1 HAK BERDAULAT ATAS SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN Isna Fatimah Pembimbing: Melda Kamil Ariadno dan Arie Afriansyah ABSTRAK Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (SDGT) merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan seluruh umat manusia sehingga pemanfaatannya menjadi kepentingan semua negara. Fakta bahwa ketergantungan atas SDGT antar negara sangat besar membuat negara-negara menginginkan akses ke SDGT harus dibuka untuk siapa saja. Meski demikian, negara-negara juga tidak sepakat untuk mengakui SDGT sebagai Common Heritage of Mankind. Sementara itu, karena nilainya yang sangat potensial, bioprospecting atas SDGT banyak dilakukan sehingga dorongan untuk menerapkan rezim Hak Kekayaan Intelektual atas SDGT tidak terelakkan. Sebagai upaya mengakomodir kepentingan semua negara atas SDGT, International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture mengakui bahwa negara mempunyai hak berdaulat atas SDGT yang diikuti dengan kewajiban membuka akses dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatannya melalui sistem multilateral. Penelitian ini bertujuan menjelaskan latar belakang sampai diadopsinya prinsip hak berdaulat atas SDGT serta menganalisis penerapannya di Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina dan Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara tersebut mengakui prinsip hak berdaulat atas SDGT yang diejawantahkan dalam kegiatan eksploitasi, mekanisme akses dan pembagian keuntungan, pemenuhan hak petani dan perlindungan atas pengetahuan tradisional. Namun, penerapan hak berdaulat di tiap-tiap negara tersebut belum dapat diimplementasikan secara utuh. Kata Kunci : Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian, International Treaty on Plant Genetic Resources, Hak Berdaulat, Akses dan Pembagian Keuntungan. Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
HAK BERDAULAT ATAS SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN
Isna Fatimah
Pembimbing: Melda Kamil Ariadno dan Arie Afriansyah
ABSTRAK
Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (SDGT) merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan seluruh umat manusia sehingga pemanfaatannya menjadi kepentingan semua negara. Fakta bahwa ketergantungan atas SDGT antar negara sangat besar membuat negara-negara menginginkan akses ke SDGT harus dibuka untuk siapa saja. Meski demikian, negara-negara juga tidak sepakat untuk mengakui SDGT sebagai Common Heritage of Mankind. Sementara itu, karena nilainya yang sangat potensial, bioprospecting atas SDGT banyak dilakukan sehingga dorongan untuk menerapkan rezim Hak Kekayaan Intelektual atas SDGT tidak terelakkan. Sebagai upaya mengakomodir kepentingan semua negara atas SDGT, International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture mengakui bahwa negara mempunyai hak berdaulat atas SDGT yang diikuti dengan kewajiban membuka akses dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatannya melalui sistem multilateral. Penelitian ini bertujuan menjelaskan latar belakang sampai diadopsinya prinsip hak berdaulat atas SDGT serta menganalisis penerapannya di Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina dan Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara tersebut mengakui prinsip hak berdaulat atas SDGT yang diejawantahkan dalam kegiatan eksploitasi, mekanisme akses dan pembagian keuntungan, pemenuhan hak petani dan perlindungan atas pengetahuan tradisional. Namun, penerapan hak berdaulat di tiap-tiap negara tersebut belum dapat diimplementasikan secara utuh.
Kata Kunci : Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian, International Treaty on Plant Genetic Resources, Hak Berdaulat, Akses dan Pembagian Keuntungan.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
2
PENDAHULUAN
Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (SDGT)
merupakan sumber daya yang memegang peranan sangat penting bagi
keberlangsungan hidup manusia di dunia di antara jenis Sumber Daya Genetik
(SDG) lain. Terdapat beberapa kekhasan dari SDGT ini yang menyebabkan
masyarakat internasional memandang perlu untuk diatur secara sui generis.1
Kekhasan SDGT dibandingkan SDG lain diantaranya peran SDGT untuk memenuhi
kebutuhan pangan pokok manusia sangat besar; ketergantungan antar negara
dalam rangka memenuhi kebutuhan SDGT masing-masing sangat tinggi;2 banyak
komponen dari SDGT yang tidak bisa bertahan hidup tanpa campur tangan
manusia; SDGT sebagian besar dikelola oleh petani. Salah satu yang terpenting dari
kekhasannya adalah SDGT merupakan sumber daya alam yang menurut rangkaian
sejarah telah tersebar dari wilayah asal ke berbagai wilayah lain.3 Artinya, banyak
SDGT yang semula hanya dapat ditemukan di wilayah tertentu, kini dapat ditemukan
di berbagai wilayah lain karena telah disebarkan baik secara alamiah maupun
disengaja oleh tangan manusia.4
Pemanfaatan SDGT menjadi kepentingan global sehingga masalah-masalah
yang timbul dalam pelaksanannya menjadi tantangan bagi masyarakat internasional
untuk dicari jalan keluar. Jalan keluar ini salah satunya dengan membangun
kerjasama internasional terutama melalui perjanjian interansional yang mengatur
hal-hal berkaitan dengan SDGT. Adapun masalah mendasar dalam pemanfaatan
SDGT yang mendorong dibentuknya perjanjian internasional tersebut terdiri dari tiga
1Gerald Moore dan Witold Tymowski, Explanatory Guide to the International Treaty on Plant
Genetic Resources for Food and Agriculture. (Cambridge: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, 2005), hlm. 19. Instrumen hukum Internasional yang mengatur khusus tentang Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian ini adalah International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. Sebelumnya, payung hukum yang melindungi diakomodir oleh Convention on Biological Diversity, tetapi kemudian dalam pertemuan Nairobi, negara anggota CBD bersepakat untuk membuat pengaturan lebih khusus tentang SDGT ini.
