HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI KARENA BERBEDA AGAMA (Analisis Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) OLEH: MASRUR RAHMANSYAH NIM: 1110043100048 KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M / 1437 H
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI
KARENA BERBEDA AGAMA
(Analisis Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
OLEH:
MASRUR RAHMANSYAH
NIM: 1110043100048
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M / 1437 H
iv
مـــــــــحيحمن الرم الله الرـــــــبس
KATA PENGANTAR
Alhamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji hanya bagi Allah Swt,
yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia ni’mat-Nya kepada hamba-
Nya. Shalawat beriring salam tak luput selalu tercurahkan kepada Rasul pilihan
Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.
Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan untuk
setiap manusia, karena menuntut ilmu dapat menghantarkan manusia menuju
gerbang masa depan yang cerah. Disebabkan hal itu penulis mencoba untuk
menyelesikan suatu karangan ilmiyah yang merupaka salah satu syarat demi
menggapai masa depan tersebut dengan cara menyelesaikan skripsi ini. Namun
penulis sadar dalam menulis skripsi ini masih banyak kekurangan didalamnya,
akan tetapi penulis berharap hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan umumnya bagi orang banyak.
Perlu diketahui penulis tidaklah dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Ahmadi, S.Ag, M.Si, selaku Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab Hukum dan Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc., M.A, selaku sekertaris
v
Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Prof. Dr. H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc., M.A selaku dosen
pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu dan arahannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga
beliau senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah SWT.
4. Para dosen Fakultas Syriah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis semasa kuliah
dahulu, semoga senantiasa dimudahkan segala urusannya.
5. Ayahanda dan Ibunda penulis, Bapak Chairul Hadist dan Ibu Siti Masyitoh,
yang senantiasa mendoakan dan memberikan semangat juga membimbing
penulis, serta adik-adik tercinta Adib Adzkari, Siti Chairu Widha, dan Ahmad
Haikal Asyraq semoga mereka senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
6. Adinda tercinta Rahmawati yang selalu memberikan semangat kepada penulis
hingga terselesaikannya skripsi ini.
7. Para sahabat seperjuangan, teman-teman bertukar pikiran, PMH Angkatan
2010, Ahmad Munir, Ahmad Fatih, Syukria, Ibnu Rusdi, Abdul Mukti, Abdul
Aziz, yang selalu menyemangati penulis.
8. Adik-adik kelas, Angkatan 2011, Edi Jon, Fauzan Ocid, Syardi Hakim,
Ma’mu Siroj.
9. Dan seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi ini, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah
SWT.
vi
Hanya untaian kata terimakasih serta doa yang dapat penulis berikan.
Semoga semua pihak yang telah membikan semangat, motifasi serta arahannya
kepada penulis senantiasa diridhoi setiap langkah kehidupannya serta
mendapatkan balasan yang lebih baik di akhirat kelak.
Jakarta: 12 September 2016 M
10 Zulhijjah 1437 H
Penulis
vii
ABSTRAK
Masrur Rahmansyah, NIM 1110043100048, “HAK ASUH ANAK TERHADAP
ORANG TUA YANG BERCERAI KARENA BERBEDA AGAMA” (Analisis
Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-indonesia V Tahun 2015),
konsenterasi Perbandingan Mazhab FIKIH, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1437 H / 2014 M. 1-67 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam di dalam hukum
hak asuh terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama analisis
keputusan ijtima’ ulama komisi fatwa Se-Indonesia V tahun 2015, penyebab
difatwakannya tentang hak hadhanah bagi orang yang bercerai beda agama adalah
menyalahi kepada norma-norma agama yang saat ini banyak terjadi di Indonesia
hak asuh anak jatuh kepada orang non muslim setelah bercerai, bukan itu saja
penyebab lainnya yaitu banyak tindakan dikriminasi terhadap anak yang di asuh
oleh orang tuanya oleh karenanya MUI mebuat suatu fatwa yang mengatur hal itu
maka dalam hal ini penulis telah meneliti secara mendetail tentang keputusan
fatwa dan kasus tersebut.
Hasil penelitian menunjukan Pandangan MUI berdasarkan hukum Islam tentang
hak hadhanah terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama hukumnya
mutlak harus diasuh oleh pengasuh yang beragama Islam hal ini diatur oleh al-
Qur’an dan Assunah. Adapun Metode isthinbath hukum MUI dalam memecahkan
permasalahan mengenai Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai
Karena Berbeda Agama memakai sumber hukum Islam yang sifatnya qot’i yaitu
al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma ulama mu’tabarah dan mengambil dari pendapat-
pendapat ulama yang rojih, maka sifat fatwa yang dikeluarkan MUI sangat kuat
dan tidak bisa di ganggu gugat.
Adapun penelitian skripsi ini menggunakan metode kuantitatif yag menekankan
pada kualitas ranah pemahaman terhadap keputusan Ijtima’ ulama komisi fatwa
Se-Indonesia V tahun 2015. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan
metode normatif dengan melihat objek hukum yang berkaitan dengan fatwa MUI.
Adapun bahan yang digunakan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan
sekunder kemudian bahan pengelolaan hukum dilakukan dengan cara deduktif
yaitu menarik suatu kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang di hadapi.
Kata Kunci : Hak Asuh, Anak, Bercerai, Beda Agama
Pembimbing :Prof. Dr. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc., M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1948 sampai tahun 2013
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................................. iv
ABSTRAK .................................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................................. viii
BAB I : PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 5
D. Studi Riview Terdahulu ....................................................... 6
E. Metode Penelitian ................................................................ 7
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 9
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH ...................... 10
A. Pengertian Hadhanah .......................................................... 10
B. Hukum Hadhanah ............................................................... 11
C. Syarat-syarat Hadhanah ...................................................... 16
D. Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah .............. 23
BAB III : KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-
INDONESIA V TAHUN 2015 TENTANG HAK ASUH
ANAK TEHADAP ORANG TUA BERCERAI SEBAB
BERBEDA AGAMA ................................................................ 28
A. Hadhanah Bagi Orang Tua Yang Tidak Cakap Perilaku .... 28
B. Metode Penetapan Fatwa ..................................................... 34
ix
C. Fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Tentang Hak
Hadhanah Akibat Perceraian Beda Agama ......................... 39
BAB IV : ANALISIS TENTANG FATWA .............................................. 44
A. Metode Istinbath MUI ......................................................... 44
B. Dalil ..................................................................................... 50
C. Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Tentang
5Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Mesir: Muassasah
ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168.
