tor yang ditengarai berperan dalam ter- jadinya kejadian luar biasa difteria. Mi- salnya cakupan imunisasi pada bayi dan ulangannya (booster) yang masih ren- dah dan terjadinya penurunan tingkat kekebalan spesifik (IgG) pada mereka yang sudah mendapatkan imunisasi, seiring dengan bertambahnya waktu misalnya terjadi pada kelompok remaja dan dewasa. ' Di negara berkembang dengan sum- her penularan Corynebacterium diph- teriae masih tinggi. Kekebalan yang di- dapat dari lingkungan memegang pe- ranan penting dalam perlindungan ter- hadap difteria. Seiring dengan hal terse- but upaya pencegahan terhadap kemu- ngkinkan terjadinya kejadian luar biasa penyakit difteria dapat dilakukan den- gan meningkatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Prioritas utama berada pada imu- nisasi dasar dengan cara memberikan tiga dosis DTP pada usia 2 bulan, 4 bu- lan, dan 6 bulan, kemudian diulang ketika anak berusia 18 bulan. Diharap- kan, cakupan imunisasi dapat mencapai mendekati 90 persen. Setelah itu, pem- berian imunisasi diulang saat usia seko- lah, yaitu ketika usia 5 tahun dan 12 tahun. Imunisasi dilaksanakan melalui kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) . . Menurut Eddy, tingkat kekebalan imunisasi akan menu run sejalan de- ngan bertambahnya usia anak. Kondisi ini bisa terjadi pada saat anak mema- suki usia remaja. Dengan demikian, re- maja termasuk kelompok yang rentan terkena difteria, sekaligus bisa sebagai sumber penularan difteria. Imunisasi dengan demikian diperlukan remaja pula. "Namun saat ini belum ada program imunisasi untuk mempertahankan kadar imunologin spesifik (IgG) ter- hadap difteria di atas nilai protektifbagi remaja," ucapnya. Kondisi ini, menurut Eddy, bisajadi karena masih adanya anggapan dalam masyarakat bahwa imunisasi yang diberikan saat kecil dianggap sudah cukup dan akan melindungi seumur hidup. Selain itu, daya tahan remaja di- anggap sudah baik, sehingga kalau sakit juga tidak akan sampai berat dan tidak akan sampai meninggal. Padahal, remajajuga memerlukan imunisasi ulang agar status kekebalan- nya tetap terjaga. Eddy mengatakan, vaksin DT yang saat ini beredar di In- donesia tidak boleh digunakan untuk remaja karena dapat menimbulkan gangguan neurologis yang berat. Meski demikian, agar remaja tidak terkena difteria atau bahkan bukan sebagai sumber penularan, upaya pemberian imunisasi ulang dapat dilakukan de- ngan memakai vaksin difteria, tetapi dosisnya sudah dikurangi. "Vaksin seperti ini terbukti aman dan bermanfaat. Imunisasi ulang.yang diberikan pada remaja berusia 10-18 tahun meningkatkan kadar imunologik serum spesifik (IgG) protektif terhadap difteria dan tetanus. Melalui imunisasi ulang pada remaja diharapkan dapat mencegah terjadinya reemerging di- sease," paparnya. Di Amerika Serikat, imunisasi ulang difteria dan tetanus untuk anak usia 7 tahun atau lebih menggunakan vaksin kombinasi difteria dan tetanus, yaitu dengan pengurangan dosis difteria menjadi satu per sepuluh dosis bayi. Pengurangan dosis ini dilakukan agar lebih aman karena penelitian sebelurn- nya menunjukan reaksi lokal dan sis- temik meningkat dengan bertambahnya umur dan makin seringnya diberi imu- nisasi yang mengandung difteria. (Yeni Ratnadewi/"PR")***