Top Banner
GE GURITAN TRADISION AL DALAM . SASTRAJAWA
138

GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Nov 07, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

GEGURITAN TRADISIONAL DALAM .

SASTRAJAWA

Page 2: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

PERPUSTAKAAM

EADAi! bahasaDEPARTEKNPENDSDIKMiHASlONAL

GEGURITAN TRADISIONAL

DALAM SASTRA JAWA

Dhanu Priyo PrabowoV. Risti Ratnawati

Suyami

Titi Mumfangati00049233

PUSAT BAHASA

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

JAKARTA

2002

Page 3: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

PERFUSIAKAAN KtTALA PUSAT RAHASA

Klaslfikas!

Pehyuritmg^'

Djamari0

^^0, inriuk :. OJH

7 Id.

Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan NasionaiJalan Daksinapati Barat IVRawamanguri, Jakarta 13220

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

Isi buku ini, baik sebagian maupun selunitmya, dilarang diperbanyakdj lam benmk apa pun tanpa izin lermlis dari penerbit, kecuali

dalam hal penguiipan unmk keperluan artikelatau karangan ilmiah.

Katalog dalam Terbitan (KDT)

899.231 1

PRA PRABOWO, Dhanu Priyo [era/.]

g Geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa.-Jakana: Pusat Bahasa, 2002.

ISBN 979 685 258 6

1. PUISI JAWA

2. KESUSASTRAAN JAWA

Page 4: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

KATA PENGANTAR

KEPALA PUSAT BAHASA

Masalah kesastraan di Indonesia tidak terlepas dari kehidupan masyarakatpendukungnya. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia telah terjadiberbagai perubahan baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yangbaru, globalisasi, maupun sebagai dampak perkembangan teknologiinformasi yang amat pesat. Kondisi itu telah mempengaruhi perilakumasyarakat Indonesia. Gerakan reformasi yang bergulir sejak 1998 telahmengubah paradigma tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, danbemegara. Tatanan kehidupan yang serba sentralistik telah berubah kedesentralistik, masyarakat bawah yang menjadi sasaran (objek) kinididorong menjadi pelaku (subjek) dalam proses pembangunan bangsa.Oleh karena itu, I^at Bahasa mengubah orientasi kiprahnya. Sejalandengan perkembangan yang terjadi tersebut, Pusat Bahasa berupayamewujudkan pusat informasi dan pelayanan kebahasaan dan kesastraankepada masyarakat.

Untuk mencapai tujuan itu, telah dan sedang dilakukan (1)penelitian, (2) penyusunan, (3) penerjemahan karya sastra daerah dankarya sastra dunia ke dalam bahasa Indonesia, (4) pemasyarakatan sastramelalui berbagai media, antara lain melalui televisi, radio, surat kabar,dan majalah, (5) pengembangan tenaga, bakat, dan prestasi dalambidang sastra melalui penataran, sayembara mengarang, serta pemberianpenghargaan.

Untuk itu, Pusat Bahasa telah melakukan penelitian sastraIndonesia melalui kerja sama dengan tenaga peneliti di perguruan tinggidi wilayah pelaksanaan penelitian. Setelah melalui proses penilaian danpenyuntingan, hasil penelitian itu diterbitkan dengan dana Bagian ProyekPenelitian Kebahasaan dan Kesastraan. Penerbitan ini diharapkan dapat

111

Page 5: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

memperkaya bacaan tentang penelitian di Indonesia agar kehidupan sastralebih semarak. Penerbitan buku Geguritan Tradisonaldalam Sastra Jawaini menipakan salah satu upaya ke arah itu. Kehadiran buku ini tidakterlepas dari kerja sama yang baik dengan berbagai pihak, terutamaBagian Proyek Penelitian Kebahasaan dan Kesastraan. Untuk itu, kepadapara peneliti saya sampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus.Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada penyunting naskahlaporan penelitian ini. Demikian juga kepada Drs. Sutiman, M.Hum.,Pemimpin Bagian Proyek Penelitian Kebahasaan dan Kesastraan besertastaf yang mempersiapkan penerbitan ini saya sampaikan ucapan terimakasih.

Mudah-mudahan buku ini dapat memberikan manfaat bagipeminat sastra serta masyarakat pada umumnya.

Jakarta, November 2002 Dr. Dendy Sugono

IV

Page 6: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha-kuasa, akhimya penelitian Geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa inidapat kami selesaikan tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagaipihak, penelitian ini tidak dapat tenvujud. Oleh karena itu, pada kesem-patan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Drs. Syamsul Arifin,M.Hum, selaku Pemimpin Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikankepercayaan kepada tim peneliti untuk melaksanakan tugas peneltian;Drs. R.S. Subalidinata selaku konsultan penelitian ini sehingga penelitiandapat berjalan seperti yang direncanakan; dan Sdr. Sugiharto yang mem-bantu mengetik laporan penelitian ini sehingga dapat selesai tepat padawaktunya. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepadaberbagai pihak yang tidak kami sebutkan saru per satu, yang membantukelancaran penelitian ini.

Kami menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangannya.Oleh karena itu, dengan tangan terbuka, kami menerima saran dan kritikdemi kesen:q)umaan penelitian ini.

Yogyakarta, Februari 2000 Tim Peneliti

Page 7: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

DAFTARISI

Kata Pengantar inUcapan Terima Kasih vDaftai* Isi viDaftai: Singkatan viii

Bab I Pendahuluan 11.1 Lcitar Belakang dan Masalah 11.1.1 Latar Belakang 11.1.2 Masalah 31.3 Tujuan dan Hasil yang Diharapkan 41.4 Kerangka Teori 41.5 Metode dan Teknik 51.6 Sumber Data 6

Bab II Analisis Stniktur Formal 72.1 Penggantian Arti 132.1.1 Simile 132.1.2 Personifikasi 182.1.3 Sinekdoke 202.1.4 Metafora 292.1.5 Metonimi 342.2 Penyimpangan Arti 392.2.1 Ambiguitas 402.2.2 kontradiksi 532.2.3 Nonsens 612.3 Penciptaan Arti 80

VI

Page 8: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Bab ni- Makna Geguritan Tradisional Jawa 923.1 Makna yang Berkaitan dengan Alam 943.2 Makna yang Berkaitan dengan Ketuhanan 1023.3 Makna yang Berkaitan dengan Politik 118

Bab rv Penutup 123Daftar Pustaka 125

Daftar Pustaka Data 127

vu

Page 9: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

DAFTAR SINGKATAN

ABS Serat Babad Sumenep

APN Ayo Padha NembangDJ Dolanan Jawi

JMK Javaansche Metsjesspellen en KinderliedjesKBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia

KP Kidungan PurwajatiLD Lagu DolananNKJ Ngengrengan Kasusastran JawiSBP Serat Babad Pathi

SBS Serat Babad Sumenep

SJ Sulukan Jangkep

SR Serat Rerepen

VIII

Page 10: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah1.1.1 Latar BelakangMasyarakat tradisional pada umumnya menq)imyai hubimgan yang eratdengan masalah pribadi, keluarga, dan sosial. Dengan kata lain, di dalammasyarakat tradisional terdapat pola-pola tertentu yang mengharuskansetiap individu berkorban untuk kepentingan yang lebih tinggi, yaitukeluarga, suku, dan masyarakat. Sifat-sifat kolektif-akrab, ketat, danberorientasi pada tradisi—menjadi ciri umum bagi masyarakat tradisional(Zainal, 1973: 181). Salah satu cara untuk mengekspresikan keberadaan-nya, masyarakat tradisional menyusun atau mencipta karya sastra(Koentjaraningrat, 1981: 6). Menurut Zainal (1973: 181); lihat pulaJunus, 1989: 135) kesusastraan masyarakat tradisional biasanya bersifatkedaerahan, kolektif, anonim, dan lisan.

Kesusastraan dalam masyarakat tradisional mempunyai fiingsi men-jaga keselamatan setiap anggota masyarakat dalam menegakkan cita-citasosial bagi keharmonisan dan keutuhan masyarakat (lihat Bachtiar, 1981:42). Oleh karena itu, pengarang dalam masyarakat tradisional tidak dapatsecara bebas mengucapkan dan menyuarakan kata hatinya. Artinya,pengarang secara ketat dibatasi oleh konvensi-konvensi dan lingkungan-nya. Air, angin, dan musim sangat menentukan ide-ide estetik yang akanditulisnya. Pada akhirnya, karya-karya sastra yang muhcul dalam masyarakat tradisional sangat jelas menggambarkan keterkaitannya dengan alamdan tradisi. Kebebasan untuk bereksperimen atau mengubah bentuk tidakmen^eroleh ruang karena norma dan konvensi estetik secara apriorisudah ditentukan. Perbandingan simbol-simbol dan gambaran-gambaran

1

Page 11: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

banyak diambil dari alam dan tradisi. Oleh karena itu, cara peng-ekspresian karya oleh pengarang kepada khalayak biasanya terjadi secaralangsung. Agar komunikasi antarpengarang dan khalayak dapat berjalan,pengarang sangat jell dalammemanfaatkan unsur-unsur persajakan sepertirima, aliterasi, asonansi, dan pengulangan. Pemanfaatan unsur itu tampakdalam karya-karya sastra yang berjenis puisi tradisional, misalnya pan-tun, syair, gurindam, seloka, mantera, dan geguritan.

Kekuatan dan pengaruh puisi bergantung pada sifat verbal yang adapadanya. Bahasa dalam puisi lama bukanlah sekadar kata-kata biasa,tetapi terdiri atas kata-kata yang istimewa, bertenaga, dan bersifat magis.Oleh karena itu, kata-kata yang muncul dalam sastra seperti itu, antaralain, dipercaya sebagai media pengobatan, penjaga keselamatan, petun-juk, dan penghiburan (lihat Teeuw, 1977: 4).

Dalam khazanah perpuisian Jawa, masyarakat mengenal geguritan.Menurut Padmosoekotjo (1960: 1920) geguritan atau guritan berarti'kidung' atau 'tembang'. Sebagai karya sastra berjenis puisi, geguritanmempunyai aturan-aturan (konvensi-konvensi) tertentu yang mengamrbentuknya secara ketat. Akan tetapi, dalam perkembangannya, geguritanjuga diartikan sebagai 'puisi bebas' (lihat Hutomo, 1975: 45). Geguritansebagai puisi bebas kemudian dikenal sebagai geguritan modem, sedang-kan geguritan yang masih terikat dengan aturan-aturan atau konvensi-konvensi yang ketat dikenal sebagai geguritan tradisional (Darusuprapta,1982: 20). Salah satu bentuk geguritan tradisional Jawa bempa lelagondolanan (Padmosoekotjo, 1960: 20).

Geguritan tradisional berjumlah sangat banyak, baik yang sudah di-bukukan maupun yang belum dibukukan. Berdasarkan data yang dapatdijangkau, terdapat beberapa geguritan tradisional di dalam antologi,misalnya Dolanan Jawi (1975) karya Pak Ar tercatat 35 judul; LaguDolanan (1966) karya Sukisma Hardjakismaja berjumlah 32 judul; AyoPadha Nembang (1940) karya R.C. Hardja Soebrata tercatat 28 judul;Serat Parepen (1953), anonim tercatat 50 judul: Javaansche Metsjess-pellen en Hnderliedjes (1938), karya Overbeck tercatat 680 judul.Mengingat jumlahnya yang sangat banyak itu, sudah selayaknya kalaugeguritan tradisional perlu diteliti secara mendalam. Melalui penelitianitu, diharapkan terungkap masalah-masalah yang terdapat di dalam gegu-

Page 12: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

ritan tradisional, baik dari sudut estetika kesastraannya maupun darisudut maknanya. Dari sudut estetika kesastraan, geguritan tradisionaltemyata mampu menampilkan konvensi puisi melalui rima, aliterasi,asonansi, danpenguiangan. Di sanding itu, sesuai dengan keberadaannyasebagai puisi, geguritan tradisional juga mampu mendeotomisasi ataumendefamiliarisasi bahasa (Victor Shkovsky d^am Erlich, 1965 : 76).Dengan kata lain, bahasa dalam geguritan tradisional tidak lagi sebagaithe first order semiotics 'sistem semiotik tingkat pertama', tetapi sebagaithe second order semiotics 'sistem semiotik tingkat kedua' (Jefferson danRobey, 1991: 45—46; Premingerdkk., 1974: 980—981). Sebagai sistemsemiotik tingkat kedua, bahasa di dalam geguritan tradisional maknanyasangat ditentukan oleh konvensi sastra sehingga geguritan tradisionalmen:q)unyai sifat-sifat kesastraan yang sangat kuat. Dilihat dari segimaknanya, geguritan tradisional sangat erat kaitannya dengan kehidupan,khususnya dalam penanaman budi pekerti anak-anak. Berdasarkan peng-amatan, cara penanaman budi pekerti tersebut diwujudkan melaluisimbol-simbol atau gambaran-gambaran yang akrab dengan lingkunganagraris dan tradisi. Bahkan, untuk lebih konkretnya, penanaman budipekerti lewat geguritan tradisional Jawa juga dilakukan dengan caramenarikannya.

Sepanjang pengamatan, sampai saat ini, geguritan tradisional ter-nyat^ belum pemah diteliti secara mendalam dan ilmiah, baik dari segiestetika maupun maknanya. Penelitian atas geguritan tradisional akanmemperkaya khazanah kesastraan Nusantara pada umumnya dan Jawapada khususnya.

1.1.2 Masalah

Memperhatikan latar belakang (1.1), geguritan tradisional mengandung

segi-segi penting untuk diungkapkan secara ilmiah. Sebagai karya sastra

berjenis puisi, geguritan tradisional temyata ditulis berdasarkan konvensi-

konvensi puisi. Konvensi-konvensi itu disusun dalam suatu stmktur yang

utuh, padu, dan estetis. Oleh karena stmktumya yang utuh, padu, dan

estetis, geguritan tradisional mengandung makna bagi kehidupan dan

patut diungkapkan.

Page 13: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Berdasarkan penemuan atas masalah-masalah di dalam geguritantradisional tersebut di atas, masalah utama yang dibahas dalam penelitianini adalah struktur formal dan makna geguritan tradisional.

1.3 Tujuan dan Hasil yang DiharapkanSesuai dengan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini bertujuan(1) menginventarisasi dan mendeskripsikan geguritan tradisional, (2)menganalisis struktur formal geguritan tradisional, dan (3) mengung-kapkan fiingsi geguritan tradisional Jawa dalam masyarakat.

1.4 Kerangka TeoriGagasan bahwa geguritan tradisional adalah jenis sastra yang utuh dankhas, menuntut penelitian ini menggunakan teori genre atas dasar metodestruktural semiotik. Adapun yang dimaksud dengan genre adalah suatumodel penulisan yang berfiingsi untuk menuntun aktualisasi penulisansastra melalui prinsip-prinsip pokok (Guillen, 1971: 72; Wellek danWarren, 1956: 226). Dengan demikian, prinsip pencarian genre diten-tukan selama proses pembacaan retroaktif yang menandai berbagaielemen strukmr, baik struktur dalam maupun struktur luar, melalui pra-duga dan harapan-selama pembacaan teks~tentang genre-genre geguritantradisional (Riffaterre, 1978: 5—6; Fowler, 1987: 104—105).

Puisi adalah struktur (tanda-tanda) yang bermakna (Pradopo, 1993:120—121). Dalam pengertian struktur, puisi (dalam hal ini geguritantradisional) terdiri atas unsur-unsur yang tertata (terstruktur). Tiap-tiapunsur hanya mempunyai makna dalam kaitannya dengan unsur-unsuryang lain dalam struktur itu secara keseluruhannya (Hawkes, 1978:17_18), Sesuai^dengan pengertian itu, analisis struktur adalah analisis

puisi {geguritan) ke dalam unsur-unsur dan fungsinya (dalam strukturgeguritan), dan penguraian bahwa tiap-tiap unsur mempunyai maknahanya dalam kaitaimya dengan unsur yang lain. Jadi, unsur-unsur ituhendaknya dipahami sebagai bagian dari keseluruhan {geguritan itu).Unsur-unsur karya sastra (puisi) bukanlah suatu kumpulan atau koleksiffagmen yang tidak saling berhubungan. Unsur-unsur sebuah koleksibukanlah bagian-bagian yang sesungguhnya (Hill, 1996: 6).

Page 14: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Teori strukturalisme yang telah dikemukakan di atas adalah teoristrukturalisme mumi. Akan tetapi, dalam kenyataannya, karya sastra(termasuk puisi) tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1981: 11).Karya sastra ditulis oleh penyair tentu saja terikat dengan paham-paham,pikiran-pikiran, atau pandangan-pandangan dunia masyarakat padazamaimya atau sebelumnya. Dengan kata lain, puisi tidak dapat terlepasdari situasi sosial-budaya yang melingkupinya. Puisi tidak lahir dari kekosongan yang terjadi sebelumnya (tradisi). Semua hubungan itu sangatmenentukan makna dan pemahaman atas puisi (geguritan). Oleh karenaitu, agar strukturalisme dapat menjangkau data yang akan dianalisis, teoritersebut perlu digabungkan dengan teori semiotik. Gabungan antarakedua teori itu disebut strukturalisme-dinamik (Teeuw, 1983: 63).Strukturalisme-dinamik adalah strukturalisme dalam kerangka semiotik.Dengan kata lain, strukturalisme-dinamik adalah strukturalisme denganmemperhatikan karya sastra sebagai sistem tanda. Sistem tanda ini mem-punyai makna berdasarkan konvensi masyarakat (bahasa) maupun kon-vensi sastra. Oleh karena itu, untuk pemaknaan puisi (Bab II dan Bab III)dipergunakan kerangka teori (dan metode) strukturalisme-semiotik.Dengan teori tersebut, diharapkan gambaran struktur dan makna ge-guritan tradisional Jawa dapat tergambar secara lengkap dan kompre-hensif sehingga unsur-unsur yang membangun keberadaan puisi tidakterpisah-pisah. Dengan adanya ketidakterpisahan antarunsur itu, maknapuisi secara bulat dapat dipahami.

1.5 Metode dan Teknik

Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan metode pustakadan teknik sampling, yaitu mengangkat sejumlah sampel sebagai objekpenelitian. Sampel didasarkan secara kuantitatif dalam penentuan jumlahdan kualitatif dalam penenman kesahihannya.

