BAB IPENDAHULUANLATAR BELAKANG MASALAH Aktivitas hukum sering
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah tindakan disebut
perbuatan hukum jika mempunyai akibat yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum atau diakui oleh negara. Hukum
atau ilmu hukum sendiri adalah suatu sistem aturan atau adat, yang
secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa,
pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum.
Banyak sekali dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan
pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Hakim
adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan
penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan
terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan
integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan. Sedangkan
pengertian hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8
KUHAP). Banyak sekali hakim dan ketentuan hakum baik objeknya dan
subjek dari hakim dan perbuatan hakim tersebut.. di dalam ushul
fiqih juga dibahas tentang apa itu Hakim. menunjuk pengertian hakim
yang memutuskan perkara di pengadilan.Adapun menurut terminologi
ushul fiqh, kata hakim menunjuk pihak yang menciptakan dan
menetakan hukum syariat secara hakiki. Dalam hali ini, semua ulama
sepakat, hanya Allah yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat
bagi seluuh hamba-Nya.
BAB IIPEMBAHASANA. Hakim dan Perbuatan Hukum1. Pengertian
HakimKata Hakim yang berasal dari Bahasa Arab telah menjadi bahasa
Indonesia, yang maknanya sama dengan salah satu dari makna
etimologinya dalam bahasa Arab, yaitu: orang yang memutuskan dan
menetapkan hukum; yang menetapkan segala sesuatu, dan yang
mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata Hakim juga
digunakan untuk menunjuk pengertian hakim di pengadilan. Untuk
pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan
dengan kata Qadhi (kadi). Dari segi terminologi fiqh, kata hakim
atau qadhi juga menunjuk pengertian hakim yang memutuskan perkara
di pengadilan.Adapun menurut terminologi ushul fiqh, kata hakim
menunjuk pihak yang menciptakan dan menetakan hukum syariat secara
hakiki. Dalam hali ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang
menciptakan dan menetapkan hukum syariat bagi seluuh hamba-Nya
(al-Hakim Huwa Allah; al-Hakim adalah Allah. Allah berfirman pada
surah Al-anam (6) : 57
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata
(Al Quran) dari Tuhanku[479], sedang kamu mendustakannya. tidak ada
padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya.
menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".[479]
Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. mempunyai bukti yang nyata atas
kebenarannyaSemua ulama sepakat menyatakan, hanya Allah yang berhak
mencipta dan menetapkan perintahdan larangan, dan sejalan dengan
itu, hamba-hamba-Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan
larangan-Nya. Hamba Allah yang patuh akan diberi pahala dan surga,
sedang yang durhaka akan dikenalai dosa dan siksa.Dalam konteks
penetapan hukum, dilingkungan ulama ushul fiqh dikenal dua istilah,
yaitu al-mutsbit li al-hukm (yang menetapkan hukum) dan al-muzhhir
li al-hukm (yang membuat hukum menjadi nyata/yang melaksanakan
hukum). Yang dimaksud al-mutsbit li al-hukm yaitu yang berhak
membuat dan menetapkan hukum. Yang berhak membuat dan menetapkan
hukum itu hanya Allah. Tidak siapa pun yang berhak menetapkan hukum
kecuali Allah. Akan tetapi perlu ditegaskan kembali, selain
digunakan istilah al-hakim untuk menunjuk pengertian bahwa Allah
pembuat hukum satu-satunya, dikenal pula isilah asy syari (pembuat
syariat). Dalam hal ini istilah a-hakim dan asy-syari selain
bermakna Allah pencipta dan pembuat hukum, harus pula ditambahkan
Rasulullah bukan karena beliau memiliki wewenang otnom membuat
hukum dan syariat, tetapi karena beliau diberi tugas, antara lain,
menjelaskan aturan-aturan hukum syariat yang juga bersumber dari
wahyu Allah. Dalam konteks inilah dikenal dua macam bentuk wahyu
yang disampaikan kepada Rasulullah yaitu yang biasa disbut dengan
istilah wahyu matluw (wahyu yang dibacakan/Al-Quran) dan wahyu
ghair matluw (wahyu yang tidak dibacakan/al-hadits/al-sunnah).Pada
hakikatnya tidak ada satupun perbuatan manusia (baik dalam bentuk
aktif maupun pasif, gerak dan diam manusia) yang tidak ada
hukumnya, karena segala sesuatu telah ditetapkan hukumnya oleh
Allah melalui Al-Quran dan Hadits Rasul-Nya. Hanya saja hukum yang
telah ditetapkan Allah itu, ada yang jelas dan nyata hukumnya, dan
ada pula yang masih tersembunyi dan samar bagi manusia. Untuk
menemukan hukum yang tersembunyi itu, diperlukan upaya ijtihad
dengan cara menggalinya (istinbath al-hakam) melalui alat-alat
ijtihad, sepert: ijma, qiyas dan lain-lain, dari sumberny yang
telah tersedia, yaitu Al-Quran dan Hadits, sehingga hukum Allah
yang tersembunyi itu menjadi diketahui dan nyata bagi manusia.
Mujtahid yang ber-ijtihad berperan menggali dan menemukan hukum
islam yang tersembunyi itulah yang disebut dengan al-muzhhir li
al-hukum. Karena itu, mujtahid hanya berperan membuat nyata dan
terang hukum-hukum Allah yang masih tersembunyi, bukan menciptakan
dan menetapkan hukum secara mandiri.2. Hakikat hakimTidak ada
perselisihan dikalangan ulama bahwa yang menjadi sumber hukum bagi
semua perbuatan mukallaf (islam, baligh dan berakal) adalah Allah.
