Top Banner
SKRIPSI MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT Oleh: ADIE MUHAMMAD RAHMAN F24103077 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
96

gelatinisasi tapioka

Jan 04, 2016

Download

Documents

Tri Astuti
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: gelatinisasi tapioka

SKRIPSI

MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG

TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI

PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT

Oleh:

ADIE MUHAMMAD RAHMAN

F24103077

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 2: gelatinisasi tapioka

34

Adie Muhammad Rahman. F24103077. Mempelajari Karakteristik Kimia Dan FisikTepung Tapioka Dan MOCAL (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang PadaProduk Kacang Salut. Di bawah Bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi dan Feri Kusnandar.2007.

Ringkasan

Tepung tapioka merupakan salah satu bahan baku dalam pembuatan penyalut padaproduk kacang salut. Mutu kacang salut yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh sifat ataukarakteritik tepung tapioka yang digunakan, namun belum ada penelitian yangmemberikan informasi tentang sifat atau karakteristik tepung tapioka yang berkaitandengan mutu kacang salut. Dalam penelitian ini, selain tepung tapioka juga digunakanMOCAL (Modified Cassava Flour). MOCAL merupakan produk turunan dari tepungsingkong hasil pengembangan Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian,Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP-UNEJ).

Penelitian bertujuan untuk mempelajari karakteristik kimia dan fisik beberapa sampeltepung tapioka dan MOCAL, kemudian mengkorelasikan karakteritik tersebut dengantingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut.Kemudian menentukan karakteristik yang paling relevan terhadap kerenyahan penyalutserta menentukan sampel yang memberikan kerenyahan tertinggi terhadap penyalut padaproduk kacang salut.

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu analisis sifatkimia dan fisik, yang meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar pati, kadar amilosa,nilai pH, bentuk dan ukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan,serta sifat amilografi, kemudian juga dilakukan analisis tingkat pengembangan papatantepung tapioka (tapioka A, B, C, D, E, dan F) serta MOCAL. Tahap berikutnya yaituaplikasi tepung tapioka dan MOCAL sebagai penyalut pada produk kacang salut.Selanjutnya dilakukan analisis tekstur (kerenyahan) pada semua produk kacang salutyang dihasilkan dari tiap sampel dan mengkorelasikan sifat kimia dan fisik dari sampelyang relevan terhadap kerenyahan penyalut pada kacang salut tersebut.

Hasil analisis menunjukkan karakteristik kimia dan fisik yang berbeda antar sampeltepung tapioka, begitu pula dengan MOCAL. Berdasarkan hasil analisis korelasi,karakteristik yang paling relevan terhadap tingkat pengembangan papatan dankerenyahan penyalut pada kacang salut adalah rasio amilosa dan amilopektin. Sementaraitu, karakteristik lainnya seperti kadar air, kadar abu, kadar pati, nilai pH, bentuk danukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan, serta sifat amilografitidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat pengembangan papatan dan kerenyahanpenyalut pada produk kacang salut.

Korelasi negatif dan nyata terjadi antara tingkat pengembangan papatan maupunkerenyahan rasio amilosa dan amilopektin (P<0.05). Maka dapat disimpulkan bahwasemakin rendah rasio amilosa dan amilopektin, tingkat pengembangan papatan dankerenyahan penyalut akan semakin besar. Tingkat pengembangan papatan dankerenyahan tertinggi dimiliki oleh penyalut yang dihasilkan dari tapioka F, sedangkanyang terendah yaitu pada sample MOCAL. Oleh karena itu MOCAL tidak cocok untukdigunakan sebagai penyalut pada produk kacang salut.

Page 3: gelatinisasi tapioka

35

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG

TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI

PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

ADIE MUHAMMAD RAHMAN

F24103077

Dilahirkan pada tanggal 5 Desember 1985

di Jakarta

Tanggal Lulus: 30 November 2007

Menyetujui,

Bogor, Januari 2008

Dr.Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Dr.Ir. Feri Kusnandar, Msc Rahadi Kusuma, STPDosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Pembimbing Lapang

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Ketua Departemen ITP

Page 4: gelatinisasi tapioka

36

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Desember

1985 sebagai anak ke lima dari delapan bersaudara pasangan

Salamah dan Sunaryo. Penulis mengawali masa pendidikannya

pada tahun 1991 di Sekolah Dasar Negeri Karet 05 Pagi Jakarta

hingga tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan

menengah pertama di SLTP Negeri 58 Jakarta hingga tahun

2000, dan melanjutkan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 3 Jakarta

hingga tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut

Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Selama masa kuliah, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi

kemahasiswaan, diantaranya adalah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu

dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) serta kepanitiaan lainnya seperti Masa

Perkenalan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR 2004), Pelatihan

Web dan Graphic Design HIMITEPA, dan MC dalam acara Focus Group

Discussion ”Formalin: Kebutuhan Yang Tidak Dibutuhkan” HIMITEPA. Penulis

juga pernah menjadi asisten Praktikum Kimia Dasar TPB-IPB pada tahun 2005

dan 2006.

Sebagai tugas akhir, penulis melakukan kegiatan penelitian di Perusahaan

pengolahan kacang. Penulis mengambil penelitian dengan judul Mempelajari

Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan MOCAL (Modified Cassava

Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut, di bawah bimbingan

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc.

Page 5: gelatinisasi tapioka

37

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah

memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan

Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk

Kacang Salut, sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi

Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi

Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.

Selama melaksanakan penelitian dan penyelesaian skripsi ini penulis telah

mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ayah dan Mama tercinta, Kak’Wi, Ka’Na, Bang’De, Ima, Lely, Ita dan Ois,

Abank, ka’Dety, serta Adinda, Nuha, Aulia, Ayu, Delila dan Zaky, yang

senantiasa memberikan kasih sayang dan cinta kepada penulis untuk terus

berjuang dan bersemangat!!!

2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-hariyadi, Msc., selaku dosen pembimbing pertama yang

banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.

3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, Msc., selaku dosen pembimbing kedua yang juga

banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.

4. Ir. Betty Silalahi selaku general manager yang telah mengizinkan penulis

untuk melaksanakan tugas akhir di Perusahan pengolahan kacang.

5. Mba Vivi dan Mas Rahadi selaku pembimbing lapang yang telah memberikan

arahan dan bimbingan kepada penulis. You are the best!

6. Wati, Maya, dan Reza, selaku teman seperjuangan penulis selama

menyelesaikan tugas akhir. Thank you so much for all the moments that we

share!!!

7. Rekan-rekan kerja di perusahaan, Mba Suzan, mba Tri, mba Ratih, Willy,

Ranto, Mas’No, Haris, Nita, Christin, Deni, mba Sundari, Nizar, Putri, Nani,

Lidya, Susi, Mba Titin, serta rekan-rekan lainnya yang tidak dapat penulis

sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan, semangat, keceriaan, dan

kehangatannya kepada penulis selama melakukan tugas akhir.

Page 6: gelatinisasi tapioka

38

8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Mitoel, Chusni, Indah, Fitri, Tylo, Arie,

Pa’de, Ujo, RT, Arga, Sarwo, Ados, Yoga, Lichan, dan Oneth. You guys are

like a star..Not aways seen but always there..

9. Irmawati, terima kasih untuk semangatnya! Be strong and tough girl!!!

10. Teman-teman ITP 40, Jeng’ye, Lasty, Tatan, Ade, Aca, Widhi, Iin, Vina,

Nooy, Nana, Ina, Dion, Agnes, Gadink, hendy, Aan, Dhea, Rahmat, dan yang

lainnya, serta teman-teman ITP 41 yang telah banyak memberikan bantuan

dan semangat kepada penulis.

11. Teknisi dan laboran, pak Iyas, bu Rub, pak Koko, teh Ida, mba Ari, pak Rojak,

pak Wahid, serta pak Sobirin.

12. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak

langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, pemulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk

memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini selanjutnya.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat benrmanfaat bagi semua

pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan

pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian

Bogor.

Bogor, Januari 2007

Penulis

Page 7: gelatinisasi tapioka

39

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN.............................................................................................. i

RIWAYAT HIDUP..................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................ v

DAFTAR ISI ............................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ....................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xii

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1

B. TUJUAN .......................................................................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TEPUNG TAPIOKA........................................................................ 3

B. TEPUNG SINGKONG..................................................................... 6

C. MOCAL............................................................................................ 7

D. PATI.................................................................................................. 9

1. Granula Pati................................................................................. 9

2. Amilosa dan Amilopektin............................................................ 10

3. Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan................ 12

4. Gelatinisasi Pati........................................................................... 13

5. Retrogradasi Pati.......................................................................... 15

E. KACANG SALUT............................................................................ 16

F. ANALISIS KORELASI..................................................................... 17

III.BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT ...................................................................... 19

B. METODE PENELITIAN ................................................................. 19

1. Analisis Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan MOCAL........... 20

Page 8: gelatinisasi tapioka

40

2. Analisis Tingkat Pengembangan Papatan................................... 20

3. Analisis Kerenyahan Produk Kacang Salut................................ 22

C. METODE ANALISIS....................................................................... 23

1. Kadar Air..................................................................................... 23

2. Kadar Abu................................................................................... 23

3. Kadar Pati.................................................................................... 24

4. Kadar Amilosa dan Amilopektin................................................. 25

5. Nilai pH....................................................................................... 27

6. Bentuk dan Ukuran Pati............................................................... 27

7. Kehalusan.................................................................................... 27

8. Derajat Putih................................................................................ 28

9. Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan................ 29

10. Pola Gelatinisasi.......................................................................... 30

11. Analisis Tekstur........................................................................... 30

12. Uji Organoleptik.......................................................................... 31

13. Analisis Korelasi.......................................................................... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. SIFAT KIMIA TEPUNG TAPIOKA............................................... 33

1. Kadar Air..................................................................................... 33

2. Kadar Abu.................................................................................... 33

3. Nilai pH........................................................................................ 34

4. Kadar Pati..................................................................................... 35

5. Kadar Amilosa dan Amilopektin.................................................. 37

B. SIFAT FISIK TEPUNG TAPIOKA................................................... 38

1. Bentuk dan Ukuran Pati................................................................ 38

2. Kehalusan...................................................................................... 39

3. Derajat Putih................................................................................. 40

4. Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan................. 41

5. Pola Gelatinisasi........................................................................... 44

C. ANALISIS TINGKAT PENGEMBANGAN PAPATAN................... 50

D. ANALISIS KERENYAHAN TEKSUR KACANG SALUT............. 52

Page 9: gelatinisasi tapioka

41

E. KARAKTERISTIK TAPIOKA F YANG MENGHASILKAN

KERENYAHAN PENYALUT TERTINGGI.................................... 55

F. MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLUOR)........................................ 58

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN.................................................................................. 63

B. SARAN.............................................................................................. 65

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 66

Page 10: gelatinisasi tapioka

42

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapioka................................................... 3

Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994............. 4

Tabel 3. Standar kehalusan tepung tapioka................................................. 4

Tabel 4. Syarat mutu tepung singkong menurut SNI 01-2997-1992........... 6

Tabel 5. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh Jinawi

Trenggalek..................................................................................... 8

Tabel 6. Syarat mutu edible cassava four dalam CODEX STAN 176-1989

(Rev.1–1995)................................................................................... 9

Tabel 7. Penilaian mutu sensoris kacang salut............................................ 31

Tabel 8. Kadar air sampel............................................................................ 33

Tabel 9. Kadar abu sampel.......................................................................... 34

Tabel 10. Nilai pH sampel............................................................................. 35

Tabel 11. Kadar pati sampel.......................................................................... 36

Tabel 12. Kadar amilosa dan amilopektin sampel......................................... 37

Tabel 13. Ukuran granula sampel.................................................................. 38

Tabel 14. Hasil pengukuran kehalusan sampel............................................. 40

Tabel 15. Derajat putih sampel...................................................................... 41

Tabel 16. Sifat amilografi sampel.................................................................. 45

Tabel 17. Tingkat pengembangan papatan sampel....................................... 51

Tabel 18. Hasil pengukuran gaya (gf) dan jarak (mm), serta skor

kerenyahan sampel penyalut pada produk kacang salut................ 53

Tabel 19. Rekapitulasi data karakteristik kimia dan fisik tapioka F.............. 57

Tabel 20. Sifat kimia dan fisik MOCAL...................................................... 59

Tabel 21. Tingkat pengembangan papatan, hasil pengukuran gaya (gf)

dan skor kerenyahan MOCAL....................................................... 62

Page 11: gelatinisasi tapioka

43

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung tapioka.................................. 5

Gambar 2. Diagram alir pembuatan MOCAL........................................... 8

Gambar 3. Struktur amilosa....................................................................... 11

Gambar 4. Struktur amilopektin................................................................ 11

Gambar 5. Grafik hubungan antara gaya (force) dan jarak (distance)...... 17

Gambar 6. Diagram alir tahapan penelitian............................................... 20

Gambar 7. Diagram alir pembuatan larutan bumbu.................................. 21

Gambar 8. Diagram alir pembuatan papatan............................................ 21

Gambar 9. Diagram alir pembuatan kacang salut...................................... 22

Gambar 10. Granula Pati Tepung Tapioka (A, B, C, D, E, dan F).............. 39

Gambar 11. Pola swelling power tepung tapioka ........................................ 42

Gambar 12. Pola kelarutan tepung tapioka................................................... 43

Gambar 13. Grafik pola gelatinisasi tepung tapioka..................................... 46

Gambar 14. Korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan rasio

amilosa dan amilopektin........................................................... 51

Gambar 15. Korelasi antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa

dan amilopektin......................................................................... 54

Gambar 16. Granula MOCAL...................................................................... 60

Page 12: gelatinisasi tapioka

44

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Rekapitulasi karakteristik fisikokimia sampel

tepung tapioka dan MOCAL................................................. 69

Lampiran 2. Hasil pengukuran kadar pati.................................................. 70

Lmapiran 3. Pembuatan kurva standar amilosa dan pengukuran kadarAmilosa.................................................................................. 71

Lampiran 4. Hasil uji rating kerenyahan.................................................... 72

Lampiran 5a. Hasil uji Duncan : kadar air, kadar abu, pH.......................... 73

Lampiran 5b. Hasil uji Duncan : kadar pati, kadar amilosa, dan derajat

Putih...................................................................................... 74

Lampiran 5c. Hasil uji Duncan : kehalusan................................................. 75

Lampiran 6a. Hasil uji Duncan terhadap kerenyahan (gf)........................... 76

Lampiran 6b. Hasil uji Duncan terhadap skor kerenyahan.......................... 77

Lampiran 7a. Hasil analisis korelasi : Amilosa terhadap swelling power

dan kelarutan pati................................................................... 78

Lampiran 7b. Hasil analisis korelasi : Amilosa terhadap sifat

amilografi .............................................................................. 78

Lampiran 7c. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan

terhadap rasio amilosa dan amilopektin................................ 79

Lampiran 7d. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan

terhadap swelling power dan kelarutan................................. 79

Lampiran 7e. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan

terhadap pH........................................................................... 79

Lampiran 7f. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan

terhadap sifat amilografi........................................................ 80

Lampiran 7g. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap rasio amilosa

dan amilopektin..................................................................... 80

Lampiran 7h. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap swelling

power dan kelarutan............................................................... 81

Lampiran 7i. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap pH..................... 81

Page 13: gelatinisasi tapioka

45

Lampiran 7j. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap sifat

amilografi................................................................................ 81

Lampiran 7k. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan,

kerenyahan (gf), dan skor kerenyahan.................................... 82

Lampiran 8. Setting alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer.... 82

Page 14: gelatinisasi tapioka

46

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tepung tapioka merupakan salah satu produk hasil olahan singkong

yang banyak digunakan sebagai bahan baku utama maupun bahan penolong

dalam beberapa produk pangan baik di rumah tangga maupun industri. Salah

satu penggunaan tepung tapioka dalam industri pangan adalah sebagai

penyalut pada produk kacang salut. Penyalut pada produk tersebut diharapkan

memiliki tingkat pengembangan dan kerenyahan yang baik, namun dalam

aplikasinya penggunaan jenis tepung tapioka yang berbeda akan menghasilkan

mutu penyalut yang berbeda pula. Perbedaan mutu produk kacang salut yang

dihasilkan dapat dipengaruhi oleh sifat atau karakteritik tepung tapioka yang

digunakan, namun belum ada penelitian yang memberikan informasi tentang

sifat atau karakteristik tepung tapioka yang diperlukan bagi suatu penyalut

kacang.

Menurut Radley (1976), fungsionalitas pati pada produk pangan

ataupun nonpangan tergantung dari sifat fisik pati. Sifat fisik pati tersebut

dipengaruhi oleh dua komponen utama dalam pati yaitu amilosa dan

amilopektin. Menurut Matz (1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari

makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio dari amilosa dan amilopektin.

Menurut Balagopalan et al. (1988), tekstur pada produk berbahan dasar pati

diperoleh dari hasil perubahan pati selama dan setelah pemasakan. Beberapa

faktor yang mempengaruhi tekstur produk antara lain gelatinisasi, daya

kembang, viskositas, dan retrogradasi. Faktor pH pada pati juga dapat

mempengaruhi mutu produk berbahan dasar pati. Menurut Taggart (2004),

asam dapat mengganggu ikatan hidrogen yang terdapat dalam pati, sehingga

menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang.

Dalam penelitian ini, selain tepung tapioka juga digunakan MOCAL

(Modified Cassava Flour). MOCAL merupakan produk turunan dari tepung

singkong hasil pengembangan Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil

Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP-

UNEJ), yang memiliki potensi menjadi bahan baku utama dalam pembuatan

Page 15: gelatinisasi tapioka

47

produk kacang salut. Berdasarkan hasil uji coba oleh Subagio (2006),

MOCAL dapat digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis produk

pangan, mulai dari produk rerotian, biskuit, b aha n pe nsu b t itusi pada

mie, hingga p roduk pangan semi basah. MOCAL mempunyai spektrum

aplikasi yang mirip dengan tepung terigu, tepung beras, dan tepung-

tepung lainnya, maka MOCAL mempunyai potensi untuk digunakan dalam

penelitian ini.