49
Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan
kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami
Abdul hamid bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku ayahku
dari kakekku yaitu Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam
sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam. Kemudian
wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -atau
yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak
wanitaku. Beliau berkata kepada wanita tersebut; duduklah di
pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut diantara mereka
berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia. Kemudian
anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!"
kemudian anak tersebut menuju kepada ayahnya. kemudian
Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut. (HR. Ahmad)
c. Ijma’ Ulama
Ulama sepakat bahwa syarat seseorang dapat mengasuk anak adalah
sebagai berikut:
1) Berakal sehat.
2) Dewasa (baligh)
3) Memiliki kemampuan untuk mengasuh, merawat dan mendidik
anak.
4) Dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik.
5) Beragama Islam.
Apabila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka yang
bersangkutan tidak berhak untuk mengasuh anak dan hak asuh
berpindah pada anggota keluarga yang muslim dan memenuhi
ketentuan persyaratan orang yang akan mengasuh anak tersebut
diatas.
50
Akan tetapi dari persyaratan diatas ulama fikih berbeda pendapat
mengenai syarat seseorang yang mengasuh beragama Islam. Berpendapat
kalangan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah tidak disyaratkan orang
yang memelihara anak harus beragama Islam akan tetapi jika non muslim
itu kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik itu
sendiri maupun orang lain.6
Kemudian ulama berbeda pendapat juga
dipemasalahan ketika hak itu merupakan hak anak (mahdun). Menurut
sebagian mazhab Hanafi hadhanah adalah hak anak karena anak dapat
menentukan pilihannya ia akan di didik dan dipelihara dengan baik atau
tidak. Jika ia menginginkannya tentulah itu baik, jika ia tidak ingin
dipelihara oleh hadhin maka hadin tidak boleh untuk memaksanya karena
hak hadhanah itu milik si anak.7
Mazhab Syafi‘iyah dan Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa
hādinlah yang berhak atas itu, apabila hādin tidak bersedia melaksanakan
hadhanah, maka ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan atau tidak. Oleh
karena itu apabila mengasuh seorang anak dilakukannya dengan secara
paksa, maka dikhawatirkan anak akan terlantar pendidikan dan
pemeliharaannya
B. Dalil
1. Al-Qur’an
Surat al-Baqarah ayat 233:
6Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jlid 10, Penerjemah Abdul Hayyie
Al-Katani, dkk:, h. 67 7Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Ilmu Fikih, Jilid 2, (Jakarta: IAIN, 1983), h.212.
51
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian
kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
apabilakeduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada
dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah : 233)
Pada ayat ini MUI mengambiil Istinbatul ahkam dari sepenggal ayat
yaitu:
Penulis berpendapat pada potongan ayat tersebut sudah dapat diketahui
bahwa wajib bagi orang tua memberikan nafkah dari rizki yang halal.
Kewajiban tersebut dapat diketahui dari lafaz ‘ala yang diantaranya
memberikan faidah lilisti’la dan littaukid artinya wajib dilaksanakan
52
secara syar’i. Maka tidak dapat dipungkiri MUI memberikan fatwa atau
syarat bahwa seorang pengasuh wajib memberikan rizki yang sifatnya
halal. Jika bertolak belakang dengan fatwa ini maka tidak boleh mengasuh
anak.
Surat at-Tahrim ayat 6:
Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.”(QS. at-Tahrim: 6)
Pada ayat ini MUI memenggal potongan ayat yaitu jumlah
artinya adalah wajib bagi orang yang beriman agar menjaga
dirinya dan keluarganya dari api neraka. Maksudnya adalah lafaz qû itu
berbentuk amar yang memberikan artian wajib mengerjakan (Lithalab)
sebagaimana qaidah ushuliyah mengatakan:
8ه ف ل ى خ ل ع ل ي ل الد ل اد م ل إ ب و ج و ل ل ر م ال ف ل ص ل ا Asal perkara di suatu perintah itu wajib kecualai ada dalil yang
memberikan prbedaannya.
8 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta: ttp, tth), h. 6.
53
Surat an-Nisa ayat 141:
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang
akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika
terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata:
"Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika
orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan)
mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan
membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan
memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-
Nisa: 141)
Menurut penulis MUI mengambil ayat ini sebagai dasar
seorang pengasuh tidak boleh beragama non Islam karena alasannya
adalah dilihat dari lafaz lan mengandung arti meniadakan untuk zaman
akan datang maka dapat difahami bahwa hubungan antara manhtûq dan
mafhum menyimpulkan pada masa akan datang non muslim tidak berhak
mengasuh anak yang beragama Islam apalagi untuk saat ini maka mutlak
tidak boleh untuk mengasuh anak. Hal ini dapat difahami pula dari lafaz
sabila yang bentuk lafaznya isim mufrad sedangkan lafaz mufrad
maknanya umum (tidak tertentu dan tidak dapat diketahui), maka
kesimpulan pemahaman penulis MUI mengambil dasar hukum dari ayat
54
ini adalah hukum Islam tidak mentolelir bagi seorang non muslim untuk
mengasuh anaknya yang beragama Islam dalam seluruh aspek.
2. As-sunnah
رضي عن عبد الرحن بن هرمز العرج، عن أب هري رة الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم , قال: " كل مولود يولد على الفطرة، فأب واه ي هودانه، أو ي نصرانه
9يجسانه Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah
semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW
bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua
orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani
atau Majusi.
Menurut MUI Hadis ini menunjukkan bahwa orang tua yang
mengasuh anak sangat mempengaruhi agama yang akan dipeluk anaknya.
Oleh karena itu, hendaknya pihak yang akan mengasuh anak harus
beragama Islam sehingga anaknya menjadi generasi muslim, tetapi penulis
memahami dari makna pemahaman MUI ialah jika pihak yang akan
mengasuh anak tersebut harus beragama Islam maka pemahaman ini jika
dikaji dalam ushul fikih mengandung makna Dilālah Iltizāmiyah yaitu
dilalah yang mesti harus dipenuhi seacara akal, Karena dari konteks
susunan kalam yang pada hadits tersebut menunjukan kedua orangtuangya
harus menanamkan jiwa dan dasar-dasar syariat Islam, karena di dalam
fikihpun seorang pengasuh (orangtua) wajib menananmkan dasar-dasar
pondasi Islam seperti mengenal rukun Islam dan rukun Imam sejak dini
maka pemahaman MUI terhadap hadits ini menjadi sesuai dengan
pendapat ulama yang terdahulu sampai saat ini.