Dalam metode pengolahan data akan digunakan metode pembacaansastra secara bertahap. Pertama, untuk mengenal ciri utama genre akandigunakan metode pembacaan heuristik. Metode tersebut juga didaya-gimakan untuk memahami struktur formal geguritan tradisional. Kedua,untuk penandaan genre akan digunakan metode pembacaan retroaktif ataupembacaan hermeneutik di dalam upaya menandai satuan-satuan bar-

Page 15: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

makna. Dalam penyusunan laporan akan digunakan metode deduktif daninduktif.

1.6 Sumber Data

Sumber data penelitian geguritan tradisional dalam antologi DolananJawi (seterusnya disingkat DJ)(1957) karya Pak Ar; Lagu Dolanan(setemsnya disingkat LD) (1968) karya Sukisma Hadikismaya; AyoPadha Nembang (seterusnya disingkat APN) (1940) karya R.C. HardjaSoebrata; Serat Rerepen (seterusnya disingkat SR) (1953), anonim;Javaansche Meisjesspellen en Kinderliedjes (seterusnya disingkat JMK)(1938) karya Overbeck; Sulukan Jangkep (seterusnya disingkat SJ) (t.t.),anonim; SeratBabad Pathi (seterusnya disingkat SBP) (t.t.), anonim; danKidungan Purwajati (seterusnya disingkat KP) (1966) himpunan R.Tanoyo. Pemfokusan pada karya-karya itu bukan berarti meniadakanantologi-antologi yang lain yang jumlahnya mungkin relatif lebih banyak.Pemfokusan dalam antologi-antologi itu didasarkan oleh pertimbanganterbatasnya tenaga dan waktu yang dimiliki peneliti. Dengan kata lain,tentulah sangat sulit untuk meneliti secara keseluruhan geguritan tradisional Jawa.

Page 16: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

BABn

ANALISIS STRUKTUR FORMAL

Geguritan adalah karya sastra Jawa yang berjenis puisi. Hutomo (1975:22) membedakan puisi Jawa dalam dua keiompok, yaitu puisi Jawatradisionai dan puisi Jawa modem. Puisi Jawa tradisional bempa tem-bang, parikan, guritan, singir, dan tembang dolanan anak-anak. PuisiJawa modem bempa puisi bebas, yaitu puisi yang tidak terikat olehnorma-norma ketat seperti yang dijumpai dalam puisi Jawa tradisional(tembjing).

Fuisi Jawa tradisional yang berbentuk tembang mempunyai jenisyang cukup banyak dan dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu (1) puisitembang macapat, (2) puisi tembang tengahan, dan (3) puisi tembanggedhe.

Puisi tembang macapat terdiri atas sembilan metmm, yaitu mijil,sinom. Hnanthi, asmarandana, dhandhanggula, maskumambang, durma,pangkur, dan pucung. Puisi tembang tengahan terdiri atas lima metmm,yaitu gambuh, wirangrong, balabakjurudemung, dan megatruh {duduk-wuluh). Puisi tembang gedhe hanya bempa metmm girisa. Puisi tembangmacapat sangat terikat oleh norma-norma puitika, yaim (1) aturan jumlahlarik dalam setiap bait, (2) aturan jumlah suku kata dalam setiap larik,(3) atiiran bunyi vokal dalam setiap akhir larik, dan (4) aturan sifat atauperwatakan masing-masing jenis tembang.

Parikan adalah puisi tradisional Jawa yang menq>unyai kesamaanbentuk dengan puisi tradisional Melayu pantun. Puisi ini terdiri atas duabagiar., yaim bagian sampiran dan bagian isi. Di samping parikan^ dalamsastra !jawajuga dikenal puisi yang berbentuk wangsalan dan pnisi yangberbenmk cangkriman. Puisi wangsalan hampir sama dengan puisi pa-

Page 17: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

rikan; kedua puisi itu terdiri atas bagian sanq)iran dan bagian isi. Per-bedaan antara keduanya terjadi karena dalam parikan keterlibatan sam-piran dan isi hanya sebatas pada rima atau persajakan, sedangkan dalamwangsalan terkait dengan pemaknaan. Dalam pemakanaan, bagian sam-piran mengandimg makna yang mengacu pada kata-kata yang terdapatpada bagian isi. Hubungan antara sampiran dan isi bersifat rahasia.Berikut contoh wangsalan,

Kulik priya, priyagung Anjani putraTuhu eman wong anom wedi kangelan.(NKJ, him. 24)

Burung kulik jantan, bangsawan putra Anjanisungguh sayang orang muda yang takut kesulitan.

Dalam wangsalan tersebut, terdapat hubungan rahasia antara larikpertama (bagian sampiran) dengan larik kedua (bagian isi). Hubunganrahasia tersebut dapat diketahui dengan cara mencari makna yang ter-kandung dalam bagian sampiran, yaitu kulik priya 'burung Kulik jantan'.Yang dimaksudkan dengan burung Kulik jantan adalah burung Tuhu yangmempunyai hubungan rahasia dengan kata tuhu dalam larik kedua yangberarti 'sungguh'. Hal yang sama juga terdapat dalam sampiran priyagung Anjani putra 'bangsawan putra Dewi Anjani'. Yang dimaksuddengan 'bangsawan putra Dewi Anjani' adalah Anoman yang mengan-dung hubungan rahasia dengan kata anom dalam larik kedua. Kata anomberarti 'orang muda'.

Cangkriman adalah jenis puisi Jawa yang mengandung teka-tekidan perlu dipikirkan atau dijawab oleh pembaca atau pendengar. Berikutcontoh cangkriman.

Bapak pucung, cangkemu marep mandhuwursabamu ing sendhang, pencokani lambung keringpraptane wisma si pucung muntah kuwaya(NKJ, him. 35)

Page 18: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Bapak pucung, mulutmu menghadap ke atastempat yang sering kau datangi di mata air,tempat hinggapmu di lambung kirisampai di nimah si pucung inemuntahkan air perut

Cangkriman tersebut mengandung pertanyaan yang hams dijawaboleh orang yang diajak berdiaiog. Inti dari bait cangkriman tersebutadalah pertanyaan mengenai jati diri si pucung. Jawaban dari pertanyaanteka-teti itu adalah klenthing 'buyung'. Klenthing adalah benda yangmulutnya menghadap ke atas, sering mendatangi mata air, berada di lambung kiri, dan sesampai di rumah memuntahkan air.

Di dalam sastra Jawa juga dikenal puisi yang berbentuk suluk danjapamantra. Kata suluk berasal dari kata cloka yang berarti 'puisi'(Padmosoekotjo, 1960: 112). Ada dua jenis suluk, yaitu suluk yang ber-kaitan dengan ilmu gaib dan suluk yang berkaitan dengan pedalangan(pewayangan). Suluk yang berkaitan dengan ilmu gaib biasa digubahdalam tembang macapat. Yang dimaksud dengan ilmu gaib dalam suluk,yaitu ilmu kebatinan atau ilmu kesempuraaan, sedangkan suluk yangberkaitan dengan pedalangan adalah sejenis puisi yang dilagukan olehseorang dalang pada saat mempergelarkan wayang. Suluk dalam pedalangan diucapkan oleh seorang dalang dengan maksud untuk men-ciptakan atau menceritakan suasana yang sedang dilakonkannya. Berikutcontoh suluk yang berkaitan dengan ilmu gaib.

Damar kraton awya mati-matisadege keprabonaywa kandheg madhangi jagademangka panariking reh sayektikautameng prabu(SJ, him. 35)

pelita istana jangan padam-padamselama berdirinya kerajaanjangan berhenti menerangi alamnyasebagai usaha yang sungguh-sungguh dalam memerintah

Page 19: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

di alam kematian akan didapatkankeutamaan raja

Frasa Damar kraton 'pelita istana' (larik pertama) adalah sesuatuyang menjadi penerang bagi badan, yaitu hati atau pikiran. Dengan de-mikian, yang dimaksudkan dengan Damar kraton awya mati-mati adalahpelita hati atau pikiran yang berada di dalam hidup manusia diharapkanjangan sampai padam. Larik Sadege keprabon 'selama berdirinya kera-jaan' berarti selama hidup. Yang dimaksud Awya kandheg madhangijagade 'Janganlah berhenti menerangi alamnya', yaitu agar damar(pikiran) itu tidak berhenti menerangi alam kehidupan manusia. Maksuddari larik Mangka panariking reh sayekti 'sebagai usaha yang sungguh-sungguh dalam memerintah', yaitu pikiran manusia. Pikiran manusiapada hakikatnya merupakan pengendali tingkah laku. Maksud larik Ingpati pinanggih kautamengprabu 'di alam kematian didapatkan keutamaansebagai raja', yaitu kelak setelah seseorang meninggal ia akan men-dapatkan kemuliaan. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat disimpulkanbahwa makna dari suluk tersebut adalah ingin menggambarkan suasanakehidupan batin manusia.

^isi Jawa yang berupa suluk pedalangan lebih populer dibanding-kan dengan suluk yang berkaiian dengan ilmu gaib. Kepopuleran sulukpedalangan terjadi karena suluk pedalangan sangat berkaitan dengan senipertunjukkan wayang. Berikut contoh suluk pedalangan.

anjrah ingkang puspita arumkasilir ing samirana mrik, o ....sekar gadhung kongas gandanya, ....maweh raras renaning driya, a ....(SJ, hlm.8)

bertebaran bunga harumterbuai angin sepoi semerbak, o ....bunga gadhung semerbak baunya, o ....memberikan ketenteraman dan ketenangan hati, o ....

10

Page 20: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Suluk tersebut biasanya diucapkan dalang pada saat menggam-barkan adegan atau suasana yang indah dan menyenangkan. Melaluisuluk, seorang dalang pada hakikatnya sedang menyampaikan narasidalam bentuk puisi. Cara penyampaian seperti itu terasa indah apabiladidukung oleh suara dalang yang serasi dengan suasana yang sedangdiceritakan.

Japamantra adalah jenis puisi yang dianggap memiliki daya ke-kuatan gaib. BizsdXiyz., japamantra diucapkan aiau dibaca oleh seseorangdengan tujuan atau maksud tertentu (pengobatan atau penolak bala).Japamantra yang ditulis atau digambarkan pada kertas biasa disebuirajah. Dalam kepercayaan orang Jawa, daya kekuatan gaib yang lerdapatpada japamantra sering dimasukkan pada benda-benda tertentu, sepertikeris, tombak, cincin, dan batu akik. Benda-benda yang sudah diisi dayakekuatan japamantra sering dianggap sebagai jimat 'pusaka'. Berikutcontoh japamantra yang berjudul Rajah Kalacakra 'Doa Penolak Bala'.

Ya maraja, jaramayaYa marani, niramayaYa silapa, palasiyaYa midara, radamiyaYamidosa, sadomiyaYa dayuda, dayudayaYa siyaca, cayasiyaYa sihama, mahasiya(KJ, him.48)

Isi puisi japamantra tersebut sulit dipahami karena terdiri atas kaia-kata yang secara leksikal tidak mengandung arti, teiapi dipercaya olehorang Jawa sebagai salah satu bentuk penolak bala. Rajah Kalacakrabiasanya ditulis dalam huruf Jawa dan ditaruh di atas pintu utama rumah.Di samping itu, Rajah Kalacakra sering digambarkan dalam bentuk lam-bang cakra.

Di dalam khazanah perpuisian Jawa, juga ditemukan jenis puisiyang disebut geguritan. Pada awalnya, geguritan adalah puisi Jawa yangselalu didahului dengan kalimat sun gegurit atau sun anggurit yang

PERPU3TAKAAJ4

BADAti BAHASA

DEPARTEMEN PENDiOlKAN NASIONAL

Page 21: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

berarti *aku mengarang/membaca guritanGuritan juga sering disebutguguritan atau geguritan. Jenis puisi ini mempunyai larik yang berjumlahtidak tetap, tetapi jumlah suku kata di dalam setiap larik beserta bunyiakhir lariknya selalu sama. Geguritan biasanya dituliskan orang sebagaisindiran terhadap keadaan masyarakat. Di samping itu, geguritan jugamengandung unsur pendidikan. Namun, dalam perkembangan selan-jumya, nama guguritan atau geguritan juga digunakan untuk menyebutjenis puisi bebas atau puisi Jawa modem. Bahkan, nama tersebutkemudian digunakan untuk menyebut jenis puisi Jawa secara umum. Saatini, geguritan bebas dalam sastra Jawa ditulis oleh para penyair dalammajalah-majalah berbahasa Jawa. Geguritan yang mereka tulis keba-nyakan telah berakulturasi dengan kebudayaan modem. Namun, dalamkenyataannya, guritan bebas tidak.hanya seperti itu karena di dalamsastra Jawa juga dikenal singir. Singir adalah puisi Jawa yang berasaldari lingkungan pondok pesantren. Singir sama dengan puisi tradisionalMelayu yang berasal dari kesusastraan Arab (syair). Singir biasa untukmenggambarkan cerita-cerita yang berkaitan dengan sejarah Islam, Hadis,A1 Qur'an, ajaran agama, filsafat agama Islam, atau hal-hal mengenaikehidupan agama. Singir selalu bersajak la,a,a,al dan setiap lariknyamempunyai jumlah suku kata yang tetap.

Tembang dolanan anak-anak adalah jenis puisi Jawa tradisionalyang serinjg dinyanyikan anak-anak untuk mengiringi permainan yangmereka selenggarakan. Puisi jenis ini tidak diikat oleh peraturan khusus.Puisi yang berbentuk tembang dolanan anak-anak mempakan puisi bebas,tetapi kaya dengan bunyi yang teramr. Jadi, walaupun tembang dolanananak-anak ini mempakan puisi bebas, kebebasannya tidak seperti ke-bebasan puisi Jawa modem. Di dalam tembang dolanan anak-anak masihterasa adanya wama tradisional seperti yang ditemukan pada tembangmacapat. Dalam perkembangannya, tembang dolanan anak-anak itudisebut dengan nama geguritan tradisional Jawa. Namun, geguritantradisional Jawa sebenamya juga masih banyak yang ditulis dalam tembang. Kenyataan ini dapat dimengerti karena puisi Jawa pada hakikatnyaadalah syair yang dinyanyikan dan tetap lestari sampai saat ini. Berkaitandengan fakta seperti itu, dalam penelitian ini, dipergunakan istilahgeguritan tradisional untuk me-nyebut tembang-tembang yang berkaitan

12

Page 22: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

dengan permanainan anak atau tembang-tembang yang berkaitan dengankesemestaan kesastraan Jawa. Yang dimaksudkan dengan kesemestaankesastraan Jawa ialah hal-hal yang berkaitan langsung atau tidak langsungdengan sastra Jawa secara menyeluruh.

Puisi adalah karya estetis yang bermakna (Pradopo,1993: 3). Lebihlanjut Pradopo (1993: 209) mengemukakan bahwa sastra (puisi) merupa-kan sistem tanda tingkat kedua yang mempergunakan medium bahasa.Bahasa adalah tanda (simbol) yang sudah mempunyai arti dan mempunyaikonvensi sendiri. Jadi, sastra (puisi) terikat oleh arti dan konvensibahasa. Dipandang dari konvensi bahasa, konvensi sastra (puisi) merupa-kan konvensi tambahan. Yang dimaksud dengan konvensi tambahanadalah konvensi di luar konvensi bahasa. Konvensi tambahan dalam

sastra (puisi) berupa konvensi persajakan, pembagian bait, enjambemen(peloncatan larik), dan tipografi (susunan tulisan). Preminger (1974: 981)mengemukakan bahwa di antara konvensi-konvensi tambahan dalam puisiterdapat konvensi bahasa kiasan. Di dalam konvensi tersebut, puisi dapatmenyatakan pengertian-pengertian atau hal-hal secara tidak langsung(Riffaterre, 1978:2). Puisi menyatakan suatu hal dan berarti yang lain.Jadi, bahasa puisi memberikan makna lain daripada makna bahasa biasa.Menurut Riffaterre (1978:2) ketidaklangsungan pemyataan puisi disebab-kan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti {displacing of meaning), penyim-pangan arti {distorting of meaning), dan penciptaan arti {creating ofmeaning).

2.1 Penggantian ArtiMenurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1994: 6) penggantian arti disebabkanoleh penggunakan metafora dan metonomi. Yang dimaksud denganmetafora dan metonimi (secara umum) adalah bahasa kiasan (figurativelanguage), yang meliputi simile, personifikasi, sinekdoke, metafora, danmetonimi.

2.1.1 Simile

Simile adalah majas pertautan yang membandingkan dua hal yang secarahakiki berbeda, tetapi dianggap mengandung segi yang serupa. Keseru-paan ini dinyatakan secara eksplisit dengan kata seperU, bagai, dan

13

Page 23: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

laksana (KBBI, 1995: 941). Majas adalah cara melukiskan sesuatudengan jalan menyamakan dengan sesuatu yang Iain (KBBI, 1995: 615).

Simile dalam geguritan tradisional Jawa dapat dilihat dalam judulNgundha Layangan *Menaikkan Layang-layang' sebagai berikut.

del ndedel kae mumbul

Iho layangane wama-wama dhapukanedel ndedel kae muluk

wah layangane manca-wama pulasanebat tobat becike

wah aku gumunkaya kupu Ian satelitsekuter naga Ian kinjengkae montore mabur jdjer jaran sembraniaja nyangkut bareng waedimen awet ora pedhot benange(LD, him. 16)

naik kuda itu membumbungIho layang-layangnya bermacam-macam bentuknyanaik naik itu meninggiwah layang-layangnya berwama-wami pewaraaannyaalangkah bagusnyawah saya kagumbagaikan kupu-upu dan satelitvespa naga dan capungitu kapal terbangnya beijajar dengan kuda terbangjangan bersentuhan bersama-sama sajaagar awet tidak putus benangnya

Geguritan tersebut menggambaran permainan layang-layang yangsangat menyenangkan. Di dalam geguritan itu dilukiskan bermacam-macam bentuk dan wama layang-layang, dari yang berbentuk kupu-kupu,satelit, vespa, naga, capung, pesawat terbang, san^ai yang berbentukkuda terbang. Kesemua layang-layang itu membumbung tinggi di ang-

14

Page 24: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

kasa. Dalam geguritan tersebut, unsur simile tampak pada layang-layangyang beraneka macam sehingga ketika melayang di angkasa seperti kupu-kupu, satelit, vespa, naga, capung, pesawat terbang, dan kuda terbangmelayang bersama-sama.