B. TUJUAN

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Mempelajari karakteristik kimia dan fisik beberapa sampel tepung tapioka

dan MOCAL.

2. Mempelajari korelasi antara karakteristik kimia dan fisik sampel tersebut

dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada

produk kacang salut.

3. Menentukan karakteristik yang paling relevan terhadap kerenyahan

penyalut pada produk kacang salut.

4. Mempelajari karakteristik sampel yang memberikan kerenyahan tertinggi

terhadap penyalut pada produk kacang salut.

Page 16: gelatinisasi tapioka

48

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TEPUNG TAPIOKA

Tepung tapioka merupakan pati yang diekstrak dari singkong. Dalam

memperoleh pati dari singkong (tepung tapioka) harus dipertimbangkan usia

atau kematangan dari tanaman singkong. Usia optimum yang telah ditemukan

dari hasil percobaan terhadap salah satu varietas singkong yang berasal dari

jawa yaitu San Pedro Preto adalah sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977). Ketika

umbi singkong dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat sampai pada

titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu, sehingga

umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah. Komposisi kimia tepung

tapioka dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapiokaKomposisi Jumlah

Serat (%) 0.5Air (%) 15Karbohidrat (%) 85Protein (%) 0.5-0.7Lemak (%) 0.2Energi (kalori/100 gram) 307

Sumber: Grace (1977)

Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), nilai pH tepung tapioka tidak

dipersyaratkan. Namun demikian, beberapa institusi mensyaratkan nilai pH

untuk mengetahui mutu tepung tapioka berkaitan dengan proses pengolahan.

Salah satu proses pengolahan tepung tapioka yang berkaitan dengan pH

adalah pada proses pembentukan pasta. Menurut Winarno (2002),

pembentukan gel optimum terjadi pada pH 4-7. Bila pH terlalu tinggi,

pembentukan pasta makin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi. Sebaliknya,

bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat dan viskositasnya

akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. The Tapioca Institute of

America (TIA) menetapkan standar pH tepung tapioka sekitar 4.5-6.5 (Radley,

1976). Syarat mutu tepung tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 17: gelatinisasi tapioka

49

Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994PersyaratanNo. Jenis uji Satuan Mutu I Mutu II Mutu III

1. Kadar air % Maks.15.0 Maks.15.0 Maks.15.0

2. Kadar abu % Maks.0.60 Maks. 0.60 Maks. 0.60

3. Serat dan bendaasing % Maks.

0.60 Maks. 0.60 Maks. 0.60

4. Derajat putih(BaSO4=100%) % Min. 94.5 Min. 92.0 <92

5. Derajat asamVolumeNaOH

1N/100gMaks. 3 Maks. 3 Maks. 3

6. Cemaran logam- Timbal- Tembaga- Seng- Raksa- Arsen

mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg

Maks. 1.0Maks.10.0

Maks.40.0

Maks.0.05

Maks. 0,5

Maks. 1.0Maks. 10.0Maks. 40.0Maks. 0.05Maks. 0,5

Maks. 1.0Maks. 10.0Maks. 40.0Maks. 0.05Maks. 0,5

7. Cemaranmikroba- Angkalempeng total- E. coli- Kapang

Koloni/g

Koloni/gKoloni/g

Maks. 1.0x 106

-Maks. 1.0

x 104

Maks. 1.0x 106

-Maks. 1.0

x 104

Maks. 1.0 x106

-Maks. 1.0 x

104

Kehalusan tepung juga penting untuk menentukan mutu tepung tapioka.

Tepung tapioka yang baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan

memiliki kehalusan yang baik. Dalam SNI tidak dipersyaratkan mengenai

kehalusan tepung tapioka. Salah satu institusi yang mensyaratkan kehalusan

sebagai syarat mutu tepung tapioka adalah The Tapioca Institute of America

(TIA), yang membagi tepung tapioka menjadi tiga kelas (grade) berdasarkan

kehalusannya. Standar kehalusan tepung tapioka menurut TIA disajikan dalam

Tabel 3.

Page 18: gelatinisasi tapioka

50

Tabel 3. Standar kehalusan tepung tapiokaGrade % Lolos ayak Ukuran

ayakanA 99 140B 99 80C 95 60

Sumber : Radley (1976)

Tepung tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi singkong.

Proses ekstraksi umbi kayu relatif mudah, karena kandungan protein dan

lemaknya yang rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati

yang dihasilkan akan berwarna putih bersih (Moorthy, 2004). Berdasarkan

derajat keputihan, maka semakin putih tepung tapioka mutunya juga semakin

baik. Hal ini terdapat di dalam SNI 01-3451-1994 yang membagi tepung

tapioka menjadi tiga kelas berdasarkan derajat keputihan, seperti tercantum

pada Tabel 2 di atas.

Pada pembuatan produk pangan juga demikian, tepung tapioka yang

lebih putih biasanya lebih diharapkan sebagai bahan baku. Contohnya pada

produk kacang salut, penyalut pada produk diharapkan dapat menghasilkan

warna putih yang baik (tidak kusam), sehingga produk lebih dapat diterima

oleh konsumen dari segi organoleptik.

Dalam hal teknologi, ada perbedaan proses pembuatan tepung tapioka

antara industri besar dan industri rumah tangga. Pada industri besar, proses

pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat

atau mesin-mesin yang canggih, sedangkan pada industri rumah tangga

pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan secara tradisional dengan

menggunakan alat-alat yang sederhana. Secara umum, diagram alir pembuatan

tepung tapioka disajikan dalam Gambar 1.

Page 19: gelatinisasi tapioka

51

Umbi singkong

Pengupasan dan pencucian

Pemarutan

Penyaringan

Pengendapan

Pencucian pati

Pengeringan

Pati singkong (tepung tapioka)

Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung tapioka (Holleman dan Aten,1956)

B. TEPUNG SINGKONG

Ubi kayu atau singkong merupakan sumber karbohidrat yang penting

setelah padi, jagung, dan sagu. Singkong memiliki nama botani Manihot

esculenta Crantz tapi lebih dikenal dengan nama Manihot utilissima. Singkong

dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai bahan pangan pokok ataupun

diolah menjadi produk setengah jadi berupa pati singkong (tepung

tapioka), gaplek, dan tepung singkong.

Menurut SNI 01-2997-1992, tepung singkong adalah tepung yang

dibuat dari bagian umbi singkong yang dapat dimakan, melalui penepungan

singkong iris, parut, ataupun bubur kering dengan mengindahkan ketentuan-

ketentuan kebersihan. Syarat mutu tepung singkong sesuai SNI dapat dilihat

pada Tabel 4.

Ampas

Page 20: gelatinisasi tapioka

52

Tabel 4. Syarat mutu tepung singkong menurut SNI 01-2997-1992No. Jenis uji Satuan Persyaratan1. Keadaan

- Bau- Rasa- Warna

---

Khas singkongKhas singkong

Putih2. Benda asing - Tidak boleh ada3. Derajat putih % Min. 854. Kadar abu % b/b Maks. 1.55. Kadar air % b/b Maks. 126. Derajat asam ml N NaOH/100g Maks. 37. Asam sianida mg/kg Maks. 408. Kehalusan % lolos (80 mesh) Min. 909. Kadar pati % b/b Min. 75

10. Bahan TambahanPangan

Sesuai SNI 01-0222-1995

11. Cemaran logam- Timbal- Tembaga- Seng- Raksa- Arsen

mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg

Maks. 1.0Maks. 10.0Maks. 40.0Maks. 0.05Maks. 0,5

12. Cemaran mikroba- Angka lempeng total- E. coli- Kapang

Koloni/g

APM/gKoloni/g

Maks. 1.0 x 106

<3Maks. 1.0 x 104

Tepung singkong telah banyak digunakan dalam pembuatan produk-

produk pangan, antara lain seperti roti, biskuit, mie instan, dan lain-lain.

Tepung singkong dapat dimodifikasi untuk memperoleh mutu produk yang

lebih baik dan sesuai dengan keinginan. Modifikasi tepung singkong telah

dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti Muharram (1992), yang

memodifikasi tepung singkong dengan pengukusan, penyangraian, dan

penambahan GMS (Glyceril Mono Stearat).

Selain itu, modifikasi tepung singkong juga telah dilakukan oleh

Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi

Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP-UNEJ). Modifikasi tepung

singkong tersebut dilakukan melalui proses fermentasi, sehingga dihasilkan

produk baru yang merupakan turunan dari tepung singkong yang diberi nama

MOCAL (Modified Cassava Flour).

Page 21: gelatinisasi tapioka

53

C. MOCAL

MOCAL atau Modified Cassava Flour merupakan produk turunan dari

tepung singkong yang menggunakan prinsip modifikasi sel singkong secara

fermentasi (Subagio, 2006). Secara teknis, cara pengolahan MOCAL sangat

sederhana, mirip dengan cara pengolahan tepung singkong biasa, namun

disertai dengan proses fermentasi. Singkong dibuang kulitnya, dikerok

lendirnya, dan dicuci sampai bersih. Kemudian dilakukan pengecilan ukuran

singkong dilanjutkan dengan tahap fermentasi selama 12-72 jam. Setelah

fermentasi, singkong tersebut dikeringkan kemudian ditepungkan sehingga

dihasilkan produk MOCAL (Gambar 2).

Subagio (2006) melaporkan bahwa mikroba yang tumbuh pada

singkong akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat

menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi

pembebasan granula pati. Proses pembebasan granula pati ini akan

menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa

naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan

melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis

menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-

asam organik. Senyawa asam ini akan bercampur dalam tepung, sehingga

ketika tepung tersebut diolah akan menghasilkan aroma dan cita rasa yang

khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa singkong yang cenderung tidak

disukai konsumen. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh

Jinawi Trenggalek disajikan dalam Tabel 5.

Page 22: gelatinisasi tapioka

54

Gambar 2. Diagram alir pembuatan MOCAL

Tabel 5. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh JinawiTrenggalek

No. Parameter Satuan Hasil1. Keadaan

- Warna- Aroma- Rasa

---

PutihNetralNetral

2. Kadar Air % Max. 133. Kadar protein % Max. 1,04. Kadar abu % Max. 0,25. Kadar pati % 82 - 876. Kadar serat % 1,9 - 3,47. Kadar lemak % 0,4 - 0,88. Kadar HCN mg/kg tidak terdeteksi9. Derajat keputihan % 88 – 91

Sumber: Subagio (2007)

Singkong

Pengupasan

Pencucian

Pengecilan ukuran

Perendaman

Larutan Garam

Senyawaaktif A dan

B

Pengeringanmatahari

Pengayakan

MOCAL

Penggaraman

Penepungan

Page 23: gelatinisasi tapioka

55

MOCAL merupakan produk hasil olahan dari singkong yang dapat

dimakan (edible cassava). Oleh karena itu, syarat mutu MOCAL dapat

mengacu kepada CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995) tentang edible

cassava flour (Tabel 6)

Tabel 6. Syarat mutu edible cassava four dalam CODEX STAN 176-1989(Rev.1–1995)

No. Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu1. Kadar air % Max. 132. Kadar abu % Max. 33. Kadar Serat Kasar % Max. 24. Kadar HCN mg/kg Max. 105. Residu pestisida - Sesuai dengan aturan yang berlaku6. Logam berat - Tidak terdeteksi7. Bahan Tambahan - Tidak terdeteksi

MOCAL mempunyai karakteristik yang khas, sangat berbeda dengan

tepung singkong dan tepung tapioka. Dibandingkan dengan tepung tapioka,

viskositas MOCAL lebih rendah. Hal ini disebabkan o l e h komponen pati

t e p u n g tapioka mencakup hampir seluruh bahan kering, sedangkan pada

MOCAL komponen selain pati masih dalam jumlah yang signifikan. Namun

demikian, dengan fermentasi s e l a m a 72 jam akan didapatkan produk

MOCAL yang mempunyai viskositas mendekati t epu ng tapioka (data tidak

ditunjukkan). Hal ini dapat dipahami bahwa semakin lama waktu fermentasi

maka akan semakin banyak sel singkong yang pecah, sehingga pembebasan

granula pati menjadi semakin meningkat (Subagio, 2007).

D. PATI

1. Granula Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik.

Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno

(2002), menyatakan bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan

cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam

putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai

pecah, sifat birefringent ini akan menghilang.

Page 24: gelatinisasi tapioka

56

Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda

tergantung dari sumbernya. Menurut Moorthy (2004), ukuran granula

tapioka menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µm dengan

bentuk bulat dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman

singkong dan periode pertumbuhan pada musim yang berbeda.

2. Amilosa dan Amilopektin

Granula pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air

panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut

amilopektin (Winarno, 2002). Pola difraksi sinar-x granula pati adalah

bukti bahwa terdapat daerah kristalinitas atau misela pada granula pati

(Swinkels, 1985). Misela merupakan bagian molekul linier yang berikatan

dengan rantai molekul terluar molekul cabang (Pomeranz, 1991). Ikatan

ini terjadi apabila bagian-bagian linier molekul pati berada paralel satu

sama lain, sehingga gaya ikatan hidrogen akan menarik rantai ini bersatu

(Swinkels, 1985). Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau

amorf (Pomeranz, 1991). Daerah amorf ini kurang padat, sehingga mudah

dimasuki air. Pada pati kentang dan tapioka, misela terbentuk oleh

amilopektin, sedangkan daerah amorf dibentuk oleh amilosa.

Amilosa merupakan rantai lurus yang terdiri dari molekul-molekul

glukosa yang berikatan -(1,4)-D-glukosa. Panjang polimer dipengaruhi

oleh sumber pati dan akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Pada

umumnya amilosa dari umbi-umbian mempunyai berat molekul yang

lebih besar dibandingkan dengan berat molekul amilosa serealia, dengan

rantai polimer lebih panjang daripada rantai polimer amilosa serealia

(Moorthy, 2004)

Menurut Taggart (2004), amilosa memilki kemampuan membentuk

kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya

yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat.

Interaksi ini terjadi pada gugus hidroksil molekul amilosa. Pembentukan

ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada

amilopektin. Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 25: gelatinisasi tapioka

57

Gambar 3. Struktur amilosa (Chaplin, 2006)

Jumlah atau kadar amilosa pati pada singkong berada pada kisaran

20-27% mirip dengan pati tanaman lain. Pada dasarnya, struktur

amilopektin sama seperti amilosa, yaitu terdiri dari rantai pendek -(1,4)-

D-glukosa dalam jumlah yang besar. Perbedaannya ada pada tingkat

percabangan yang tinggi dengan ikatan -(1,6)-D-glukosa dan bobot

molekul yang besar. Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi

tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan

yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart, 2004). Struktur

amilopektin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur amilopektin (Chaplin, 2006)

Page 26: gelatinisasi tapioka

58

3. Daya Kembang Pati (swelling power) dan Kelarutan

Daya kembang pati atau swelling power didefinisikan sebagai

pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air

(Balagopalan et al., 1988). Swelling power dan kelarutan terjadi karena

adanya ikatan non-kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati

dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan

membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan

pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika

granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang

(swelling). Swelling terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan

hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus

saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati

akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume

hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati (Swinkels, 1985).

Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul

dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya

menentukan swelling power dan kelarutan (Moorthy, 2004). Swelling

merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin (Li dan Yeh, 2001).

Proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin memiliki kontribusi

dalam peningkatan nilai swelling. Selain itu, terdapat korelasi yang negatif

antara swelling power dengan kadar amilosa, swelling power menurun

seiring dengan peningkatan kadar amilosa (Sasaki dan Matsuki, 1998

dalam Li dan Yeh, 2001). Amilosa dapat membentuk kompleks dengan

lipida pada pati sehingga dapat menghambat swelling (Charles et al.,

2005).

Swinkels (1985) menyatakan bahwa nilai swelling power dapat

diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pati, yaitu sekitar 50-95°C

dengan interval 5°C. Menurut Pomeranz (1991), swelling power dapat

diukur pada interval suhu 5°C pada kisaran suhu gelatinisasi sampai

100°C. Sementara itu, Li dan Yeh (2001) mengukur swelling power dan

kelarutan pati dengan interval 10°C yaitu pada suhu 55°C, 65°C, 75°C,

85°C, dan 95°C. Pengukuran swelling power dapat dilakukan dengan

Page 27: gelatinisasi tapioka

59

membuat suspensi pati dalam botol sentrifusa lalu dipanaskan selama 30

menit pada suhu yang telah ditentukan. Kemudian bagian yang cair

(supernatan) dipisahkan dari endapan. Swelling power diukur sebagai

berat pati yang mengembang (endapan) per berat pati kering. Tepung

tapioka memiliki swelling power yang besar (Balagopalan et al., 1988).

Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan

keluar dari granula pati dan larut dalam air. Persentase pati yang larut

dalam air ini dapat diukur dengan mengeringkan supernatan yang

dihasilkan saat pengukuran swelling power. Menurut Fleche (1985), ketika

molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai

menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah

molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi

suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula

pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga

pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak

mengeluarkan amilosa.

Menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati semakin tinggi dengan

meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas

untuk tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur

berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling

power. Solubilitas atau kelarutan pati tapioka lebih besar dibandingkan

pati dari umbi-umbi yang lain.

4. Gelatinisasi Pati

Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses

pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula

pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat mengembang

dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan

pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan

terjadinya penekanan antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula

pembengkakan granula pati bersifat reversible (dapat kembali ke bentuk

awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan granula

Page 28: gelatinisasi tapioka

60

pati menjadi irreversible (tidak dapat kembali). Kondisi pembengkakan

granula pati yang bersifat irreversible ini disebut dengan gelatinisasi,

sedangkan suhu terjadinya peristiwa ini disebut dengan suhu gelatinisasi.

Menurut Winarno (2002) dan Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tepung

tapioka berada pada kisaran 52-64°C. Menurut Swinkels (1985), suhu

gelatinisasi tepung tapioka berkisar antara 65-70°C.

