Top Banner
KELOMPOK 4 MATA KULIAH ASPEK PSIKOSOSIAL PENGARUH SOSIAL EKONOMI DAN GENDER TERHADAP FERTILITAS NAMA : Diyan Reni Jayathi 1506785955 Marella 1506705273 Puri Kresnawati 1506786806 Siti Fatimah 1506786983 Yaneu Nuraineu 1506787166 1. SOSIAL EKONOMI BERPENGARUH TERHADAP FERTILITAS A. Sosial Ekonomi Menurut Sajogyo dan Pujawati (2002) dalam Raka (2012) status sosial ekonomi keluarga dapat diukur melalui tingkat pendidikan, perbaikan lapangan pekerjaan, dan tingkat penghasilan keluarga. Indikator status sosial adalah kasta, umur, pendidikan, status perkawinan, aspirasi pendidikan, partisipasi sosial, hubungan organisasi pembangunan, kepemilikan lahan, pemilikan sarana pertanian, serta penghasilan sebelumnya. Selain itu, Melly G. Tan dalam Raka (2012) status sosial ekonomi seseorang diukur lewat pekerjaan, pendidikan dan pendapatan. Arsene Dumont, seorang ahli demografis bangsa Prancis dengan teorinya kapilaritas sosial (Theory of Social Capillarity) berpatokan kepada keinginan seseorang untuk mencapai kedudukan yang tinggi di masyarakat. Teori kapilaritas sosial dapat 1
20

Gender

Jul 09, 2016

Download

Documents

Puri Kresnawati

gender
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Gender

KELOMPOK 4 MATA KULIAH ASPEK PSIKOSOSIAL

PENGARUH SOSIAL EKONOMI DAN GENDER TERHADAP FERTILITAS

NAMA :

Diyan Reni Jayathi 1506785955

Marella 1506705273

Puri Kresnawati 1506786806

Siti Fatimah 1506786983

Yaneu Nuraineu 1506787166

1. SOSIAL EKONOMI BERPENGARUH TERHADAP FERTILITAS

A. Sosial Ekonomi

Menurut Sajogyo dan Pujawati (2002) dalam Raka (2012) status sosial ekonomi

keluarga dapat diukur melalui tingkat pendidikan, perbaikan lapangan pekerjaan, dan tingkat

penghasilan keluarga. Indikator status sosial adalah kasta, umur, pendidikan, status

perkawinan, aspirasi pendidikan, partisipasi sosial, hubungan organisasi pembangunan,

kepemilikan lahan, pemilikan sarana pertanian, serta penghasilan sebelumnya. Selain itu,

Melly G. Tan dalam Raka (2012) status sosial ekonomi seseorang diukur lewat pekerjaan,

pendidikan dan pendapatan.

Arsene Dumont, seorang ahli demografis bangsa Prancis dengan teorinya kapilaritas

sosial (Theory of Social Capillarity) berpatokan kepada keinginan seseorang untuk mencapai

kedudukan yang tinggi di masyarakat. Teori kapilaritas sosial dapat berkembang dengan baik

di negara demokrasi karena setiap individunya memiliki kebebasan untuk mendapatkan

kedudukan yang tinggi di masyarakat. Adanya kebebasan untuk mencapai kedudukan yang

tinggi di masyarakat, maka orang-orang akan berlomba-lomba untuk mencapai kedudukan

tersebut dan sebagai akibatnya angka kelahiran akan turun dengan cepat (Mantra, 2000:58).

John Stuart Mill, seorang ahli filsafat dan ahli ekonomi bangsa Inggris berpendapat bahwa

situasi tertentu manusia dapat mempengaruhi prilaku demografinya. Apabila produktivitas

manusia tinggi maka ia akan cenderung memiliki keluarga yang kecil. Jadi, taraf hidup

merupakan determinan dari fertilitas dan tinggi rendahnya fertilitas di tentukan oleh manusia

itu sendiri. Memperhatikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kelahiran ditentukan oleh

1

Page 2: Gender

manusia itu sendiri, maka Mill menyarankan untuk meningkatkan tingkat golongan yang

tidak mampu dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan. (Mantra, 2000:57).

B. Fertilitas di Indonesia

Fertilitas merupakan kemampuan berproduksi yang sebenarnya dari penduduk (actual

reproduction performance). Atau jumlah kelahiran hidup yang dimiliki oleh seorang atau

sekelompok perempuan. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut banyaknya bayi yang

lahir hidup. Fertilitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan penduduk.

