PRINSIP-PRINSIP LEGISLASI HUKUM PIDANA RUMUSAN DELIK SUMBERDAYAALAM GRAHAT NAGARA 01106030965/ Kelas Pidana Reguler PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA 2014 TESIS
Dec 28, 2015
PRINSIP-PRINSIP LEGISLASIHUKUM PIDANA RUMUSANDELIK SUMBERDAYA ALAM
GRAHAT NAGARA
01106030965/ Kelas Pidana Reguler
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2014
TESIS
BAB 1.
PENDAHULUAN
Kerentanan digunakannya hukum pidana secara arbitrer.
Perbedaan cara pandang dengan masyarakat tentang perbuatan apayang harus dihukum.
Keberadaan hukum pidana justru menjadi paradoks dengan tujuannyasendiri.
Terusiknya rasa keadilan terhadap masyarkat terkait dengan penegakanhukum delik SDA, kesejarahannya dapat ditarik hingga ke masa kolonial. Tahun 2012 seorang petani buta huruf bernama Rosidi dihadapkan pada proses pengadilan yang mengancamnya hingga 10 (sepuluh) tahun penjara setelah dituduh mencuri sepotong kayu jati dari hutan. Sebelumnya, 23 April 2008, Bambang Sutedjo dan Cipto, masyarakat yg hidup di sekitar hutan tewas ditembak oleh Polisi Hutanpada saat makan siang ketika mencari kayu di Alas Jati. Mundur lagi, 2006, sejumlah petani di Kontu divonis bersalah dalam 14 perkarakarena mengerjakan hutan yang dianggap tidak sah.
1.1. LATAR BELAKANG
“Jika kami diancam dengan
penjara 15 tahun dan denda
milyaran karena mengambil
makan di hutan, sementara
membunuh bapak petugas hanya
dihukum 12 tahun, maka lebih
baik kami membunuh bapak saja.”
Diskusi Terkait Penunjukan Taman Nasional Gunung Ciremai
(Masyarakat Cigugur, 2013)
UNIVERSITAS INDONESIA 2
BAB 1.
PENDAHULUAN
Pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam di Indonesia begitu eksesif dengan hukum pidana.
Konsekuensi logis jika tidak pernah ada evaluasi terhadapkebijakan hukum pidana (Barda, 2011).
Ketergantungan negara terhadap penggunaan hukum pidana(Kadish, 1960).
Perlu ada kriteria yang bersifat normatif untuk membatasipertumbuhan hukum pidana (Husak, 2008).
Dekriminalisasi pernah dilakukan melalui Putusan MK 1/PUU-XI/2013 terhadap Pasal 355 (1) KUHP dan PutusanMK 55/PUU-VIII/2010 terhadap Pasal 21 dan 47 UU18/2004.
1.1. LATAR BELAKANG
UNIVERSITAS INDONESIA 3
“Justru pertumbuhan hukum
pidana materil pula yang
memaksa kita melihat secara
kritis dan rasional apakah yang
seharusnya ditentukan oleh
pembuat undang-undang
sebagai dapat dipidana…”
Segi Lain Hukum Pidana (Saleh, 1984)
BAB 1.
PENDAHULUAN
1. Bagaimana kebijakan hukumpidana terkait tindak pidanasumber daya alam diarahkan di Indonesia?
2. Asas dan prinsip apa saja dalamilmu hukum pidana yang dapatdigunakan untuk membatasikriminalisasi (legislasi kriminal) di sektor sumber daya alam?
3. Apakah kriminalisasi di sektorsumber daya alam sudah sesuaidengan asas dan prinsip-prinsipyang berlaku dalam hukumpidana?
1.2. PERNYATAAN PERMASALAHAN
UNIVERSITAS INDONESIA 4
1.3. PERTANYAAN PERMASALAHAN
Overkriminalisasi di sektor sumber daya alam dapatdiasumsikan telah terjadi mengingat jumlahnya yang luar biasadan proses hukum yang menurut pandangan masyarakatberjalan arbitrer.
Kebutuhan evaluasi terhadap hukum pidana merupakankonsekuensi logis dari overkriminalisasi yang terjadi.
Titik pentingnya berada pada penentuan tolak ukur untukmenilai bahwa kondisi ius constitutum hukum pidana sumberdaya alam mengalami krisis overkriminalisasi. Pada titik tolakukur, standar atau prinsip itulah kemudian berbagai pemikirhukum seringkali berbeda.
Tesis ini harus menentukan tolak ukur, batasan, dan ruanglingkup definisi maupun asas dan kaidah yang dapat digunakanuntuk menilai terjadinya overkriminalisasi dalam pemidanaandi sektor sumber daya alam.
BAB 1.
PENDAHULUAN
1. Menjelaskan dan menganalisa kebijakan
hukum pidana dan rasionalisasi pemidanaan
dalam delik-delik terkait sumber daya alam
kehutanan, perkebunan dan pertambangan.
2. Menjelaskan dan menganalisa asas dan
prinsip yang berlaku dalam hukum pidana
yang dapat menjadi batasan bagi
kriminalisasi (limiting principle of
criminalisation) hukum pidana terkait
dengan sumber daya alam, kehutanan
perkebunan dan pertambangan.
3. Menganalisa kesesuaian pasal-pasal pidana
sumber daya alam dengan prinsip-prinsip
yang dapat dijadikan batasan bagi
kriminalisasi.
1.4. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN
UNIVERSITAS INDONESIA 5
1. Memberikan masukan kepada legislatif
dalam menyusun rumusan pasal pidana
terkait sumberdaya alam kehutanan,
perkebunan dan pertambangan sehingga
dapat memenuhi kaidah-kaidah hukum
pidana dalam legislasi kriminal.
2. Memberikan sumbangsih terhadap
keilmuan hukum, khususnya terkait
kebijakan hukum pidana.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
BAB 1.
PENDAHULUAN
Hukum pidana dikerangkakan sebagai bagian
dari kebijakan sosial untuk merespon
kejahatan. Dengan demikian, suatu hukum
pidana harus selalu memiliki rasionalisasi
untuk mencapai tujuan sosialnya.
Di sisi lain, sebagai suatu kebijakan hukum
pidana, maka secara normatif juga hukum
pidana merupakan bagian dari proses legislasi
hukum pidana. Dalam Sidharta dijelaskan
(lebih jauh dalam Kerangka Teoritik) dalam
Teori Pembentukan Hukum Pidana bahwa
pembentukan suatu hukum (pidana)
merupakan dialektika, tidak semata
kepentingan politik tetapi juga momen
normatif dan teknikalnya.
1.6.1. KERANGKA KONSEPTUAL
UNIVERSITAS INDONESIA 6
Kejahatan
`Kebijakan Hukum
Pidana
Kaidah Hukum Pidana Struktur Hukum
Pidana
Sarana Penal
Kebijakan Sosial
Kebijakan Penegakan Hukum
respon
Penegakan Hukum
Pidana
BAB 1.
PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari momen normatif dan
teknikalnya, Sidharta menjelaskan di
dalamnya terkait dengan bagaimana asas-asas
dalam hukum menjadi pembentuk hukum.
Sementara teknikalnya, berupa tata cara
perumusan pasal. Dalam konteks hukum
pidana maka seharusnya, asas yang berlaku
dalam hukum pidana, begitu pun dengan
teknikal tentang bagaimana pasal pidana
dirumuskan.
Selain kedua hal tadi, Sidharta menyebutkan
penegakan hukum sebagai bagian dari
pembentukan hukum (pidana) melalui
konkretisasi pasal-pasal pidana yang bersifat
umum.
1.6.1. KERANGKA KONSEPTUAL
UNIVERSITAS INDONESIA 7
Kejahatan
`Kebijakan Hukum
Pidana
Kaidah Hukum Pidana Struktur Hukum
Pidana
Sarana Penal
Kebijakan Sosial
Kebijakan Penegakan Hukum
respon
Penegakan Hukum
Pidana
BAB 1.
PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari momen normatif dan
teknikalnya, Sidharta menjelaskan di
dalamnya terkait dengan bagaimana asas-asas
dalam hukum menjadi pembentuk hukum.
Sementara teknikalnya, berupa tata cara
perumusan pasal. Dalam konteks hukum
pidana maka seharusnya, asas yang berlaku
dalam hukum pidana, begitu pun dengan
teknikal tentang bagaimana pasal pidana
dirumuskan.
Selain kedua hal tadi, Sidharta menyebutkan
penegakan hukum sebagai bagian dari
pembentukan hukum (pidana) melalui
konkretisasi pasal-pasal pidana yang bersifat
umum.
1.6.1. KERANGKA KONSEPTUAL
UNIVERSITAS INDONESIA 8
Kejahatan
`Kebijakan Hukum
Pidana
Kaidah Hukum Pidana Struktur Hukum
Pidana
Sarana Penal
Kebijakan Sosial
Kebijakan Penegakan Hukum
respon
Penegakan Hukum
Pidana
BAB 1.
PENDAHULUAN
Pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan ideologipolitik suatu bangsa dalam fungsinya menanggulangi kejahatan. Dalam penanggulangan tersebut tujuan utamanya adalah bagaimanamemastikan masyarakat dapat terlindungi (social defence), sehinggakesejahteraan sosial dapat dicapai (social welfare).
Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan hukum pidana yang di susun menurut meliputi berbagai hal termasuk menentukan seberapajauh ketentuan pidana yang berlaku perlu diperbaharui, apa yang dapatdiperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Termasuk jugabagaimana pelaksanaan penegakan hukum harus dilakukan.
Kebijakan hukum pidana oleh karena itu sebagaimana disebutRutherford (1996) apabila diterjemahkan dalam konteks yang lebihluas merupakan kajian tentang bagaimana masyarakat (termasukpemerintah) dalam merespon persoalan yang dihasilkan dari fenomenakejahatan.
UNIVERSITAS INDONESIA 9
1.6.2. KERANGKA TEORITIK
Kebijakan
Hukum
Pidana
BAB 1.
PENDAHULUAN
Hukum pidana tidak hadir dengan sendirinya. Ketika kebijakanhukum pidana menghendaki arah perlindungan sosial tertentu, makaada proses lain yang menjadi penghubung antara hukum pidanadalam artian ius constitutum dengan arah perlindungan sosial dalamlingkup kebijakan hukum pidana tersebut (ius constituendum). Proses tersebut yang meski dilakukan dengan cara yang politis tetapidibatasi oleh prinsip dan asas-asas hukum.
Kegiatan menentukan mana perbuatan atau tindakan yang merupakan pidana dan kemudian mengancamnya dengan sanksipidana tersebut menurut Persak harus dilakukan denganmemperhatikan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan yang besar yang membentuk nilai, dan membagi masyarakat ke dalamkriminal dan bukan kriminal, membatasi kebebasan seseorang dalambertindak dan dapat berdampak pada memburuknya perikehidupanseseorang .
UNIVERSITAS INDONESIA 10
1.6.2. KERANGKA TEORITIK
Kriminalisasi
“Criminalisation is, first and
foremost, a political process; a
process, through which the
world of politics via criminal
policy penetrates into the world
of law – a process that can and
should, nevertheless, be guided
by legal principles, rules and
standards.”
Persak, N. (2007). Criminalising Harmful
Conduct: The Harm Principle, its Limits and
Continental Counterparts. New York: Springer,
hal. 5-6
BAB 1.
PENDAHULUAN
Berbagai pemikiran untuk menghasilkan prinsipkriminalisasi telah menjadi salah satu cabangdiskursus yang panjang dalam keilmuan hukumpidana kontemporer – setidaknya dalam beberapatahun terakhir.
Kekhawatiran atas dampaknya telah berulang kali dinyatakan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagaimana juga dikisahkan oleh Husak, tahun1960-an Herbert Packer dan Sanford Kadish telahmenyuarakan persoalan tentang overkriminalisasi.
Abstrak tersebut menunjukkan bahwaoverkriminalisasi bukan sekedar jumlah, tetapi jugapersoalan justifikasi pemberlakuan hukum pidana.
UNIVERSITAS INDONESIA 11
1.6.2. KERANGKA TEORITIK
Overkriminalisasi
“Excessive reliance upon the criminal law to perform
tasks for which it is ill-suited has created acute
problems for the administration of criminal justice.
The use of criminal law to enforce morals, to provide
social services, and to avoid legal restraints on law
enforcement, to take just three examples, has tended
both to be inefficient and to produce grave handicaps
for enforcement of the criminal law against genuinely
threatening conduct. In the case of morals offenses, it
has served to reduce the criminal law's essential
claim to legitimacy by inducing offensive and
degrading police conduct, particularly against the
poor and the subcultural, and by generating
cynicism and indifference to the criminal law….”
Kadish, S.H., (1967). The Crisis of Criminalization, Annals of The
American Academy of Political Science, Nov 1967, hal 157
BAB 1.
PENDAHULUAN
Penelitian ini merupakan penelitian dalam keilmuan hukum.
Obyeknya merupakan teori dan aturan perundang-undangan.
Pendekatan penelitian ini adalah doktrinal dengan metode analisis
hermenetika yang berusaha memahami makna yang terkandung
dalam teks. Dengan cara memberikan berbagai argumentasi
maupun proposisi secara logis untuk menghasilkan simpulan
(Hoecke, h.4; lihat juga Sidharta).
Bahan hukum dilakukan dengan cara melihat aturan perundang-
undangan yang berlaku yang tersedia melalui berbagai situs yang
resmi di pemerintahan, maupun putusan pengadilan, dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi.
Literatur menjadi bahan hukum sekunder diantaranya yang
berkaitan dengan pembahasan prinsip kriminalisasi itu sendiri
maupun yang berkaitan dengan asas-asas hukum pidana.
1.7. METODE PENELITIAN
UNIVERSITAS INDONESIA 12
Persak, N. (2007). Criminalising
Harmful Conduct: The Harm Principle,
its Limits and Continental
Counterparts. New York: Springer.
Karya disertasi Persak melakukan
komparasi antara prinsip kerugian
(harm principle) yang berlaku di
negara-negara dengan tradisi common
law dengan prinsip rechtsgutter yang
berlaku pada tradisi hukum eropa
kontinental.
BAB 1.
PENDAHULUAN
BAB 1. PENDAHULUAN.
BAB 2. DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER
DAYA ALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM
PIDANA.
BAB 3. STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL
PIDANA DALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT
SUMBER DAYA ALAM
BAB 4. PENUTUP.
1.8. SISTEMATIKA PENULISAN
UNIVERSITAS INDONESIA 13
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Menempatkan hukum pidana hanya sebagai respon terhadapkejahatan bisa jadi sangat mereduksi kondisi faktual danhistorisnya. Khususnya, di negara-negara dunia ketiga, kerumitan tersebut dimulai sejak masa kolonial, dan karenakepentingan kolonial sehingga hukum pidana dipotret lekatdengan proses koersif yang arbitrer.
Sejarah perlindungan dan pengelolaan hutan, kebun, danpertambangan di Indonesia terbangun dengan cara yang relatif hampir sama. Koesoema Oetoyo, tahun 1930 pernahmempertanyakan kriminalisasi yang terjadi pada masa kolonial secara retoris, terhadap masyarakat yang mengakseshutan (lahannya).
2.1. KEPENTINGAN NEGARA UNTUK MENGURUS DAN MELINDUNGI SUMBER DAYA ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA 14
“Berapa banyak lagi orang Jawa…,
(yang harus) berakhir di penjara
hanya karena menjalankan hak
tradisionalnya, untuk beternak dan
meramu.”
Advies van de Agrarisch Comissie ingesteld bij
Gouvernement besluit (Weltevreden, Landsrukerij, 1930)
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Menempatkan hukum pidana hanya sebagai respon terhadapkejahatan bisa jadi sangat mereduksi kondisi faktual danhistorisnya. Khususnya, di negara-negara dunia ketiga, kerumitan tersebut dimulai sejak masa kolonial, dan karenakepentingan kolonial sehingga hukum pidana dipotret lekatdengan proses koersif yang arbitrer.