Moorthy (2004) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan

fenomena kompleks yang bergantung dari ukuran granula, persentase

amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam

granula. Pada umumnya granula yang kecil membentuk gel lebih lambat

sehingga mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi daripada granula

yang besar. Makin besar bobot molekul dan derajat kristalisasi dari

granula pati, pembentukkan gel semakin lambat. Menurut Pomeranz

(1991), tidak semua granula pati tergelatinisasi pada titik yang sama,

tetapi terjadi pada suatu kisaran suhu tertentu. Menurut Olkku dan Rha

(1978) dalam Pomeranz (1991), proses gelatinisasi melibatkan peristiwa-

peristiwa sebagai berikut: (1) hidrasi dan swelling (pengembangan)

granula; (2) hilangnya sifat birefringent; (3) peningkatan kejernihan; (4)

peningkatan konsistensi dan pencapaian viskositas puncak; (5) pemutusan

molekul-molekul linier dan penyebarannya dari granula yang telah pecah.

Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi dan pH larutan pati.

Makin kental larutan, suhu gelatinisasi makin sulit tercapai. Bila pH

terlalu tinggi, pembentukan gel semakin cepat tercapai tetapi cepat turun

lagi. Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Selain itu, penambahan gula

juga berpengaruh terhadap kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan

menurunkan kekentalan, hal ini disebabkan karena gula dapat mengikat

air, sehingga pembengkakan butir-butir pati menjadi lebih lambat,

akibatnya suhu gelatinisasi akan lebih tinggi. Adanya gula akan

menyebabkan gel lebih tahan terhadap kerusakan mekanik (Winarno,

2002).

Pati singkong atau tapioka memiliki suhu gelatinisasi yang sangat

rendah, lebih rendah dari pati umbi-umbian yang lain maupun pati sereal.

Page 29: gelatinisasi tapioka

61

Menurut Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 52-

64°C.

5. Retrogradasi Pati

Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah

mengalami gelatinisasi. Beberapa molekul pati, khususnya amilosa yang

dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang

membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di sekitarnya. Oleh

karena itu, pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari

granula-granula yang membengkak yang tersuspensi ke dalam air panas

dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi ke dalam air. Molekul-

molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan pati tersebut

dalam kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki

kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati

tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk

melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali.

Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan

dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula, dengan

demikian mereka menggambungkan butir-butir pati yang bengkak tersebut

menjadi semcam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap

(Winarno, 2002).

Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar

terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di

luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang

memiliki rantai pendek. Keluarnya molekul-molekul amilosa ini

menyebabkan terjadinya presipitasi (jika konsentrasi pati rendah) atau

membentuk gel (jika konsentrasi pati tinggi).

Menurut Swinkels (1985), retrogradasi pasta pati atau larutan pati

memiliki beberapa efek sebagai berikut: (1) peningkatan viskositas; (2)

terbentuknya kekeruhan; (3) terbentuknya lapisan tidak larut dalam pasta

panas; (4) terjadi presipitasi pada partikel pati yang tidak larut; (5)

terbentuknya gel; dan (6) terjadinya sineresis pada pasta pati. Retrogradasi

Page 30: gelatinisasi tapioka

62

adalah proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara

lain jenis dan konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu

peyimpanan, prosedur pendinginan, pH, dan keberadaan komponen lain.

E. KACANG SALUT

Kacang salut adalah kacang yang disalut dengan tepung dan bumbu-

bumbu kemudian digoreng hingga matang. Dalam pembuatan kacang salut,

tepung yang digunakan biasanya adalah tepung tapioka ataupun tepung-

tepungan lain seperti tepung terigu maupun tepung telur yang dapt

memberikan tekstur sesuai dengan keinginan.

Tepung yang digunakan diharapkan akan menghasilkan penyalut yang

mengembang dan memiliki kerenyahan yang baik. Oleh karena itu, untuk

memperkirakan pengembangan tepung biasanya dilakukan analisis tingkat

pengembangan tepung dengan membuat produk berupa papatan. Papatan

merupakan adonan tepung tanpa kacang yang dibentuk bulat-bulat kecil, baik

dalam keadaan sebelum digoreng maupun setelah digoreng.

Salah satu kriteria mutu terpenting dari kacang salut adalah kerenyahan.

Kerenyahan kacang salut dapat dianalisis dengan menggunakan alat texture

analyzer. Gaya (force) yang dinilai untuk kerenyahan adalah pada puncak

pertama di mana sampel mulai berubah bentuk (deformasi). Menurut Anonim

(2005), untuk mengukur kerenyahan (fracturability) tidak hanya dilihat dari

gaya (force) untuk mendeformasi sampel tetapi juga dilihat jarak saat gaya

mulai menekan sampel (distance). Anonim (2005) menambahkan, jika hasil

pengukuran sampel memiliki gaya (force) yang sama dengan jarak (distance)

yang berbeda-beda, maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan

jarak (distance) yang terdekat. Sebaliknya, jika hasil pengukuran sampel

memiliki jarak (distance) yang sama, dengan gaya (force) yang berbeda-beda,

maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan gaya (force) terendah.

Pada Gambar 4 dapat dilihat contoh grafik hasil pengukuran tekstur dengan

Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer.

Page 31: gelatinisasi tapioka

63

Gambar 4. Grafik hubungan antara gaya (force) dan jarak

(distance)

Anonim (2005) menambahkan, untuk membandingkan kerenyahan

antara dua sampel yang memiliki gaya (force) dan jarak (distance) yang

berbeda, dapat digunakan uji organoleptik untuk mengetahui sampel yang

memiliki kerenyahan lebih tinggi.

F. ANALISIS KORELASI

Analisis korelasi mencoba mengukur kekuatan hubungan antara dua

peubah (X dan Y) melalui sebuah bilangan yang disebut koefisien korelasi (r).

Jadi, r mengukur sejauh mana titik-titik menggerombol di sekitar sebuah garis

lurus. Bila titik-titk bergerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan

kemiringan positif, maka ada korelasi positif yang tinggi antara kedua peubah.

Akan tetapi, bila titik-titik bergerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan

kemiringan negatif, maka antara kedua peubah tersebut terdapt korelasi

negatif. Hubungan linier sempurna antara kedua peubah terdapat bila nilai r =

1 atau r = -1. Koefisien korelasi antara dua peubah adalah suatu ukuran

hubungan linier antara kedua peubah tersebut. (Walpole, 1995).

Menururt Nugroho (2005), korelasi dapat dilakukan untuk dua variabel

yang berkaitan. Fungsi analisis korelasi yaitu untuk mengukur hubungan antar

variabel dan meramalkan variabel tak bebas dari pengetahuan kita tentang

Page 32: gelatinisasi tapioka

64

variabel bebas tersebut. Sifat korelasi menentukan arah dari korelasi.

Keeratannya dapat dikelompokan sebagai berikut: (1) bila r = 0.00-0.20

berarti korelasi memiliki keeratan sangat lemah; (2) bila r = 0.21-0.40 berarti

korelasi memiliki keeratan lemah; (3) bila r = 0.41-0.70 berarti korelasi

memiliki keeratan kuat; (4) bila r = 0.71-0.90 berarti korelasi memiliki

keeratan sangat kuat; (5) bila r = 0.91-0.99 berarti korelasi memiliki keeratan

sangat kuat sekali; (6) bila r = 1 berarti korelasi sempurna.

Page 33: gelatinisasi tapioka

65

III. METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah enam jenis

tepung tapioka dengan kode tapioka A, tapioka B, tapioka C, tapioka D,

tapioka E, dan tapioka F, yang diperoleh dari dua jenis pemasok (industri

rumah tangga dan industri besar) serta MOCAL (Modified Cassava Fluor)

yang diperoleh dari Koperasi Loh Jinawi Trenggalek. Bahan-bahan kimia

yang digunakan adalah alkohol 95%, HCl 3%, H2SO4 25%, KI 20%, larutan

Luff-Schoorl, NaOH 3%, indikator fenolftalen, indikator amilum 0.5%,

Na2S2O3 0.1N, amilosa kentang, NaOH 1N, asam asetat 1N, KOH 0.2N,

larutan Iod 0.01N, serta akuades.

Alat-alat yang digunakan antara lain cawan alumunium, oven, neraca

analitik, desikator, ruang asap, pendingin tegak, erlenmeyer asah, buret, cawan

porselen, tanur, Spectronic Instrumen 20D+ Spektrofotometer, waterbath,

labu takar, kertas saring, Mettler Toledo MP220 pH-meter, kaca preparat dan

gelas penutup, Olympus BH-2 Polarized Light Microscope, Kett Electric

Laboratory C-100-3 Whitenessmeter, Stable Micro System TAXT2 Texture

Analyzer, Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121,

sentrifusa, Digital sieve shaker, serta alat-alat gelas lainnya.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu

analisis sifat kimia dan fisik serta tingkat pengembangan tepung tapioka dan

MOCAL. Tahap berikutnya yaitu aplikasi tepung tapioka dan MOCAL

sebagai penyalut pada produk kacang salut. Selanjutnya dilakukan analisis

tekstur (kerenyahan) pada semua produk kacang salut yang dihasilkan dari

tiap sampel. Diagram alir tahapan penelitian ini disajikan dalam Gambar 6.

Page 34: gelatinisasi tapioka

66

Gambar 6. Diagram alir tahapan penelitian

1. Analisis Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan MOCAL

Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis sifat kimia dan fisik dari

tepung tapioka dan MOCAL. Sifat kimia dan fisik yang diuji meliputi

kadar air, kadar abu, kadar pati, kadar amilosa, nilai pH, bentuk dan

ukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan pati,

serta pola amilografi. Semua analisis dilakukan sebanyak dua kali

pengukuran (dulplo), kecuali pada analisis kelarutan pati dan sifat

amilografi hanya dilakukan sekali pengukuran (simplo). Pembahasan sifat

fisik dan kimia antara tepung tapioka dan MOCAL dibedakan karena

kedua produk tersebut berbeda.

2. Analisis Tingkat Pengembangan Papatan

Tingkat pengembangan papatan dipelajari dengan mengukur

volume papatan saat sebelum digoreng maupun setelah digoreng. Terlebih

dahulu dibuat larutan bumbu, yang kemudian diuleni bersama sampel

sampai kalis sehingga terbentuk adonan tepung. Diagram alir pembuatan

Sampel tepung tapioka atau MOCAL

Analisis sifat kimia dan fisik Analisis tingkat pengembangan papatan

Analisis tekstur dan uji organoleptik

Aplikasi tepung sebagai penyalutkacang (kacang salut)

Analisis korelasi

Page 35: gelatinisasi tapioka

67

larutan bumbu dapat dilihat pada Gambar 7, sedangkan diagram alir

pembuatan papatan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 7. Diagram alir pembuatan larutan bumbu

Gambar 8. Diagram alir pembuatan papatan

Diukur diameternya (D2)

Larutan bumbuSampel tepung

tapioka atau MOCAL

Adonan

Dicampur

Diuleni sampai kalis

Ditimbang 0.5 gram

Dibentuk bulat dan diukurdiameternya (D1)

Digoreng

Papatan

Premix tepungdan bumbu

Larutan bumbu

Dicampur

Dipanaskan

Air

Page 36: gelatinisasi tapioka

68

Pembuatan papatan dilakukan sebanyak 30 kali agar data yang

diperoleh lebih beragam dan dapat mewakili sampel. Diameter papatan

diukur menggunakan jangka sorong, baik pada saat sebelum digoreng

(D1) maupun sesudah digoreng (D2). Volume papatan dihitung dengan

asumsi bahwa papatan berbentuk lingkaran sempurna. Tingkat

pengembangan sampel diukur dengan cara sebagai berikut:

Tingkat pengembangan (%) = V2 x 100% V1

Keterangan :

V1 = Volume papatan sebelum digoreng (mm3)

V2 = Volume papatan setelah digoreng (mm3)

3. Analisis Kerenyahan Produk Kacang Salut

Larutan bumbu yang telah dicampur dengan tepung tapioka atau

MOCAL dimasukkan ke dalam coating pan bersama kacang, kemudian

kacang yang telah disalut oleh campuran larutan bumbu dan tepung

tersebut digoreng. Diagram pembuatan kacang salut dapat dilihat pada

Gambar 9.

Gambar 9. Diagram alir pembuatan kacang salut

Larutan bumbudicampur tepung

tapioka atauMOCAL

Digoreng

Kacang Salut

Dicampur

Coatingpan

Kacang

Kacang yangtelah disalut

Page 37: gelatinisasi tapioka

69

Analisis kerenyahan secara objektif terhadap kacang salut

dilakukan dengan menggunakan alat Stable Micro System TAXT2 Texture

Analyzer. Analisis kerenyahan secara subjektif dilakukan dengan uji

organoleptik menggunakan uji rating.

C. METODE ANALISIS

1. Kadar Air (AOAC, 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC

selama 15 menit, lalu didinginkan di dalam desikator selama 10 menit.

Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik (A). Sampel sebanyak 5

gram (W) dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel

ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam

oven pada suhu 105oC selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel

didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (Y). Setelah itu, cawan

berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu

ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan

(selisih bobot ≤ 0.0003 gram). Kadar air diukur dengan cara sebagai

berikut:

Kadar air = W – (Y – A ) x 100% W

Keterangan :

W = bobot sampel awal (g)

Y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g)

A = bobot cawan kosong (g)

2. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan pengabuan dibakar dalam tanur (5500C) selama 15 menit,

kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (A). Sampel

sebanyak 2-3 gram (W) ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan

yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau

sampai bobotnya konstan. Pengabuan dilakukan pada suhu 5500C selama

Page 38: gelatinisasi tapioka

70

6 jam. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian

ditimbang dengan neraca analitik (X). Kadar abu diukur dengan cara

sebagai berikut:

Kadar abu (%) = (X - A) x 100% W

Keterangan :

W = bobot sampel awal (g)

X = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g)

A = bobot cawan kosong (g)

3. Kadar Pati (SNI 01-2892-1992)

• Pembuatan Larutan Luff Schrool

Sebanyak 71.9 g Na2CO3 anhidrat dilarutkan dalam 300 mL

akuades yang dipanaskan. Setelah larut,kemudian ditambahkan 25 g

asam sitrat yang telah dilarutkan dengan 25 mL akuades sedikit demi

sedikit. Kemudian di tambahkan 8 g CuSO4.5H2O dalam 100 mL

akuades sedikit demi sedikit. Setelah semua bercampur, kemudian

penangas diturunkan suhunya dan dibiarkan selama 30 menit, setelah

itu larutan ditera sampai 500 mL dan dibiarkan selama satu malam

didalam tempat gelap.

• Analisis sampel

Sebanyak 1 gram sampel tepung dilarutkan dalam 40 mL HCl

3%, dan di refluks selama 3 jam dengan suhu sekitar 200-250°C.

kemudian sampel didinginkan dan kemudian dinetralkan dengan

menambahkan beberapa tetes NaOH 3% dengan bantuan indikator PP

sampai berwarna merah muda dan diasamkan sedikit dengan

menggunakan HCl 3% sampai pH nya sedikit asam yaitu sekitar 6,

kemudian ditera dalam labu takar 100 mL dengan menggunakan

akuades, kemudian disaring. Sebanyak 5 mL filtrat dipipet ke dalam

erlenmeyer asah dan ditambahkan 25 mL larutan Luff Schrool dan 20

mL akuades dan direfluks kembali selama 10 menit (dihitung pada

Page 39: gelatinisasi tapioka

71

saat mulai mendidih). Setelah mendidih, kemudian didinginkan dalam

boks es selama beberapa menit. Kemudian sampel yang telah dingin

ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 15 mL larutan KI 20% lalu

segera dititrasi dengan Na2S2O3 0.1 N yang telah distandarisasi.

Penambahan indikator kanji 0.5% dilakukan pada saat titrasi

berlangsung, titrasi dihentikan pada saat larutan berubah warna dari

ungu menjadi putih keruh.

Penentuan blanko dilakukan dengan mencampurkan 25 mL

larutan Luff Schrool dan 25 mL akuades (tanpa sampel). Kemudian

direfluks selama 10 menit (dihitung pada saat mulai mendidih ), lalu

didinginkan dalam boks es selama beberapa menit. Kemudian

ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 10 mL larutan KI 20%, dan

segera dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1N yang telah distandarisasi.

Penambahan indikator kanji 0.5% di lakukan pada saat titrasi

berlangsung, titrasi dilakukan pada saat larutan berubah warna dari

ungu menjadi putih keruh. Kadar pati diukur dengan cara sebagai

berikut:

Kadar Pati = G x Fp x 0.9 x 100% W

Keterangan :

G = mg glukosa dari tabel (Vol Na2S2O3 Blanko - Vol Na2S2O3

contoh)

Fp = faktor pengenceran

W = bobot contoh (mg)

4. Kadar Amilosa (Apriyantono et al., 1998) dan Amilopektin

• Pembuatan kurva standar

Sebanyak 40 mg amilosa kentang dilarutkan dalam 10 ml NaOH

alkoholik (1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N). Lalu campuran ini

dipanaskan dalam air mendidih selama kurang lebih 10 menit sampai

semua bahan terlarut, lalu didinginkan. Kemudian campuran tadi

(larutan amilosa) dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan

Page 40: gelatinisasi tapioka

72

ditambahkan air suling sampai tanda tera. Setelah itu, dipipet masing-

masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan amilosa, masing-masing

dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Larutan diasamkan dengan

asam asetat 1 N masing-masing sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml.

Lalu ditambahkan 2.0 ml larutan iodine (0.2 gram iod dan 2 gram KI

dalam 100 ml air). kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda

tera, dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan dianalisa dengan

Spectronic Instrumen 20D+ Spektrofotometer pada panjang

gelombang 610 nm. Lalu data yang diperoleh digunakan untuk

membuat kurva standar hubungan antara konsentrasi amilosa dengan

absorbansi.

• Analisis sampel

Sebanyak 100 mg sampel ditimbang dan dimasukkan dalam labu

ukur 100 ml, kemudian 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N

ditambahkan ke dalam sampel. Larutan dipanaskan dalam water bath

(air mendidih) selama 10 menit (sampai pati tergelatinisasi. Setelah

itu, labu ukur yang berisi sampel didinginkan selama 1 jam dan

ditambahkan akuades sampai tanda tera, kemudian dikocok.

