GENEALOGI INTELEKTUAL REVOLUSI IRAN 1979 :
STUDI PEMIKIRAN ALI SHARIATI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh:
Rina Syaprianti
1110022000032
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
GENEALOGI INTELEKTUAL REVOLUSI IRAN 1979 :
STUDI PEMIKIRAN ALI SHARIATI
SKRIPSIDiajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan MemperolehGelar Sarjana Humaniora (S.
Hum)
Oleh:
Rina Svaprianti
1110022000032
Di bawah bimbingan :
\q.,,,drDr. Jaiat Burhanuddin. NIANIP : 19670119 199403 1001
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas
Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini
telah Saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas
Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil
karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jaknta.
Jakarta,T April2015
Rina Syaprianti
i
Seiring doa dan restu
Ayah dan Mama tercinta
Juga kenang-kenangan penuh makna
All my brothers and sister..
Rini Syafrina Tanjung, Almansyah Putra Tanjung,
M. Nursjal Tanjung, Irman Afandi Tanjung
i
ABSTRAK
Genealogi Intelektual Revolusi Iran 1979 : Studi Pemikiran Ali
Shariati
Tulisan ini menjelaskan bagaimana pemikiran Ali Shariati yang
memicu
terjadinya Revolusi Iran 1979. Melalui metode deskriptif
analisis dengan
pendekatan sejarah sosial intelektual. Ali Shariati adalah
seorang pembaharu
pemikir Islam yang sejalan dengan semangat revolusi. Gaya
berpikirnya yang
praxis, seperti pemikirannya tentang pembebasan, konsep ummah
dan imamah,
serta idenya mengenai revolusi sosial, dengan ketiga konsep
pemikirannya itu
yang relatif besar di masyarakat serta berdampak pada munculnya
revolusi Iran
1979. Yang intinya menunjukkan bahwa revolusi merupakan
keniscayaan bagi
transisi pemerintahan yang baik.
Lewat penelitian ini penulis menemukan bahwa pengaruh pemikiran
Ali Shariati
yang revolusioner tidak terlepas dari pengaruh dan pemikiran
Barat. Sehingga
akar intelektual yang dimiliki Ali Shariati mengenai revolusi
Iran direspon baik
oleh masyarakat Iran dengan tiga konsep pemikiran diatas. Hal
ini tidak terlepas
dari kondisi masyarakat Iran yang sudah tidak tahan dengan
pemerintahan
despotis Reza Shah Pahlevi.
Kata Kunci : Iran, Revolusi, Ali Shariati.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
anugerah
dan karunia-NYA saja penulis mampu menyelsaikan skripsi ini.
Shalawat dan
salam tak lupa dihadiahkan kepada baginda nabi besar Muhammad
Shalallahu
Alaihi Wassalam, seorang revolusioner yang telah menenggelamkan
era
kejahiliyahan menuju tatanan kehidupan penuh kemuliaan dalam
Islam.
Pada penulisan skripsi yang penulis angkat dengan judul
GENEALOGI
INTELEKTUAL REVOLUSI IRAN 1979 : STUDI PEMIKIRAN ALI
SHARIATI, merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi
dan
mencapai gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Skripsi ini tidak terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan
dari
semua pihak, baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis
mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak, sehingga penulis dapat
menyelesaikan
tugas akhir ini tanpa kendala yang berarti.
Untuk itu penulis persembahkan ucapan terimakasih tersebut
kepada:
Dr. Jajat Burhanuddin, MA selaku pembimbing, atas perhatian,
diskusi,
dan masukannya selama penulis menyusun skripsi ini. Juga kepada
Ibunda Awalia
Rahma, MA selaku dosen Pembimbing Akademik selama penulis
menjadi
mahasiswa atas curahan waktu, motivasi, dan perhatiannya
sehingga penulis dapat
merampungkan tulisan ini dan penulis juga ingin mengucapkan
banyak
iv
terimakasih kepada bapak Prof. Dr. Didin Saepuddin, MA dan juga
ibu Dr.
Amelia Fauzia, MA selaku penguji penulis, sehingga skripsi ini
menjadi baik.
Kepada bapak Dekan demisioner Prof. Dr. Oman Faturahman,
M.Hum
selama menjabat sebagai dekan Fakultas Adab banyak memberi
semangat dan
motivasi, serta tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada
bapak Dekan Prof.
Dr. Syukron Kamil, bapak H. Nurhasan, MA selaku Ketua Jurusan
SKI yang telah
memberi ghirah kepada mahasiswa, ibu Sholikatus Sadiyah M.Pd
selaku
sekretaris Jurusan SKI yang telah melayani mahasiswa dengan
baik, bapak Drs.
H. M. Maruf Misbah, MA sekali lagi terimakasih atas segala
dukungan dan
motivasi yang bapak dan ibu berikan.
Terimakasih kepada seluruh Dosen Fakultas Adab dan Humaniora
khususnya Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yang telah
mendidik kami,
mentransfer pengetahuan yang tak akan ada pangkalnya.
Kepada staff Islamic Culture Centre yang berada di daerah warung
Buncit
Jakarta Selatan, Iranian Corner yang berada di Fakultas
Ushuludin, serta
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terimakasih
atas
bantuannya dalam pencarian literature.
Teristimewa untuk almarhum ayahanda Asman Jambak dan Mama
tercinta, terimakasih atas restu dan doa buat ananda, juga buat
kakak dan abang
tersayang yang telah memotivasi dan juga memberi masukan hingga
gurauan yang
telah menghias indah dinding persaudaraan.
v
Sahabat- sahabat terkasih seperjuangan SKI angkatan 2010
terimakasih
atas support kalian Nurjannah, Wulan, Dian, Nana, Nida, Ela,
Iwan, Rifai, Anto,
Endi, Sehab dan Dicky Afriawan Partner YFCC goes to School serta
teman-teman
lainnya. Terimakasih pula untuk organisasiku tercinta Pergerakan
Mahasiswa
Islam Indonesia khususnya Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora
yang sudah
menjadi rumah bagi penulis saat penulis masih mencari jati diri
serta suka duka
dan penghargaanya.
Teman-teman KKN KOPI yang selalu memberi dukungan dan untuk
seniorku ka Johan Wahyudi, ka Apank , ka Eka, Ka Baihaqi, Ka
Syahrul Munir,
ka Shoib Essir, yang banyak sekali membantu penulis serta tak
lelah memberi
motivasi. Serta tak lupa sahabat dalam hidup penulis M. Ilham
Nugraha, Iie
Handayani, Iis setiani, Dina Marlaila, Edi Rosadi, Umiyanti,
Novi Wulandari,
Denissa Dwi Putri, Setyaji saputra, Amalia Visnuh Puri, Andhika
Dwi yang
mendoakan penulis serta memberi warna dalam hidup penulis.
Teruntuk kawan-kawanku dalam organisasi Youth for Climtae
Change
Indonesia, Volunteerism Teaching Indonesian Children, Dewan
Nasional
Perubahan Iklim, terimaksih atas perjuangan di luar kampus yang
telah memberi
wawasan dan ilmu yang membuat pengalaman penulis bertambah dan
memiliki
keluarga di setiap penjuru Indonesia. Serta semua pihak yang
tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Akhir kata, semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini
dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, 7 April 2015
Rina Syaprianti
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK
.....................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR
...................................................................................
iii
DAFTAR ISI
..................................................................................................
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
...................................................................................
1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
................................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
........................................................... 5
D. Metode
Penelitian................................................................................
6
E. Tinjauan Pustaka
.................................................................................
8
F. Sistematika Penulisan
.........................................................................
9
BAB II BIOGRAFI SOSIAL INTELEKTUAL ALI SHARIATI
A. Riwayat Hidup dan Pembentukan Pemikiran Ali Shariati
.................. 11
1. Masa Sekolah Dasar
.....................................................................
12
2. Masa Sekolah Menengah
..............................................................
13
3. Masa-Masa di
Paris.....................................................................
17
B. Karya- Karya Ali Shariati
....................................................................
21
C. Karakter Dasar Sosial Pemikiran Ali Shariati
....................................... 26
BAB III PEMIKIRAN ALI SHARIATI TERHADAP SEJARAH SOSIAL
A. Pandangan Ali Shariati terhadap Individu dan Masyarakat
................ 29
B. Konsepsi Kepemimpinan dalam Kategori Sosial
............................... 43
C. Perubahan Sosial Menurut Ali Shariati
............................................... 48
vii
BAB IV REVOLUSI IRAN DAN SOSOK ALI SHARIATI
A. Ide Revolusi Sosial Menurut Ali Shariati
........................................... 55
B. Pandangan Ali Shariati terhadap Revolusi Iran
.................................. 57
C. Rezim Shah Pahlevi dan Menjelang Revolusi Iran
............................. 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
.........................................................................................
70
B. Saran
....................................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA
....................................................................................
72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
..........................................................................
74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ali Shariati dipandang oleh banyak orang sebagai bapak Ideologi
Revolusi
Iran pada tahun 1979. Ini terbukti bahwa pada masa itu Shariati
tampil sebagai
pembaharu pemikir Islam yang sejalan dengan semangat revolusi.
Atas dasar
kenyataan ini tidak heran kalau Dabashi1 menyebut Shariati
sebagai the
ideologist of revolt.2 Di samping Ayatullah Khomeini yang khas
dari Shariati
adalah keradikalan cara berpikirnya serta keterus teranganya
untuk memberikan
penilaian pada berbagai masalah sosial di dunia Muslim pada
umumnya dan di
Iran pada khususnya. Shariati adalah sosok pemikir sekaligus
penggerak bersifat
revolusioner dan beraroma perjuangan, kemerdekaan, dan
pembebasan dari segala
bentuk penindasan.
Dalam pusaran analisis sosialnya, Shariati melihat bahwa sejarah
sosial
manusia bergerak dalam dua tahap, yaitu tahap Habil (pastoralis)
dan tahap Qabil
(agrikulturalis). Selanjutnya, sebagaimana sejarah sosial,
Shariati berpendapat
1Hamid Dabashi adalah professor Iran-Amerika dari Iran Studi dan
perbandingan sastra di
Universitas Columbia.
http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Hamid_Dabashi
&prev=search 2M. Deden Ridwan, Melawan Hegemoni Barat Ali
Syariati dalam Sorotan Cendekiawan
Indonesia, (PT Lentera Basritama : Jakarta, 1999), h. 51.
2
bahwa dinamika masyarakat pun bergerak dalam suatu dialektika,
yaitu dialektika
antara struktur Qabil dan struktur Habil. Dua struktur sosial
tersebut (bersama
dengan mekanisme ekonomi) diposisikan oleh Shariati sebagai
super-struktur
sosial. Istilah Qabil (Cain) dan Habil (Abel) tersebut diadopsi
Shariati dari tradisi-
tradisi agama-agama Ibrahim (Abrahamic Religions), yaitu nama
dua anak
Adam.3
Dalam konsep Shariati, Qabil adalah simbolisasi struktur yang
mewakili
kelas borjuis, penguasa, pemilik modal, yang cenderung menindas,
pendiri
kebijakan gelap (the founder of dark wisdom). Sedangkan Habil
merupakan
simbol struktur yang mempresentasikan kelas proletar, kelas
buruh, massa yang
dikuasai dan ditindas. Bagi Shariati, sistem stratifikasi
(pelapisan) sosial yang
lahir dari tegangan dua kutub struktur di atas, adalah
terbentuknya kutub Qabil
(kelas penguasa) dan kutub Habil (kelas yang dikuasai). Alhasil,
Shariati
menyimpulkan semua masyarakat sepanjang sejarah, baik yang
menggunakan
istilah nasional, politik, maupun ekonomi, berdasarkan suatu
sistem kontradiksi.
