kendala yang dihadapi, serta upaya yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya yang lebih komprehensif dalam menurunkan prevalensi stunting seperti: ketersediaan tenaga kesehatan dan tim penyuluh untuk menyosialisasikan dan mengedukasi langkah-langkah yang harus dilakukan dalam percepatan penurunan stunting. Dibutuhkan pula kerja keras dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa serta peran dan dukungan masyarakat untuk ikut dalam program penurunan stunting, mengingat hingga saat ini pandemi Covid-19 masih berlangsung, dan pandemi Covid-19 ini merupakan bagian yang menghambat survei prevalensi stunting.
1 Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 20, November 2021 ISSN 2775-7994
Komisi X KESEJAHTERAAN RAKYAT
*Edisi Khusus: Hasil Karya Magang di Rumah Rakyat*
Selaras dengan amanat dari Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan Pendidikan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, juga menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan wajib untuk menjamin pendidikan warga Indonesia serta pelaksanaan wajib belajar selama 12 tahun, baik jalur pendidikan formal, non-formal, dan informal untuk anak usia sekolah secara umum maupun berkebutuhan khusus. Namun wajib belajar 12 tahun belum dijalankan secara optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari data tingkat putus sekolah jenjang Sekolah Dasar/SD, Sekolah Menengah Pertama/SMP, Sekolah Menengah Atas/SMA, hingga Sekolah Menengah Kejuruan/SMK selama tahun ajaran 2019/2020 dan 2020/2021 masih terbilang tinggi walaupun mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Sumber: statistik.data.kemdikbud.go.id/
Pemerintah sejak tahun 2014 meluncurkan Program Indonesia Pintar (PIP) yang diwujudkan dalam bentuk Kartu Indonesia Pintar (KIP). Program ini menyasar masyarakat usia sekolah, mulai 6 hingga 21 tahun yang berasal dari keluarga tidak mampu. Tujuan PIP adalah untuk membantu anak-anak usia sekolah dari keluarga tidak mampu agar dapat menyelesaikan pendidikannya, baik melalui jalur formal, SD hingga SMA/SMK, maupun jalur non formal yaitu Paket A, Paket C dan pendidikan khusus. PIP merupakan bantuan tunai pendidikan untuk anak usia sekolah (usia 6 – 21 tahun) yang berasal dari keluarga miskin, rentan miskin yang memiliki Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), peserta Program Keluarga Harapan (PKH), yatim piatu, penyandang disabilitas, dan korban bencana alam/musibah dan dijalankan dengan menyalurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Pada tahun 2021, Kemendikbud menargetkan penerima KIP Sekolah sebanyak
• Perencanaan, pendataan, sosialisasi,
dan edukasi memegang peranan
penting dalam pelaksanaan Program
Indonesia Pintar (PIP).
• Pencairan anggaran PIP hingga saat
ini sebesar 97,01 persen dan masih
dalam tahap proses pencairan.
• Ketidaktepatan sasaran ini juga
disebabkan belum ada data yang
padu terkait keluarga miskin. Jadi
masih banyak masyarakat yang
masih belum mendapatkan haknya
secara merata.
• Perlunya kerjasama antara
Kemendikbud dengan lembaga
lainnya seperti Kementerian Sosial,
Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K), dan Badan Pusat Statistik
(BPS) untuk sinkronisasi data
penerima PIP.
HIGHLIGHTS
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI
Penanggung Jawab Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Slamet Widodo · Marihot Nasution · Martha Carolina · Mutiara Shinta Andini · Savitri Wulandari Penulis Savitri Wulandari · Iranisa · Eugenius Evan · Gina Zahira · Firja Fauziah · Akbar Mahdafi · Syahfira Angela Nurhaliza
17.927.308 siswa dengan total anggaran mencapai Rp9,6 triliun. Namun, hingga saat ini anggaran yang direalisasikan baru sebesar Rp5,5 triliun dan dana yang baru dicairkan ke dalam rekening peserta sebesar Rp5,3 triliun atau 97.01 persen. Meskipun program ini bermanfaat bagi keluarga tidak mampu, tetapi dalam pengelolaannya masih dijumpai beberapa hambatan/kekurangan. Beberapa masalah tersebut antara lain terkait buruknya pendataan penerima bantuan, ketidakjelasan koordinasi antar lembaga, dan kurangnya sosialisasi serta edukasi tentang mekanisme pencairan bantuan dari program.