ث نا عبد ث نا عيسى بن يونس، حد ث نا علي بن بر ، حد حدالميد بن جعفر ، أخب رن أب، عن جدي، رافع بن سنان أنه
امرأته أن تسلم، فأتت النب صلى الله عليه وسلم أسلم وأبت ف قالت: اب نت، وهي فطيم أو شب هه، وقال رافع: اب نت، ف قال
" وقال لا: " " اق عد ناحية له النب صلى الله عليه وسلم: ن هما، ث قال: " ادعواها "، اق عدي ناحية " فأق عد الصبية ب ي
فمالت إل أمها، ف قال النب صلى الله عليه وسلم: " اللهم .10) رواه أحد(اهدها " فمالت إل أبيها فأخذها
Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan
kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami
Abdul hamid bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku ayahku
dari kakekku yaitu Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam
sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam. Kemudian
wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -atau
yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak
wanitaku. Beliau berkata kepada wanita tersebut; duduklah di
pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut diantara mereka
berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia. Kemudian
anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!"
kemudian anak tersebut menuju kepada ayahnya. kemudian
Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut. (HR. Ahmad)
Hadist ini menunjukkan bahwa Rasulullah menghendaki
pengasuhan anak dilakukan oleh orang tua yang muslim.
10
Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Mesir:
Muassasah ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168.
56
C. Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Tentang Hak Asuh Anak
Akibat Orang Tua Bercerai Beda Agama
Allah SWT menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan
sehingga Allah SWT memberikan Syariat manusia harus menikah sebagai
karunia dan nikmat yang besar dari Allah SWT. Namun didalam suatu ikatan
perkawinan banyak cobaan dan kesengan pula, sehingga tidak sedikit dari
manusia yang runtuh rumah tangganya akibat permasalahan yang berujung
perceraian.Perceraian terjadi karena ada bermacam-macam sebab diantaranya
kasus ketika seseorang yang bercerai akibat perbedaan agama anatara suami
isteri. Tetapi akibat setelah perceraian tersebut ialah jika pasangan suami isteri
tersebut mengsilkan keturunan yang hak asuhnya belum bisa ditentukan, maka
dalam hal permasalahan ini penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang
permaslahan tersebut dengan bahan penelitian hasil fatwa MUI di dalam
hukum hak asuh anak akibat orang tua bercerai beda agama. Penulis sangat
menyadari bahwa MUI sangat hati-hati dalam memutuskan fatwa lebih-lebih
fatwa ini sifatnya untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia oleh karena itu
penulis mendapatkan suatu kesimpulan tentang fatwa tersebut dan menyatakan
setuju dengan keputusan tersebut bahwa seorang pengasuh harus beragana
Islam. Adapun alasan penulis setuju dengan fatwa MUI adalah sebagai
berikut:
Pertama, sebagaimana yang kita ketahui bahwa ulama adalah para
pewaris Nabi sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
57
، ل السلم ، عليهم النبياء ، وأن النبياء العلماء ورثة ا و ه ر ا ول د ا دينار و ث ر و ي ذ أخ ه ذ أخ ن فم م ل الع وا ث ر ا، وإن
11ر اف و ظ ب
Artinya: “Ulama adalah pewaris para Nabi dan bahwasannya para Nabi
mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula hanya saja
mereka mewarisi ilmu maka siapapun yang mengambil ilmu
maka dapatkanlah dengan tulisan (ilmu) dengan wadah yang
luas”.
Dari hadits tersebut dapat diambil pemahaman bahwa didalam diri
ulama membawa kemaslahatan untuk umat karena ulamalah yang
menerusakan risalah para Nabi-Nabi. Maka dari hadits ini dapat diambil
kesimpulan apa yang sudah diputuskan oleh MUI sudah benar kebenarannya
terlebih lagi penulis membaca dan mendapatkan pendapat-pendapat ulama
terdahulu seperti mazhab 4 mu’tabarah yang menyinggung tentang hak asuh
anak bagi pengasuh yang non muslim sehingga dari istinbath hukum yang
diputusakan oleh mujtahid mutlak tersebut sesuai dengan fatwa yang sudah
diputuskan oleh MUI. Sebab dikatakan oleh imam nawawi al-Bantani dalam
kitab an-Nihayatu az-Zain bahwa mazhab 4 salah satunya al-Imam Syafi’I di
juluki sebagai hudatul ummah Fil Furu’.
Dari pendapat penulis pada alasan pertama disana terdapat perbedaan
pendapat antara MUI dan penulis. Adapun perbedaan tersebut ialah penulis
lebih menjelaskan kepada sifat yang melekat pada ulama yaitu sifat
11
Abu Muhammad Mahmud, ‘Umdatu al-Qari Syarh as-Shahih al-Bukhari,
(Lebanon: Dar el-Tsurûs, th), Jilid 2, h. 39.
58
kepercayaan yang mana pasti benar apapun yang di tetapkan oleh ulama.
Sedangkan MUI tidak menjelaskan tentang hal tersbut, tetapi mereka lebih
cenderung kepada inti istinbath hukum.
Kedua,MUI mensyaratkan wajibnya pengasuh harus beragama Islam
alasannya menurut penulis adalah ketika seseorang mengasuh anaknya wajib
bagi ia mengenalkan arkanu al-Islam dan arkanu al-Imam. Alasan penulis ini
berdasarkan perkataan Imam zainuddin al-Malibari didalam kitab Qurratu al-
‘Ain:
ث ع ب لى الله عليه وسلما صد م ا م ن ي ب ن ن أ ه م ي ل ع ت اء ب ى ال ل ع ب اج و ل و أ و 12. ة ن ي د م ال ب ن ف د و ة ك ب
Artinya: “Wajib bagi para orang tua mengajarkan anaknya bahwa Nabi
kita Muhammad SAW diutus di Makkah dan dikuburkan di
Madinah.”
Imam an-Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa mengajarkan
anak tentang arkanu al-Islam adalah hukumnya fardu al-Kifayah.Dari
perkataan imam Zainuddin dapat diambil faham bahwa bukan hanya
mengenal Nabi Muhammad SAW saja tetapi wajib mengajarkan dan
mengenal Allah SWT dan yang lain sebagainya. Dari alasan penulis ini
maka tepat keputusan MUI mensyaratkan bahwa seorang pengasuh
hendaklah beragama Islam sebab jika seorang pengasuh beragama non
Muslim dikawatirkan ia tidak kenal kepada rukun Islam dan rukun iman
12
Abu Bakar ‘Utsman, I’anah at-Thalibin, (Lebanon: Dar El-Kutub Islamiyah,
2012), Jilid 1, h. 44.