Sejarah perlindungan dan pengelolaan hutan, kebun, danpertambangan di Indonesia terbangun dengan cara yang relatif hampir sama. Koesoema Oetoyo, tahun 1930 pernahmempertanyakan kriminalisasi yang terjadi pada masa kolonial secara retoris, terhadap masyarakat yang mengakseshutan (lahannya).
2.1. KEPENTINGAN NEGARA UNTUK MENGURUS DAN MELINDUNGI SUMBER DAYA ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA 15
“Berapa banyak lagi orang Jawa…,
(yang harus) berakhir di penjara
hanya karena menjalankan hak
tradisionalnya, untuk beternak dan
meramu.”
Advies van de Agrarisch Comissie ingesteld bij
Gouvernement besluit (Weltevreden, Landsrukerij, 1930)
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Hisoris tentang bagaimana negara dalam hal ini penguasamemberikan ancaman penghukuman terhadap aksesseseorang atas hutan sudah dimulai jauh sebelumnya, denganalasan yang berbeda, yaitu kayu. Ketika itu, hutan menjadisangat bernilai meskipun hanya dengan menghitung kayunyasaja. Kepentingan Belanda, dalam hal ini, Vereenigde OostCompagnie (VOC), di awal kedatangannya ke Indonesia, khususnya Jawa adalah mendapatkan kayu untukmembangun kapal-kapal, baik dalam rangka perdaganganataupun perang.
Untuk menjamin aksesnya terhadap kayu, ancaman padamasa itu tegas-tegas diberlakukan terhadap individu yang mengganggu kepentingan kolonial. Misalnya, pada tanggal10 Mei 1678.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 16
“Kepada seorang saudagar Cina,
Limsisay, dengan ini diberikan izin
menebang kayu di seluruh daerah
sekitar Betawi dan hutan tempat
tumbuh kayu ‘bayem’ yang pada watu
itu banyak dipakai antara lain untuk
membuat peti gula dan mengeluarkan
dari hutan untuk manfaat kota ini,
dengan cara membayar cuka
“sepuluh-satu” menurut kebiasaan
pemilik kayu itu tumbuh, dan
siapapun tidak boleh mengganggu
atau menghalang-halangi dan untuk
itu diancam dengan hukuman berat.”
Rich Forest Poor People (Peluso, 1992)
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Pentingnya nilai kayu membuat VOC berusaha memperoleh sumber dayaalam tersebut dengan berbagai cara, termasuk dengan memberikan hadiahdan mengikat perjanjian dengan sultan dan bupati. Umumnya, VOCkemudian berhasil mendapatkan akses terhadap hasil hutan denganprivilese tertentu. Misal, dengan Bupati Priangan VOC bahkan membuatburuh hutan menjadi warga bawahan Belanda di Cirebon.
Pasang surut terjadi dalam upaya VOC untuk bekerjasama denganpenguasa di Jawa pada saat itu untuk mendapatkan akses kayu dari buruhhutan. Akhirnya pada tanggal 4 Juli 1705, VOC kemudian menggunakancara agresifnya untuk mengamankan aksesnya terhadap hutan jati. Cara tersebut terbukti berhasil.
Perubahan cara VOC mendapatkan sumber daya alam tadi, kemudianmerubah juga keseluruhan cara pandangnya.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 17
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Tahun 1773 terjadi teritorialisasi penguasaan terhadap wilayah yang menghasilkanhutan bagi VOC. Pada tahun tersebut, VOC menandatangani kontrak denganSusuhunan Pakubuwono II, yang kemudian memberikan kewajiban menyerahkan8.500 balok kayu setiap tahunnya dari beberapa daerah, termasuk Jepara hinggaBrebes (Arizona, 2012). Tidak lama kemudian, yaitu pada tahun 1760, sebagianbesar hutan di Rembang dan beberapa daerah lainnya kemudian habis ditebang.
Meskipun VOC sendiri telah dibubarkan, pemerintah kolonial Belanda tetapmempertahankan penguasaannya secara teritorial terhadap sumber daya hutan di Jawa. Pada tahun 1803, dikeluarkan sebuah keputusan yang dicantumkan dalamPlakat 8 September 1803 yang menyatakan bahwa mulai saat itu, semua hutankayu di Jawa harus di bawah pengawasan kompeni sebagai domein (hak miliknegara) dan regalia (hak istimewa raja). Atas dasar hal tersebut, tidak seorangpundiperbolehkan untuk menebang atau memangkas, dan pelanggaran untuk itu akandijatuhi hukuman badan.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 18
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Akan tetapi, pada saat yang sama, tidak semua diskursus yang berkembang terkaitperlindungan hutan hanya berkaitan dengan kepentingan ekonomi semata. Padatahun 1849 Gubernur Jendral Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, J.J. Rochusen, mengusulkan agar dikirimkan beberapa orang rimbawan ke Indonesia, yaitu 2 orang ahli kehutanan dan 1 orang ahli geodesi dari Belanda ke Hindia. Kedatangan ahli-ahli rimbawan tahun 1849 dan termasuk juga awal lahirnyaPeraturan Kehutanan 1862 di pemerintahan kolonial Hindia Belanda menandai pembentukan pemangkuan hutan secara ilmiah di Indonesia.
Perubahan ini dilatarbelakangi kegelisahan pemerintah kolonial yang pada saat itu mulai menyadari akibat dari pemanfaatan hutan yang dilakukan secara sembrono.Kedua orang tersebut adalah Bennich dan Mollier. Kemudian diikuti oleh ahligeodesi bernama Balzar yang datang pada tahun 1849. Selanjutnya berbagai ahlirimbawan datang pada tahun 1855 Van Roessler dari Jerman dan diikuti rimbawanBelanda yang dilatih Jerman diantaranya Beijerinck, Noodt, Stuffken, dan deSturler in 1857.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 19
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
• Akan tetapi, pada saat yang sama, tidak semua diskursus yang berkembang terkaitperlindungan hutan hanya berkaitan dengan kepentingan ekonomi semata. Padatahun 1849 Gubernur Jendral Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, J.J. Rochusen, mengusulkan agar dikirimkan beberapa orang rimbawan ke Indonesia, yaitu 2 orang ahli kehutanan dan 1 orang ahli geodesi dari Belanda ke Hindia. Kedatangan ahli-ahli rimbawan tahun 1849 dan termasuk juga awal lahirnyaPeraturan Kehutanan 1862 di pemerintahan kolonial Hindia Belanda menandai pembentukan pemangkuan hutan secara ilmiah di Indonesia.
• Perubahan ini dilatarbelakangi kegelisahan pemerintah kolonial yang pada saat itu mulai menyadari akibat dari pemanfaatan hutan yang dilakukan secara sembrono.Kedua orang tersebut adalah Bennich dan Mollier. Kemudian diikuti oleh ahligeodesi bernama Balzar yang datang pada tahun 1849. Selanjutnya berbagai ahlirimbawan datang pada tahun 1855 Van Roessler dari Jerman dan diikuti rimbawanBelanda yang dilatih Jerman diantaranya Beijerinck, Noodt, Stuffken, dan deSturler in 1857.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 20
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Dari peristiwa tersebut, asumsi lainnya ikut menguat bahwa pengurusan hutantidak bisa dapat diserahkan kepada siapapun kecuali negara. Hutan harus diurusoleh negara. Dijelaskan oleh Nolst Trinite bahwa tidak ada seorangpun yang dapat kompetensi superior dari Negara untuk mengelola lahan. Menurutnya, Negara memiliki hak dan kewajiban untuk mencegah terjadinya penggunaan lahansewenang-wenang atau berlebihan sehingga menyebabkan rusaknya hutan danlereng gunung – yang merupakan tempat penampungan air. Penggunaan lahansecara ceroboh akan menghancurkan hutan yang kaya manfaat menjadi tanah yang tidak lagi produktif.
Pada tahun 1875 kemudian berlaku peraturan di sektor kehutanan yang melakukankriminalisasi terhadap berbagai perbuatan, mulai dari melakukan perusakan hutanhingga persoalan pengangkutan kayu tanpa izin. Untuk menguatkan kendali dankuasanya atas hutan, pada tahun 1880 dibentuk polisi hutan di bawah DepartemenDalam Negeri (Binnenlands Bestuur), kemudian diposisikan sebagai bagian dariDinas Kehutanan. Tugasnya agak teknis, tapi terutama berkaitan dengan patrolihutan,
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 21
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANAPERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 22
Rancangan 1860 Peraturan Kehutanan 1875
Pembakaran —
Pencurian kayu —
Penjarahan hutan Pencurian hasil hutan
Perusakan hutan Perusakan hutan
Penggembalaan ternak di atas tegakan yang
masih muda
Menggembalakan ternak di atas tegakan yang
masih muda
Menyebabkan kebakaran di hutan Menyebabkan kebakaran di hutan
Perjalanan ke dalam hutan dengan kereta kuda
atau ternak
Membawa alat untuk menebang atau memotong
ke dalam hutan
Pengangkutan kayu tanpa izin Pengangkutan kayu tanpa izin
Perusakan tanda batas —
Penebangan tanpa izin Pengangkutan kayu tanpa pembayaran di muka
Penjulan kayu dari tanah swasta tanpa
membayar pajak—
— Melanggar batas kawasan hutan
Sejarah dan pengaturan pidana di sektor kehutanantersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa kriminalisasipada masa kolonial pada dasarnya dilakukansetidaknya dengan 2 (dua) cara:
1. Pertama. Menentukan legitimasi negara atau suatuteritorial tertentu yang disebut kawasan hutan untuksecara efektif mengakses sumber daya alam – dalamhal ini hutan yang ada di dalam teritorial tersebut.
2. Kedua, kriminalisasi tersebut juga dilakukan dengancara membatasi akses masyarakat terhadap hutan. Dengan aturan pidana tersebut, akses masyarakat atassumber daya hutan kemudian sangat dibatasi. Padatahun 1824 dengan Staatsblad Nomor 5, masyarakatdiperbolehkan untuk menebang kayu dari hutannegara, tetapi hanya untuk membuat perahu sungaidan kereta.
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Alur sejarah tersebut, memperlihatkan bahwa logika pemidanaan di masa kolonial tersebut tetapbertahan pasca kemerdekaan. Termasuk setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan. Pasal 15 (1) UU 5/1967 menyatakan bahwa upaya perlindungan hutandilakukan agar hutan lestari dan dapat memenuhi fungsinya.
Aturan pelaksana yang diamanatkan Pasal 15 (4) UU 5/1967 tersebut baru hadir setelah belasan tahunberikutnya, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan . Dalam bagian penjelasannya PP 28/1985 menegaskan bahwa berbagai hal yang mendasari terbitnyaaturan pemidanaan di sektor kehutanan tersebut.
1. Pertama, perlindungan hutan dilakukan untuk memastikan bahwa pemanfaatan atas hutan tetap dilakukansecara lestari.
2. Kedua, hutan merupakan kekayaan milik bangsa dan negara Indonesia yang tak ternilai oleh karena itukeberadaannya perlu dijaga.
3. Ketiga, tindakan perlindungan hutan yang ada selama ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadanpada saat diterbitkannya PP 28/1985 tersebut.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 23
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Dalam PP 28/1985 tersebut menggunakanUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 sebagaidasar hukumnya. Meskipun terpaut 18 tahundengan UU 5/1967 yang mendasarinya, akantetapi upaya perlindungan hutan melaluiperaturan pemerintah akhirnya diterbitkandengan memperkenalkan 15 (lima belas) delikpidana yang diklasifikasi ke dalam kebijakanperlindungan hutan, yaitu:
1. Perlindungan Terhadap Kawasan Hutan, HutanCadangan, dan Hutan Lainnya.
2. Perlindungan Terhadap Tanah Hutan.
3. Perlindungan Terhadap Perusakan Hutan.
4. Perlindungan Terhadap Hasil Hutan
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 24
No Perbuatan Pasal
1 Menebang pohon tanpa izin dalam hutan lindung Ps. 18 (1) jo. Ps. 9 (2)
2 Membakar hutan tanpa wewenang yang sah dalam hutan
lindung
Ps. 18 (1) jo. Ps. 10 (1)
3 Menduduki dan mengerjakan kawasan hutan tanpa izin
dalam hutan lindung
Ps. 18 (2) jo. Ps. 6 (1)
4 Menebang pohon tanpa izin dalam hutan Ps. 18 (2) jo. Ps. 9 (2)
5 Penggunaan kawasan hutan yang menyimpang fungsinya
tanpa persetujuan
Ps. 18 (3) jo. Ps. 5 (2)
6 Eksplorasi dan eksploitasi dalam kawasan hutan tanpa
persetujuan
Ps. 18 (3) jo. Ps. 7 (1)
7 Pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi dalam kawasan hutan
yang tidak sesuai petunjuk
Ps. 18 (3) jo. Ps. 7 (2)
8 Melakukan pemungutan hasil hutan dengan alat yang tidak
sesuai dengan kondisi tanah atau melakukan perbuatan yang
dapat berdampak pada kerusakan tanah
Ps. 18 (3) jo. Ps. 7 (3)
9 Penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan jarak
tertentu dari perairan
Ps. 18 (3) jo. Ps. 8 (2)
10 Merusak, menghilangkan, atau memindahkan tanda batas
kawasan hutan
Ps. 18 (4) a. jo. Ps. 4 (2)
11 Memungut hasil hutan bukan kayu tanpa izin Ps. 18 (4) b. jo. Ps. 9 (3)
12 Menggembalakan ternak di luar tempat yang ditunjuk
khusus
Ps. 18 (4) c. jo. Ps. 11 (1)
13 Menguasai hasil hutan tanpa surat keterangan sah Ps. 18 (4) d.
14 Menduduki dan mengerjakan kawasan hutan yang
dikerjakan oleh orang lain yang berhak
Ps. 18 (5) jo. Ps. 6 (2)
15 Membawa alat yang lazim untuk memotong pohon dalam
kawasan hutan selain petugas yang berwenang
Ps. 18 (5) jo. Ps. 9 (1)
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Jika kembali merujuk pada aturan tahun 1875 sebelumnya, maka dapatdilihat banyak sekali kesamaan dalam hal jenis-jenis perbuatan yang dapatdipidana dalam PP 28/1985. Penggembalaan ternak di dalam hutan sepertihalnya masa kolonial dulu, maka pasca kemerdekaan pun masih tetapmerupakan perbuatan pidana. Begitupun dengan mengangkut ataumemungut kayu tanpa izin, yang diatur dalam Pasal 18 PP 28/1985. Termasuk juga membawa alat yang lazim untuk memtong hutan.
Penulis memang tidak memiliki rumusan resmi pasal pidana tahun 1875 sebagaimana dimaksud dalam literatur, sehingga kesulitan untukmembandingkannya secara terperinci.
Namun, apabila memang bisa diasumsikan bahwa rumusan yang ada padatahun 1985 tersebut sama, maka dapat dipastikan juga ‘kriminalisasi’ yang sama sebenarnya terjadi hingga tahun 1985 tersebut.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 25
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Menarik, bahwa jika dibandingkan rumusan pasal pidana tersebut, tipologiperlindungan hutan setelah terbitnya UU 41/1999 pun tidak banyakberubah, meskipun ketika terbitnya diharapkan menjadi bagian dalamproses menyeluruh menata ulang penguasaan sumber daya alam. UU41/1999 dinilai lebih maju jika dibandingkan dengan aturan yang digantikannya, karena undang-undang tersebut mampu memberikanlandasan filosofis, sosiologis, dan yuridis, yang tidak hanya menunjukkansemangat zaman yang berbeda, tetapi juga upaya dan isyarat untukmemahami hutan dengan nilai dan cara pandang kesadaran lingkunganhidup dengan yang lebih tegas.