Di negara maju, jumlah penduduk yang besar disertai dengan peningkatan kualitas

sumber daya manusia yang tinggi. Sedangkan di negara sedang berkembang jumlah

penduduk yang besar secara kuantitatif tidak disertai dengan kualitas yang memadai. Ini

mengakibatkan penduduk menjadi beban pembangunan di segala aspek baik pembangunan

secara ekonomi dan pembangunan secara sosial. Suatu bangsa yang tidak mampu

mengembangkan ketrampilan, ilmu pengetahuan bangsanya dan tidak mampu

menggunakannya secara efektif dalam perekonomian nasional akan berdampak terhadap

pembangunan yang tanpa makna (Todaro,2000: 405).

Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang dengan jumlah

penduduk dan laju pertumbuhan yang besar. Yaitu pada tahun 1971 sebesar 119.208.000 jiwa

(SP71, BPS) dan tahun 2025 sebesar 273.219.000 jiwa (Hasil Proyeksi BPS Indonesia tahun

2025). Dan laju pertumbuhan Indonesia yaitu antara tahun 1971–1980 : 2,32 persen; pada

tahun 1980-1990 : 1,98 persen; ditahun 1990–2000: 1,66 persen; 1,34 persen tahun 2000–

2005; tahun 2005-2010 :1,27 persen; dan tahun 2020-2025 : 0,92 persen. Jumlah penduduk

yang besar dengan laju pertumbuhannya yang tinggi akan menghambat usaha peningkatan

dan pemerataan kesejateraan rakyat di berbagai bidang kehidupan.

Menurut Menteri Lingkungan Hidup tahun 1998 tingginya jumlah penduduk

mengakibatkan rendahnya taraf kehidupan penduduk serta ketidak mampuan pemerintah

menangulanginya, tingginya angka pengangguran, meningkatnya jumlah kemiskinan,

rendahnya kualitas kesehatan dan pendidikan penduduk (BPS, 2005: 78). Ada tiga penyebab

yang mempengaruhi perkembangan jumlah penduduk yaitu, fertilitas (kelahiran), Mortalitas

(kematian) dan Migrasi (BPS,2005). Dari ketiga faktor tersebut, selama ini hanya faktor

fertilitas yang menjadi permasalahan yang utama dalam hal kependudukan. Secara nasional

pertambahan penduduk Indonesia hanya dipengaruhi oleh selisih antara tingkat kelahiran

dengan tingkat kematian (Singarimbun dan Sofian,2005: 1). Untuk itu sejak tahun 1968

2

Page 3: Gender

pemerintah mendirikan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), yang dalam

menjalankan tugasnya diawasi dan dibimbing oleh Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat,

yang berfungsi untuk dapat menekan angka kelahiran melalui program keluarga berencana,

yang merupakan bagian dari program pembangunan nasional. Program ini sengaja

dicanangkan dengan harapan pertumbuhan penduduk akibat dari faktor kelahiran atau

fertilitas dari tahun ketahun dapat diturunkan, (BPS,2012).

C. Pengaruh sosial ekonomi terhadap fertilitas

Pandangan bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap

fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar pemikiran utama dari teori ‘transisi demografis’

yang sudah terkenal luas adalah bahwa sejalan dengan diadakannya pembangunan sosial-

ekonomi, maka fertilitas lebih merupakan suatu proses ekonomis dari pada proses biologis.

Berbagai metode pengendalian fertilitas seperti penundaan perkawinan, senggama terputus

dan kontrasepsi dapat digunakan oleh pasangan suami isteri yang tidak menginginkan

mempunyai keluarga besar, dengan anggapan bahwa mempunyai banyak anak berarti

memikul beban ekonomis dan menghambat peningkatan kesejahteraan sosial dan material.

Bahkan sejak awal pertengahan abad ini, sudah diterima secara umum bahwa hal inilah yang

menyebabkan penurunan fertilitas di Eropa Barat dan Utara dalam abad 19. Leibenstein dapat

dikatakan sebagai peletak dasar dari apa yang dikenal dengan “teori ekonomi tentang

fertilitas”.