59
dan yang dikhawartikan pula bahwa anak tersebut akan pindah akidahnya
kepada agama non Islam. Maka dari hal itu MUI sangat menegaskan
didalam fatwa tersebut apabila tidak memenuhi persyaratan pengasuh
beragama Islam tidak berhak mendapatkan hak asuh.
Adapun perbedaan pendapat didalam pemikiran antara penulis
dan MUI yaitu penulis ingin menunjukan tahap pertama yang harus dilalui
atau dipenuhi oleh seorang pengasuh secara mendetail. Tahap tersebut
ialah agar seorang pengasuh untuk memperkenalkan pendidikan agama
Islam kepada si anak. Sedangkan MUI hanya menjelaskan beragama Islam
adalah syarat pertama yang harus penuhi tetapi tidak secara mendetail
seperti MUI tidak menyebutkan pendapat ulama bahwa seorang pengasuh
harus memperkenalkan arkanu al-Islam atau arkanu al-Iman.
Ketiga, ketika hak asuh anak jatuh kepada pengasuh yang beragama
non Islam maka hal ini menyalahi aturan firman Allah:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan
terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi
bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami
(turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir
mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah
60
Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang
mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di
hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
(QS. An-Nisa: 141)
Ayat diatas menyatakan bahwa Allah tidaklah Allah memberikan
jalan bagi orang kafir dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam hal
mengasuh anak yang beragama Islam dan sabda Nabi yang mengatakan فأب واه
merupakan dilalah lazimiyah yang artinya wajib seorang ي نصرانه أو ي هودانه،
pengasuh beragama Islam. MUI memfatwakan syarat seorang pengasuh harus
beragama Islam faidahnya adalah agar anak tersebut dapat membuat Islam
menjadi kuat karena jika banyak pengikut Islam maka agama Islam menjadi
kokoh dan tidak dapat tergoyahkan oleh sesuatu apapun. MUI mengharuskan
seorang pengasuh bergama Islam gunanya juga adalah agar ia dapat mecetak
generasi yang bebudi pekerti yang baik karena Islam adalah agama yang
menjunjung tinggi tentang akhlak dan tatakrama yang luhur, dapat
melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya
dengan dibekali al-Quran dan hadits.
Di dalam pendapat yang ketiga ini penulis ingin mencoba
membedakan pola fikir antara penulis dan MUI dari segi dilalah lazimiyah.
Menurut penulis firman Allah SWT dan
hadis nabi ،يجسانه ي نصرانه أو فأب واه ي هودانه merupakan dilalah lazimiyah. Yang
61
artinya harus dipenuhi oleh seluruh manusia menjalakan perintah Allah SWT,
seperti manusia harus tahu dan menanamkan dihatinya bahwa Allah SWT
tidak meridhai bagi orang kafir, yahudi, nasrani dan majusi untuk
mendapatkan posisi sedikitpun didalam agama Islam sekalipun ia
mendapatkan posisi didalam agama Islam seperti ia mendidik anak atau
mengasuh maka semua itu dimata Allah SWT merupakan sesuatu hal yang
sia-sia karena di dalam firman Allah tersebut terdapat kalimat “lan” yang
makna kata tersebut ialah “tidak akan”. Alasan inilah yang membedakan pola
pemikiran anatara MUI dengan penulis.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam hukum Islam banyak aturan-aturan yang sudah diatur oleh
Allah SWT baik itu dari hal terkecil sampai hal yang terbesar. Semua aturan
tersebut berasal dari kalamullah dan hadits Nabi Muhammad SAW baik yang
bersifat qauliyah, fi’liyah maupun takririyah. Maka se bagai aturan yang harus
ditaati ulama membuat suatu sistem disiplin ilmu yang kemudian di
kelompok-kelompokan pada tempatnya masing-masing. Seperti salah satu
hukum syariat Islam yang sudah diatur secara sistematis yaitu tentang
perkawinan. Allah mensyariatkan pernikahan bertujuan agar manusia tidak
melakukan perbuatan-perbuatan keji dan yang Allah murkai, bukan hanya itu
saja, Allah SWT mensyariatkan pernikahan karena Allah menciptakan
makhluk-Nya dalam keadaan berpasang-pasangan sebagai rasa kasih sayang
Allah SWT kepada umatnya dan sebagai rahmat untuk alam semesta ini.
Membicarakan pernikahan, Hukum pernikahan didalam Islam diatur
pada firman Allah SWT surat An-Nisā ayat 3:
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,
2
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
(QS. An-Nisā :3)
Kemudian hadits nabi Muhammad SAW mengatur pula tentang hukum
pernikahan:
منكم الباءة فليتزوج, فإنه أغض للبصر, اعيا معشر الشباب, من استط1وأحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم, فإنه له وجاء. )متفق عليه(
Artinya:“Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu yang sudah
mampu maka menikahlah, sesungguhnya pernikahan itu mencegah
penglihatan dan menjaga kemaluan, dan barang siapa yang belum
mampu menikah maka wajib bagi kamu berpuasa. Sesungguhnya
puasa itu dapat mencegah nafsu (zina) untuk kamu” (HR. Al-
Bukhari dan Musim)
Pada firman Allah SWT dan hadits Nabi Muhammad SAW jelas
bahwa hukum pernikahan mandub apabila seseorang telah mampu untuk
menikah. Menurut ulama menikah mempunya itujuan-tujuan antara lain
menjadikan seseorang sempurna dalam kehidupannya, terhin dari perbuatan
zina, dan mendapatkan keturunan.
Di dalam Islam mendapatkan seorang keturunan dari pernikahan
adalah suatu karunia yang besar karena anak adalah buah dari rasa cinta antara
kedua orang tua yang akan membawanya kesurga.
Namun kita tidak dapat dipungkiri bahwa di dunia ini banyak
permasalahan-permasalahan dalam perkawinan seperti ketika seseorang
menikah yang setatus asal keduanya beragama Islam kemudian bercerai
disebabkan istri telah murtad, sedangkan dari perkawinan tersebut
menghasilkan anak yang belum mumayyiz, maka dari hal ini timbul
1Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Shohih al- Bukhori, (Lebanon:
Dar el Fikri, 1981), Juz III, h. 116-117.