2Christine Frison, Fransisco Lopez, and Jose T. Esquinaz-Alcazar, ed., Plant Genetic Resources and food Security: Security Perspectives on the International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture, (London dan New York: FAO, Bioversity International and Earthscan, 2011), hlm. 9.
3 Moore, loc. cit. 4 Ibid, hlm. 19.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
3
faktor utama yaitu kebutuhan untuk mempertahankan keragaman SDG Tanaman,
mewujudkan ketahanan pangan, dan mengatasi perubahan iklim.5
Berdasarkan Convention on Biological Diversity, prinsip yang berlaku atas
Sumber Daya Genetik (SDG) adalah Hak Berdaulat (sovereign right). Prinsip ini
kemudian diadopsi pula dalam International Treaty on Plant Genetic Resources for
Food and Agriculture yang mengatur khusus SDGT.
Pokok-pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan konsep pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Tanaman untuk Pangan dan Pertanian dalam lingkup internasional?
2. Bagaimana pengaturan internasional tentang hak berdaulat atas Sumber Daya
Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian?
3. Bagaimana penerapan konsep hak berdaulat atas Sumber Daya Genetik
Tanaman untuk Pangan dan Pertanian di Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina,
dan Indonesia?
PEMBAHASAN
Pemanfaatan SDGT sangat dipengaruhi oleh konsep kepemilikan yang
menaunginya. Konsep kepemilikan SDGT ini juga memengaruhi kebijakan
pelestarian SDGT. Konsep kepemilikan yang berpengaruh terhadap konsep
kepemilikan SDGT salah satunya adalah common heritage.6 Akan tetapi, konsep
common heritage of mankind (CHM) dipandang tidak sesuai mengingat karakter
SDGT tidak dapat disamakan dengan karakter Sumber Daya Alam di International
Sea Bed Area karena SDGT berada di dalam wilayah kedaulatan yang jelas. Selain
itu, tuntutan atas perlunya memperhatikan lingkungan dan menjamin keberlanjutan
SDGT terus bertambah sehingga berkembanglah pemikiran tentang prinsip hak
berdaulat (sovereign right). Seiring dengan tuntutan melakukan pelestarian, SDGT
yang juga dipandang sebagai komoditas penting dalam dunia perdagangan menjadi
5 Food and Agriculture Organization (FAO) (a), Introduction to the International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture, (FAO: Rome, 2012), hlm. 6-9.
6 Graham Dutfield (a), Intellectual Property, Biogenetic Resources, and Traditional Knowledge, (London: Earthscan, 2004), hlm. 10.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
4
bagian dari kesepakatan dagang internasional yang menuntut diterapkan
perlindungan dan pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).7
Sepanjang Abad 21, SDGT telah menjadi objek HKI yang ketika dimasukkan
dalam lingkup pengaturan perdagangan dunia seperti Agreement on Trade-Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) akan menimbulkan masalah bagi
upaya pelestarian keragaman genetik.8 Tuntutan dari Negara Selatan adalah agar
rezim yang berlaku atas SDGT adalah kedaulatan. Selain itu, menurut Negara
Selatan, bila SDGT asli dipandang sebagai CHM, maka semua varietas hasil
pengembangannya—yang telah dikembangkan oleh Negara Utara—harus pula
diklasifikasikan sebagai CHM.9 Di sisi lain, Negara Utara berpendapat bahwa suatu
SDGT yang belum diteliti sama dengan belum diketahui nilainya, sehingga belum
dapat dimanfaatkan. Berfokus pada dibukanya akses memperoleh SDGT dan
diperkuatnya perlindungan HKI, argumen ini menyatakan bahwa untuk
mengembangkan varietas tanaman baru diperlukan mekanisme perlindungan yang
kuat bagi pemulia.10 Negara Utara menolak pengakuan rezim kedaulatan atas
SDGT karena dipandang dapat membatasi akses ke SDGT yang mana merupakan
kebutuhan seluruh umat manusia.
Adanya perselisihan antara penerapan konsep CHM dan HKI atas SDGT
sendiri, akhirnya memunculkan suatu konsep yang dipandang mampu menengahi
keduanya, yaitu konsep Hak Berdaulat (sovereign right). Konsep Hak Berdaulat atas
SDG pertama kali diperkenalkan dalam Convention on Biological Diversity 1992
(CBD) yaitu Hak Berdaulat atas SDG secara general. Pasal 3 CBD menyatakan
bahwa:
7 Efridani Lubis, “Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual dalam
Perspektif Perlindungan dan Pemanfaatan SDG Indonesia,” (Disertasi: Universitas Indonesia, 2009), hlm. 75.
8 Keith Aoki dan Kennedy Luvai, “Reclaiming ‘Common Heritage’ Treatment in The International Plant Genetic Resources Regime Complex,” (Michigan State Law Review, 2007), sebagaimana dikutip Lubis, op. cit., hlm. 36.
9 Lubis, op. cit., hlm. 96.
10 James O. Odek, “ Biopiracy: Creating Propietary Rights In Plant Genetic Resources,” (Journal of Intellectual Property Right Association, 1994), www.westlaw.com, diakses pada 9 April 2013.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
5
States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.