Menurut Leibenstein anak dilihat dari dua aspek yaitu aspek kegunaannya (utility) dan

aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah memberikan kepuasaan, dapat memberikan balas

jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang

dapat menghidupi orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan

anak adalah biaya dari mempunyai anak tersebut. Biaya memiliki tambahan seoarang anak

dapat dibedakan atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Yang dimaksud biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan dalam memelihara anak seperti memenuhi

kebutuhan sandang dan pangan anak sampai ia dapat berdiri sendiri. Yang dimaksud biaya

tidak langsung adalah kesempatan yang hilang karena adanya tambahan seoarang anak.

Misalnya, seoarang ibu tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak, kehilangan

penghasilan selama masa hamil, atau berkurangnya mobilitas orang tua yang mempunyai

tanggungan keluarga besar (Leibenstein, 1958).

3

Page 4: Gender

Menurut Leibenstein, apabila ada kenaikan pendapatan maka aspirasi orang tua akan

berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biayanya naik.

Pengembangan lebih lanjut tentang ekonomi fertiitas dilakukan oleh Gary S. Becker dengan

artikelnya yang cukup terkenal yaitu “An Economic Analysis of Fertility”. Menurut Becker

anak dari sisi ekonomi pada dasarnya dapat dianggap sebagai barang konsumsi (a

consumption good, consumer’s durable) yang memberikan suatu kepuasan (utility) tertentu

bagi orang tua. Bagi banyak orang tua, anak merupakan sumber pendapatan dan kepuasan

(satisfaction). Secara ekonomi fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, biaya

memiliki anak dan selera. Meningkatnya pendapatan (income) dapat meningkatkan

permintaan terhadap anak. Karya Becker kemudian berkembang terus antara lain dengan

terbitanya buku A Treatise on the Family.

Perkembangan selanjutnya analisis ekonomi fertilitas tersebut kemudian membentuk

teori baru yang disebut sebagai ekonomi rumah tangga (household economics). Analisis

ekonomi fertilitas yang dilakukan oleh Becker kemudian diikuti pula oleh beberapa ahli lain

seperti Paul T. Schultz, Mark Nerlove, Robert J. Willis dan sebagainya. Dalam tulisannya

yang berjudul Economic growth and population:

Perspective of the new home economics6 Nerlove mengemukakan:

“Ekonomi rumah tangga terdiri dari empat unsur utama, yaitu (a) suatu fungsi kegunaan.

Yang dimaksud kegunaan disini bukanlah dalam arti komoditi fisik melainkan berbagai

kepuasan yang dihasilkan rumah tangga; (b) suatu teknologi produksi rumah tangga; (c)

suatu lingkungan pasar tenaga kerja yang menyediakan sarana untuk merubah sumber-

sumber daya rumah tangga menjadi komoditi pasar; dan (d) sejumlah keterbatasan sumber-

sumber daya rumah tangga yang terdiri dari harta warisan dan waktu yang tersedia bagi

setiap anggota rumah tangga untuk melakukan produksi rumah tangga dan kegiatankegiatan

pasar. Waktu yang tersedia dapat berbeda-beda kualitasnya, dan dalam hal ini tentunya

termasuk juga sumberdaya manusia (human capital) yang diwariskan dan investasi

sumberdaya manusia dilakukan oleh suatu generasi baik untuk kepentingan tingkah laku

generasi-generasi yang akan datang maupun untuk kepentingan tingkah laku sendiri”

Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak berkurang bila

pendapatan meningkat; yakni apa yang menyebabkan harga pelayanan anak berkaitan

dengan pelayanan komoditi lainnya meningkat jika pendapatan meningkat? New household

economics berpendapat bahwa:

4

Page 5: Gender

(a) orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam jumlah

yang hanya sedikit sehingga “harga beli” meningkat;

(b) bila pendapatan dan pendidikan meningkat makan semakin banyak waktu (khususnya

waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal.

JURNAL YANG MENDUKUNG SOSIAL EKONOMI BERPENGARUH TERHADAP

FERTILITAS

Hasil penelitian :

Dari hasil penelitia n didapatkan secara persentase mayoritas rumahtangga wanita kawin/

pernah kawin di Provinsi Aceh berpendapatan kurang Rp 1.000.000,-; yaitu 98,57 persen dan

hanya 1,06 persen berpendapatan diatas Rp.1.000.000,-. Data tersebut juga menunjukan

bahwa semakin besar pendapatan rumahtangga maka persentase wanita kawin/ pernah kawin

semakin kecil persentase rumahtangga yang memiliki anak lebih dari dua orang.