Sebanyak 5 ml larutan sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam

labu ukur 100 ml yang telah diisi 40 ml akuades. Sebanyak 1 ml asam

asetet 1 N dan 2 ml larutan, kemudian ditambahkan air sampai tanda

tera. Larutan sampel dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan

sampel diambil untuk dianalisa dengan Spectronic Instrumen 20D+

Spektrofotometer. Selain itu, dibuat juga larutan blanko dengan cara

mencampurkan semua bahan kecuali sampel. Kadar amilosa diukur

dengan cara sebagai berikut:

Kadar amilosa (%) = A x Fp x V x 100% W

Page 41: gelatinisasi tapioka

73

Keterangan:

A = konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml)

Fp = faktor pengenceran

V = volume awal (ml)

W = bobot awal (mg)

Kadar amilopektin diperoleh dari selisih antara kadar pati dengan

kadar amilosa sampel.

5. Nilai pH

Nilai pH diukur dengan menggunakan Mettler Toledo MP220 pH-

meter. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi dengan menggunakan

buffer pH 4 dan 7. Setelah dikalibrasi baru dilakukan pengukuran sampel

dengan membuat suspensi sampel sebesar 10%.

6. Bentuk dan Ukuran Pati

Bentuk dan ukuran pati diamati dengan menggunakan Olympus

BH-2 Polarized Light Microscope. Sejumlah sampel ditambahkan dengan

aquades kemudian diteteskan dalam gelas objek dan ditutup dengan kaca

penutup. Sampel diamati dibawah lensa mikroskop kemudian difoto

dengan menggunakan kamera Olympus C-33AD-4 yang telah terpasang

pada mikroskop.

7. Kehalusan

Kehalusan diukur dengan menggunakan alat Digital Sieve Shaker.

Alat ini bekerja dengan menggunakan beberapa susunan ayakan atau

saringan, serta menggunakan getaran berupa gelombang dengan satuan

amplitude. Ayakan yang digunakan berjumlah tiga buah yang disusun

dari ukuran lubang terkecil sampai terbesar, lalu dipaling bawah diberi

wadah untuk menampung sisa sampel. Setting pengayakan yang

digunakan adalah dengan getaran sebesar 60 amplitudo dan selama 15

Page 42: gelatinisasi tapioka

74

menit, sedangkan ayakan yang digunakan yaitu ayakan no.50 (300µm),

no.100 (150µm), dan no. 140 (106µm). Nomor ayakan yang digunakan

berbeda dengan yang ditetapkan oleh TIA (The Tapioca Institute of

America) karena adanya keterbatasan alat. Namun, karena nilai kehalusan

mengacu pada TIA, maka perbedaan nomor ayakan ini diasumsikan sama

dengan nomor ayakan yang ditetapkan oleh TIA.

Pengukuran dilakukan dengan menimbang sejumlah sampel lalu

ditaburkan secara merata pada ayakan paling atas. Kemudian ayakan

ditutup dan alat dihidupkan. Lalu kehalusan diketahui dengan menghitung

persentase jumlah sampel yang lolos ayakan. Kehalusan diukur dengan

cara sebagai berikut:

% Kehalusan = 100% - (% sampel yang tidak lolos ayakan)

= 100% - ((D:W) x 100%)

Keterangan :

D = bobot sampel yang tertinggal di ayakan (g)

W = bobot sampel (g)

8. Derajat Putih

Derajat putih tepung tapioka diukur dengan menggunakan alat

Kett Electric Laboratory C-100-3 Whitenessmeter. Sebelum digunakan

alat dikalibrasi dengan standar derajat putih yaitu BaSO4 yang memiliki

derajat putih 100% (110.8). Setelah dikalibrasi, derajat putih sampel dapat

diukur dengan memasukkan sejumlah sampel dalam wadah sampel yang

tersedia sampai benar-benar padat, kemudian wadah ditutup. Wadah yang

telah berisi sampel dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai

derajat putih akan keluar pada layar (A). Derajat putih diukur dengan cara

sebagai berikut:

Page 43: gelatinisasi tapioka

75

DP (%) = A x 100% Nilai Standar BaSO4 (110.8)

Keterangan :

DP = derajat putih (%)

A = nilai terbaca pada alat

9. Daya Kembang Pati (Swelling power) dan Kelarutan Pati (Modifikasi

Swinkels, 1985, serta Li dan Yeh, 2001)

Swinkels (1985) mengatakan bahwa nilai swelling power dan

kelarutan pati bisa diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pada pati,

yaitu sekitar 50°C-95°C dengan interval 5°C. Sementara itu, Li dan Yeh

(2001) mengukur swelling dan kelarutan pati dengan interval 10°C yaitu

pada suhu 55°C, 65°C, 75°C, 85°C, dan 95°C. Namun, dalam penelitian

ini suhu yang digunakan yaitu 60°C-90°C dengan interval 10°C,

kemudian juga dilakukan untuk suhu 95°C. Perbedaan suhu pengukuran

ini dilakukan karena berkaitan dengan suhu pemasakan larutan bumbu

pada produk kacang salut. Pati dengan konsentrasi 1% dipanaskan pada

waterbath dengan suhu 60°C, 70°C, 80°C, 90°C, dan 95°C selama 30

menit, kemudian disentrifusi dengan kecepatan 3000 rpm selama 30

menit, lalu supernatan dipisahkan dari endapan. Nilai swelling power

diukur dengan membagi berat endapan dengan berat pati kering sebelum

dipanaskan (g/g).

Kelarutan diukur dengan mengeringkan supernatan hasil

pemisahan sampai beratnya konstan. Kelarutan dinyatakan sebagai persen

berat pati yang larut dalam air. Swelling power dan kelarutan diukur

dengan cara sebagai berikut:

WYXSP −=

Page 44: gelatinisasi tapioka

76

Keterangan :

SP = swelling power

W = berat sampel (g)

X = berat tabung kosong (g)

Y = berat tabung dan endapan (g)

Kelarutan (%) %100xW

YX −=

Keterangan :

W = berat sampel (g)

X = berat cawan kosong (g)

Y = berat cawan dan endapan (g)

10. Pola Gelatinisasi

Pola gelatinisasi tepung tapioka dan MOCAL dipelajari dengan

mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat

Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121. Sampel

ditimbang sebanyak 45 gram, lalu dimasukkan ke dalam botol gelas yang

volumenya 500 ml dan ditambah akuades sebanyak 450 ml. Kemudian

campuran air dan pati tersebut dipindahkan ke dalam mangkuk amilograf

yang telah terpasang pada alat.

Mangkuk amilograf yang berisi sampel diputar pada kecepatan 75

rpm sambil suhunya dinaikkan dengan cara mengatur switch pada

termoregulator dari 30ºC menjadi 90ºC dengan kenaikan 1.5ºC per menit.

Setelah itu, suhu dipertahankan pada suhu 95ºC selama 20 menit,

kemudian suhu diturunkan dengan mengatur switch pada suhu 50ºC

dengan laju penurunan yang sama. Kemudian suhu juga dipertahankan

selama pada 50ºC selama 20 menit. Perubahan viskositas pasta dicatat

secara otomatis pada kertas grafik dalam satuan BU (Brabender Unit).

Page 45: gelatinisasi tapioka

77

11. Analisis Tekstur

Tekstur dianalisis dengan menggunakan Stable Micro System

TAXT2 Texture Analyzer. Prinsipnya adalah dengan memberikan gaya

tekan pada sampel, kemudian akan dihasilkan profil tekstur berupa grafik

yang menghubungkan antara gaya (force) dengan jarak (distance).

Pertama-tama dilakukan pemasangan probe dan kalibrasi ketinggian

probe. Sebelum pengukuran dilakukan setting alat sesuai dengan sampel

yang akan dianalisis.

Sampel diletakkan di atas wadah yang tersedia, kemudian

pengukuran dilakukan dengan memberikan gaya tekan pada sampel. Pada

layar komputer akan ditampilkan profil tekstur dari sampel yang dianalisis.

12. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan terhadap 23 orang panelis tidak terlatih

dengan menggunakan uji rating. Parameter yang diuji adalah tekstur

(kerenyahan). Sampel disajikan secara acak dengan kode tertentu dan

panelis diminta untuk memberikan penilaian sesuai dengan tingkat

kerenyahan sampel yaitu pada skala 1 sampai 7. Kemudian data skor

tekstur yang diperoleh diolah secara statistik dengan software SPSS,

menggunakan uji Duncan dan uji Post Hoc. Penilaian kriteria mutu

sensoris (tekstur) kacang salut mengacu pada Tabel 7.

Tabel 7. Penilaian mutu sensoris kacang salutSkala Tekstur (kerenyahan)

1 amat sangat tidak renyah2 sangat tidak renyah3 tidak renyah4 netral (biasa)5 renyah6 sangat renyah7 amat sangat renyah

13. Analisis Korelasi

Analsis korelasi dilakukan dengan menggunakan software SPSS.

Kekuatan hubungan antara dua variabel yang diukur dinyatakan dengan

Page 46: gelatinisasi tapioka

78

koefisien korelasi atau r. Analisis korelasi dilakukan baik antara sifat

kimia dan fisik itu sendiri maupun dengan tingkat pengembangan papatan

dan kerenyahan. Namun, analisis korelasi hanya dilakukan antara sifat atau

parameter yang diperkirakan memiliki kaitan. Analisis korelasi antara sifat

kimia dan fisik dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan

dilakukan hanya pada sampel tepung tapioka, tanpa MOCAL. Hal ini

dilakukan agar dapat dilakukan perbandingan tingkat pengembangan

papatan dan kerenyahan yang terjadi antar tepung tapioka, karena

MOCAL berbeda dengan tepung tapioka.

Analisis korelasi yang berkaitan dengan parameter swelling power

dan kelarutan, misalnya kerenyahan, dilakukan dengan mengkorelasikan

parameter kerenyahan dengan slope atau kemiringan yang terjadi pada

swelling power dan kelarutan. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa

suhu yang dilakukan dalam pengukuran swelling power maupun kelarutan

bersifat kontinu sehingga korelasi yang terjadi lebih mudah untuk diamati.

Page 47: gelatinisasi tapioka

79

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TEPUNG TAPIOKA

A. SIFAT KIMIA TEPUNG TAPIOKA

1. Kadar Air

Kadar air tepung tapioka menunjukan nilai yang bervariasi (Tabel

8). Kadar air tertinggi dimiliki oleh tapioka B (12.94 %), sedangkan

kadar air terendah dimiliki oleh tapioka C (9.51%). Kadar air untuk

beberapa sampel tidak berbeda nyata (P>0.05), yaitu antara tapioka D,

E, dan F (Lampiran 5a).

Tabel 8. Kadar air sampelNo. Sampel Kadar air (%)1. Tapioka A 11.75a

2. Tapioka B 12.94b

3. Tapioka C 9.51c

4. Tapioka D 11.00d

5. Tapioka E 10.64d

6. Tapioka F 10.54d

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan

nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Perbedaan kadar air sampel dapat dipengaruhi oleh proses

pengolahan, khususnya pada saat pengeringan. Pada industri rumah

tangga, biasanya pengeringan dilakukan secara tradisional yaitu dengan

penjemuran di bawah sinar matahari, sedangkan pada industri besar,

pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat pengering

(dryer). Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang Syarat Mutu Tepung

Tapioka, kadar air keenam sampel tepung tapioka telah memenuhi

standar yang ditetapkan yaitu maksimal 15%, baik tepung tapioka mutu

I, mutu II maupun mutu III.

2. Kadar Abu

Kadar abu tepung tapioka yang diuji ternyata menunjukan nilai

yang bervariasi. Kadar abu antara tapioka A, B, dan F tidak berbeda

Page 48: gelatinisasi tapioka

80

nyata, begitu pula dengan kadar abu antara tapioka D, dan E, tidak

berbeda nyata (Lampiran 5a). Kadar abu sampel disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Kadar abu sampelNo. Sampel Kadar abu (%)1. Tapioka A 0.01a

2. Tapioka B 0.01a

3. Tapioka C 0.03c

4. Tapioka D 0.04d

5. Tapioka E 0.04d

6. Tapioka F 0.02a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan

nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Salah satu proses pengolahan tepung tapioka yang dapat

menyebabkan perbedaan nilai kadar abu adalah pada tahap ekstraksi

pati. Pada industri besar, ekstraksi pati dilakukan dengan menggunakan

alat canggih seperti ekstraktor, sedangkan pada industri rumah tangga

ekstraksi dilakukan secara manual dengan menggunakan saringan

bertingkat yang terbuat dari bak kayu. Mineral yang terkandung dalam

umbi singkong dapat ikut terbuang bersama ampas hasil proses

ekstraksi, sehingga kadar abu yang terukur menjadi lebih rendah.

Menurut Asaoka et al. (1992) dalam Sriroth et al. (1999), sifat-

sifat fungsional pati singkong juga sangat dipengaruhi oleh keadaan

genetik dan kondidi lingkungan penanaman singkong. Sriroth et al.

(1999) melaporkan adanya perbedaan nilai kadar abu tepung tapioka

yang dihasilkan dari empat jenis varietas singkong di Thailand (Rayong

1, Rayong 60, Rayong 90, dan Rayong 50) yang ditanam di lokasi yang

berbeda. Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang Syarat Mutu Tepung

Tapioka, kadar abu keenam sampel tepung tapioka telah memenuhi

standar yang ditetapkan yaitu maksimal 0.6%, baik tepung tapioka mutu

I, mutu II maupun mutu III.

Page 49: gelatinisasi tapioka

81

3. Nilai pH

Berdasarkan hasil pengukuran, nilai pH sampel berada pada

kisaran 4.0-7.0, dengan pH terendah pada tapioka C yaitu 4.12 dan

tertinggi pada tapioka E yaitu 6.52. Nilai pH keenam sampel berbeda

nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P<0.05). Nilai pH keenam tepung

tapioka telah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh The Tapioca

Institute of America (TIA). Hasil pengukuran pH sampel dapat dilihat

pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai pH sampelNo. Sampel pH1 Tapioka A 5.18a

2 Tapioka B 5.42b

3 Tapioka C 4.12c

4 Tapioka D 5.02d

5 Tapioka E 6.52e

6 Tapioka F 4.19f

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan

nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Perbedaan nilai pH pada tiap sampel dapat dipengaruhi oleh

proses pengolahan, terutama pada saat proses ekstraksi, yaitu pada tahap

pemisahan antara air dengan pati. Pada industri rumah tangga, proses

pemisahan pati dengan air dilakukan melalui pengendapan berjam-jam,

sehingga memungkinkan terjadinya proses fermentasi alami oleh

mikroba. Semakin lama pengendapan, asam-asam organik yang

dihasilkan akibat fermentasi akan semakin banyak sehingga pH tepung

tapioka yang dihasilkan menjadi semakin rendah. Berbeda dengan

industri rakyat, pada industri besar ekstraksi pati dilakukan dengan alat-

alat atau mesin canggih, sehingga proses pemisahan pati dengan air

menjadi lebih cepat. Proses pemisahan yang cepat ini dapat

menghambat terjadinya proses fermentasi alami oleh mikroba.

Page 50: gelatinisasi tapioka

82

4. Kadar Pati

Kadar pati tertinggi pada tapioka D yaitu 81.00% dan terendah

pada tapioka B, yaitu 72.49%. Kadar pati tapioka A, B, E, dan F tidak

berbeda nyata (Lampiran 5b), begitu pula dengan tapioka C dan D tidak

berbeda nyata (P>0.05). Kadar pati tepung tapioka tidak dipersyaratkan

dalam SNI. Beberapa studi melaporkan kandungan pati yang berbeda-

beda pada tepung tapioka. Menurut Grace (1977), kadar pati tepung

tapioka sekitar 85%. Sementara itu, Abera dan Rakshit (2003)

melaporkan jumlah kadar pati dari tiga varietas singkong (CMR, KU50,

dan R5) yang diolah dengan cara yang berbeda (penggilingan basah dan

penggilingan kering) yaitu sekitar 96-98%. Kadar pati sampel tepung

tapioka disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11. Kadar pati sampelNo. Sampel Kadar Pati (%)1. Tapioka A 75.96a

2. Tapioka B 72.49a

3. Tapioka C 81.00b

4. Tapioka D 80.67b

5. Tapioka E 73.05a

6. Tapioka F 73.59a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan

nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Kadar pati tepung tapioka hasil pengukuran lebih rendah dari

penelitian yang telah ada sebelumnya. Perbedaan kadar pati pada

keenam sampel tepung tapioka ini dapat terjadi karena perbedaan

varietas singkong dan waktu panen singkong. Radley (1976)

menyatakan bahwa kandungan pati singkong meningkat seiring dengan

waktu pemanenan. Waktu yang dibutuhkan umbi singkong untuk

mencapai kematangan berbeda tergantung iklim dan lokasi

penanamannya. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Grace (1977),

bahwa dalam memperoleh pati dari singkong (tepung tapioka) harus

dipertimbangkan usia atau kematangan dari tanaman singkong. Ketika

umbi singkong dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat sampai

Page 51: gelatinisasi tapioka

83

pada titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu,

sehingga umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah.

Perbedaan kadar pati juga dapat terjadi karena proses pengolahan.

Abera dan Rakshit (2003) melaporkan bahwa proses penggilingan

kering pada pembuatan tepung tapioka dapat menghilangkan kadar pati

sebesar 13-20%. Selain itu, kadar pati juga dapat berkurang karena

partikel-partikel pati yang berukuran kecil ikut terbuang bersama

partikel serat halus selama proses pencucian pati. Pada proses

penyaringan basah, kehilangan jumlah pati juga dapat terjadi karena

adanya partikel-partikel pati yang lebih besar yang tidak lolos saringan,

sehingga jumlah pati yang terukur menjadi lebih sedikit.