CBD merupakan instrumen hukum internasional pertama yang memberikan
hak berdaulat pada negara atas SDG yang ada di wilayahnya dan menghasilkan
kewenangan untuk mengatur dan mengawasi akses ke SDG.11 Konsep ini
merupakan jawaban dari protes atas ketidakadilan yang terjadi bila konsep CHM
berlaku atas SDG Tanaman. Penggunaan konsep CHM atas SDG telah ditolak
dalam pembahasan pembentukan CBD. Konsep yang diterima adalah hak
berdaulat, yang bersandar pada prinsip ’common concern’. Prinsip common concern
mengatur bahwa tanggungjawab atas SDG didasarkan pada kepentingan
masyarakat internasional secara keseluruhan.12
Pasal 3 CBD memasukkan pengaturan yang sejalan dengan Prinsip 21
Deklarasi Stockholm yang menyatakan bahwa negara mempunyai hak berdaulat
untuk mengeksploitasi sumber daya alam mereka sendiri sesuai dengan kebijakan
lingkungan nasional.13 Pasal 15 CBD kemudian menyatakan bahwa hak berdaulat
atas sumber daya alam yang negara miliki menjadi landasan bagi negara untuk
mengatur akses ke SDG.14
Penekanan dalam CBD diberikan pada tanggung jawab negara atas sumber
daya alam yang ada di yurisdiksinya sendiri. Dalam preamble dinyatakan bahwa
negara bertanggungjawab melakukan konservasi atas keanekaragaman hayati
dengan berdasar pada pemanfaatan yang berkelanjutan.15
11 Lyle Glowka et. al, A Guide to the Convention on Biological Diversity, (International Union for
Conservation of Nature and Natual Law (IUCN), 1996), hlm. 76.
12 Ibid, hlm. 3. 13 Susette Biber-Klemm, Thomas Cottier, dan Danuta Szymura Berglas, Rights to Plant Genetic
Resources and Traditional Knowledge, (The Swiss Agency for Development and Cooperation, 2006), hlm. 57.
14 Glowka, op. cit., hlm. 3. 15 Ibid., hlm. 10.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
6
Affirming that the conservation of biological diversity is a common concern of humankind, Reaffirming that States have sovereign rights over their own biological resources, Reaffirming also that States are responsible for conserving their biological diversity and for using their biological resources in a sustainable manner,
Di dalam ketiga preamble tersebut, secara berurutan dinyatakan bahwa CBD
mengakui konsep common concern of humankind, hak berdaulat, dan tanggung
jawab negara. Dengan penegasan konsep common concern of humankind, CBD
juga menekankan bahwa negara tetap memiliki hak berdaulat atas sumber daya
hayati ‘mereka’.16 Istilah common concern of humankind di sini dimasukkan dengan
tujuan untuk menekankan bahwa seluruh umat manusia mempunyai kepentingan
untuk memastikan dilakukan konservasi keanekaragaman hayati sebagai hal
esensial bagi keberlangsungan hidup manusia di dunia.17 Selain memiliki hak
berdaulat, negara memegang tanggung jawab terhadap konservasi
keanekaragaman hayatinya dan ketika memanfaatkan sumber daya hayati tersebut,
pemanfaatannya harus dilakukan dengan cara berkelanjutan.18 Paragraf ketiga
tersebut menjadi penghubung jarak antara konsep common concern of humankind
dan konsep hak berdaulat.19
Terdapat dua pembatasan dari kegiatan eksploitasi atas SDG yaitu pertama,
berkaitan dengan tanggung jawab untuk memastikan perlindungan lingkungan yang
telah melewati batas-batas negara. Dengan kata lain, perlindungan lingkungan di
yurisdiksi negara lain harus diperhatikan oleh negara ketika melaksanakan hak
berdaulatnya. Artinya, pelaksanaan hak berdaulat tidak boleh sampai mencemari
lingkungan negara lain, yang dikenal dengan istilah ‘non-harm principle.’ Non-harm
principle mensyaratkan negara untuk melakukan tindakan yang terbaik untuk
16 Pengertian ‘mereka’ merujuk pada hak milik (property right), tapi terminologi tersebut
digunakan untuk memudahkan pengertian sesungguhnya yaitu yurisdiksi dari negara tertentu. Sehingga diartikan sebagai sumber daya hayati yang ada di yurisdiksi negara itu sendiri.
mencegah kerusakan lingkungan terhadap negara lain yang sering diasosiasikan
dengan kerusakan lingkungan lewat polusi air dan udara. 20
Batasan lain dari penerapan hak berdaulat ini adalah pelaksanaannya harus
sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip Hukum
Internasional. Negara, dalam menerapkan hak berdaulat harus memperhatikan
berbagai kebijakan yang diatur dalam Piagam PBB. Kebijakan yang dimaksud
mencakup pemberian dukungan untuk menciptakan standar hidup lebih tinggi dan
mencari solusi bagi masalah-masalah ekonomi, sosial, dan kesehatan dalam lingkup
internasional. Tujuan-tujuan tersebut tidak boleh dicapai dengan mengesampingkan
konservasi lingkungan.21
Lahirnya CBD mendesak agar segera dilakukan perbaikan atas International
Undertaking dengan tujuan untuk mengharmonisasikan kedua instrumen tersebut.
Negosiasi membahas perbaikan dari International Undertaking dilakukan oleh
Komisi FAO untuk SDGT (the FAO Commission on Genetic Resources for Food and
Agriculture).22 Hasil negosiasi ini nantinya mengarah kepada terbentuknya
ITPGRFA.23
International Undertaking sendiri merupakan instrumen hukum internasional
komprehensif pertama yang mengatur tentang SDGT. Instrumen hukum ini diadopsi
pada tahun 1983 oleh Konferensi FAO melalui Resolusi 8/83. International
Undertaking merupakan voluntary agreement sehingga tidak mengikat secara
hukum.24 Setelah lahir CBD, mulailah diinisiasi pembentukan pengaturan yang
mengikat, yang menerapkan prinsip hak berdaulat atas SDGT, dengan kata lain,
20 Ibid.
21 Ibid.
22 Pertama kali dibentuknya komisi ini hanya dimandatkan untuk mengatur masalah SDGT sehingga namanya hanya ‘Commission on Plant Genetic Resources’. Sejak tahun 1995, dalam konferensi negara-negara anggota FAO, komisi tersebut diperluas mandatnya hingga mencakup keanekaragaman hayati yang berkaitan dengan SDGT sehingga namanya diubah menjadi Commission on Genetic Resources for Food and Agriculture.