3
permasalahan baru tetang hak mengasuh anak tersebut. Dalam hal ini ulama
sepakat bahwa dalam hal-hal mendidik anak mempunyai persyaratan-
persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang tua sebagaimana yang telah
tercantum dalam hasil Fatwa Majelis Ulama Indonesia Komisi B1 Masalah
Fikih Kontemporer tentang” Hak Pengasuhan Anak Karena Orang Tua Yang
Bercerai Berbeda Agama”, yang berisikan mengenai persyaratan orang yang
akan mengasuh anak :
a. Berakal Sehat.
b. Dewasa (baligh)
c. Memiliki kemampuan untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak.
d. Dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik.
e. Beragama Islam.
Apabila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka yang
bersangkutan tidak berhak untuk mengasuh anak dan hak asuh berpindah pada
anggota keluarga yang muslim dan memenuhi ketentuan persyaratan orang
yang akan mengasuh anak tersebut diatas.2
Selanjutnya penulis mendapatkan pemahaman dari fatwa tersebut
bahwa hak asuh anak jatuh kepada orang tua yang beragama Islam. Namun
hadits nabi yang mengatakan: ب أ ، ع ن د ي ل و ا ال ن ث د ح ي م ل الس د ال خ ن ب د و م ا م ن ث د : ح د او د و ب أ ل اق الل د ب ع ه د ج ن ع ه ي ب أ ن ع ب ي ع ش ن و ب ر م ع ن ث د ح ي اع ز و ال ن و، ي ع ر م ع اء ع و ه ل ن ط ب ا كان هذ ن اب ن إ الل ل و س ا ر ي ت ال ق ة أ ر ام و أن ر م ع ن ب
2Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunah, Jilid II, (al-Maktabah Asy-syamilah) h. 341.
4
، ن م ه ع ز ت ن ي ن أ اد ر أ و ن ق ل ط باه أ ن إ و اء و ح ه ل ي ر ج ح و اء ق س ه ل ي ي د وث )رواه ي ح ك ن ت ا لم م ه ب ق ح أ ت ن صلى الل عليه وسلم أ الل ل و س ا ر ل لقاف
3.أبو داود(Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-sulami,
telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari abu Amr Al-Auza’I,
telah menceritakan kepada kami Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari
kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata:
Whai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah
tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan
pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah
mecraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemuadian
Rasulullah SAW bersabda: “Engkau lebih berhak terhadapnya
selama engkau belum menikah. (HR. Abu Daud)
Hadits tersebut tidak mencantumkan bahwa agama bukan hak tetap
untuk menjadikan dasar berhaknya mendidik anak. Sedangkan dari kasus
diatas anak tersebut lebih memilih Ibunya yang telah murtad, dikarenakan
sang Ayah dinilai tidak pantas untuk mendidik anak. Dengan kata lain, ia tidak
cakap hukum dalam pandangan ajaran agama Islam.
Dari uraian diatas penulis masih ingin meneliti lebih lajut tentang
permasalahan mendidik anak dalam prerspektif fatwa MUI dengan memilih
judul“Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang BerceraiI Karena Berbeda
Agama” Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V
tahun 2015.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini penulis akan mengemukakan seputar
permasalahan hak asuh anak bagi orang tua yang bercerai akibat berbeda
4Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: kencana Pranada Media Group, 2009).
h. 326.
11
Hadhanah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah mengasuh anak
yang belum mumayyiz hal keadaan ia belum mampu mengurus dirinya sendiri
(belum mandiri).5 Menurut Sa’ani, hadhanah adalah memelihara anak yang
belum mampu mandiri. Pendidikannya dan pemeliharaannya dari segi sesuatu
yang membinasakannya atau membahayakannya.6
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
pemeliharaan anak adalah merangkap kepada seluruh keperluan-keperluan
anak, baik itu yang bersifat jasmani ataupun rohani. Ulama mazhab fikih
berbeda pendapat mengenai masa pengasuhan anak. Imam Hanafi berpendapat
masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan Sembilan tahun untuk
perempuan. Imam Hanbali bahwa masa asuhan untuk ank laki-laki dan
perepuan adalah 7 tahun dan setelah ia telah mumyayiz dibebaskan untuk
memilih. Imam Syafi’i berpendapat bahwa masa asuh itu 7 tahun dan 8 tahun.
Sedangkan Imam Malik berpendapat batas usia anak mumayyiz adalah 7
tahun.7
B. Hukum Hadhanah
Memelihara, merawat, dan mendidik anak kecil diperlukan
kesabaran, kebijaksaan, pengertian, kasih sayang, sehingga seseorang tidak
dibolehkan mengeluh dalam menghadapai berbagai persoalan anak tersebut,
bahkan Rasulullah SAW sangat mengancam orang-orang yang merasa bosan
5Abdul Azziz Dahlan, Dkk, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeva, 1992), h. 137 6 Sa’ani, Subulu as-Salam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h. 37.
7 Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006),
h. 45.
12
dan kecewa dengan tingkah laku anak-anak mereka.8 Oleh karena itu hukum
mengasuh anak adalah wajib. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Imam As-
Syirazi:
ه ي و ب أ ن ع د ر ف ن ي ن أ ههل ف د ي ش ر غ ال ب د ل او م ل هو ان ج و الز ق ر ت ااف ذ إ ههن ل ل او م ههن ع د ر ف ن ي ل ن أ بهح ت س مهل او ة ال ف لك ا و ة ان ض ال ن ع ن غ ت س مهو م ههن ع ههر ب ع ط ق ي أ ل ه ر كهة ي ار ج ت ان ك ن إ ا د ر ف ن ت ن ا إ ه ن ل اذ اد ل او م ل هان ك ن إ او ه دهس ف ي هن ام ه ي ل ع ل خهد ي ن أ ن م ؤ ي هل ت د ر ف ان ن س ع ب س ن و دهههل ي ذ ال و ههو زهي ه ل ر ي غ ص و أ ن و ن هم ت ب ج و ي 9ك ل ه و اع ض ههتهان ض ح ك ر ت ن هإ تهان ض ح
Artinya: “Apabila telah berpisah suami isteri sedangkan mereka mempunyai
anak yang berakal dan balig maka boleh ia memilih dari salah satu
orang tuanya, karena ia butuh kepada pengasuhan, penjagaan dan
dianggap sunah apabila ia mandiri tidak tergantung dengan
orangtuanya dan tidak memutuskan kebaktian ia kepada kedua
orangtuanya jika ia seorang gadis maka makruh bagi ia
mengosongkan asuhan dari kedua orangtuanya karena apabila ia
mengkosongkan ditakutkan akan ada orang yang menyakitinya, dan
jika ada bagi kedua orangtua yang berpisah sedangkan ia memiliki
anak yang gila atau kecil yang belum mumayyiz (yang belum sampai
7 tahun umurnya) maka wajib bagi salah satu kedua orangtuanya
mengasuhnya karena jika ia tidak mengasuhnya dikhwatirkan ia
akan menderita”
Adapun dasar hukum tentang hadhanah Allah berfirman didalam al-
Qur’an surat Al-baqarah ayat 233:
8Andi Syamsul Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 115-116. 9As-syirāzi, Al-Muhadzdab fi Fiqh al-Imam As-syafi’I, (Lebanon: Dar El-Kutub
Alamiyah, tth), Juz 2, h. 164.