Selain itu, banyak geguritan tradisional yang mengandung unsursimile, seperti Rerepen Sore 'Nya-nyian Sore', Rerepen Manitk 'Nya-nyian Burung', Klaras-Klaras Garing 'Kelaras-Kelaras Kering', Kupu-kupu 'Kupu-Kupu', dan Bi-bibi Tumbas Timun 'Bi-Bibi Beli Mentimun'.Dalam Rerepen Sore 'Nyanyian Sore', simile tampak pada penggambaranbintang yang banyak bertebaran di langit bersama bulan yang bercahayaterang. Bintang dan bulan tersebut digambarkan sebagai dayang-dayangyang sedang mengelilingi sang ratu. Hal itu tampak dalam teks sebagaiberikut.

wulan cahaya salakangrenggani langitnyatur lintang tan winicallir ngayap ratunya(SR, him, lO;

Bulan bersinar perakmenghiasi angkasadan bintang tidak terbilangbagaikan menghadap ratunya

Dalam Rerepen Manuk 'Nyanyian Burung', unsur simile tampakpada penggambaran hati (seseorang) yang senang. Hati yang senang itudilukiskan seperti burung yang terbang di langit. Penggambaran tersebuttampak pada teks berikut.

Anmg kajengankresek kanginanalaras swareng peksimara gung kancaangidung uga

15

Page 25: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

kang laras trang sand

Endah pamemyaPuspa Ian patraPinrada k^askaranAtiku ngrepitnggar lir peksiAwit rinoban bungah

Angawang awangPangidunging wangKumandhang urut resiEca rebutan

Nywarakken girangPra lare klayan peksi.(SR, him. 12)

Berada di pepohonanberisik terhembus anginselaras suara buningayo semua teman

bersenandung jugayang selaras dan jelas semuanya

Indah peragaannyabunga dan daunberkilau keemasan tersinar mentari

hatiku menyanyileluasa bagaikan burungsebab diliputi kesenangan

Mengangkasasenandungkuberkumandang di setiap gunungenak berebutan

16

Page 26: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

menyuarakan kesenanganpara anak-anak dan burung

Di dalam guritan yang beijudul Klaras-Klaras Gating 'Kelaras-Kelaras Kering', unsur simile tampak pada penggambaran wama kuningklaras garing 'daun pisang kering'. Daun pisang tersebut digambarkanbagaikan wama kuning temu giving, sejenis kunyit berwama kuningmuda. Penggambaran tersebut tampak pada teks sebagai berikut.

Klaras klaras garingKuninge anemu givingWeteng mules ngolang-ngalingTumbar jinten engkok-engkok bathuk intenEngkok engkok bathuk inten.(LD, him. 47;

Daun pisang-daun pisang keringKuningnya bagaikan temu giringPerut mulas berguling-gulingKetumbar jinten engkok-engkok kening intanEngkok-engkok kening intan.

Dalam guritan Kupu-Kupu 'Kupu-Kupu', unsur simile digambaranseperti roti yang sudah basi sehingga menjadi keras mirip batu. Penggambaran tersebut tampak pada teks sebagai berikut.

Tuku roti roti kejuKeju sapu ova dadiNgalor ngidul ngetan bali ngulonMrana mrene mung saparan-paranOva entuk roti kejuEntuk roti wayu atos hay a watu

(LD, him. 48;

17

Page 27: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Membeli rod roti kejuKeju sapu tidak jadiKe utara ke selatan ke timur kembali ke baratKe Sana ke sini tak berarah tujuanTidak mendapatkan rod kejuMendapatkan rod basi keras sepeiti batu

Dalam geguritan Bi-bibi Tumbas Timim 'Bi-Bibi Beli Mentimun',unsur simile digambarkan lewat gigi Mbah Tonatanureja. Gigi kakek itubagaikan berlapis emas. Namun, sebenaraya, yang dimaksudkan gigiMbah Tonatanureja seperti itu (berlapis emas) bukan karena keindahan-nya tetapi karena kekotorannya (kuning). Selain itu, simile juga tampakpada penggambaran bibir Mbah Tonatanureja yang seperti direnda. BibirMbah Tonatanureja dilukiskan seperti direnda karena bibimya sudahmenggelayur. Penggambaran tersebut tanq)ak pada teks sebagai berikut.

Bi-bibi tumbas timun

Kengkenane Mbah TonatanurejaUntune kaya dipradaLambene kaya dirindaBi'bibi tumbas timun sigar mawon.(LD, him. 19)

Bibi-bibi beli mendmun

atas perintah Mbah Tonatanurejagiginya bagaikan dilapisi emasbibimya bagaikan diberi berendaBibi-bibi beli mentimun separoh saja

2.1.2 Personifikasi

Personifikasi adalah pengumpamaan atau perlambangan benda mad sebagai orang atau manusia (KBBI, 1995 : 760). Dalam geguritan tradi-sional Jawa banyak dijumpai aidanya unsur personifikasi. Hal itu tampakpada geguritan ttadisional Jawa berikut.

18

Page 28: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Bapak pucung cangkemu marep mandhuymrsabamu ing sendhangp^ncokanmu lambung kiringprapteng wisma si pucung mutah guwaya.(JMK, him. 98;

Bapak pucung mulutmu menghadap ke atasberkeliaranmu di mata air

teiiq)at hinggapmu di lambung kirisampai di runiah si pucung memuntahkan air perut.

Teks geguritan tradisional tersebut mengandung teka-teki. Dalam teka-teki yang dipertanyakan adalah si pucung. Jawaban atas teta-teki tersebutadalah klenthing 'buyung'. Klenthing terbuat dari tanah liat yang biasadipergunakan di daerah pedesaan untuk mengambil air di mata air.Dalam teks tersebut, buyung diandaikan sebagai manusia (makhlukhidup) yang biasa berkeliaran di mata air. la juga dianggap dapat hinggapdi lambung, dan dapat memuntahkan air dari perutnya. Buyung dapatberkeliaran di mata air karena dibawa oleh manusia. Buyung hinggap dilumbung karena dijinjing manusia. Buyung dapat memuntahkan air dariperutnya karena dituangkan oleh manusia. Contoh lain, unsur personifi-kasi dalam geguritan tradisional dapat dilihat pada tembang dolanan yangberjudul Padhang Rembulan Terang Bulan' sebagai berikut.

Yo pra kanca dolanan nengjabaPadhang bulan padhange kaya rimRembulane ne angawe aweNgilingake aja turn sore sore.(JMK, him. 129;

Mari teman-teman bermain di luarTerang bulan terangnya bagai siangBulan melambai-lambai

Mengingatkan jangan tidur sore-sore

19

Page 29: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Di dalam geguritan tersebut, unsur personifikasi tampak padapenggambaran bulan. Bulan dilukiskan seperti manusia yang melambai-lambaikan tangan dan sedang mengingatkan anak-anak agar tidak tidurpada sore ban. Dalam kenyataan, bulan adalah benda mati (bukan manusia) sehingga tidak mungkin melambai-lambaikan tangan karena memangtidak mempunyai tangan. Geguritan Padhang Rentbulan bermakna bahwapancaran sinar bulan yang menerangi bumi dapat mengusir kegelapanmalam sehingga bumi menjadi terang bagaikan siang hari. Sinar rem-bulan dilukiskan seperti manusia yang dapat menggugah keinginan anak-anak untuk bermain di luar rumah pada malam hari.

2.1.3 Sinekdoke

Sinekdoke terdiri atas tiga jenis, yaitu (1) majas pertautan yang menye-butkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya (disebut jugapars pro toto), (2) majas pertautan yang menyebutkan nama keseluruhansebagai pengganti nama bagiannya (disebut juga totum pro pane), dan (3)majas pertautan yang menyebutkan nama bahan sebagai pengganti namabarang yang terbuat dari bahan itu (KBBI, 1995: 944).

Majas pars pro toto, bertautan yang menyebutkan bagian sebagaipengganti nama keseluruhan, dalam geguritan tradisional Jawa dapat di-lihat pada kisah yang menggambarkan tentang kemarahan SondongWedari kepada Sondong Majruk seperti yang terlihat dalam SBP. Didalam teks itu digambarkan kemarahan Sondong Wedari terhadapSondong Majruk. Sondong Wedari marah terhadap Sondong Majrukkarena Sondong Majruk mencuri kuluk dan keris pusaka Raden Suk-maya, sahabat Sondong Wedari. Akhimya, Sondong Wedari berkelahidengan Sondong Majruk dan berhasil membunuhnya. Sondong Majrukdapat dibunuh setelah Sondong Wedari mengumpankan istri mudanyayang cantik. Sondong Majruk berhasil ditusuk mati oleh Sondong Wedaripada s^t tertidur pulas. Kemudian, Sondong Wedari mencacimakinyadengan marah sebagai berikut.

lah rebuten sun Sondong Wedaritambuh sira ngong jatining kmangpadha yen padhaa kowe

20

Page 30: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

nimbangi datan patutdriji jenthik mangsa madhaniyen kuranga percayanyambatna merdhukunsamengko sira karasalah sangganen sira wus anggendhong bumisuk emben telung dinanyarSBP, him. 19)

nah rebutlah saya Sondong Wedaritidak tahu saya laki-Iaki sejatisama jikapun sama engkaumengimbangi tidaklah pantasjari keiingking pun tak kan mungkin menyamaijika kurang percayaminta toionglah pada bantuan dhukunsekarang engkau merasakannah sandanglah engkau sudah menggendong bumikelak tiga harinya.

Unsur majas pars pro toto pada teks di atas tampak pada larik ke-lima, yaitu pada larik yang berbunyi driji jenthik mangsa madhani 'Jarikeiingking tidak mungkin menyamai'. Di situ yang dianggap tidakmungkin dapat menyamai bukanlah drijijenthik 'jari keiingking', melain-kan diri orangnya secara keseluruhan. Dalam cerita ini, Sondong Wedarimenganggap Sondong Majruk sama sekali tidak dapat menyamainya.Kata driji jenthik 'jari keiingking' digunakan Sondong Wedari untuk me-rendahkan Sondong Majruk dengan menganggapnya sangat kecil. Sondong Majruk dipersamakan seperti jari keiingking. Jadi, ungkapantersebut mengandung maksud untuk menyangatkan, yaitu menganggapSondong Majruk sangat kecil sehingga dengan mudah dapat dikalah-kannya.

Majas totum pro pane atau pertautan yang menyebutkan namakeseluruhan sebagai pengganti nama bagian-bagiannya, dapat dilihatdalam geguritan tradisional Jawa yang menggambarkan tentang pepe-

21

Page 31: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

rangan antara Panembahan Senapati (raja Mataram) dengan Dipati Jaya-kusuma, penguasa kadipaten Pati. Dalam SBP diceritakan bahwa AdipatiJayakusuma merasa kecewa terhadap Panembahan Senapati. Sebagaibukti kekecewaannya, ia tidak mau menghadap ke Mataram. Melihat ke-jadian itu. Ki Gedhe Jambeyan dan Ki Gedhe Palangitan memberi nasihatkepada Panembahan Senapati. Atas nasihat itu, Panembahan Senapatikemudian menduga bahwa Adipati Jayakusuma akan memberontak.Panembahan Senapati lalu mengirimkan pasukan ke Pati untuk membuk-tikan dugaannya. Kemudian, terjadilah perang tanding antara Panembahan Senapati dengan Adipati Jayakusuma selama tiga hari. Keduanyamemiliki ketangguhan dan kesaktian yang seimbang. Akhimya, atasnasihat sang guru, Panembahan Senapati berhasil mengetahui kelemahanAdipati Jayaimsuma. Adipati Jayakusuma akan hilang kesaktiannya jikaia memekis. Dalam pekisannya itu, dia menyebut dirinya bukan AdipatiJayakusuma tetapi menyebut dirinya sebagai orang Pati. Hal itu tampakpada teks sebagai berikut.

hah ta yayi sira glis andhisikanaumatur ingkang rayisumangga padukanamani dhateng ambaSenapati angayatiNanting kang tumbakPan sarwi dipun tinggil

Pamrihira mantep tibane kang tumbakkenging jaja amunijumebles swaranyaSenapati ngandikaLayak adhi sira sektiTan pasah tumbakNganggo kere Walandi

sru bramantya Dipati Jayakusumarasukan dipun wingkis

22

Page 32: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

kang jaja katingalsarwi sumbar mangkanaboten watak tiyang Patilamun nganggeakerene tyang Walandi

Nah adinda cepatlah engkau mendahuluiberkatalah sang adiksilahkan tuanku

mengenai pada hambaSenapati melaksanakanmenjinjing tombakdengan serta dipukulkan

maksud agar mantap jatuhnya tombakmengenai dada berbunyi

membentur suaranya

Senapati berkata

pantas adik engkau saktitidak mempan oleh tombak

mengenakan perisai Belanda

sangat marah Adipati Jayakusumabaju dibuka

dadanya kelihatan

seraya memekis demikian

bukan sifat orang Pati

jika mengenakan perisai orang Belanda

Dalam geguritan di atas, unsur totum pro parte tampak pada larikboten watak tiyang Pati 'bukan sifat orang Pati'. Frasa tiyang Pati 'orangPati' digunakan oleh Adipati Jayakusuma untuk menyebut dirinya sendiri.Penyebutan orang Pati yang dilakukan Dipati Jayakusuma menunjukkan

23

Page 33: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

sebagian untuk keselunihan.Majas totumpro pane dalam geguritan tradisional Jawa juga muncul

dalam SBS. Dalam SBS itu diceritakan tentang rencana raja Bali yangingin menghancurkan Kadipaten Sumenep. Dalam puisi tersebut, dikisah-kan bahwa Kerajaan Majapahit, di bawah panglima perang Kudapanolih,telah berhasil menghancurkan Kerajaan Bali. Oleh karena peristiwa tersebut, anak keturunan raja Bali menjadi dendam. Mereka bemiat untukmembalas. Ketika keinginan raja Bali itu benar-benar diwujudkan, ter-nyata kerajaan Majapahit sudah musnah dan pusat pemerintahan ber-pindah ke Demak. Melihat kenyataan ini. Raja Bali otomatis tidak dapatmelampiaskan dendamnya. Akhimya, sebagai kompensasi kekecewaan-nya, Raja Bali menyerang Kadipaten Sumenep. Penyerangan ini dilaku-kan karena raja Bali menilai bahwa penguasa I^dipaten Sumenep sebagaianak keturunan Kuda Panolih. Pada saat penyerangan itu terjadi, ICadi-paten Sumenep di bawah pimpinan Pangeran Elor.

sang nata Bali ngandikaheh ta Patih Kebowajiiwa sun tariSana pra wangsaningwang

atanapi ingkang para mantrikaya parang karepira padharehning awaJdngsun niangkoarsa kesah ing besukanindaki mring kithanekiyun sun perpeki pisansi Sumenep ikuingsun ketoge karepnyaapa nungkul apa ora karepntkiingsun kudu wuninga(SBS, him. 35)

sang Raja Bali berkata

24

Page 34: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

hai Patih Kebowajuwa saya minta pendapatserta para warga saya

atau juga para menteribagaimana kehendak kalian semuaoleh karena diriku sekarangakan pergi di hari besokmendatangi di kotanyaakan saya jumpai sekaliansi Sumenep itusaya tuntaskan keinginannyaapa menyerah apa tidak kemauannyasaya hams mengetahui

Pada geguritan di atas, unsur majas tQtum pro pane tampak padakalimat si Sumenep iku *si Sumenep itu'. Sumenep adalah nama wilayahsebuah Kadipaten di Madura. Daiam teks tersebut, nama Sumenep di-gunakan unmk menyebut Pangeran Elor. Penyebutan Sumenep sebagainama pengganti Pangeran Elor mempakan majas keselumhan yang diper-tautkan dengan nama bagian.

Majas pertautan juga tampak dalam geguritan tradisional Delengen'Lihatlah' sebagai berikut.

Delengen iki genderakuAbang putih sang DwiwamaGenderaku genderakufLD, him. 5j

Lihatlah ini benderaku

Merah putih sang dwiwamaBenderaku benderaku

Geguritan tersebut memperlihatkan adanya keinginan untuk menun-jukkan bendera Indonesia. Bendera itu terdiri atas dua wama, yaitumerah dan putih. Bendera merah-putih juga disebut dengan Sang Dwi-

25

Page 35: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

warnd atau kadang-kadang juga disebut Sang Merah Putih. Di dalamgeguritan tersebut, unsur majas pertautan yang menyebutkan nama bahansebagai pengganti nama barang yang terbuat dari bahan dapat dilihat padalarik kedua yang berbunyi Abang putih sang Dwiwama 'Merah putihsang Dwiwama'. Bendera itu disebut Sang Dwiwama karena terdiri daridua wama, yaitu merah dan putih. Jadi, sebutan Sang Dwiwama untukbendera merah putih itu didasarkan pada nama bahan.

Majas pertautan yang menyebutkan nama bahan sebagai penggantinama barang yang terbuat dari bahan tampak dalam SEP. Di dalam teksitu diceritakan bahwa Adipati Pati mempunyai abdi dua kembar yangsangat sakti. Dua orang itu bemama Janurwenda dan Sirwenda.

Pada suatu hari, Adipati Pati menugasi mereka berdua. Janurwendadan Sirwenda diperintah mengipasi Sang Adipati. Ketika itu Sang Adipatiakan berangkat tidur siang di pendapa. Pada saat itu, banyak lalat yanghinggap di tubuh Sang Adipati. Mereka berdua tidak memukul lalat-lalattersebut karena mereka takut tepukannya justm akan mengenai tuannya.Akhirnya, Janurwenda dan Sirwenda membuat panah dari lidi. Tali panahitu terbuat dari serat halus, sedangkan anak panahnya dibuat dari bulupadi. Pada saat bangun, Sang Adipati heran melihat sekitamya banyaklalat mati dan di tubuhnya tertancap bulu padi. Dalam hal ini, majassinekdoke yang mempertautkan nama bahan sebagai pengganti nama barang yang terbuat dari bahan itu dapat dilihat dalam teks sebagai berikut.