Baik hukum ini secara jelas terdapat dalam nash yang telah
diwahyukan oleh Allah atau dengan ia memberi petunjuk kepada
mujtahid untuk mengeluarkan hukum-hukum mengenai perbuatan mukallaf
dari dalil-dalil yang telah disyariatkan untuk di istimbathkan
hukumnya.Dengan demikian, terjadilah kata sepakat di antara para
ulama untuk mendefiniskan hukum syara yaitu:Khitab Allah yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf berupa tuntutan
atau suruhan untuk memilih atau berupa ketetapanDari definisi di
atas jelaslah bahwa yang menjadi hakim atau (syari) adalah Allah
SWT. Maka tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Atas dasar itu, maka
semua umat Islam sepakat bahwa yang menjadi hakim (sumber hukum)
dalam Islam adalah Allah SWT. Tidak ada hukum kecuali berasal
dari-Nya. Hal yang menjadi perselisihan umat islam adalah terletak
pada cara bagaimana hukum Allah itu di dapat. Apakah hukum Allah
dapat diketahui dengan sendirinya melalui akal tanpa perlu adanya
utusan atau rasul, ataukah hukum Allah hanya dapat diketahui
melalui rasul dengan kata lain akal tidak dapat mengetahui hukum
Allah. Hal ini menjadi perdebatan diantara para ulama, berikut ini
akan dibahas pendapat para imam mazhab:1. Cara mengetahui
hukumTerdapat pandangan yang berbeda-beda di kalangan para ulama
tentang bagaimana hukum Allah itu dapat diketahui. Berikut ini akan
dikemukakan tiga aliran yang memiliki pandangan masing-masing
tentang cara mengetahui dan mendapatkan hukum Allah SWT. a. Mazhab
AsyAriyyah Yaitu para pengikut abu hasan al-asyari. Menurut mazhab
ini akal tidak dapat mengetahui hukum Allah tentang perbuatan
mukallaf, kecuali melalui perantaraan para rasulnya dan kitabnya.
Karena menurut mereka, akal dapat dibedakan dalam menanggapi soal
perbuatan dalam hal baik dan buruk suatu perbuatan. Akal
dipengaruhi oleh nafsu. Oleh karena itu tidak dapat dikatakan:
sesuatu yang dipandang oleh akal itu baik maka baik juga menurut
Allah dan mendapatkan pahala orang yang mengerjakannya. Dan sesuatu
yang dipandang jelek oleh akal, ia jelek juga menurut Allah dan
mendapatkan siksa orang yang mengerjakannya.b. Mazhab
MutazilahMazhab ini adalah para pengikut washil bin atha, yang
pendiri mazhab mutazilah menurut mazhab ini akal dapat mengetahui
hukum Allah tentang perbuatan mukallaf dengan sendirinya tanpa
perlu adanya utusan Allah atau Rasul dan wahyu. Karena setiap
perbuatan yang dilakukan seseorang mengandung sifat dan pengaruh
yang dapat diukur oleh akal apakah perbuatan ini membahayakan atau
memberikan manfaat. Semua perbuatan mengandung kekhususan dan
pengaruh yang menjadikan perbuatan itu dapat dikatakn baik atau
jelek. Menurut mutazilah bahwa hukum Allah mengenai perbuatan
mukallaf merupakan suatu yang dapat dijangkau oleh akal manusia
berupa keuntungan atau bahaya.c. Mazhab Al-maturidiyahYaitu para
pengikut Abu Manshur al-maturidi. Mazhab ini dinilai lebih moderat
dan netral (kalau tidak dikatakan dua mazhab sebelum fanatik).
Mazhab ini berusaha untuk mencari titik temu antara dua mazhab
sebelumnya. Mazhab ini berpendapat bahwa perbuatan mukallaf
mempuanyai kekhususan dan pengaruh yang menghendaki kebaikan dan
kejelekan.a) Surat Al-Anam : 57
menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang
sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (Q.S
Al-Anam)b) Surat Al-Maidah : 49 dan hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah
bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah
kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
c) Surat Al-Maidah : 44
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya
(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu
diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah
diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta
mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah
kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan
janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.d) Diakhir
ayat 45 surat Al-Maidah, Allah berfirman:
dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka
luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)
nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.(QS. Al-Maidah
: 45)
e) Keharusan untuk merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah apabila
terjadi perbedaan pendapat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.
An-Nisa : 59)
f) Keharusan untuk menggunakan hukum Allah SWT. dalam syrat
An-Nisa : 65, Allah berfirman:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.(QS. An-Nisa : 65)Sedangkan dari
pengertian kedua tentang hakim di atas, ulama Ushul Fiqh
membedakannya sebagai berikut: (Asy-Syaukani : 7) Sebelum Muhammad
SAW. Diangkat sebagai RasulPara ulama ushul fiqh berbeda-beda
pendapat tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan
menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad sebagai Rasul.