23 FAO (a), op. cit., hlm. 61. 24 Ibid, hlm. 68.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
8
membuat pembaharuan atas International Undertaking yang masih menganggap
SDGT sebagai CHM.25 Hasilnya adalah dilahirkannya ITPGRFA.
Prinsip hak berdaulat dalam ITPGRFA diatur dalam Pasal 10 tentang Sistem
Multilateral Akses dan Pembagian Keuntungan:
10.1 In their relationships with other States, the Contracting Parties recognize the sovereign rights of States over their own plant genetic resources for food and agriculture, including that the authority to determine access to those resources rests with national governments and is subject to national legislation.
10.2 In the exercise of their sovereign rights, the Contracting Parties agree to establish a multilateral system, which is efficient, effective, and transparent, both to facilitate access to plant genetic resources for food and agriculture, and to share, in a fair and equitable way, the benefits arising from the utilization of these resources, on a complementary and mutually reinforcing basis.
Hak berdaulat pada prinsipnya berarti negara memiliki kekuasaan dan yurisdiksi
untuk mengatur pendistribusian, pemanfaatan, dan kepemilikan dari sumber daya
alam dan aset (baik yang berwujud maupun tidak berwujud) yang ada di dalam
wilayah kedaulatannya.26 Dalam ITPGRFA, pengakuan hak berdaulat atas SDGT
mencakup bahwa negara-negara dapat saling memperoleh keuntungan dari adanya
sistem multilateral yang efektif untuk akses yang tersedia bagi seleksi SDGT yang
disetujui bersama dan bagi pembagian keuntungan yang adil dan merata yang
dihasilkan dari pemanfaatannya.27 Secara singkat, dapat diartikan hak berdaulat di
25 Pasal 1 ayat (1) International Undertaking menyatakan bahwa: “Ketentuan tersebut
menyatakan: The objective of this Undertaking is to ensure that plant genetic resources of economic and/or social interest, particularly for agriculture, will be explored, preserved, evaluated and made available for plant breeding and scientific purposes. This Undertaking is based on the universally accepted principle that plant genetic resources are a heritage of mankind and consequently should be available without restriction.
26 Carlos M. Correa, “Sovereign and Property Rights Over Plant Genetic Resources,” disampaikan dalam FAO background study paper No. 2, Commission on Plant Genetic Resources, First Extraordinary Session, di Roma, 7-11 November 1994.
27 Indonesia (b), Undang-Undang tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian), LN No. 23 Thn 2006, TLN No. 4612., Terjemahan resmi salinan naskah asli, preamble.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
9
sini memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur akses terhadap SDGT
di wilayahnya sekaligus memperoleh keuntungan dari tindak lanjut pemberian akses
tersebut. Dengan kata lain di sini, terjadi perubahan dari konsep-konsep awal.
Konsep CHM bahwa semua negara berhak mengakses SDGT ditinggalkan
sementara konsep perlindungan HKI tetap diakui dengan syarat-syarat tertentu yang
ditentukan oleh hukum nasional masing-masing negara.
Berjalannya fungsi Sistem Multilateral tidak bertentangan dengan hak
berdaulat negara-negara anggota karena justru sistem tersebut dibangun
berdasarkan kehendak negara-negara dengan menggunakan hak berdaulatnya
masing-masing. Konsep hak berdaulat dan kewenangan pemerintah tiap-tiap negara
untuk menentukan akses ke SDG sendiri merupakan konsep inti dari CBD.
Ketentuan pasal ini merupakan ketentuan yang mengaitkan ITPGRFA dengan
CBD.28 Kesamaan konsep antara CBD dan ITPGRFA dapat menjadi jawaban
pertanyaaan tentang kegiatan pemanfaatan apa yang dapat dilakukan atas SDGT
berdasarkan ITPGRFA. Kegiatan pemanfaatan yang dimaksud adalah kegiatan
eksploitasi sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 3 CBD. Adapun
pelaksanaan sistem multilateral yang dimaksud dalam Pasal 10 tersebut juga
sejalan dengan Pasal 15 ayat (2) CBD: “Each Contracting Party shall endeavour to
create renditions to facilitate access to genetic resources for environmentally sound
uses by other Contracting Parties and not to impose restrictions that run counter to
the objectives of this Convention.”
Ketentuan Pasal 10 ITPGRFA menekankan dua bentuk sistem multilateral
yaitu fasilitasi akses ke SDGT dan pembagian keuntungan yang timbul dari
pemanfaatan SDGT dengan adil dan seimbang. Dua mekanisme tersebut harus
dijalankan berdampingan dan saling melengkapi. Penyediaan fasilitas tidak bisa
dipisahkan dengan pembagian keuntungan, demikian pula sebaliknya. Justru dua
mekanisme tersebut satu sama lain saling melengkapi dan menjadi komponen yang
memperkuat sistem multilateral.29 Pasal 10 ayat (2) ITPGRFA menyatakan bahwa
tujuan dari sistem multilateral harus dicapai melalui tindakan yang efisien, efektif,
dan transparan.