Pinuju ari sajugasang Dipati wus ngalilirsaking anggenira nindraumiyat ing kanan keringkathah laler ngemasipejah sami angalumpruksanvi anandhang branatatu weteng kinging tugiwulu pari sadaya laler kang pejah

kagagas sajroning nalawau sira sang dipati

26

Page 36: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

pagene laler punikupadha mati tatu tugituginya isih kanthilpuwara ngandika arumSirwenda Janurwenda

Sun arsa takon sireki

Sabab apa laler padha nandhang brana

Lumatur pun JanurwendaDhuh gusti laler punikiSakalangkung deksuranyaPaduka sare ngrusuhiSarira den anciki

Yen arsa kawula gebugLamun kenging padukaSing ajrij ulun punikiMauna ulun lajeng samya yasa panah

Klaya adhi pun SirwendaGandewa sada punikiKang kendheng sing serat alitPanahipun inggih tugiLajeng ulun panahSami pejah laleripunSirwenda tinakonan

Aturira sami ugiLawan malih angaturken kang gandewa(SBP, him. 53)

Pada suatu hari

Sang Adipati sudah terjagaDari tidumyaMelihat ke kanan kiri

Banyak lalat matiPada mati lemas

27

Page 37: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Serta menderita sakit

Luka di perutt terkena tugiYaitu bulu padi, itulah yang membuat semua lalat mati

Dipikir di dalam hatidemikianlah Sang Adipatikena apa lalat itupada mati terluka oleh tugituginya masih menempelkemudian berkata harum

"Sinvenda Janurwenda"

saya akan bertanya kepadamuoleh sebab apa lalat pada menderita sakit

Berkatalah si Janurwenda

Duhai Tuan lalat ini

sangat kurang ajartuanku tidur diganggumbuh diinjak-injakjika akan saya puku;apabila kena tuanku

karena takut saya inimaka kami lalu membuat panah

Dengan adik yaitu Sinvenda

busumya ini liditali busumya dari serat kecilanak panahnya yaitu bulu padikemudian saya panahpada mati lalatnya

Sirwenda ditanyajawabnya sama jugadan lagi menyerahkan panahnya

28

Page 38: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Di dalam geguritan di atas, unsur majas yang mempertautkan namabahan sebagai pengganti nama barang terdapat pada penyebutan tugi'bulu padi'. Bulu padi dipergunakan untuk menyebut anak panah. Didalam teks digambarkan bahwa Janurwenda dan Sirwenda berhasil me-

manah dan membunuh lalat-lalat yang hinggap di tubuh Adipati Pati.Busur panahnya terbuat dari lidi, tali busumya terbuat dari serat kecil,dan untuk anam panahnya terbuat dari bulu padi (tugi). Namun, dalam

teks, tugi yang sudah berubah fiingsi sebagai anak panah tidak diucapkansebagai anak panah, melainkan masih disebutkan sebagai nama aslinya.Hal itu terungkap dalam larik tatu weteng kenging tugi 'luka perut kenabulu padi', serta pada kalimatpadha mati tatu tugi, tuginya isih kanthil'pada mati terluka oleh bulu padi, bulu padinya masih menempeP.

2.1.4 Metafora

Metafora adalah pemakaian kata atau kelonq)ok kata bukan dengan artiyang sebenamya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaanatau perbandingan (KBBI1995: 651). Dalamgcgi/r/mn tradisional, metafora dapat dijumpai dalam Rerepen Panen 'Nyanyian Panen' sebagaiberikut.

Lah iku tandangnya rameAngundhuh rejekiV/oh ombak ombak ajeneSemune werta sri

Mara dha ngidung Ian girangWong sungkan tan girang

Ambanjeng kang samya nggendhongKencana gedhenganM^ek meyik de Iwih abotNging tyas entheng girangMula ngidung murah buktiWong sungkan ja bukti

29

Page 39: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Lubir pangganjare AllahMring tyang karya tlatinNyebar nandur ing sedhenganBalaburr ing panenMula ngidung slamet ngundhuhWong sungkan tan ngundhuh

Sawamaning kasaenanIng Allah sangkanyaKang ngingu salir tumitahKlayan wilasanyaMula ngidungken panujaWong sungkan tan muja

Nah itu tindakannya ramaiMemetik rejekiBuah berombak-ombak kuningAgaknya merata indahAyo berdendang dan riangOrang malas tidak riang

B'eriring-iring yang pada menggendhongEmas berikat-ikat

Tertetah tetah karena sangat berat tetapi had ringan riang

Maka berdendang karena murah makanOrang malas jangan makan

Melimpah anugerah AllahKepada orang bekeija tekunMenyebar memanen di lahanSilau dalam memanen

Maka berdendang selamat memetikOrang malas tidak memetik

30

Page 40: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Segenap keindahanDari Allah datangnyaYang memelihara segenap umatDengan belas kasih-NyaOrang malas tidak memuja.

Di dalam geguritan tersebut, unsur majas metafora dapat dilihatpada larik ketiga bait pertama, yaitu woh ombah-ombak ajene 'buahberombak-ombi kuning' dan pada larik kedua, yakni kencana g^-dhengan *emas berikat-ikat'. Larik woh ombdk-ombak ajene *buah ber-ombak-ombak kuning' dan kencana gedhengan *emas berikat' menunjukpada pengertian padi. Pengertian padi dapat ditangkap dari makna larikwoh ombak'Ombak ajene 'buah berombak-ombak kuning', yaitu buahyang dapat bergerak berombak-ombak berwama kuning. Buah seperti itu,dalam konteks ini, adalah padi yang sudah siap dipanen. Biasanya, dalamkonteks budaya pertanian di Jawa, buah tanaman yang dapat bergerakseperti berombak-ombak hanya dipergunakan untuk idiom padi. Jika adabuah tanaman yang dapat bergerak berombak bila diterpa angin, misalnyatebu atau jagung, yang bergerak bukan buahnya, melainkan bunganyaatau daunnya dan tidak berwama kuning. Larik woh ombak-ombak ajene*buah berombak-ombak kuning' dalam geguritan Rerepen Panen 'Nya-nyian Panen' menunjuk pada pengertian padi. Hal itu diperkuat lagidengan bait kedua pada larik kencana g^dhingan 'emas berikat-ikat'.Barang waraa emas yang biasa digendong dalam bentuk ikatan dalamkonteks ini adalah butir padi yang bam dipanen dari sawah. Larik wohombak-ombak ajene 'buah berombak-ombak kuning' dan larik emas gedhengan 'emas berikat-ikat' diganti dengan larik lain yang langsungmenunjuk pada pengertian padi. Penggunaan majas metafora pada geguritan itu dimaksudkan untuk menimbulkan kesan keindahan. Dalam halini, kesan keindahan ditampilkan dengan ungkapan kiasan.

Majas metafora dalam geguritan tradisional Jawa dapat dilihat padaSBP. Di dalam geguritan itu, digambarkan umpatan Sondong Wedarikepada Sondong Majmk. Keduanya berselisih karena Sondong Wedarimenuduh Sondong Majmk mencuri kuluk dan keris pusaka milik RadenSukmayana, sahabat Sondong Wedari. Akhimya, Sondong Wedari ber-

31

Page 41: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

hasil membunuh Sondong Majmk. Setelah berhasil membunuhnya,Sondong Wedari mencacimaki Sondong Majmk sebagai berikut.

Lah rebutan sun Sondong WedariTambuh sira ngong jatining lanangPadha yen padhaa koweNimbangi datan patutDrijijenthik mangsa madhaniYen kuranga percayaNyambatna merdhukunSamengko sira karasaLah sangganen sira wus anggendhong bumiSuk emben telung dinanyafSBP, him. 79)

Nah rebutlah saya Sondong WedariTidak tabu engkau saya laki laki sejatiSama, mana mimgkin Jika engkau menyamaiMengimbangi tidak pantasJari kelingking tak kan mungkin menyamaiJika kurang percaya mintalah bantuan dukunSekarang engkau merasakanNah tanggunglah engkau sudah menggendong bumiKelak tiga harinya

Unsur majas metafora dalam geguritan tersebut tampak pada larikkesembilan, yaitu lah sangganen sira was anggendhong bumi 'nah tanggunglah engkau sudah menggendong bumi'. Rangkaian kata-kataTweng-gendong bumi mempakan kiasan dan kiasan itu berarti mati. Penggantianarti dari kata 'menggendong bumi' menjadi 'mati' didasarkan pada per-samaan bahwa orang yang sudah mati, dibaringkan di liang lahat, samadengan orang yang menggendong bumi, karena bumi berada di pung-gungnya. Di sanding itu, pengertian mati pada menggendong bumi jugadidasarkan pada teks sebelum dan sesudahnya yang menggambarkankemarahan Sondong Wedari kepada Sondong Majmk. Oleh karena kema-

32

Page 42: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

rahannya sudah tidak dapat dikendalikan lagi, Sondong Wedari mem-bunuh Sondong Majruk. Penggunaan majas metafora dalam geguritantersebut merupakan suatu penyangatan kebencian Sondong Wedari kepadaSondong Majruk sehingga la tidak mau menyebut kematian SondongMajruk dengan kata lugas (mati), tetapi dikiaskan dengan kata meng-gendong bumi.

Majas metafora juga tanq)ak dalam geguritan tradisional' Jawaberikut.

Damaring praja aywa mati matiSadeging keprabonAywa kandheg madhangi jagadiMangka panariking reh sayektiIng pati pinanggihKautameng prabu(KTJ, him. 23)

Pelita istana janganlah pemah padamselama berdirinya kerajaanjangan berhenti menerangi dunianyasebagai daya tarik pemerintahan sejatidalam kematian diketemukan

keutamaan raja

Geguritan tersebut berisi nasihat Rama kepada Widapama. Ramamengajarkan kepada Widapama bahwa mgas raja adalah untuk mencip-takan kesejahteraan. Untuk itu, raja haras menjaga rakyamya dari segalasesuatu yang dapat menimbulkan kesengsaraan. Sehubungan dengan halim, raja haras senantiasa menjadi penerang bagi seluruh isi kerajaan.Unsur majas metafora dalam geguritan tersebut tampak pada keseluruhanteks. Artinya, semua larik dalam geguritan tersebut merupakan metafora.Di saiiq)ing mengandimg makna tersurat, geguritan itu juga mengandungmakna tersirat. Secara tersurat geguritan itu berisi ajaran tentang ke-wajiban dan tanggung jawab raja terhad^ kerajaan beserta segenapisinya. Raja haras senantiasa menjadi pelita bagi segenap isi kerajaan.

33

Page 43: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Namun, secara tersirat geguritan tersebut mengandung isi ajaran yanglebih dalam, yaitu berisi ajaran tentang makna hidup dan kehidupan.Manusia dalam hidupnya hams senantiasa berbuat baik dengan dilandasiakan pikiran agar kelak setelah mati bisa mendapatkan kemuliaan. Maknatersirat tersebut dapat digali dengan eara mengupas makna kias yangtersembunyi di balik kalimat metaforisnya. Dalam teks disebutkan kali-mat damaring praja 'pelita istana'. Kata 'pelita istana' mengandungmakna kias, yaitu pelita yang menerangi diri manusia. Pelita yang mene-rangi diri manusia adalah hati atau akal pikiran. Frasa sadege keprabonberarti 'selama menjadi raja' maksudnya adalah 'selama hidup'. Kalimataywa kandheg niadhangi jagade bearti 'jangan berhenti menerangidunian'. Maksud kalimat 'jangan berhenti menerangi dunia' adalah hamssenantiasa berbuat kebajikan. Kalimat ing pati pinanggih kautamengprabu berarti dalam 'kematian ditemukan keutamaan raja'. Maksudnya,jika mati rohnya akan mendapatkan kemuliaan.

2.1.5 Metonimi

Metonimi adalah majas yang bempa pemakaian nama ciri atau nama halyang ditautkan dengan orang, barang, dan hal sebagai penggantinya.Dalam gegMr/mn tradisional majas metonomi dapat ditemukan, antara laindalam geguritan Jago Kate 'Jago Kate' Jonjang Semarang 'JonjangSemarang', Ilir-ilir 'Mencari Angin', Te-Kate Dipanah 'Ayam KateTerpanah', "Dara Manglung" (Burung Dara Bersenandung), dan Uwiku'Ubiku'. Bunyi syair tembang dolanan Jago Kate adalah sebagai berikut.

Jago kate te te ti ti kukuk kluruk kokAmecece kukuk kluruk

Balang watu bocah kuncungKeyok kena teliheJranthal pelayunemart umuk marl ngecesi kati katon yen tukung

Jago kate te te te te kukuk kluruk kokTampak sombong kukuk klumk

34

Page 44: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Lenq>ar batu anak kimcungKeyok kena temboloknyaseketika tunggang langgang larinyaberhenti sombong berhenti menghinasi Kate kelihatan bahwa pokeng

Di daiam geguritan tersebut, unsur majas metonimi dijump'ai padalarik kedelapan yang berbunyi Si kate katon yen tukung 'si kate kelihatan

poieng'. Daiam larik itu, majas metonimi terdapat pada penggunaan frasa'si kate'. Si kate adalah ayam jago kate seperti disebutkan daiam larik

satu.

Pada geguritan yang beijudul Jonjang Semarang 'Jonjang Semarang'

terdapat majas metonimi sebagai berikut.

Jonjang, jonjange Mbok SemarangTukjang-tukjang Cah SemarangJonjang, jonjange Mbok SemarangLunga ngendi adhiku Si PulasariLunga nDresi kulak kaca tuku suriMarnbir warung nemok bawang saksiyungTaknggo tamba endhas bingungTapehku bedhan sacengkang-cengkangKecanthol eri tanjangTakkon ndondomi paman dhalangPaman dhalang emoh mayangTakkon ndondomi paman mbarepPaman mbarep ewoh derepTakkon ndondomi paman ngguluPaman nggulu ewoh nutuTakkon ndondomi paman tengahPaman tengah ̂ oh sawahTakkon ndondomi paman rujuPaman ruju ewoh ngangsuTakkon ndondomi paman mbuncit

35

Page 45: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Paman mbuncit ewoh melit

Kecepit kontholi njerit(JMK, him. 158)

Jonjang, jonjangnya Mbok SemarangTukjang-tukjang Anak SemarangJonjang, jonjangnya Mbok SemarangPergi ke mana adikku si PulasariPergi ke Dresi membeli kaca membeli sisirMampir di waning menemukan bawang satu buahKupakai sebagai obat pusingKainku rusak bukan main

Tercabik duri tanjangKusuruh menjahit paman dalangPaman dalang sibuk mendalangKusuruh menjahit paman mbarepPaman mbarep sibuk menuai padiKusuruh menjahit paman ngguluPaman nggulu sibuk menumbuk padiKusuruh menjahit paman tengahPaman tengah sibuk di sawahKusuruh menjahit paman rujuPaman ruju sibuk mengambil airKusuruh menjahit paman mbuncitPaman buncit sibuk mengayam bambuTerjepit kemaluannya menjerit.

Dalam geguritan di atas, unsur majas metonimi dijumpai pada larikketiga, yang berbunyi lunga nDresi kulak kaca kulak suri 'pergi ke Dresimembeli kaca dan sisir untuk dijual lagi'. Dalam kalimat tersebut, unsurmajas metonimi tampak pada penggunaan kata nDresi. Yang dimaksuddengan nDresi 'Dresi' ddam kalimat tersebut adalah nama tempat ataunama desa. Di desa itu terdapat suatu tempat untuk beijual-beli atauperkulakan barang. Adapun barang dagangan yang diperjualbelikan ditempat itu, antara lain, kaca dan suri.

36

Page 46: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Di dalam geguritan Ilir-ilir 'Mencari Angin', unsur majas metonimidapat dijumpai pada larik ke-3, yang berbunyi bocah angon p^neknablimbing kuwi *aiiak gembala panjatkan belimbing itu'. Pada larik ter-sebut, unsur majas metonimi tampak pada kata blimbing *buah belimbing'. Pada larik itu terkandung maksud perintah kepada pembaca ataupendengar untuk memanjat belimbing: penekna blimbing kuwi *pan-jatkanbelimbing itu'. Secara logika, belimbing adalah buah yang tidakmutigkindapat dipanjat karena wujudnya yang kecil. Jika terinjak, buah tersebutpasti hancur. Jadi, yang dimaksud dengan 'buah belimbing' dalam larikitu adalah pohon belimbing, bukan untuk nama buah.

Majas metonimi juga ditemukan di dalam geguritan yang berjudulTe Kate Dipanah Te Kate Dipanah' sebagai berikut.

Te kate dipanahDipanah neng ngisor glagahAna manuk ondhe-ondhe

MBangsir mbombokMBangsir kateMBangsir mbombokMBangsir kate(DJ, him. 21)

Te-kate dipanah(ketika) dipanah berada di bawah pohon gelagahada burung ondhe-ondheMBangsir mbombokMBangsir kateMBangsir mbombokMBangsir kate

Di dalam geguritan di atas, unsur majas metonimi dapat dijumpaipada larik ke-2 yang berbunyi Dipanah neng ngisor glagah ana manukondhe-ondhe 'dipanah di bawah gelagah ada burung ondhe-ondhe'.Dalam larik tersebut, unsur majas metonimi tampak pada penggunaan

37

Page 47: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

kata glagah. Dalam pengertian umum, glagah adalah nama sejenistumbuhan. Jadi, kata glagah dalam larik tersebut maksudnya adalahpohon glagah.

Dalam geguritan Dora Manglung 'Bunmg Dara Bersenandung' ter-dapat majas metonimi sebagai berikut.

Dara-dara manglung, iyungSari nyamplung, iyungMambu kenanga ijoSereh sereh

Bok bok ayu sira dhodhokaDang dhodhogtak dhodhogPJ, him. 23)

Merpati merpati merunduk, aduhsari nyamplung, aduhberbau kenanga hijauberhenti-berhenti

kakanda engkau jongkoklahsegeralah mengetuksaya akan jongkok

Dalam larik ketiga geguritan tersebut terdapat majas metonimi padafrasa mambu kenanga 'berbau kenanga'. Kenanga adalah nama salah satujenis bunga. Jadi, yang dimaksud dengan kata mambu kenanga, yangsehanisnya berbunyi mambu kembang kenanga, adalah 'berbau bungakenanga'.