13
Artinya:“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban Ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan Karena anaknya dan seorang Ayah Karena anaknya,
dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-baqarah : 233)
Ayat diatas menjelaskan mengenai hukum penyusuan anak ketika
terjadinya talak, dapat diartikan bahwa keluarga mengandung arti hubungan
yang tidak dapat lepas dari kedua suami dan siteri yang bersangkutan yaitu,
tentang anak yang masing-masing punya andil padanya dan terikat dengannya.
Apabila dalam kehidupan rumah tangga kedua orangtua itu bubar, maka si
kecil ini harus diberi jaminan secara terperinci yang harus dipenuhi oleh kedua
orangtuanya dalam setiap keadaannya. Kemudian seorang Ibu yang telah
diceraikan itu mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang msih menyusui,
14
hal tersebut merupakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Alah SWT dan
tidak dibiarkan oleh Allah meskipun fitrah dan kasih sayang untuk anak
berkurang akibat perceraian kedua orangtuanya, sehingga Allah SWT
mewajibakan bagi seorang Ibu untuk menyusui anaknya selama sua tahun
penuh. Karena Ibu mengetahui bahwa masa usia anak ketika dua tahaun
merupakan waktu yang paling ideal ditinjau dari segi kesehatan maupun jiwa
anak dan pada masa usia tersebut merupakan kebutuhan yang vital bagi
pertumbuhan anak baik mengenai kesehatan maupun mentalnya.10
Kemudian Allah SWT berfirman di dalam surat At-tahrim Ayat 6:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-
Tahrim: 6)
Pada ayat ini orangtua diperintahakan Allah SWT untuk memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan memberitahaukan kepada keluarganya
untuk selalu taat kepada Allah SWT dan menjauhi segala yang dilarang-Nya,
termasuk anggota keluarga disini adalah anak. Kewajiban membiayai anak
yang masih kecil bukan hanya belaku selama Ayah dan Ibu masih terikat
dalam tali perkawinan saja, namun berlanjut setelah perceraian.11
10
Sayid Quthub, Tafsir Fi Zhilāli Al-qur’an. (Beirut: Dar Syuruq: 1992)
Al-Makhrûzi, Tafsir Mujahid, (Beirut: Dar el-Fikri, 1989), h. 237.
15
Didalam Tafsir Wādhih dijelaskn bahwa ayat tersebut menjelaskan
Allah SWT memerintahkan agar menjaga diri manusia meninggalkan dari
segala kemaksiatan melaksanakan ketaan, meninggalkan segala larangan yang
dibenci oleh Allah SWT dan rasul-rasul-Nya. Menjaga pula keluarga kita dari
segala kemaksiatan, larangan dan melaksanakan perintah Allah SWT,
mengerjakan amal baik, dan menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan al-
Qur’an. Adapun yang dimaksud dengan keluarga disini adalah anak dan
orang-orang yang terdekat. Allah benar-benar telah tegas mengatakan:12
ال ق ر ب ي ير ت ك ع ش ب الص لاة و اص ط ب ع ل ي ها،و أ ن ذ ر ل ك أ ه و أ مهر
Kemudian hadits Nabi:
ح د اوهد و ب هأ ل اق م ن ث د : ال ن ث د ح ي م ل الس د ال خ نهب دهو مها ع ن دهي ل و ا أ ، ب ي ع و،ر م ع ث د ح ي اع ز و ال ن الل د ب ع ه د ج ن ع ه ي ب أ ن ع ب ي ع شهنهوب ر م ع ن أن ر م ع ن ب ر ي ت ال ق ة أ ر ام و اب ن إ الل ل و سها كان هذ ن ط ب ا اء ع و ههل ن
ق ل ط باههأ ن إ و اء و ح ههل ي ر ج ح و اء ق س ههل ي ي د وث ،ن م ههع ز ت ن ي ن أ اد ر أ و ن .ي ح ك ن ت ال م ه ب ق ح أ ت ن صلىاللعليهوسلمأ الل لهو سهار ل لقاف
13 Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-sulami,
telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari abu Amr Al-Auza’I,
telah menceritakan kepada kami Amr bin Syuaib, dari Ayahnya dari
kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata:
Whai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah
tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan
pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan Ayahnya telah
mecraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah
SAW bersabda: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau
belum menikah. (HR. Abu Daud)
12
Muhammad Mahmud, Tafsir Wadhi, (Beirut: Dar Jil al-Jadidi, 1413 H), Juz 3 h.
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazab, (Lebanon: Dar El-Fikri, tth),
Juz 18, h. 321.
17
1. Berakal
Berakal merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi bagi orang
yang ingin mendidik anaknya, karena berakal merupakan salah satu indikasi
seseorang dapat dikenakan hukum syariat, maka tidak berhak bagi orang
yang gila baik itu gila dari lahir atau gilanya orang tersebut dapat mungkin
sadar dengan memakan waktu yang lama. Tetapi Imam Taqiyuddin
berpendapat lain yaitu jika gilanya tersebut tidak lama (sebentar) seperti
sehari maka tidaklah menggugurkan hak hadhanah tersebut, seperti halnya
orang yang sakit kemudian sembuh dengan waktu yang sesaat. Adapun
alasan seseorang yang gila tidak boleh mendidik anak (hadhanah) karena
tidak mungkin seorang yang gila menjaga anak sedangkan ia sendiri
membutuhkan kepada penjagaan bagaimana mungkin ia dapat menjaga /
mendidik anak.
2. Merdeka
Tidaklah boleh bagi seorang budak mendidik anak sekalipun ia di
izinkan oleh tuannya, sedangkan alasan tidak dibolehkannya bagi seorang
budak mendidik anak: pertama, budak haknya adalah melayani tuannya
(kemanfaatan bagi tuannya) bagaimana mungkin ia melayani tuannya dan
tuannya dapat mengambil kemanfaatan darinya sedangkan ia disIbukkan
untuk mendidik anak. Kedua, tidak ada hak sama sekali bagi seorang budak
untuk mendidik anak.