28 Moore dan Tymowski, op. cit., hlm. 79.
29 Ibid., hlm. 80.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
10
Adapun mekasime fasilitasi ABS diwujudkan dalam Perjanjian Pengalihan
Material (Material Transfer Agreement, MTA) yang diadopsi oleh governing body.
Governing body dalam hal ini akan menentukan syarat dan kondisi untuk akses ke
SDG dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatannya. ITPGRFA
membangun beberapa ketentuan mandatoir dan kondisi yang terkandung dalam
MTA tetapi membiarkan beberapa isu yang dapat dinegosiasikan dengan governing
body. Akses akan diberikan bagi kegiatan pemanfaatan dan konservasi dalam
penelitian, pemuliaan dan pelatihan untuk pangan dan pertanian.30
Sementara mengenai pembagian keuntungan, diatur lebih lanjut dalam Pasal
13 ayat (2) ITPGRFA yaitu bahwa pelaksanaannya harus dilakukan secara adil dan
seimbang melalui mekanisme pertukaran informasi, akses terhadap teknologi dan
alih teknologi, pengembangan kapasitas, dan pembagian keuntungan moneter dan
bentuk lainnya dari komersialisasi SDGT. Kemudian dalam Pasal 13 ayat (3)-nya,
ditegaskan bahwa pembagian keuntungan diserahkan kepada sistem multilateral
untuk disalurkan baik secara langsung maupun tidak langsung terutama kepada
petani-petani. Petani yang dimaksud di sini diutamakan adalah petani yang ada di
negara berkembang atau negara yang sedang dalam masa peralihan ekonomi, yang
secara berkelanjutan memanfaatkan serta melestarikan SDGT.
ITPGRFA berbeda dengan instrumen hukum lain yang juga mengatur
tentang SDG, termasuk CBD, yang memperluas penguasaan individu dan
kedaulatan serta pembatasan atas SDG-nya dilakukan melalui hubungan bilateral.
Perbedaan ini terlihat dengan dibentuknya pendekatan multilateral yang
menyediakan standar protokol dan bentuk kerjasama bagi semua negara anggota.31
Perbedaan berikutnya antara ITPGRFA dengan CBD adalah CBD mengatur
keanekaragaman hayati secara keseluruhan dan membangun mekanisme
kerjasama dalam konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman
hayati. CBD menciptakan komitmen spesifik terkait SDG, yaitu berupa ABS. Selain
mengakomodir kepentingan ekonomi dan sosial dalam penggunaan
30 UNEP, “Analysis of Existing National, Regional, and International Legal Instruments Relating to Access and Benefit-Sharing and Experience Gained in Their Implementation, Including Identification of Gaps,” (Ad-Hoc Open-Ended Working Group on Access and Benefit-Sharing Third Meeting, Bangkok 14-18 February 2005, UNEP/CBD/WG-ABS/3/2), hlm. 2.
31 Ibid, hlm. 9.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
11
keanekaragaman hayati, tujuan utama CBD sebenarnya adalah lebih menekankan
pada kepentingan lingkungan.32 Di sisi lain, ITPGRFA mengatur tentang isu spesifik
seputar konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari SDGT sedangkan tujuannya
lebih ditekankan pada upaya penanganan masalah pangan dan pertanian. Karena
masalah pangan dan pertanian menimbulkan ketergantungan yang demikian besar
antar negara satu dengan lainnya, maka negara-negara anggota ITPGRFA sepakat
untuk membangun Sistem Multilateral untuk ABS. Sistem ini tidak bertentangan
dengan CBD, hanya saja negara-negara anggota ITPGRFA sepakat agar akses
SDGT di antara mereka dilakukan tidak melalui kesepakatan bilateral melainkan
multilateral.33 Berdasarkan ITPGRFA, SDGT dipertukarkan melalui Standard
Material Transfer Agreement (SMTA) dan dapat diperoleh dengan bebas untuk
kepentingan penelitian, pemuliaan, konservasi, dan pelatihan.34
Dewasa ini, ketentuan HKI yang paling berpengaruh di dunia dalah
Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).
Ketentuan dalam TRIPs yang berkaitan dengan SDG Tanaman35 tertuang dalam
Pasal 27 ayat (3) huruf b yang berbunyi sebagai berikut:
Members may also exclude from patentability: (b) plants and animals other than micro-organisms, and essentially biological processes for the production of plants or animals other than non-biological and microbiological processes. However, Members shall provide for the protection of plant varieties either by patents or by an effective sui generis system or by any combination thereof. The provisions of this subparagraph shall be reviewed four years after the date of entry into force of the WTO Agreement.