5. Kadar Amilosa dan Amilopektin

Hasil pengukuran kadar amilosa dikonversi berdasarkan bobot

pati yang terukur. Kadar amilosa terbesar dimiliki oleh tapioka A yaitu

24.01% dan yang terendah adalah tapioka C yaitu 15.47%. Kadar

amilosa antara tapioka A dan B tidak berbeda nyata (Lampiran 5b),

Begitu pula antara tapioka C dan F (P>0.05). Kadar amilosa dan

amilopektin tepung tapioka disajikan dalam Tabel 12.

Tabel 12. Kadar amilosa dan amilopektin sampelNo. Sampel Kadar amilosa (%) Kadar amilopektin

(%)1 Tapioka A 24.01a 75.99a

2 Tapioka B 23.87a 76.13a

3 Tapioka C 15.47c 84.53c

4 Tapioka D 21.30d 78.70d

5 Tapioka E 20.33d 79.67d

6 Tapioka F 17.39c 82.61c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Banyak studi yang telah dilakukan dalam menentukan kadar

amilosa tepung tapioka. Umumnya, studi-studi tersebut melaporkan

kadar amilosa yang berbeda-beda. Perbedaan kadar amilosa ini dapat

terjadi karena adanya perbedaan varietas singkong. Charles et al. (2005)

Page 52: gelatinisasi tapioka

84

melaporkan kadar amilosa tepung tapioka dari lima varietas singkong

(Rayong 2, Rayong 5, KU50, Hanatee, dan YOO2) yaitu sekitar 15.9-

22.4%. Menurut Moorthy (2004), kadar amilosa tepung tapioka berada

pada kisaran 20-27% mirip dengan pati tanaman lain, sedangkan kadar

amilosa pada singkong sekitar 18-25%. Variasi kadar amilosa

tergantung dari varietas singkong. Sementara itu, menurut Pomeranz

(1991), kadar amilosa tepung tapioka yaitu sekitar 17%. Kadar amilosa

juga dipengaruhi oleh waktu panen singkong. Sriroth et al. (1999)

menyatakan bahwa kadar amilosa singkong dan pati pada umumnya

akan lebih rendah pada tanaman yang masih dalam fase pertumbuhan

(belum siap panen).

B. SIFAT FISIK TEPUNG TAPIOKA

1. Bentuk dan Ukuran Granula Pati

Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop

cahaya terpolarisasi, dapat dilihat bahwa bentuk granula dari semua

sampel tepung tapioka dengan ukuran granula yang tidak jauh berbeda

untuk tiap sampel (Tabel 13). Hasil pengamatan bentuk granula tepung

tapioka dapat dilihat pada Gambar 10.

Menurut Moorthy (2004), granula tepung tapioka menunjukan

variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µm dengan bentuk bulat dan oval.

Febriyanti (1990) mendapati ukuran granula pati dari beberapa varietas

tepung singkong berada pada kisaran 3-25 µm.

Rata-rata ukuran granula tepung tapioka dalam penelititan ini

menunjukan nilai yang tidak berbeda dengan studi terdahulu, yaitu

sekitar 3-40 µm. Sriroth et al., (1999) melaporkan bahwa ukuran

granula pati dari singkong yaitu sekitar 8-22 µm, dengan rata-rata

ukuran granula yaitu 15 µm (14 bulan masa panen) dan 12 µm (16 bulan

masa panen). Perbedaan ukuran granula dapat dipengaruhi oleh kondisi

dan waktu panen singkong.

Page 53: gelatinisasi tapioka

85

100 µm

100 µm 100 µm

100 µm

100 µm

100 µm

Tabel 13. Ukuran granula sampelNo. Sampel Ukuran Granula (µm)1. Tapioka A 3-402. Tapioka B 3-403. Tapioka C 3-304. Tapioka D 3-305. Tapioka E 3-306. Tapioka F 3-40

Gambar 10. Granula Pati Tepung Tapioka (A, B, C, D, E, dan F)

2. Kehalusan (lolos ayak)

Kehalusan tepung tapioka berbeda nyata pada taraf signifikansi

0.05 (P<0.05), baik pada penyaringan dengan menggunakan ayakan

Page 54: gelatinisasi tapioka

86

no.50, no.100, maupun no.140 (Lampiran 5c). Hasil pengukuran

kehalusan (lolos ayak) dapat dilihat pada Tabel 14.

Kehalusan sampel pada ayakan no.50 tidak berbeda nyata pada

semua sampel tepung tapioka (P>0.05). Kehalusan sampel pada ayakan

no.100 tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, E, dan F (P>0.05).

Kehalusan sampel pada ayakan no.150 tidak berbeda nyata antara

tapioka B, C, D, dan F (P>0.05).

Tabel 14. Hasil pengukuran kehalusan sampelKehalusan sample (%)

No. Sampel No.50 (300µm) No.100 (150µm) No. 140(106µm)

1. Tapioka A 98.90a 91.81a 87.72a

2. Tapioka B 99.83a 96.81b 92.10b

3. Tapioka C 99.65a 98.23b 93.83b

4. Tapioka D 99.83a 98.65b 93.55b

5. Tapioka E 99.78a 98.95b 96.98c

6. Tapioka F 99.63a 95.69b 92.43b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan nilai yang

tidak berbeda nyata (P>0.05)

Kehalusan tepung tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI, namun

mengacu pada TIA (The Tapioca Institute of America), maka kualitas

tepung tapioka yang digunakan dalam penelitian ini, berdasarkan

kehalusannya, termasuk ke dalam kategori grade C karena kehalusan

semua sampel tepung tapioka telah memenuhi standar lolos ayak pada

ayakan no.60 yaitu 95%. Sementara itu, kehalusan semua sampel tepung

tapioka yang diayak dengan ayakan no.80 dan no.140 tidak memenuhi

standar yang ditetapkan oleh TIA karena tidak memenuhi standar lolos

ayak pada ayakan no.80 dan no.140 yaitu sebesar 99%.

3. Derajat Putih

Derajat putih antara tapioka A dan D tidak berbeda nyata, begitu

juga derajat putih antara tapioka B dan F tidak berbeda nyata, serta

derajat putih antara tapioka C dan E tidak berbeda nyata (P>0.05).

Page 55: gelatinisasi tapioka

87

Derajat putih terbesar dimiliki oleh tapioka D dan terendah dimiliki oleh

tapioka F.

Menurut Meyer (1960) dalam Mulyandari (1992), derajat putih

sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati. Semakin murni proses

ekstraksi pati, maka tepung yang dihasilkan akan semakin putih. Jika

proses ekstraksi pati dilakukan dengan baik maka semakin banyak

komponen pengotor yang hilang bersama air pada saat pencucian pati.

Secara umum, nilai derajat putih keenam sampel tepung tapioka telah

memenuhi SNI 01-3451-94 baik pada kategori mutu I yaitu minimal

94.5%, maupun mutu II yaitu minimal 92%, dan mutu III yaitu kurang

dari 92%. Derajat putih tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Derajat putih sampelNo. Sampel Derajat putih (%)1. Tapioka A 99.91a

2. Tapioka B 95.62b

3. Tapioka C 97.79c

4. Tapioka D 100.00a

5. Tapioka E 97.90c

6. Tapioka F 95.22b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan

bahwa nilainya tidak berbeda nyata (P>0.05)

4. Daya Kembang (Swelling power) dan Kelarutan

Secara umum, swelling power akan meningkat dengan

bertambahnya suhu pengukuran. Namun, peningkatan swelling power

berbeda untuk masing-masing sampel (Gambar 11)

Perbedaan nilai swelling power pada tepung tapioka dan MOCAL

dapat terjadi karena adanya perbedaan kadar amilosa dan amilopektin.

Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan

amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda,

antara lain swelling power dan kelarutan. Sasaki dan Matsuki (1998)

dalam Li dan Yeh (2001) melaporkan bahwa proporsi yang tinggi pada

rantai cabang amilopektin berkontribusi dalam peningkatan nilai

swelling. Sasaki dan Matsuki (1998) dalam Li dan Yeh (2001) juga

Page 56: gelatinisasi tapioka

88

0.005.00

10.0015.0020.0025.0030.0035.0040.0045.0050.00

60 70 80 90 95Suhu (oC)

Sw

ellin

g Po

wer

(g/g

)

Tapioka ATapioka BTapiokaCTapiokaDTapioka ETapioka F

melaporkan bahwa terdapat korelasi negatif antara swelling power

dengan kadar amilosa. Hal ini terjadi karena amilosa dapat membentuk

kompleks dengan lipida dalam pati, sehingga dapat menghambat

swelling. Hasil analisis swelling power dan kelarutan disajikan dalam

Lampiran 1.

Gambar 11. Pola swelling power sampel tepung tapioka

Dalam penelitian ini diperoleh korelasi yang positif antara kadar

amilosa yang terdapat pada sampel dengan swelling power tetapi

korelasinya sangat rendah dan tidak signifikan (Lampiran 7a). Hal ini

sesuai dengan hasil studi yang dilaporkan oleh Charles et al. (2005),

bahwa terdapat korelasi positif antara swelling power dengan kadar

amilosa. Hal ini dapat dijelaskan dengan rendahnya kandungan lipida

dalam tepung tapioka, sehingga kompleks antara amilosa dengan lipida

tidak terlalu berpengaruh dalam menghambat swelling. Charles et al.

(2005), juga melaporkan dalam studinya bahwa kadar lipida dalam lima

jenis tepung tapioka yang berasal dari varietas singkong yang berbeda

(Rayong 2, Rayong 5, KU50, Hanatee, dan YOO2) menunjukan nilai

yang sama yaitu 0.1%.

Page 57: gelatinisasi tapioka

89

0

510

1520

2530

3540

45

60 70 80 90 95

Suhu (oC)

Kela

ruta

n (%

)

Tapioka ATapiokaBTapiokaCTapiokaDTapioka ETapioka F

Secara umum, kelarutan pati tepung tapioka meningkat seiring

dengan peningkatan suhu pengukuran (Gambar 12). Menurut Pomeranz

(1991), kelarutan pati akan meningkat dengan meningkatnya suhu, dan

kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati.

Gambar 12. Pola kelarutan tepung tapioka

Perbedaan kelarutan pati antar sampel dapat terjadi karena

perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin. Charles et al. (2005)

melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa dan

amilopektin yang berbeda, menunjukan nilai swelling power dan

kelarutan pati yang berbeda pula. Menurut Fleche (1985), ketika

molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekul tersebut

mulai menyebar ke media yang ada di luarnya. Molekul yang pertama

keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek.

Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan

keluar dari granula pati. Mulyandari (1992) melaporkan selama

pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan

kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan

amilosa. Korelasi positif terjadi antara amilosa dengan kelarutan pati

(Lampiran 10a)

Page 58: gelatinisasi tapioka

90

5. Pola Gelatinisasi

Pola gelatinisasi tepung tapioka dan MOCAL dipelajari dengan

mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat

Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121. Pengamatan

dilakukan terhadap suhu gelatinisasi (SG), viskositas maksimum (VM),

suhu saat viskositas maksimum (SVM), stabilitas pasta (breakdown),

viskositas balik (setback), dan stabiltas pendinginan. Pola gelatinisasi

yang berbeda antar masing-masing sampel dapat terjadi karena

perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati

yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat

fungsional yang berbeda, antara lain suhu gelatinisasi, dan viskositas.

Oleh karena itu pada penelitian ini, pola gelatinisasi sampel tepung

tapioka dikorelasikan dengan kadar amilosa yang dikandungnya. Hasil

pengukuran sifat amilografi tepung tapioka disajikan pada Tabel 16,

sedangkan pola gelatinisasi tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar

13.

a. Suhu gelatinisasi (SG)

Suhu gelatinisasi terendah dimiliki oleh tapioka D yaitu

62.25ºC, sedangkan suhu gelatinisasi yang tertinggi ada pada tapioka

B yaitu 67.50ºC. Suhu gelatinisasi yang lebih rendah pada tapioka D

menunjukan bahwa hidrasi atau pengikatan air pada tapioka D lebih

mudah terjadi, sehingga pada suhu yang lebih rendah, granula pati

pada tapioka D sudah mulai tergelatinisasi. Menurut Swinkels (1985),

suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 65-70°C. Sedangkan menurut

Winarno (2002) dan Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tapioka

berada pada kisaran 52-64°C.

Perbedaan suhu gelatinisasi antar sampel tepung tapioka dapat

terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005)

melaporkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa.

Page 59: gelatinisasi tapioka

Tabel 16. Sifat amilografi sampelSampel Suhu

gelatinisasi

(°C)

Suhu

Viskositas

maksimum

(°C)

Viskositas

Maksimum

(BU)

Viskositas

95°C

(BU)

Viskositas

95°C/20

(BU)

Viskositas

50°C

(BU)

Viskositas

50°C/20

(BU)

Breakdown

(BU)

Setback

(BU)

Stabilitas

fase

pendinginan

(BU)

Tapioka A 65.25 75.75 1620 640 465 710 820 1155 245 110

Tapioka B 67.50 76.50 1520 630 455 580 680 1065 125 100

Tapioka C 63.75 74.25 1430 530 340 420 490 1090 80 70

Tapioka D 62.25 72.90 1700 700 495 720 810 1205 225 90

Tapioka E 64.50 74.25 1720 650 500 750 900 1220 250 150

Tapioka F 63.75 73.50 950 440 300 340 390 650 40 50

45

Page 60: gelatinisasi tapioka

45

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

62.25

65.25 95 95 50 50

Suhu (oC)

Visk

osita

s (B

U) Tapioka A

Tapioka BTapioka CTapioka DTapioka ETapioka F

Gambar 13. Grafik pola gelatinisasi tepung tapioka

46

Page 61: gelatinisasi tapioka

46

Struktur amilosa yang sederhana ini dapat membentuk interaksi

molekular yang kuat dengan air, sehingga pembentukan ikatan

hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa (Taggart, 2004).

Namun, berdasarkan uji korelasi diperoleh korelasi yang lemah antara

suhu gelatinisasi dengan kadar amilosa (r=0.558).

b. Viskositas maksimum (VM) dan suhu pencapaiannya (SVM)

Viskositas maksimum yang dapat dicapai oleh pati disebut juga

viskositas puncak. Sedangkan suhu viskositas maksimum (SVM)

adalah suhu saat pati mencapai viskositas maksimum. Viskositas

maksimum (VM) terbesar dimiliki oleh tapioka E yaitu 1720 BU

(Tabel 16), yang berarti kemampuan granula patinya dalam

menghidrasi air lebih besar dibandingkan sampel lainnya. Pemecahan

granula pati pada E juga lebih cepat dibandingkan sampel lainnya.

Hal ini dapat dilihat dari kisaran suhu sampel mulai tergelatinisasi

(SG) sampai mencapai viskositas maksimum (SVM) yaitu 64.5-

74.25°C. Sementara itu, viskositas maksimum (VM) terendah pada

tapioka F yaitu 950 BU

Perbedaan viskositas maksimum antar sampel tepung tapioka

dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005)

melaporkan bahwa semakin tinggi kadar amilosa maka viskositas

maksimum pati akan semakin tinggi. Pada penelitian ini diperoleh

adanya korelasi antara kadar amilosa dan viskositas maksimum

(r=0.541), tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05

(P>0.05). Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa korelasi antara

viskositas maksimum dengan swelling power sangat rendah. Hal ini

ditandai dengan kecilnya nilai koefisien korelasi antar keduanya yaitu

0.032. Hal ini dapat terjadi karena suhu viskositas maksimum yang

dicapai oleh sampel masih berada di kisaran 70°C, sedangkan

pengukuran swelling power mencapai suhu 95°C dan pengukurannya

tidak kontinu.

Page 62: gelatinisasi tapioka

47

Semakin tinggi viskositas maksimum, berarti kemampuan pati

dalam menyerap air semakin besar dan daya thickening-nya

(kelengketan) semakin besar. Sehingga hal ini memungkinkan

penggunaan tepung dalam jumlah yang lebih sedikit untuk mencapai

viskositas tertentu, dan akhirnya dapat mengurangi biaya produksi.

c. Stabilitas pasta panas (breakdown)

Stabilitas pasta panas diukur berdasarkan perubahan viskositas

dari viskositas maksimum (VM) sampai viskositas selama pemanasan

pada suhu konstan (95°C). Stabilitas pasta panas juga dikenal sebagai

breakdown. Stabilitas pasta panas bernilai positif jika terjadi

peningkatan viskositas dan bernilai negatif jika terjadi penurunan

viskositas. Pada Gambar 12, viskositas tiap sampel selama penahanan

terus mengalami penurunan. Hal ini berarti stabilitas pasta panas

untuk semua sampel bernilai negatif.

Berdasarkan hasil pengukuran (Tabel 16), dapat dilihat bahwa

pasta panas tapioka F cenderung lebih stabil dibandingkan sampel

lainnya karena memiliki kemampuan yang lebih baik dalam

mempertahankan viskositasnya selama pemanasan. Hal ini ditunjukan

dengan rendahnya nilai breakdown sampel tersebut yaitu 390 BU.

Stabilitas pasta panas terendah pada sampel E yaitu dengan nilai

breakdown sebesar 1220 BU. Nilai breakdown yang besar selama

pemasakan menunjukan bahwa granula pati yang telah membengkak

secara keseluruhan memiliki sifat yang rapuh. Selain itu, pengadukan

yang kontinu juga menyebabkan granula pati yang rapuh akan pecah

sehingga viskositas turun secara tajam (Pomeranz, 1991).

Stabilitas pasta panas pada tepung tapioka juga dapat

dipengaruhi oleh pH. Menurut Winarno (2002), bila pH terlalu tinggi,

pembentukan pasta makin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi,

sedangkan bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat

dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan.

Berdasarkan uji korelasi terdapat korelasi yang kuat antara stabilitas

Page 63: gelatinisasi tapioka

48

pasta panas dengan pH (r=0.607), tetapi tidak berbeda nyata pada

taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Selain pH, perbedaan stabilitas pasta

panas (breakdown) antara tepung tapioka juga dapat dipengaruhi oleh

kadar amilosa. Pada penelitian ini diperoleh adanya korelasi antara

kadar amilosa dan breakdown (r=0.429), tetapi tidak berbeda nyata

pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Semakin tinggi kadar amilosa

pati maka viskositas breakdown akan semakin tinggi (Charles et al.,

2005)

d. Viskositas balik (setback)

Viskositas balik (setback) merupakan selisih antara viskositas

pada akhir pemasakan pada suhu konstan (95°C) dengan viskositas

pada akhir pendinginan (50°C). Nilai setback ini menunjukan

kecenderungan pati dalam beretrogradasi.