Sebagian ulama ushul fiqh dari golongan Ahlussunnah wal Jamaah
berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara,
sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim
adalah Allah SWT. dan yang menyingkap hukum dari hakim itu adalah
syara, namun syara belum ada.Golongan Mutazilah berpendapat bahwa
yang menjadi hakim pada saat Nabi Muhammad belum diangkat menjadi
Rasul adalah Allah SWT. namun akal pun sudah mampu untuk menemukan
hukum-hukum Allah SWT. dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum
datangnya syara.Dikalangan para ulama ushul fiqh, persoalan yang
cukup rumit itu dikenal dengan iatilah At-tahsin wa al-taqbih,
yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Setelah
Diangkatnya Muhammad sebagai Rasul dan Menyebarnya Dakwah IslamPara
ulama ushul fiqh sepakat bahwa hakim adalah syariat yang turn dari
Allah SWT. yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang telah
dihalalkan oleh Allah hukumnya adalah halal, begiti pula apa yang
diharamkan-Nya hukumnya adalah haram. Juga disepakati bahwa apa-apa
yang dihalalkan itu disebut hasan (baik), didalamnya terdapat
kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segala sesuatu yang diharamkan
Allah disebut qabih (buruk), yang didalamnya terdapat kemadaratan
atau kerusakan bagi manusia.3. Baik dan BurukKetika membicarakan
hukum, salah satu persoalan mendasar yang timbul dalam filsafat
sejak zaman Yunani Kuno, yang perdebatannya terus menerus
berkepanjangan, ialah: siapakah yang berhak menetapkan hukum? Dalam
salah satu diskusi yang dikembangkan plato, misalnya, timbulnya
pertanyaan: para dewa menyenangi suatu perbuatan manusia karena
hakikatnya perbuatan itu pada dirinya memang baikk, ataukah
sebalikny, perbuatan itu dinilai baik oleh paradewa karena memang
para dewa menyenangi perbuatan itu? Demikian juga dengan perbuatan
buruk. Persoalan ini belakangan mempengaruhi pemikiran sebagian
ilmuwan (ulama) islam, sehingga dikalangan ulama ilmu kalam
(mutakallimin) timbul pertanyaan : mengapa suatu perbuatan dinilai
baik? Apakah Allah memerintahkan suatu perbuatan karena memang
esensi perbuatan itu terpuji, dan melarang suatu perbuatan karena
esensi perbuatan itu tercela? Atau: apakah pada hakikatnya suatu
perbuatan tidak memiliki sifat terpuji dan tercela pada dirinya,
tetapi semata-mata karena ia diperintahkan Allah atau karen
dilaang-Nya? Perbedaanpendapat tentang hal ini melahirkan tiga
kelompok pendapat. Kaena perbedaan pendapat itu tidak menyentuh
langsung pembahasan ushul fiqh, maka hanya akan diuraikan secara
singkat sebagai berikut:a. Pandangan kelompok MutazilahMenurut
pendapat kelompok Mutazil, suatu perbuatan disebut baik (terpuji)
karena perbuatan itu memang baik dan bermanfaat. Sebaliknya, suatu
perbuatan disebut buruk (tercela) karena memang perbuatan itu
mengandung keburukan dan bahaya. Manusia dengan kemampuan akalnya
dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk. Sebagian perbuatan baik,
dan buruk itu dapat diketahui dengan mudah tanpa harus
memikirkannya lebih dahulu, seperti: berkata benar adalah baik,
sedang berdusta adalah buruk. Sedangkan sebagian baik dan buruk
lainnya baru dapat diketahui setelah memikirkannya secara mendalam,
seperti: berkata benar adalah baik, meskipun menimbulkan bahaya,
dan bentuk perbuatan baik dan buruk yang diketahui manusia melalui
akalnya ini, wahyu yang dibawa para Rasul Allah hanya berperan
sebagai konfirmasi atas baik dan buruk yang diketahui manusia
dengan akalnya itu.Sementara ada sebagian kecil perbuatan baik dan
buruk yang tidak dapat diketahui akal manusia kecuali diberitahu
Allah melalalui wahyu, seperti: perbuatan shalat, puasa, dan haji
dengan tatacara sebagaimana yang diajarkan syariat. Pada bentuk
perbuatan inii, wahyu berperang memberi informasi tentang baik dan
buruk.Terhadap perbuatan baik dan buruk yang dapat diketahui
manusia dengan akalnya, manusia diperintahkan Allah untuk melakukan
perbuatan baik, dan akan diberi pahala karena berbuatn baik, dan
dilarang berbuat yang buruk, serta dikenai dosa karena berbuat
buruk, meskipun Allah belum menurunkan bimbingan wahyu melalui
pengutusan Rasul-Nya. Sementara terhadap perbuatan yang tidak
mungkin diketahui manusia kecuali melalui wahyu, manusia tiak
dibebani kewajiban untuk menjalankannya, sebelum datangnya wahyu
dan pengutusan Rasul.b. Pandangan Kelompok MaturidiyahKelompok
Maturidiyah sepakat dengan kelomk Mutazilah yang mengatakan,
manusia dengan akalnya, dapat mengetahui sebagian besar perbuatan
baik dan buruk. Akan tetapi mereka menolak pendapat Mutazilah yang
mengatakan bahwa manusia diperintahkan untuk berbuat baik, yang
karenanya diberi pahala, dan dilarang berbuat buruk, yang karenanya
dikenai dosa, sebelum turnnya whyu mengenai pengutusan
Rasul.Argumen yang dikemukakan Maturidiyah adalah firman Allah pada
surah al-Isra (17) : 15 Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan
hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk
(keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka
Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami
tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.c.
Pandangan Kelompok Asy-ariyyahGolongan Asy-ariyyah berpendapat,
akal manusia tidak dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk,
karena baik dan buruk bukan pada esensi perbuatan, melainkan karena
diberi sifat baik atau buruk oleh Allah melalui wahyu. Oleh karena
itu, manusia tidak berkewajiban melakukan perbuatan baik dan
menjauhi perbuatan buruk sebelum datangnya wahyu, manusia tidak
dikenai beban taklif. Argumen yang dikemukakan Asyariyyah untuk
mendukung pendapat mereka adalah ayat surah al-Isra yang
teladisebut diatas.[footnoteRef:1] [1: Pembahasan tentang perbuatan
baik dan buruk dapat ditemukan didalam hampir semua kitab-kitab
ilmu kalam. Bandingkan, misalnya: Abdullah bin Abdul Muhsin
at-Turki, Mujmal Itiqad Aimah as-salaf, Saudi Arabia: wizarah
asy-Syuun al-Islamiyyah wa al-awqaf wa ad-Dawah wa al-Irsyad, 1417
H, hlm. 140 dst; al-Syyahrastani, Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-kalam,
Qahirah: Maktabah ats-Tsaqfah ad-Diniyyah, tt, hlm. 129 dst; Abu
Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-Itiqad, beirut: Dar al-Fikr,
1997, hlm. 50-52]
Perlu ditegaskan lagi, perbedaan pendapat di atas berkenaan
dengan perbuatan manusia sebelum turunnya wahyu. Perbedaan pendapat
tersebut menjadi titik relevan setelah turunnya wahyu, karena
ketiga kelompok tersebut sependapat, setelah datangnya Rasulullah
membawa wahyu, maka yang menjadi standar baik dan buruk adalah
wahyu.B. Perbuatan Hukum1. Tahsin dan TaqbihAda banyak pengertian
yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh tentang hasan dan qabih,a.
Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat
manusia, misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang
celaka. Sedangkan qabih adalah segala sesuatu yang tidak sesuai
dengan sifat tabiat manusia, misalnya menyakiti orang lain.b.
Al-Husnu, diartikan sebagai sifat yang sempurna, misalnya kemuliaan
dan pengetahuan dalam diri seseorang seperti, bodoh, kikir. Kedua
pengertian tentang hasan dan qabih tersebut telah disepakati oleh
para ulama bahwa hal itu hanya bisa dicapai akal.c. Al-Husnu,
adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan qabih,
merupakan segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh
manusia. Hal itu disepakati oleh para ulama dalam hal yang tidak
bisa dicapai oleh akal.d. Al-Husnu, diartikan sebagai pekerjaan
yang bila dikerjakan akan mendapat pujian didunia dan pahala dari
Allah SWT. kelak diakhirat sebaliknya qabih adalah perbuatan yang
akan mendapat cercaan dari manusia bila dikerjakan seperti,
maksiat, mencuri, dan lain-lain Pengertian yang diperselisihkan
oleh para ulama adalah nomor tiga dan empat, yakni tentang mungkin
tidaknya dicapai oleh akal. Menurut Asy-ariyah, pengertian nomor
tiga dan empat hanya bisa ditentukanoleh syara. Baik dan buruknya
bukanlah terdapat pada zatnya, tetapi pada sifatnya yang nisbi
(relatif). Pendapat di atas bertentangan dengan golongan mutazilah
yang menyatakan bahwa hasan dan qabih dapat diketahui dan
ditentukan oleh akal, tanpa memerlukan pemberitahuan dari syara.
Menurut mereka sebagian yang baik atau yang buruk itu terletak pada
zatnya, dan sebagian lainnya terdapat diantara manfaat, mudarat,
baik, dan buruk.2. Kemampuan Akal Mengetahui Syariat Para ulama
terbagi kedalam tiga golongan dalam menentuka kemampuan akal untuk
menentukan hukum sebelum turunnya syariat:1. Menurut ahlu sunnah
wal jamaah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum,
sebelum turunnya syariat. Akal hanya bisa menetapkan baik dan buruk
melalui perantara Al-Quran dan Rasul, serta kitab-kitab samawi
lainnya. Pendapat mereka didasarkan pada firman Allah SWT. surat
Al-Isra : 15 Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah
(Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan)
dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia
tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa
tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab
sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra :15) Dari ayat
diatas dapat diketahui bahwa Allah sekali-kali tidak akan mengazab
seseorang yang belum sampai kepadanya seseorang utusan (Rasul) yang
membawa risalah ilahi. Selain ayat tersebut Allah pun berfirman
dalam surat An-Nisa : 165
(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa : 165) Dengan
mengemukakan nash diatas, menurut ahlu sunnah wal jamaah, akal
tidak bisa dijadikan standar untuk menentukan baik buruknya suatu
perbuatan. Dengan demikian, maka Allah tidak berkewajiban
menetapkan suatu kebaikan yang dipandangi baik oleh akal, atau
menetapkan keburukan suatu perbuatan yang dipandangi buruk menurut
akal, karena Allah mempunyai kehendak yang mutlak. Dan berkuasa
untuk menetapkan perbuatan yang tidak bermanfaat sekalipun. Namun,
menurut penelitian, suatu perintah Allah pasti mengandung suatu
manfaat, sedangkan larangannya mengandung kemudaaratan.2. Mutazilah
berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik buruknya suatu
pekerjaan sebelum datangnya syara meskipun tanpa perantara kitab
samawi dan rasul. Baik dan buruk itu ditentukan oleh zatnya,
sehingga akal bisa menentuka syariat. Alasan mereka sebenarnya sama
dengan ayat yang dikemukakan oleh ahlusunnah wa aljamaah, yaitu
dalam surat al-isra ayat 17, hanya mereka mengartikan rasul dalam
ayat tersebut dengan arti akal, sehingga arti keseluruhan dari ayat
tersebut adalah:Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum Kami
berikan akal padanya.Menurut mereka, sebagian perbuatan dan
perkataan itu sudah semestinya dilakukan manusia, seperti beriman
dan berbuat baik. Dan orang yang melakukannya berhak mendapat
pujian, karena keimanan dan perbuatan baik itu merupakan hal yang
baik pada zatnya. Sebaliknya, akal akan menolak perbuatan yang
buruk pada zatnya, seperti berdusta, kafir, dan berbuat sesuatu
yang tidak benar. Perbuatan tersebut akan mendapat celaan dari
manusia, dan sedikit puntidak ada alasan untuk
mengerjakannya.Menurut kaum mutazilah, prinsip yang dipakai dalam
menentuka sesuatu itu baik ataupun burut adalah akal manusia, bukan
syara. Dnegan demikian, sebelum datangnya rasul pun, manusia telah
dikenakan kewajiban melakukan perbuatan yang menurut akal mereka
baik dan untuk itu mereka akan diberi imbalan. Selain itu, mereka
pun dituntut untuk meninggalkan perbuatan yang jelek menurut akal
mereka, dan bila dikerjakan mereka akan mendapat hukuman.Golongan
mutazilah juga berpendapat bahwa syariat yang ditetapkan kepada
manusia merupakan sesuatu yang dapat dicapai oleh akal, yakni bisa
ditelusuri bahwa didalamnya ada unsur manfaat atau madarat. Dengan
demikian, sesuatu yang baik menurut akal adalah baik menurut syara,
dan manusia dituntut untuk mengerjakannya. Sebaliknya, sesuatu yang
jelek menurut akal adalah jelek menurut syara, dan manusia dilarang
untuk mengerjakannya.3. Golongan Maturidiyah berusaha menengahi
kedua pendapat diatas. Mereka berpendapat bahwa perkataan atau
perbuatan itu, adakalanya baik atau buruk pada zatnya. Syara
menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan yang baik pada
zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang jelek pada zatnya.