Inilah hukum yang bagi Shariati merupakan hukum yang mengatur
masyarakat.4
Hal ini sejalan dengan tanggung jawab pemerintah untuk
memelihara agar
masyarakat bisa tetap aman, lalu menyediakan sarana-sarana
kesejahteraan bagi
warganya sebagai suatu tugas administrasi negara.5 Karena itu
tugas elit Muslim
3 Ali Syariati, Ali Syariati sang Ideologis Revolusi Islam
(Jakarta: Dian Rakyat, 2012),
h. 5. 4Ibid, h. 6.
5Ali Syariati, Ummah dan Imammah suatu tinjauan sosiologis,
(Jakarta: Pustaka
Hidayah,1989), h. 55.
3
(cendekiawan) adalah meruntuhkan rezim yang berdasarkan
penindasan dan
kezaliman dengan membentuk umat yang berdasarkan tauhid dan
keadilan.6
Dalam kerangka itu, Shariati menekankan pentingnya perubahan
bersifat
revolusioner. Bagi Shariati, revolusi tidak sekedar perjuangan
antar kelas akan
tetapi revolusi di sini memiliki muatan perjuangan yang
menyeluruh, yang
meliputi aspek spiritual. Karena dari sinilah muncul suatu sikap
yang progresif
yang melahirkan revolusi sejati. Agama adalah ideologi yang
menimbulkan
perubahan. Agama harus difungsikan sebagai kekuatan revoluioner
untuk
membebaskan rakyat yang tertindas secara kultural dan politik.
Sebagaimana para
aktivis Islam saat itu, Shariati percaya bahwa doktrin tauhid
seharusnya menjadi
teologi pembebas. Menurutnya, di Iran perlu dilakukan revolusi
sosial dan
nasional guna membangun tatanan masyarakat Iran yang baru.7
Dalam politik Iran, Shariati adalah sosok yang memperjuangkan
dan
membantu Imam Khomaini dalam menjatuhkan rezim Shah yang zalim.
Pengaruh
Ali Shariati terhadap revolusi Islam Iran, secara sederhana,
dapat dibagi dalam
dua kategori, yaitu dalam konseptual (ide atau gagasan) dan
tataran politik praktis.
Pada tataran konsep, pengaruh Shariati bisa dikatakan hampir
tidak terbatas.
Dalam arti gagasan-gagasan Shariati yang umumnya revolusioner
itu
mempengaruhi tidak hanya kalangan kelas menengah, melainkan juga
ulama.8
6Ali Shariati, Ideologi Kaum Intelektual suatu wawasan Islam,
(Bandung: Mizan, 1984),
h. 24. 7Ali Syariati, Tugas Cendikiawan Muslim, h. 41.
8 M, Deden Ridwan, Melawan Hegemoni Barat Ali Shariati dalam
Sorotan Cendekiawan
Muslim., (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999), h. 119.
4
Ali Shariati dan Revolusi Iran adalah dua hal yang sulit untuk
dipisahkan.
Walau Shariati telah wafat beberapa saat sebelum revolusi itu
benar-benar terjadi,
tepatnya tanggal 19 Juni 1977, gema revolusi yang Ali Shariati
kampanyekan di
Iran sampai akhir hayatnya, mendapat sambutan yang antusias dari
massa
pengunjuk rasa pada puncak gerakan revolusi 1978-1979.
Poster-poster Ali
Shariati bersanding dengan poster tokoh revolusi lain seperti
Mossadeq dan
tentunya Khomeini yang diusung sepanjang demonstrasi
besar-besaran melawan
rezim Shah. Bahkan beberapa kalangan menyebut Shariati lebih
mempunyai peran
khusus dalam Revolusi Iran ketimbang Khomeini.9
Tidak asing bagi banyak kalangan muda Iran sosok Ali Shariati
adalah
sosok pahlawan Iran dan tokoh intelektual Muslim. Bagi penulis,
Shariati adalah
sosok yang mengagumkan karena beliau intelektual Muslim sukses
yang dapat
menggelontorkan masyarakat kecil maupun kelas atas pada masa
revolusi Iran
dengan pemikirannya. Semasa hidupnya dia perjuangkan untuk
mengabdi pada
tanah Iran, Banyak karyanya yang menggaungkan tentang konsep
kepemimpinan,
sosiologi, dan ideologi kaum intelektual. Di sini penulis akan
menyajikan sebuah
tulisan yang akan membahas sosok dan pengaruh Ali Shariati
terhadap revolusi
Iran.
9Khomeini datang ke Iran dari pengasingannya di Prancis pada
tanggal 1 Februari 1979
setelah perlawanan menurunkan Rezim Syah secara efektif telah
selesai. Lihat Zayar, Iranian
Revolution: Past, Present and Future, dalam
http://www..iranchamber.com/history/articles/pdfs/iranian_revolution_past_present_future.pdf,
h.37.
http://www..iranchamber.com/history/articles/pdfs/iranian_revolution_past_present_future.pdf
5
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Istilah genealogi sengaja diambil dalam judul skripsi ini untuk
menjelaskan
akar-akar intelektual dalam revolusi Iran. Dimana pemikiran
revolusioner Ali
Shariati memang menjadi wacana umum bagi sejumlah kalangan dari
masyarakat
Iran, seperti Gerakan Pembebasan Iran, Gerakan Kemerdekaan Iran,
dan
kelompok Mujahidin Khalaq yang terlibat dalam revolusi Iran.
Adapun rumusan
masalah dalam skripsi ini yakni: Bagaimana konsep pemikiran
revolusioner Ali
Shariati dalam revolusi Iran?
Maka pembahasan skripsi ini akan difokuskan pada sejumlah isu
tentang
pembebasan, konsep ummah dan imamah, serta ide mengenai revolusi
sosial dari
pemikiran Ali Shariati yang secara substansial berpengaruh pada
terjadinya
Revolusi Iran 1979.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini
adalah:
a) Mengetahui sejarah intelektual Ali Shariati.
b) Memahami secara lebih dalam cara berpikir Ali Shariati
terhadap
konsepsi pemikirannya terhadap kepemimpinan dan revolusi
Iran.
6
2. Kegunaan Penulisan
a) Penulisan skripsi ini diharapkan berguna bagi
pengembangan
pengetahuan terkait dengan intelektual, kepemimpinan, dan
Revolusi
Iran dilihat dari sudut pandang Ali Shariati.
b) Menambah khazanah kesejarahan dan pengetahuan tentang
intelektual Ali Shariati serta Pandangannya terhadap konsep
kepemimpinan.
D. Metode Penelitian
Dalam karya ilmiah ini, penulisan menggunakan metode
deskriptif-analisis
guna memaparkan temuan baru yang berkaitan dengan topik yang
diangkat.
Selain itu, di bawah ini terdapat beberapa poin yang menjadi
instrumen penting
dalam suatu penelitian, antara lain:
1. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah sosial intelektual
yang
berusaha menarik satu kesimpulan dari sudut pandang seseorang.
Karena
penulisan ini berupa re-interpretasi terhadap suatu ide seorang
intelektual (Ali
Shariati) maka penggunaan opini-opininya merupakan salah satu
sumber yang
wajib ada. Selain itu, penulis juga menggunakan sumber-sumber
lain yang
mempunyai relasi dan relevansi dengan kajian materi
pembahasan.
2. Sumber Data
Data ataupun sumber penelitian dapat dikategorikan menjadi dua;
data
primer dan data sekunder. Data primer, adalah berupa data yang
merupakan data
7
rujukan utama yang menjadi rujukan keilmiahan. Bentuknya bisa
lisan maupun
tulisan. Data yang berasal dari jalur tulisan berupa
dokumen-dokumen maupun
buku yang ditulis oleh Ali Shariati sebagai pelaku sejarah.
Shariati banyak
menulis buku seperti, Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan
Islam, tentang
sosiologi Islam. Sedangkan data sekunder bentuknya sama seperti
data primer.
Namun, yang membedakannya dengan data primer, adalah data
sekunder ditulis
oleh orang lain yang berhubungan dengan tokoh yang diteliti.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka (library
research). Studi
pustaka dilakukan dengan menelusuri fakta sejarah secara
tertulis, kemudian
mengumpulkan dokumen-dokumen, baik berupa karya tokoh yang
diteliti atau
manuskrip-manuskrip yang berhubungan dengan tokoh yang
ditelaah.
Penulis mendapatkan sumber primer berupa tulisan Ali Shariati,
yang
didapat dari Perpustakaan Utama Syarif Hidayatullah dan Iran
Corner. Dalam
perburuan sumber primer lainnya, penulis sempat mendatangi
Islamic Culture
Centre yang berada di daerah warung Buncit Jakarta Selatan.
Sedangkan untuk
sumber lainnya, terutama untuk sumber sekunder, penulis
mendapatkan di situs
online Perpusnas RI dan mencarinnya di E Journal seperti
Proquest, Jstore dan
Catalouge ANU.
8
4. Analisa Data
Data-data yang sudah terkumpul kemudian masuk pada tahap analisa
untuk
mendapat sumber yang otentik dan otoritatif. Data tulisan
diklasifikasi untuk
menentukan waktu penulisan dan isi dari dokumen tersebut.
Selain proses analisis di atas, data-data tersebut akan masuk ke
fase kritik
sumber. Pada tahap inilah terlihat sumber itu mulai terlihat
layak atau tidaknya
data itu disebut otentik, sehingga karya sejarah ini dapat diuji
secara ilmiah.
Kemudian fakta sejarah yang telah dianalisis dengan metode
kritik sumber akan
diadakan interpretasi dengan mengguakan pendekatan
multidisipliner dalam ilmu-
ilmu sosial.
E. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai gerakan Islam telah banyak dikaji oleh
para
intelektual Muslim maupun non Muslim yang tertarik pada kajian
keislaman.
Kajian mereka meliputi gerakan Islam di sejumlah besar negara
Islam, termasuk
Iran. Namun pembahasan mengenai gerakan revolusi Islam Iran
belum dibahas
secara detail dan pemikiran Ali Shariati mengenai revolusi Iran
serta bagaimana
keterkaitan Shariati ke ranah pemikir-pemikir di Indonesia belum
ada.
Banyak tulisan baik berbentuk buku, jurnal, dan karya- karya
akademisi Ali
Shariati yang ditulis oleh Ali Shariati sebagai sumber primer
dan buku-buku
terkait Revolusi Iran. Tetapi, dari semua tulisan itu masih
terserak dan belum ada
yang menyajikan secara komprehensif pandangan Ali Shariati
terhadap Revolusi
Iran tersebut.
9
M. Subhi Ibrahim (2012) yang berjudul Ali Shariati Sang Ideolog
Revolusi
Islam, menyinggung bahwa bagi Shariati, cita-cita besar yang
menjadi obsesinya,
yakni menyediakan sebuah ideologi pembebasan bagi rakyat Iran.
Buku Subhi
banyak membahas tentang filsafat Shariati dan bagaimana
pandangan Shariati
terhadap sejarah sosial manusia. Sedangkan pembahasan tentang
revolusi Iran
tidak dibahas secara rinci dalam buku ini. Namun buku ini banyak
memberi
informasi mengenai kerangka dasar pemikiran Shariati. Sedangkan
dalam
penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah bagaimana
pengaruh
pemikiran Ali Sahriati dalam revolusi Iran.
Selain itu juga ada skripsi Daan Dini Khairunnida (2001) dari
UIN Jakarta
yang berjudul Iran dan Perjuangan Civil Society (Analisa
Historis Terhadap
Revolusi Iran 1979). Dalam skripsi tersebut, dikatakan bahwa
Shariati mengkritik
keras rezim dan birokrasi yang menindas. Tulisan ini hanya
membahas dari segi
civil society.