32 Moore dan Tymowski, op. cit., hlm. 11. 33 Ibid.
34 Melissa, op. cit., hlm. 11. 35 Ketentuan Pasal 27 ayat (3) huruf b TRIPs ini dikenal dengan sebutan “Biotechnology
Clause”.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
12
Dibolehkannya negara memberikan pengecualian bagi tanaman dan hewan sebagai
objek paten serta diwajibkannya memberikan perlindungan bagi varietas tanaman
menjadi salah satu isu paling kontroversial dalam rezim HKI.36
Ketentuan dalam CBD yang berkaitan dengan HKI khususnya dalam
pembahasan ini perlindungan yang diberikan oleh TRIPs, terdapat dalam Pasal 16
ayat (5) dan Pasal 22 ayat (1) CBD. Pasal 16 ayat (5) menyatakan bahwa
penegakan perlindungan terhadap HKI oleh negara anggotanya harus
berkesesuaian dan tidak boleh bertentangan dengan tujuan dari CBD tetapi tetap
sesuai dengan hukum nasional dan hukum internasional.37 Sedangkan Pasal 22
ayat (1) mengatur bahwa ketentuan-ketentuan dalam CBD tidak akan memengaruhi
hak dan kewajiban negara anggotanya yang diperoleh dari perjanjian internasional
lain yang berlaku kecuali pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut menyebabkan
kerusakan serius atau berbahaya bagi keanekaragaman hayati.38
Suatu negara yang tunduk pada TRIPs dan CBD akan mengalami masalah
dalam menerapkan keduanya mengingat masing-masing memiliki tujuan yang
cenderung saling bertentangan:39
(1) fokus TRIPs adalah melindungi inventor yang telah menginvensi suatu informasi
genetik tertentu sedangkan fokus CBD adalah melindungi petani dan
masyarakat adat yang telah mengkreasikan dan mengonservasi informasi
genetik;
(2) TRIPs tidak mengenal klaim berdasarkan hak kolektif sehingga mekanisme
pembagian keuntungan yang dianut oleh CBD tidak bisa diterima konsep HKI
yang melindungi individu;
36 The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dan the International
Centre for Trade and Sustainable Development (ICTSD), Resource Book on TRIPS and Development, (New York: Cambridge University Press, 2005), hlm. 388.
37 CBD (a), op. cit., Art. 16 Par. 5: “...The Contracting Parties, recognizing that patents and other intellectual property rights may have an influence on the implementation of this Convention, shall cooperate in this regard subject to national legislation and international law in order to ensure that such rights are supportive of and do not run counter to its objectives.”
38 Ibid, Art. 22: “...The provisions of this Convention shall not affect the rights and obligations of any Contracting Party deriving from any existing international agreement, except where the exercise of those rights and obligations would cause a serious damage or threat to biological diversity.
39 Lekha Laxman, “The Interface Between TRIPS dan CBD: Efforts Towards Harmonisation,” (Journal of International Trade Law & Policy, Emerald Group Publishing Limited, 2013).
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
13
(3) TRIPs memberikan keuntungan dari hasil invensi kepada inventor saja atau
pihak yang memegang HKI sedangkan CBD juga memberi insentif kepada pihak
yang telah berjasa melestarikan SDG aslinya (yang belum dikembangkan).
Dilihat dari perbedaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan CBD
pada akhirnya akan mudah terkesampingkan oleh TRIPs terutama bila sudah
dikaitkan dengan bioprospecting.40 Tidak hanya terhadap CBD, penerapan TRIPs
juga memiliki pertentangan dengan penerapan ITPGRFA. Dalam ITPGRFA, ABS
yang adil dan seimbang dari hasil pemanfaatan SDGT merupakan hal yang esensil
dan mendasar sebagai implementasi prinsip hak berdaulat.
Konsep hak berdaulat sendiri merupakan konsep yang digunakan pula dalam
rezim Hukum Laut yaitu atas wilayah Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif.
Adapun perbedaan mendasar antara hak berdaulat dalam rezim hukum laut dengan
hukum tentang SDGT adalah SDGT berada di wilayah kedaulatan penuh suatu
negara. Jika hak berdaulat dalam hukum laut memperluas penguasaan negara atas
sumber daya alam hingga ke wilayah landas kontinen dan ZEE, hak berdaulat dalam
hukum tentang SDGT justru mengurangi kedaulatan penuh negara atas benda yang
jelas-jelas berada di wilayah kedaulatannya. Oleh karena itulah maka jelas ada
perbedaan pula dalam pengaturan dan mekanisme penerapan di tiap-tiap rezim.
Berikut akan diuraikan perbedaan pengaturan dan mekanisme penerapan hak
berdaulat menurut UNCLOS 1982, CBD, dan ITPGRFA.
40 Ibid.
41 Lebih lanjut pembahasan tentang CBD diuraikan dalam BAB III, 3.1.3. 42 Lebih lanjut pembahasan tentang ITPGRFA diuraikan dalam BAB III, 3.1.5.
Hak berdaulat menurut UNCLOS 1982
Hak berdaulat menurut CBD41
Hak berdaulat menurut ITPGRFA42
Objeknya (sumber daya alam) berada di luar wilayah kedaulatan, karena kedaulatan penuh negara hanya sampai wilayah laut teritorial.
Objeknya berada di dalam wilayah kedaulatan teritorial.
Objeknya berada di dalam wilayah kedaulatan teritorial.
Ada kewajiban untuk menentukan berapa jumlah yang boleh ditangkap
Tidak ada ketentuan mengenai jumlah yang boleh atau tidak boleh
Tidak ada ketentuan mengenai jumlah yang boleh atau tidak boleh
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
14
Tabel 2.1 Perbandingan ketentuan terkait hak berdaulat menurut UNCLOS 1982, CBD dan ITPGRFA
Hak Berdaulat atas SDGT dapat dikatakan sudah menjadi prinsip yang
diterima oleh masyarakat internasional. Jika melihat hukum dan kebijakan yang
diambil Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina, dan Indonesia terkait SDGT, dapat
diketahui bahwa semua negara tersebut menyetujui konsep hak berdaulat atas
SDGT. Dengan kata lain, semua negara tersebut, termasuk Amerika Serikat, tidak
menghendaki diberlakukannya konsep CHM atas SDGT sebagaimana dahulu
pernah diadopsi dalam International Undertaking. Namun yang berbeda dari masing-
masing negara selain tidak semuanya sudah menjadi negara anggota CBD dan/atau
ITPGRFA, adalah penentuan mekanisme akses dan pembagian keuntungan. Hal ini
adalah wajar karena CBD sendiri menyerahkan penentuan mekanisme akses dan
pembagian keuntungan kepada kebijakan nasional negara masing-masing negara
anggotanya. Berbeda dengan ITPGRFA yang memperkenalkan Sistem Multilateral
yang pelaksanaan dan pengawasannya tidak lagi dilakukan oleh negara
anggotanya. Sebaliknya, negara anggota telah bersepakat menyerahkan
kewenangan pelaksanaan dan pengawasan akses dan pembagian keuntungan
(fisheries). dieksploitasi. dieksploitasi.