Kesadaran ini, mengacu pada Naskah Akademik-nya, UU 41/1999 jugadiharapkan dapat lebih memadai untuk merespon kejahatan-kejahatan danpelanggaran terhadap hutan yang dilakukan oleh orang tidak dapatdikenakan sanksi pidana, karena tidak jelasnya perumusan jenis-jeniskejahatan dalam UU 5/1967.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 26
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANAPERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 27
No Delik Pasal Rumusan Pasal Pidana
1 Perusakan sarana prasarana hutan Pasal 50 ayat (1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
2 Pemegang izin memanfaatkan hutan dengan cara
menimbulkan kerusakan hutan
Pasal 50 ayat (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan.
3 Mengerjakan dan menduduki kawasan hutan secara tidak sah Pasal 50 ayat (3) huruf a. Setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
4 Merambah kawasan hutan Pasal 50 ayat (3) huruf b. Setiap orang dilarang merambah kawasan hutan;
5 Penebangan di kawasan hutan yang dilindungi Pasal 50 ayat (3) huruf c. Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:1. 500 (lima
ratus) meter dari tepi waduk atau danau;2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;3. 100
(seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;5. 2 (dua) kali kedalaman
jurang dari tepi jurang;6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
6 Membakar hutan Pasal 50 ayat (3) huruf d. Setiap orang dilarang membakar hutan;
7 Memanen hasil hutan tanpa izin atau hak Pasal 50 ayat (3) huruf e. Setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin
dari pejabat yang berwenang;
8 Menguasai hasil hutan yang diperoleh dari kawasan hutan
dengan cara tidak sah
Pasal 50 ayat (3) huruf f. Setiap orang dilarang menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil
hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
8 Eksplorasi dan eksploitasi tambang di dalam kawasan hutan
tanpa izin
Pasal 50 ayat (3) huruf g. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam
kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
10 Menguasai hasil hutan secara tidak sah Pasal 50 ayat (3) huruf h. Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat
keterangan sahnya hasil hutan;
11 Menggembalakan ternak dalam kawasan hutan yang tidak
ditunjuk secara khusus oleh pejabat
Pasal 50 ayat (3) huruf i. Setiap orang dilarang menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat yang berwenang;
12 Menggunakan alat berat dalam kawasan hutan tanpa izin Pasal 50 ayat (3) huruf j. Setiap orang dilarang membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
13 Membawa alat yang digunakan untuk penebangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin
Pasal 50 ayat (3) huruf k. Setiap orang dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
14 Membuang benda yang dapat menyebabkan perusakan hutan
dalam kawasan hutan
Pasal 50 ayat (3) huruf l. Setiap orang dilarang membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
15 Menguasai satwa dan tumbuhan yang dilindungi berasal dari
kawasan hutan tanpa izin
Pasal 50 ayat (3) huruf m. Setiap orang dilarang mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi
undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Berbeda dengan PP 28, UU 41/1999 dalam hal menghilangkan tipologiperlindungannya. Walaupun rumusan pebuatan yang dipidana dalam UU41/1999 tidak banyak perubahan. Pemidanaan terhadap akses terhadaphutan bertahan, misalnya tindak pidana menduduki kawasan hutan diaturdalam Pasal 18 (2) PP 28/1985 diatur juga dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a. UU 41/1999, meski dengan rumusan yang sedikit berbeda.
Beberapa perbedaan terlihat dalam hal jenis tindakan yang dipidana. Sebagai misal, mengusai satwa dan tumbuhan yang dilindungi yang berasaldari kawasan hutan yang diatur dalam Pasal 15 sebelumnya tidak diaturdalam PP 28/1985.
Dalam hal ini, secara umum terlihat bahwa pasal pidana dalam UU 41/1999 lebih banyak mempidana terkait dengan hutan dan hasil hutannya.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 28
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Pasal pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 bertahan hingga tahun2013 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentangPencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Beberapa pasal kemudian diresepsi kembali dalam UU 18/2013, namun satudiantaranya tetap berada dalam UU 41/1999, yaitu Pasal 50 ayat (2). Undang-undang tersebut menurut Naskah Akademik yang disusun tahun 2008 sendiri hadirsebagai jawaban atas persoalan dalam pengelolaan hutan selama ini.
Dengan argumentasi urgensi perlindungan hutan, yang dipersepesikan sebagaielemen mutlak keberlangsungan umat manusia. Hutan adalah penyangga ekosistem.
Untuk menguatkan rasionalisasinya, penyusun undang-undang mendeskrisipkanbahwa praksis selama ini memperlihatkan bagaimana kejahatan pembalakan liar merongrong kelestarian hutan dan berkembang karena dilakukan dengan cara luarbiasa.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 29
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Pasca tahun 2000, kekhawatiran dan urgensi pentingnya menjaga hutan semakinmeningkat. Namun, dengan kesadaran yang semakin terglobalisasi. Pada tahun 2007 bahkan Indonesia menjadi tuan rumah bagi Conference of Parties Ke-13 (COP 13) dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bali sehingga menghasilkan Bali Roadmap. Salah satu hal yang diangkat dalam kerangka lembaga internasional UNFCCC tersebut adalah persoalan berkurangnya hutan dari tahun ke tahun akibat perubahan peruntukan sebagai salah satu komponen utama meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK), yang pada akhirnya dapat berdampak pada pemanasan global.
Sebagai pemilik hutan terluas posisi ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire dengan total luas hutan seluas 89,63 juta hektar. Indonesia dinilai dapat berperan strategisdalam memastikan tidak terjadi lagi deforestasi dan alih peruntukan lahan kehutanan, yang selama ini berkontribusi paling besar dalam penumpukan emisiGRK.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 30
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Kesadaran ini juga merefleksikan bahwa kegagalan upaya menjaga hutan selama inidiakibatkan oleh kendala dalam penegakan hukum. Disebutkan dalam NaskahAkademik tahun 2008, bahwa:
1. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kehutanan ataupembalakan liar mengakibatkan terjadinya perbedaan dasar hukum.
2. Faktor ketidakjelasan arti kata dalam peraturan perundang-undangan menimbulkanpenafsiran yang berbeda-beda antara pihak yang berwenang,
3. Pembalakan liar telah meluas tidak hanya terjadi di hutan produksi tetapi sudahmerambah ke kawasan hutan lindung (kawasan konservasi).
4. Pembalakan liar sudah semakin meluas dan kompleks serta sudah merupakankejahatan yang terorganisasi (organized crime) yang didanai atau dibiayai oleh orang tertentu.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 31
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Sehingga ketika diterbitkan, UU 18/2013 kemudian merombak berbagai delik-delik pidanadi sektor kehutanan yang sebelumnya diatur dalam UU 41/1999. Perombakan ini secaraumum menggambarkan kompleksitas penegakan hukum di sektor kehutanan. Beberapaperbedaan yang paling utama dalam UU 18/2013 dengan UU 41/1999, yaitu:
1. Pertama. Penambahan norm adressat dalam delik pidana kehutanan yang kemudian jugamenghasilkan delik baru dari yang sebelumnya diatur dalam UU 41/1999. Norm adressatdalam UU 18/2013 tidak hanya berlaku kepada orang-perorangan, tetapi juga kepada korporasidan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
2. Kedua. Adanya rekriminalisasi berbagai perbuatan yang sebelumnya sudah dikuafilasi sebagaitindak pidana untuk kembali di kriminalisasi dengan kekhususan sektor kehutanan. Misalnya, pencucian uang atas kejahatan kehutanan yang sebelumnya telah dikriminalisasi melaluiUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 32
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Namun demikian dengan memposisikan kebijakan hukum pidana dalam kerangkakebijakan sosial. Analisis yang penting dilakukan tidak hanya terkait perbuatan apa sajayang dapat dipidana, tetapi juga bagaimana pemidanaan tersebut dilegitimasi ataubagaimana kebijakan sosial yang ada terkait sektor kehutanan berusaha dibangun. Telahdibahas sebelumnya, bahwa sejak masa kolonial terjadi dinamika tentang perbuatan-perbuatan yang daat dipidana.
Terdapat juga perkembangan dalam hal alasan atau tujuan pemidanaannya secara umum. Namun, jika diteliti lebih detil maka sebenarnya proses kriminalisasi sejak masa kolonialtidak terjadi perubahan. Ketiga perbedaan dalam UU 18/2013 dengan UU 41/1999 misalnya sebenarnya mencerminkan karakteristik cara pandang pembentuk undang-undangterhadap sumber daya hutan dan akses masyarakat di dalamnya.
Namun hal ini masih terbatas dalam hal modus kejahatan yang berkembang pada aksesyang melawan hukum tersebut. UU 41/1999 maupun UU 18/2013 misalnya, tidak merubahproses kriminalisasi yang dilegitimasi pada konsep teritorialistik dan pembatasan aksesberdasarkan teritorial yang diatur sejak masa kolonial.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 33
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Seperti halnya aturan masa kolonial yang perlindungan hutannya ditentukan daripenguasaan pemerintah kolonial atas hutan – dan termasuk juga kemudian kepentingannyauntuk mendapatkan manfaat ekonomi dari hasil hutan, UU 41/1999 jo. UU 18/2013 menggunakan alur yang sama, yaitu diawali dengan menentukan suatu areal sebagaikawasan hutan yang kemudian dikuasai oleh Negara. Barulah kemudian pemidanaanberlaku di dalam kawasan hutan tersebut.
1. Pada masa kolonial, domeinverklaring yang menghapuskan hak atas tanah secara sepihak, kemudian kriminalisasi, melimpahkan pengelolaan kepada partikelir.
2. Pasa masa UU 41/1999 Pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan secara sepihak, menghapuskan hak atas tanah masyarakat dalam kawasan hutan, kemudian kriminalisasi, melimpahkan pengelolaan kepada pemegang izin.
PERTAMA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
HUTAN
UNIVERSITAS INDONESIA 34
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Pengaturan pidana khusus terkait sektor perkebunan secara khusus baru diperkenalkan sejak diterbitkannyaUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Undang-undang 18/2004 tersebut sebagaimana, undang-undang yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam lainnya, terlihat memiliki karakter penguasaanyang hampir sama.
Administrasi pemerintah dalam pengurusan perkebunan dimulai dari bagaimana sektor perkebunandirencanakan, kemudian dikelola, dan terakhir dilindungi.
Undang-undang yang diterbitkan tanggal 11 Agustus tahun 2004 tersebut mengatur 7 (tujuh) perbuatan yang dapat diklasifikasi sebagai tindak pidana dengan cara yang berbeda. Perbuatan yang dikriminalisasi tersebutmeliputi:
1. Melakukan usaha budidaya perkebunan tanpa izin
2. Perusakan kebun atau aset dan penggunaan lahan perkebunan tanpa izin yang atau perbuatan lain yang menyebabkan terganggunyausaha perkebunan
3. Mengolah lahan dengan cara pembakaran yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup
4. Mengolah lahan dengan cara pembakaran yang menyebabkan kematian atau luka berat
5. Pemasaran hasil perkebunan yang dapat membahayakan kesehatan, merusak fungsi lingkungan hidup, dan atau menyebabkanpersaingan usaha tidak sehat
6. Mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen
7. Menadah hasil perkebunan yang diperoleh dari penjarahan atau pencurian.
KEDUA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR PERKEBUNAN.
UNIVERSITAS INDONESIA 35
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANAKEDUA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR PERKEBUNAN.
UNIVERSITAS INDONESIA 36
Dari perbuatan-perbuatan pidana yang diatur tersebut, UU 18/2004 tidak memperkenalkan pemidanaan yang berbasis kepentingan teritorialistik seperti yang terjadidalam undang-undang di sektor kehutanan. Di sisi lain, perbuatan pidana yang dirumuskan dalam UU 18/2004 lebih condong kepada delik-delik materil. Perbuatanpidana dalam UU 18/2004 tersebut ditentukan dariadanya dampak-dampak yang merugikan. Misalnya, Pasal 47 (1) jo. Pasal 21 mengkriminalisasi melarangperbuatan yang menyebabkan kerusakan pada kebunatau sebagaimana diatur dalam Pasal 48 (2) jo. Pasal 26, mempidana pembakaran lahan yang menyebabkankematian. Satu-satunya delik formil yang ada di dalamUU 18/2004 ini adalah Pasal 46 (1) jo. Pasal 17 (1), yang mempidana orang yang melakukan kegiatan usahaperkebunan tanpa izin
No Perbuatan Pasal
1 Melakukan usaha budidaya perkebunan tanpa izin Ps. 46 (1) dan (2) jo.
Ps. 17 (1)
2 Perusakan kebun atau aset dan penggunaan lahan perkebunan
tanpa izin yang atau perbuatan lain yang menyebabkan
terganggunya usaha perkebunan
Ps. 47 (1) dan (2) jo.
Ps. 21
3 Mengolah lahan dengan cara pembakaran yang menyebabkan
pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup
Ps. 48 (1) dan 49 (1)
jo. Ps. 26
4 Mengolah lahan dengan cara pembakaran yang menyebabkan
kematian atau luka berat
Ps. 48 (2) dan 49 (2)
jo. Ps. 26
5 Pemasaran hasil perkebunan yang dapat membahayakan
kesehatan, merusak fungsi lingkungan hidup, dan atau
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat
Ps. 50 (1) dan (2) jo.
Ps. 31
6 Mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan
konsumen
Ps. 51 (1) dan (2) jo.
Ps. 32
7 Menadah hasil perkebunan yang diperoleh dari penjarahan atau
pencurian
Ps. 52 jo. Ps. 33
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANAKETIGA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR
PERTAMBANGAN.
UNIVERSITAS INDONESIA 37
Pasca kemerdekaan pertambangan merupakan salah satu sektor yang melakukan pembenahanbesar-besaran. Pembenahan hukum pertambangan nasional dilakukan dengan menerbitkanberbagai undang-undang yang berkaitan dengan pertambangan. Salah satu pembenahan yang dilakukan adalah pembatalan hak-hak pertambangan, melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan. Namun, ketentuan hukum hukumpidana diantaranya diperkenalkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentangKetentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam undang-undang tersebut pemidanaandiberikan kepada setidaknya 6 perbuatan mulai dari Pasal 31 hingga Pasal 33, yaitu:
1. Melakukan usaha penambangan tanpa kuasa pertambangan
2. Melakukan penambangan tanpa izin meskipun dan memiliki hak atas tanah
3. Tidak berhak atas tanah mengganggu usaha pertambangan
4. Berhak atas tanah mengganggu usaha pertambangan yang memenuhi syarat
5. Pemegang kuasa pertambangan yang tidak mematuhi aturan perundang-undangan
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANAKETIGA. PENGUASAAN NEGARA DAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI SEKTOR
PERTAMBANGAN.
UNIVERSITAS INDONESIA 38
Tipologi yang demikian tidak banyak berubah dalam UU4/2009. Dalam cakupan UU 4/2009, diatur setidaknya 7 (tujuh) perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Dapat terlihat langsung bahwa aturan pidana di sektorpertambangan ini merupakan aturan pidana yang paling lengkapketimbang undang-undang lainnya – setidaknya sebelumterbitnya UU 18/2013.