Unsur majas metonimi yang terkandung dalam geguritan yang ber-judul Uwiku 'Ubiku' terdapat pada larik kesatu yang berbunyi uwikumrambat ing wit turi 'ubiku menjalar di pohon turi'. Adapun bunyigeguritan Uwiku tersebut adalah sebagai berikut.

Uwiku mrambat ing wit turiIjo ijo ngrembuyung godhonge

38

Page 48: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Mobat mabit nut lakuning anginSuk yen wis mangsa dakundhuh gedhe uwohe(LD, him. 16)

Ubiku menjaiar pada pohon turihijau hijau rimbun daunnyabergerak ke kiri ke kanan mengikuti arah anginbesuk kalau sudah saatnya saya panen besar buahnya.

Pada larik pertama geguritam di atas, unsur majas metonimi tampakpada penggunaan kata uwiku mrambat 'ubiku menjaiar'. Uwi addahnama salah sam jenis umbi-umbian. Dalam larik itu disebutkan bahwauwiku mrambat 'ubiku merambat'. Di dalam pengertian umum, uwi atauubi tidak dapat menjaiar. Adapun yang dapat menjaiar adalah pohonnya.Jadi, yang dimaksud dengan kata uwiku mrambat 'ubiku menjaiar' ter-sebut sesungguhnya adalah pohon ubi. Secara normatif, larik tersebutseharusnya berbunyi wit uwiku mrambat 'pohon ubiku menjaiar'. Akantetapi, puisi dengan lisensi kepuitisannya dapat menggunakan setiap kataunmk kepentingan estetika, termasuk pada guritan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa geguritan tra-disional Jawa memiliki unsur-unsur puitis. Geguritan tradisional Jawabanyak menggunakan bahasa kiasan yang diungkapkan dengan majassimile, personifikasi, sinekdoke, metafora, dan metonimi. Berdasarkanpenelitian ini tampak bahwa penggunaan majas sangat diperhatikan dalamgeguritan tradisional Jawa, yaitu majas simile, personifikasi, sinekdoke,metafora, dan metonimi. Dengan kata lain, majas-majas tersebut memiliki frekuensi penggunaan yang hampir sama dalam geguritan tradisional Jawa.

2.2 Penyimpangan ArtiArti atau makna yang terkandung dalam geguritan Jawa dapat menyim-pang atau melenceng dari bahasa sehari-hari atau bahasa normatif. Adatiga hal yang menyebabkan arti atau makna geguritan menyimpang daribahasa semacam itu, yaitu (1) ambiguitas (taksa), (2) kontradiksi, dan (3)nonsens.

39

Page 49: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

2.2.1 AmbiguitasBahasa dalam puisi bersifat banyak tafsir. Artinya, suatu puisi atau ge-guritan dapat ditafsirkan dengan bermacam-macam pengertian. Sifatbanyak tafsir ini disebabkan oleh penggunaan metafora dan ambiguitas(taksa). Metafora juga sering bersifat ambigu. Ambiguitas ini dapat mun-cul dalam kata, ffasa, klausa, atau kalimat. Dengan demikian, dapatdikatakan bahwa dalam satu wadah berisi banyak muatan, satu kata dapatberisi banyak penafsiran. Bahkan, dapat terjadi dalam satu geguritandipergunakan ambivalensi sehingga dalam satu kata terkandung dua artiyang berlawanan. Di samping itu, untuk menciptakan mister! dalamgeguritan, untuk menarik perhatian dan selalu menimbulkan keingin-tahuan, ketaksaan itu dapat ditafsirkan dengan bermacam-macam arti ataumakna. Oleh karena itu, sifat geguritan tradisional Jawa sering menjadi"remang-remang" atau "kabur" kalau dilihat dari sudut bahasa normatif.Setiap kali geguritan dibaca ulang, maka sering timbul pemaknaan baru.

Di dalam geguritan berjudul Wulung 'Burung Elang' terdapat maknaambiguitas, yaitu pada larik kelima dan keenam sebagai berikut.

Ndhelika ing luwengKareben brutumu mateng

(LD, him. 10)

Bersembunyilah di tungkuSupaya daging ekormu matang

Pada larik kelima Ndhelika ing luweng iDersembimyilah di tungku',mengisyaratkan trondhol (seeker ayam yang bulunya sudah banyak yangrontok) bersembunyi dari incaran burung elang. Agar selamat dari in-caran burung elang, trondhol masuk ke dalam tungku. Nasihat itumenimbulkan ambiguitas karena terdapat dua pendapat yang munculsecara bersamaan, yaim menyelamatkan atau menjerumuskan. Hal initerjadi karena tungku tempat api untuk memasak, tetapi si ayam yangdisarankan masuk ke dalam tungku. Dengan demikian, di dalam ge-

40

Page 50: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

guritan ini terdapat sebuah pertentangan tujuan. Hal ini diisyaratkandengan larik berikutnya yang berbunyi kareben brutumu mateng 'supayadaging ekormu matang'. Dari geguritan ini tanipak bahwa makna yangdi dalaninya dapat ditafsirkan dengan berbagai penafsiran, bahkan dapatditafsirkan dengan makna yang berlawanan.

Di dalam geguritan Reng Goring Ndang Tutura *Reng Gareng LekasKatakan' terdapat ambiguitas sebagai berikut.

Ring Caring ndang tutura. GoringSakolahmu cah boguspinter ngopa?Ma, kembang sukun. Ma, kembang sukunAnakmu pinter nurun(APN, him. 19)

Reng Gareng cepatlah katakan, GarengSekolahmu, anak tampan, pintar apa?Pak, bunga sukun, P^, bunga sukunAnakmu pintar menyontek

Pada frasa pinter nurun 'pandai menyontek' terdapat makna yangambigu karena frasa itu dapat diartikan secara positif atau negatif. Yangdimaksud dengan pengertian positif, yaitu bahwa dengan belajar, anak(Gareng) diharapkan dapat meneladani perbuatan baik yang dicontohkanoleh gurunya. Yang diniaksud dengan pengertian negatif dari frasa pinternurun adalah ketid^berhasilan guru d^am mendidik anak karena si anakhanya pandai menyontek.

Di dalam geguritan yang berjudul Lela-lela *Ninabobo' makna ambigu terdapat pada larik Lela-lela bocah bagus ndang turua 'Lela-lelaanak tampan cepatlah tidur'. Larik itu mengisyaratkan agar si anaksegera tidur, tidak rewel, tidak nakal, dan tidak mempunyai keinginanyang aneh-aneh. Makna ini dikaitkan dengan ungkapan Cah bogus jopijer beka 'Anak tampan jangan rewel terns'. Larik ini menandakanbahwa si anak sedang rewel karena keinginannya tidak didapatkannya.

41

Page 51: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Pada geguritan di atas ungkapan pethenthang-pethen-theng bijinediumukake 'berkacak pinggang nilainya dipamerkan' merupakan gam-baran kesombongan, suka membanggakan diri, berpikiran picik, kurangwawasan, dan menganggap orang lain ddak dapat menyamainya. Pada-hal, dalam kenyataan yang sebenamya, hasii yang diraih anak seperti itubelum seberapa jika dibandingkan dengan teman-temannya. Perbuatan inimenggambarkan pikiran yang picik, merasa paling pandai atau palinghebat di antara sesamanya.

Di dalam geguritan yang berjudu Cing Cong Cing Cohung 'CingCong Cing Cohung' terdapat makna ambigu sebagai berikut.

Kowe bocah kuncungUwis awan kemul sarungKae bocah kuncungKancamu wis tekan nglurung(APN, him. 24)

Kamu anak berkuncungSudah slang masih berselimut sarungItu anak berkuncungTemanmu sudah sampai di Jalan

Geguritan tersebut mencoba menggambarkan anak pemalas bemamaKuncung. Kuncung dipertentangkan dengan teman-temannya yang raj in(yang sudah berangkat bekerja atau belajar). Larik-larik Uwis awankemul sarung *sudah siang masih berselimut sarung'/Kae bocah kuncung'Itu anak berkuncung'//(ucmcflOTM wis tekan nglurung 'Temanmu sudahsampai di Jalan' menggambarkan keadaan Kuncung sangat berbedadengan teman-temannya karena teman-temannya sudah beraktivitasdengan penuh semangat, sementara Kuncung masih berselimut kainsarung di tempat tidumya. Geguritan ini diharapkan mampu menyadar-kan pembaca agar timbul semangat bekeija untuk mencapai cita-cita. Disamping itu, ge-guritan ini juga memberikan pesan mengenai ketidak-baikan dari sifat malas karena kemalasan merugikan diri sendiri sertamenjauhkan dari kesuksesan atau keberhasilan.

42

Page 52: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

diumukaki 'berkacak pinggang nilainya dipamerkan' menipakan gam-baran kesombongan, suka membanggakan diri, berpikiran picik, kurangwawasan, dan menganggap orang lain tidak dapat menyamainya. Pada-hal, dalam kenyataan yang sebenamya, basil yang diraih anak seperti itubelum seberapa jika dibandingkan dengan teman-temannya. Perbuatan inimenggambarkan pikiran yang picik, merasa paling pandai atau palinghebat di antara sesamanya.

Di dalam geguritan yang berjudul Gng Cong Gng Cohung *CingCong Cing Cohung' terdapat makna ambigu sebagai berikut.

Kowi bocah kuncungUwis awan kemul sarungKae bocah kuncungKancamu wis tekan nglurung(APN, him. 24)

Kamu anak berkuncungSudah siang masih berselimut sarungItu anak berkuncungTemanmu sudah san:q)ai di jalan

Geguritan tersebut mencoba menggambarkan anak pemalas bemamaKuncung. Kuncung dipertentangkan dengan teman-temannya yang raj in(yang sudah berangkat bekerja atau belajar). Larik-larik Uwis awankemul sarung 'sudah siang masih berselimut sarung'/^ne bocah kuncung*Itu anak berkuncung'/KancawM wis tekan nglurung Temanmu sudahsampai di jalan* menggambarkan keadaan Kuncung sangat berbedadengan teman-temannya karena teman-temannya sudah beraktivitasdengan penuh semangat, sementara Kuncung masih berselimut kainsarung di tempat tidumya. Geguritan ini diharapkan mampu menyadar-kan pembaca agar timbul semangat bekerja untuk mencapai cita-cita. Disamping itu, geguritan ini juga memberikan pesan mengenai ketidak-baikan dari sifat malas karena kemalasan merugikan diri sendiri sertamenjauhkan dari kesuksesan atau keberhasilan.

43

Page 53: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Di dalam geguritan yang beijudul Rerepm Sore *Nyanyian Sore'makna ambigu dapat dilihat pada bait ketiga berikut.

Masidheme sajagadKang mesem warataNenangi pamujikuMring Allah kang murbafSR, him. 1)

Ketenangan duniaYang bersenyum semuaMembangunkan ibadahkuTerhadap Allah yang Maha Kuasa .

Pada geguritan di atas, ketenangan dan kedamaian yang dirasakanoleh si aku menyebabkan timbulnya semangat mengagungkan Tuhan se-hingga si aku tergugah rasa keimanannya. Rasa keimanan itu timbulmelalui kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman yang dirasakannya.Dengan demikian, dapat dikatakan, geguritan ini bersifat religius. SifatReligius ini diharapkan mampu menggugah rasa keimanan bagi pembaca.Dengan bangunnya keimanan, seseorang akan mengagungkan Tuhan.

Makna religius juga terdapat dalam puisi yang berjudul Kaen-dahaning Jagad 'Keindahan Dunia'. Akan tetapi, geguritan itu jugamempunyai makna ambigu seperti berikut.

Neng barat Ian neng timurLangit biru endahTur tan kirang panglipurTiyang nyebut Allah(SR. him. 2)

Di barat dan di timur

Langit biru indahSerta tak kurang hiburanOrang menyebut Asma Allah

44

Page 54: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Bait di atas juga menegaskan bahwa keindahan alam dan suasanalenteram dapat menumbuhkan religiusitas bagi orang yang mengalami-nya. Dengan kata lain, geguritan tersebut diharapkan nianq>u menumbuhkan rasa keimanan dan ketakwaan di hati manusia.

Di dalam Geguritan yang berjudul Rerepin Panen 'Nyanyian Panen'ambiguitas dapat dilihat pada bait berikut.

Luber pangganjare AllahMring tyang karya tlatennyebar nandur ing sedhenganBalabur ing panenMula ngidung slamet ngundhuhWong sungkan tan ngundhuh(SR, him. 8)

Berlimpahlah karunia AllahKepada orang yang rajin bekeijamenebar tanaman di sawahnyaBerluq)ah hasil panennyakarena itu berdendang agar selamat dalam menuaiOrang pemalas tak akan menuai hasil

Geguritan di atas menggambarkan orang yang bekeija dengan tekun,rajin, telaten, penuh semangat, dan bersungguh-sungguh. Dari sikapnyaitu, ia mendapatkan hasil yang memuaskan, sebaliknya orang yang malastidak akan memperoleh sesuatu. Oleh karena itu, orang diharapkan ber-syukur kepada Tuhan atas karunia yang telah dilimpahkan-Nya (berhasilpanen).

Di dalam Geguritan yang beijudul Repen Manuk 'Nyanyian Burung'bait kedua terdapat ambiguitas sebagai berikut.

Endah pamemyaPuspa Ian PatraPinrada kabaskaran

Atiku ngrepi

45

Page 55: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Enggar lir peksiAwit rinoban bungah(SR, him. 9)

Sangat indah terpampangBunga dan daunbersepuh keemasan oleh cahaya matahariHatiku bemyanyiBebas lepas bagaikan burungSebab dipenuhi kegembiraan

Geguritan di atas melukiskan keadaan aiam yang menyenangkandengan bunga-bunga dan daun-daunan yang segar dan indah bermandikancahaya matahari. Keadaan yang cerah tersebut sangat mempenganihisuasana hati si aku sehingga suasana hati itu digambarkan lewat simbolburung yang bebas lepas, tanpa beban, tanpa kesedihan yang bebasmengembara dan berkelana sesuka hati. Kegembiraan hati si aim lebihditegaskan dalam larik Awit rinoban bungah *Sebab dipenuhi kegembiraan' yang secara jelas menegaskan suasana hati si aku pada saatdipenuhi kegembiraan dan kebahagiaan.

Di dalam geguritan yang berjudul Omah 'Rumah' ambiguitas dapatdilihat sebagai berikut.

Jalma mung sithik butuheSaajege neng rat kineTyang mondhok pira dangunyaMung kangdlan manggon mulya(SR, him. 31)

Manusia hanya sedikit kebutuhannyaSelama berada di dunia ini

Orang menginap seberapakah lamanyaHanya bersusah payah menikmati kemuliaan

46

Page 56: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Dijelaskan dalam bait di atas bahwa manusia hidup hanya sebentarserta kelak akan mati dalam keabadian. Oleh karena itu, manusia tidakboleh merasa seolah-olah akan hidup selamanya. Hal ini dinyatakandengan larik-larik Saajege neng rat kene 'Selama berada di duniaini'/Tyang mondhok pira dangunya *Orang menginap seber^akah lama-nya'. Larik-larik tersebut menerangkan bahwa orang hidup di dunia inibagaikan orang menginap di tengah perjalanan yang jauh. Kelak, ia pastikembali ke asal mulanya yang lebih abadi. Untuk itu, orang hidup hen-daknya selalu ingat akan jati dirinya, selalu ingat bahwa kelak akanmeninggal. Hal ini terunglfflp dalam larik berikut.

yen dugi janjinyakedhik maneh panganggenyaciyut temen neng capurinanging dhasar cekap ugi(SR, him. 31)

jika sampai janjinyahanya sedikitlah yang diperlukansempit sekali di dalam kuburtetapi toh cukup juga

Bait di atas menegaskan bahwa seandainya sudah tiba waktunya danTuhan sudah menghendaki, manusia tidak dapat menolak panggilan-Nya.Semua akan terjadi sesuai dengan kehendak-Nya. Apabila manusia sudahsampai pada saat kematiannya, segala kekayaan, harta benda, sanak-saudara, dan apa pun yang dimilikinya tidak akan dapat dibawanya.Geguritan di atas mengingatkan manusia agar tidak melupakan maknadan hakikat kehidupan. Pada bait selanjutnya juga dijelaskan bahwatujuan manusia hanyalah untuk bersatu dengan Tuhannya kelak di alamkeabadian seperti berikut.

Griya mlarat griya mulyaSima kabih kabut donyaNging daleme Rama langgeng

47

Page 57: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Tyang ndhirik Gusti kang mlebet(SR, him. 31)

Rumah miskin rumah mewah

Semua sirna (begitu juga) kabut duniaTetapi rumah Bapa abadiOrang yang patuh kepada Tuhan (sajalah) yang masuk

Bait geguritan di atas menggambarkan keadaan fana, tidak abadi,dan tidak kekal dunia ini. Segala kemelaratan, kekayaan, kemewahan,gemerlap harta duniawi yang menyilaukan, tidak berarti di hadapanTuhan. Hanya Tuhan yang abadi dan orang-orang yang taat beribadahyang benmtung akan seiaiu bersama Tuhan, masuk ke sorga, tinggal diSana dalam kebahagiaan yang kekal.

Di dalam geguritan yang berjudul Kembang Manggis 'Bunga Mang-gis' ambiguitas terdapat dalam larik berikut ini.

Kundur nangise kundur nangisKemutan sing nyamping rengganis(DJ, him. 52)

Puiang menangisnya pulang menangisteringat yang berkain rengganis

Ambiguitas tampak dalam ungkapan yang menggambarkan kega-lauan, kegelisahan hati manusia (laki-laki) karena terpesona oleh penam-pilan si pemakai kain rengganis. Kegalauan dilukiskan pada si pemakaiifain rengganis sehingga membuat hatinya menangis pilu.

Di daXsm geguritan yang berjudul Kembang Jagung 'Bunga Jagung'ambiguitas terdapat dalam ungkapan sebagai berikut.