Dari berbagai kajian yang ada, pandangan Ali Shariati tentang
Revolusi Iran
belum diutarakan secara jelas dan komprehensif. Inilah yang
menjadi obyek studi
penulis.
F. Sistematika Penulisan
Tulisan ini akan disajikan dalam lima bab yang masing-masing
merupakan
kesatuan tema yang saling berhubungan dengan melengkapi yang
terdiri atas :
Bab I
Berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan
perumusan
masalah, metodologi penelitian, tujuan penulisan, serta
sisitematika penulisan.
10
Bab II
Tentang deskripsi biografi intelektual Ali Shariati yang
meliputi riwayat
hidup yang terdiri atas latar belakang lingkungan dan latar
belakang pendidikan
serta perjalanan intelektualnya. Dilanjutkan dengan karier dan
pemikiran Ali
Shariati tentang konsep kepemimpinan. Maka penjelasan mengenai
biografi
Shariati didahulukan daripada penjelasan mengenai pemikiranya.
Selain itu
dengan penjelasan biografi pada bab kedua akan memudahkan
dalam
mengelompokkan dan menentukan landasan pemikirannya.
Bab III
Berisi tentang pemikiran Ali Shariati tentang sejarah sosial
bagaimana
hubungan individu dan masyarakat, dan konsep kepemimpinan, serta
perubahan
sosial.
Bab IV
Analisa keterkaitan ide revolusi Ali Shariati terhadap revolusi
serta
perubahan sosial yang mempengaruhinya. Dan merupakan bab yang
berisi tentang
rezim Shah Pahlevi dan menjelang revolusi Iran.
Bab V
Kesimpulan dan disertakan Apendix.
11
BAB II
BIOGRAFI SOSIAL INTELEKTUAL ALI SHARIATI
A. Riwayat Hidup dan Pembentukan Pemikiran Ali Shariati
Ali Shariati adalah anak pertama dari Muhammad Taqi dan Zahra
dilahirkan
pada 24 November 1933 di sebuah desa kecil di Kahak Mazinan,
sekitar 70
kilometer dari Sabzever. Keluarga Zahra tinggal di Kahak, dan
Ali dilahirkan di
rumah kakeknya dari pihak ibu.1. Shariati sangat terpengaruh
oleh figur sang
ayah. Ayahku membentuk dimensi-dimensi spiritku. Dialah yang
mengajari
pertama kali tentang seni berpikir dan seni hidup manusia, kata
Shariati. Bagi
Shariati, ayahnya adalah guru sejati pertamanya dan dari
ayahnyalah Shariati
memetik kerangka berpikir kritis terhadap dogma relijious dan
pengartikulasian
agama (Islam-Syiah) sebagai ideologi pembebasan.2
Sedangkan ibunda Ali
Shariati seorang ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anaknya di
rumah. Hidup
dalam kondisi keuangan yang sangat kurang terkadang membuat ibu
dan anak ini
mengalamai pertengkaran kecil, di mana sang ayah yang aktif
dalam politik dan
aktivitas lainnya. Hal ini membuat Ali Shariati memegang figur
otoritas dalam
rumah saat ayahnya tidak ada. Namun hal ini membuat hubungan
anak dan ibu
semakin erat.
1Ali Rahnema, Ali Syariati Biografi Politik intelektual
Revolusioner, (Jakarta: Erlangga,
2000), h. 53. 2M. Subhi-Ibrahim, Ali Shariati sang Ideologi
Revolusi Islam, (Jakarta: Dian Rakyat,
2012), h. 16.
12
Masa Sekolah Dasar
Pada musim semi tahun 1941, sebulan setelah sekutu menginvansi
Iran, Ali
memasuki tahun pertama di sekolah dasar. Ali ingat bahwa
keluarganya
menghabiskan musim panas tahun 1941 di Desa Mazinan dan setelah
mendengar
berita tentang invasi, ayahnya meninggalkan mereka di desa dan
kembali ke
Mashhad untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Walaupun Ali
hanyalah
seorang anak laki-laki kecil yang baru memulai sekolah dasar, Ia
sudah
menyaksikan keberadaan dan gerakan tentara-tentara Uni Soviet di
Mashhad. Ini
merupakan kondisi yang sulit. Roti sulit didapat bahkan beras
dan shum hanya di
dapat oleh orang kaya.3
Ayahnya Muhamad Taqi adalah direktur studi, sebuah posisi dengan
fungsi
pendidikan dan kedisiplinan di sebuah sekolah swasta yang
ternama di Ibnu
Yamin. Pada saat itu Ibnu Yamin memiliki banyak siswa dari
minoritas relijious,
seperti Yahudi dan Armenia. Di rumah Ali adalah seorang kutu
buku. Bersama
ayahnya, Shariati banyak menghabiskan waktu untuk membaca di
perpustakaan
ayahnya, yang memiliki 2000 koleksi buku. Karya Victor Hugo4,
Les Miserabels
dalam terjemahan Persianya, telah diperkenalkan sejak di sekolah
dasar. Shariati
mengalami krisis kepribadian antara tahun 1946 - 1950 karena
terlalu dini
mengenal tulisan- tulisan Barat, seperti karya-karya Maurice
Maeterlinck5, Arthur
3Ibid, h. 55.
4Victor-Marie Hugo adalah salah satu penulis aliran romantisme
pada abad ke-19 dan
sering dianggap sebagai salah satu penyair terbesar Perancis.
Karya-karyanya yang paling terkenal
adalah novel Les Misrables dan Notre-Dame de Paris. 5Penulis dan
penyair Simbolik dari Belgia.
13
Schopenhaeur seorang filosof Jerman, Penyair Franz Kafka, dan
Saddeq-e
Hedayat, yang membuat keyakinan relijiusnya terguncang. 6
Masa Sekolah Menengah
Setelah menyelesaikan sekolah dasar di Ibnu Yamin, pada bulan
September
1947, Ali Shariati memasuki sekolah menengah Firdausi. Pada
waktu itu Mashhad
memiliki dua sekolah menengah untuk anak laki-laki. Di antara
keduanya,
Firdausi lebih baik karena perpustakaan, laboratotium ilmu
pengetahuan, fasilitas
olah raga dan ruang teater yang ada di lingkungan sekolah. Ali
menyelesaikan
tingkat kesembilannya di Firdausi. Meskipun demikian, sebagai
ganti meneruskan
sekolahnya ke tingkat diploma, dia mengambil jalan lain. Pada
tahun 1950, atas
permintaan ayahnya dia mengikuti ujian masuk di Institut
Keguruan yang ketat.
Institut ini merupakan institut khusus laki-laki selama dua
tahun dan seluruh
mahasiswa tinggal di asrama.
Keterlibatan aktif Ali dalam politik dimulai dari periode ini
dan dalam
waktu cepat dia menjadi figur pendukung Mosaddeq yang
berpengaruh di
kampus. Oleh karena simpati politik para mahasiswa yang
berbeda-beda yang
merefleksikan kondisi masyarakat Iran saat itu, tidak bisa
dihindarkan lagi bahwa
debat politik publik dan ketegangan juga akan terjadi dalam
skala yang lebih luas
di kalangan mereka.7
6M. Subhi-Ibrahim, Ali Shariati sang Ideologi Revolusi Islam,
(Jakarta: Dian Rakyat,
2012), h. 16-17. 7Ali Rahnema, Ali Syariati Biografi Politik
intelektual Revolusioner, (Jakarta: Erlangga,
2000), h. 62.
14
Ali Shariati berusia dua puluh tahun dan telah menjadi guru
sekolah dasar
selama tiga tahun. Shariati telah terlibat dengan aktif dalam
politik partai, Shariati
telah mendapatkan reputasi sebagai seorang pendukung Mosaddeq,
dan sudah
terkenal dalam lingkungn Islam modernis dan intelektual karena
terjemahannya
terhadap surat Kasyf al-Gita dan abu zar. Kontribusinya terhadap
surat kabar
harian Khorasan telah mengantarkannya menjadi bintang
intelektual yang
memberikan inspirasi.8 Artikel- artikelnya juga telah membuat
Shariati dilihat
sebagai seorang intelektual yang memiliki kritik sosial, seorang
teorisi dan
ideolog serta soranag penyair yang sentimental dan romantik.
Ali Shariati lulus dari institut keguruan pada tahun 1952.
Semenjak musim
gugur pada tahun yang sama, dia bekerja di Kementerian
Pendidikan dan dikirim
ke Sekolah Dasar Ketabpur di Ahmadabad. Di Ketabpur, Ali
Shariati mengajar
semua mata pelajaran kepada semua siswa di tingkat dasar.
Sebagai guru kepala di
desa ini Shariati mengalami perasaan bosan dalam mengajar bahkan
Shariati
memfotokopi sebuah puisi yang ditulis oleh Mehdi dengan judul
Ketidak
beruntungan menjadi Guru, alasan puisi ini adalah bahwa
even-even yang
berputar seperti angin kencang menjadikan nasib saya untuk
mengajar anak-anak
sekolah dasar dan roda waktu telah memanjarakan saya di pojok
ruang kelas.
Setelah lulus dari Institut Keguruan, Ali mendapatkan sertifikat
untuk
mengajar, tetapi bukan diploma sekolah menengah atas. Pada bulan
Juni 1954 dia
mengambil ujian komprehensif, tertulis dan lisan untuk
mendapatkan sertifikat
8Ibid, h. 105
15
sekolah menengah atas dalam bidang sastra. Menurut catatan
resminya, Shariati
berhasil lulus dengan nilai rata-rata 13,39 dari 20.9
Aktivitas politik Shariati secara efektif dimulai ketika dia
menjadi
mahasiswa di Institut Keguruan. Berbagai slogan dan janji-janji
partai selama
gerakan nasionalisasi minyak muncul menjadi mimpi generasi muda
yang murni,
polos, dan idealis. Dalam aura aktivitas ini generasi muda
secara serentak menjadi
militan dan terlibat dalam upaya merealisasikan mimpi.
Keanggotaan aktif
Shariati dalam partai politik dimulai tahun 1950, tetapi
dasar-dasar kesadaran
sosial politiknya ada dalam Pusat Penyebaran Kebenaran Islam.
Shariati berumur
tujuh tahun ketika pusat diresmikan. Pada saat dia berumur lima
belas tahun,
institusi ini telah menjadi institusi religious modernis yang
sangat penting.
Atmosfer politik yang sangat kuat pelan-pelan menciptakan
syarat-syarat
dan kondisinya sendiri. Ikatan struktur Pusat10
dan tujuan pendidikannya yang cair
mulai kehilangan daya tarik para aktivis yang berorientasi pada
perubahan. Anak-
anak muda ini ingin bergabung dengan organisasi politik, di mana
mereka bisa
memfokuskan energi dan aktivitas mereka dalam tujuan politik
yang jelas. Pusat
telah memenuhi tugas historisnya sebagai sekolah persiapan dan
batu loncatan
yang dipakai sebagai jembatan anggota memasuki partai politik
yang ada.11
Segala kecamuk pemikiran yang lalu-lalang mereda seiring
terbitnya fajar
kepastian dalam diri Shariati. Shariati yakin bahwa Islam
merupakan medium
9 Ibid, h. 64.
10Pusat adalah sebuah organisasi yang dinamakan Pusat Penyebaran
Kebenaran Islam
(Kanun-e Nasyr-e Haqayeq-e Islami, selanjutnya disebut Pusat)
11
Ibid, h. 77.
16
epistemologis untuk mencandra kehidupan, baik individual maupun
sosial.
Gejolak politik di Iran menyeret Shariati ke gelanggang politik.