Di dalamnya, pemidanaan dilakukan dengan berbagai norm adressat, tidak hanya orang perorangan secara umum tetapi jugakepada pemegang izin, termasuk kepada aparatur negara yang berwenang menerbitkan izin di sektor pertambangan. Namun, seperti halnya undang-undang sumber daya alam lainnya, kekuatan aturan pidana dalam UU 4/2009 pun didominasiperbuatan yang tidak berizin. Namun jika dibandingkan denganUU 11/1967, UU 4/2009 tidak lagi mempertimbangkan kualitasnorm adressat sebagai pemegang hak atas tanah
No Perbuatan Pasal
1 Melakukan usaha penambangan tanpa izin Ps. 158
2 Pemegang izin menyampaikan laporan tidak
benar
Ps. 159
3 Melakukan eksplorasi tanpa izin Ps. 160 (1)
4 Pemegang izin eksplorasi melakukan
eksploitasi tanpa izin
Ps. 160 (2)
5 Pemegang izin yang menguasai barang
tambang yang bukan dari pemegang izin
Ps. 161
6 Mengganggu usaha pertambangan yang sah Ps. 162
7 Penerbit izin yang bertentangan dengan aturan
perundang-undangan
Ps. 165
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 39
Dari historis tersebut, dapat terlihat bahwa hukum pidana yang mengancam pidana terhadap perbuatan-perbuatan tidak hanyadigunakan sebagai respon kejahatan secara spesifik tetapi jugauntuk mengatur perilaku masyarakat, meskipun sebaliknya hukumpidana juga sebagai kaidah bergerak secara dinamis sesuai dengankepentingan masyarakat dan penguasa yang ada pada saat tersebut.
Namun, fungsi tersebut sebenarnya tidak hanya dapat dilakukanoleh kaidah hukum. Sidharta menjelaskan setidaknya ada 4 (empat) kaidah-kaidah lain yang bekerja di dalam masyarakat kurang lebihmemiliki fungsi yang hamper sama, yaitu 1) kaidah budi nurani, 2) kaidah moral positif, 3) kaidah kesopanan, dan 4) kaidah agama.
Perbandingan antara hukum pidana (sebagai kaidah hukum) dengankaidah lainnya tidak hanya akan menemukan ruang lingkupnyatetapi juga oleh karenanya termasuk justifikasinya.
2.2. PENGGUNAAN KAIDAH HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN PERLINDUNGAN KEJAHATAN SDA
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 40
Secara umum kaidah hukum memiliki perbedaan dengan kaidah agama maupun kaidah non hukumlainnya, dalam hal adanya pemaksaan kepatuhan oleh negara melalui sanksi (pidana) (Fletcher, h.25).
Di sisi lain, pemaksaan kepatuhan tersebut juga tidak diserahkan kepada kepatuhan individual maupun komunal suatu masyarakat, melainkan suatu masyarakat yang terorganisasi yaitu negarasebagai aktor monopoli pengatur dan penegakan hukum.
Kaidah Kaidah Budi Nurani Kaidah Moral Positif Kaidah Kesopanan Kaidah Agama Kaidah Hukum
Sumber Akal budi nurani
manusia
Akal budi nurani
manusia
Akal budi nurani
manusia dalam pergaulan
Pewahyuan Akal budi nurani manusia
Bentuk Nilai kemanusiaan Aturan kesusilaan Kaidah pergaulan Syariat keagamaan dan
pedoman bermasyarakat
Seperangkat aturan
hukum yang memaksa
Dependensi Otonom Tidak otonom Tidak otonom Tidak otonom Tidak otonom
Kepatuhan Individual Penegakan umum
melalui sanksi sosial
Penegakan umum
melalui sanksi sosial
Individual dengan
keyakinan
Dipaksakan secara
terorganisir oleh negara
melalui sanksi (nestapa)
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 41
Dengan adanya alat (pemidanaan) yang koersifdan bersifat intrusif tersebut, agar dapatdijustifikasi hukum pidana sebagai kaidah hukumharus berbeda dengan kaidah lainnya yang kepatuhannya bersifat individual.
Hoefnagel (1973:81) misalnya menyatakan aspekmoral suatu perbuatan harus dipisahkan dengankepantasannya untuk dapat dipidana. Kaidahmoral dapat tetap valid meskipun, dalamperspektif kaidah hukum tidak dapat dianggappelanggaran.
Kadish (h.17) dan Sidharta (h.10) menyatakan halyang serupa, penggunaan moral harus dipisahkandari hukum atau masing-masing kaidah tersebutharus memiliki wilayah berkirahnya sendiri danoleh karenanya justifikasinya juga.
Hukum
pidana
Kaidah
moral
Mala prohibita, tidak secara inheren
merupakan perbuatan jahat, namun diatur
sebagai tindak pidana dan oleh karenanya
pelaku dapat diberikan sanksi pidana
Mala in se, secara inheren dianggap
kejahatan karena kaidah moral
menyatakan demikian
Kenyataannya pemisahan antara moral danhukum secara nyata tidak dapat dilakukan denganmudah. Lihat perbedaan antara mala prohibitadan mala in se.
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Menurut Hoefnagel (h.87) relasi antara kaidah hukum pidana dengan kaidah moral dapatdikategorisasi ke dalam 4 (empat) kategori:
1) pelanggaran aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah sebagai pelanggaran kaidah moral (immoral)
2) pelanggaran hukum pidana sebagai perbuatan yang juga amoral, meskipun sedikit hukum pidana di antaranyabukan bagian dari kaidah moral,
3) hanya tindak pidana yang serius yang dianggap beririsan dengan kaidah moral, sementara menyisakan kaidahlainnya di luar hukum pidana,
4) kaidah moral yang dimiliki sama sekali tidak beririsan dengan kaidah hukum pidana yang ada.
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 42
Kaidah
moral
Hukum
pidana
Hukum
pidana
Kaidah
moral
Hukum
pidana
Kaidah
moralKaidah
moralHukum
pidana
I II III IV
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Bagi kelompok pertama, pelanggaran hukum tidak ada bedanya dengan dosa. Melaggar hukum pidana berarti melanggar moral yang diakui olehmasyarakat. Karena kaidah moral lebih luas ketimbang kaidah hukum.
Bonger (1932) menyatakan bahwa:
“tindak pidana adalah termasuk perbuatan imoral meskipun melingkupi hanya sedikitbagian. Dapat dikatakan bahwa secara umum, tindak pidana melingkupi hanya perbuatanimoral yang dianggap serius. Kaidah moral dan hukum pidana seperti lingkaran konsentris, yang mana yang sebelumnya lebih besar di antara keduanya.”
Kelompok pertama ini serupa dengan pandangan berikutnya yang menilaibahwa sebagian besar hukum pidana mengatur apa yang sebelumnya telahdiatur dalam kaidah moral. Lihat juga Van Kan yang menyebutkan hukumpidana hanya memberi sanksi terhadap norma yang sudah ada (Moeljatno, h.9).
Karena pasal pidananya mengatur apa yang merupakan kejahatan secarainheren, kedua kelompok tersebut memiliki kesamaan cara pandang bahwabahwa tidak perlu diatur justifikasi terhadap perbuatan yang dikriminalisasi.
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 43
Kaidah
moral
Hukum
pidana
Hukum
pidana
Kaidah
moral
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Bagi kelompok ketiga tersebut sebagian kecil kaidah hukum dalam hal inihukum pidana yang mengatur kaidah moral. Bagian yang beririsanterutama apabila tergolong kejahatan yang serius.
Seperti kedua kelompok sebelumnya, kelompok yang ketiga ini pun mensyaratkan adanya interferensi antara kedua kaidah. Moral dalambatasan tertentu menjadi dasar juga bagi penegakan hukum dan sebaliknya.
Terhadap posisi demikian, para pemikir hukum mengeluarkan berbagaipendapat yang berbeda. Sidharta misalnya, menerangkan bahwapenggunaan moral sebagai argumentasi penegakan kaidah hukum rentanuntuk menjadi alat pemaksaan moral satu golongan tertentu. Hukum yang ‘sok bermoral’ (legal moralism) menurut Sidharta lagi menjadikan hukumsebagai ajang pertarungan tentang siapa yang moralnya paling benar.
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 44
Hukum
pidana
Kaidah
moral
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Perspektif lainnya, Pelser (2001:191) menilai hukum harus digunakansebagai ultima ratio (sarana terakhir) karena karakteristik penegakanhukum dan organisasi penegakannya. Oleh karenanya interferensi antarakeduanya secara ideologis akan sangat salah.
Namun beberapa pemikir hukum juga menilai bahwa tidak hanya secarafaktual, tetapi secara teoritik pemisahan moral dari kaidah hukum jugatidak selalu valid. Pompe (Pelser, h.168) mengajukan pernyataan bahwasementara kaidah hukum bertujuan untuk mengarahkan masyarakatmenjadi masyarakat yang baik, moralitas di sisi lain mementingkanperlunya manusia secara individual baik.
Sidharta (h.11) juga meneruskan kontradiksi pemisahan, bahwa kaidahhukum pidana akan lebih kokoh jika berakar juga dari kaidah moralnya. Tanpa interferensi tersebut, kaidah hukum tidak akan bertahan lama karenahanya menggantungkan dirinya terhadap kekuasaan dan sanksi semata.
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 45
Hukum
pidana
Kaidah
moral
Kaidah
moral
Hukum
pidana
Hukum
pidana
Kaidah
moral
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Modderman (Pelser, h.191) menyatakan oleh karenanya hukum dan moral meskipun dapat dibedakan tidak dapat dipisahkan. Sebagai ilustrasimisalnya kriminalisasi euthanasia dalam WvS 1988 yang didasari padamoralitas agama Kristen. Lalu kriminalisasi terhadap pencurian danpembunuhan pun sebenarnya didasarkan pada morallitas tertentu.
Faktualnya, memang pemisahan antara kaidah hukum dengan moral dapatterjadi. Kelompok ini melihat bahwa kaidah hukumnya tidak tercermindalam hukum atau karena masyarakat menilai bahwa hukum pidana hanyasebagai alat teknis untuk mencapai tujuan tertentu masyarakat tersebut –dan oleh karenanya tidak ada kaitannya sama sekali dengan moralitas yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagamana telah dijelaskan sebelumnya halini terjadi dengan pelanggaran-pelanggaran yang dikategorisasi sebagaimala prohibita. Contohnya, tindak pidana pencucian uang dan penggunaanhelm atau menyalakan lampu besar pada saat berkendaraan.
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 46
Kaidah
moralHukum
pidana
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Sebelum kedatangan VOC dan Belanda, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tidak mengenal pembatasan dan pemidanaan yang dikenal saatini. Raja tidak mengklaim hutan atau hasil hutan secara efektif, pun kebutuhan penguasa pada saat itu kalau pun intensif hanya dilakukan secaraterbatas – misalnya pembangunan istana (Peluso, tanpa hal.).
Elit pada saat itu tidak melarang penduduk desa atau masyarakat yang hidup di sekitarnya untuk mengambil hasil hutan. Pembukaan wilayahmelalui ladang berpindah tidak diharamkan, bahkan perbuatan tersebutdianggap sebagai perluasan wilayah kekuasaan.
Kalau pun ada pembatasan dilakukan secara terbatas dengan membangunmitos tertentu yang secara supranatural harus ditanggung sendiri olehpelaku perbuatan. Misalnya, dengan menentukan satu petilasan tertentusebagai hutan larangan. Ancaman ini seringkali kemudian berlaku efektifsebagai kaidah moral bagi masyarakat.
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 47
Pengelolaan Hutanoleh Masyarakat
pra Kolonial
mengenal larangan secara
terbatas dalam kaidah
moral tidak diatur dengan
sanksi pidana
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Penguasaan pemerintah pasca kolonial termasuk kemudian dilanggengkanpada pemerintahan pasca kemederkaan atas sumber daya alam termasukhutan di dalamnya, tidak hanya merubah relasi antara masyarakat dengansumber daya alamnya, tetapi juga kemudian mampu menyebabkan aksesterhadap sumber daya alam yang tidak diizinkan oleh negara tersebutmenjadi sebuah perbuatan pidana,
Peluso menyatakan bahwa bagi komunitas masyarakat sekitar hutandibandingkan dengan mengambil kayu dari tanah yang dikuasai negara, mengambil kayu dari lahan tetangga merupakan perbuatan yang tidakbenar.
Berlaku efektifnya hukum-hukum Belanda untuk mempidana masyarakatatas perbuatannya terhadap hutan yang dikuasai Belanda pada masa itudapat disimpulkan tidak berasal dari masyarakat itu sendiri.
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 48
Pengelolaan Hutanoleh Masyarakat
Kepentingan VOC
Pengelolaan Hutanoleh Pemerintah
Kolonial
larangan
secara
terbatas tidak
diatur dengan
sanksi pidana
ancaman bagi
yang
mengganggu
usaha VOC
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Pelarangan itu tentu sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya didasarkanpada kepentingan pemerintah kolonial pada saat itu, baik untukkepentingan pengelolaan hutan yang lebih baik atau sekedar untukmemastikan akses pemerintah pada saat itu atas sumber daya hutan tidakdibatasi oleh penguasaan masyarakat terhadap hutan,
Kepentingan ini akan tetapi juga dapat berkembang, Pemerintah Belandabisa saja berargumen bahwa aturan tersebut diperlukan untuk memastikanpengelolaan sumber daya alam yang lebih baik, khususnya, kehutanansecara efektif. Termasuk dengan kepentingan untuk melindungilingkungan hidup.
Ketika menerapkan sistem silvikultur, menggantikan pengelolaan hutansebelumnya misalnya, setidaknya menunjukkan upaya untuk merubahkepentingan perlindungan hutan menjadi kepentingan berbasis ekologis, ketimbang kepentingan keberlanjutan atas akses ekonomis terhadap hasilhutan semata
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 49
Pengelolaan Hutanoleh Masyarakat
Kepentingan VOC
Pengelolaan Hutanoleh Pemerintah
Kolonial
larangan
secara
terbatas tidak
diatur dengan
sanksi pidana
ancaman bagi
yang
mengganggu
usaha VOC
perlindungan terhadap
kelestarian hutan
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Jika dibandingkan dengan masa kolonial, aturan-aturan kehutanan padasaat pasca kolonial yaitu PP 28/1985 kemudian UU 41/1999 dan UU18/2013 tidak memiliki banyak perubahan yang susbtantif. Mengenaiperbedaan dan kesamaannya telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Sementara berbeda dengan UU 18/2004 yang lebih kuat berakar ataulegistimasinya karena lebih banyak mengkriminalisasi perbuatan yang sebelumnya telah dikriminalisasi. Misalnya, aturan perlindungankonsumen, penipuan atau penadahan.
Begitu pun dengan UU 4/2009 lebih banyak mempidana dengan perbuatansecara formil. Batasan yang ditentukan tersebut tentu saja tidak dikenal di masyarakat sebelumnya. Artinya sepertinya rezim di sektor kehutanan, penegakan hukumnya akan sangat bergantu pada efektivitas penegakanhukum dan sanksi belaka.
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 50
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Menurut penulis ada 2 (dua) alasan kemungkinan pemberlakuan aturanyang sama pada masa kolonial dan pasca kemerdekaan sebagaimana yang ditentukan dalam UU 41/1999 dan UU 18/2013:
1. Adanya kesamaan kepentingan antara pemerintah pada masa kolonialdengan pemerintahan Indonesia saat ini. Kepentingan untuk ekonomi danekologis sebagaimana berlaku dalam pemerintahan kolonial juga berlakusaat ini meskipun dengan dasar konstitusional atau setidaknya semangatyang berbeda.
2. Adanya perubahan perkembangan cara pandang masyarakat Indonesia atausetidaknya sebagian di antaranya (termasuk yang menyusun aturanperundang-undangan) terhadap hubungan antara masyarakat dengan sumberdaya alamnya – dalam hal ini termasuk kesadaran atas lingkungan hidupyang lebih kuat. Artinya dapat dikatakan bahwa pasal-pasal pidanakhususnya yang diatur pada masa kolonial Belanda menemukanmoralitasnya sendiri pada masa kemerdekaan Indonesia. Dalam beberapaliteratur, hal ini sebenarnya terkait dengan pemaksaan pengetahuan ataudiskursus tentang pengelolaan hutan. Tapi tidak akan dibahas dalam tesis ini.
