1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tsunami adalah salah satu bencana alam yang senantiasa mengancam penduduk yang tinggal di daerah pesisir. Walaupun jarang terjadi, namun daya hancurnya yang besar membuat bencana tsunami ini harus diperhitungkan. Di Indonesia, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Alam, wilayah rawan bencana tsunami meliputi 21 wilayah, yaitu : Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah bagian Selatan, Jawa Timur Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak- Yapen, Balikpapan, Sekurau, Palu, Talaud, dan Kendari (Putranto, 2006). Pada tanggal 17 Juli 2006 telah terjadi gempa tektonik berkekuatan Mw 7,7 (USGS, 2006)yang berpusat di selatan Jawa Barat pada kedalaman 10 km di bawah dasar laut. Gempa ini telah mengakibatkan tsunami
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tsunami adalah salah satu bencana alam yang senantiasa mengancam
penduduk yang tinggal di daerah pesisir. Walaupun jarang terjadi, namun daya
hancurnya yang besar membuat bencana tsunami ini harus diperhitungkan. Di
Indonesia, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Alam, wilayah
rawan bencana tsunami meliputi 21 wilayah, yaitu : Nanggroe Aceh Darussalam,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah
bagian Selatan, Jawa Timur Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku
Utara, Maluku Selatan, Biak-Yapen, Balikpapan, Sekurau, Palu, Talaud, dan
Kendari (Putranto, 2006).
Pada tanggal 17 Juli 2006 telah terjadi gempa tektonik berkekuatan Mw 7,7
(USGS, 2006)yang berpusat di selatan Jawa Barat pada kedalaman 10 km di
bawah dasar laut. Gempa ini telah mengakibatkan tsunami setinggi 3,4 meter.
Gelombang tsunami yang melanda kawasan Pantai Pangandaran itupun telah
merenggut korban sedikitnya ratusan jiwa. Bahkan besarnya kekuatan gempa ini
mengakibatkan tsunami yang melanda sepanjang pesisir selatan Jawa Barat
hingga Yogyakarta dan sekitarnya (G.Suantika, dkk, 2006).
Menurut UNDP (1992:12), bencana adalah suatu gangguan serius terhadap
keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas
pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi, atau lingkungan dan yang
melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan
2
menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Kata tsunami berasal dari bahasa
jepang, “tsu” berarti pelabuhan, dan “nami" berarti gelombang. Gerakan vertikal
pada kerak bumi dapat mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba.
Mengakibatkan gangguan keseimbangan air yang berada di atasnya. Hal ini
mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang keti ka sampai di pantai
menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya tsunami (Pacific
Tsunami Museum, 2007).
Bencana tsunami dapat menimbul kan kerugian, baik harta benda maupun
jiwa. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana tsunami membutuhkan
waktu yang lama. Demi kian juga dengan kehilangan nyawa akibat bencana
tsunami merupakan hal yang perlu diperhatikan. Bencana tsunami tidak dapat
dihindari tetapi akibat yang ditimbulkan oleh tsunami dapat diminimalkan dengan
melakukan tindakan pencegahan (preventif). Salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah dengan mengetahui risiko suatu daerah terhadap bencana tsunami sehingga
dapat dilakukan mitigasi Untuk meminimalisir korban jiwa akibat bencana
tsunami, oleh karena itu perlu diidentifikasi daerah-daerah yang rentan terhadap
bahaya tsunami sebagai langkah awal mitigasi bencana tsunami di masa yang
akan datang.