Shariati
mendukung gerakan nasionalis Dr. Mosaddeq. Aktivitas politik,
mulai dari
demonstrasi, rapat umum, dan diskusi partai pun ia jalani.12
Dalam lingkaran politik Shariati telah mendapatkan reputasi
karena
keahlianya dalam membuat konsep konsep ideologis, politik dan
filosofis.
Meskipun dia dilihat lebih sebagai seorang ideologis di banding
seorang militan,
dia tidak kebal terhadap spirit aktivisme yang menyebar di Iran.
Shariati terlibat
dalam aktivitas propaganda bawah tanah dari organisasi
politiknya. Dalam
gerakannya Ali Shariati menulis slogan pro-Mosaddeq dan anti
Shah di dinding-
dinding dan menyebarkan selebaran.13
Keberpihakan Shariati tersebut dilatarbelakangi oleh
keterlibatannya dalam
Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan (The Movement of God
Worshipping
Soacialist). Namun, tahun 1953 gerakan ini berpisah dari partai
Iran, dan
mendirikan Liga Kemerdekaan rakyat Iran (Jamiyat Azad-I Mardom-I
Iran).
Shariati tercatat sebagai anggota Liga ini. Pasca kudeta 1953
liga tersebut berganti
naama menjadi Partai Rakyat Iran (the Iranian Peoples Party atau
Hezb-e
Mardom-e Iran). Tapi, posisi Shariati tak jelas apakah ia
menjadi anggota atau
tidak. Di tengah kepadatan aktivitas politiknya, Shariati mampu
menyelesaikan
studi akademisinya dengan meraih diploma di bidang sastra.
12
M. Subhi-Ibrahim, Ali Shariati sang Ideologi Revolusi Islam,
(Jakarta: Dian Rakyat,
2012), h.17-18. 13
Ali Rahnema, Ali Syariati Biografi Politik intelektual
Revolusioner, (Jakarta: Erlangga,
2000), h. 83.
17
Masa-Masa di Paris
Untuk seorang anak muda yang telah menghabiskan waktunya selama
dua
puluh enam tahun di Provinsi Khorasan, Paris pada 1950an dan
tahun 1960 awal
merupakan kota yang membuat Shariati terkejut. Ali Shariati
bukan merupakan
tipikal mahasiswa muda dari negara dunia ketiga yang mencari
pendidikan di
Barat, dan Paris bukan merupakan kota Eropa yang tipikal di mana
seseorang
akan dengan mudah mendapatkan pendidikan. Ali Shariati bukan
murid yang
kosong dan siap menerima apa pun yang berbau Barat. Tetapi Ali
sadar bahwa
semua hal yang berbau Barat belum tentu jelek. Bahkan sebelum
tiba di Paris, dia
yakin banyak yang bisa dia pelajari dari Barat.14
Tahun 1955, Shariati secara resmi menjadi mahasiswa Fakultas
Sastra
Universitas Mashhad. Cinta Shariati bersemi semasa di
Universitas Mashhad.
Pertemuanya dengan Pauran-e Shariati Razavi15
berlanjut ke pelaminan. Kedua
insan tersebut menikah pada 15 Juli 1958 di Mashhad.16
Setelah lulus dari
Universitas Mashhad, 1959 ia melanjutkan pendidikan tingginya ke
Universitas
Sorbone, Shariati pergi ke Paris saat itu istrinya Puran yang
sedang hamil 6 bulan.
Dan kedatanganya di Paris pada akhir Mei 1959, Ali Shariati
langsung datang ke
rumah Kazem Rajavi untuk beberapa waktu menyesuaikan diri dengan
lingkungan
barunya. Setelah menemukan tempat tinggal di Rue Gutenberg 15
pada
pertengahan Juni dari keluarga tuan Bodin. Shariati yang telah
datang pada akhir
14
Ibid, h. 134-135. 15
Pauran-e Syariati Razavi adalah teman kuliah Ali Syariati ketika
menjadi mahasiswa di
Universitas Mashad. 16
M. Subhi-Ibrahim, Ali Shariati sang Ideologi Revolusi Islam, h.
18-19
18
tahun akademik, harus mengatur hidupnya dan menyiapkan kuliahnya
di
universitas. Pada bulan Juli Shariati masuk ke Alliance
Francaise, sekolah bahasa
yang paling besar dan terkenal di Paris. Dan pada bulan Agustus
Shariati juga
masuk ke sekolah bahasa yang disebut Institut Pantheon.17
Sebagai mahasiswa yang mendapatkan beasisiwa Shariati harus
disiplin dan
bidang ilmu akademik yang akan diambil harus dipilih berdasarkan
nasehat kantor
Supervisi Mahasiswa di kedutaan. Dan hal ini disayangkan oleh
Shariati karena ia
menginginkan Sosiologi bukan meneruskan di bidang sastra. Ia
menjalin
hubungan secara pribadi dengan para pemikir terkemuka seperti
Louis
Massignon18
, Jean Paul Sartre, Che Guivera, dan Giap. Ia juga banyak
mengamati
gerakan Nasional Anti-Shah di Eropa, yakni Gerakan Pembebasan
Iran
(Liberation Movement of Iran).19
Saat di Prancis Shariati selalu berhubungan dengan Prof Louis
Massignon
dan dengan kekagumannya kepada Massignon, Shariati dapat
ketenangan jiwa
dan spirit kerohanian dengan bentuk tulisan yang ia tulis.
17
Ali Rahnema, Ali Syariati Biografi Politik intelektual
Revolusioner, (Jakarta: Erlangga,
2000), h. 137. 18
Louis Massignon (25 Juli- 31 Oktober 1962) adalah seorang
sarjana Katolik Islam dan
pelopor Katolik-Muslim saling pengertian. Ia adalah seorang
tokoh yang berpengaruh di abad
kedua puluh berkaitan dengan Jemaat Katolik hubungan dengan
Islam. Dia semakin berfokus pada
karya Mahatma Gandhi, yang dianggap sebagai seorang Santo. Dia
adalah juga berpengaruh,
antara Katolik, Islam diterima sebagai iman Abraham. Sebagian
ulama berpendapat bahwa
penelitiannya, harga bagi Islam dan Muslim, dan budidaya kunci
siswa dalam studi Islam yang
sebagian besar mempersiapkan jalan bagi visi positif Islam
diartikulasikan dalam Lumen gentium
dan aetate Nostra di Konsili Vatikan Kedua. Meskipun seorang
Katolik dirinya, ia mencoba untuk
memahami Islam dari dalam dan dengan demikian memiliki pengaruh
besar pada cara Islam
terlihat di Barat; antara lain, ia diaspal jalan untuk
keterbukaan yang lebih besar di dalam Gereja
Katolik terhadap Islam seperti itu didokumentasikan dalam
deklarasi Vatican II pastoral. 19
M.Deden Ridwan, Melawan Hegemoni Barat Ali Syariati dalam
Sorotan Cendekiawan
Indonesia, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999), h. 81.
19
I cannot imagine what my life would
have been hd l not known Massignon,
without him, what an impoverished
soul, a shrivelled heart, a rnundane
mind, and a stupid world view I would
have had ... His heart now throbs in
my breast. 20
Ali Shariati yang memiliki kepercayaan monoteisme yang kuat
mengakui
Massignon sebagai seorang pemimpin spritual layaknya sufi.
Meskipun
Massignon seorang kristiani yang fanatik dan bukan seorang
muslim ia begitu
menginspirasi Shariati dalam hal ketenangan jiwa.21
Pada musim panas 1960, setelah satu tahun ada di Paris, Ali
Shariati pulang
ke Masshad. Dia bahagia melihat saudara-saudara dan teman- teman
lamanya,
tetapi tujuan utama kepulanganya adalah untuk menjemput Puren
istrinya dan
juga Ehsan anaknya yang berusia 1 tahun. Dan Shariati memberi
perhatian besar
pada Ehsan anaknya yang belum pernah ia melihatnya semenjak
lahir. Shariati
sangat gembira dan kemudian keluarga ini kembali ke Paris.
Mereka pindah ke
sebuah rumah kecil di rue Daguerre no 14.22
Selama studinya di Prancis Ali Shariati tidak hanya mendalami
ilmu
sosiologi, namun Shariati juga melibatkan diri dalam gerakan
organisasi yang
berorientasi Islam yaitu untuk menentang rezim Shah yang
zalim.23
Sebab
kebiasaan itu sudah dilakukan saat masih di Iran. Bahwa
keberadaan Ali Shariati
20
Abdollah Vakilly, Ali Shariati and Mystical tradition of Islam,
(McGill University, 1991),
h. 24. 21
Ali Rahnema, Ali Syariati Biografi Politik intelektual
Revolusioner, (Jakarta: Erlangga,
2000), h. 184-185. 22
Ibid, h. 144-145. 23
Ali Syariati, Tentang Sosiologi Islam, Yogyakarta: CV Ananda,
1982, h. 6.
20
di Prancis banyak terlibat dan aktif dalam kehidupan dunia
politik, dan bersama-
sama dengan Mustafa Chamran dan Ebrahim Yazid mendirikan
gerakan
kebebasan Iran di luar negri. Pada 1962, Shariati terlibat dalam
pembentukan
Front Nasional kedua.
Pada 1964 ketika kembali ke Iran setelah studi nya selesai,
Shariati di
sambut di Bazargan, perbatasan Iran, Ia langsung dipenjarakan
oleh rezim
penguasa karena tuduhan bahwa selama di Prancis Shariati
terlibat dalam kegiatan
politik yang menentang dan membahayakan kedudukan Shah. Setelah
enam
bulan, Shariati dibebaskan dan mengajar sementara di sekolah
lanjutan dan di
Akademi Pertanian. Pada tahun 1965 Shariati mengajar di
almamaternya,
Universitas Masshad. Peluang ini secara intensif diisinya dengan
menyebarkan
ide-ide baru tentang Islam dan kemasyarakatan untuk kemajuan
negeri,
masyarakat, dan agama, terutama membina kalangan generasi
muda.24
Hal itu menyebabkan Ali Shariati menjadi sangat popular di
kalangan
mahasiswa dan berbagai lapisan masyarakat, sehingga rezim yang
berkuasa
memberhentikannya dari Universitas Mashhad dan dipindahkan ke
Taheran
(1967). Di Taheran, Shariati mengajar di Institut Houssein-e
Ershad. Di sini,
Shariati juga mudah dikenal dan disenangi karena
kuliah-kuliahnya yang berani
dan tajam. Buku-buku Shariati sangat laris di Iran. Melihat
kondisi ini, akhirnya
Ia dilarang memberikan kuliah, yang ditandai dengan ditutupnya
Institut
Houssein-e Ershad pada 1973. Dan bahkan untuk kesekian kalinya
Shariati
dipenjarakan, tetapi dengan berbagai tekanan dari dunia
Internasional terhadap
24
Ibid, h. 26-27.
21
penguasa Iran, terutama petisi yang dilakukan oleh para
intelektual Paris dan
Aljazair, Shariati pun dibebaskan pada 20 Maret 1975, tetapi Ia
tetap harus
menjalanin tahanan rumah selama 2 tahun. Walau sudah dinyatakan
bebas,
Shariati masih dibayang-bayang, baik oleh polisi maupun agen
rahasia Iran, dalam
hal ini terutama oleh Savak sehingga kegiatannya otomatis
terhambat dan tidak
bebas.25
Oleh karena tekanan tersebut maka pada Mei 1977 Ali Shariati
mengambil keputusan untuk hijrah meninggalkan Iran menuju
Inggris. Namun
tiga pekan kemudian dikabarkan, tepatnya pada tanggal 19 Juni
1977 Ali Shariati
tewas terbuhuh di rumah kerabatnya secara misterius dan
dimakamkan di
Damaskus, Syria.26
Ali Shariati wafat dalam usia relatif muda yaitu 44 tahun.