18
3. Beragama Islam
Keadaan perempuan tersebut beragama islam tetapi jka ada anak yang di
didik tersebut beragama islam yang mengikuti agama bapaknya maka bagi
seorang perempuan yang kafir tidak boleh mendidiknya.
4. Cakap akhlaknya, terpercaya, tidak bersuami.
5. Mampu
Apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah
hadhanah. Namun berbeda dengan imam Husain al-hanafiy mengatakan
bahwa seorang Ibu majusi dan kitabiyah berhak mendapatkan hak pengsuh
karena tidak ada perbedaan dari segi agama,17
maka hadhanah lebih berhak
didapatkan oleh seorang isteri sebagaimana dijelaskan didalam kitab
raudhatu At-Thālibĭn:18
ل ههأ ص لا إ ن ا ت ي يز ل م ن ح ق ف ب ال ض ان ة م ن ال ب هم أ ح ق يه ك مهب أ ن ال Artinya: “Hanyalah ibu yang lebih berhak untuk mengash anaknya
dibandingkan dengan Ayahnya selama anak tersebut belum
tamyyiz sedikitpun”
Imam Fakhruddin berpendapat apabila tidak ada keluarga yang
mengasuh dengan bahwa ada Ibunya itu seorang yang fasik, atau ia sering
keluar rumah kemudian ia meninggalkan anak asuhannya dan tak kembali
kerumah atau ia seorang budak atau anak budak perempuan atau yang
mengatur kehidupan anak asuhan atau Ibunya seorang budak mukatabah yang
17
Badru ad-Din, Al-InAyah Syarh al-HidAyah, (Lebanon: Dar El-Kutub Al-
‘alamiyah, 2000), Juz, 5, h. 644. 18
Abu Zakariya, Raudhatu at-Thālibĭn Wa Umdatu Al-Mutaqin, (Beirut: Al-
Maktab Al-Islami, 1991), Juz 9, h.103.
19
ia melahirkan seorang anak sebelum menjadi budak mukatabah atau ia
menikah dengan seseorang yang bukan mahramnya, sedangkan dilain sisi
bapaknya sulit dan Ibunya pergi tidak mau mengasuh anaknya jika tidak diberi
upah sedangkan ada seorang budak yang ingin mengasuhnya tanpa harus
dibayar maka budak perempuan tersebut lebih baik dibandingkan Ibunya.
Pendapat ini lebih baik menurut mazhab Hanafi.19
Syarat hadhanah disebutkan pula didalam kitab al-Iqna’:20
و ةهف ع ال و نهي الد و ةهي ر ال هو لهق ع ل ا ة ع ب س ي ه و ةهان ض ل ا ةهام ق ال و ةهان م ال
ج و ز ن م و لهال هو
Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam,
terjaga, terpercaya, dan tidak ada ikatan dalam pernikahan”
Abi Suja’ mengatakan:
و ةهف ع ال و نهي الد و ةهي ر ال هو لهق ع ل ا ع ب س ة ان ض ال طهائ ر ش و و لهال هو ةهام ق ال و ةهان م ال .ت ط ق س ط ر اش ه ن م ل ت اخ ن إ ف ج و ز ن م
Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam,
terjaga, terpercaya, dan tidak ada ikatan dalam pernikahan jika
cacat satu syarat dari 7 tersebut maka gugurlah”21
ع ت س ن اض ال طهر ش و ل ق ، و م ل س مهل ل م لا س إ و ة ي ر حه، و ة ان م أ ، اعهض ر إ ،
ههل ق ح ل ن م ت ح ك ن ن إ و ر ص ب و ع ي ض الر ب ة ان ض ال ف ن إ ا،و ه ق ح ل ط ، .اه ط ر ش د و ع ك اد ع ت ق ل ط
19
Fakhru ad-Din, Tabyiinu al-Haqaiq syarh kanzu ad-Daqaiq Wa Hasyiyah As-
syilbi, Juz 3,(Lebanon: Dar El-Kutub al-Alamiyah, tth), h.46. 20
Al-mawardi, al-Iqna fi fiqh as-Syafi’I, (Ttp: Tp, tth), Jilid I, h. 160. 21
Abi Syuja’, al-Ghayah Wa At-taqrib, (Surabaya: Alim Al-Kutub, tth), h. 36.
20
Artinya: “Syarat bagi orang yang mengasuh anknya itu ada 6: berakal,
merdeka, beragama Islam, terpercaya, baik budi pekertinya (ibu
sesusuan) dan mengerti. Jika ibunya menikah lagi maka tidak ada
hak asuhan bagi ibunya, dan jika ia tertalak lagi maka kembalilah
haknya jika anak tersebut belum mumayyiz”
Maka dari syarat yang disebutkan diatas hak hadhanah lebih pantas
jatuh kepada Ibu sebagaimana di dalam kitab Al-lubab dijelaskan:22
هأ ن م ة ان ض ال ب ل و أ م ل ل م ب ال ن س ع ب س دهل و ال غ لهب ي ا ف ل إ ي "د ل و ال كهس م اأ ن ا:"أ م ههن م د اح و لهكهل و قهي ن اأ ه دهح أ ل ائ س م ان ث ف أ ةهي ان والث ل و أ بهال ن و كهي ن : دهن و مهأ م بهال هن و ا أ ةهث ال الث و م ال ن : ةهي ر ال هل مهك ت ل هف ن و كهي و م ال اف ذ إ ةهع اب الر و ار حهبهال ارهالد ق ر ت اف م ب ا إ ةهس ام ال و . ل و أ ب ال ت ذ : هف م الهت ج و ز ا .ل و أ ب ال إ ةهس اد الس و ك ذ : ان ا و م ل س مهب ال ها ك ذ إ ةهع اب الس و .ة ي م ذ م ال ان ا
و م ل س مهب ال ها هن و كهت ن أ ةهن ام الث و .ة د ت ر مهم ال ب س الن ة ل و ههم م ال هاءهس ن ف ان ت اب ر القهت ع م ت ااج ذ إ و .ان س ن ل ق الر ب ت ر ق أ ف ن م ل و أ م ال اء س ن هت خ أهن و كهت ن أ ل إ ب ال ل ت خ أهع م م ا ك م أهو ب ل ت ان ،
ه ل تهخ ال هو ب ل ل و أ م ال Artinya: “Adapun ibu lebih utama kepada hak hadhanah selama anak belum
sampai kepada umur 7 tahun kecuali dalam 8 perkara:
1. Mengatakan setiap dari keduanya “aku mengambil anakku” maka yang
lebih utama adalah bapaknya.