Sing disuwune sing disuwun

4S

Page 58: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Mung supaya dapat agung dara(JMK. him. 211;

Yang diminta, yang dimintaHanya supaya dapat mulia, tuan

Geguritan di atas ingin menggambarkan manusia dalam mencapaihidup yang bahagia, senang, tenteram, tidak kekurangan seperti terung-kap dalam larik Mung supaya dapat agung dara 'Hanya supaya dapatmulia, tuan'. Kata agung dapat diartikan sebagai kemuliaan, keba-hagiaan, ketenteraman hati, atau kenikmatan hidup.

Geguritan yang beijudul Kutut-kutut Manggung 'Burung Kumt Ber-senandung' terdapat ambiguitas sebagai berikut.

Sipat angandikaadi kondhang sanagara(JMK, him. 155)

Sifat pandai bicaraMembuat terkenal seluruh negara

Ungkapan dalam penggalan bait di atas, sipat angandika 'sifat pandai bicara' dapat diartikan sebagai sifat bijaksana, pandai bicara, cerdas,suka menasihati, memiliki pengetahuan, dan wawasan yang luas. Sifatseperti itu akan membawa seseorang menjadi terkenal, termasyhur karenakebaikan dan kebijaksanaannya. Dengan demikian, seluruh rakyat punakan menghormatinya sebagai tokoh yang bijaksana, adil, berbudi pekertiluhur, dan tidak menyombongkan dirinya.

Di dalam geguritan yang berjudul Rembulan 'Rembulan' terdapatambiguitas sebagai berikut.

49

Page 59: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Lan mbulan mbulan gedhePadhang soroteDolanan akeh kancane rame-rame

Kana surak kene surak

mawih regenging padesanfLD, him. 7)

Dan bulan buian besar

Terang cahayanyaBermain banyak temannya ramai-ramaiDi Sana sorak di sini sorak

membuat semaraknya pedesaan

Geguritan di atas menjelaskan keadaan alam yang indah denganbuian bersinar terang yang membuat keadaan semakin menyenangkan.Dalam suasana seperti itu, anak-anak bermain dengan suka cita bersamateman-temannya. Terdengar sorak sorai di sana sini membuat hati semakin gembira, hiiang segala kesedihan maupun kegelisahan. Kepenatandalam bekerja selama satu hari hiiang oieh suasana malam yang indah.Desa pun menjadi semakin semarak, menyenangkan, penuh kedamaian,dan kebahagiaan. Semua itu disebabkan oleh bulan yang bersinar terangmenyebarkan ketenangan bag! penduduk di daerah pedesaan.

Di dalam geguritan yang berjudul Jagone Kluruk *Ayam JantanBerkokok' makna ambiguitas dapat dijelaskan sebagai berikut.

Jagone kluruk sesauranManuke ngoceh neng wit-witanWay ah bangun esuk ayo padha tangiSeger hawane ayo-ayo nyambut gawi(LD, him. 7)

Ayam jantan berkokok bersahutanBuning-burung berkicau di pepohonan

50

Page 60: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Saat fajar merekahSegar udaranya mari-mari bekeija

Suasana pagi yang segar ditandai oleh kokok ayam jantan sertakicauan burung di dahan pohon sehingga membuat orang merasa ber-semangat untuk memulai kegiatan. Ajakan untuk segera bangun gunamelaksanakan pekerjaan sehari-hari terasa menyenangkan karena ke-segaran udara pagi hari. Geguritan di atas bermaksud memberikandorongan semangat kepada pembaca untuk melakukan aktivitas yangberguna serta selalu penuh semangat dalam mengarungi kehidupan. Halini digambarkan pada larik Jagone kluruk sesauran 'Ayam jantan ber-kokok bersahutanVMifl/i«A:^ ngoceh neng wit-mtan 'Burung-bunmg ber-kicau di pepohonan'/Waya/i bangun esuk 'Saat fajar merekah'. Larik-larik itu menipakan ungkapan dimulainya perputaran hari. Ayam jantanberkokok dan burung berkicau menandakan pagi sudah datang.

Ambiguitas dalam geguritan yang berjudul Pitikku 'Ayamku' ter-ungkap sebagai berikut.

Pitikku dakpakan dakpakani jagungAja rana-rana ndak disamber wulungKur-kur-kur, kur-kur nya jagung(LD, him, 9)

Ayamku kuberi makan kuberi makan jagungJangan pergi jauh-jauh nanti disambar elangKur-kur-kur, kur-kur ini jagung

Geguritan di atas menggambarkan anak ayam yang dijaga denganketat agar tidak dimakan elang. Ayam itu diberi makan jagung dan tidakboleh pergi jauh supaya keadaan terlindung. Gambaran ini dipeijelasdengan ungkapan dalam bait berikutnya sebagai berikut.

Pitikku dakpakan dakpakani dhedhakAja rana-rana ndak ditubruk luwak

51

Page 61: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Kur-kur-kur, kur-kur nya dhedhak(LD, him. 9)

Ayamku kuberi makan kuberi makan bekatulJangan pergi jauh-jauh nanti ditubruk musangKur-kur-kur, kur-to ini bekatul

Bait di atas menq)erjelas ungkapan yang ada pada bait sebelumnyaagar si anak ayam tidak pergi ke sembarang tempat demi keamanannyadan agar terlindung dari bahaya musuh yang mengancamnya (elang danmusang).

Di dalam geguritan yang berjudul Kucingku Glik 'Kucingku yangKecir ambiguitas dapat diterangkan sebagai berikut.

Kucingku cilik nubruki buntute mbokneNggo latihan nubruk mangsanSuk yen gedh4 pinter golek pangan dheweRa njagakke pawehing biywigfLD, him. 11)

Kucingku kecil menerkam ekor induknyaUntuk berlatih menerkam mangsaKelak kalau besar pandai mencari makan sendiriTidak mengharapkan pemberian induknya

Anak kucing berlatih mencari makan dengan menerkam ekor induknya. Latihan ini merupakan bekal si anak kucing agar mampu mencarimakan sendiri dan tidak mengharapkan pemberian induknya. Geguritanini simbolisasi manusia yang harus dilatih sejak kecil agar kelak dapatmandiri dan menghidupi dirinya sendiri.

Di dalam geguritan yang berjudul Pariku *Padiku' ambiguitas ter-dapat pada larik terakhir sebagai berikut.

Pariku wis kuning kuning kuning woheDhasar lemu mentes-mentes wulenane

52

Page 62: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Ayo rame-rame dieneni dhew4Sing gemi sing titi aja na kecer sawuli(LD, him. 17)

Padiku sudah kiming kuning kuning bijinyaMemang subur bemas-bemas bulirannyaAyo ramai-ramai dituai sendiriYang hemat yang teliti jangan ada yang tercecer setangkai pun

Pada bait terakhir dijelaskan bahwa dalam menuai padi hams cer-mat, hati-hati, teliti, agar padi tidak ada yang tercecer satu butir pun.Ungkapan di atas menggambarkan bahwa dalam bekerja orang hams hati-hati, rajin, tekun, dan sabar agar memperoleh hasil yang memuaskan.

2.2.2 Kontradiksi

Puisi dapat menyatakan sesuatu secara bertentangan (kontradiksi). Dalampuisi, kontradiksi dimaksudkan untuk menarik perhatian pembaca sehing-ga pembaca memusatkan perhatiannya pada puisi yang dibacanya. Olehkarena itu, biasanya, digunakan gaya bahasa paradoks. Paradoks adalahgaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan atau bertentangan dalam wujud bentuknya. Akan tetapi, apabila dipikirkan secarasungguh-sungguh kontradiksi itu menjadi sesuatu yang wajar, tidak bertentangan.

Di dalam geguritan yang berjudul Kidang Talm 'Kijang Hutan'(lihat APN: 10) gambaran kontradiksi dapat dilihat pada frasa gajahbelong *gajah berkulit belang'. Pada kenyataannya, wama gajah tidakbelang tetapi polos, kulitnya berwama coklat dengan bulu-bulu halus.Ungkapan tersebut berlawanan dengan kenyataan yang sesungguhnya.Penggunaan ungkapan gajcdi belang 'gajah berkulit belang' hanya untukmencari padanan kata dengan saka tanah Plembang 'dari tanah Palem-bang' sehingga terbentuklah persajakan yang diperlukan dalam geguritantersebut.

Dalam geguritan yang berjudul Ring Goring Ndang Tutura 'RengGareng Lekaslah Bicara' terdapat makna kontradiksi pada bait pertamasebagai berikut.

53

Page 63: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Reng Gareng ndang tutura, GarengSakolahmu cah bagus pinter ngapa?Ma, kembang sukun, Ma, kembang sukunAnakmu pinter nurunfAPN, him. 19)

Reng Gareng cepatlah bicara, GarengSekolahmu, anak tampan, pintar apa?Ma, bunga sukun. Ma, bunga sukun

Pada geguritan di atas kalimat anakmu pinter nurun 'anakmu pintarmenyontek' mempunyai makna kontradiksi. Anak belajar di sekolahdiharapkan menjadi pandai dan diharapkan menjauhi kebiasaan menyontek. Dari pemyataan itu terdapat dua sisi yang berlawanan, yaim sisinegatif dan sisi positif. Dengan memperlihatkan sisi negatif dari menyontek 'nurun', sebenamyayang ingindiperlihatkanhal yang sebaliknyadarisisi negatif tersebut (membuang kebiasaan buruk menyontek). Geguritanini sebenamya mengandung ironi. Melalui ironi, makna yang terkandungdi dalam kontradiksi terasa lebih halus dan persuasif karena mjuan ironitersebut untuk orang tua. Dengan ironi itu, orang tua si anak yang di-tegur tidak secara langsung terkena kritikan. Kritikan yang disampaikansecara tidak langsung merupakan-salah satu kekayaan-budaya Jawa yangdisebut guyon parikena 'bersendau gurau dengan mengkritik secara tidaklangsung'. . ,

Makna kontradiksi terdapat juga pada geguritan yang beijudul E, E,E, O, O, O 'E, E, E, O, O, O' pada larik pertama dan kedua, sebagaiberikut.

E 4e Siwa tindak mr4niO 00 Siwa tindak mrono

Siwa tindak mrene

54

Page 64: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

E i e Siwa tindak mrono

O o o Siwa tindak mrine

Olih-olih paceSiwa tindak mrono

Oleh-oleh mbako

(APN, him. 12)

E e e Pak De datang ke siniO o o Pak De datang ke situPak De datang ke siniBee Pak De datang ke situO o 0 Pak De datang ke siniOieh-olehnya buah pacePak De datang ke situOleh-olehnya tembakau

Pada larik pertama dan kedua geguritan di atas dijelaskan duapengertian yang saling berlawanan. Pada larik pertama dijelaskan bahwasiwa tindak mrene 'Pak De datang ke sini' tetapi pada larik kedua dijelaskan bahwa siwa tindak mrono 'Pak De datang ke sana'. Dua pengertian ini untuk menjelaskan kedatangan seseorang pada dua tempat dalamwaktu yang bersamaan. Hal ini menunjukkan kesan kontradiktif atauberlawanan dari kenyataan karena seseorang dalam waktu bersamaantidak dapat berada di dua tempat;

Kenyataan kontradiksi juga terdapat pada geguritan yang berjudulNuthuk Kethuk Kleru Kenong *Menabuh Kethuk Keliru Kenong' padabait kedua seperti berikut.

Denmas Gareng sangga-uwangeamethengkreng ngarep lawang(APN, him. 14)

Denmas Gareng bertopang dagududuk bersilang kaki di muka pintu

55

Page 65: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

pus mripatmu kok rimbes.(LD, him. 11)

Pus kucingku maniskamu belum mandi

pus matamu kok berair

Seeker kucing takut air sehingga tidak mungkin kucing mau di-suruh mandi. Akan tetapi, dalam larik itu si kucing justru disuruh mandi.Kenyataan ini berlawanan dengan larik kowe durung adus 'kamu belummandi' yang mengisyaratkan seolah-olah si kucing itu terbiasa mandi.Dengan demikian, gambaran ini merupakan salah satu cara untuk me-nyampaikan gambaran yang bertentangan (kontradiktif) dalam puisi.

Di dalam geguritan yang beijudul Dhele 'Kedelai' makna kontra-diksi sebagai berikut.

Ngandikani Pak Dhe dheli dheleIku dapat dadi timpi jarinePa hiya ko gik oraPa hiya ko gek oraO-D, him. 15)

Kata Pak De kedelai kedelai

Itu dapat dijadikan ten^e katanyaApa benar, jangan-jangan tidakApa benar, jangan-jangan tidak

Pada geguritan di atas, muncul kontradiksi karena kedelai dapatdiolah menjadi tempe temyata masih diragukan. Keraguan itu diungkap-kan dengan larik pertanyaan pa hiya ko gdk ora 'apa benar, jangan-jangan tidak'. Dengan demikian, terdapat makna yang kontradiktif antara

58

Page 66: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

pemyataan atau unglcapan larik sebelumnya dengan ungkapan pertanyaantersebut.

Pengertian kontradiksi juga terdapat dalam geguritan yang berjudulLepetan 'Menari Lepetan' seperti dalam kutipan berikut.

Angudhari anguculiJanur faming aningseti(DJ, him. 13)

Melepaskan ikatanJanur kuning mengikat erat

Dalam kutipan geguritan di atas terdapat pengertian yang salingberlawanan pada larik angudhari anguculi 'melepaskan ikatan*. Artinya,melepaskan ikatan yang berlawanan dengan janur faming aningseti 'janurkuning mengikat erat*.

Di dalam geguritan yang beijudul Tofamg-Tofamg 'Tokung-To-kung' terdapat makna kontradiksi sebagai berikut.

Tofamg tofamgAngon bibdfc pinggir delanggungSing ngadhangi fcafd MandragunafDJ, him. 16)

Tokung tokungMenggembala itik di pinggir jalan besarYang menghadang kaki Mandraguna

Dalam ungkapan di atas terdapat pengertian yang kontradiktif,yaitu pada pemyataan Angon bibefc pinggir delanggung 'menggembalaitik di jalan besar*. Pada umumnya, menggembala itik di sawah atau disungai karena di sanalah terdapat banyak makanan itik bempa tumbuh-tumbuhan atau ikan dan binatang air kecil-kecil lainnya, tetapi di dalam

59

Page 67: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

geguritan itu dikatakan bahwa menggembala itik justru di tepi jalanbesar.

J)^am geguritan yang bequdul Sulur-suUir Kangkung 'MensirDaun I^gkung' terdapat makna kontradiksi sebagai berikut.

Sulur-sulur kangkungNet rambatanmu kayu gurda

(DL, him. 42)

Sulur-sulur kangkungNet merambat di pohon beringin

Dalam ungkapan di atas dinyatakan bahwa tanaman kangkungmerambat di pohon beringin. Hal ini merupakan suatu ungkapan yangberlawanan dari kenyataan. Pada kenyataannya, tanaman kangkungtumbuh di sawah atau rawa-rawa dan menjalar di tanah. Akan tetapi,dalam geguritan di atas dinyatakan bahwa tanaman kangkung merambatpada pohon beringin. Hal ini merupakan sesuatu yang jarang teijadisehingga ungkapan tanaman kangkung merambat di pohon beringinmerupakan ungkapan yang kontradiksi terhadap kenyataan yang sesung-guhnya.

Di dalam geguritan yang berjudul Cungkuk 'Cungkuk' terdapatungkapan kontradiksi sebagai berikut.

Sapametunya kaya nangkaGedhene ora patiyaAbate kagila-gilaWra-wiri sapa nggawa(DJ, him. 49)

Hasilnya seperti nangkaBesamya tak seberapa

60

Page 68: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Beratnya tak terkiraMondar-mandir siapa yang membawa

Dalam ungkapan di atas dijelaskan bahwa sapametwnya kayanangka 'hasilnya seperti nangkdi'Igedhene ora patiya 'besamya tidakseberapaV/ tetapi labote kagila-gila 'beratnya tak terkiraV. Pemyataanini merupakan kenyataan kontradiksi karena sesuatu yang tidak besardinyatak^ sangat berat. Kontradiksi tersebut lebih dipertegas denganungkapan pada larik terakhir Wira-wiri sapa nggawa 'mondar-mandirsiapa yang membawa'.

Di dalam geguritan yang berjudul Jambe Thukul 'Jambe Tumbuh'terdapat kontradiksi dalam ungkapan Alun-alun tarub bantheng mati'Alun-alun dihiasi banteng mati'. Dalam ungkapan tersebut tergambarkeadaan yang berlawanan dengan kenyataan pada umumnya. Padaumumnya alun-alun (tanah lapang) dikelilingi pohon-pohonan yangrindang sehingga tampak sejuk dan nyaman dipandang mata, tetapi dalamgeguritan itu dilukiskan bahwa alun-alun tarub bantheng mati 'alun-alundihiasi banteng mati', suam gambaran yang menakutkan, mengerikan,atau tidak biasa. Dengan demikian, gambaran Alun-alun tarub banthengmati merupakan gambaran yang berlawanan dengan keadaan nyata atausesungguhnya.

2.2.3 Nonsens

Nonsens {nonsense) adalah kata-kata yang secara linguistis tidak mem-punyai arti (Pradopo, 1995: 11). Kata-kata dalam puisi merupakan cip-taan si penyair dan biasanya tidak terdapat dalam kamus. Mesldpun tidakmempunyai arti secara linguistis, kata-kata dalam puisi tetap mempunyaimakna {significance) karena konvensi puisi. Misalnya, kata-kata yangterdapat di dalam mantra. Kata-kata dalam puisi mantra dipercaya mempunyai makna magis atau makna gaib. Dalam puisi bergaya mantra, kata-kata nonsens dipergunakan untuk menimbulkan daya gaib dan konsen-trasi. Banyak geguritan tradisional Jawa, khususnya lagu dolanan, me-ngandung kata-kata yang bersifat nonsens. Fungsi dari kata-kata nonsensini untuk menarik perhatian pembaca, menyamakan persajakan, danmemperindah persajakan.

61

Page 69: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Di dalam geguritan yang beijudul Kidang Talun 'Kijang Hutan',nonsens terdapat pada bait pertama dan kedua sebagai berikut.