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 51
Pengelolaan Hutanoleh Masyarakat
Kepentingan VOC
Pengelolaan Hutanoleh Pemerintah
Kolonial
Pengelolaan HutanPasca Kemerdekaan
dan Reformasi
larangan
secara
terbatas tidak
diatur dengan
sanksi pidana
ancaman bagi
yang
mengganggu
usaha VOC
perlindungan
terhadap
kelestarian
hutan
perlindungan
terhadap
kelestarian
hutan
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Tidak tegasnya distingsi antara kaidah moral dan hukum baik secara faktual maupun teoritik, membuat pemisahan tersebut tidak dapat secara efektif dijadikan kriteria normatif untukmemberikan justifikasi terhadap legislasi hukum pidana. Interferensi antara moral dan hukummembuatnya semakin rumit untuk menentuka kaidah moral mana yang harus diatur hukum ataukaidah hukum (pidana) seperti apa yang seharusnya tidak memiliki dasar moral.
Namun, penulis tidak menyatakan bahwa distingsi tersebut sama sekali tidak bisa digunakan. Dari pembahasan tersebut, beberapa karakteristik hukum pidana perlu dieksplorasi lebih jauh, yaitu:
1. Kaidah hukum (pidana) pelaksanaan kepatuhannya dilakukan oleh Negara.
2. penegakan hukum pidana merupakan perbuatan negara yang paling intrusif karena pidana merampaskebebasan orang-perorangan. Setidaknya dalam moralitas liberal termasuk perbuatan yang jahat.
Di sisi lain, penting juga untuk melihat kepentingan apa secara konkrit yang menjadi rasionalisasibagi pemidanaan. Sebagaimana telah dicontohkan sebelumnya, kepentingan tersebut dapatmenentukan apakah satu kaidah moral dapat diresepsi menjadi kaidah hukum (dan sebaliknya). Misalnya, kepentingan untuk menjaga lingkungan yang bisa jadi kaidah moral tetapi karenamenyebabkan kerugian maka dapat menjadi hukum pidana atau sebaliknya kaidah hukum tadimeemukan moralitasnya.
2.2.1. RELASIONAL KAIDAH HUKUM PIDANA DENGAN KAIDAH LAINNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 52
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Selain menemukan distingsinya dengan kaidah lainnya, hukum pidanaseharusnya dapat juga didefinisikan dan oleh karenanya dapat dijustifikasidengan tujuannya. Tujuan tersebut harus sesuai dengan hukum artinyamemiliki justifikasi normatif tetapi juga sebagaimana juga kerangkakebijakan sosial artinya harus inheren dengan tujuan sosialnya.
Awalnya, penghukuman terhadap suatu tindakan yang dianggap merusakatau merugikan kepentingan orang lain dilakukan dengan cara melakukanpembalasan (talionis) terhadap perbuatan tersebut. Secara teoritik, konsepini disebut Teori Absolut (vergeldings theorie) yang menganggappemidanaan harus memiliki sifat pembalasan (vergelding).
Di sisi lain ada juga yang berpandangan bahwa hukum pidana harusdijustifikasi dengan suatu tujuan tertentu atau kemanfaatan tertentu. Proponen pandangan ini disebut utilitarian sedangkan teorinya dikenal(setidaknya dalam hukum kontinental) dengan nama Teori Relatif atauTujuan (doeltheorien).
2.2.2. TEORI PEMIDANAAN DALAM KONTEKS KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SDA
UNIVERSITAS INDONESIA 53
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Dalam kacamata retributivis, pidana merupakan konsekuensi logisatas suatu perbuatan jahat. Oleh karenanya ia absah jika dilakukanterhadap individu yang memang pantas dihukum (Tunic, h.85). Hamzah (h.33) mengutip Spinoza bahwa tidak seorangpun bolehmendapat keuntungan karena kejahatan yang dilakukannya.
Di sisi lain juga karena justifikasi yang demikian, hukum pidanatidak perlu memiliki tujuan yang berisifat praktis sepertimemperbaiki moral pelaku (Tella dan Tella, h.187).
Semua kejahatan harus dipidana dan sebaliknya tidak ada orang yang tidak jahat yang dipidana. Rertributif dalam pengertiantersebut tidak selalu pembalasan (lex talio), Hegel misalnyamenilai bahwa konsekuensi logis tersebut berada pada rasiohakim. Hukum pidana memiliki justifikasi jika dilaksanakan olehorang ketiga, bukan antara pelaku dengan korban (Tunic, h.87).
PERTAMA. RETRIBUTIVIS.
UNIVERSITAS INDONESIA 54
“Kalau mata harus dibalas
mata, dan gigi dibalas,
maka keadilan hanya punya
satu mata dan tanpa gigi.”
Hegel dalam Punishment: Theory and
Practice (Tunic, 1992)
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Dari argumentasi retributivisi tadi, dapat ditarik simpulan bahwahukum pidana haruslah dijatuhkan terhadap perbuatan yang memiliki dampak buruk dan terhadap orang yang memang pantasbertanggung jawab. Terkait dengan hal ini dalam tradisi hukumcommon law dikenal dengan harm principle.
Namun, teori retributif tidak memberikan petunjuk tentangperbuatan dengan dampak buruk / kerugian seperti apa yang dapatdipidana secara konkrit. Kalau setiap pelanggaran moral dianggapberdampak buruk misalnya, atau persoalan antara individu, makatidak semua juga harus masuk dalam hukum pidana.
Sehingga Hoefnagel (h.19) berpendapat teori pemidanaanretributif tidak dapat menjadi prinsip kriminalisasi yang spesifikkecuali menjadi prinsip rasional tentang ius puniendi.
PERTAMA. RETRIBUTIVIS.
UNIVERSITAS INDONESIA 55
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Rasionalisasi utilitarian dengan retributivis tentangpemidanaan atau hukum pidana berbeda dalam hal, bahwa justifikasi pemidanaan tidak dapat diberikan hanyakarena seseorang melakukan perbuatan jahat.
Seneca (De Clementia) menyatakan, “nemo prudens punitquia peccatum est, sed ne peccetur”, bahwa hukumanterhadap seseorang tidak hanya karena ia melakukankejahatan akan tetapi agar tidak ada lagi perbuatan jahat. Sifat sublatis malis (menghilangkan kejahatan) perlu adadalam tiap pemidanaan. Artinya, hukum pidana tidakhanya soal pembalasan atau konsekuensi logis terhadappelaku kejahatan, melainkan untuk satu tujuan tertentu –misalnya mencegah orang lain melakukan kejahatan.
KEDUA. UTILITARIAN.
UNIVERSITAS INDONESIA 56
Proponen lainnya, Bentham, menyatakan bahwa hukum pidana yang dilakukan negara tidak akan memilikijustifikasi yang memadai jika tidakdilaksanakan dengan tujuan manfaattertentu, atau setidaknya dapatdikalkulasi manfaatnya lebih besarketimbang mudharatnya (Husak, h.190).
Akibat penekanan pada manfaat, tersebut retributifis menilai teoripemidanaan utilitarian tersebut tidakmampu menjelaskan legitimasipemidanaannya secara normatif (Tunic, h.196).
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Jika dilihat secara spesifik dalam rumusannya, mengacu pada carapandang utilitarian, maka persoalan justifikasi apa yang harus dipidanaantara menebang pohon dalam kawasan hutan tanpa izin denganmenebang pohon di dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimanaPasal 82 (1) huruf b. dan c UU 18/2013 dapat dilakukan. Misalnya, dapatdiajukan bahwa perusakan hutan saat ini lebih mudah untuk dikurangidengan cara melihat kepemilikan izin untuk mengeksploitasi hutan. Seluruh akses atas hutan dapat dapat saja dinilai sebagai kejahatan, karenaberpotensi menyebabkan hilangnya fungsi hutan. Oleh karenanya upayauntuk melindungi hutan cukup diselesaikan dengan mempidana seluruhakses terhadap hasil hutan secara di luar mekanisme yang diizinkan.
Namun cara pandang utilitarian akan kesulitan untuk mempertanyakankenapa menebang pohon tidak sah (Pasal 82 (1) huruf b) atau menebangpohon tanpa izin (Pasal 82 (1) huruf a) harus dipidana.
2.2.2. TEORI PEMIDANAAN DALAM KONTEKS KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SDA
UNIVERSITAS INDONESIA 57
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Sementara dengan sudut pandang retributif pemidanaan terhadap perbuatan menebangpohon dalam kawasan hutan secara tidak sah bisa dijustifikasi. Tanpa memilikikeabsahan terhadap satu barang atau sumber daya alam tersebut, maka seseorang tidakmemiliki hak untuk mengambilnya. Dalam posisi tersebut negara dapat mengambil peranuntuk pihak yang berkepentingan terhadap terjadinya kerugian akibat perbuatan pidanadimaksud.
Namun keduanya juga tidak dapat secara sempurna memberikan justifikasi terhadapsuatu perbuatan pidana secara terpisah dengan kriteria lainnya.
Teori retributif meminta adanya kerugian yang dapat dijadikan dasar untukpembalasannya. Kerugian dan hilangnya hak atau kepentingan akibat suatu perbuatanitulah yang menjadikan perbuatan itu dapat dipidana. Melakukan analisis terhadapapakah berdasarkan teori retributif oleh karena itu akan sangat bergantung terhadappemaknaan pasal-pasal pidana ihwal kepentingan apa yang berusaha dilindungi dankeadaan rugi apa yang berusaha dipulihkan dengan dipidananya suatu perbuatan.
2.2.2. TEORI PEMIDANAAN DALAM KONTEKS KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SDA
UNIVERSITAS INDONESIA 58
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Justifikasi terhadap kriminalisasi sebenarnya dapat eksplorasi juga dari karakteristik hukum pidanayang telah disebutkan sebelumnya yaitu:
1. Adanya pemaksaan kepatuhan oleh negara melalui sanksi (pidana) (Fletcher, h.25).
2. Pemaksaan kepatuhan tersebut juga tidak diserahkan kepada kepatuhan individual maupun komunal suatumasyarakat, melainkan suatu masyarakat yang terorganisasi yaitu negara sebagai aktor monopoli pengaturdan penegakan hukum.
Karena dilakukan oleh Negara, maka ia harus dilakukan dengan cara sesuai hukum, rule by law. Dalam konteks ini kemudian hukum pidana bersinggungan dengan prinsip negara berdasarkan hukum
Karena hukum pidana merupakan perbuatan yang paling instrusif, karena menyebabkan terampasnyakebebasan, maka harus dipastikan bahwa kriminalisasi harus dilakukan terhadap perbuatan yang pantas untuk dihukum.
Persak menambahkan karakteristik lain, bahwa suatu hukuman tidak dapat disebut sebagai sanksipidana – meskipun diberikan oleh negara – pada seseorang yang tidak mengetahui bahwa ia tidakmelakukan suatu perbuatan pidana
2.3. PERBUATAN YANG PANTAS DIPIDANA TERKAIT PERLINDUNGAN SDA DAN BATASANNYA
UNIVERSITAS INDONESIA 59
2.3.1. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA SEBAGAI KAIDAH HUKUM PUBLIK YANG MEMILIKI
INSTRUMEN PENAL
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Prinsip-prinsip tersebut diantaranya (Ashworth, h.427):
1. Fungsi deklarasi. Menentukan dan menegaskan bahwa suatuperbuatan memiliki tingkat keseriusan yang memadai agar pemidanaan terhadap perbuatan tersebut dapat dijustifikasi.
2. Fungsi pencegahan. Menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang dilarang tersebut didasarkan pada risiko terjadinya suatukerugian atau dilanggarnya kepentingan dan oleh karenanyapemidanaan terhadap perbuatan tersebut dapat dijustifkasi.
3. Fungsi pengaturan. Menguatkan pengaturan melalui penentuanperbuatan, meskipun tanpa unsur kesalahan, yang dianggapsebagai ketidakpatuhan terhadap regulas
UNIVERSITAS INDONESIA 60
2.3.1. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA SEBAGAI KAIDAH HUKUM PUBLIK YANG MEMILIKI
INSTRUMEN PENAL
Berdasarkan karakteristik tersebut, menurut Ashworth hukum pidana memiliki elemen-elemen fungsional yang dapat dijadikan prinsip-prinsip dalam kriminalisasi, yaitu diantaranya meliputi a) pernyataan tentang bentuk-bentuk perbuatan salah yang b) memiliki tingkat keseriusan yang mencukupi c) sehingga berdampak pada penolakan publik terhadap perbuatan tersebut dan d) penghukuman
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Fungsi hukum pidana tersebut menurut Ashworth mengandung makna ketikamenjadi hukum pidana maka seharusnya sudah diketahui dan kemudiandiapahami secara publik bahwa dengan kriteria apa suatu perbuatan tersebutdikualifikasi sebagai tindak pidana.
Dengan demikian harus sudah terang secara politis maupun publik bahwaperbuatan sebagaimana dimaksud harus dipidana. Sehingga seseorang yang berpikir untuk melakukan perbuatan tersebut dapat mengetahui kemudianmengendalikan dirinya untuk tidak melakukan tindak pidana.
Namun, untuk menghasilkan keyakinan yang memadai bahwa suatu perbuatantersebut harus dipidana, maka penting untuk melihat fungsi tingkat keseriusanperbuatan atau dampaknya. Menurut Ashworth (h.205) hal ini dapat dilakukandengan melihat prinsip de minima non curat lex (hukum tidak berurusandengan hal remeh, the law doesn’t concern with the triffle).
UNIVERSITAS INDONESIA 61
2.3.1. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA SEBAGAI KAIDAH HUKUM PUBLIK YANG MEMILIKI
INSTRUMEN PENAL
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Prinsip de minimis lahir pada masa abadpertengahan Inggris. Waktu itu raja, dankanselir, yang mengurusi perkara merasakankerepotan menghadapi berbagai persoalanberhukum (Nemerofsky, 2001).
Beberapa kasus di Amerika, asas de minimismenjadi asas penegakan hukum yang dapatmenyebabkan pengadilan untuk menolaktuntutan atas kerugian karena hilangnya nilaisehat (Hinteregger, 2008).
Meskipun, asas ini juga tidak baku, karenabeberapa proses penegakan hukum kemudianmengabaikan asas de minimis.
UNIVERSITAS INDONESIA 62
2.3.1. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA SEBAGAI KAIDAH HUKUM PUBLIK YANG MEMILIKI
INSTRUMEN PENAL
“bahwa Hukum tidak memberikan pengecualian terhadap
kejahatan hanya karena kerusakan yang disebabkan dinilai
kecil. Anda tidak dibenarkan membunuh seseorang meskipun
umur orang tersebut tersisa 1 menit, atau untuk mencuri 1 sen
dari seorang Rockefeller. Ukuran kerugian seringkali relevan
untuk ihwal yurisdiksi, seringkali untuk besar hukuman, dan
hampir selalu untuk ganti rugi, tapi jarang sekali untuk
membenarkan kejahatan.”
Seventh Circuit Court dalam perkara Hessel melawan O’Hearn, tahun 1992
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Praksis tersebut menunjukkan bahwa tidak ada prinsip baku tentangbagaimana de minimis digunakan, penulis belum menemukanpenggunaan de minimis kecuali terkait sejarah tindak pidana ringandan beberapa perkara perpajakan. Pada dasarnya kemudian juga tidakmenjadi dasar hilangnya sifat kepantasan untuk pidana(blameworthiness) satu perbuatan.
Hal ini kemudian menyulitkan pengujian terhadap pasal-pasal tindakpidana sumber daya alam. Apakah misalnya, penebangan pohonsecara tidak sah dalam UU 18/2013 yang secara konkrit dilakukandengan penebangan satu ranting pohon dapat dibenarkan.
Dalam hal ini kemudian Ashworth (h.41) mengutip Ogus, persoalanjustifikasi atas blameworthiness perlu juga melihat tujuan atau nilaiatau kepentingan yang cukup penting untuk dilindungi.