1.2 Pendekatan dan Perumusan Masalah
Kawasan pantai selatan Yogyakarta secara tektonik merupakan salah satu
daerah dengan tingkat seismisitas tinggi dan aktif. Aktivitas seismisitas di
kawasan ini dapat menimbulkan gempa bumi dan potensi tsunami, yang dapat
berkembang menjadi bencana alam. Disamping itu perairan pantai selatan
3
Yogyakarta termasuk wilayah pesisir pantai selatan Jawa merupakan perairan
terbuka (open sea) dengan horizon pantainya berhadapan langsung dengan
Samudra Hindia. Oleh sebab itu wilayah Pesisir Pantai Depok juga relatif rawan
terhadap bencana alam lainnya seperti abrasi, longsoran dan gerakan tanah
Tsunami merupakan jenis bahaya alam yang belum dapat diprediksi waktu
terjadinya. Sebelum tsunami terjadi lagi di masa mendatang, yang dapat dilakukan
adalah mengurangi atau meminimalkan dampak yang ditimbulkan tsunami
melalui mitigasi. Untuk mendukung langkah-langkah mitigasi bencana terhadap
tsunami, salah satunya dengan memetakan tingkat kerawanan bencana tsunami di
pesisir Pantai Depok Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta berupa
peta kerawanan wilayah terhadap tsunami yang dapat menjadi masukan data
dalam upaya mitigasi penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW)
selanjutnya yang berbasiskan tingkat resiko tsunami, sehingga dapat
meminimalisasi korban yang diakibatkan oleh bencana tsunami.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun peta tingkat kerawanan
wilayah terhadap tsunami di pesisir Pantai Depok Kecamatan Kretek, Kabupaten
Bantul, Yogyakarta
Manfaat dari studi ini dimaksudkan bahwa dengan adanya peta kerawanan
wilayah terhadap tsunami, dapat memberikan informasi kepada Pemerintah
Daerah yang bersangkutan sebagai masukan data dalam upaya mitigasi untuk
penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) selanjutnya yang berbasiskan
tingkat resiko tsunami, sehingga dapat meminimalisasi korban yang diakibatkan
4
oleh bencana tsunami dan dapat mengoptimalkan tujuan pembangunan fisik yang
ditentukan.
1.4 Waktu dan Lokasi Penelitian
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan nopember 2013 sampai dengan
Desember 2013. Adapun wilayah studi secara administratif masuk wilayah
Kabupaten Bantul, tepatnya di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten
Bantul. Secara geografi wilayah tersebut terletak pada koordinat 07° 44' 04" -
08° 00' 27" LS dan 110° 12' 34" - 110° 31' 08" BT Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.
Ir.Agus ADS, M.Si, dkk
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Kerawanan
Beberapa lembaga dan peneliti telah merumuskan pula kerangka kerja
kerawanan, walaupun terdapat pula sejumlah persepsi yang berbeda dalam
memandang kerawanan itu sendiri. Peneliti di bidang pengetahuan alam lebih
berkonsentrasi pada konsep alam yang menyebabkan risiko, sedangkan
peneliti –peneliti kelompok sosial lebih mempermasalahkan kerawanan yang
lebih diwakili oleh kondisi sosial -ekonomi masyarakat yang dapat
mengakibatkan suatu risiko bencana. Permasalahan yang juga muncul
adalah terbatasnya data-data pendukung untuk mengkuantifikasi aspek-aspek
sosial dalam kajian karawanan masyarakat (Cardona ; 2006, Cutter, et.al.,
2003).
Oleh karena itu kajian kerawanan selain perlu didukung oleh data-data
lainnya juga harus dirancang sesuai dengan tujuannya (Birkmann, 2008).
Seperti yang diutarakan oleh Bankoff (2004) dalam Birkmann (2008) bahwa
kajian kerawanan pada dasarnya harus dapat mempengaruhi kebijakan-
kebijakan dan perencanaan pembangunan nasional. Suatu risiko bencana
yang dapat merugikan sangat dipengaruhi selain oleh intensitas atau
magnitude bahaya alam yang mengancam suatu wilayah juga oleh tingkat
kerentanan manusia yang terpapar oleh bahaya alam tersebut (UN-I SDR,
2004). Definisi ini tentu akan membedakan besar kecilnya suatu ancaman
risiko bahaya alam pada suatu wilayah. Suatu bahaya alam, misalkan gempa
bumi, yang terjadi pada daerah yang berpenduduk jarang tentu akan berbeda
6
pula dampaknya jika terjadi pada daerah yang berpenduduk padat. Jadi dapat
di katakan bahwa faktor k e b e r a d a a n manusia dan infrastruktur yang
terpapar terhadap bahaya memegang peranan penting dalam menentukan besar
kecilnyasuatu kerugian sosial yang disebabkan oleh suatu bahaya alam.