Kidang talunMangan kacang talunMil kethendl mil kethemil

Si kidang mangan lembayung

Tikus buntungDuwe anak buntungCit-cit cuwit ci-cit cuwit

Si tikus saba ing wuwung(APN, him. 10)

Kijang di kebunMakan kacang di kebunMil kethemil mil kethemil

Si kijang makan daun lembayung

Tikus buntungPunya anak buntungCit-cit cuwit cit-cit cuwit

Si tikus berkeliaran di bubui^an

Kata-kata mil kethemil, secara linguistis, tidak mempunyai maknatetapi dalam geguritan Kidang TaJun kata-kata itu menjadi bermakna.Kata mil kethemil menggambaik^ peniruan gerak mulut kijang yangsedang mengunyah makanan. l^gan kata-kata mil kethemil itu, baitpertama geguritan itu menjadi lebih intens untuk menggambarkan sikijang yang sedang nnenikmati ni^kanannya (lembayung), seakan-akanhidupnya begim mudah, ringan, tanpa beban. Kata-kata cit-cit cuwitdalam bait berikutnya juga mex^)|^ nonsens. Kata cit-cit cuwit me-rupakan peniruan bunyi tikus S£^^ga walaupun secara linguistis tidakmempunyai makna, tetapi sec^ struktural puisimenjadi bermakna.

62

Page 70: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Di dalam geguritan yang beijudul Lela-lela 'Ninabobo', kata lela-Ula secara linguistis tidak mempunyai makna, tetapi jika kata-kata itudiartikan secara keselunihan dalam geguritan itu mempunyai makm.Lebih Jelasnya dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Lela-lela cep menengaLela ledhung ledhungNik nangis nangisi apaLela lidhung ledhungLela lela

Cah bagus ja pijer bekaLela Udhung(APN, him. 17)

L^la 161a cup diamlahLela 16dhung ledhungKalau menangis apa yang kautangisiL61a 161a

Anak tampan jangan selalu menangisL61a 16dhung

Kata lila-Ula ledhung, secara leksikal tidak mempunyai arti, tetapidalam geguritan di atas berfimgsi sebagai pembentuk makna puitis. Katalila lela Udhung dalam geguritan di atas merupakan ajakan agar si anaktidur dengan dendangan lagu.

Di dalam geguritan yang beijudul Cing Cong Cing Cohung *CingCong Cing Cohung' terdapat nonsens sebagai berikut.

Cing cong cing cohungGng cong cing cohungKowi bocah kuncungUwis awan isih njingkrungKae bocah kuncungKancamu wis padha rampungEnggal bocah kuncung

63

Page 71: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Gng cong cing cohmg(APN, him. 24)

Cing cong cing cohungCing cong cing cohungKamu anak kuncungSudah siang masih tidurItu anak kuncungTemanmu sudah selesai semuaCepatlah anak kuncungCing cong cing cohung

Kata Ong cong cing cohung secara leksikal tidak bermakna, tetapidalam geguritan di atas menjadi bermakna karena dalam persajakan dapatmenciptakan kesesuaian bunyi dan arti. Dalam geguritan di atas, larikkedua Cing cong cing cohung sebagai kalimat nonsens berperan dalampembentukan persajakan dengan kalimat Kowe bocah kuncung 'kamuanak kuncung' dan Uwis awan isih njingkrung 'sudah siang masih tidur'.Demikian juga pada bait kedua hanq)ir sama dengan bait pertama, baikmengenai letak kata-kata nonsensnya maupun pengertian secara ke-seluruhan.

Di dalam geguritan yang beijudul Mengko Sore Nggonku 'NantiSore di Tempatku' juga banyak terdapat kata-kata nonsens sebagaiberikut.

Mengko sore nggonku kuArep ana wayangMengko sore aku kuNdelok sandhing dhalangEngek engo-ek gungEngek engo-ek poEngik engo-ek gungEngek engo-ik gong(APN, him. 30)

64

Page 72: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Nanti sore di tempatku kuAkan ada pertanjukan wayangNanti sore aku ku

Nonton dekat sang dhalangEngdk 6ngo-ek gungEngdk ̂ ngo-dk poEngek dngo-ek gungEngdk 6ngo-dk gong

Kata-kata nonsens dalam geguritan di atas tampak pada ̂ ngikengo-^k gung/ Engik engo-ek po/ Engek engo-ek gung/ Engik ingo-ekgong/ seolah-olah tidak mempunyai kaitan dengan larik-larik geguritanyang lain, baik untuk pemaknaan maupun persajakan. Namun, kata-katanonsens itu tetap merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan denganlarik-larik yang lain. Hal ini untuk menciptakan kesatuan maknageguritan yang utuh dan bulat. Demikian pula halnya dengan bait keduageguritan tersebut mempunyai komposisi yang hampir sama dengan baitpertama. Pada bait ketiga gegttritan itu mempunyai perbedaan denganbait sebelumnya sebagai berikut.

Mengko Gareng Petruk trukMesthi peperanganSemar celuk celuk luk

Karo tetembanganDhung e dhung jrek jrik gungDhung e dhung jrek jrek poDhung e dhung jrek jrek gungDhung e dhung jrek jrek gong(APN, him. 30)

Nanti Gareng P6truk trukPasti berperangSemar memanggil-manggilSambil berdendangDhung e- dhung jr^ jr^ gung^

65

Page 73: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Dhung e dhung jrek jrek poDhimg e dhung jrek jrek gungDhung e dhung jrek jrek gong

Pada geguritan di atas, larik-larik yang berisi nonsens tidak begitumempunyai hubungan persajakan dengan larik-larik sebelumnya.

Di dalam geguritan yang berjudul Jago Kate *Jago Kate' kata-katanonsens memiliki makna dalam persajakan. Hal ini dapat dilihat sepertikutipan berikut.

Jago kati te te te te kukuk Jduruk kokAmecece kukuk kluruk

(LD, him. 10)

Jago kate te te te te kukuk kluruk kokMengejek kukuk kluruk

Dalam kutipan di atas, kata-kata te te te te secara leksikal tidak

mempunyai makna, tetapi dalam persajakan menjadi bermakna karena

berfungsi untuk menyamakan bunyi atau persajakan (Jawa; purwakanthi).Dalam geguritan yang berjudul Kinjeng Trung 'Capung Trung',

kata-kata nonsens terdapat pada larik kedelapan dan sembilan atau padadua larik terakhir.

Kinjeng trung, kinjeng trung

Ora petung, era petung

Si kinjeng abang elare

Jagowa jago kate

Ngiriki sandhang lare

Nggawa sutra mlaku dhewe

Wong maca gedhe suluke

Yeng-yeng te sadu sate

66

Page 74: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Yeng-yeng te sadu sate

(JMK, him. 203)

Kinjeng trung, kinjeng trungTidak menghitung, tidak menghitungSi kinjeng merah sayapnyaBiarpun Jago jago kateMenarik pakaian sayapnyaMembawa sutra berjaian sendiriOrang membaca besar suluknyaYeng-yeng te sadu sateYeng-yeng te sadu sate

Dalam kutipan geguritan di atas, persamaan bunyi pada akhir larikterutama mulai larik ketiga dan setenisnya adalah vokal e. Jadi, kata-kataYeng-yeng te sadu sate/Yeng-yeng te sadu sati hanya bermakna dalampersajakan, sedangkan dalam hal makna puisi sama sekali tidak berperan.

Di dalam geguritan yang berjudul Dhong-dhong Kk 'Daun-DaunKenikir' terdapat beberapa kata-kata nonsens sebagi berikut.

Dhong-dhong Mr, dhong-dhong kirKakrasana ri cumethi

Ngundhuh kembang nagasariDinggo cundhuk ErawatiKinjeng trung, kinjeng trungBebedrang bebedrungSi kinjeng bang ulateJagowa jago kateAtine wadonan bae

(JMK, him. 155)

Dhong-dhong kir, dhong-dhong kirKakrasana ri cemeti

Memetik bunga nagasariUntuk hiasan sanggul Erawati

67

Page 75: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Kinjeng trung, kinjeng trungBeb^drang beb6drungSi kinjeng merah rupanyaBiarpun jago jago kateHatinya bagaikan wanita saja

Larik yang berisi nonsens berada di bagian awal bait tersebut di-maksudkan sebagai penarik perhatian bagi pembaca. Dengan bunyi tidakbermakna di awal kalimat, pembaca ̂ an penasaran dan akan mem-perhatikan larik-larik berikumya dalam geguritan itu.

Gaya penyampaian geguritan seperti di atas juga dapat dilihat padageguritan berjudul Tes-tes Gung Tes-Tes Gung'. Awal bait geguritan inimenggunakan kata-kata nonsens sebagai berikut.

Tes-tes gungLincak-lincak neng delanggungSapa gawi sira nembungYen nembung brekutut manggungAna gemak ana tekongTak tekong te jusGemak gempur mambu wangiWedhak pitpur boreh(JMK, him. 156)

Tes-tes gungKursi panjang di jalan besarSiapa yang membuat engkau memintaJika meminta buning kutut berkicauAda burung puyuh ada tekongTak tekong te jusBurung puyuh berbau harumberbedak tedak diolesi.

Di dalam geguritan di atas terdapat dua larik yang berisi kata-katanonsens, yaitu larik pertama yang berbunyi Tes-tes gung dan larik

68

Page 76: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

keenam yang berbunyi Tak tekong te jus. Kata-kata nonsens pada larikpertama mengandung makna persajakan yang berkaitan dengan larikberikutnya, yaitu Lincak-lincak neng delanggung 'kursi panjang di jalanbesar', sehingga persajakannya adalah bunyi gung. Kata-kata nonsenspada larik keenam tidak mempunyai ikatan persajakan dengan larikberikumya.

Di dalam Geguritan yang berjudul Babonku 'Ayam Betinaku' jugamengandung kata-kata nonsens sebagai berikut.

Kruk-kruk piyik-piyek kruk-kruk piyek-piyekBabonku ngendhog wolu saiki netes k^ihIreng karo putih alus-alus wuluneBesuk yen wis gedhi dakedol akeh payune(LD, him. 9)

Kruk-kruk piyek-piyek kruk-kruk piyek-piyekInduk ayamku bertelur delapan sekarang menetas semuaHitam dan putih halus bulu-bulunyaBesuk jika sudah besar kujual banyak lakunya

Geguritan di atas menceritakan bahwa si aku mempunyai seekorayam betina yang bertelur delapan butir. Telur ayam betina itu sudahdierami dan menetas semua. Anak-anak ayam yang masih kecil-kecil ituada yang berbulu hitam dan ada yang berbulu putih, halus, dan lembut.Suara induk dan anak ayam imlah yang digambarkan melalui kata-katanonsense pada awal bait Kruk-kruk, sedangkan piyek-piyek adalah suaraanak ayam. Dengan demikian, kata-kata nonsens tersebut menggam-barkan suara ramai yang dihasilkan oleh induk ayam beserta anak-anaknya.

Di dalam geguritan yang beijudul Pitikku 'Ayamku' menggambar-kan si aku mempunyai seekor ayam yang dipe-liharanya dengan penuhperhatian seperti kutipan berikut.

Pitikku dakpakan dakpakani jagungAja rana-rana ndak disamber wulungKur-kur-kur, kur-kur nya jagung

69

Page 77: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Pitikku dak pakan dakpakani dhedhakAja rana-rana ndak ditubruk luwak

Kur-kur-kur, kur-kur nya dhedhak

(LD, him. 10)

Ayamku kuberi makan kuberi makan jagungJangan pergi jauh-jauh nanti disambar elangKur-kur-kur, kur-kur ini jagung

Ayamku kuberi makan kuberi makan bekatul

Jangan pergi jauh-jauh nanti ditubruk musangKur-kur-kur, kur-kur ini bekatul

K.ata-kata nonsens dalam geguritan di atas menggambarkan tiruanbunyi si aku memanggil ayamnya ̂kur-kur-kuf. Dalam masyarakat Jawa,

kata-kata kur-kur-kur biasa digunakan untuk memanggil ayam agar siayam mendekat untuk diberi makan atau supaya jangan pergi terlalu jauhdari pekarangan rumah. Pada geguritan di atas, si aku memanggil ayamnya agar jangan pergi jauh supaya si ayam tidak disambar elang atau

diterkam musang.

Kata-kata nonsens sebagai tiruan bunyi untuk memanggil binatangkesayangan juga terdapat dalam geguritan berjudul Kucingku 'Kucingku'sebagai berikut.

Pus-pus-pus

Pus kucingku manis

Kowe durung adus

Pus mripatmu kok rembes

(I„D, him. 10)

Pus-pus-pus

Pus kucingku manis

70

Page 78: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Kamu belum mandi

Pus matamu kok berair

Kata-kata pm-pus-pus adalah panggilan untuk memanggil kucing.Dengan demikian, kata-kata nonsens itu merupakan tiruan bunyi panggilan untuk kucing. Dalam geguritan beijudul Bebekku 'Itikku', kata-katanonsens juga merupakan tiruan suara itik. Tiruan bunyi itu dapat dilihatdalam kutipan berikut ini.

Bek-bib^k bibekku wek-wik wek-wek wik-wek

Kowi pinter nglangi w^k-wik wek-wek wik-wekNdhogmu gedhi-gedhi wik-wik-wik wik wik-wek(LD, him. II)

Bek-bebdk bdbekku w6k-wek w6k-wdk w6k-wdk

Kamu pintar berenang wek-wek wek-w6k wek-wekTelurmu besar-besar w6k-w6k-w6k w6k w6k-wdk

Kata-kata nonsens dalam geguritan di atas merupakan persajakanyang mempunyai persamaan antara kata wik-wik dan kata bebek. Dalamgeguritan berjudul Tefdk Tokek', kata-kata nonsens juga merupakanpeniruan bunyi binatang, yaitu bunyi tokek. Tiruan bunyi itu dapat dilihatdalam kutipan di bawah ini.

Rok-rok-rok-rok

Tekik pinter, tekik bodho, tekik pinter, tekek bodhoJa ngandel ja ngandel unine tekik kuwiPinter utawa bodho gumantung kowe dhiwi

(LD, him. 12)

Rok-rok-rok-rok

Tokek pintar, tokek bodoh, tokek pintar, tokek bodohJangan percaya jangan percaya bunyi tokek itu

71

Page 79: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Pintar atau bodoh tergantung kamu sendiri

Di dalam geguritan yang berjudul Ledhung-ledhung 'Ninabobo',kata-kata nonsens tidak berhubungan dengan larik geguritan yang lain,balk persajakan maupun maknanya, seperti tampak dalam kutipanberikut.

Dhung-ledhung-ledhungDhung-ledhung-lidhungLehku nempel-nimpel dhewe galo kae

Ngrebyung lemu godhong^Dhung ledhung-UdhungDhung ledhung-ledhungYen wis gedhi dakbedholDakolah utri Ian tape dak caosakeMbah kakung Ian mbah putrine(DJ, him. 19)

Dhung-l^ung-l^dhungDhung-16dhung-16dhungHasilku menempel sendiri itu lihatlahRimbun subur daunnya

Dhung 16dhung-16dhungDhung 16dhung-16dhungJika sudah besar kucabut

Kumasak utri dan tapai kuberikanKakek dan nenek

Geguritan di atas menceritakan tentang ketela pohon. Si aku me-nanam pohon ketela. Pohon ketela itu berbuah kemudian dipanen unmkdibuat berbagai makanan seperti utri, tape, blanggreng, dan criping.Dalam bait geguritan itu, kata nonsens temyata tidak memiliki persajakan

72

Page 80: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

dengan larik-larik dalam bait yang bersangkutan. Jadi, hal itu dapatdikatakan bahwa kata-kata nonsens dalam geguritan itu berdiri sendiridan hanya sebagai peiengkap. Larik-larik nonsens itu lebih bermaknaapabila geguritan tersebut dinyanyikan atau didendangkan.

Di dsHdm geguritan beijudul Ngasah Grip *Mengasah Grip', kata-kata nonsens menipakan tiruan bunyi orang mengasah batu grip sebagaiberikut.

Sek-esik-esek

Sek-esek'isek gungSek-esek-esek

Sapa ngasah grip kuwiAja dha sembrana tangane ndang diwisuhi

^LD, him. 21)

Sdk-dsdk-dsek

Sdk-dsdk-dsek gungSek-es6k-esek

Siapa mengasah grip ituJangan sembrono tangannya segera dicuci

Kata-kata nonsens dalam Sek-isek-isek merupakan tiruan bunyigesekan antara grip batu asah. Jadi, kata-kata nonsens dalam geguritanini mempakan peniruan bunyi orang mengasah bam grip pada bam asah.Si aku menasihati teman-temannya agar jangan sembrono dan segeramencuci tangan apabila pekerjaannya sudah selesai.

Di dalam geguritan yang berjudul Dhag-glodhag 'Dag-glodag',kata-kata nonsens merupakan peniruan bunyi sebagai berikut.

Dhag glodhag-glodhag-glodhakThung-klonthung-klonthung-klonthungSapine anggired gerobag gedheIsine momotan mendah abate

73

Page 81: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Sing nunggang enak-enak ngantuk wae(LD, him. 22)

Dhag glodhag-glodhag-glodhakThung-klonthung-klonthung-kloiithiingSapinya menarik gerobag besarBerisi muatan betapa beratnyaYang naik enak-enak mengantuk saja

Kata-kata nonsens da! am geguritan di atas menipakan peniruanbunyi roda gerobag sapi yang sarat dengan muatan. Kata atau larik yangberbunyi Dhag glodhag-glodhag-glodhak menipakan peniruan bunyikereta sapi atau gerobag yang berjalan melewati jalan yang tidak ratasehingga gerobag itu bergoyang-goyang dan menimbulkan suara ber-gelodak. Larik Thung-klonthung-klonthung-klonxhmg menipakan tiruanbunyi genta yang dikalungkan di leher sapi. Genta im berbunyi setiapkali sapi bergerak.

Kata-kata nonsens juga terdapat dalam puisi Cem-cempa 'Cem-Cempa' sebagai berikut.