UNIVERSITAS INDONESIA 63
2.3.1. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA SEBAGAI KAIDAH HUKUM PUBLIK YANG MEMILIKI
INSTRUMEN PENAL
“the placing of legal restrictions on activities
that are legitimate, the point of regulation
being to limit or control them in some
way and to some degree, but not to
prohibit them. The justification is that
regulatory standards are based on goals and
values important enough to warrant the
restrictions. Manufacturing is a valued
activity, both economically and socially, but
should not cause undue pollution. Similarly,
creating employment is a social good, but it
should be performed in such a way that the
workers are treated fairly and with care for
their safety.”
Anthony Ogus
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Keseluruhan pembahasan pada bagian sebelumnya mengisyaratkan penggunaan kaidah atau teorisebagai prinsip kriminalisasi dapat dilakukan secara terbatas yang jika hendak digunakan secaraefektif harus juga memperhatikan kepentingan atau tujuan dari dipidananya suatu perbuatan.
Dalam konteks tradisi hukum kontinental, dikenal istilah rechtguter, yang pada awalnyadiperkenalkan oleh Birnbaum (Roxin, 1997:11-30) ditujukan untuk mengkritisi Feuerbach yang menganggap hukum pidana hanya bertujuan untuk mempidana pelanggaran terhadap hakindividual. Ketika Feuerbach menyatakan bahwa hukum pidana yang ada saat ini lebihmerupakan hukum pidana dalam artian luas (lato sensu), karena tidak dapat memenuhi prinsipadanya pelanggaran terhadak hak individual (lihat juga Harm Principle).
Kemudian Birnbaum menyatakan bahwa, tindak pidana tersebut merupakan sebuah pelanggaranterhadap rechtsgüter atau pelanggaran terhadap nilai-nilai kebajikan atau kepemilikan tertentuyang dijamin oleh negara untuk dilindungi secara adil kepada seluruh warga negara yang manakepentingan tersebut juga berkaitan dengan kehendak manusia.
UNIVERSITAS INDONESIA 64
2.3.2. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP
TUJUAN SOSIAL
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Namun dalam praksisnya definisi dari rechtguter (legal goods) danoleh karenanya cakupan prinsipnya tidak pernah ditentukan secaramemuaskan. Persak dalam mendefinisikan sebagai nilai-nilai kebajikandalam kaidah hukum, yaitu kepentingan yang dilindungi secarahukum.
Definisi ini tidak menjelaskan cakupan kepentingannya. Beberapapemikir hukum Jerman kemudian mendefinisikannya sebagaikepentingan hukum yang dilindungi secara konstitusional (Persak, h.215). Tapi ini pun tidak menjelaskan apakah kemudian kepentinganyang demikian harus dipidana jika terjadi pelanggaran.
Dengan validasi sebagai kaidah konstitusional, maka rechtguter dapatmenjadi prinsip yang positivitasnya kuat. Tetapi, ketika di dalamkonstitusi beberapa kritik menyatakan bahwa kemudian definisikepentingan rechtguter menjadi tidak independen (tidak normatif).
UNIVERSITAS INDONESIA 65
2.3.2. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP
TUJUAN SOSIAL
“Personally, I see the doctrines
concerning Rechtsgüter as a
blind alley; something must be
wrong when almost 200 years
of intensive intellectual activity
seem to have resulted in more
confusion than clarity”
(Jareborg, h.524)
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Lagipula, jika berada di dalam konstistusi maka secara teoritik konstitusitidak menjamin seluruh hak masyarakat kecuali hak yang memang dijaminoleh negara. Lalu tidak seluruh hak yang ada dalam konstitusi tersebut jugaharus dilindungi dengan hukum pidana.
Terlepas dari kebingungan tersebut, sistem hukum di Indonesia, khususnyadalam KUHP sebenarnya memperkenalkan hukum pidana sebagai instrumenuntuk melindungi kepentingan. Menurut Maramis, ada 3 (tiga) jeniskepentingan yang dilindungi (tidak seperti pandangan Feuerbach yang hanyabersifat individual), yaitu:
1. Kepentingan negara,
2. Kepentingan masyarakat umum,
3. Kepentingan perorangan.
UNIVERSITAS INDONESIA 66
2.3.2. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP
TUJUAN SOSIAL
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Kepentingan negara meliputi keberlanjutan, ketentraman dan kenyamanan, keamanan negara. Pelanggaran terhadap kepentingan negara ini misalnyatindak pidana yang diatur dalam Pasal 107b UU 27/1999 yang mengaturperbuatan meniadakan dasar negara, Pancasila.
Kepentingan hukum masyarakat diantaranya dapat meliputi kententraman dankeamanan masyarakat. Maramis mengilustrasikannya dengan kepentinganhukum masyarakat yaitu ketenangan di malam hari. Dengan alasan tersebutnegara mengancam dengan pidana kurungan paling lama 3 hari atau pidanadenda paling banyak Rp 225,00, barang siapa membikin ingar atau riuh, sehingga ketentraman malam hari dapat terganggu, atau, barangsiapamembikin gaduh di dekat bangunan untuk menjalankan ibadah yang dibolehkan atau untuk sidang pengadilan di waktu ada ibadah atau sidang(Pasal 503 KUHP).
UNIVERSITAS INDONESIA 67
2.3.2. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP
TUJUAN SOSIAL
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Jenis lainnya dari kepentingan menurut Maramis (h.19-20) yaitu kepentingan hukum perseorangan adalahkepentingan hukum dari seseorang, tetapi gangguan terhadap kepentingan hukum ini telah melibatkankepentingan umum. Kepentingan hukum perseorangan yang dilindungi dalam hukum ini terdiri dari:
1. Pertama, jiwa. Perlindungan terhadap nyawa misalanya Pasal 338 KUHPid tentang pembunuhan. Lalu, Pasal48 (2) dan 49 (2) jo. Pasal 26 UU 18/2004 yang mempidana kebakaran lahan yang menyebabkan kematianseseorang.
2. Kedua, badan. Misal, Buku II Bab XX KUHP yang berjudul “Penganiyaan”, yang mencakup Pasal 351 sampaiPasal 358.
3. Ketiga, kehormatan. Misalnya Buku II Bab XVI tentang “Penghinaan”. Bab ini meliputi Pasal 310 sampaidengan Pasal 321 KUHPid dimana diatur beraneka ragam penghinaan. Pasal pokok dari kehormatan dalam artinama baik adalah Pasal 310 KUHPid.
4. Keempat, yaitu kemerdekaan. Dalam KUHPid terdapat bab tersendiri yang mengatur perlindungan terhadapkepentingan hukum yang berupa kemerdekaan, yaitu dalam Buku II Bab XVIII KUHPid yang berjudul“Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang”.
5. Kelima, harta benda. Selain kepentingan untuk melindungi apa yang ada dalam diri manusia. Hukum pidanajuga memberikan perlindungan terhadap harta benda antara lain melalui rumusan tindak pidana pencurian dantindak pidana perusakan barang.
UNIVERSITAS INDONESIA 68
2.3.2. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP
TUJUAN SOSIAL
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Dari pengertian-pengertian tersebut, kepentingan-kepentingan yang dilindungihukum pidana sebagaimana dijelaskan oleh Maramis pada dasarnya serupadengan apa yang disebutkan sebagai rechtsgüter.
Kepentingan-kepentingan tersebut berdasarkan apa yang diilustrasikan tidakselalu merupakan kepentingan yang dilindungi secara hukum dalamkonstitusional. Misal, kepentingan umum untuk lingkungan hidup yang sehatUUD 1945 dalam Pasal 28H, namun perlindungan kepentingan ketentraman di malam hari tidak.
Apabila melihat dari kepentingan untuk kepentingan individual atau perseoranganmaka perlindungan terhadap kepentingan tersebut seluruhnya dijamin dalamkonstitusi. Sebagai misal, kepentingan hukum terkait nyawa seseorangmerupakan bagian dari hak untuk hidup yang dilindungi oleh UUD 1945 dalamPasal 28A. Tapi menentukan ruang lingkup kepentingan tersebut hanyaberdasarkan contoh yang telah ada juga tidak akan memberikan batasan yang tegas tentang kepentingan seperti apa yang dapat menjadi batasan kriminalisasi.
UNIVERSITAS INDONESIA 69
2.3.2. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP
TUJUAN SOSIAL
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
Meskipun terlepas dari berbagai kritiknya terhadap penggunaan asasrechtsgüter atau kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi sendirisebenarnya sudah cukup untuk menjadi batasan bagi tindak pidana. Dengan posisi demikian, dapat disimpulkan terbalik, secara kontradiktif, rechtsgüter dapat dijadikan pembatasan hukum pidana selama tidakbertentangan dengan norma konstitusional.
Menggunakan kerangka yang diberikan oleh Maramis, maka hampirsebagian besar pasal pidana terkait sumber daya alam tersebut didasarkanpada kepentingan negara, ketimbang kepentingan individu atau umum. Dalam delik-delik terkait pertambangan yang diatur dalam UU 4/2009 tersebut misalnya dapat terlihat bahwa hanya 1 (satu) yang merupakankepentingan individu, yaitu terkait dengan gangguan usaha di bidangpertambangan. Mengenai kepentingan ini akan lebih tegas jika, misalnyadilihat dari dampak selesainya perbuatan pidana. Sehingga terhadapdelik-delik materil maka akan lebih mudah untuk dinilai rasionalisasinyadan ditentukan kepentingannya.
UNIVERSITAS INDONESIA 70
2.3.2. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP
TUJUAN SOSIAL
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
UNIVERSITAS INDONESIA 71
2.3.2. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP
TUJUAN SOSIAL
Sebagian besar merupakandelik yang bersifat melindungikepentingan negara ketimbangkepentingan umum. Kerugianpendapatan negara penuliskategorisasi sebagaikepentingan negara, karenapenerimaan negara tidak secaralangsung merupakan hakmasyarakat umum. Berbedadengan lingkungan hidup yang sehat, misalnya.
NO PERBUATAN PASAL KEPENTINGAN YANG DILINDUNGI
1 Melakukan usaha penambangan
tanpa izin
Ps. 158 Kepentingan negara untuk memastikan
tidak ada kerugian negara akibat eksploitasi
tidak tercatat dan memastikan seluruh usaha
sumber daya alam dapat dikendalikan.
Kepentingan umum mencegah terjadinya
perusakan lingkungan.
3 Melakukan eksplorasi tanpa izin Ps. 160 (1)
4 Pemegang izin eksplorasi
melakukan eksploitasi tanpa izin
Ps. 160 (2)
5 Pemegang izin yang menguasai
barang tambang yang bukan dari
pemegang izin
Ps. 161 Kepentingan negara untuk memastikan
tidak ada kerugian negara akibat eksploitasi
tidak tercatat.
2 Pemegang izin menyampaikan
laporan tidak benar
Ps. 159
6 Mengganggu usaha pertambangan
yang sah
Ps. 162 Kepentingan individu untuk tidak
kehilangan nilai ekonomi dari kegiatan
usahanya
7 Penerbit izin yang bertentangan
dengan aturan perundang-
undangan
Ps. 165 Kepentingan negara untuk memastikan
pelaksanaan administrasi pemerintahan
sesuai dengan aturan perundang-undangan
BAB 2.
DIALEKTIKA KEPENTINGAN PENGURUSAN SUMBER DAYAALAM DAN KAIDAH-KAIDAH DALAM HUKUM PIDANA
UNIVERSITAS INDONESIA 72
2.3.2. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP
TUJUAN SOSIAL
Namun, rechtsgüter, dapat digunakandengan kriteria secara minimalis yang disarankan oleh Persak, yaitu selamakepentingan tersebut tidak nyata-nyatabertentangan dengan kepentingan atauhak yang ada dalam norma konstitusilainnya. Sebagai misal ketika negaramenilai bahwa penguasaannyadidasarkan pada kepentingan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang diaturPasal 33 UUD 1945 dan kemudianmerumuskan tindak pidananya untukmeneguhkan penguasaannya, makaseharusnya pasal pidana yang dikonstruksikan tidak juga bertentangandengan hak seseorang untuk hidup yang juga dijamin oleh konstitusi.
N
O
PERBUATAN PASAL KEPENTINGAN YANG
DILINDUNGI1 Melakukan usaha budidaya perkebunan tanpa
izin
Ps. 46 (1) dan
(2) jo. Ps. 17 (1) Kepentingan negara untuk memastikan tidak
ada kerugian negara akibat eksploitasi tidak
tercatat dan mencegah terjadinya perusakan
lingkungan
2 Perusakan kebun atau aset dan penggunaan
lahan perkebunan tanpa izin yang atau perbuatan
lain yang menyebabkan terganggunya usaha
perkebunan
Ps. 47 (1) dan
(2) jo. Ps. 21Kepentingan individu untuk tidak kehilangan
nilai ekonomi dari kegiatan usahanya
7 Menadah hasil perkebunan yang diperoleh dari
penjarahan atau pencurian
Ps. 52 jo. Ps. 33 Kepentingan individu untuk tidak kehilangan
nilai ekonomi dari kegiatan usahanya
3 Mengolah lahan dengan cara pembakaran yang
menyebabkan pencemaran dan kerusakan fungsi
lingkungan hidup
Ps. 48 (1) dan 49
(1) jo. Ps. 26Kepentingan umum untuk mencegah
terjadinya perusakan lingkungan
4 Mengolah lahan dengan cara pembakaran yang
menyebabkan kematian atau luka berat
Ps. 48 (2) dan 49
(2) jo. Ps. 26Kepentingan umum untuk mencegah
terjadinya perusakan lingkungan dan
kepentingan individu agar pembukaan lahan
tidak menyebabkan hilangya nyawa
5 Pemasaran hasil perkebunan yang dapat
membahayakan kesehatan, merusak fungsi
lingkungan hidup, dan atau menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat
Ps. 50 (1) dan
(2) jo. Ps. 31
Kepentingan umum untuk merasa aman dalam
mengkonsumsi produk hasil usaha perkebunan
6 Mengiklankan hasil usaha perkebunan yang
menyesatkan konsumen
Ps. 51 (1) dan
(2) jo. Ps. 32
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Persak menjelaskan bahwa dalam keilmuan hukum pidanadengan tradisi kontinental, selain teori hukum pidana(klasik) juga menyediakan pembatasan legislasi hukumpidana.
Dua diantaranya yang disebukan oleh Persak adalah asaslegalitas dan asas ultimum remedium atau ultima ratio.
Persak mengutip Husak – penulis terjemahkan, “Jika doktrinyang ada dalam aturan umum berfungsi untuk membatasistruktur hukum pidana yang ada di bagian lainnya, lalukenapa doktrin ini juga tidak bisa digunakan untukmembatasi perbuatan yang dapat dikriminalisasi?”
3.1. TEORI DAN PRINSIP DALAM HUKUM PIDANA
UNIVERSITAS INDONESIA 73
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Asas legalitas lahir dari doktrin kebebasan berkehendakyang menilai bahwa setiap manusia memiliki akal budinurani untuk menentukan bahwa suatu perbuatan salahatau benar, melanggar hukum atau tidak (Hallevy, h.3).
Asas legalitas ketika diperkenalkan oleh Feuerbach dalam Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801 dinyatakan dalam bahasa latin dengan rumusan nullumcrimen, nulla poena sine (Hamzah, 2008; Haveman, 2002)
Hiariej (2014) menjelaskan asas tersebut diperkenalkandengan 3 (tiga) frasa, yaitu nulla poena sine lege, nullapoena sine crimine, dan nullum crimen sine lege poenali. Nulla poena sine lege, yang berati tiada pemidanaantanpa diatur dalam undang-undang.
3.1.1. ASAS LEGALITAS DAN KEBEBASAN BERKEHENDAK
UNIVERSITAS INDONESIA 74
KebebasanBerkehendak
AsasLegalitas
Lex certa Lex srticta Non retroaktif Non analogi
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Di Indonesia, asas legalitas menjadi asas konstitusionalsecara formal sejak amandemen kedua UUD 1945. DalamPasal 28I ayat (1).