Adapun terhadap perbuatan dan perkataan yang kebaikan dan
keburukannya tidak pada zatnya, syara memiliki wewenang untuk
menetapkannya.Lebih jauh Maturidiyah berpendapat bahwa kebaikan
atau kejelekan yang didasarkan pada akal tidak wajib dikerjakan
ataupun ditinggalkan. Sedangkan dikerjakan pun tidak akan mendapat
pahala kalau semata-mata hanya berdasarkan pada akal saja. Begitu
pula sebaliknya, bila mengerjakan suatu perbuatan yang dipandang
buruk semata-mata oleh akal, tidak akan mendapat hukuman, menurut
mereka akal itu tidak berdiri sendiri, namun harus dibarengi dengan
nash. Dengan kata lain, walaupun akal mengetahu bahwa suatu
perbuatan itu baik ataupun buruk, namun adanya pemberitaan dari
kitab samawi atau penerangan dari rasul menetapkan keharusan untuk
mengerjakan atau meninggalkannya. Begitu halnya dengan masalah
imbalan dan hukuman. Maka Allah tidak wajib memerintah kepada
manusia untuk menegerjakan perkataan ataupun perbuatan yang baik
menurut akal. Dan sebaliknya, Allah pun tidak wajib untuk
memerintahkan manusia meninggalkan perbuatan yang buruk menurut
akal.Implikasi dari perbedaan pendapat mengenai peranan akal
tersebut, berkaitan pula dengan posisi akal dalam ijtihad. Apakah
akal bisa menjadi salah satu sumber hukum isalm? Menurut Ahlusunnah
wa al-jamaah dan Maturidiyah, akal tidak dapat secara berdiri
sendiri menjadi sumber hukum islam. namun diakui bahwa akal
berperan penting dalam menangkap maksud-maksud syara untuk
menetapkan suatu hukum, tetapi bukan menentukan hukum. Sebagaimana
pendapat Abu Zahrah , nahwa seluruh produk fiqh adalah hasil daya
manusia yang tdak habis-habisnya sampai sekarang. Akan tetapi, daya
nalar tersebut tidak terlepas sama sekali, karena harus bersandar
pada nash.Mutazilah dan syiah jafariyah, berpendapat bahwa akal
merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah.C.
Objek Hukum 1. PengertianObjek hukum atau Mahkum Bih ialah
perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara. Contohnya
kewajiban memenuhi janji. Sebagaimana firman Allah SWT. Dibawah
ini:Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad
itu... (QS. Al-maidah/5:1)Syarat-syarat perbuatan yang ditaklifkan
(dibebankan) agar bisa dilaksanakan dengan sempurna oleh mukallaf
harus memenuhi syrat-syarat berikut ini:a. Perbuatan itu
benar-benar diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat melakukan
perbuatan itu sesuai dengan perintah. Maka berdasarkan syarat ini
nash-nash Al-Quran yang bersifat global (belum jelas), maka tidak
wajib untuk mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari
Rasul.b. Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang
yang memiliki wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib
diikuti hukumhukumnya oleh mukalaf.c. Perbuatan yang diperintahkan
itu mungkinatau dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh mukalaf
sesuaidengan kadar kemampuannya. Mengingat tujuan hukum adalah agar
hukum itu dapat ditaati. Oleh karena itu, tidak ada beban yang
diperintahkan oleh Al-Quran untuk dikerjakan atau ditinggalkan yang
melewati batas kemampuan manusia. Berdasarkan syarat ini, maka
tidak sah memberikan beban yang mustahil (diluar kemampuan)
mukalaf. Contohnya perintah untukterbang seperti burung.D. Subjek
Hukum (Mahkum Alaih)1. PengertianAdapun yang dimaksud dengan subjek
hukum dalam kajian ushul fiqh adalah mukallaf, yaitu orangyang
kepadanya khithab Allah diarahkan. Dalam pada itu, mukallaf adalah
orang yang mempunyai kecakapan untuk bertindak secara hukum,
sehingga ia pantas untuk menerima titah melakukan perbuatan, atau
meninggalkan perbuatan, atau memilih antara melakukan atau
meninggalkan suatu perbuaatan.2. Syarat-syarat MukallafSeseorang
baru ditetapkan sebagai mukallaf, apabila pada diri orang
tersebutterpenuhi beberapa persyaratan komulatif sebagai mukallaf,
yaitu sebagai berikut:a. Sesseorang memahami bahwa tiah(khittab)
Allah swt dihadapkan kepadanya. Artinya ,bahwa ia mengetahui bahwa
perintah atau larangan Allah ditujkan kepadanya, baik pengtahuannya
itu didapatnya secra langsung dari al-quran, hadist, dan kitab
kitab yang menjelasakan keduanya, ataupun melalui bantuan orang
lain yang memungkinkan dirinya mengetahui dan memahami titah Allah.
Kemamuan memahami ini berkaitan erat dengn perkembangan akalb.
Memeiliki tanda-tanda fiisk yang menunjkan dewasa. Pada umumnya
ulama berpendapat, sesorang disebut dewasa apabila: telah mengalami
mimpi melakukan hubungan (jima) bagi laki-laki, dan telah mengalami
haid bagi wanita. Pabila kedua tanda ini belum ditemukan, maa tanda
kedewasaannya dilihat dari segi usia. Dalam hal ini, jumhur ulama,
berpendapat, usia dewasa adalah 15 tahun sedangkan menurut mazhab
Hanafi, 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi
wanita.[footnoteRef:2] Terlepasa dari kedua pendapat tersebut,
penulis berpendapat pelu pengkajian ulang dalam bahasan tersendiri,
dengan meninjau argumen masing-masing, untuk memberikan batasan
minimal tanda-tanda seseorang dinyatakan dewasa/mukallaf. Pada
tulisan ini agaknya cukuplah kalau dikatakan sulit sekali
membayangkan sorang anak yang baru pertama mimpi (jima), atau
mengalami haid, atau telah berumur 15 tahun, palagi untuk ukuran
anak-anak indonesia, dimintai pertanggungjawaban atas semua
perbuatannya baik dunia mauun di akhirat padahal mereka belum
memiliki kematangan dalam berfikir dan bertindak. [2: Abdul qadir
al-audah, at-tasyri al-jinai al-islami, juz II, beirut: dar al-fikr
al-al-arabi, tt,hlm.160.]