Rumahtangga yang memiliki anak kurang dari dua orang mempunyai pola persentase tak jauh

berbeda dengan dengan rumahtangga yang memiliki anak lebih dari dua

SURVEY BESAR SOSIAL EKONOMI BERPENGARUH TERHADAP FERTILITAS

5

Page 6: Gender

6

Page 7: Gender

D. Gender

Gender adalah sifat melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh

faktor soaial atau budaya sehingga menghasilkan pandangan berbeda mengenai perbedaan

peran antara laki-laki dan perempuan. Bentuk sosial yang mucul adalah pandangan bahwa

perempuan sebagai makhluk lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sedangkan

laki-laki dianggap sebagai makhluk kuat, rasiona;, jantan dan perkasa. Gender merupakan

suatu konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan

peran bukan berdasarkan perbedaan biologis, tetapi dipisahkan menurut kedudukan,

fungsi, dan peran masing-masing di dalam kehidupan

Dalam memperjelas konsep seks dan gender, Unger (dalam Handayani, 2006)

membedakannya menjadi :

1. Sumber pembeda

Seks bersumber kepada Tuhan (Kodrati) yang sudah dibawa sejak lahir, sedangkan

pembeda gender ada manusia (masyarakat).

2. Visi dan misi

Visi dan misi seks adalah kesetaraan, sedangkan gender adalah kebiasaan

3. Unsur pembeda

Unsur pembeda pada seks adalah alat reproduksi (biologis), sedangkan gender adalah

kebudayaan (tingkah laku)

4. Sifat

Seks bersifat kodrat, tertentu dan tidak dapat dipertukarkan. Sedangkan gender

bersifar harkat, martabat dan dapat dipertukarkan.

5. Dampak

Seks membawa dampat terciptanya nilai kesempurnaan, kenikmata, kedamaian, dan

sebagainya sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan gender

membawa dampak terciptanya ketentuan tentang “pantas” atau “tidak pantas”,

misalnya laki-laki pantas menjadi pemimpin dan perempuan pantas dipimpin.

Sehingga sering merugikan salah satu pihak, yaitu perempuan.

6. Keberlakuan

Seks berlaku sepanjang masa dan dimana saja, serta tidak mengenaal pembedaan

kelas. Sedangkan gender dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas.

7

Page 8: Gender

E. Kedudukan Perempuan dari Berbagai Sudut Pandang

1. Perspektif Ekonomi

Charlotter P. Gilman dalam tulisannya berjudul Women and Econimic mengatakan

bahwa apabila seorang perempuan secara ekonomi dominan terhadap laki-laki, maka

ia dapat memegang kedudukan yang superior terhadap laki-laki. Saat laki-laki mulai

memberi makan dan melindungi perempuan, maka secara proporsional perempuan

akan berhenti memberi makan dan melindungi dirinya sendiri.

2. Perspektif Politis

Seorang perempuan tidak mempunyai kebebasan secara ekonomi karena masih

tergantung dengan suaminya. Hal tersebut membuat perempuan tidak memiliki

kendali atas properti dan alat produksi sehingga perempuan tidak memiliki akses

untuk berpartisipasi dalam ranah politik.

3. Perspektif Budaya

Pembagian peran laki-lai dan perempuan ditentukan oleh apa yang disebut

“biogrammar”, susunan hayati. Menurut teori ini laki-laki cenderung agresif dan

dominan apabila dibanding dengan perempuan. Biogrommar mengalami penyesuaian

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berburu, termasuk di dalamnya

pembagian kerja berdasarkan karakteristik seksual.

F. Pengaruh Gender Terhadap Fertilitas

Pengaruh Gender Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan

diantaranya Menikah pada usia muda bagi perempuan berdampak negatif terhadap

kesehatannya. Namun menikah di usia muda kebanyakan bukanlah keputusan mereka,

melainkan karena ketidakberdayaannya (isu gender). Di beberapa tempat di Indonesia,

kawin muda dianggap sebagai takdir yang tak bisa ditolak. Perempuan tidak berdaya untuk

memutuskan kawin dan dengan siapa mereka akan menikah. Keputusan pada umumnya

ada di tangan laki-laki; ayah ataupun keluarga laki-laki lainnya.

Kelahiran seorang anak dimulai dengan sebuah proses pengambilan keputusan dalam

keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan (desird fertility). Pengambilan keputusan

ini bisa dilakukan oleh istri atau suami saja atau bersama-sama. Selain itu terdapat juga

pengaturan jumlah anak yang didasari oleh program KB (Keluarga Berencana) untuk

membatasi jumlah anak yang dimiliki. Semakin mudah dan murah akses keluarga terhadap

sarana dan prasarana kontrasepsi maka akan semakin mungkin jumlah anak yang

dilahirkan (actual fertility) mendekati jumlah anak yang diinginkan (desired fertility).