Keterpaparan manusia atau infrastruktur tersebut disebut sebagai kerentanan
(UN-ISDR, 2004). Birkmann (2006) yang mempublikasikan kerangka kerja
BBC untuk kajian kerentanan mengaitkan pengurangan risiko bencana dengan
adanya usaha- usaha peningkatan kapasitas masyarakat.
Gambar 1. Konsep kerawanan BBC (Birkmann, 2006)
7
2.2 Komponen dan Indikator Kerentanan
Komponen dan Indikator kerentanan diturunkan dari konsep, pengertian dan
faktor yang menentukan kerentanan. Ditengarai saat ini ada 20 sampai 25 definisi
kerentanan yang akan berdampak terhadap beragamnya indikator dan instrument
kerentanan. Konsep kerentanan yang pada awalnya berkembang dalam disiplin
ilmu-ilmu sosial seperti psikologi, sosiologi, dan komunikasi, serta digunakan
dalam unit analisis mikro (individu, keluarga, dan masyarakat), kemudian
dikembangkan dan diperluas konsepnya pada tataran institusi dan kerentanan
kawasan. Demikian pula komponennya diperluas dengan memasukkan
kerentanan fisik dan lingkungan. Para ahli sepakat bahwa indikator
kerentanan terkait jenis bahaya tidak harus sama, namun demikian dipandang
perlu adanya kesepakatan makna dasar kerentanan (Sunarti et al., 2009).
Berdasarkan ISDR (2004) kerentanan terbagi menjadi empat variabel,
antara lain :
1. Kerentanan Fisik
Konsep ini mengacu pada pertimbangan pembangunan suatu lokasi dari
lingkungan terbangun atau infrastruktur. Berawal dari disiplin ilmu teknik sipil,
arsitektur, dan ilmu perencanaan wilayah dan kota. Kerentanan fisik ini ditentukan
oleh beberapa aspek seperti material yang digunakan untuk pembangunan
infrastruktur, dan lain-lain.
2. Kerentanan Sosial
Konsep ini berhubungan dengan kehidupan individu, komunitas, dan
masyarakat pada umumnya. Beberapa kelompok ada yang sangat rentan terhadap
suatu bencana daripada yang lainnya. Orang yang kurang mendapatkan hak-
8
haknya atau tingkatan kasta, etnis minoritas, kelompok yang sangat muda atau
balita, kelompok yang sangat tua atau lansia, wanita, dan kepadatan penduduk.
3. Kerentanan Ekonomi
Tingkat kerentanan yang tinggi tergantung pada status ekonomi suatu
individu, komunitas, dan bangsa. Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah
biasanya lebih rentan bila dibandingkan dengan tingkat yang kesejahteraannya
tinggi. Dan juga berkaitan dengan pemulihan sesudah bencana.
4. Kerentanan Lingkungan
Kunci aspek kerentanan lingkungan mencakup sumber daya alam yang telah
ada dan degradasi sumber daya alam. mencakup wilayah yang luas. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kerentanan lingkungan diantaranya adalah degradasi
lingkungan yang dilakukan masyarakat, dan akibat dari toksik. Sumberdaya alam
yang semakin langka, menyebabkan terbatasnya pilihan bagi masyarakat, hal ini
menyebabkan lemahnya resilience masyarakat terhadap kejadian bencana yang
terjadi.
2.3 Pengertian Tsunami
Tsunami adalah istilah dalam bahasa Jepang (tsu; pelabuhan dan nami;
gelombang) yang berarti “gelombang besar di pelabuhan” (Prasetya, 2006).
Menurut Dzikron (2006) Karakteristik tsunami adalah rangkaian gelombang
(series of waves) yang melintas di lautan dengan panjang gelombang sangat besar
(lebih dari 100 mil; dimana 1 mil @1,6 km) tinggi gelombang dilautan < 1 meter,
melaju dalam kecepatan sekitar 500 mil per jam. Rangkaian gelombang ketika
membentur dasar pantai kecepatannya segera melambat dan ketinggian meningkat
9
menjadi belasan meter, tepat saat menyentuh pantai momentumnya terkumpul
bersama lapisan tanah dan berubah menjadi aliran massa yang besar menerjang
membanjiri daratan.