Terdapat lembaga (authority) yang bantu menyalurkan benefit sharing kepada landlock states dan geographically disadvantage states.
Pembagian keuntungan diserahkan pada negosiasi para pihak sesuai dengan bilateral agreement.
Pembagian keuntungan dilakukan melalui Sistem Multilateral.
Menyatakan secara tegas bahwa hak berdaulat di ZEE menjadi landasan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang hidup (Pasal 73). Di landas kontinen, hak berdaulat menjadi landasan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam (Pasal 77).
Mensyaratkan secara tegas bahwa pelaksanaan hak berdaulat adalah untuk kegiatan eksploitasi dan kegiatan tersebut tidak boleh sampai mengakibatkan kerusakan bagi negara lain (Pasal 3).
Tidak menyatakan secara tegas kegiatan pemanfaatan apa yang dapat dilakukan berdasarkan hak berdaulat, tetapi mengatur agar tindakan yang dilakukan atas SDGT harus sesuai dengan tujuan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
15
kepada Sistem Mulitlateral berdasarkan hak berdaulat yang dimiliki oleh masing-
masing.
Selain itu, penerapan hak berdaulat atas SDGT di negara-negara yang telah
menjadi anggota CBD maupun ITPGRFA sekalipun masih berbeda-beda.
Perbedaan ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti perbedaan konsep kepemilikan
yang dianut oleh negara; bagaimana pemerintah memandang urgensi dari
pengaturan tersebut; dan komitmen masing-masing negara dengan negara lain,
organisasi internasional, ataupun kerjasama regional. Jika dilihat, Brazil merupakan
negara yang seregion dan berhubungan baik dengan anggota dari Andean Pact
yang terdiri dari negara-negara Amerika Latin yang telah saling mendukung dalam
hal perlindungan SDGT sejak awal. Oleh karenanya, menetapkan ketentuan yang
spesifik dan implementatif tentang akses dan pembagian keuntungan bagi Brazil
lebih mudah. Berbeda dengan Jerman yang karena merupakan anggota EU
mempunyai komitmen lain yang menyebabkan pengaturan tentang akses dan
pembagian keuntungan harus disesuaikan dengan EU Directives.
Sementara Amerika sebagai negara non anggota CBD dan ITPGRFA pada
prinsipnya menyetujui konsep akses dan pembagian keuntungan namun dalam
kenyataannya tidak mengimplementasikan mekanisme pembagian keuntungannya.
Akan tetapi Amerika Serikat banyak menyumbang dana bagi lembaga-lembaga
pendukung terselenggaranya mekanisme akses dan pembagian keuntungan seperti
CGIAR dan Bank Gen Internasional. Sedangkan Cina, meskipun hanya menjadi
anggota CBD dan bukan ITPGRFA tetapi pada prinsipnya mendukung mekanisme
Sistem Multilateral yang dibangun ITPGRFA.
Lebih jelas tentang perbandingan hukum dan kebijakan pemerintah kelima
negara tersebut akan dipaparkan dalam tabel berikut:
Negara
Penerapan Hak Berdaulat atas SDGT
Pemanfaatan Akses dan Pembagian Keuntungan
Hak Petani Pengetahuan Tradisional
Brazil Sangat bergantung pada varietas dari
luar.
Ada mekanisme akses yang cukup baik. Harus
ada izin dari pemerintah. namun
Belum ada pengaturan
spesifik.
Memberikan perlindungan
melalui perundang-undangan nasional
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
16
Tabel 4.2 Perbandingan Penerapan Hak Berdaulat di Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina dan Indonesia
Masalah dalam penerapan hak berdaulat memang tidak selalu sama di tiap-
tiap negara. Adapun dari masalah-masalah internal tersebut, akan berpengaruh
pada hubungan internasional yang dijalin negara masing-masing dalam hal
kerjasama di bidang SDGT. Dalam tataran prinsip, negara-negara menyetujui
pengakuan terhadap kedaulatan negara atas SDGT-nya dilakukan dengan
berdasarkan hak berdaulat. Hak berdaulat sebagai hak negara untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi atas SDGT yang berada di wilayahnya, di mana negara
mempunyai kedaulatan teritorial, diikuti kewajiban menyediakan akses kepada
sasaran pembagian keuntungan belum jelas. Bergabung
dalam Sistem Multilateral
dan kerjasama regional.
Amerika Serikat
Mayoritas koleksi ex situ.
Ada mekanisme akses yang baik.
Menyerahkan pembagian keuntungan
pada para pihak.
Belum ada pengaturan yang
jelas.
Menentang konsep ini.
Jerman Bisa memenuhi kebutuhan sendiri tapi lebih banyak
menggunakan varietas modern.
Belum ada mekanisme lebih lanjut di tingkat
nasional. Akses SDGT yang dikuasai privat
dilakukan melalui hubungan kontraktual.
Bergabung dengan Sistem Multilateral.
Belum ada pengaturan yang
jelas.
Belum mengatur.
Cina Sangat kaya SDGT, tetapi banyak SDGT yang tidak termonitor
dalam program pengelolaan negara, apalagi inventarisasi.
Ada mekanisme yang dibangun secara
bilateral, tapi belum meratifikasi ITPGRFA jadi tidak tergabung
dalam Sistem Multilateral.