Berdasarkan hasil audit tahun anggaran 2018 hingga semester I 2020 oleh Badan Pemeriksa Keuangan/BPK ditemukan bahwa perencanaan PIP belum dilaksanakan secara memadai yang mengakibatkan pendataan PIP yang berdasarkan Nomor Induk Siswa Nasional dan Nomor Induk Kependudukan belum dapat digunakan sebagai acuan untuk pemberian bantuan karena tidak dapat menerangkan status ekonominya sehingga PIP seringkali tidak tepat sasaran karena diberikan kepada siswa yang tidak layak/tidak diusulkan menerima. Pendataan yang dilakukan secara tidak transparan merupakan salah satu permasalahan utama PIP. Dalam mengalokasikan dana bantuan pendidikan nasional, pemerintah selalu mengacu pada Dapodik. Namun, data tersebut mengandung banyak permasalahan. Menurut Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, salah satu permasalahan adalah adanya pendataan yang tidak dilakukan secara partisipatif. Kemendikbud memperoleh data dari Dapodik langsung melalui Dinas Pendidikan dan sekolah. Akan tetapi, data tersebut tidak dapat menjamin kebenaran status ekonomi siswa saat ini. Misalnya, siswa yang seharusnya tergolong tidak mampu tergolong kelompok yang mampu di sekolah sehingga pendampingan PIP tidak mengarah pada personil terkait. Di sisi lain, pihak sekolah juga tidak melakukan pemutakhiran data dan tidak langsung meninjau status ekonomi masing-masing siswa. Kerjasama antar lembaga pelaksana PIP yang juga belum terintegrasi dengan baik sehingga menyebabkan setiap lembaga memiliki data status ekonomi warga yang berbeda-beda yang mengakibatkan masih terdapat banyak keluhan terhadap ketidak tepat sasaran penerima PIP. Salah
satu penyebab lain masih dijumpainya ketidaktepatan sasaran penerima KIP adalah kurangnya sosialisasi dari pemangku kepentingan terkait dengan siapa yang seharusnya berhak mendapatkan KIP dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam prosedur pengajuannya. Kurangnya edukasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh pemangku
kepentingan terkait, menyebabkan masih adanya calon penerima PIP yang seharusnya mendapatkan haknya, tidak mendapatkan haknya dikarenakan masih belum adanya panduan, maupun sosialisasi terkait aktivasi tata cara pendanaan dari program tersebut, yang menyebabkan dana yang seharusnya sudah dicairkan guna kepentingan program ini, kembali kepada kas negara kembali.
Pemerintah perlu mengatasi berbagai permasalahan dalam hal pengelolaan program ini di masa mendatang. Oleh karenanya, diperlukan sistem yang dapat mengakomodir alur koordinasi untuk setiap lembaga pelaksana, terutama untuk kerjasama antara Kemendikbud, Kementerian Sosial, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dan Badan Pusat Statistik, serta memadukan PIP dengan Program Keluarga Harapan (PKH) agar data yang digunakan relevan dengan kondisi ekonomi penerima PIP. Menyatukan sistem PIP dengan PKH tidak hanya membantu pemerintah dalam permasalahan pendataan tetapi juga dapat memangkas anggaran pemerintah terhadap sistem kedua program tersebut dan mengalihkannya untuk menambah besaran jumlah yang diterima peserta program. Pemerintah juga perlu meningkatkan kerjasama dengan dinas terkait pada level provinsi, kabupaten, kota, dan tiap-tiap sekolah agar kegiatan sosialisasi PIP dapat terlaksana secara merata sehingga masyarakat memahami prosedur pengajuan maupun pencairan dana PIP.