Tsunami terjadi terutama karena adanya pergeseran tektonik di bawah laut
yang disebabkan oleh gempa bumi di pusat yang dangkal sepanjang daerah
subduksi. Lempeng kerak bumi yang terdorong ke atas dan ke bawah memberi
energi potensial pada massa air sehingga terjadi perubahan drastis pada
permukaan air laut di daerah yang terkena. Energi yang dilepas ke dalam massa
air itu menyebabkan timbulnya tsunami yakni energi yang memancar menjauh
dari daerah sumbernya dalam bentuk gelombang berperiode panjang yang dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2.Mekanisme Terjadinya Tsunami ( Anonim, 2012)
10
2.4 Jenis Tsunami
Menurut Bryant (2008) tsunami dibagi 4 (empat) berdasarkan penyebabnya,
antara lain :
2.4.1. Tsunami Akibat Gempa Bumi Tektonik
Sebagian besar tsunami yang terjadi disebabkan oleh gempa bumi tektonik
dilaut. Perpindahan lempeng bumi beberapa meter selama gempa bumi terjadi laut
bisa mencakup 10.000 km2 dan menimbulkan energi potensial besar untuk
menggerakkan air di atasnya. Tsunami memang jarang terjadi, namun gempa
bumi yang menimbulkannya lebih dari satu. Antara 1861 sampai 1948 telah
terjadi sedikitnya 124 tsunami, dan gempa bumi yang terekam 15.000 gempa
bumi. Frekuensi yang rendah ini menunjukkan bahwa sebagian besar tsunami
terjadi pada amplitudo yang kecil dan tak diketahui atau kenyataan bahwa
sebagian besar gempa bumi yang menghasilkan tsunami berada pada kedalaman
yang dangkal dan dengan gelombang magnitudo permukaan lebih dari 6,5 skala
Richter. Beberapa tipe patahan dapat dilihat pada Gambar 3. dibawah ini.
11
Gambar 3.Tipe Patahan pada Lempeng Tektonik (Bryant, 2008)
2.4.2. Tsunami Akibat Longsoran Bawah Laut
Longsoran bawah laut sering memicu terjadinya tsunami atau gelombang laut
besar berkecepatan tinggi di daerah longsoran yang dapat mencapai jarak tempuh
sangat jauh dapat dilihat pada Gambar 5. Longsoran ini tidak selalu menyebabkan
bencana dan tidak juga selalu berasosiasi dengan gempa bumi. Beberapa di
antaranya terjadi di daerah sempit dan hanya disebabkan oleh gravitasi. Berbeda
dengan mekanisme longsoran di daratan yang pada umumnya disebabkan oleh
kejenuhan air pada tanah, penyebab longsoran bawah laut jauh lebih kompleks.
Longsoran bawah laut adalah proses alami penting yang menyebabkan massa
sedimen bervolume besar bergerak dari daerah lantai samudera (dasar laut) yang
dangkal ke daerah yang lebih dalam. Terdapat ber-bagai jenis dan penyebab
terjadinya ketidakstabilan lantai samudera dan terminologi longsoran adalah yang
paling banyak digunakan untuk menyebut fenomena tersebut.
Gambar 4. Mekanisme Terbentuknya Tsunami Akibat Longsoran Bawah
Laut (Bryant, 2008)
12
Perbedaan bahan, lingkungan, dan muatan lantai samudera merupakan faktor-
faktor yang sangat mempengaruhi jenis longsoran tersebut (Budiono, 2009). Pada
tanggal 17 Juli 1998 di Papua New Guinea, telah terjadi tsunami yang disebabkan
oleh longsoran material di bawah laut. Longsoran material bawah laut yang besar
atau gabungan dari beberapa longsoran material kecil itu mampu memindahkan
air laut dalam volume yang sangat besar. Longsoran tersebut menjatuhkan 20.000
km3 material ke dasar laut. Tsunami yang disebabkan oleh longsoran ini sangat
besar dibandingkan dengan gempa yang menghasilkan tsunami.