c. Tidak terdapat halangan untuk melaksanakan fungsinya sebagai
mukallaf, seperti: gila, idiot,lupa,tertidur,terpaksa, tidak tahu,
dan lain-lain.3. Ahliyyah al-wujubTidak semua orang disebut
mukallaf. Seseorang disebut mukallaf apabila kepdanya dapat
dimintai pertanggungjwaan atas segala perbuatannya, baik
kepatuhannya menjalankan peritah-perintah maupun menjauhi
larangan-larangan syara , baik didunia maupun diakhirat, baik
dibidang ibadah maupun muamalah. Oleh karena itu seseorang dapat
disebut mukallaf apabila ia dipandang mampu dan pantas menerima
beban taklif, yang dalam istilah ushul fiqih disebut ahl li
at-taklif (memiliki kecakapan menerima beban taklif).Agara
seseorang dipandang memmiliki kecakapan menerima beban taklif, maka
orang tersebut harus memiliki dua kecakapan yaitu: kecakapan dalam
menerima kewajiban hukum (ahliyyah al-wujub) dan kecakapan dalam
bertindak secara hkum (ahliayyah al-adda). Kedua sisi kecakapan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:a. PengertianAdapun yang
dimaksud dengan ahliyyah al-wujub ialah, kecaap seseorang untuk
melaksanakan berbagai kewajiban dan menerima berbagai hak. Pda
dasarnya itinjau dari segi bahwa seseorang adalah makhluk Allah
yang berjenis manusia, semua orang sejak dilahirkan kedunia sampai
wafatnya dipandang cakap melaksanakan kewajiban dan menerima
hak.Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya manusia mengalami
fase-fase pertumbuhan dan perkembangan menuju tahap kesempurnaaan
relatifnya sebagai manusia. Oleh karena itu menurut pandangan
syara, sesuai dengan kenyataan, kecakapn manusai melaksanakan
kewajiban dan menerima hak juga bertingkat-tingkat. Dalam hal ini,
ulama ushul fiqih menguraikannya dalam dua tingkatannya sebagai
berikut:1. Ahliyyah al-wujub al-qashirah (kecakapn melaksanakan
kewajiban secara tidak sempurna)Yang disebut diatas adalah kecakapn
seseorang yang tidak sempurna untk melaksanakan semua kewajiban dan
menerima semua hak, sebagaimana yang dapat diberikan kepada
mukallaf yanng sempurna. Oleh karena itu kepadanya hanya dikenakan
kewajiban tertentu atau hak tertentu saja. Contoh yang hanya
menerima hak tertentu tetapi tidak meneima kewajiban apapun ialah,
janin dalam kandungan. Janin dipandang cakap menerima tertentu,
sperti: warisa dan wasiat. Hak tersebut mnjadi haknya yang nyata,
apabila janin dilahirkandalam keadaan hidup. Akan tetapi, janin
tidak dibebeani kewajiban apapun, kareana ia tidak cakap memikul
kewajiban. Sebaliknya, contoh yang hanya dikenai kewajiban tertentu
tiidak diberi hak apapun ialah, orang yang telah wafat. Orang yang
telah wafat dipandang tidak cakap untuk menerima hak karena
kewafatannya, tetapi ia dikenakan kewajiban membayar utang semasa
hidupnya. Tetntu saja kewajiban membayar utang tersebut hanya
diambilkan dari harta warisan yang ditinggalkannya. Adapun hak dan
kewajibannya, terutama kewajiban kepda Allah.2. Ahliyyah al-wujub
al-kamilah (kecakapan melaksanakan kewajiban secara sempurna)Adapun
yang dimaksud diatasa seseorang yang secra potensial dipandanng
sempurna memiliki kecakapan untuk dikenai kewajiban sekaligus
diberi hak. Kecakapn potensial untuk secara sempurna memikul
kewajiban dan menerima hak ini berlaku sejak seseorang lair kedunia
sampai akhir hidupnya. Contohnya, bayi. Bai dipandang cakap
menerima, seperti; hak menerima harta warisan dari pewarisnya,
sekaligus dipandang cakap dikenai kewajiban tertentu, seperti
:kewajiban zakat fitrah, dan keewajiban zakat atas hartanya,
menurut sebagian ulama. Demikian juga seorang yang sedang berada
dalam konsdisis meghadapi kematian (sakaratulmaut). Meskipun berada
dipenghujung hidupnya, namun karena ia masih hidup maka selain
tetap dikenai kewajiban zakat fitrah dan zakat atas hartanya ia
juga tetap memiliki hak untuk menerima harta warisan sebagai ahli
waris dai pewarisanya yang lebih dahulu wfatb darinya. Agaknya
perlu ditekankan, pembahasan tentang yang dibahasa diatas pda
hakikatnya berbicara tentang kecakapan manusia un tuk memikul beban
kewajiban dan menerima hak hukum, ditinjau dari segi bahwa manusia
dalam kedudukannya sebagai manusia. Dalam hal ini, manusia
dipandang memiliki kapasitas dan potensi untuk memikul
tanggungjawab sebagai pemegang amanah yang diberikan Allah SWT.
Dengan kata lain, pembicaraan tentang pembahasan diatas pada
hakikatnya berkaitan denga tinjauan filosofis tentang kedudukan
manusia, bahwa ia memiliki potensi yang sempuran untuk menerima hak
dan kewajiban dari Allah. Itulah sebabnya, dikatak bahwa seluruh
manusia sejak lahir sampai wafatnya, dipandang cakap/layak untuk
menerima hak dan kewajiban.[footnoteRef:3] [3: Bandingkan:
al-bukhari, kasyf al-asrar an ushul al-bazdawi, juz IV, beirut: Dar
al-kitab al-arabi, 1991, hlm 393.]