Semakin tinggi viskositas setback berarti semakin tinggi pula

kemampuan pati dalam beretrogradasi (Li dan Yeh, 2001).

Berdasarkan hasil pengukuran (Tabel 16) diperoleh bahwa tapioka E

memiliki kecenderungan yang besar untuk beretrogradasi, hal ini

ditunjukan dengan tingginya nilai viskositas setback tapioka E yaitu

250 BU. Hal ini menunjukan bahwa molekul-molekul amilosa dalam

tapioka E memiliki kecenderungan yang besar untuk kembali

berikatan satu sama lain saat proses pendinginan (cooling). Berbeda

dengan tapioka E, kemampuan tapioka F dalam beretrogradasi paling

kecil dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal ini dapat dilihat dari

nilai viskositas setback tapioka F yang sangat kecil yaitu 40 BU.

Perbedaan nilai setback antar sampel tepung tapioka juga dapat

terjadi karena perbedaan kadar amilosa, seperti yang telah dilaporkan

oleh Charles et al. (2005) bahwa semakin tinggi kadar amilosa pati

maka viskositas setback akan semakin tinggi. Berdasarkan uji

korelasi, terdapat korelasi yang kuat antara kadar amilosa dengan

viskositas setback (r=0.633), tetapi tidak berbeda nyata pada taraf

signifikansi 0.05 (P>0.05).

Page 64: gelatinisasi tapioka

49

e. Stabilitas pasta selama fase pendinginan

Stabilitas pasta dingin diperoleh dari selisih viskositas selama

pendinginan pada suhu konstan (50°C). Stabilitas pasta dingin

digunakan untuk mengetahui kestabilan pasta pati terhadap proses

pengadukan selama pendinginan setelah pemasakan. Viskositas yang

tinggi menunjukan stabilitas pasta dingin yang lebih rendah, karena

perubahan viskositasnya selama pendinginan konstan sangat besar.

Tapioka F memiliki nilai stabilitas pasta dingin paling tinggi yaitu 50

BU dan 40 BU. Hal ini menunjukan kemampuan ikatan antara

molekul tapioka F terhadap air cenderung tinggi selama pendinginan

dan tidak terlalu terpengaruh oleh proses pengadukan, sehingga

stabilitasnya selama fase pendinginan pada suhu konstan (50°C) lebih

stabil. Nilai stabilitas pasta dingin yang terendah dimiliki oleh tapioka

E yaitu 150 BU. Hal ini menunjukan bahwa stabilitas pasta dingin

pada tapioka E cenderung kurang stabil akibat pengadukan, sehingga

peningkatan viskositasnya selama pendinginan pada suhu konstan

(50°C) cukup tinggi.

Berdasarkan uji korelasi, terdapat korelasi antara kadar amilosa

dengan stabilitas pasta pada fase pendinginan (r=0.542), tetapi

korelasi antara keduanya tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi

0.05 (P>0.05).

C. ANALISIS TINGKAT PENGEMBANGAN PAPATAN

Dari hasil pengukuran dapat dilihat bahwa tingkat pengembangan

papatan dari tiap sampel berbeda (Tabel 17). Tingkat pengembangan

papatan tertinggi dimiliki oleh tapioka F yaitu 596.93%, sedangkan tingkat

pengembangan papatan yang terendah dimiliki oleh tapioka B yaitu

279.45%.

Page 65: gelatinisasi tapioka

50

Tabel 17. Tingkat pengembangan papatan sampelNo. Sampel Tingkat pengembangan

(%)1. Tapioka A 366.532. Tapioka B 279.453. Tapioka C 482.544. Tapioka D 309.605. Tapioka E 527.126. Tapioka F 596.93

Menurut Matz (1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari makanan

ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Pati yang

memiliki kandungan amilopektin tinggi cenderung memberikan karakter

produk yang fragile (mudah pecah), sedangkan amilosa akan memberikan

tekstur yang lebih tahan terhadap kemudahan untuk pecah. Berdasarkan uji

korelasi, diperoleh korelasi yang sangat kuat antara rasio amilosa dan

amilopektin dengan tingkat pengembangan papatan (r=-0.846), dan berbeda

nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Hal ini menunjukan bahwa

semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin maka papatan yang dihasilkan

akan semakin mengembang (Gambar 14).

Gambar 14. Korelasi antara tingkat pengembangan papatan denganrasio amilosa dan amilopektin

r2 = 0.7154

0.00

100.00

200.00

300.00

400.00

500.00

600.00

700.00

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30Rasio amilosa:amilopektin

tingk

at p

enge

mba

ngan

(%)

Page 66: gelatinisasi tapioka

51

Berdasarkan hasil analisi uji korelasi ternyata diperoleh korelasi yang

rendah antara tingkat pengembangan papatan dengan swelling power

maupun kelarutan (Lampiran 7d). Hal ini ditunjukan dengan rendahnya nilai

koefisien korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan swelling

power (r=0.264) maupun dengan kelarutan (r=0.337). Hal ini dapat terjadi

karena proses yang berbeda antara analisis swelling power dan kelarutan

dengan analisis pengembangan papatan. Kemampuan pati dalam menyerap

air (swelling power) dan kelarutannya tidak dapat menunjukan kemampuan

pati untuk mengembang ketika dipanaskan dalam media minyak

(penggorengan).

Menurut Fleche (1985), pati yang memiliki pH lebih rendah adalah pati

yang lebih cepat untuk terhidrolisis pada ikatan α (1,4). Asam dapat

mengganggu ikatan hidrogen yang terdapat dalam pati, sehingga

menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang (Taggart, 2004).

Dalam penelitian ini diperoleh korelasi yang sangat lemah antara pH dengan

tingkat pengembangan dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0.194

(Lampiran 7e). Korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan sifat

amilografi sampel menunjukan korelasi yang negatif. Koefisien korelasi

antara tingkat pengembangan papatan dengan viskositas puncak (r=-0.597),

setback (r=-0.403), breakdown (r=-0.559) dan stabilitas pasta fase

pendinginan (r=-0.209) menunjukan korelasi yang negatif. Korelasi antara

tingkat pengembangan papatan dengan sifat amilografi sampel cukup erat

tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Maka dapat

disimpulkan bahwa tingkat pengembangan papatan tidak secara langsung

dipengaruhi swelling power dan kelarutan, pH maupun sifat amilografi

sampel tepung tapioka (Lampiran 7f).

D. ANALISIS KERENYAHAN TEKSTUR KACANG SALUT

Pengukuran kerenyahan secara objektif dilakukan dengan alat Stable

Micro System TAXT2 Texture Analyzer. Kerenyahan dinyatakan dengan

besarnya gaya pada puncak pertama saat sampel mulai mengalami perubahan

bentuk (deformasi), dengan satuan gram force (gf). Berdasarkan hasil

Page 67: gelatinisasi tapioka

52

pengukuran diperoleh gaya (gf) yang berbeda-beda untuk masing-masing

penyalut pada produk kacang salut. Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa gaya

dan jarak paling rendah dihasilkan pada penyalut yang dibuat dari tapioka F,

sehingga dapat disimpulkan bahwa penyalut yang dibuat dari tapioka F

memiliki kerenyahan yang paling tinggi.

Tabel 18. Hasil pengukuran gaya (gf) dan jarak (mm), serta skorkerenyahan sampel penyalut pada produk kacang salut

No. Penyalut Gaya (gf) Jarak (mm) Skorkerenyahan

1. Tapioka A 4064.04a 0.496 4.043a

2. Tapioka B 6089.26b 0.637 3.435b

3. Tapioka C 3587.02a 0.448 4.587a

4. Tapioka D 5793.90b 0.781 3.391b

5. Tapioka E 5449.04b 0.775 4.087a

6. Tapioka F 1162.58c 0.407 5.391c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan

nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Berdasarkan uji lanjutan Duncan, gaya (gf) yang dibutuhkan untuk

mendeformasi penyalut tidak berbeda nyata antara penyalut yang dibuat

dengan tapioka A dan C, begitu pula antara gaya (gf) yang dibutuhkan untuk

mendeformasi penyalut tidak berbeda nyata antara penyalut yang dibuat dari

tapioka B, D, dan E, maupun MOCAL (P>0.05). Oleh karena itu, untuk

membandingkan kerenyahan penyalut yang dihasilkan dari sampel lainnya

dilakukan uji organoleptik terhadap kerenyahan penyalut pada produk

kacang salut. Anonim (2005) menyatakan, dalam membandingkan

kerenyahan antara dua sampel yang memiliki gaya (force) dan jarak

(distance) yang berbeda dapat dilakukan dengan uji organoleptik untuk

mengetahui sampel yang memiliki kerenyahan lebih tinggi. Skor kerenyahan

yang dihasilkan dari uji organoleptik dapat dilihat juga pada Tabel 18 di atas.

Berdasarkan uji Duncan disimpulkan bahwa skor kerenyahan penyalut

pada produk kacang salut berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05

(P<0.05). Selanjutnya, hasil uji lanjutan Duncan menunjukan bahwa

kerenyahan tertinggi penyalut pada produk kacang salut tetap dimiliki oleh

penyalut yang dibuat dari tapioka F, sedangkan penyalut yang memiliki

Page 68: gelatinisasi tapioka

53

r2 = 0.6847

0

1

2

3

4

5

6

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30Rasio amilosa: amilopektin

Skor

ker

enya

han

kerenyahan terendah adalah yang dibuat dari MOCAL. Sementara itu,

kerenyahan penyalut yang dibuat dari tapioka B dan D tidak berbeda nyata,

begitu juga dengan kerenyahan penyalut yang dibuat dari tapioka A, C, dan E

tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Berdasarkan uji

organoleptik, urutan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut dimulai

dari penyalut yang dihasilkan dari tapioka F, lalu penyalut dari tapioka C,

penyalut dari tapioka E, penyalut dari tapioka A, penyalut dari tapioka B, dan

yang terakhir penyalut yang dihasilkan dari tapioka D.

Korelasi antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa dan amilopektin

menunjukan hubungan yang erat antar keduanya dan signifikan (P<0.05).

Hal ini ditunjukan dengan tingginya koefisien korelasi (r) antara kerenyahan

dengan rasio amilosa dan amilopektin yaitu -0.827 (Lampiran 7g)). Hal ini

sesuai dengan pernyataan Matz (1992) yaitu tingkat pengembangan dan

tekstur dari makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio amilosa dan

amilopektin. Pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi cenderung

memberikan karakter produk yang fragile (mudah pecah), sedangkan amilosa

akan memberikan tekstur yang lebih tahan terhadap kemudahan untuk pecah.

Sehingga berdasarkan hasil analisis korelasi dapat disimpulkan bahwa

semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin pada tepung tapioka maka

kerenyahan penyalut yang dihasilkan akan semakin tinggi (Gambar 15).

Gambar 15. Korelasi antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa danamilopektin

Page 69: gelatinisasi tapioka

54

Korelasi antara kerenyahan dengan swelling power dan kelarutan, pH

serta sifat amilografi juga menunjukan hubungan yang sangat lemah.

Koefisien korelasi antara skor kerenyahan dengan swelling power dan

kelarutan yaitu -0.061 dan 0.449, kemudian koefisien korelasinya dengan pH

yaitu -0.547. Korelasi antara skor kerenyahan dengan sifat amilografi yaitu

dengan viskositas puncak (r=-0.640), dan setback (r=-0.650) breakdown (r=-

0.789) dan stabilitas pasta fase pendinginan (r=-0.552), menunjukan korelasi

yang negatif. Korelasinya cukup erat tetapi tidak signifikan (P>0.05). Maka

dapat disimpulkan bahwa skor kerenyahan tidak secara langsung dipengaruhi

oleh swelling power dan kelarutan, pH, maupun sifat amilografi sampel

tepung tapioka (Lampiran 7h, 7i, dan 7j).

Korelasi antara kerenyahan dan tingkat pengembangan papatan juga

menunjukan hubungan yang sangat erat. Hal ini ditunjukan dengan besarnya

koefisien korelasi (r) antar keduanya pada taraf signifikansi 0.05 yaitu

sebesar 0.748. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat

pengembangan papatan, penyalut yang dihasilkan akan semakin renyah

(Lampiran 7k).

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa karakteristik

tepung tapioka yang secara nyata berpengaruh terhadap tingkat

pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut

adalah rasio amilosa dan amilopektin, karena korelasinya berbeda nyata pada

taraf signifikansi 0.05 (P<0.05). Karakteristik tepung tapioka dan MOCAL

yang lainnya, seperti pH, swelling power dan kelarutan, sifat amilografi

(viskositas puncak, setback, stabilitas pasta panas (breakdown), dan stabilitas

pasta dingin) masih memiliki korelasi dengan tingkat pengembangan

papatan dan kerenyahan penyalut produk kacang salut, tetapi tidak

berpengaruh secara langsung kepada produk karena tidak berbeda nyata pada

taraf signifikansi 0.05 (P>0.05).

Page 70: gelatinisasi tapioka

55

E. KARAKTERISTIK TAPIOKA F YANG MENGHASILKAN

KERENYAHAN PENYALUT TERTINGGI

Berdasarkan hasil analisis tekstur (kerenyahan), baik secara objektif

menggunakan alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer, maupun

secara subjektif dengan uji organoleptik, disimpulkan bahwa penyalut pada

produk kacang salut yang memiliki kerenyahan tertinggi adalah penyalut

yang menggunakan tapioka F.

Tapioka F adalah tepung tapioka yang memiliki mutu awal yang baik.

Kadar air, kadar abu, dan derajat keputihan tepungnya telah memenuhi SNI

01-3451-94 tentang syarat mutu tepung tapioka. Kehalusan sampel tepung

tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI, tetapi bila mengacu pada standar

kehalusan yang ditetapkan oleh TIA (The Tapioca Institute of America),

maka kehalusan tepung tapioka F. Karakteristik kimia dan fisik tapioka F

disajikan dalam Tabel 19.

Nilai pH tapioka F sangat rendah yaitu 4.19. Menurut Fleche (1985),

pati yang memiliki pH lebih rendah adalah pati yang lebih cepat untuk

terhidrolisis pada ikatan α (1,4). Taggart (2004) melaporkan bahwa asam

dapat mengganggu ikatan hidrogen yang terdapat dalam pati, sehingga

menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang. Hasil analisis

tingkat pengembangan papatan menunjukan tingkat pengembangan papatan

tapioka F lebih besar dibandingkan sampel lainnya yaitu 596.93%. Namun

demikian, korelasi antara pH semua sampel dengan tingkat pengembangan

papatan sampel sangat rendah.

Tapioka F yang memiliki rasio amilosa dan amilopektin terendah yaitu

sebesar 17.39 % dan 82.53%, memberikan tingkat pengembangan papatan

dan kerenyahan tertinggi pada produk kacang salut. Hal ini juga ditunjukan

dengan tingginya koefisien korelasi antara rasio amilosa dan amilopektin

dengan tingkat pengembangan papatan maupun kerenyahan.

Swelling power dan kelarutan tapioka F cenderung lebih besar

dibandingkan dengan tepung tapioka lainnya, tetapi korelasinya lemah

terhadap tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan.

Page 71: gelatinisasi tapioka

56

Tabel 19. Rekapitulasi data karakteristik kimia dan fisik tapioka FNo. Karakteristik Nilai1. Kadar air (%) 10.542. Kadar abu (%) 0.023. pH 4.194. Kadar pati (%) 73.595. Kadar amilosa (%) 17.396. Kadar amilopektin (%) 82.617. Ukuran granula (µm) 3-40

Kehalusan (%)- No.50 99.63- No.100 95.69

8.

- No.140 92.439. Derajat putih (%) 95.22

Swelling power (g/g)- 60ºC 9.38- 70ºC 24.41- 80ºC 26.84- 90ºC 29.61

10.

- 95ºC 43.41Kelarutan (%)

- 60ºC 9.13- 70ºC 19.21- 80ºC 34.25- 90ºC 37.91

11.

- 95ºC 38.73Sifat amilografi

- Suhu gelatinisasi (°C) 63.75- Suhu viskositas maksimum (°C) 73.50- Viskositas maksimum (BU) 950- Breakdown (BU) 650- Setback (BU) 40

12.

- stabilitas fase pendinginan (BU) 50

Berdasarkan sifat amilografi, tapioka F memiliki viskositas puncak

yang paling rendah (950 BU), tetapi tingkat pengembangan papatan dan

kerenyahan penyalut yang dibuat dari sampel F paling tinggi. Hal ini dapat

dijelaskan dengan hasil uji korelasi, yaitu terdapat korelasi yang negatif

antara viskositas maksimum dengan tingkat pengembangan papatan dan

kerenyahan penyalut pada produk kacang salut, tetapi tidak berbeda nyata

(P<0.05). Stabilitas pasta panas (breakdown) tapioka F lebih stabil

Page 72: gelatinisasi tapioka

57

dibandingkan sampel lainnya, hal ini ditunjukan dengan rendahnya nilai

breakdown tapioka F yaitu 650 BU. Kemampuan tapioka F dalam

beretrogradasi juga rendah, hal ini ditunjukan dengan paling rendahnya nilai

setback tapioka F dibandingkan dengan sampel lainnya, yaitu 40 BU.

Stablititas pasta dingin tapioka F juga lebih stabil (50 BU). Namun demikian,

sifat amilografi sampel tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan

tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk

kacang salut. Berdasarkan hasil uji korelasi juga diperoleh tidak adanya

korelasi yang nyata antara sifat amilografi sampel (viskositas puncak,

setback, breakdown, dan stabilitas pasta dingin) dengan tingkat

pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut

(P>0.05).

F. MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLUOR)

Sifat kimia dan fisik MOCAL berbeda jika dibandingkan dengan

tepung tapioka. Data lengkap sifat kimia dan fisik MOCAL disajikan dalam

Tabel 20.

Kadar air MOCAL sebesar 10.91%. Kadar air MOCAL telah

memenuhi SNI 01-2997-1992 dan CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995).

Kadar abu MOCAL lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung tapioka,

yaitu sebesar 0.05%. Hal ini dapat terjadi karena pada proses pembuatan

MOCAL ada proses penggaraman, sehingga kadar abu yang terukur lebih

tinggi. Kadar abu MOCAL telah memenuhi SNI 01-2997-1992 tentang

syarat mutu tepung singkong, dengan kadar abu maksimal 1.5% serta

CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995) tentang Syarat Mutu Edible Cassava

Flour, dengan kadar abu maksimal 3%.

Nilai pH MOCAL cenderung rendah yaitu 4.33. Hal ini dapat

dipahami bahwa pada proses pembuatan MOCAL proses fermentasi memang

sengaja dilakukan. Subagio (2006) melaporkan bahwa mikroba yang tumbuh

pada singkong selama proses fermentasi akan menghasilkan enzim

pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel umbi

singkong sedemikian rupa sehingga terjadi pembebasan granula pati yang

Page 73: gelatinisasi tapioka

58

selanjutnya akan terhidrolisis dan menghasilkan monosakarida yang akan

digunakan oleh mikroba untuk membentuk asam-asam organik. Nilai pH

MOCAL tidak dipersyaratkan dalam SNI mengenai Syarat Mutu Tepung

Singkong, maupun CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995) mengenai Syarat

Mutu Edible Cassava Flour.

Tabel 20. Sifat kimia dan fisik MOCALNo. Karakteristik Nilai1. Kadar air (%) 10.912. Kadar abu (%) 0.053. pH 4.334. Kadar pati (%) 73.295. Kadar amilosa (%) 11.076. Kadar amilopektin (%) 88.937. Ukuran granula (µm) 3-308. Kehalusan (%)

- No.50 74.84 - No.100 12.21 - No.140 3.97

9. Derajat putih (%) 77.7510. Swelling power (g/g)

- 60ºC 7.71 - 70ºC 12.13 - 80ºC 14.10 - 90ºC 21.05 - 95ºC 28.07

11. Kelarutan (%) - 60ºC 3.22 - 70ºC 5.41 - 80ºC 9.72 - 90ºC 19.63 - 95ºC 29.19

12. Sifat amilografi - Suhu gelatinisasi (°C) 65.25 - Suhu viskositas maksimum (°C) 81.75 - Viskositas maksimum (BU) 1030 - Breakdown (BU) 570 - Setback (BU) 60 - Stabilitas fase pendinginan (BU) 40

Kadar pati pada MOCAL yaitu sebesar 73.29%. Nilai ini lebih rendah

dari standar yang telah ditetapkan dalam SNI 01-2997-1992, yaitu minimal

75%. Sementara itu, di dalam CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995), tidak

Page 74: gelatinisasi tapioka

59

disyaratkan mengenai kadar pati. Kadar pati MOCAL dipengaruhi oleh

proses fermentasi. Menurut Subagio (2007), granula pati yang dibebaskan

akibat fermentasi akan dihidrolisis oleh mikroba menghasilkan asam-asam

organik. Proses hidrolisis ini menyebabkan kadar pati pada MOCAL menjadi

lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan oleh SNI.

Kadar amilosa pada MOCAL menunjukan nilai yang paling rendah

yaitu 11.07%. Kadar amilosa yang rendah ini dapat terjadi karena adanya

proses fermentasi. Selama fermentasi, granula pati singkong yang digunakan

dalam pembuatan MOCAL akan mengalami hidrolisis oleh mikroba yang

menghasilkan monosakarida yang kemudian digunakan oleh mikroba untuk

menghasilkan asam-asam organik. Subagio (2007) melaporkan bahwa

terdapat aktivitas enzim amilase selama proses fermentasi MOCAL. Hal ini

menunjukkan bahwa mikroba yang tumbuh pada singkong dapat

menghasilkan enzim amilase yang dapat mendegradasi amilosa pada

singkong, sehingga kadar amilosanya lebih rendah dibandingkan tepung

tapioka. Masih adanya komponen lain pada MOCAL juga menyebabkan

kandungan amilosa yang terukur menjadi lebih kecil.

Bentuk dan ukuran granula MOCAL tidak berbeda dengan tepung

tapioka. Ukuran granula MOCAL berada dikisaran 3-30 µm dengan bentuk

bulat dan oval (Gambar 16).

Gambar 16. Granula MOCAL

Kehalusan MOCAL mengacu pada SNI 01-2997-1992 yang

mensyaratkan persentase lolos ayak tepung singkong pada ayakan no.80

yaitu minimal 90%. Kehalusan MOCAL tidak memenuhi SNI, persentase

100 µm

Page 75: gelatinisasi tapioka

60

lolos ayak pada ayakan no.100 kurang dari 90% yaitu hanya 12.21%.

Sementara itu, di dalam CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995), tidak

disyaratkan mengenai kehalusan edible cassava fluor. Nilai derajat putih

MOCAL juga tidak memenuhi SNI 01-2997-1992 yang mensyaratkan derajat

putih untuk tepung singkong yaitu minimal 85%.

Nilai swelling power MOCAL menunjukan nilai yang paling rendah

bila dibandingkan dengan tepung tapioka. Hal ini dapat terjadi karena masih

adanya komponen lain pada MOCAL yang dapat menghambat terjadinya

swelling. Komponen lipida dapat membentuk kompleks dengan amilosa

sehingga menghambat terjadinya hidrasi air (pengembangan). Dalam

penelitian ini tidak dilakukan pengukuran kadar lipida sampel, tetapi

berdasarkan data spesifikasi produk MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi

Loh Jinawi Trenggalek, dilaporkan bahwa kadar lipida MOCAL yaitu sekitar

0.4-0.8%. Kadar lipida MOCAL yang lebih tinggi dibandingkan dengan

kadar lipida tepung tapioka dapat menyebabkan swelling power pada

MOCAL menjadi lebih rendah daripada tepung tapioka.

Pola amilografi MOCAL menunjukan nilai yang berbeda pula dengan

tepung tapioka. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya kadar amilosa

MOCAL bila dibandingkan dengan tepung tapioka. Suhu gelatinisasi

MOCAL yaitu 65ºC dengan viskositas maksimum sebesar 1030 BU dan suhu

viskositas maksimum 81.75ºC. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan

MOCAL dalam mengikat air selama pemanasan sangat rendah, sehingga

jumlah air yang dapat dihidrasi sedikit dan suhu untuk mencapainya lebih

tinggi. Stabilitas pasta panas MOCAL cukup stabil karena memiliki

kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan viskositasnya selama

pemanasan. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya viskositas breakdown

MOCAL yaitu 570 BU. Kemampuan MOCAL dalam beretrogradasi juga

rendah, hal ini ditunjukan dengan rendahnya viskositas setback MOCAl yaitu

60 BU. Stabilitas pasta MOCAL selama pengadukan pun cukup stabil. Hal

ini ditandai dengan rendahnya viskositas selama fase pendinginan dengan

pengadukan yaitu 40 BU.

Page 76: gelatinisasi tapioka

61

Tingkat pengembangan papatan dan uji kerenyahan penyalut yang

dihasilkan oleh MOCAL menunjukan nilai yang paling rendah bila

dibandingkan dengan tepung tapioka (Tabel 21).

Tabel 21.Tingkat pengembangan papatan, hasil pengukuran gaya (gf) dan skor kerenyahan MOCAL

No. Karakteristik Nilai1. Tingkat pengembangan papatan (%) 153.412. Kerenyahan (gf) 6283.223. Skor kerenyahan 2.609

Tingkat pengembangan papatan MOCAL yaitu sebesar 153.41%. Hal

ini menunjukan bahwa papatan yang dihasilkan oleh MOCAL cenderung

tidak mengembang dan keras. Gaya yang dibutuhkan untuk mendeformasi

penyalut dari MOCAL pun sangat tinggi yaitu 6283.22 gf, hal ini

menunjukan bahwa penyalut dari MOCAL sangat keras bila dibandingkan

dengan penyalut yang dihasilkan. Skor kerenyahan secara organoleptik juga

menunjukan nilai yang sangat rendah. Hal ini mungkin dapat terjadi karena

rendahnya rasio amilosa dan amilopektin MOCAL serta adanya komponen

lain pada MOCAL yang menyebabkan MOCAL sulit untuk mengembang

dan menghasilkan tekstur yang cenderung lebih keras. Berdasarkan hasil

tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan, maka dapat disimpulkan

bahwa MOCAL tidak dapat digunakan sebagai penyalut pada produk kacang

salut karena sifat yang dihasilkan tidak sesuai dengan karakter utama yang

diinginkan dari suatu produk kacang salut yaitu mengembang dan renyah.

Page 77: gelatinisasi tapioka

62

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Hasil analisis menunjukkan karakteristik kimia dan fisik yang berbeda

antar sampel tepung tapioka maupun MOCAL. Kadar air sampel tidak

berbeda nyata antara tapioka D, E, dan F, demikian pula dengan MOCAL.

Kadar air tertinggi dimiliki oleh tapioka B, sedangkan kadar air terendah

dimiliki oleh tapioka C. Kadar abu antara tapioka A, B, dan F tidak berbeda

nyata, begitu pula dengan kadar abu antara tapioka D, E. Kadar abu MOCAL

paling tinggi dibandingkan dengan tepugn tapioka. Nilai pH ketujuh sampel

berbeda. Nilai pH terendah pada tapioka C dan tertinggi pada tapioka E. Kadar

pati tapioka A, B, E, dan F, tidak berbeda nyata, begitu pula dengan tapioka C

dan D tidak berbeda nyata. Kadar pati tertinggi pada tapioka D dan terendah

pada tapioka B. Kadar amilosa antara tapioka A dan B tidak berbeda nyata,

begitu pula antara tapioka C dan F. Kadar amilosa terbesar dimiliki oleh

tapioka A dan yang terendah adalah MOCAL.

Bentuk granula semua sampel yaitu bulat dan oval dengan ukuran yang

hampir seragam. Kehalusan sampel pada ayakan no.50 tidak berbeda nyata

pada semua sampel tepung tapioka. Kehalusan sampel pada ayakan no.100

tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, E, dan F. Kehalusan sampel pada

ayakan no.150 tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, dan F. MOCAL

memiliki kehalusan yang paling rendah dibandingkandengan tepung tapioka.

Derajat putih antara tapioka A dan D tidak berbeda nyata, begitu juga derajat

putih antara tapioka B dan F, maupun antara tapioka C dan E. Nilai swelling

power dan kelarutan pati meningkat dengan bertambahnya suhu pengukuran.

Suhu gelatinisasi terendah pada tapioka D, sedangkan yang tertinggi

pada tapioka B. Terdapat korelasi positif antara suhu gelatinisasi, viskositas

maksimum, viskositas setback, stabilitas pasta panas (breakdown), stabilitas

pasta dingin, dengan amilosa, tetapi tidak berbeda nyata. Viskositas

maksimum (VM) tertinggi pada tapioka E, sedangkan terendah pada tapioka

F. Suhu viskositas maksimum (SVM) tertinggi pada MOCAL, sedangkan

terendah pada tapioka D. Pasta panas tapioka F dan MOCAL cenderung lebih

Page 78: gelatinisasi tapioka

63

stabil, hal ini ditunjukkan dengan rendahnya viskositas breakdown, sedangkan

yang paling tidak stabil yaitu tapioka E . Terdapat korelasi positif antara

stabilitas pasta panas dengan pH tetapi tidak berbeda nyata. Tapioka E

memiliki kecenderungan yang besar untuk beretrogradasi, hal ini ditunjukan

dengan tingginya viskositas setback, sedangkan yang terendah yaitu tapioka F.

Pasta dingin tapioka F dan MOCAL cenderung lebih stabil, hal ini

ditunjukkan dengan rendahnya viskositas pasta, sedangkan yang paling tidak

stabil yaitu tapioka E.

Tingkat pengembangan papatan tertinggi dimiliki oleh tapioka F,

sedangkan tingkat pengembangan papatan terendah dimiliki oleh MOCAL.

Hasil analisis kerenyahan juga menunjukan hal yang sama yaitu kerenyahan

tertinggi dimiliki olah kacang salut yang dibuat dari tapioka F, sedangkan

kerenyahan terendah dimiliki oleh kacang salut yang terbuat dari sampel

MOCAL. Hal ini ditunjukkan dengan adanya korelasi positif dan nyata antara

tingkat pengembangan papatan dengan skor kerenyahan penyalut produk

kacang salut, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat

pengembangan papatan, maka kerenyahan penyalut pada produk kacang salut

akan semakin tinggi.

Korelasi negatif dan nyata terjadi antara tingkat pengembangan papatan

maupun kerenyahan rasio amilosa dan amilopketin. Maka semakin rendah

rasio amilosa dan amilopektin, tingkat pengembangan papatan dan

kerenyahan penyalut akan semakin besar. Berdasarkan uji korelasi,

karakteristik atau sifat yang paling relevan terhadap kerenyahan penyalut pada

produk kacang salut adalah rasio amilosa dan amilopektin. Sementara itu,

karakteristik fisikokimia lainnya dari tepung tapioka seperti pH, swelling

power dan kelarutan, sifat amilografi (viskositas puncak, setback, stabilitas

pasta panas (breakdown), dan stabilitas pasta dingin) kurang relevan karena

korelasinya terhadap tingkat pengembangan papatan maupun kerenyahan

penyalut sangat rendah.

Karakteristik fisikokimia tapioka F seperti pH yang rendah yaitu 4.19

dengan kadar amilosa dan amilopektin sebesar 17.39 % dan 82.53%, serta

sifat amilografi (viskositas puncak (950 BU), breakdown (650 BU), setback

Page 79: gelatinisasi tapioka

64

(40 BU), dan stablititas pasta dingin (50 BU)) yang berbeda dengan sampel

lainnya memberikan kerenyahan tertinggi terhadap penyalut pada produk

kacang salut. Sementara itu, MOCAL tidak dapat digunakan sebagai penyalut

pada produk kacang salut karena memiliki tingkat pengembangan papatan dan

kerenyahan penyalut yang sangat rendah pada produk kacang salut.

B. SARAN

Penelitian ini memberikan hasil karakteristik kimia dan fisik yang

berbeda-beda untuk tiap sampel tepung tapioka maupun MOCAL. Namun

demikian, dalam memperoleh informasi yang lebih baik lagi mengenai tepung

tapioka dan MOCAL yang berkaitan dengan kerenyahan penyalut pada

produk kacang salut, maka penelitian lanjutan yang dapat dilakukan antara

lain :

1. Mempelajari sifat kimia ataupun fisik yang lain pada tepung tapioka dan

MOCAL, seperti sifat termal pati.

2. Karakteristik seperti rasio amilosa dan amilopektin merupakan

karakteristik yang paling relevan untuk memperkirakan kerenyahan

penyalut pada produk kacang salut.

3. Menganalisis lebih lanjut kerenyahan penyalut pada produk kacang salut

yang dibuat dengan tepung tapioka maupun MOCAL secara organoleptik

untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap kerenyahan yang

berbeda pada produk kacang salut.

Page 80: gelatinisasi tapioka

65

DAFTAR PUSTAKA

Abera, S. dan Rakshit, K. 2003. Comparison of physicochemical and functionalproperties of cassava starch extracted from fresh root and dry chips.Starch/Starke Vol. 55 : 287-296.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budijanto.1998. Petunjuk Laboratorium Anlisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi-IPB,Bogor.

Anonim a. 2004. Puffed Food Starch Product. www.patentstorm.us/patents/6676983/ htm [16 Agustus 2007]

Anonim b. 2005. Quantify Brittleness and Crispiness. www.texturetechnologies.com / brittle.htm [3 Agustus 2007]

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods ofAnalysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC.

Asaoka, M., Blanshard, J.M.V., dan Rickard, J.E. 1992. Effects of cultivar andgrowth season on the gelatinization properties of cassava starch. Di dalam :Sriroth, K., et al. 1999. Cassava starch granule structure function properties:influences of time and conditions at harvest on cultivars of cassava starch.Carbohydrates Polymer Vol.38 : 161-170.

Balagopalan, C., Padmaja, G., Nanda, S.K., dan Moorthy, S.N. 1988. Cassava inFood, Feed, and Industry. CRC Press, Baco Raton, Florida.

[CAC] Codex Alimentarius Commision. 1995. Edible Cassava Flour (CODEXSTAN 176-1989 (Rev.1–1995)). Codex Alimentarius Commision, USA.

Chaplin, M. 2006. Starch. www.lsbu.ac.uk/starch.htm [6 Maret 2007]

Charles, A.L., Chang, Y.H, Ko, W.C., Sriroth, K., dan Huang, T.C. 2005.Influence of amylopectin structure and amylose content on gellingproperties of five cultivars of cassava starches. J. Agric. Food ChemistryVol53 : 2717-2725.

[DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Cara Uji Gula (SNI 01-2892-1992).Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

[DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Tepung Singkong (SNI 01-2997-1992). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

[DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1994. Tepung Tapioka (SNI 01-3451-1994). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Page 81: gelatinisasi tapioka

66

Fleche, G. 1985. Chemical modification and degradation of starch. Di dalam :G.M.A.V. Beynum dan J.A Roels (eds.). Starch Conversion Technology.Marcel Dekker, Inc., New York.

Febriyanti, T. 1990. Studi Karakteristik Fisik, Kimia, dan Fungsional BeberapaVarietas Tepung Singkong. Skripsi. IPB, Bogor.

Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization ofUnited Nations, Roma.

Holleman, L.W.Y. dan Aten, A. 1956. Processing of Cassava and CassavaProduct in Feelet Industries. FAO, Roma.

Li, J.Y., dan Yeh, A.I. 2001. Relationship between thermal, rheologicalcharacteristics, and swelling power for various starches. J. FoodEngineering Vol.50 : 141-148.