Belum ada pengaturan yang
jelas.
Belum mengatur.
Indonesia Sangat kaya SDGT, tetapi banyak SDGT yang tidak termonitor
dalam program pengelolaan negara, apalagi inventarisasi.
Mekanisme akses masih dalam tahap
pengembangan. Pembagian
keuntungan belum jelas sasarannya.
Belum ada pengaturan yang
jelas.
Belum mengatur.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
17
negara lain atas SDGT-nya sebagai langkah untuk mewujudkan kelestarian SDGT
maupun mencapai ketahanan pangan dengan pamanfaatan berkelanjutan.
Adapun masalah yang sama-sama dialami oleh semua negara dalam upaya
menjalankan hak berdaulat untuk kepentingan nasionalnya sekaligus kewajiban
menyediakan akses bagi pihak asing dapat dirangkum sebagai berikut:
a. Inventarisasi yang belum baik;
b. Regulasi teknis tentang Akses dan Pembagian Keuntungan serta perlindungan
hak petani dan pengetahuan tradisional masyarakat adat atau lokal;
c. Minim kesadaran masyarakat akan pentingnya mempertahankan kepemilikan
atas SDGT baik secara fisik maupun intelektual;
d. Pertentangan dengan penerapan rezim HKI.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan analisis yang telah dipaparkan maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. SDGT merupakan common goods yang pernah dianggap sebagai heritage of
mankind (CHM) menurut International Undertaking 1983. Namun negara-negara
tidak menyetujui penerapan prinsip CHM. Sementara kegiatan bioprospecting
terus dilakukan dan rezim HKI atas SDGT tidak terhindarkan. Untuk menengahi
kedua prinsip yang bertentangan tersebut, akhirnya disepakati bahwa rezim atas
SDGT adalah Hak Berdaulat.
2. Pengaturan Hak Berdaulat atas SDG diatur dalam CBD sementara khusus
SDGT diatur dalam ITPGRFA. Keduanya mempunyai konsekuensi penerapan
Akses dan Pembagian Keuntungan (ABS). Untuk ITPGRFA, penerapan ABS
dilakukan melalui Sistem Multilateral.
3. Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina dan Indonesia mengakui prinsip Hak
Berdaulat atas SDGT namun implementasi ABS sebagai konsekuensi penerapan
prinsip tersebut masih belum terlaksana secara utuh.
SARAN
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
18
1. Fungsi Sistem Multilateral khususnya dalam hal pembagian keuntungan
segera direalisasikan. Semua negara anggota ITPGRFA membangun National
Focal Point untuk mendukung terselenggaranya Sistem Multilateral.
2. Indonesia merealisasikan sistem inventarisasi terpadu dan menunjuk satu
otoritas khusus yang bertindak sebagai National Focal Point untuk menangani
mekanisme ABS; komitmen atas Sistem Multilateral; dan memonitor kegiatan
bioprospecting atas SDGT.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
19
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Biber-Klemm, Susette, Thomas Cottier, dan Danuta Szymura Berglas. Rights to Plant Genetic Resources and Traditional Knowledge. The Swiss Agency for Development and Cooperation, 2006.
Dutfield, Graham. Intellectual Property, Biogenetic Resources, and Traditional
Knowledge. London: Earthscan, 2004. Food and Agriculture Organization (FAO). Introduction to the International Treaty on
Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. FAO: Rome, 2012. Glowka, Lyle. Et al. A Guide to the Convention on Biological Diversity. International
Union for Conservation of Nature and Natual Law (IUCN), 1996. Lubis, Efridani. “Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual
dalam Perspektif Perlindungan dan Pemanfaatan SDG Indonesia.” Disertasi: Universitas Indonesia, 2009.
Moore, Gerald dan Witold Tymowski. Explanatory Guide to the International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. Cambridge: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, 2005.
The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dan the
International Centre for Trade and Sustainable Development (ICTSD). Resource Book on TRIPS and Development. New York: Cambridge University Press, 2005.
United Nations Environment Programme (UNEP). “Analysis of Existing National,
Regional, and International Legal Instruments Relating to Access and Benefit-Sharing and Experience Gained in Their Implementation, Including Identification of Gaps.” Ad-Hoc Open-Ended Working Group on Access and Benefit-Sharing Third Meeting, Bangkok 14-18 February 2005, UNEP/CBD/WG-ABS/3/2.
Hak Berdaulat..., Isna fatimah, FISIP UI, 2013
20
Artikel/Jurnal Aoki, Keith, dan Kennedy Luvai. “Reclaiming Common Heritage Treatment In The
International Plant Genetic Resources Regime Complex.” Michigan State Law Review, 2007.
Correa, Carlos M. “Sovereign and Property Rights Over Plant Genetic Resources.”
Disampaikan dalam FAO Background Study Paper No. 2, Commission on Plant Genetic Resources, First Extraordinary Session, di Roma, 7-11 November 1994.
Laxman, Lekha. “The Interface Between TRIPS dan CBD: Efforts Towards
Harmonisation.” Journal of International Trade Law & Policy, Emerald Group Publishing Limited, 2013.
Odek, James O. “ Biopiracy: Creating Propietary Rights In Plant Genetic Resources.”
Journal of Intellectual Property Right Association, 1994. www.westlaw.com. Peraturan Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan International Treaty on Plant
Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian). LN No. 23 Thn 2006. TLN No. 4612. Terjemahan resmi salinan naskah asli.
_______. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati. UU No. 5 Tahun 1994. LN No. 41 Tahun 1994. TLN No. 1556. Terjemahan resmi salinan naskah asli.