2. Bahwa Ayahnya lebih terjaga dibandingankan dengan ibunya.
3. Bahwa tidak sempurna kemerdekaan ibunya sedangakan Ayahnya lebih
merdeka ketimbang ibunya.
4. Jika berbeda tempat yang sangat jauh antara keduanya maka Ayahlah
yang lebih berhak
5. Jika ibunya telah menikah maka yang lebih berhak bapaknya
6. Jika bapaknya muslim dan ibunya kafir zimmi maka yang berhak Ayahnya
22
Abu al-Hasan Al-Mahamili, al-Lubab Fi Fiqh As-syafi’I, Juz I, (Madinah
Munawarah, Dar Al-Bukhar, 1998), h. 347.
21
7. Jika Ayahnya muslim dan ibunya murtad
8. Jika ibunya tidak mempunyai kerabat lagi sedangkan ia merupakan budak
seseorang maka Ayahnya yang lebih berhak.
Adapun syarat bagi anak yang diasuh:23
1. Si anak masih dalam usia kanak-kanak dan belum dapat mengurus dirinya
sendiri.
2. Si anak sempurna akalnya.
Akan tetapi dari persyaratan diatas ulama fikih berbeda pendapat
mengenai syarat seseorang yang mengasuh beragama Islam. Berpendapat
kalangan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah tidak disyaratkan orang yang
memelihara anak harus beragama Islam akan tetapi jika non-muslim itu
kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik itu sendiri
maupun orang lain.24
Kemudian ulama berbeda pendapat juga dipemasalahan
ketika hak itu merupakan hak anak (mahdun). Menurut sebagian mazhab
Hanafi hadhanah adalah hak anak karena anak dapat menentukan pilihannya ia
akan di didik dan dipelihara dengan baik atau tidak. Jika ia menginginkannya
tentulah itu baik, jika ia tidak ingin dipelihara oleh hadhin maka hadin tidak
boleh untuk memaksanya karena hak hadhanah itu milik si anak.25
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali berpendapat bahwa hadhin
yang berhak atas itu, apabila hadin tidak bersedia melaksanakan hadhanah,
maka ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan atau tidak. Oleh karena itu
apabila mengasuh seorang anak dilakukannya dengan secara paksa, maka
23
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah Jilid 2, h. 242. 24
Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jlid 10, Penerjemah Abdul
Hayyie Al-Katani, dkk, h. 67. 25
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Ilmu Fikih, (Jakarta: IAIN, 1983), Jilid 2, h.212.
22
dikhawatirkan anak akan terlantar pendidikan dan pemeliharaannya. Pada
hakikatnya hadhanah berkaitan dengan tiga hak terpadu, hak Ibu, hak anak
dan hak Ayah, maka ketiganya harus terwujud jika saling bertentanagn yang
didahulukan adalah hak si anak.26
Imam Syarbini mengatakan apabila si hadhin tidak mempunyai harta
maka wajib bagi orang yang wajib menafkahkan harus menafkahkan si
mahdun, jika tidak maka wajib bagi orang Islam untuk menafkahkannya. Dari
perkataan imam Syarbini dapat difahamibahwa menafkahkan anak yang
diasuh itu wajib untuk semua orang Islam tetapi tentu dengan catatan yang
tertentu.27
Menurut imam al-Sarkhisi apabila seorang Ibu merasa anak tidak
butuh kepada hadhanah maka tetaplah berlaku bagi seorang yang mempunyai
hak mengasuh untuk membiayai ia dalam pendidikan, kebutuhan makannya,
dan menyucikan bajunya, karena semua itu dIbutuhkan bagi si anak.28
Adapun urutan orang-orang yang berhak menerima hadhanah
menurut Abu Al-Fadhil Al-Hanafi yaitu: Ibu kandung, Ibu sebapak, Saudara
perempuan seIbu sebapak, Saudara perempuan seibu, Saudara perempuan
sebapak, Bibi, Ponakan perempuan dari saudara perempuan lebih bagus dari
pada anak ponakan perempuan dari saudara laki-laki. Apabila yang disebutkan
diatas menikah maka gugurlah hak asuhan baginya.29
26
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), h.210. 27
Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, (Beirut: Dar El-kutub Al-‘alamiyah, 1994), Juz 5, h.
196. 28
As-Sarkhisi, Al-Mabsuth, (Beirut: dar El-Ma’rifah, 1993), Juz 5, h. 207. 29
Abu al-Fadhil al-Hanafi, Al-Ikhtiyaru Lita’li Al-Mukhtar, (Beirut: Dar El-Kutub
Alamiyah, 1937), Juz 4, h. 15.
23
Muhammad al-Hadadi al-‘Ubadiy az-Zabidiy mengatakan apabila
Ibu kandung tidak ada atu telah menikah maka yang lebih utama mengasuh
anak tersebut adalah nenek Ibu kandung lebih utama di banding dengan Ibu
sebapak, dan jika jauh dari nasab keturunan maka Ibu sebapak lebih utama
daripada saudara perempuan. Maka apabila Ibu kandung tidak mempunyai
nenek maka saudara perempuanlah yang lebih utama daripada bibi.30
D. Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah
Pada dasarnya pelaksana hadhanah dalam keluarga adalah suami
isteri atas hadhanah anak-anaknya. Apabila karena adanya sesuatu hal yang
menyebabkan orang tua tidak dapat melaksanakan hadhanah, maka hadhanah
terhadap anaknya itu diserahkan kepada orang lain dalam lingkungan keluarga
yang sekiranya mampu dan memenuhi syarat untuk melaksanakan hadhanah
tersebut. Menurut Ibnu Rusyd, hadhanah diberikan berdasarkan kedekatan dan
kelemah lembutan bukan dengan dasar kekuatan perwalian, seperti nikah,
mawali, wala’, walad dan warisan.31
Bisa saja orang tidak mewarisi tetapi berhak hadhanah seperti orang
yang diberi wasiat, adik perempuan Ayah, adik perempuan Ibu, anak saudara
laki-laki dan anak saudara perempuan. Sementara menurut Al Hamdani bahwa
orang yang berhak pengasuhan anak adalah orang yang lebih mampu
mengasuh dan mendidik anak tersebut, karena orang yang mengabaikan
pemeliharaan anak atau tidak bertanggungjawab terhadap anak tidak layak
mendapatkan hak pengasuhan anak.32
30
Muhammad Az-zabidi, Al-jauharah an-Nirah, (Lebanon: mathba’ah Khirah,