3. Ahliyyah al-Adaa. PengertianAdapun yang dimaksud diatas
(kecakapan bertindak secara hukum) ialah, kepantasan seseorang
untuk dimintai pertanggungjawaban secara hukum, atas semua
perbuatannya,(baik aktif maupun pasif; gerak dan diam), baik dalam
bidang ibadah maupun muammalah sehingga semua perbuatannya
menimbulkan akibat hukum, baik yang menguntungkan maupun merugikan
baginya.b. Pembagian Ahliyyah al-AdaKecakapan bertindak secara
hukum dapat dibagi menjadi tiga tiingkatan:1. Adim al-Ahliyyah
(tidak memiliki kecakapan)Adapun yang dimaksud diatas: yang sama
sekali tidak memiliki kecakapan bertindak secara hukum mereka ini
adalah yang berusia antara nol sampai tujuh tahun. Pada usia ini
seseorang dipandang sama sekali belum memiliki akal yang dapat
mempertimbangkan perbuatannya. Meskipun pada usia ini ia belum
disebut mukallaf, namun sebagian ulama berpendapat, harta yang
dimilikinya (mungkin bersumber dari harta warisan hibah, dan
lain-lain) dikenakan kewajiban zakat.2. Ahliyyah Al-Ada al-Qashirah
(kecakapan bertindak tidak sempurna)Adapun yang dimaksud diatas
ialah yang memiliki akal yang belum sempurna, yaitu berusia antara
tujuh tahun sampai sebelum berusia dewasa, sebagian tindakannya
belum dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Mereka
juga belum dipandang mukallaf. Namun demkian, semua perbuatan
ibadahnya dipandang sah. Demikian juga semua perbuatannya yang
pasti menguntungkan baginya dipandang sah, meskipun tanpa
persetujuan dari walinya seperti: menerima hibah dan wasiat.
Sebaliknya, semua perbuatannya yang pasti merugikan baaginya
dipandang batal demi hukum, seperti: memberi hibah dan berwasiat.
Akan tetapi, jika ia melakukan transaksi atau akd yang berpeluang
menimbulkan keuntungan atau kerugia, misalnya, melakukan jual beli,
maka keabsahan tindakannya itu tergantung pada persetujuan walinya.
Apabilaa ia melakukan tindakaan pidana dan tindakannya merugikan
orang lain, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman badan tetapi dapat
dijatuhi hukuman ganti rugi yang diambilkan dari hartanya atau
harta orang tuanya.3. Ahliyyah al-Ada al-kamilah (kecakapan
bertindak secara sempurna)Adapun yang dimaksud diatas yaitu:
seseorang yang telah memilii akal yang sempurna, yaitu yang telah
mencapai usia dewasa, sehingga dipandang telah mukallaf,
sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya.Dari penjelasan
ahliyyah al-wujub dan al-ada diatas dapat diketahui, semua manusia
memiliki kecakapan secara hukum untuk dikenakan kewajiban dan
diberi hak (ahl li al-wujub), tetapi tidak semmua manusia dipandang
cakap untuk bertindak secara hukum (ahl li al-ada). Seseorang baru
dipandang cakap secara hukum, apabila ia telah mencapai kedewasaan
dari segi usia dan akalnya. Dalam keadaan seperti ini barulah
seseorang dapat disebut sebagai mukallaf.[footnoteRef:4] [4:
Pembahasan tentang ahliyyah al-ada antara lain, dapat ditemukan
pada: as-sarakhsi, juzz II, Beirut: Dar al-Marifah, tt hlm.340
dst., al-Buqhari ksyf al-asrar an ushul al-bazdawi. Juz IV Beirut:
Dar al-kitab Al-Arabi, 1991, hlm. 393-394.]
4. Faktor-faktor Penghalang Kecakapan Bertindak Secara Hukum
(Awaridh al-Ahliyyah)Meskipun sejak lahirnya, seseorang telah
memiliki kecakapan menerima kewajiban dan hak (ahl li al-wujub),
dan sejak dewasa dari segi usia dan akalnya, memiliki kecakapan
untuk bertindak secara hukum (ahl li al-ada), namun terkadang pada
waktu tertentu terdapat faktor-faktor yang menghalanginya ntuk
dapat dipandang cakap bertindak secara hukum. Faktor-faktor
penghalang tersebut ada yang berasal dari dalam dirinya, dan ada
pula yang berasal dari luar dirinya. Faktor-faktor pnghalang itu
disebut istilah awaridh al-ahliyyah (penegasi-penegasi kecakapan)
atau mawani at-taklif (penghalang-penghalang taklif).Faktor-faktor
penghalang taklf itu ada yang hanya mengurangi kecakapan mukallaf
melaksanakan hukum, tetapi ada pula yang sama sekali menegasikan
kecakapan bertindak. Faktor-faktor penghalang taklif itu dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-awaridh as-samawiyyah dan
al-awaridh al-muktasabah.a. Al-awaridh as-SamawiyyahAdapu yang
dimaksud dengan al-awaridh as-samawiyyah ialah, halangan kecakapan
bertindak secara hukum yang timbul dar luar diri seseorang yag
bukan merupakn akibat dari kehendak dan perbuatannya. Halangan ini
terdiri atas beberapa macam
1. Usia kanak-kanakPada hakikatnya tahap usia kanak-kanak tidak
tepat disebut sebagai penghalang bagi seorang mukallaf, karena
ketika seseorang masih kanak-kanak, ia belum disebut mukallaf.
Tetapi ditinjau dari segi bahwa seseorang kanak-kanak telah
memiliki ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada al-qshirhah, maka
usia kanak-kanak dipandang sebagai penghalang baginya untuk
memiliki kecakapan bertindak secara penuh (sempurna).2. Gila
(Al-junun)Kedaan gila ialah, hilangnya akal untuk mempertimbangkan
suatu tindakan secara logis. Gila menghalangi seseorang untuk
berbicara dan bertidak secara wajar. Keadaan gila pada diri
seseorang dapat dibedakan dari segi waktu.a. Gila yang berlangsung
dalam waktu yang lama dan berkelanjutan (al-junun al-muabad).