8

Page 9: Gender

Sebaliknya jika aksses keluarga terhadap sarana dan prasarana semakin sulit dan mahal

maka actual fertility akan semakin besar dan tidak sesuai dengan yang diinginkan

Relasi gender merupakan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan yang

dibentuk secara sosial dan budaya dalam melakukan segala hal. Hubungan gender berbeda

dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, akibat

perbedaan suku, agama, status sosial maupun nilai (tradisi dan norma yang dianut). Dalam

relasi ini kemudian muncul upaya kesetaraan gender ketika ternyata dalam relasi ini ada

fakta bahwa dalam lingkungan dan budaya tertentu belum terjadi kesetaraan gender.

Semakin harmonis relasi gender tersebut maka semakin kuat pengaruhnya terhadap

fertilitas. Dalam konteks seksualitas dan reproduksi yang sehat, relasi gender yang

harmonis, menggambarkan suatu sifat saling membantu, saling memahami, menghargai,

dan menghormati antara laki-laki dan perempuan (Hatmadji, Sri Harijati, 2003)

Hubungan yang terjadi antara suami dan istri yang tercermin dalam relasi gender

didalam keluarga merupakan konstruksi dari nilai dan norma sosial budaya dalam lingkup

komuitas. Menurut Riley (1997) semakin kecil perbedaan peran gender anatar laki-laki

dan perempuan dalam masyarakat, perempuan dapat memperoleh status dan kuasa di

masyarakat dan memiliki kontrol terhadap aspek reproduksinya. Saat perempuan memiliki

otonomi lebih besar, kesehatan ibu dan anak semakin meningkat, fertilitas dan kematian

anak menurun dan pertumbuhan penduduk akan lebih lambat.

Hakim et al (2003) menggunakan survey fertilitas dan keluarga berencana di Pakistan

pada tahun 1996-1997, menyimpulkan bahwa terdapat tiga indikator utama otonomi

perempuan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap penggunaan kontrasepsi, yaitu :

1. Mobilitas spesial

2. Pengambilan keputusan mengenai perawatan anak

3. Pengambilan keputusan mengenai pembelian makanan

Dalam studinya dikatakan bahwa semakin tinggi kontrol perempuan dalam

pengambilan keputusan mengenai pembelian makanan, maa dapat berpengaruh

terhadpa indikator lain. Ketiga indikator tersebut digunakan sejalan dengan penelitian

yang pernah dilakukan oleh peneliti lain di lima negara Asia.

9

Page 10: Gender

Pada abad 20, terjadi revolusi dalam tingkat kesetaraan gender pada masing-masing

negara, terutama negara-negara maju. Pada awalnya dimulai dari titik dimana perempuan

memiliki sedikit atau tidak ada keadilan dalam bidang pendidikan, pasar kerja. Masa

tersebut berakhir pada saat ini, tingkat keadilan terhadap perempuan cukup tinggi apalagi

dalam bidang pasar kerja.

Selain itu, saat ini kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih

tinggi semakin terbuka, sehingga menyebabkan banyak perempuan yang menunda

perkawinan. Banyak wanita saat ini menghabiskan waktunya untuk pendidikan. Selain itu

wanita dengan pendidikan tinggi cenderung memilih untuk melanjutkan karir mereka

terlebih dahulu sebelum memasuki masa perkawinan. Pendidikan yang saat ini diperoleh

oleh wanita secara luas, akan berdampak terhadap pengetahuan yang mereka miliki

terutama mengenai fertilitas (Yuniarti S, 2011).

10

Page 11: Gender

Terdapat penelitian yang pernah dilakukan oleh Mason dan Smith (1999) yang

menekankan terhadap indikator pada level individu yang mempunyai pengaruh lebih

lemah dibandingkan dengan indikator pada tingkat sosial atau komunitas. Mason dan

Smith juga menekankan pentingnya untuk secara bersama-sama mengubah norma gender

di level komunitas dan meningkatkan aspek individual perempuan seperti peningkatan

usia kawin dan pendidikan dan kesempatan kerja dalam upaya pemberdayaan perempuan

untuk meningkatkan statusnya dalam relasi gender. Dalam upaya melihat indikator

keterbedayaan perempuan, Mason dan Smith berdasarkan hasil penelitiannya di 56

komunitas di lima negara Asia (Pakistan, India, Malaysia, Thailand, dan Filipina)

merumuskan lima aspek :

1. Kuasa perempuan dalam pembuatan keputusan ekonomi- apakah mereka

berpartisipasi dalam keputusa-keputusan ekonomi yang besar dalam keluarga dan

apakah mereka memiliki kebebesan dalam membuat keputusan ekonomi yang lebih

kecil tanpa harus bertanya ke anggota keluarga lain?