B. Ali Shariati dan Karya- Karyanya
Energi intelektual Shariati sungguh tidak terkira Ia mampu
melahirkan
pikiran dan dan ide brililan di tengah kepadatan aktifitas
politiknya menentang
rezim Shah Iran.27
Yang paling penting dari Shariati adalah karya-karya yang
diwariskanya, dalam bentuk rekaman ceramah-ceramah, catatan-
catatan kulia,
buku-buku serta berbagai artikel-artikel yang telah beberapa
kali dicetak ulang
atau diperbanyak. Shariati merefleksikan seluruh pemikiranya
kedalam kerangka
teologis politik, tanpa mengabaikan nilai-nilai yang bersifat
sosiologis-kognitif
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Iran pada waktu itu.
Teori-teori
yang dikembangkan oleh Shariati selalu konsisten. Dan
sosiologisnya sangat kuat
25
M.. Dawam Rahardjo, Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam
(Jakarta: Temprint.
1985), h. 167. 26
Ali Syariati, Awaiting the Religion of Protest, A Glance at
Tomorrow's History,
terjemahan Satrio Psnandito (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), h.
8-9. 27
M.Subhi-Ibrahim, Ali Shariati sang Ideolog Revolusi Iran,
h.20.
22
dan tumbuh dari dialektika pengalaman dan pemikiran terus
menerus. Semua
tulisan Shariati bersumber dari kejujuran dan keimanan apa yang
dipandangnya
bias diterima masyarakat banyak, karena menurutnya seorang yang
salih tidak
akan ditinggalkan oleh zaman dan ditinggalkan sendiri oleh
kehidupan.
Kehidupan akan menggerakanya dari zaman akan mencatat amal
baiknya.
Penghinaan takakan mengotori orang yang suci, sekalipun mereka
melempari
dengan batu atau melepas anjing- anjing untuk mengejarnya.28
Di samping itu, Shariati skan seluruh karya-karyanya tidak dalam
kerangka
teoritis an sich, melainkan merupakan sebuah pembenaran paradigm
praktis, yaitu
berbentuk pengaplikasian secara langsung ide-ide yang
diketengahkanya lewat
tulisan- tulisanya tersebut. Dan merangkumnya sebagai
berikut:
Orang yang mengenal Syariati lewat tulisan-tulisanya, niscaya
dapat
menangkapnya dengan baik bahwa, bukan sekedar tulisan-tulisan
dan
pemikiran- pemikiran yang konstruktif saja yang
membangkitkan
pemikiran, tetapi perjalanan hidupnya sendiri terbilang sebagai
pedoman
bagi orang lainuntuk menark kesimpulan yang benar untuk hakikat
ala
mini suatu kesimpulan yang lahir dari keimananya yang
jernih.29
Shariati merupakan tipe pemikir yang senantiasa berpegang pada
realitas dia
mencoba menghindari pemikiran yang abstrak. Dia adalah seorang
sosiolog yang
berangkat dari realisme, tetapi tidak menyampingkan idealism.
Dengan
pandangan dan pemikiran Islam nya itu, Shariati berhasil
mempelajari fenomena-
fenomena masyarakat sendiri, tanpa terjebak kedalam sosiologis
positivisme yang
beku, dan marxisme yang statis. Dengan melakukan pendekatan
metode historis
dan relijious mendalam, Shariati telah menambah dimensi- dimensi
yang baru
28
Ali Syariati, Humanisme: Antara Islam dan Mazhab Barat, h. 27.
29
Ibid, h. 9.
23
pada sosiologis mengenai dimensi status-quo suatu peradaban
hirarkis, tingkah
laku nilai serta kepercayaan berbagi kelompok religious maupun
non relijious
dewasa ini dan begitupun mengenai dimensi reformatifnya, Yakni
nilai-nilai yang
ideal dari suatu perubahan, dan perkembangan- perkembangan
historis yang
dihayati oleh umat Islam dan masyarakat Iran pada zamanya.
Gaung pemikiran Shariati tidak hanya sebatas ruang dan waktu
Iran saja,
dan telah menjadi semacam tokoh Islam Internasional, yang
gagasan- gagasan dan
tulisan- tulisanya telah ditelaah, diperdebatkan, dan
diperbandingkan jauh diluar
batas terotorial dan geografis negri Iran sendiri. Jhon L.
Esposito30
menyebutnya
sebagai personifikasi dari suatu generasi baru kaum intelektual
dan aktivis politik
yang berorientasi Islam yang hidup hampir di seluruh dunia.
Shariati dalam
karyakaryanya mentransformasikan tradisi peradaban Barat ke
dalam tradisi
wacana keilmuan Timur, sehingga terlihat ekselerasi yang mantap
antara Barat
disatu sisi, dengaan Timur di sisi lain, dan menghilangkan
antagonisme peradaban
di keduanya. Bagi Shariati, Islam dan Barat tidak harus hidup
dalam suatu
antagonisme peradaban tanpa adanya kompromistis, hubungan Islam
dan Barat
harus dibangun dalam kerangka dialektik-historis.
Banyak karya-karya Shariati yang mengetengahkan
permasalahan-
permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam masa itu, dalam
hubunganya wacana
wacana yang notabene berasal dari Barat. Seperti al- Ilmu wa al-
Madaris al-
Jadidah (Ilmu Pengetahuan dan isme-isme Modern), al- Insan
al-Gharib an
30
Lihat Jhon L Esposito dalam kata pengantar: Ali Syariati,
Membangun Masa Depan
Islam: Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, h. 11.
24
Nafsih (Manusia yang Tidak Mengenal Diri Sendiri), al-Utsaqqaf
wa
Masuliyyatuh fi al-Mujtama ( Tanggung Jawab Cendikiawan di
Masyarakat) dan
al- Wujudiyyah wa al Firagh al- Fikr (Eksistensialisme dan
Kekosongan
Pemikiran). Shariati melihat ada semacam perasaan risih yang
melanda umat
Islam jikalau mereka bersentuhan dengan wacana-wacana yang
diketengahkan
oleh Barat, tetapi Islam juga telah menganalisa dan membahas
permasalahan-
permasalahan tersebut. Tetapi karena tidak adanya penguasaan
atas ilmu-ilmu
tentang kemanusiaan dan kemasyarakatan, maka kesan agama Islam
tidak dapat
menghadapi tantangan zaman ditempelkan pada Islam itu sendiri.
Kesan seperti
inilah yang dihilangkan oleh Shariati lewat karya- karyanya.
Dr.Amin Rais31
mengilustrasikan Shariati seorang pemikir yang mampu
menggerakan. Dan ia merupakan seorang sosok cendekiawan
sekaligus ulama
yang tidak suka melihat sikap statis dalam agama. Baginya, kalau
Islam mau
hidup harus berbentuk dan bercorak aktivistik. Dan
interprestasi- interprestasinya
terhadap penggejawantahan nilai-nilai relijiusitas cenderung
bertentangan dengan
interprestasi- interprestasi kebanyakan ulama yang terkoptasi
dalam suatu
kekuasaan, atau apa yang diistilahkanya dengan trinitas pembawa
kehancuran:
kekuasaan dan agama.32
Agama hanya dijadikan alat untuk melegitimasikan
status sosial mereka. Sikap seperti inilah yang ditentang oleh
agama yang hanif.
31
Amin Rais dalam kata pengantar: Ali Syariati, Tugas Cendekiawan
Muslim, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 1994), h. ix. 32
Ibid. h. 43.
25
Menurutnya, sepanjang sejarahnya, agama berdiri dari berjuang
melawan
agama,agama yang dinamis melawan agama yang statis.33
Sebagaimana Berger,34
yang mengupas masalah- masalah keagamaan
dengan menggunakan pendekatan sosiologis-empiris, dan memandang
agama
sebagai suatu realitas social serta melihat urgensi dalam
masyarakat modern
sebagai suatu yang tidak bisa disepelekan, Shariati pun
melakukan hal yang
hampir sama. Tapi bedanya, Shariati dalam melakukan
pendekatannya tersebut
menggunakan bahasa-bahasa simbolik, yang menurutnya adalah suatu
bahasa
yang tidak akan pernah usang karena perjalanan waktu dan
pergantian dalam
kebudayaan dan peradaban umat manusia, dan bahasa simbolik
adalah alat terbaik
yang dapat digunakan oleh agama sehingga ia dapat bertahan
dengan jalan
mengekspresikan makna maknanya dengan cita-cita, yang makin lama
menjadi
makin penuh makna yang sejalan dengan kemajuan intelektual dan
pandangan
manusia. Dan hanya dengan bahasa simbolik-lah ajaran suatu agama
akan
33
Sepanjang pengetahuan penulis, ada dua buah karya Ali Syariati
yang mengupas
permasalahan tersebut, yaitu Agama Versus Agama dan Islam
AgamaProtes . dalam Agama
versus Agama, Syariati beranggapan bahwa agama yang hanif selalu
berdasarkan kepada
kesadaran, wawasan, cinta dan kebutuhan folosofis seseorang,
selalu berdiri vis a vis dengan
agama yang lahir dari kebodohan dan ketakutan. Sedangkan dalam
Islam Agama Protes Syariati
berbicara tentang suatu penantian yang pasif (yin); penantian
yang konstruktif, bukan desktruktif.
Penantian yang dimaksud adalah suatu prinsip
sosio-intelektualdan naluriah manusia, dalam
pengertian bahwa manusia secara mendasar adalah makhluk yang
menanti. Inilah sebabnya
mengapa sejarah mengatakan kepada kita bahwa semua masyarakat
yang besar adalah
masyarakat yang menanti. 34
Peter L Berger merupakan seorang sosiolog Amerika yang terkemuka
pada abad xx, yang
tertarik kepada masalah-masalah keagamaan dan banyak karya-karya
sosiologisnya yang
menceritakan bagaimana agama tidak bisa terlepas dari realitas
social rakyat. Berger merupakan
seorang penganut Sosiologi Humanitik. Karya-karyanya banyak
menganalisa tentang fenomena-
fenomena social yang berkembang dimasyarakat dewasa ini.
Diantara buku-buku yang telah
diterjemahkan adalah Piramida Kurban Manusia (1982), Sosiologi
di Tafsirkan kembali (1985).
Tafsir Sosial Atas Kenyataan.
26
senantiasa berkelindan dengan putaran waktu tanpa mengalami
pembusukan dan
pendistorsian.
Dalam banyak karya Shariati, bisa dijumpai nama-nama pemikir
besar yang
ia rujuk, seperti Durkheim, Fanon, Sartre, Heidegger, Marx,
Nietzche, Bergson
dari tradisi pemikiran Barat, Radakrishnan dari tradisi
pemikiran India (Timur),
atau Rumi dari tradisi pemikiran Islam.35
C. Karakter dasar Pemikiran Sosial Ali Shariati
Pemikiran, ide, maupun gagasan cemerlang yang lahir dari
seseorang
pemikir tidak bisa dilepaskan dari ruang sosio-politik dan
kultur dimana ia hidup.
Pemikiran merupakan buah dari ruang sosio-politik dan cultural
dimana ia hidup.
Suatau pemikiran akan kehilangan baju historis dan ruh
inspirasinya bila ia
diisolasi dari ruang dan waktu dimana ia lahir. Filsafat sosial
Ali Shariati pun
demikian. Shariati tak bisa dilepaskan dari konteks Iran.
Pergolakan dan krisis di
Iran era 60-70an adalah ibu kandung filsafat sosial Shariati.