Keadaan gila ini menghilangkan kewajiban dalam bidang ibadah yang
bersifat fisik seperti shalat dan berpuasa. Diriwayatkan
an-nasai:[footnoteRef:5] dari Aisyah ra; dari Nabi SAW. Beliau
bersabda: tidak ada tuntutan dari tiga (golongan); dari orang yang
tidur, sampai ia terjaga, dari kanak-kanak, sampai ia dewasa, dan
dari orang gila, sampai ia berakal atau sembuh. [5: An-nasai,
sunnan an-nasai hadits nomor 3378.]
Akan tetapi, menurut jumhur ulama, ia tetap dikenakan kewajiban
yang menyangkut harta, sepeti: zakat harta. Sedangkan menurut
mazhab Hanafi, ia tidak dikenakan kewajiban zakat harta. Disamping
itu, dari hartanya iambil untuk mengganti kerugian harta orang lain
akibat perbuatannya, yang dilaksanakan oleh walinya.b. Gila yang
berlangsung sementara dan tidak berkelanjutan (al-junun
al-muakad).Keadaan gila ini tidak menghalangi beban taklif.3. Lemah
akal (al-atah)Lemah akal yaitu kelainan yang terdapat dalam akal
yang menjadikan seseorang tidak dapat berpikir secara baik dan
menjadi dungu. Keadaan lemah amal memilki tingkatan-tingkatan. Ada
lemah akal yang tingkatannya sama dengan kemampuan akal anak yang
berada pada fase mumayyiz (sekitar usia tujuh tahun), sehingga ia
mampu membedakan baik dan buruk. Dalam hal ini, statusya disamakan
dengan hukum mumayyiz. Adapula yang tingkatannya berada dibawah
mumayyiz. Dalam hal ini status hukumnya sama dengan anak yang belum
mumayyiz. Mengenai kewajiban syara, orang yang lemah akal
dibebaskan dari tuntutan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
syara yang bersifat badaniyah pada umumnya.. hal ini sesuai dengan
riwayat at-Timidzi.[footnoteRef:6] [6: At-tirmidzi, sunnan
at-tirmidzi, hadits nomor 1343]
Dari Ali ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:Diangkatkan kalam
(tidak ada tuntutan) dari tiga (golongan); dari orang yang tidur,
sampai dia terjaga, dari kanak-kanak, sampai ia menjadi pemuda, dan
dari orang yang lemah akalnya, sampai ia dapat berfikir.4. Tidur
(an-naum) dan pingsan (al-ighma)Tidur dan pingsan merupakan dua
keadaan yang bersifat temporer yang mengakibatkan seseorang tidak
memiliki kesadaran dan kemampuan memahami ucapan orang lain. Oleh
karena itu, perbuatan dan ucapan orang yang tidur ataupun pingsan
tidak menimbulkan efek hukum. Akan tetapi, tidur dan pingsan tidak
menggugurkan beban taklif, melainkan menundanya sampai orang yang
tidur atau pingsan terbangun dan sadar kembali.5. Lupa
(an-nisiyan)Lupa ialah keadaan seseorang yang tidak mampu mengingat
sesuatu ketika diperlukan. Keadaan lupa tidak menghilangkan
kecakapan bertindak secara hukum, sehingga keadaan lupa tidak dapat
menjadi alasan untuk melepaskan diri dari kewajiban yang menyangkut
ak orang lain setelah ingatannya pulih. Dari ibnu abbas ra. Dari
Nabi SAW. Beliau bersabda : sesungguhnya Allah SWT tidak menghukum
umatku karena tersalah, lupa, dan dipaksa.[footnoteRef:7] [7: Ibnu
majjah, sunnan ibnu majjah, hadits nomor 2035.]
6. Sakit (al-marad)Keadaan sakit pada hakikatnya tidak
menghilangkan kecakapan bertindak secara hukum. Karena itu,
tindakan hukum orang yang sedang sakit baik dalam bentuk pebutan
maupun ucapan yang mempunyai efek hukum tetap sah. Hanya saja,
keadaan sakit merupakan sebab lahirnya keringana hukum melaksanakan
taklif, apabila orang yang sakit itu tidak mampu melaksanakan
taklif syara secara penuh. Misalnya, orang yang sakit boleh tidak
berpuasa dibulan ramadhan dengan cara menggantinya setelah sembuh
dari sakitnya. Allah berfirman pada surah al-Baqarah 286: Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ia mendapat pahala (kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (kejahatan yang dikerjakannya).
BAB IIIPENUTUPKesimpulan Kata Hakim yang berasal dari Bahasa
Arab telah menjadi bahasa Indonesia, yang maknanya sama dengan
salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab, yaitu: orang
yang memutuskan dan menetapkan hukum; yang menetapkan segala
sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu.
Adapun menurut terminologi ushul fiqh, kata hakim menunjuk pihak
yang menciptakan dan menetakan hukum syariat secara hakiki. Dalam
hali ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang menciptakan dan
menetapkan hukum syariat bagi seluuh hamba-Nya. Maka sesungguhnya
yang berhak memutuskan salah dan tidak bersalahnya sesungguhnya
hanya milik allah. Setiap perbuatan yang kita perbuat dimuka bumi
apapun itu baik yang baiok dan yang melanggar ketentuan hukum
didalam islam nantinya akan dimintai pertangguyng jawaban. Dan
sesengguhnya pemutusan yang seadil adilnya itu nanti kelak di
akhirat.
Daftar pustakaSiddiq,saifudin. Ushul fiqh.jakarta:karisma putra
utama,2011 cet.ke1Rahman dahlan,abd.ushul fiqh jakarta:amzah
2010Saebani, Beni Ahmad. 2009. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV.
Pustaka Setia.Syafei, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV.
Pustaka Setia.
1