2.4.3. Tsunami Akibat Letusan Gunung Berapi
Tsunami dapat juga disebabkan oleh letusan gunung berapi. 92 catatan dari
kasus tsunami yang disebabkan oleh gunung berapi, 16,5% dihasilkan dari gempa
bumi tektonik yang berasosiasi dengan letusan gunung berapi, 20% dari aliran
piroklastik (abu) ke laut, 14% dari erupsi gunung berapi bawah laut, dan 7% dari
jatuhan produk gunung api yang dimuntahkan ke laut seperti pada Gambar 8.
Letusan gunung berapi jarang menghasilkan tsunami yang besar, karena sebagian
besar gunung berapi berada jauh di laut. Contohnya, letusan gunung Tambora
pada 1815 yang hanya menghasilkan tsunami lokal dengan run up 2 m – 4 m
karena gunung tersebut berada 15 km dari daratan. Berbeda dengan letusan
gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 yang berada di Selat Sunda, yang
menghasilkan tsunami dengan run uphampir mencapai 40 m di atas permukaan
laut. Gelombang tsunami tersebut terdeteksi sampai Afrika Selatan yang jaraknya
6000 km dari gunung Krakatau seperti Gambar 5.
13
Gambar 5. Letusan Gunung Berapi Anak Krakatau (Anonim,2012).
2.4.4. Tsunami Akibat Jatuhnya Asteroid
Batu asteroid yang berdiameter 300 m dapat menghasilkan tsunamirun up lebih
dari 2 m yang dapat merusak garis pantai dalam jarak 1000 km dari
tempatjatuhnya benda tersebut. Kemungkinan terjadinya peristiwa ini dalam 50
tahun ke depan hanya di bawah 1%. Salah satu contoh kejadian ini di Chicxulub,
Mexico, 65 juta tahun yang lalu pada zaman pertengahan Cretaceous-Tersier.
Disaat dampaknya yang menyebabkan punahnya dinosaurus, tsunami menyapu
ratusan kilometer daratan yang berada di dekat Teluk Meksiko
2.5. Skala Intensitas Tsunami
Skala intensitas tsunami ini menurut Imamura dan Papadopoulos (2001),
disusun berdasarkan:
a. Efek tsunami terhadap manusia
b. Efek tsunami terhadap obyek, termasuk perahu dengan berbagai ukuran dan
terhadap alam
c. Kerusakan pada bangunan Secara umum, skala ini disusun berdasarkan tinggi
14
tsunami itu sendiri,
berikut skala intensitasnya sebagai berikut:
1. Not felt
a. Tidak terasa atau seperti keadaan biasa.
b. Tidak ada pengaruhnya.
c. Tidak terjadi kerusakan.
2. Scarcely felt
a. Tsunami dirasakan oleh sedikit orang di perahu kecil dan tidak teramati di
pantai.
b. Tidak ada pengaruhnya.
c. Tidak terjadi kerusakan.
3. Weak
a. Tsunami dirasakan oleh sedikit orang di perahu kecil dan teramati oleh
beberapa orang di pantai.
b. Tidak ada pengaruhnya.
c. Tidak terjadi kerusakan.
4. Largely observed
a. Tsunami dirasakan oleh semua perahu kecil dan terasa oleh sebagian besar
orang di kapal besar.
b. Beberapa kapal kecil terbawa ke arah pantai.
c. Tidak terjadi kerusakan.
5. Strong(1 m)
a. Tsunami terasa oleh semua perahu besar dan terlihat di pantai. Sebagian
orang ketakutan dan berlari ke tempat yang lebih tinggi.
15
b. Banyak perahu kecil yang terseret ke pantai dan saling bertubrukan satu
sama lain, terlihat jejak lapisan pasir di tanah dan terlihat genangan kecil.
c. Terlihat banjir di fasilitas terbuka seperti taman di struktur dekat
pantai.
6. Slighly damaging(2 m)
a. Banyak orang ketakutan dan lari ke tempat yang lebih tinggi
b. Banyak perahu kecil yang kandas di pantai dan bertabrakan diantaranya.
c. Kerusakan dan banjir di beberapa struktur kayu, bangunan gedung masih
dapat tertahan.
7. Damaging(3 m)
a. Banyak orang ketakutan dan lari ke tempat yang lebih tinggi
b. Banyak perahu kecil rusak. Beberapa kapal besar hanyut, obyek dengan
berbagai ukuran hanyut. Lapisan pasir dan dan akumulasi kerikil terbawa ke
darat. Beberapa karamba budidaya hanyut terbawa gelombang.
c. Banyak bangunan kayu rusak, beberapa diantaranya hancur atau tersapu.