2. Kebebasan perempuan dalam pembuatan keputusan terkait ukuran keluarga – apakah

mereka berpartisipasi atau ikut mengontrol keputusan mengenai jumlah anak yang

dimiliki.

3. Kebebasan perempuan untuk melakukan mobilitas fisik – dapatkah mereka

mengunjungi tempat-tempat misalnya pasar lokal, layanan kesehatan atau taman di

luar desa tanpa harus bertanya terlebih dahulu kepada anggota keluarga lain.

4. Kontrol suami terhadap istri melalui intimidasi dan paksaan – apakah mereka takut

untuk tidak setuju dengan pendapat suami karena khawatir suami akan marah, dan

apakah suami pernah memukul mereka.

5. Menulusuri hubungan gender dan fertilitas, yaitu dengan melihat tingkat gender di

level komunitas yang dipahami oleh individu

11

Page 12: Gender

Hasil yang didapatkan adalah semakin perempuan mempunyai kuasa dalam

pengambilan keputusan yang lebih besar dan kebebasan bergerakm mereka memilih

actual fertility yang lebih rendah, keinginan yang lebih rendah untuk menambah anak, dan

penggunaan kontrasepsi yang lebih tinggi. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Hakim et al (2003) di Pakistan yang mengemukakan

bahwa indikator otonomi perempuan sebagaimana yang digunakan oleh Maron dan Smith

berkolerasi positif dengan penggunaan kontra spesi. Aspek otonomi perempuan yang

terkuat pengaruhnya terhadap penggunaan kontrasepsi adalah pengambilan keputusan

ekonomi rumah tangga dalam hal pemberlian makanan.

DAFTAR PUSTAKA

12

Page 13: Gender

Biro Pusat Statistik, Estimasi Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi. Hasil Survei

Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995, Seri: S3, Biro Pusat Statistik, Jakarta, 1997

Ghuman, S.J., Lee, H.J. & Smith, H.L., 2004. PSC Research Report. Diakses dari :

http://www.psc.isr.umich.edu/pubs/pdf/rr04-556.pdf

Handayani, Trisakti dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Edisi

Revisi, Cetakan Kedua, UMM Press, Malang, 2006.

Hatmadji, Sri Harijati. 2003. Relasi Gender dan pengaruhnya terhadap fertilitas Warta

Demografi vol. 33 no. 01 (2003), page 7-15.

Diakses dalam https://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=a&id=50695 pada 21

April 2016

Hull, Terence H. & Valerie J. Hull, Hubungan Antara Status Ekonomi dan Fertilitas,

Lembaga Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1976

Nasir , Muhammad . Analisis faktor-faktor ekonomi dan sosial yang mempengaruhi

fertilitas di provinsi aceh. 2012

Riley, N.E. 1997. Gender, Power, and Population Change. Dalam: Population Bulletin

Vol. 52, No. 1, Mei 1997. Diakses dari : http://download.springer.com/static/pdf/837/

Robinson, Warren C. & Sarah F. Harbison, Menuju Teori Fertilitas Terpadu, Pusat

Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,1993

Sari, Melly Selfita Dian. Hubungan Fertilitas Dengan Kondisi-Kondisi Sosial

Ekonomi Masyarkat Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan Jurusan Pendidikan

Geografi FIS Universitas Negeri Malang. Pembimbing I Drs. Djoko Soelistijo, M.Si.

Pembimbing II Drs. Singgih Susilo, M.Si. 2010.

Yuniarti S, Sukandar H, Susiarni H. (2011). Analisis Faktor yang Berhubungan

dengan Fertilitas Suatu Kajian Literatur. Diakses dari : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-

content/uploads/2013/06/Analisis-Faktor-Yang-Berhubungan-Dengan-Fertilitas.pdf

13

Page 14: Gender

http://demography.anu.edu.au/sites/default/files/publications/pop-futures/genderfert.pdf

14