Sesungguhnya
agenda utama aktivitas intelektual Shariati bukan menyusun suatu
teori-teori
filsafat. Teori ini bukan untuk dirinya melainkan untuk
kajian-kajian universitas,
karena ia bukanlah teoritikus. Teori- teori tidak bisa
melicinkan tujuanya, tujuan
utamanya adalah membidik orang agar beraksi seperti Imam Husain.
Shariati
yakin, Imam Husain telah berkorban demi membebaskan pengikutnya
dari
tekanan politik dan sosial.36
35
M.Subhi-Ibrahim, Ali Shariati sang Ideolog Revolusi Iran,h.23.
36
M.Subhi-Ibrahim, Ali Shariati sang Ideolog Revolusi
Iran,h.22.
27
Sebagai contoh karyanya al-Hajj. Dalam buku tersebut, di satu
sisi Shariati
memang menggali simbol-simbol, makna dan filsafatnya. Namun di
sisi lain ia
bicara tentang penderitaan, penindasan dan kesyahidan
(martyrdom). Dari situ
pula ia merekonstruksi gagasan tentang pembebasan, kemerdekaan
dan
perjuangan rakyat melawan penindasan. Shariati terkesan sedang
berperan sebagai
arsitek sebua revolusi. Bahkan menurut Alghar, di jantung gugus
pemikiran
Shariati, yang banyak ia lontarkan di bnayak tempat dan
kesempatan, terkandung
misi revolusi.37
Bila melacak sumber pemikiran Ali Shariati, maka akan ditemukan
sebuah
panorama yang menunjukkan sebuah keterbukaan (inklusifitas)
rujukan. Shariati
tidak sungkan-sungkan mengambil rujukan dari tradisi Brat, Timur
maupun
Islam. Banyak karya Shariati, bisa dijumpai nama-nama pemikir
besar seperti
Durkheim, Fanon, Sartre, Heidegger, Marx, Nietzche, Bergason
dari tradisi
pemikiran Barat, Radakrishnan dari tradisi pemikiran India
(Timur), atau Rumi
dari tradisi pemikiran Islam. Keterbukaan dalam rujukan
mengantarkan Shariati
pada gaya (style) berfikir ekletis.
Dalam gaya berfikirnya Shariati memiliki sifat Praxis, yaitu
pembebasan,
khusunya rakyat Iran dari despotik Shah Iran. Maka baginya,
perlu sebuah
pemikiran yang bisa menjadi ideologi pembebasan yang mampu
mengubah
37
Ibid, h. 23.
28
kondisi sosio politik secara revolusioner. Oleh karena itu,
Shariati selalu melihat
segala khazanah pemikiran dari perspektif pembebasan
tersebut.38
Secara umum Shariati memadukan pemikiranya guna memenuhi
obsesi
intelektualnya tersebut, yaitu tradisi pemikiran Islam dan
tradisi pemikiran Barat.
Bahwa dalam tradisi Islam Shariati banyak menyerap istilah
istilah kunci doktrin
seperti tawhid, syahadah, jihad, ijtihad. Istilah dan konsep
religious itu oleh
Shariati diinterpretasikan melalui suatu kerangka konseptual,
yaitu bahwa Islam
yang otentik adalah Islam yang memihak kepada rakyat, membela
kaum tertindas,
dinamis, progresif, dan revolusioner.
Sedangkan pemikiran Barat, Shariati banyak memetik ide-ide
cemerlang.
Interaksi yang intensif dengan wacana serta pergolakan pemikiran
di Barat,
selama di Paris, membekas di benak Shariati dalam bentik yang
paradoksial pula.
Bagi Shariati pola pikir Barat memiliki dua sisi paradoksial. Di
satu sisi
menguntungkan dan berguna, tetapi di satu sisi lain merugikan
dan memuakkan.
Sisi positif pemikiran Barat adalah kemampuan dan ketajaman
instrument ilmiah
Barat dalam dalam menyoroti dan menganalisa realitas, khusunya
realitas sosial.39
38
Ibid, h. 23-24. 39
Ibid, h. 24-25
29
BAB III
PEMIKIRAN ALI SHARIATI TERHADAP SEJARAH SOSIAL
A. Pandangan Ali Shariati terhadap Individu dan Masyarakat
Sebelum menganalisis lebih jauh pemikiran Ali Shariati, terlebih
dahulu
menentukan pendekatan apa yang akan dipakai untuk mengupas
pemikiran tokoh
ini secara utuh, sebab ada pepatah arab yang berbunyi;
al-Tariqotu Ahmmu min
al-Madah (metode pendekatan terhadap suatu persoalan jauh lebih
penting dari
pada materi persoalan), artinya jika metode pendekatan yang
digunakan terhadap
suatu masalah tidak tepat,besar kemungkinan substansi persoalan
tersebut tidak
tersentuh, bahkan boleh jadi terdistorsi.1 Ali Shariati sendiri
pernah
menganalogikannya dengan seorang yang berjalan, seseorang yang
lumpuh
sebelah kakinya sehingga tidak bisa berjalan cepat. Jika memilih
jalan yang benar
akan lebih cepat sampai ketujuan dari pada juara lari yang
menempuh jalan batu
dan berputar-putar.2
Konsep manusia ideal Shariati sangat erat kaitanya dengan tiga
ide:
Khilafah Allah, insan, dan fenomena dialektis. Manusia ideal
tampaknya secara
sengaja dikemukakan Shariati untuk memperjelas dan
menginterpretasikan lebih
jauh posisi manusia sebagai Khilafah Allah. Khilafah Allah
mestilah seorang
manusia dengan segala kualitas kesempurnaanya. Tugas Ilahi yang
diemban
1Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas,
(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 61. 2Ali Syariati, on the Sociology of Islam,
(Barkeley: Mizan Press, 1979), h. 70.
30
manusia membutuhkan keunggulan-keunggulan ideal. Sesungguhnya,
konsep
Insan telah sedikit menyentuh konsep manusia ideal ini. Bisa
dikatakan, konsep
insan merupakan pengantar menuju pembahasan manusia ideal, sebab
di
dalamnya telah dikemukakan tentang kemampuan untuk melepaskan
diri dari
empat penjara manusia yang merupakan salah satu karakter manusia
ideal. Yang
terpokok, konsep manusia ideal lebih mempertajam konsep gejala
dialektis.
Kontradiksi dalam diri manusia tak akan pernah selesai, terus
menjadi, karena
yang dituju adalah Allah, Yang Tak Terbatas. Oleh karenanya,
konsep manusia
ideal adalah idealisasi dari figur sempurna puncak perjalanan
eksistensial
manusia.3
Shariati mulai menapak eksplorasi filosofisnya dengan
mengungkapkan
kisah penciptaan Adam. Dalam Islam, begitu pula agama semitik
pra-Islam yang
dirisalahkan Ibrahim, Musa, dan Isa, kisah penciptaan Adam
diyakini secara
simbolik sebagai awal kejadian manusia. Shariati memposisikan
kisah tersebut
sebagai suatu filsafat kejadian manusia. Dasar filsafat kejadian
manusia Shariati
mengadopsi dari al-Quran. Ia mengutip al-Quran, surat
al-Baqarah, ayat 30-34.
Kutipan lengkap ayat dipetik Shariati sebagai berikut :
(30) Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di bumi.
Malaikat
berkata: mengapa Engkau hendak menjadikan (khilafah) di bumi itu
orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal
kami
senantiasa bertasbih (mensucikan) dan memuji Engkau serta
mengkuduskan
3M. Subhi-Ibrahim, Ali Shariati sang Ideologi Revolusi Islam,
(Jakarta: Dian Rakyat,
2012), h. 46-47.
31
Engkau? Tuhan berfirman: sesunggunhnya Aku lebih mengetahui apa
yang tidak
kamu ketahui.
(31) Dan Ia mengajarkan kepada Adam al-asma (nama-nama)
seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada malaikat, lalu berfirman:
sebutkanlah
kepada-Ku nama-nama itu jika kamu memang orang-orang yang
benar.
(32) Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui
selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami.
Sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(33) Allah berfirman: Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka
nama-nama
ini. Maka diberitahukan kepada nama-nama tersebut. Allah
berfirman: bukankah
sudah Kukatakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku lebih
mengetahui
rahasia langit dan bumi, dan paling mengetahui apa yang kalian
tampakkan dan
apa yang kalian sembunyikan.
(34) Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat:
sujudlah kamu
kepada Adam. Maka sujudlah mereka, kecuali Iblis. Ia enggan dan
takabur. Dan ia
termasuk orang-orang kafir.
Shariati mengkarakteristikkan manusia idealnya dengan beberapa
karakter
dasar, yaitu: pertama, memilih kutub ruh Allah dari pada kutub
tanah. Manusia
ideal berketetapan untuk berevolusi menuju ke kesempurnaan,
sehingga manusia
ideal adalah manusia teomorfis. Teomorfis berarti bahwa manusia
ideal telah
menyerap kulitas-kualitas ilahiah. Akhlak (moralitas)-nya adalah
akhlak Ilahi. Ia
adalah manusia yang berwatak ilahi. Jadi, manusia ideal tetap
dalam keadaan bi-
dimensionalnya, namun telah mampu memihakkan dirinya pada
dimensi ilahi,
32
bukan dimensi tanah.4 Kedua, manusia ideal adalah mereka yang
mampu
mengatasi empat penjara manusia. Ilmu dan teknologi telah
membebaskan
manusia ideal dari determinasi alam, sejarah dan masyarakat.
Berkat cinta kasih
yang tertanam dalam pusat dirinya, manusia ideal dapat lepas
dari kungkungan
ego dirinya sendiri.5 Ketiga, selalu berada di tengah-tengah
alam dan masyarakat.
Ia bukan seorang yang mengisolasikan dirinya dari keramaian. Ia
bersama umat
manusia, bahkan memperjuangkan kepentingan kemanusiaan.6
Keempat, jiwanya
memiliki keseimbangan. Shariati mendeskripsikannya, dengan
ilustrasi sebagai
berikut:
Di tanganya tergenggam padang Caesar dan di dadanya bermukim
hati
Yesus. Dia berfikir dengan otak Sokrates, serta mencintai Allah
dengan hati al-
Hllaj.7
Shariati mempertajam : Berfikir filosofis tak membuatnya terlena
akan nasib
umat manusia. Keterlibatan politik tak menyeretnya kepada
demagogi dan riya.
Ilmu tak mengurangi cita keyakinanya, dan keyakinan tak
melumpuhkan daya
pikir dan dedukasi logisnya. Sedangkan aktivisme dan komitmen
tak menodai
tanganya dengan immoralitas. Dia adalah manusia jihad dan
ijtihad, manusia syair
dan pedang, manusia kesepian dan komitmen, manusia keyakinan
dan
4Ali Shariati, on the Sociology of Islam, (Barkeley: Mizan
Press, 1979),h.121.
5Ibid, h. 123.
6Ibid, h. 122.
7[ He hold the swords og Caesar in his hand and he has the heart
of Jesus in his breast. He
thinks with brain of Socrates and loves with the heart of
Hallaj.] Ibid.
33
pengetahuan. Dia adalah manusia yang menyatukan semua dimensi
kemanusiaan
sejati.8
Dengan segala keharmonian dirinya itu manusia ideal mengabdikan
dirinya
bagi kemanusiaan demi mencipta firdaus di muka bumi. Kelima,
modal utama
manusia ideal adalah pengetahuan, akhlak, dam seni. Ketiganya
merupakan
representasi dari kebenaran, kebijakan dan keindahan.9 Dengan
model ketiga hal
ini, manusia ideal menjalankan tugas-tugas Ilahi sebagai
khilafah Allah. Dia
adalah kehendak yang komitmen dengan tiga macam dimensinya
yakni:
kesadaran, kebebasan, dan kreatifitas.