Matz, S.A. 1992. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Pan-techInternational Inc., Texas.

Moorthy, S.N. 2004. Tropical sources of starch. Di dalam: Ann CharlotteEliasson (ed). Starch in Food: Structure, Function, and Application. CRCPress, Baco Raton, Florida.

Mulyandari, S.H. 1992. Kajian Perbandingan Sifat-Sifat Pati Umbi-Umbian danPati Biji-Bijian. Skripsi. IPB, Bogor.

Muharam, S. 1992. Studi Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional TepungSingkong (Manihot esculanta Crantz.) dengan Modifikasi Pengukusan,Penyangraian, dan Penambahan GMS, serta Aplikasinya Dalam PembuatanRoti Tawar. Skripsi. FATETA IPB, Bogor.

Nugroho, B.A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian DenganSPSS. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Olkku, J. dan Rha, C. 1978. Gelatinization of starch and wheat flour starch. Didalam: Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components.Academic Press Inc., San Diego, California.

Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic PressInc., San Diego, California.

Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Publishers,London.

Sasaki, T., dan Matsuki, J. 1998. Effect of wheat starch structure on swellingpower. Di dalam: Li, J.Y., dan Yeh, A.I. 2001. Relationship between

Page 82: gelatinisasi tapioka

67

thermal, rheological characteristics, and swelling power for various starches.J. Food Engineering Vol.50 : 141-148.

Sriroth, K., Santisopari, V., Petchalanuwat, C., Kurotjanawong, K.,Piyachomkwan, K., dan Oates, C.G. 1999. Cassava starch granule structurefunction properties: influences of time and conditions at harvest on cultivarsof cassava starch. Carbohydrates Polymer Vol.38 : 161-170.

Subagio, A. 2006. Ubi Kayu : Subtitusi Berbagai Tepung-Tepungan. FoodReview, April 2006 : 18-22.

Subagio, A. 2007. Industrialisasi Modified Cassava Flour (MOCALl) SebagaiBahan Baku Industri Pangan Untuk Menunjang Diversifikasi Pangan PokokNasional. Tidak Diterbitkan. Fakultas Teknologi Pertanian, UniversitasJember, Jember.

Swinkels, J.J.M. 1985. Source of starch, its chemistry and physics. Di dalam :G.M.A.V. Beynum dan J.A Roels (eds.). Starch Conversion Technology.Marcel Dekker, Inc., New York.

Taggart, P. 2004. Starch as an ingredients : manufacture and applications. Didalam: Ann Charlotte Eliasson (ed). Starch in Food: Structure, Function,and Application. CRC Press, Baco Raton, Florida.

Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika Edisi Ke-3. PT Gramedia, Jakarta.

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan. PT Gramedia, Jakarta.

Page 83: gelatinisasi tapioka

68

Lampiran 1. Rekapitulasi karakteristik fisikokimia sampel tepung tapioka danMOCAL

KarakteristikKimia danfisik

TapiokaA

TapiokaB

TapiokaC

TapiokaD

TapiokaE

TapiokaF

MOCAL

Kadar air (%) 11.75 12.94 9.51 11.00 10.64 10.54 10.91

Kadar abu(%)

0.01 0.01 0.03 0.04 0.04 0.02 0.005

pH 5.18 5.42 4.12 5.02 6.52 4.19 4.33

Kadar pati(%)

75.96 72.49 81.00 80.67 73.05 73.59 73.29

Kadar amilosa(%)

24.01 23.87 15.47 21.30 20.33 17.39 11.07

Kadaramilopektin(%)

75.99 76.13 84.53 78.70 79.67 82.61 88.93

Ukurangranula (µm)

3-40 3-40 3-30 3-30 3-30 3-40 3-30

Kehalusan(%)

- No.50 98.90 99.83 99.65 99.83 99.78 99.63 74.84- No.100 91.81 96.81 98.23 98.65 98.95 95.69 12.21- No.140 87.72 92.10 93.83 93.55 96.98 92.43 3.97

Derajat putih(%)

99.91 95.62 97.79 100.00 97.90 95.22 77.75

Swellingpower (g/g)

- 60ºC 7.12 5.84 9.73 3.85 6.30 9.38 7.71- 70ºC 24.73 21.95 22.58 24.27 24.97 24.11 12.13- 80ºC 27.59 25.74 23.08 29.06 29.67 26.84 14.10- 90ºC 30.41 30.28 25.70 31.01 32.27 29.61 21.05- 95ºC 31.67 38.58 36.77 35.10 45.73 43.41 28.07

Kelarutan Pati(%)

- 60ºC 10.39 2.85 13.70 5.87 2.41 9.13 3.22- 70ºC 15.27 15.36 14.22 12.67 14.15 19.21 5.41- 80ºC 20.10 23.12 22.18 19.11 22.89 34.25 9.72- 90ºC 35.74 23.69 27.08 23.67 24.08 37.91 19.63- 95ºC 37.36 28.72 36.49 30.60 29.42 38.73 29.19

Page 84: gelatinisasi tapioka

69

Lampiran 2. Hasil pengukuran kadar pati

No. Sampel Ulangan Bobotsampel(mg)

VNa2S2O3

blanko(ml)

VNa2S2O3Sampel

(ml)

KadarPati(%)

Rata-rata(%)

1 1009.3 26.7 9.95 72.54541 Tapioka A2 1002.4 26.7 9.70 79.3695

75.96

1 1001.5 26.2 9.60 72.32352 Tapioka B2 1004.2 26.2 9.50 72.6489

72.49

1 1009.4 26.7 9.20 81.40483 Tapioka C2 1006.6 26.3 9.00 80.5941

81.00

1 1004.7 27.2 9.95 80.48674 Tapioka D2 1003.4 26.7 9.40 80.8511

80.67

1 1002.0 24.0 7.45 72.02695 Tapioka E2 1004.7 24.0 7.60 71.0540

73.05

1 1002.2 26.3 9.50 73.31476 Tapioka F2 1001.9 26.3 9.40 73.8577

73.59

1 1002.2 24.0 8.15 73.42257 MOCAL2 1002.3 24.0 8.20 73.1637

73.29

Page 85: gelatinisasi tapioka

70

y = 0.0311x - 0.0056R2 = 0.9999

00.1

0.20.3

0.40.50.60.7

0 5 10 15 20 25

Bobot amilosa standar (x 10-3 mg/ml)

Abs

orba

n

Lampiran 3. Pembuatan kurva standar amilosa dan pengukuran kadaramilosa

Hasil Pengukuran AbsorbansiNo. Bobot standar (x 10-3

mg/ml)Absorban

1 4 0.1202 8 0.2403 12 0.3704 16 0.4925 20 0.616

Grafik Hubungan Absorban Dengan Bobot Amilosa Standar

Rekapitulasi Hasil Pengukuran Kadar AmilosaNo. Sampel Ulangan Bobot

sampel(mg)

Absorban Bobotamilosa (x

10-3 mg/ml)

KadarAmilosa

(%)

Rata-rata(%)

1 100.3 0.275 9.0025 17.99601 TapiokaA 2 100.4 0.283 9.2797 18.4854

18.24

1 100.5 0.271 8.8939 17.69932 TapiokaB 2 100.3 0.258 8.4759 16.9011

17.30

1 100.9 0.199 6.5788 13.04023 TapiokaC 2 101.4 0.184 6.0965 12.0247

12.53

1 100.1 0.262 8.6045 17.19184 TapiokaD 2 1003 0.262 8.6045 17.1575

17.18

1 100.5 0.217 7.1576 14.24405 TapiokaE 2 100.5 0.236 7.7685 15.4597

14.85

1 100.3 0.196 6.4823 12.92586 TapiokaF 2 100.7 0.193 6.3859 12.6830

12.80

1 101.9 0.118 3.9743 7.80047 MOCAL2 101.3 0.127 4.2637 8.4180

8.11

Page 86: gelatinisasi tapioka

71

Lampiran 4. Hasil uji rating kerenyahan

Skor kerenyahanPanelis Tapioka

ATapioka

BTapioka

CTapioka

DTapioka

ETapioka

FMOCAL

1 3 3 4 3 3 7 22 5 3 4 2 3 5 23 5 4 6 3 5 6 24 5 4 6.5 5 5 5 55 5 2 5 3 4.5 3 36 5 4 6 4.5 3 5 3.57 6 5 5.5 4.5 5.5 5 38 4 3 2 3 3 2 29 3 4 4 5 4.5 6 3

10 4 3.5 5 3 3 3 211 2 4 2 3 4 6 412 4 3 4 3 4 6 213 5 3 6 3.5 3.5 4 2.514 4 3 4 1 5 5 215 4.5 3 5 2.5 5 6 316 3 5 4 4 3.5 5 317 4 4.5 5 4.5 4 7 318 4 3.5 5 3 4 7 219 3 4 4 4 5 6 320 3.5 3 4.5 2 3.5 6 221 2 2 4 3 3 6 222 4 2 5 5 4 7 323 5 3.5 5 3.5 6 6 1

Page 87: gelatinisasi tapioka

72

Lampiran 5a. Hasil uji Duncan : kadar air, kadar abu, dan pH

KAIR

DuncanSubset

SAMPEL N 1 2 3 4C 2 9.503550F 2 10.543500E 2 10.633800D 2 10.994450A 2 11.753950B 2 12.937150Sig. 1.000 .084 1.000 1.000

KABU

DuncanSubset

SAMPEL N 1 2 3 4A 2 .009900B 2 .014900 .014900F 2 .019800C 2 .029400E 2 .039100D 2 .044600Sig. .224 .232 1.000 .187

PH

DuncanSubset

SAMPEL N 1 2 3 4 5 6C 2 4.120000F 2 4.190000D 2 5.020000A 2 5.180000B 2 5.420000E 2 6.520000Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares Theerror term is Mean Square(Error) = .000.a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.b Alpha = .05.

Page 88: gelatinisasi tapioka

73

Lampiran 5b. Hasil uji Duncan : kadar pati, kadar amilosa, dan derajatputih

PATI

DuncanSubset

SAMPEL N 1 2E 2 71.540450B 2 72.486200F 2 73.586200A 2 75.957450 75.957450D 2 80.668900C 2 80.999450Sig. .094 .063

AMILOSA

DuncanSubset

SAMPEL N 1 2 3C 2 12.532450F 2 12.804400E 2 14.851850D 2 17.174650B 2 17.300200A 2 18.240700Sig. .662 1.000 .137

Derajat PutihDuncan

Subset

SAMPEL N 1 2 3F 2 95.216600B 2 95.636250C 2 97.788800E 2 97.924150A 2 99.909750D 2 100.00000

0Sig. .061 .486 .638

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares Theerror term is Mean Square(Error) = .033.a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.b Alpha = .05.

Page 89: gelatinisasi tapioka

74

Lampiran 5c. Hasil uji Duncan : kehalusan

Kehalusan50Duncan

SubsetSAMPEL N 1A 2 98.900000F 2 99.630000C 2 99.650000E 2 99.775000B 2 99.825000D 2 99.825000Sig. .248

Kehalusan100Duncan

SubsetSAMPEL N 1 2 3A 2 91.805000F 2 96.590000B 2 96.810000C 2 98.230000D 2 98.650000E 2 98.950000Sig. 1.000 1.000 .153

Kehalusan140Duncan

Subset

SAMPEL N 1 2 3A 2 87.720000B 2 92.095000F 2 92.430000D 2 93.545000C 2 93.825000E 2 96.980000Sig. 1.000 .215 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares Theerror term is Mean Square(Error) = 1.418.a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.b Alpha = .05.

Page 90: gelatinisasi tapioka

75

Lampiran 6a. Hasil uji Duncan terhadap kerenyahan (gf)

Univariate Analysis of VarianceTests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Kerenyahan (gf)

SourceType III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

Model 854484793.377(a) 11 77680435.762 195.676 .000

PANELIS 1714888.847 4 428722.212 1.080 .388SAMPEL 101595667.0

42 6 16932611.174 42.653 .000

Error 9527655.513 24 396985.646Total 864012448.8

90 35

a R Squared = .989 (Adjusted R Squared = .984)

DuncanSAMPEL N Subset

1 2 3F 5 1162.5800C 5 3587.0200A 5 4064.0400E 5 5449.0400D 5 5793.9000B 5 6089.2600Sig. 1.000 .243 .065

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 396985.646.a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.b Alpha = .05.

Page 91: gelatinisasi tapioka

76

Lampiran 6b. Hasil uji Duncan terhadap skor kerenyahan

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: skor kerenyahan

SourceType III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

Model 2655.120(a) 29 91.556 105.429 .000PANELIS 50.065 22 2.276 2.621 .000SAMPEL 112.370 6 18.728 21.566 .000Error 114.630 132 .868Total 2769.750 161

a R Squared = .959 (Adjusted R Squared = .950)

Duncan

SAMPEL NSubset

1 2 3D 23 3.391B 23 3.435A 23 4.043E 23 4.087C 23 4.587F 23 5.391Sig. .875 .063 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .868.a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.000.b Alpha = .05.

Page 92: gelatinisasi tapioka

77

Lampiran 7a. Hasil analisis korelasi : Amilosa terhadap swelling power dankelarutan pati

AMILOSAPearsonCorrelation 1

Sig. (2-tailed) .

AMILOSA

N 6PearsonCorrelation .044

Sig. (2-tailed) .934

SLOPESP

N 6PearsonCorrelation .221

Sig. (2-tailed) .674

SLOPEKEL

N 6

Lampiran 7b. Hasil analisis korelasi : amilosa terhadap sifat amilografi

AMILOSAPearsonCorrelation 1

Sig. (2-tailed) .

AMILOSA

N 6PearsonCorrelation .633

Sig. (2-tailed) .177

SETBACK

N 6PearsonCorrelation .541

Sig. (2-tailed) .267

VISKOSITASMAKS.

N 6PearsonCorrelation .429

Sig. (2-tailed) .396

BREAKDOWN

N 6PearsonCorrelation .542

Sig. (2-tailed) .267

STABILITASFASEPENDINGINAN

N 6PearsonCorrelation .558

Sig. (2-tailed) .220

T.GELATINISASI

N 6

Page 93: gelatinisasi tapioka

78

Lampiran 7c. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatanterhadap rasio amilosa dan amilopektin

RATIOAA KEMBANGPearsonCorrelation 1 -.846(*)

Sig. (2-tailed) . .034

RATIOAA

N 6 6PearsonCorrelation -.846(*) 1

Sig. (2-tailed) .034 .

KEMBANG

N 6 6* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Lampiran 7d. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatanterhadap swelling power dan kelarutan

KEMBANGPearsonCorrelation 1

Sig. (2-tailed) .

KEMBANG

N 6PearsonCorrelation .264

Sig. (2-tailed) .614

SLOPESP

N 6PearsonCorrelation .337

Sig. (2-tailed) .514

SLOPEKEL

N 6

Lampiran 7e. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatanterhadap pH

PH KEMBANGPearsonCorrelation 1 -.194

Sig. (2-tailed) . .712

PH

N 6 6PearsonCorrelation -.194 1

Sig. (2-tailed) .712 .

KEMBANG

N 6 6

Page 94: gelatinisasi tapioka

79

Lampiran 7f. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatanterhadap sifat amilografi

KEMBANGPearsonCorrelation 1

Sig. (2-tailed) .

KEMBANG

N 6PearsonCorrelation -.403

Sig. (2-tailed) .428

SETBACK

N 6PearsonCorrelation -.597

Sig. (2-tailed) .210

VISKOSITASMAKS.

N 6PearsonCorrelation -.559

Sig. (2-tailed) .249

BREAKDOWN

N 6PearsonCorrelation -.209

Sig. (2-tailed) .692

STABILITASFASEPENDINGINAN

N 6

Lampiran 7g. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap rasio amilosadan amilopektin

RATIOAA SKORPearsonCorrelation 1 -.827(*)

Sig. (2-tailed) . .042

RATIOAA

N 6 6PearsonCorrelation -.827(*) 1

Sig. (2-tailed) .042 .

SKOR

N 6 6* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Page 95: gelatinisasi tapioka

80

Lampiran 7h. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap swelling powerdan kelarutan

SKORPearsonCorrelation 1

Sig. (2-tailed) .

SKOR

N 6PearsonCorrelation -.061

Sig. (2-tailed) .908

SLOPESP

N 6PearsonCorrelation .449

Sig. (2-tailed) .372

SLOPEKEL

N 6

Lampiran 7i. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap pH

SKOR PHPearsonCorrelation 1 -.547

Sig. (2-tailed) . .261

SKOR

N 6 6PearsonCorrelation -.547 1

Sig. (2-tailed) .261 .

PH

N 6 6

Lampiran 7j. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap sifat amilografi

SKORPearsonCorrelation 1

Sig. (2-tailed) .

SKOR

N 6PearsonCorrelation -.650

Sig. (2-tailed) .163

SETBACK

N 6PearsonCorrelation -.640

Sig. (2-tailed) .056

VISKOSITASMAKS.

N 6PearsonCorrelation -.789

Sig. (2-tailed) .062

BREAKDOWN

N 6PearsonCorrelation -.552

Sig. (2-tailed) .257

STABILITASFASEPENDINGINAN

N 6

Page 96: gelatinisasi tapioka

81

Lampiran 7k. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan,kerenyahan (gf), dan skor kerenyahan

KEMBANG RENYAH SKORPearsonCorrelation 1 -.748(*) .896(*)

Sig. (2-tailed) . .047 .016

KEMBANG

N 6 6 6PearsonCorrelation -.748(*) 1 -.957(**)

Sig. (2-tailed) .047 . .003

RENYAH

N 6 6 6PearsonCorrelation .896(*) -.957(**) 1

Sig. (2-tailed) .016 .003 .

SKOR

N 6 6 6* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Lampiran 8. Setting alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer

Probe yang digunakan adalah probe silinder dengan diameter 6mm, dengansetting pemakaian alat yaitu :

Pre test speed = 2.00 mm/sTest speed = 0.50 mm/sPost test speed = 10.00 mm/sRupture test distance = 1.0 mmDistance = 4.0 mmForce = 100 gTime = 5.00 sec.Count = 2