Kerusakan pada tingkat 1 dan banjir pada sebagian gedung.
8. Heavily damaging(4 m)
a. Semua orang menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi, beberapa di
antaranya hanyut terbawa gelombang.
b. Sebagian besar perahu kecil rusak dan yang lainnya hanyut tersapu
gelombang. Beberapa kapal besar terdampar di darat dan rusak. Benda benda
berukuran besar terbawa sampai ke darat. Erosi terjadi sepanjang pantai.
Terjadi genangan dalam skala luas. Kerusakan pada hutan pantai, karamba
16
apung untuk akuakultur hanyut dan sebagian rusak.
c. Sebagian besar bangunan kayu tersapu atau rusak. Kerusakan pada
beberapa gedung tingkat dua. Sebagian bangunan beton pada tingkat 1 dan
terlihat adanya genangan.
9. Destructive(8 m)
a. Banyak orang tersapu gelombang.
b. Sebagian besar perahu kecil hancur atau tersapu gelombang. Sebagian
besar kapal besar kandas dan beberapa diantaranya hancur. Terjadi erosi di
pantai dalam skala yang lebih luas. Terlihat penurunan tanah secara lokal.
Kehancuran pada sebagian hutan pantai. Sebagian besar karamba akuakultur
tersapu, sebagian besar rusak.
c. Kerusakan tingkat 3 pada gedung, beberapa bangunan beton rusak pada
level 2.
10. Very destructive(8 m)
a. Terjadi kepanikan dan sebagian besar orang tersapu gelombang.
b. Sebagian besar perahu besar terbawa ke pantai, sebagian besar hancur dan
menghantam gedung. Bongkahan kecil dari dasar laut terbawa gelombang ke
darat. Mobil hanyut oleh gelombang. Terjadi tumpahan minyak, kebakaran
mulai terjadi. Penurunan muka tanah terjadi dalam skala yang lebih luas.
c. Kerusakan level 4 pada banyak gedung, sebagian kecil bangunan beton
mengalami kerusakan pada level 3. Breakwatermengalami kerusakan.
11. Devastating(16 m)
a. Kerusakan pada segala kehidupan di pantai. Kebakaran meluas. Arus balik
(backwash) membawa mobil dan obyek lain ke laut. Bongkahan besar dari
17
dasar laut terbawa ke darat.
b. Kerusakan level 5 pada gedung. Sebagian kecil bangunan beton mengalami
kerusakan level 4 dan sebagian besar mengalami kerusakan 3.
12. Completely devastating(32 m)
Semua gedung praktis hancur dan sebagian besar gedung beton mengalami
kerusakan paling tidak level 3.
2.7 Sejarah Bencana
Gempa Bumi Yogyakarta Mei 2006 adalah peristiwa gempa Bumi tektonik
kuat yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27
Mei 2006 kurang lebih pukul 05.55 WIB selama 57 detik. Gempa Bumi tersebut
berkekuatan 5,9 pada skala Richter. United States Geological Survey melaporkan
bahwa gempa terjadi sebesar 6,2 pada skala RichterLokasi gempa menurut Badan
Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia terjadi
di koordinat 8,007° LS dan 110,286° BT pada kedalaman 17,1 km. Sedangkan
menurut BMG, posisi episenter gempa terletak di koordinat 8,26° LS dan 110,31°
BT pada kedalaman 33 km.itu di release sesaat terjadi gempa. Setelah data dari
berbagai Stasiun yang dipunyai jejaring BMG dan dilakukan perhitungan, update
terakhir BMG menentukan pusat gempa berada di 8.03 LS dan 110,32 BT(update
ke tiga) pada kedalaman 11,3 Km dan kekuatan 5.9 SR Mb (Magnitude Body)
atau setara 6.3 SR Mw (Magnitude Moment).USGS memberikan koordinat 7,977°
LS dan 110,318 BT pada kedalaman 35 km. Hasil yang berbeda tersebut
dikarenakan metode dan peralatan yang digunakan berbeda-beda.