Pasal tersebut memasukkan prinsip non retroaktif dalam asaslegalitas, sehingga tidak ada seorang pun dapat dipidana atasdasar hukum yang berlaku surut. Penggunaan kata ‘dituntut’ seolah mengindikasikan asas tersebut sebagai asas dalampenegakan hukum ketimbang asas dalam kriminalisasi.
Namun, posisinya dalam konstitusi secara a fortiorisebenarnya memberikan batasan agar tidak ada kriminalisasiyang memungkinkan dihukumnya seseorang secararetroaktif – sehingga asas dapat tersebut juga berlakusebagai asas konstitusional. Karena tidak mungkin dituntuttanpa ada kriminalisasi perbuatan sebelumnya.
3.1.1. ASAS LEGALITAS DAN KEBEBASAN BERKEHENDAK
UNIVERSITAS INDONESIA 75
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun”.
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Hemat penulis Pasal 28D tersebut juga dapat menjadilandasan konstitusional terhadap asas lex certa dalam asaslegalitas.
Menurut Hiariej (h.9) prinsip ini juga dikenal dengan istilahbestimmtheitsgebot. Perumusan ketentuan pidana yang tidakjelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkanketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upayapenuntutan pidana karena warga selalu akan dapat membeladiri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak bergunasebagai pedoman perilaku.
Salah satu praksis penggunaan lex certa sebagai asaskonstitusional adalah ketika Putusan MK 55/2010, mengujiPasal 21 UU 18/2004.
3.1.1. ASAS LEGALITAS DAN KEBEBASAN BERKEHENDAK
UNIVERSITAS INDONESIA 76
“Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Mahkamah Konstitusi mempertanyakan frasa “dilarangmelakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebundan/atau aset lainnya”, sebagai frasa yang tidak jelasmaksudnya.
Pertanyaannya secara kritis merujuk pada siapa yang (secarapresumtif dalam perumusannya) dianggap melakukantindakan yang berakibat pada perusakan kebun atau asetketika perumusan tindak pidana tersebut.
Tentu diskursusnya sebagaimana dipahami tujuannya adalahuntuk mengkriminalisasi setiap orang yang dianggap‘mengganggu pelaku usaha perkebunan yang melaksanakanusaha perkebunannya’ termasuk orang yang berusahamempertahankan haknya atas dasar ipso facto dan berkonflikdengan usaha perkebunan yang memperoleh izin.
3.1.1. ASAS LEGALITAS DAN KEBEBASAN BERKEHENDAK
UNIVERSITAS INDONESIA 77
“Unsur dilarang melakukan tindakan yang
berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset
lainnya, merupakan rumusan pasal yang terlalu
luas. Masalahnya ialah siapa melakukan tindakan
yang berakibat pada kerusakan kebun dan/aset
lainnya milik siapa? Bagaimana jika tindakan
yang berakibat pada kerusakan kebun itu dilakukan
oleh karena kesengajaan atau kelalaian pemilik
kebun sendiri, misalnya karena kesalahan dalam
pengerjaan dan pemeliharaan kebun, pemupukan
dan pembibitan sehingga mengakibatkan
terganggunya usaha perkebunan? Apakah hal
demikian termasuk rumusan tindakan yang
dimaksud? Demikian pula kata-kata aset lainnya
tidak memberikan batas yang jelas.”
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Unsur siapa dalam delik yang melindungi kepemilikan orang lain tersebut, diperlihatkan janggal oleh Mahkamah, ketikapenguasaan dan kepemilikan atas sumber daya alam itusendiri belum jelas.
Dalam bahasa yang lebih tegas, Mahkamah berpendapat bisajadi sebenarnya pelaku atau subyek hukum dalam delikgangguan usaha perkebunan adalah pemegang izin usahaperkebunan itu sendiri yang mengganggu lahan garapanmasyarakat, ketimbang sebaliknya.
Artinya, tanpa ketegasan siapa yang sebenarnya memilikilahan, rumusan delik mengganggu usaha perkebunan tersebutrentan disalahgunakan untuk justru memberikan stigma pelaku tindak pidana atau penjahat kepada subyek hukumyang justru seharusnya hak-haknya dilindungi oleh konstitusi.
3.1.1. ASAS LEGALITAS DAN KEBEBASAN BERKEHENDAK
UNIVERSITAS INDONESIA 78
“Sebelum dilakukan penelitian untuk memastikan
keberadaan masyarakat hukum adat dengan
batas wilayahnya yang jelas sebagaimana
dimaksud oleh Penjelasan Pasal 9 ayat (2)
Undang-Undang Perkebunan, sulit menentukan
siapakah yang melanggar Pasal 21 dan dikenakan
pidana Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Perkebunan;”
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Hal yang sama dapat diterapkan dalam UU 18/2013 karenamemiliki persoalan normatif yang sama. Misalnya, dalam Pasal82 (1) huruf c. UU 18/2013.
Kata ‘siapa’ sebagai norm adressat pada dasarnya memilikiketidakkejelasan yang sama dengan yang diputuskan oleh MK dalam Perkara 55/2010. Telah dijelaskan sebelumnya bahwakawasan hutan merupakan istilah untuk dalam konsep teritorial, untuk memastikan bahwa negara memiliki penguasaannyaterhadap seluruh wilayah Indonesia.
Namun jika dibaca secara luas, maka definisi kawasan hutansendiri merupakan terminologi penguasaan yang bersifat menataruang, ketimbang menegaskan kepemilikan atau hak atas tanah. Sehingga jika ditumpang susunkan dengan aturan hak atas tanah, maka penguasaan hutan menurut UU 41/1999 dapat diklasifikasimenjadi tiga yaitu kawasan hutan hak, hutan negara, dan hutanadat.
3.1.1. ASAS LEGALITAS DAN KEBEBASAN BERKEHENDAK
UNIVERSITAS INDONESIA 79
“Orang perseorangan yang dengan sengaja
melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah).”
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Pasal pidana 82 (1) huruf c. tersebut menjadi janggal ketikaharus berhadapan dengan tipologi kawasan hutan yang dibedakan atas statusnya. Penebangan di hutan denganstatus apa yang membuatnya tidak sah? Apakah menebangdi dalam hak atas tanahnya sendiri dapat dikualifikasisebagai penebangan secara tidak sah?
Akan tetapi dengan kemampuan membatasi hukum pidanatersebut, Persak (h.118) menilai bahwa asas legalitasbukanlah prinsip legislasi hukum pidana. Menurutnya, asaslegalitas seperti halnya asas ultima ratio hanya membatasidalam bentuk negatif dan formal sehingga tidak dapatdijadikan pedoman merumuskan pasal pidana.
Lex certa bisa juga dioperasionalisasi dengan makna yang lebih tegas dan seirama dengan dengan batasan eksternalketiga yang diusulkan oleh Husak, yaitu keharusan baginegara untuk memastikan bahwa rumusan pidana kemudiantidak lebih ekstensif ketimbang tujuan yang berusahadicapainya.
3.1.1. ASAS LEGALITAS DAN KEBEBASAN BERKEHENDAK
UNIVERSITAS INDONESIA 80
Status Hutan Pengelola Alas Hak
Kawasan Hutan
Hak
Individu pemegang
hak
Hak atas tanah
Kawasan Hutan
Negara
Negara didelegasikan
kepada pemegang izin
usaha
Tidak dibebani hak
atas tanah
Kawasan Hutan
Adat
Masyarakat hukum
adat
Tidak dijelaskan
“Orang perseorangan yang dengan sengaja
melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah).”
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Menurut asas yang disebut juga sebagai ultimate ratio suatu nestapapidana hanya diberikan apabila penderaan menggunakan sarana kaidah(hukum) yang lain tidak memadai – misal hukum administratif, perdata, dan sebagainya. Karena itulah pemidanaan juga disebutsebagai ultimate ratio dari kebijakan sosal dan tugasnya adalahmenentukan subsidiaritas dari perlindungan terhadap kepentinganyang dilindungi hukum.
Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, kemudian tidaksemua rechtsgüter dapat dan harus dilindungi oleh hukum pidana. Hukum pidana hanya melindungi rechtsgüter secara terbatas yang dilakukan secara selektif, tidak secara umum.
Salah satu sejarah penggunaan asas ultimum remedium adalah ketikaBelanda sedang menyusun Wetboek van Strafrecht 1988. Pada waktupembahasan WvS tersebut, Modderman, sebagai Menteri Kehakimanmenjelaskan kepada Parlemen.
3.1.2. ASAS ULTIMUM REMEDIUM
UNIVERSITAS INDONESIA 81
“Asas pokok itu ialah: yang dapat dipidana
hanya, pertama: orang yang melanggar
hukum. Ini adalah sayarat mutlak (conditio
sine qua non). Kedua, bahwa perbuatan itu
melanggar hukum, yang menurut pengalaman
tak dapat dicegah dengan sarana apapun
(tentu dengan memperatikan keadaan
masyarakat teretentu). Ancaman pidana harus
tetap merupakan suatu ultimum remedium.
Memang terhadap setiap ancaman pidana
ada keberatannya. Setiap orang yang
berpikiran sehat akan dapat mengerti hal itu
tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini tidak
berarti bahwa ancaman pidana akan
ditiadakan, tetapi selalu harus
mempertimbangkan untung dan rugi ancaman
pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai
terjadi obat yang diberikan lebih jahat
daripada penyakitnya.”(Hamzah, h.10)
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Berdasarkan hal tersebut baik Maramis (h.521) maupun Jareborg (h.249) sepakatbahwa prinsip ultima remedium bukanlah prinsip dalam penegakan hukum. Karena sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian de minimis sebelumnya, bahwa sekecil apapun tindak pidana maka harus dipidana. Tidak dapat kemudianpidana disimpangi hanya karena sudah membayar uang pengganti atau karenapelanggarannya kecil.
Asas ultimum remedium ini namun demikian dalam perkembangan hukumpositif di Indonesia justru diartikan berbeda. Perbedaan ini setidaknya dapatdilihat dalam 2 (dua) hal yaitu:
1. Asas ultimum remedium dilaksanakan di Indonesia sebagai prinsip penegakanhukum ketimbang prinsip dalam kriminalisasi.
2. Asas ultimum remedium dapat dikecualikan dengan pertimbangan bahwa dampakyang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut luar biasa. Bahkan secara rasionaldiargumentasikan bahwa penerapan ultimate remedium tersebut menyebabkanmenyebabkan dalam penegakan hukum.
3.1.2. ASAS ULTIMUM REMEDIUM
UNIVERSITAS INDONESIA 82
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Terlepas dari praksis berhukum di Indonesia, namun demikian, apabila ingindigunakan maka asas ini akan tetap sangat bergantung pada kriteria lainnya atausetidaknya informasi lainnya yang dapat mendukung pernyataan bahwapersoalan atau kejahatan yang ada tidak bisa diselesaikan dengan cara lain, selainhukum pidana. Sebagaimana telah juga dibatas sebelumnya, penilaian tersebutdapat juga menggunakan prinsip-prinsip yang diajukan Jareborg, yaitu prinsipnilai pemidanaan (penal value principle), prinsip utilitas (utility principle), danprinsip kemanusiaan (humanity principle).
Prinsip-prinsip tersebut meminta agar setiap hukum pidana dipastikan dengantegas urgensinya. Dalam hal ini, dipidananya suatu perbuatan harus denganrasionalisasi bahwa tingkat yang dipersalahkan atas perbuatan tersebut tinggi. Dengan variabel yang demikian analisis atas berbagai pasal pidana tersebut dapatdilakukan dengan melihat dampak yang disebabkan oleh perbuatan tersebut. Pidana terhadap pelaku perusakan hutan secara umum bisa jadi dapatdipersalahkan.
3.1.2. ASAS ULTIMUM REMEDIUM
UNIVERSITAS INDONESIA 83
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Berdasarkan rumusannya suatu delik dapat diklasifikasi dengan berbagaicara. Misalnya pembedaan yang dikenal pembedaan antara delik formal dan delik materiil. Untuk delik formil maka pemenuhan tindak pidanadilihat dari selesai dan terpenuhinya perbuatan. Sementara delik materildilihat dari terjadinya dampak.
Klasifikasi ini dapat dilihat dari rasionalisasinya maupun dari unsur-unsurrumusannya itu sendiri. Hakikat kaidah hukum pidana dan tujuan darikriminalisasi sebagaimana telah dipaparkan pada Bab 2, memberikanpembedaan antara delik yang berasal langsung dari masyarakat denganyang ditentukan oleh penguasa, mala prohibita dan mala in se.
Dalam bagian ini klasifikasi yang akan penulis gunakan adalah yang diperkenalkan Fletcher (h.418) sebagai delik inti (core crimes) dan delikpendukungnya (periphery).
3.2. KLASIFIKASI HUKUM PIDANA
UNIVERSITAS INDONESIA 84
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Meskipun juga tidak berkontribusi terhadap penjelasan klasifikasi antaradelik inti dengan delik pendukung, Stuntz menyatakan bahwa hukumpidana yang ada saat ini lebih banyak delik pendukung ketimbang delikinti.
Untuk kebutuhan menemukan teori kriminalisasi dan persoalankriminalisasi, Husak kemudian menjelaskan bahwa delik inti tersebutharus didefinisikan dengan cara melihat untuk apa delik tersebutdikonstruksikan.
Husak menjelaskan bahwa tindak pidana yang inti harus didefinisikansebagai delik yang dianggap memenuhi apa yang dianggap pentingmenurut keadilan.
Untuk menerangkan maksudnya, ciri utama dari delik inti adalahkeberadaan mens rea sebagai syarat, sementara delik dengan strict liability sebagai delik pendukung.
3.2. KLASIFIKASI HUKUM PIDANA
UNIVERSITAS INDONESIA 85
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Lebih lanjut untuk memisahkan antara delik inti dan pendukungnya, Husak jugamenyebutkan jenis delik lainnya yaitu, ancillary crimes. Dalam bahasa Indonesia, mungkin ancillary crimes lebih cocok untuk diterjemahkan sebagai delik pendukung.
Norman Abrams, yang memperkenalkan delik ancillary tersebut dikutip oleh Husakmenerangkan bahwa jenis tersebut dapat diklasifikasi menjadi 2 (dua):
1. Pertama. Derivative crimes (kejahatan turunan). Abrams menjelaskan bahwa kejahatanderivatif tersebut meliputi tindak pidana yang pembuktiannya mengharuskan jugapembuktian terhadap tindak pidana utamanya. Definisi yang ditawarkan oleh Abrams tersebut serupa dengan delik yang berkualifikasi khusus.
2. Kedua. Enforcement and and information-gathering offences (delik pengumpulaninformasi penegakan hukum). Delik dengan jenis ini diklasifikasi sebagai delik yang dirumuskan berkaitan dengan alur penegakan hukum terhadap suatu delik utama. Contoh dalam Bank Secrecy Act yang mempidana penyedia jasa keuangan yang gagaluntuk memberikan laporan kepada unit intelijen keuangan terhadap transaksi yang masuk dengan melebihi nilai tertentu.
3.2. KLASIFIKASI HUKUM PIDANA
UNIVERSITAS INDONESIA 86
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Delik-delik yang tergolong ancillary menurut Abrams atau periphery dalam Husakdan Stuntz memang berkembang dengan pesat.
Legislator sebagai pabrik undang-undang seringkali tidak mempertimbangkanrasionalisasi dan kemudian justifikasi dari tindak pidana secara normatif.
Perspektif “hukum tidak hanya untuk hukum” bisa juga dipandang sebagai salah satupenyebab pertambahan delik-delik yang kemudian secara normatif justifikasinyalemah tersebut.