Karakter dua dimensi tidak hanya berlaku pada tataran manusia
individual,
yang disimbolkan Adam, namun berlaku pula pada tataran sosial.
Bagaimana
terjadinya kontradiksi, pengkutuban atau konflik dialektis pada
level sosial
tersebut? Pertanyaan ini oleh Ali Shariati, dijawab dengan
menguraikan sejarah
munculnya polaritas sosial. Lagi-lagi Shariati menggunakan kisah
simbolik dari
khazanah agama-agama semiotik. Kisah yang diadopsi Shariati
adalah kisah dua
anak Adam, yaitu Qabil (Cain) dan Habil (Abel).
Drama simbolik Habil dan Qabil dalam Al-Quran tidak menyebutkan
nama
keduanya. Nama-nama mereka hanya tercantum dalam tafsir- tasfir
al-Quran.
Menurut Hamid Enayat, data tersebut memungkinkan Shariati
untuk
8[he is a man whom philosophical thought does not make
inatteentative to the fate of
mankind, and whose involvement in politics does not lead do
demagoguery and fame-seeking.
Science has not deprived him of the taste of faith, and faith
has not paralyzed his power of thought
and logical deduction. Piety has not made of him a hamless
ascetic, and avtivism and commitment
have not stained his hands with immorality. He is a man of jihad
and ijtihad, of poetry and the
sword, of solitude and commitment, of emotion and genius, of
strength and love, of faith and
knowledge. He is man uniting all the dimentions of true
humanity.] Ibid.
34
menginterpretasikan kisah itu dengan pengertian yang belum
pernah diungkap
dalam tafsir-tafsir klasik, tanpa menampilkan pandangan yang
menyalahi
kelaziman.10
Secara singkat, alur cerita tragedi pembunuhan Habil sebagai
berikut: Habil dan Qabil adalah anak Adam. Habil dan Qabil
memiliki saudari
kembar. Kala keduanya dewasa, Adam memutuskan untuk mengawinkan
mereka.
Habil dipasangkan dengan saudari kembar Qabil, dan sebaliknya
Qabil
dipasangkan dengan saudari kembar Habil. Namun, Qabil menolak
rencana Adam
tersebut. Qabil berpendapat bahwa saudari kembarnya lebih cantik
disbanding
saudari kembar Habil. Menghadapi persoalan ini, Adam
mengambil
kebijaksanaan agar keduanya menyediakan korban kepada Allah.
Korban Habil,
yang terdiri dari hasil ternak terbaiknya, diterima Allah,
sedangkan korban Qabil,
yang berbentuk hasil bumi yang telah busuk, ditolak oleh Allah.
Tetapi, Qabil
tetap bertekad untuk mengawini saudari kembarnya meskipun harus
membunhu
Habil. Pembunuhan pun terjadi. Setelah jasad Habil terbujur kaku
tanpa nyawa,
Qabil kebingungan mau diapakan jenazah Habil itu. Alkisah,
datanglah dua
burung gagak. Keduanya bertarung. Salah satu burung gagak itu
mati. Kemudian,
secara simbolik, sang burung gagak pembunuh mengais tanah untuk
menguburkan
rekan gagaknya. Qabil pun mengikuti tingkah burung gagak
tersebut.
Kisah Habil dan Qabil banyak diterjemahkan oleh para komentator
dalam
bingkai nilai moral. Penafsir-penafsir relijius, baik dikalangan
muslim maupun
non-muslim, mengartikan kisah ini sebagai sekedar kutukan atas
ketamakan dan
10
Ibid, h. 124. 11
Enayat Hamid, Modern Islamic political Thought, Austin:
University of Texas Press,
1982, h. 165.
35
pembunuhan, khusunya pembunuhan saudara.11
Pada dasarnya, Shariati pun
menangkap moral itu. Dimensi moral yang ditangkap Shariati
adalah penekanan
interpretasinya terhadap simbol dua tokoh kisah tersebut.
Menurut Shariati, ada
dua tipe manusia yang kontradiktif dalam cerita itu, yaitu tipe
Habil (manusia
beriman,cinta damai dan mau mengorbankan dirinya), dan tipe Qabi
(manusia
yang penuh nafsu, pelanggar batas dan pembunuh saudara).12
Namun, bukan
hanya ajaran etis itu saja yang bisa diperoleh dari kisah
tersebut. Dalam On
Sociology of Islam Shariati mengatakan :
Dengan mengupas kisah ini secara terperinci, pertama-tama
Shariati
bermaksud untuk menolak pendapat yang mengemukakan bahwa kisah
itu khusus
bertujuan etis. Karena di dalamnya terkandung makna yang jauh
lebih serius dari
pada sekedar judul suatu esai. Kedua kisah ini bukanlah tentang
pertengkaran
antara dua bersaudara, melainkan berkenaan dengan dua sayap
masyarakat
manusia, dua cara produksi. Kisah itu melukiskan sejarah dua
kelompok manusia
sepanjang zaman, awal peperangan yang tak kunjung selesai.13
Cara Ali Shariati untuk membongkar makna kisah itu adalah
analisis
kejiwaan, yang berlandaskan kajian- kajian sosiologi lingkungan,
mata pencarian
dan kelas mereka (Habil dan Qabil).14
Kedua anak Adam adalah manusia biasa
dan alami, tapi mereka saling bermusuhan. Yang satu membunuh
yang lain, maka
bermulalah sejarah kemanusiaan. Pertarungan Adam bersifat
subjektif, batiniah
dan berlangsung dalam esensinya sendiri. Namun, pertarungan
antara kedua
11
Ibid, h. 156-157. 12
Ibid, h. 157. 13
Ali Shariati, On the Sociology of Islam, h. 108. 14
Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought,op.cit,
h.157.
36
putranya bersifat objektif, berlangsung dalam kehidupan yang
lebih lahiriah.
Karena itu, kisah Habil dan Qabil merupakan sumber filsafat
sejarah,
sebagaimana kisah Adam adalah sumber filsafat tentang manusia.
Shariati
mendapatkan bahwa penyebab utama lahirnya kontradiksi dan
polarisasi dalam
sejarah adalah basis material, yakni pekerjaan.
Secara terang benderang diketahui bahwa asal usul Habil dan
Qabil adalah
sama, yakni Adam. Mereka sebangsa, seayah dan seibu. Mereka
pun
sependidikan, seagama. Begitu pula lingkunganya. Masyarakat saat
itu belum
terbentuk, dan keragaman kultural, dan kelompok sosial belum
muncul.15
Menurut
Shariati sejatinya Habil dan Qabil adalah manusia baik-baik
namun karena
pekerjaan mereka itulah yang membedakan, sekaligus menempatkan
mereka pada
status sosial dan ekonomi yang berbeda dan dengan tipe-tipe
kerja, struktur-
struktur produksi, maupun sistem-sistem ekonomi yang saling
kontradiksi.16
Pekerjaan membentuk karakter pribadi kedua anak Adam itu.
Ringkasnya
menurut Shariati, Qabil menjadi jahat ialah system sosial yang
anti manusiawi,
masyarakat kelas, rezim hak milik pribadi yang menumbuhkan
perbudakan dan
pertuanan, dan mengubah manusia menjadi srigala, musang, atau
kambing.
Shariati menyebut Habil sebagai lambang kaum tertindas dan Qabil
sebagai
lambang para penindas. Kelompok yang diwakili Habil adalah
kelompok taklukan
dan tertindas, yaitu rakyat yang sepanjang sejarah dibantai dan
diperbudak oleh
sistem Qabil, sistem hak milik individu yang memperoleh
kemenangan dalam
masyarakat.
15
Ali Shariati, On the Sociology of Islam, h. 102. 16
Ibid, h. 102.
37
Peperangan antara Habil dan Qabil mencerminkan suatu
pertempuran
sejarah abadi yang telah berlangsung pada setiap generasi.
Panji-panji Qabil
senantiasa dikibarkan oleh penguasa, dan hasrat untuk menebus
darah Habil telah
diwarisi oleh generasi keturunanya- rakyat tertindas yang telah
berjuang untuk
keadilan, kemerdekaan, dan kepercayaan teguh pada suatu
perjuangan yang terus
berlanjut pada setiap zaman.17
Dalam On the Sociology of Islam, Shariati berpendapat bahwa
dalam
masyarakat hanya ada dua struktur. Kedua struktur tersebut
adalah struktur Qabil
dan struktur Habil. Lebih lanjut Shariati menjelaskan :
Pada struktur pertama, masyarakat menjadi penentu nasibnya
sendiri,
semua warganya beramal untuk masyarakat dan demi kepentingan
masyarakat. Pada struktur kedua, para peroranganlah yang
menjadi
pemilik dan penentu nasib mereka masing-masing maupun nasib
masyarakat. Namun, di dalam masing-masing struktur tersebut
terdapat
berbagai macam cara produksi, bentuk relasi, alat, sumber dan
barang.
Semua ini merupakan super-struktur.
Bagi Shariati, super-struktur mekanisme ekonomi merupakan
bagian
integral dari super-struktur masyarakat. Contohnya struktur
dengan mekanisme
ekonomi (cara-cara produksi, bentuk-bentuk relasi, alat, sumber
dan barang). Dan
yang Pertama dimana perubahan pada mekanisme ekonomi tidak serta
merta
merubah struktur masyarakat. Kedua, kategori pembeda struktur
Habil dan
struktur Qabil secara implisit dimana Ali Shariati membedakanya
bahwa
kebebasan individu memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya
sendiri, dan
kepentingan yang diperjuangkan. Pada struktur Habil, individu
memiliki
17
M. Deden Ridwan, Melawan Hegemoni Barat Ali Syariati dalam
Sorotan Cendekiawan
Indonesia, (PT Lentera Basritama : Jakarta, 1999), h. 109.
38
kebebasan untuk menentukan garis nasibnya sendiri, dan semua
individu tersebut
mengabdi demi kepentingan masyarakat.
Dalam struktur qabil tidak semua individu memiliki kebebasan
menentukan
nasibnya sendiri. Porsi besar kebebasan dimiliki oleh para
pemilik, baik pemilik
kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi maupun kekuasaan relijius.
Nasib
masyarakat ditentukan oleh kelompok pemilik tersebut. Seluruh
tindak tanduk
para pemilik tersebut pertama-tama tidak diabadikan demi
kepentingan
masyarakat tapi demi kepentingan pribadi dan kelompok pemilik
tersebut.
Setelah pemaparan tentang individu pembahasan bergeser pada
pemikiran
tentang masyarakat ideal menurut Shariati. Nampaknya, Shariati
mencoba
merekonstruksi suatu prototype masyarakat yang Shariati
idam-idamkan dan cita-
citakan. Menurut Shariati masyarakat adalah suatu kumpulan
pola-pola,
hubungan- hubungan, berbagai tradisi, hak-hak individual dan
publik yang
terorganisir, yang dilestarikan sepanjang masa. Dari definisi
sederhana ini, ada
tiga hal penting yang menjadi syarat suatu masyarakat, yaitu :
pertama,
masyarakat merupakan kumpulan yang terorganisir. Kumpulan
tersebut bukan
hanya mencakup individu-individu yang saling menggabungkan diri,
namun
menyangkut juga pola-pola, relasi-relasi antar anggotanya maupun
tradisi-tradisi
yang dikembangkan serta hak-hak individu dan hak-hak sosial.
Kedua, dalam
masyarakat, ada dua hak yang harus diakui, yaitu hak individual
dan hak sosial.
Masyarakat menyediakan tempat yang seimbang untuk ruang pribadi
(private) dan
ruang umum (public). Ketiga, kedua hal diatas dilanggengkan
serta dipertahankan
39
eksistensinya sepanjang waktu. Demikian pandangan Ali Shariati
tentang
masyarakat secara umum.