Dikriminalisasinya suatu perbuatan yang kemudian dipidananya seseorang hanyauntuk memudahkan menjerat orang lain dengan delik tertentu, secara intuitif sajasudah terlihat tidak tepat. Apakah misalnya seseorang harus menjadi tumbal atas‘kejahatan’ yang dilakukan oleh orang lain?
3.2. KLASIFIKASI HUKUM PIDANA
UNIVERSITAS INDONESIA 87
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Dalam delik-delik terkait sumber daya alam ancillary crimes juga dapat ditemukanbaik itu dalam bentuk derivatif maupu dalam bentuk information gathering crimes.UU 18/2004 mengatur ancillary crimes dalam bentuk derivatif dengan melihatdampaknya. Sebagai misal Pasal Ps. 48 (1) jo. Ps. 26 UU 18/2004 melakukankriminalisasi terhadap perbatan mengolah lahan dengan cara pembakaran yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.
Namun, jika tindak pidana sebagaimana ayat (1) tersebut kemudian menyebabkankematian, maka itu menjadi satu delik tersendiri dengan ancaman pidana.
Tentu saja dari segi kepentingan kedua rumusan delik tersebut berbeda, sementaraPasal 48 (1) melindungi kepentingan umum untuk lingkungan hidup yang sehat, ayat(2) memberikan tambahan bahwa selain melindungi lingkungan juga harusmemastikan dalam prosesnya tidak menyebabkan kematian atau luka berat terhadaporang lain.
3.2. KLASIFIKASI HUKUM PIDANA
UNIVERSITAS INDONESIA 88
BAB 3.
STRUKTUR HUKUM DAN PERUMUSAN PASAL PIDANADALAM UPAYA PERLINDUNGAN SOSIAL TERKAIT SDA
Menariknya, dari ketiga undang-undang yang diuji namun demikianpenulis tidak menemukan sama sekali ancillary crimes dalam bentukenforcement and and information-gathering offences.
Dengan memilah berbagai klasifikasi tersebut, penulis berpendapatbahwa jenis delik yang paling rentan mengalami overkriminalisasiadalah delik-delik yang merupakan enforcement and and information-gathering offences.
Tentu saja jika menapisnya hanya dengan kategorisasi core crime danperiphery crime, maka bisa jadi sebagian besar delik-delik sumber dayaalam yang ada di ketiga undang-undang tersebut dapat dikategorikansebaai periphery crime.
Namun, pengkategorian yang terlalu umum juga tidak dapatmemberikan petunjuk tentang delik seperti apa yang seharusnyadibatasi atau setidaknya justifikasinya tidak benar.
3.2. KLASIFIKASI HUKUM PIDANA
UNIVERSITAS INDONESIA 89
“Setiap orang yang dengan sengaja
membuka dan/atau mengolah lahan
dengan cara pembakaran yang
berakibat terjadinya pencemaran dan
kerusakan fungsi lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalma Pasal
26, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).”
BAB 4.
PENUTUP
Pertama. Kebijakan hukum pidana yang secara khusus mengatur sumber daya alam ataudalam istilah lain, penulis simpulkan juga sebagai Kebijakan Hukum Pidana Agrariadiantaranya dibangun dengan cara:
1. Dibangun dengan asumsi dan kepentingan penguasaan negara atas sumber daya alam. Konsepsi kepentingan yang lebih banyak berasal dari kesejarahan kolonial di Indonesia, ketimbang diawali dari kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
2. Meskipun di awal kosepsi penguasaan SDA pasca kemerdekaan menuntut perubahan dalamcara mengelola SDA yang dipraktikkan pada masa kolonial, kenyataan pasal-pasal pidanamasih tetap dipertahankan dengan rumusan yang sama. Bahkan, aturan pidana yang sebelumnya tidak didasarkan pada moralitas umum masyarakat Indonesia saat kolonialBelanda, kini menemukan moralitasnya.
4.1. SIMPULAN
UNIVERSITAS INDONESIA 90
BAB 4.
PENUTUP
Pertama. Kebijakan hukum pidana yang secara khusus mengatur sumber daya alam ataudalam istilah lain, penulis simpulkan juga sebagai Kebijakan Hukum Pidana Agrariadiantaranya dibangun dengan cara:
1. Dibangun dengan asumsi dan kepentingan penguasaan negara atas sumber daya alam. Konsepsi kepentingan yang lebih banyak berasal dari kesejarahan kolonial di Indonesia, ketimbang diawali dari kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
2. Meskipun di awal kosepsi penguasaan SDA pasca kemerdekaan menuntut perubahan dalamcara mengelola SDA yang dipraktikkan pada masa kolonial, kenyataan pasal-pasal pidanamasih tetap dipertahankan dengan rumusan yang sama. Bahkan, aturan pidana yang sebelumnya tidak didasarkan pada moralitas umum masyarakat Indonesia saat kolonialBelanda, kini menemukan moralitasnya.
4.1. SIMPULAN
UNIVERSITAS INDONESIA 91
BAB 4.
PENUTUP
Kedua. Terkait dengan prinsip dan asas yang dapat digunakan untuk menjadi batasankriminalisasinya, dapat diantaranya:
1. Upaya untuk melihat distingsi antara hukum pidana dan relasional dengan kaidahlainnya khususnya moral belum dapat menghasilkan batasan kriminalisasi jika dilakukantanpa memperhatikan kepentingan yang berusaha dicapai dengan perumusan pasalpidana tersebut.
2. Terkait dengan teori pemidanaan, khususnya retributif dapat menjadi pembataskriminalisasi dengan menjadi dasar bahwa perbuatan pidana tersebut menyebabkankerugian tertentu atau hilangnya hak atau kepentingan tertentu.
3. Fungsi dan asumsi hukum pidana merupakan perbuatan negara yang paling represifsecara umum dapat dijadikan batasan, meskipun masih bergantung juga padarasionalisasi pemidanaannya.
4. Rechguter atau kepentingan menjadi titik kritis dalam pembatasan kriminalisasi. Ia tidakhanya menjadi dasar untuk menentukan apakah suatu perbuatan pantas dipidana, tetapijuga batasan kepentingan tersebut – terutama karena positivitasnya didukung olehkonstitusi.
4.1. SIMPULAN
UNIVERSITAS INDONESIA 92
BAB 4.
PENUTUP
5. Asas ultimate ratio dan asas legalitas khususnya asas sekundernya lex certa dapatmenjadi prinsip-prinsip kriminalisasi atau setidaknya menjadi pembatas bagi legislator untuk melakukan kriminalisasi. Sementara ultimate ratio menjadi dasar bahwakriminalisasi harus dilakukan dengan sebelumnya memastikan bahwa tidak ada jalanlain untuk memulihkan kerugian atau memastikan tidak terlanggarnya suatukepentingan selain dengan instrumen pidana. Kemudian lex certa menekankan perlunyaperumusan pasal pidana yang jauh lebih presisi.
6. Beberapa klasifikasi hukum pidana berpotensi untuk digunakan untuk menjadi prinsippembatas dalam hukum pidana, misalnya klasifikasi atas delik-delik enforcement and information-gathering offences dan delik yang bersifat pencegahan risiko.
4.1. SIMPULAN
UNIVERSITAS INDONESIA 93
BAB 4.
PENUTUP
Ketiga. Terhadap dengan analisis pasal-pasal pidana SDA dengan prinsip dan teori yang diarahkan untuk menjadi batasan kriminalisasi, ditermukan bahwa:
1. Berdasarkan penelusuran sejarah hukumnya dapat ditemukan bahwa hukum pidana sektorsumber daya alam tidak dibentuk khususnya kehutanan, pertambangan tidak berasal darikaidah-kaidah yang hidup di masyarakat. Pidana dalam PP 28/1985 jo. UU 5/1967 dan UU18/2013 dari rumusannya memiliki kesesuaian dengan aturan pidana yang diberlakukan olehpemerintah kolonial Belanda. Berbeda dengan UU 41/1999, UU 18/2004 memiliki lebihbanyak aturan pidana yang lebih cenderung memiliki basis moral yang kuat – khususnyakarena pasal pidana yang ada juga rekriminalisasi tindak pidana yang telah ada. Resikoterberat dari diskrepansi antara kaidah yang berlaku di masyarakat dengan hukum pidanaadalah bahwa penegakan hukumnya akan sangat bergantung pada alat represif semata. Namun, tidak ajegnya kaidah moral yang bisa berkembang seiring dengan perkembangan zaman maupun pengetahuan, membuatnya tidak bisa dijadikan secara otonom sebagai asas-asaskriminalisasi
2. Penilaian terhadap apakah undang-undang terahadap sumber daya alam tersebut memilikijustifikasi kriminalisasinya, dalam teori retributif akan sangat bergantung pada kerugian apayang ditimbulkan atau kepentingan apa yang berusaha dipulihkan oleh hukum pidana. Tanpakerugian dan kepentingan yang berusaha dilindungi maka pemidanaan tidak dapat dijustifikasi.
4.1. SIMPULAN
UNIVERSITAS INDONESIA 94
BAB 4.
PENUTUP
3. Terkait dengan keseriusan hukum pidana sebagai asas pembatas, pasal-pasal pidana SDA yang ada harusdinilai berdasarkan kepentingan yang berusaha dilindungi atau tujuan yang berusaha dicapai. Sementara, terkait prinsip de minimis yang diturunkan dari asumsi bahwa hukum pidana merupakan perbuatannegara paling represif juga tidak bisa menjadi batasan kriminalisasi, melainkan hanya sebatasmemoderasi sanksi.
4. Melihat dari kepentingannya (rechtsgüter) di sektor sumber daya alam yang diatur dalam UU 4/2009 lebih banyak diarahkan untuk perlindungan kepentingan negara untuk menguasai sumber dayapertambangan. Kepentingan negara yang dilindungi diwujudkan dengan mengatur mekanisme perizinanuntuk mengakses tambang dan disisi lain kemudian mengekslusi hak orang lain yang tidak memilikiizin, termasuk juga kepentingan untuk memperoleh manfaat ekonomi dari penguasaannya terhadapsumber daya alam. Sementara dari UU 18/2004 ditemukan bahwa perlindungan kepentingannya lebihdominan pada menjaga kepentingan umum, ketimbang UU 4/2009. Dikaitkan dengan prinsip-prinsipsebelumnya, nilai kepentingan ini dapat dijadikan penambahan bobot bagi justifikasi kriminal. Sepanjang, kepentingan yang ada tersebut tidak bertentangan dengan konstitusional.
5. Pengujian terhadap UU 41/1999 jo. UU 18/2013, UU 18/2004, dan UU 4/2009 menemukan bahwasebagian pasal-pasal tersebut kesulitan untuk memenuhi lex certa, terutama jika mengikuti argumentasidalam Putusan MK 55/2010. Di sisi lain, dengan secara umum jika ditapis dengan menggunakan prinsipultima ratio maka pasal-pasal pidana yang ada juga tidak memenuhi syarat, terutama terhadap delik-delik formil yang banyak ditemukan dalam UU 41/1999 jo UU 18/2013 dan UU 4/2009. Tentu sajaperhitungan ultima ratio ini akan sangat bergantung pada kriteria seperti apa yang dapat digunakanuntuk menilai bahwa perbuatan pidana tersebut harus diperlakukan subsidiaritas dan pemahaman untukmenggunakan ultima ratio sebagai constitutional ethic ketimbang asas penegakan hukum.
4.1. SIMPULAN
UNIVERSITAS INDONESIA 95
BAB 4.
PENUTUP
3. Terkait dengan keseriusan hukum pidana sebagai asas pembatas, pasal-pasal pidana SDA yang ada harusdinilai berdasarkan kepentingan yang berusaha dilindungi atau tujuan yang berusaha dicapai. Sementara, terkait prinsip de minimis yang diturunkan dari asumsi bahwa hukum pidana merupakan perbuatannegara paling represif juga tidak bisa menjadi batasan kriminalisasi, melainkan hanya sebatasmemoderasi sanksi.
4. Melihat dari kepentingannya (rechtsgüter) di sektor sumber daya alam yang diatur dalam UU 4/2009 lebih banyak diarahkan untuk perlindungan kepentingan negara untuk menguasai sumber dayapertambangan. Kepentingan negara yang dilindungi diwujudkan dengan mengatur mekanisme perizinanuntuk mengakses tambang dan disisi lain kemudian mengekslusi hak orang lain yang tidak memilikiizin, termasuk juga kepentingan untuk memperoleh manfaat ekonomi dari penguasaannya terhadapsumber daya alam. Sementara dari UU 18/2004 ditemukan bahwa perlindungan kepentingannya lebihdominan pada menjaga kepentingan umum, ketimbang UU 4/2009. Dikaitkan dengan prinsip-prinsipsebelumnya, nilai kepentingan ini dapat dijadikan penambahan bobot bagi justifikasi kriminal. Sepanjang, kepentingan yang ada tersebut tidak bertentangan dengan konstitusional.
5. Pengujian terhadap UU 41/1999 jo. UU 18/2013, UU 18/2004, dan UU 4/2009 menemukan bahwasebagian pasal-pasal tersebut kesulitan untuk memenuhi lex certa, terutama jika mengikuti argumentasidalam Putusan MK 55/2010. Di sisi lain, dengan secara umum jika ditapis dengan menggunakan prinsipultima ratio maka pasal-pasal pidana yang ada juga tidak memenuhi syarat, terutama terhadap delik-delik formil yang banyak ditemukan dalam UU 41/1999 jo UU 18/2013 dan UU 4/2009. Tentu sajaperhitungan ultima ratio ini akan sangat bergantung pada kriteria seperti apa yang dapat digunakanuntuk menilai bahwa perbuatan pidana tersebut harus diperlakukan subsidiaritas dan pemahaman untukmenggunakan ultima ratio sebagai constitutional ethic ketimbang asas penegakan hukum.
4.1. SIMPULAN
UNIVERSITAS INDONESIA 96
BAB 4.
PENUTUP
6. Khususnya terhadap yang bersifat pencegahan resiko, namun demikian, pembatasan tersebut hanyadapat dilakukan terbatas pada kriteria spesifik tentang apa yang didefinisikan sebagai resiko. Penapisanterhadap ketiga undang-undang terkait sumber daya alam menemukan bahwa, khususnya dalam UU41/1999 jo. UU 18/2013 delik yang bersifat pencegahan risiko ini sangat banyak, khususnya terhadapdelik-delik yang juga bersifat formil. Sementara untuk delik yang dapat diklasifikasi ancillary crimes, khususnya delik enforcement and and information-gathering offences tidak dapat ditemukan.
4.1. SIMPULAN
UNIVERSITAS INDONESIA 97
BAB 4.
PENUTUP4.1. SIMPULAN
UNIVERSITAS INDONESIA 98
Berdasarkan proposisi-proposisi tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa suatu delik pidana dapatdijustifikasi bilamana:
1. ditujukan untuk melindungi kepentingan yang sah (rechtguter), yang mana kepentingan tersebut:
a. tidak bertentangan dengan kepentingan ataupun hak lainnya yang dijamin oleh Negara berdasarkankonstitusi
b. apabila tidak dilindungi melalui instrumen pidana, maka menyebabkan kerugian yang substansialbagi masyarakat sementara tidak ada instrumen lain yang mampu menjadi untuk mencegahterjadinya kejahatan tersebut (ultimate ratio).
2. dirumuskan dengan cara yang presisi sehingga kemudian menyebabkan pemidanaan terhadap perbuatanatau subyek hukum yang berada di luar cakupan yang berusaha dilindungi (overinclusive).
BAB 4.
PENUTUP
Kedepannya, penyusun undang-undang perlu kehati-hatiandalam merumuskan pasal pidana. Jika seseorang dibebaskankarena keraguan atas fakta, in dubio pro reo, makakriminalisasi harus dihindari jika ada keraguan atas asasyang mendasarinya, in dubio pro libertate.
4.2. SARAN
UNIVERSITAS INDONESIA 99
***
TERIMA KASIH