Seorang pengkaji barat yang memilih spesialisasi di bidang studi
Islam,
Montgomery Watt, telah melakukan kajian terhadap istilah ummah.
Kajian itu
Shariati jadikan landasan bagi kajiannya dengan menganalisa
secara sosiologis.
Hanya saja Shariati berpijak pada satu landasan yang menganggap
bahwa istilah
Ummah dan Imamah itu mempunyai asal yang sama.18
Kesamaan tersebut dapat
mencakup makna dalam bentuknya yang tidak terbatas. Bertolak
dari situ, Shariati
memulai urainnya tentang Imamah.
Pemilihan terhadap nama tertentu. Dapat dipastikan menunjukkan
adanya
maksud untuk sebuah istilah seperti penamaan pada anak. Semua
itu
mengharuskan kita untuk menaruh perhatian terhadap bentuk-bentuk
yang amat
unik dalam nama dan istilah-istila, khususnya bila yang ada di
depan kita adalah
suatu kajian sosiologis. Sosiologis khusunya kajian sosiologis
ilmiah terhadap
sejarah kebudayaan, akidah dan ilmu sosial yang telah dikenal
selama ini, sangat
memerlukan filologi- terutama yang berkaitan dengan
prinsip-prinsip bahasa dan
sejenisnya serta pengrtahuan mengenai perkembangan, kemerosostan
dan
lenyapnya suatu bahasa. Sebab dengan melakukan analisis terhadap
suatu kata.19
Montgomery Watt menekankan kajianya pada masalah berikut ini
:
18
Shariati menggambarkan bahwa kita Ummi, yang dijadikan predikat
untuk Nabi saw.
Yang demikian jelas dan positif, memiliki akar yang sama dengan
dua kata sebelumnya. 19
Ali Syariati, Ummah dan Imamah suatu Tinjauan
Sosiologis,(Pustaka Hidayah : Jakarta,
1989), h. 45-46.
40
Umat manusia, di sepanjang sejarah dan diberbagai wilayah
geografis,
hidup berkelompok. Nama-nama yang dipilih oleh kita manusia
untuk menyebut
komunitas-komunitas serupa itu akan mampu menyingkapkan
pandangan dan
konsepsi kelompok-kelompok tersebut terhadap kehidupan sosial
dan konsep-
konsep terapannya yang mereka setujui bersama. Baiklah untuk
contoh nama
nama yang digunakan secara nyata dalam bahasa-bahasa Eropa,
Arab, dan Persia
yang member arti tentang sekelompok orang, berikut kandungan
arti kebahasaan
yang ada pada masing-masing nama tersebut. Kemudian disoroti
dengan asas
kebahasaan pula untuk memperjelas istilah Ummah yang terdapat
dalam Islam.
1. Nation, akar katanya adalah naiter, artinya bangsa. Dengan
begitu,
pemilik-pemilik nama tersebut menganggap bahwa sifat dasar
dan
pengikat alamiah yang sacral dan real yang mengikat
individu-individu
dalam masyarakat yang satu, adalah kekerabatan, ras, dan
kesamaan
keturunan.
Dari sudut pandang mereka, sifat-sifat dasar tersebut dianggap
sebagai
pengikat paling sacral yang menghimpun semua anak bangsa. Di
saat
orang-orang Eropa memilih istilah nation dan nationalism,
mereka
mengukuhkan ikatan keturunan mereka, yang terus berlangsung
hingga
sekarang. Di sini kita bisa melihat bahwa konsep tersebut
merupakan
esensi pandangan hidup kesukuan, yang di dalamnya suatu
kabilah
mempersatukan anggota- anggotanya melalui ikatan keturunan
mereka
pada satu moyang, misalnya Bani Tamim, Bani Ummayah, Bani
Najjar,
dan lainya.
41
2. Qabillah istilah ini telah berusia sangat tua sekali, bahkan
lebih tua
dibandingkan istilah Nation. Kabilah merupakan kumpulan individu
yang
memiliki tujuan yang sama yang bernaung dibawah kabilah itu.
Unsur
paling kuat yang mempersatukan individu-individu dalam
masyarakat
seperti ini adalah kesamaan tujuan, yakni suatu cita-cita yang
dengan itu
mereka menjadi bersatu. Setiap kabilah memang mempunyai
unsur-unsur
pemersatu, seperti tempat tinggal yang tepat. Dengan demikian,
kabilah
adalah kumpulan individu yang memiliki tujuan yang sama.
3. Qoum. Pada tipe masyarakat seperti ini, kehidupan di bangun
atas dasar
penyelenggaraan fungsi-fungsi secara bersama-sama antara
individu-
individu. Artinya, individu- individu yang menjadi anggota kaum
itu
adalah sekelompok orang yang menghuni suatu wilayah tertentu
dan
secara bersama-sama melaksanakan tugas-tugas mereka.
4. Syab. Istilah syab, syubah, dan insyiab, seluruhnya mengacu
pada akar
kata yang sama. Dengan itu dimaksudkan bahwa bangsa manusia di
planet
bumi ini terbagi-bagi dalam berbagai cabang (syubah), dan setiap
cabang
merupakan satu bangsa tersendiri. Artinya, mereka memisahkan
diri dalam
berbagai kelompok, dan kelompok itu merupakan cabang dari
kumpulan
manusia.
5. Thabaqah (kelas), adalah sekumpulan manusia yang memiliki
langgam
hidup, institusi, profesi dan penghasilan yang sama dan
setingkat. Orang-
orang itu kemudian membentuk elit atau kelas tertentu.
Individu-individu
yang menempati lapisan sama. Mempunyai kesamaan dalam corak
kerja
42
dan kehidupan, lalu menguasai kendali sosial dan
sumber-sumber
kekayaan. Mereka ini membentuk institusi dan kelompok yang
dikenal
dengan sebutan sociale classe (social class). Dengan demikian,
keterkaitan
sumber penghasilan, dan gaya hidup, khususnya dalam status dan
posisi
sosial mereka.
6. Mujtama atau jamaah. Istilah ini sekarang berlaku di
kalangan
masyarakat umum, seperti halnya pula ia berlaku dalam dunia
keilmuan.
society atau jamaah, baik yang berlaku di kalangan kita maupun
kalangan
Eropa, merupakan kumpulan manusia yang ada di suatu tempat.
Berdasar
itu, maka unsur paling penting dan asas utama yang menjadi
pengikat
masyarakat tipe ini adalah berkumpulnya anak-anak manusia di
tempat
yang sama.
7. Thaifah (kelompok), adalah sekumpulan orang yang berada di
sekitar
tempat tertentu. Di suatu padang pasir, misalnya terdapat
kelompok-
kelompok yang masing-masing menempati sekitar mata air yang
lazimnya
tempat mereka berkumpul.
8. Race (ras) adalah kumpulan individu-individu yang memiliki
cirri-ciri
biologis yang sama, misalnya warna kulit, keturunan, dan bentuk
tubuh.
9. Mass (massa), adalah sekelompok orang. Yakni sekolompok
individu yang
tersebar di suatu tempat.
10. People (rakyat), adalah kumpulan manusia yang menempati
bagian
tertentu dunia ini dan menganggapnya sebagai tanahn airny.
Kebalikan
43
dari people adalah group yang berarti jamaah, partai,
klan(clan), dan
suku.20
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa Shariati tidak memakai
istilah-
istilah diatas untuk mengekspresikan pemikiranya tentang
masyarakat ideal.
Baginya, istilah Ummah lebih cocok digunakan untuk mewakili
konsep
masyarakat menurut Islam.
Secara istilahi, Shariati merumuskan definisi konsep Ummah.
Dalam On the
Sosiology of Islam, Shariati mendefinisikan Ummah sebagai: Ummat
adalah suatu
kumpulan masyarakat di mana sejumlah perorangan yang mempunyai
keyakinan
dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan
maksud untuk
bergerak maju kearah tujuan bersama.21
Dalam Ummah wa Imamah, Shariati merumuskan Ummah sebagai:
Kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama,
yang
satu sama lain saling bahu- membahu agar bisa bergerak menuju
tujuan
yang mereka cita-citakan, berdasarkan suatu kepemimpinan
kolektif.22
B. Konsepsi Kepemimpinan dalam Kategori Sosial menurut Ali
Shariati
Ali Shariati mempunyai pandangan yang berbeda dengan Imam
Khomaeni
tentang konsep kunci kepemimpinan. Jika Khomaeni menempatkan
kaum ulama
sebagai otoritas tertinggi dalam bidang politik maupun
agama,23
maka Shariati
menolak dominasi politik kaum ulama, dan sebaliknya menempatkan
kaum
20
Ibid,h.47-48. 21
Ali Shariati, On the Sociology of Islam,h.119. 22
Ali Syariati, Ummah dan Imamah,h.52. 23
Konsep kepemimpinan menurut Imam Khomaeni tertuang gagasanya
tentang Wilayah al-
Faqih. Lihat Zainuddin dan M. Hamdan Basyar, Syiah dan Politik
di Indonesia: sebuah penelitian
(Bandung: Mizan,2000), h. 61.
44
intelektual yang tercerahkan (rausyanfikr), sebagai pemegang
otoritas
kekuasaan politik. Sebagaimana diungkap John L. Esposito,
Khomeini, dalam
Revolusi Islam Iran, lebih berperan sebagai pemimpin revolusi,
sedangkan
perumus dan penyedia ideologi revolusinya sendiri adalah Ali
Shariati, bahkan
menurut Nikki R. Keddie, Ali Shariati-lah yang telah sangat
mempersiapkan
(secara ideologis) orang muda Iran untuk perjuangan revolusioner
itu.24
Sebagaimana halnya dengan istilah ummah, di sini istilah
imamah
menampakkan diri dalam bentuk sikap sempurna, di mana seseorang
dipilih
sebagai kekuatan penstabilan dan pendinamisan massa.
Penstabilan: dalam konsep ini, adalah menguasai massa sehingga
berada
dalam stabilitas dan ketenangan, dan kemudian melindungi mereka
dari ancaman,
penyakit, dan bahaya.
Pendinamisan: dalam konsep ini , berkenaan dengan asas kemajuan
dan
perubahan ideologis, sosial, dan keyakinan, serta menggiring
massa dan
pemikiran mereka menuju bentuk ideal.
Hal ini lebih mendapatkan tekanan. Dengan demikian, imamah
bukanlah
lembaga yang anggota anggotanya menikmati kenyamanan dan
kebahagiaan
yang mapan, dan bukan pula lembaga yang melepaskan diri dari
kepemimpinan
dan tanggung jawab, dari persoalan kesejahteraan umat, serta
bukan suatu bentuk
kehidupan yang tanpa tujuan.25
Sementara itu Pemimpin atau Imam tidaklah
bertujuan sekedar melindungi umat dan Syiar mereka dengan
kebebasan yang
24
Nikki R. Keddie, Roots of Revolution: An Interpretative History
of Modern Iran, (Yale
University Press, 1981), h. 78-79. 25
Ali Syariati, Ummah dan Imamah suatu Tinjauan
Sosiologis,(Pustaka Hidayah : Jakarta,
1989), h. 63.
45
antagonistik. Namun, ketika individu menyatakan dirinya sebagai
bagian dari
ummah, maka keterikatannya (kepada ummah) itu mesti menjadi
pemandu
jalanya. Sebab, pergerakan dalam inti istilah adalah ummah itu
sendiri. Tambahan
pula, kehidupan individu dalam suatu umat bukanlah kehidupan
yang lepas bebas,
tetapi merupakan kehidupan dengan kewajiban dan tanggung jawab,
sebagaimana
halnya pula bahwa individu, terlepas dari pengertiannya sebagai
pertumbuhan
organism uma