Cem-cempaCem-cempaUndangna barat dawaSuk Slasa tak kirim tela

Cem-cempaCem-cempaUndangna barat gedheSuk Wage tak kirim tempe/JMK, him. 232)

Cem-cempaCem-cempaUndanglaii angin panjangBesuk Slasa kukirim ketela

74

Page 82: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Cem-cenqjaCem-cen^aUndanglah angin besarBesuk Wage kukirim tei]:q)e

Pada kut^an geguritan tersebut, kata cem-cempa secara leksikaltidak mempunyai makna, tetapi mengandung makna khusus. Dalamkebudayaan Jawa, geguritan ini sering didendangkan pada saat anak-anakbermain layang-layang. Jika pada saat akan menaikkan layang-layangtidak ada angin atau anginnya hanya kecil, lagu tersebur kemudian di-nyanyikan. Dengan nyanyian itu diharapkan datang angin kencang yangdapat menerbangkan layang-layangnya.

Di dalam geguritan yang berjudul Leo-leo Bang 'Leo-Leo Bang',kata-kata leo-leo bang secara linguistis tidak men[5)unyai makna, tetapidalam geguritan ini mengandung makna untuk menarik perhatian pem-baca.

Leo-leo bangLeo-leo bangBakyu saJdng pundiBakyu saJdng gunungLeh-olehe napa

(JMK, him. 209)

Leo-leo bangLeo-leo bangKakak dari mana

Kakak dari gunungOleh-olehnya apa

Di dalam geguritan beijudul Pi Pi Pa 'Pi Pi Pa' juga terdapatnonsens. Kata-kata pi pi pa tidak menq)unyai arti, tetapi sebenamya

75

Page 83: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

dimaksudkan untuk me-narik perhatian pembaca agar berkeinginan untukmengetahui kata-kata selanjutnya.

Pi pi paKidul kae apaManuk sirinjayaPakani apa

(JMK, him. 209)

Pi pi paSelatan itu apaBurung sirinjayaMakanannya apa

Di daiam kutipan geguritan di atas, kata-kata nonsens merupakan

bans pembuka. Daiam persajakan, hal itu tidak begitu penting keber-adaannya sehingga dapat dikatakan bahwa larik nonsens itu hanyalah

sekadar pembuka bait yang kurang bermakna.Daiam geguritan berjudui Lur Kilir-Kilur Kombang 'Lur Kiiir-

Kiiur Kombang' juga terdapat kata-kata nonsens sebagai berikut.

Lur kilir-ldlur kombang

Kombang janur

Bocah cilik turn kasur

Babune nusul

Le nusul setengah telu dalu

(JMK, him. 225)

Lur kilir-kiiur kombang

Kombang janur

76

Page 84: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Anak kecil tidur di kasur

Pengasuhnya menyusulMenyusulnya jam setengah tiga malam

Nonsens dalam geguritan di atas, secara persajakan, tidak mengan-dung makna. Larik nonsens itu hanya merupakan larik pelengkap untukmenarik perhatian pembaca saja.

Pengertian nonsens seperti dalam geguritan di atas juga terdapatgeguritan berjudul Jamuran *Menari Bunga Jamur' seperti berikut.

Jamuran ya gegeJamur apa ya gegeJamur gajih mrecicih saara-ara

Semprat-semprit jamur apa(DJ, him. 11)

Jamuran ya gegeJamur apa ya gegeJamur gajih mrecicih seluas padangSemprat-semprit jamur apa.

Dari kutipan geguritan di atas, kata-kata ya gige mempunyaimakna dalam membangun persajakan. Dalam geguritan beijudul Cublak-cublak Suweng 'Cublak-Cublak Suweng', kata-kata nonsens relatif ba-nyak digunakan sehingga dimengerti. Berikut kutipannya.

Cublak-cublak suwengSuwengi ting gulenter mambu ketundhung gudilPak empong lera-liriPak empong lera-leriSapa ngguyu ndhelikaki sir, sir plak dheU kaplakSir pong dhele kopong(DJ, him. 12)

77

Page 85: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Cublak-cublak subang

Subangnya guldnt^r mencium ketundhung guddlPak eiiq)ong 16ra-16r6Pak empong 16ra-ler6Siapa tertawa berarti menyembunyikan sir, sir plak kedelai kaplakSir pong kedelai kopong

Kutipan geguritan di atas tidak terdapat aturan persajaka sehinggadapat dikatakan sebagai puisi bebas. Yang menarik dari geguritan ituadaiah bahwa kata-kata nonsens seakan-akan tidak mempunyai kaitan

dengan makna puisi secara keseluruhan. Kemungkinan larik-larik nonsenshanya bermakna apabila geguritan di atas didendangkan sehingga terciptasuatu tembang yang harmonis.

Makna seperti geguritan di atas juga dapat dilihat dalam geguritanbeijudul Kudangan 'Timang-Tunang* seperti berikut.

Lela lela ledhungNong edhung enongNgger adhiku bocah manisNong edhung enongWis sareya neng ngembananNong edhung enongAja pijer tansah nangisNong edhung enongMengko bapak nuli teka lih-olehe ulat manis(DJ, him. 39)

Lela 161a ledhungNong edhung enongNgger adhikku anak manisNong edhung enongSudah tidurlah di pelukanNong edhung enongJangan selalu menangis saja

78

Page 86: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Nong edhung enongNanti ayah segera datang membawa oleh-oleh sikap manis

Dari kutipan geguritan di atas, kata-kata nonsens yang dipergunakansebenamya hanya merupakan tiniaii bunyi orang mendendangl^ tem-bang untuk meninabobokan anak. Jadi laiik-larik nonsens itu bam mem-punyai makna dalam pengertian geguritan secara keselunihan.

Di dlam geguritan yang beijudul Ris-irisan Tila *Irisan Ketela%kata-kata nonsens mempakan pemlangan suku kata dari kata-kata sebe-lumnya. Kata-kata itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Ris-irisan tela la la la

Madu salil HI HI HI manuk podhangUnine kuk-engkukanUnine kuk-engkukanUnine engkuk-engkukan(DJ, him. 41)

Ris-irisan ketela la la la

Madu salil HI HI HI burung podangBunyinya kuk-engkukanBunyinya kuk-engkukanBunyinya engkuk-engkukan

Larik pertama puisi itu berbunyi Ris-irisan ti-la la la la dan me-ngandung kata-kata nonsens yang mempakan pemlangan suku kata ter-akhir dari kata sebelumnya. Demikian pula untuk larik kedua Madu salilHI HI HI manuk podhang juga sama dengan baris pertama. Untuk larikselanjutnya kata-kata nonsens itu merupakan peniruan bunyi burungpodang.

Kata-kata nonsens yang mempakan pemlangan suku kata sebelumnya juga terdapat dalam geguritan yang beijudul Jamur-Jamur Cepaki'Bunga-Bunga Jamur Cepaki' sebagai berikut.

79

Page 87: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Lambung boyokGulu mondhot dhot dhot

Ting jarethot thot thotIwak kothot thot thot thot

(DJ, him. 41)

Lambung pinggangLeher menonjolBunyinya bergemeletukDaging otot

Dalam kutipan geguritan di atas, kata-kata nonsens merupakan per-uiangan suku kata dari kata-kata sebelumnya. Nonsens dalam geguritanitu memberikan penekanan pada makna kata-kata yang diulang. Dengankata lain, kata-kata nonsens merupakan alat untuk memberikan intensitaspada makna keseluruhan geguritan.

Berdasarkan deskripsi dan analisis di atas, geguritan tradisionalJawa kaya dengan variasi persajakan. Sebagai karya yang berbentukpuisi, geguritan tradisional Jawa mampu mengungkapkan persoalanestetika kebahasaan. Bahasa tidak hanya diungkapkan secara leksikaltetapi juga secara nonleksikal iimgrammaticaJ). Kata-kata nonleksikal,dalam geguritan tradisional Jawa bukan hanya sekedar deretan kata atausuku kata yang tidak berarti, tetapi kata-kata atau suku kata yang tidakbermakna secara leksikal itu mampu membangun suasana. Suasana yangditimbulkan oleh kata-kata nonlel^ikal tersebut secara kontektual d^atmenghadirkan makna keseluruhan. Kenyataan ini, sebenamya, merupakan identitas puisi tradisonal seperti yang dijumpai dalam mantra.

2.3 Pendptaan ArtiSepanjang zaman, puisi selalu mengalami perubahan dan perkembangankarena evolusi selera dan konsep estedk yang benibah-ubah. Menurut

Riffaterre (1978: 2) puisi menyatakan sesuatu secara tidak langsung.

80

Page 88: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Salah satu penyebab ketidaklangsungan pemyataan puisi itu dikarenakanoleh penciptaan arti {creating of meaning). Penciptaan arti teqadi padapengorganisasian niang teks, seperti rima, homologueSf dan enjam-bement. Dalam geguritan tradisional Jawa lebih menekankan rima.

Rima atau persajakan adalah pemlangan bunyi yang sama dalampuisi. Pengertian tersebut dapat diperluas menjadi kesamaan atau kemi-ripan suara di dalam dua kata atau lebih. Klasifikasi persajakan di dalampuisi meliputi tiga segi, yaitu segi bunyi, segi tempat, dan segi larik.Dilihat dari segi bunyi, persajakan dalam puisi digolongkan menjadilima, yaitu sajak sempuma, sajak paruh, sajak mutlak, aliterasi, danasonansi. Dilihat dari segi tempat kata-kata, persajakan di dalam puisidibagi menjadi sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir.Apabila dilihat dari segi hubungan larik dalam tiap bait, persajakandalam puisi dibagi menjadi empat, yaitu sajak merata (sajak terus), sajakberselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk (Shipley dalam SumintoA.S., 1983:22-31). Pembagian persajakan di dalam puisi tersebut tidak-lah mutlak benar karena sebuah larik puisi dapat mengandung berbagaipersajakan sekaligus.

Di dalam geguritan tradisional Jawa, rima atau persajakan merupa-kan hal yang sangat penting untuk menambah estetika. Dilihat dari segibunyi, geguritan tradisional Jawa memunculkan sajak mutlak. Pada geguritan tradisional beijudul Delengen *Lihatlah' ditemukan sajak mutlak.Sajak mutlak tersebut tampak pada kata genderaku *benderaku* di akhirlarik ke-1 dan akhir larik ke-3.

Delengen iki genderakuAbang putih sang dwi wamaGendiraku gendiraku(LD, him 5)

Lihatlah benderaku

Merah putih sang dwiwamaBenderaku Benderaku

81

Page 89: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Sajak mutlak dalam geguritan tradisional Delengen " memberi inten-sitas menumbuhkan suasana puitik, yakni menegaskan merasa banggamenjadi orang Indonesia yang memiliki identitas bendera merah-putihyang juga disebut sebagai sang dwi wama. Geguritan tradisional Jawayang beijudul Titikku " (Ayamku) juga memunculkan sajak mudak yangditunjukkan dengan kata jagung (jagung) pada akhir baris pertama danketiga (bait pertama); kata dhedhak di akhir baris pertama dan ketiga,(bait kedua).

Pitikku dakpakani dakpakani jagungAja rana-rana ndak disamber wulungKur-kur-kur-kur, kur-kur nya Jagung

Pitikku dakpakan dakpakani dhedhakAja rana-rana ndak ditubruk luwakKur-kur-kur, kur-kur nya dhedhak(LD, him. 9)

Ayamku kuberi makan kuberi makan jagungJangan pergi jauh supaya tidak disambar elangKur-kur-kur-kur, kur-loir ini jagung

Ayamku kuberi makan kuberi makan jagungJangan pergi jauh-jauh nanti ditubruk musangKur-kur-kur, kur-kur ini bekatui

Sajak mutlak tersebut menegaskan maksud bahwa jagung maupundhedhak 'bekatui' merupakan makanan pokok ayam. Dalam geguritanyang berjudul Bebekku 'Itikku', sajak mutlak ditunjukkan dengan katawek-wek (tiruan bunyi itik) di setiap akhir larik sajak, yang menggam-barkan kecintaan manusia pada binatang itu. Dalam geguritan yangbeijudul Jalak-Jalak Ucul 'Jalak-Jalak Lepas' ditampilkan sajak mudakberupa kata klantbi bagor 'baju bagor' di tiga larik terakhir sajak satubait tersebut. Sajak mutlak tersebut memberi gambaran' kesulitan hiduppada zaman penjajahan Jepang sehingga rakyat menjadi sangat miskin.

82

Page 90: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Bahkan, anak-anak pun hams menderita dengan beipakaian bagor (kainkasar bekas pembungkus beras).

Jenis persajakan yang sering muncul dalam puisi bempa Anafora.Anafora adalah suatu ulangan pola bunyi di awal baris (Shipley dalamSuminto, 1983: 230). Berdasarkan pengamatan, hampir di setiap ge-guritan tradisional Jawa selalu memunculkan anafora. Dalam geguritantradisional beijudul Abang Putih 'Merah Putih' penggunaan bentuk anafora terdapat pada perulangan kata aja 'jangan' di larik ke-3 dan larikke-4, serta penggunaan kata wani *berani' di larik ke-5 dan larik ke-6.

Abang putih gendirakuDakpasang nkng ngarep omahAja diganggu gawe

Aja diowah-owahWani ngrusak dakdhupakWani nggrayang dakganyang(LD, him. 5)

Merah putih benderakuKupasang di depan rumahJangan diganggu

Jangan diubahBerani merusak kutendhangBerani merobek kuganyang

Inti makna geguritan tradisional Abang Putih merangkan bahwasiapa pun yang berani mengusik keberadaan identitas negara yang ber-wujud bendera Merah Putih, pasti akan dilawan oleh aku lirik. Kata-katainti dalam puisi tersebut dibuat sederhana dan mudah dimengerti. Melaluipuisi tersebut diharapkan tumbuh rasa nasionalisme.

Puisi tradisional Jawa berjudul Untung Surapati 'Untung Surapati'menggunaan anafora bempa kata perang tandhing 'perang satu melawansatu'. Anafora dalam puisi tersebut dimaksudkan untuk mengenangkankembali keberanian Untung Surapati melawan penjajah Belanda. Puisitersebut dibuat amat sederhana. Namun, di dalam kesederhanaannya me-

83

Page 91: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

ngandung makna sugestif. Dengan bekal keberanian dan hanyabersenjatatombak, Untung Surapati berhasil membunuh Kapten Tak. Berikutkutipan puisi itu.

Untung Surapati prajurit utamaUntung Surapati perangan mungsuh LandaMbelani nusa Ian bangsaPerang tandhingPerang tandhing Ian Kapten TakKapten Tak mati tinumbak(LD, him. 9)

Untung Surapati prajurit utamaUntung Surapati berperang melawan BelandaMembela nusa dan bangsaPerang satu melawan satuPerang satu melawan Kapten TakKapten Tak mati ditombalc

Geguritan tradi&ionai Jawa yang berjudul Pitikku 'Ayamku' me-munculkan anafora berupa perulangan kata pitikku 'ayamku', aja rana-rana 'jangan pergi jauh' dan kur-kur-kur 'seruan memanggil ayam'.Penggunaan bentuk, anafora tersebut memperjelas ungkapan rasa sayangmanusia teriiadap binatang peliharaannya dengan eara memberi makanHan, mftliiidiingmya; riari 'ancaman binatang buas. Ungkapan rasa cintapada binatang peliharaan tercermmjuga dalam puisi tradisonal Jawa yangberjudul Wulung 'Elang'. Penggunaan bentuk anafora kata ja 'jangan'dalam geguritan itu menandaskan adanya ancaman elang dan musang.Rasa cinta kasih serupa dapat dilihat juga dalam penggunaan anafora katapus 'panggilan terhadap kucing' pada Kucingku 'Kucingku'.

Berbagai peristiwa yang terjadi di luar dunia kanak-kanak, yaituperistiwa-peristiwa yang teijadi di dunia orang dewasa juga direduksihingga.mflnjaHi beutuk sederhaua dalam geguritanitradisional Jawa. Didalam masyarakat terdapat kepercayaan pada nasib yang dihitung sesuaidengair bimyi tokek. Kepercayaan tentang takhyul im terungkap dalam

84

Page 92: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

puisi beijudul Tekek Tokek*. Anafora dalam g^ritan itu benipa per-ulangan kataya ngandel 'jangan percaya'. Kata itu berfimgsi memberinasihat agar orang jangan percaya pada takhyul tentang peifaitungan nasibyang disesuaikan dengan bunyi tokek kaieoa tercsqiamya cita-cita mannsifltergantung dari usaha mereka masing-niaRing

Bukan hanya peristiwa ataupun episode-q>isode sejaiah saja yangdi^at dibaca dalam geguritan trasional Jawa, poigetahuan yang ber-manfaat bagi manusia pun (kq)at juga terserap ke Haiam geguritan.Geguritan beijudul Kates *Pepaya' mengungk^kan kegunaan pohonpepaya. Anafora dalam puisi itu berupa kata yen *kalau' yang berfimgsimenjelaskan bermacam-macam man^t bu^ dan daun pqniya. Halserupa terungkap juga dalam geguritan beijudul Empon-Enqton *BabanJamu'. Dalam puisi itu penggunaan anafora terdqiat pada fcata dakkan-dhani 'kuberitahu* dan iku kena *itu kena* menandagVan bahwa entpon-

sebagai obat. Dalam puisi beijudul Ledhtmg-Ledhung Terlihat Subur'terkandung manfaat ketela yang dsqiat dijadikan berbagai macammakanan. Penggunaan anafora dalam puisi tersebut berupa kata dhung-ledhung ̂terlihat subur* di setiap bait dan berfiingsi melukiskan kegem-biraan hati aku lirik yang berhasil menanam pohon ketela dan dibuatberbagai macam makanan untuk saudara-saudaranya. Selain itu, per-ulangan kata juga memperindah irama geguritan saat didendangkan.

Anak-anak paling suka bersenda-gurau sambil bemyanyi. Apa sajadapat dijadikan bahan yang sarat dengan kejenakaan. Kadang dalamkejenakaan itu terkandung pengetahuan yang bermanfaat, sqierti yangtan[q)ak pada geguritan Dhele *Kedelai*. Puisi itu memunoilkan anaforaberupa perulangan kata pa htya *^akah benar*. Anafora tersebut berfimgsi sebagai penegas kesangsian anak setelah mengetahui mflnfaatkedelai yang disanqiaikan secara jenaka, sqierti terlihat rfaiam larik ke-4—5 kutipan berikut.

Ca kanca dakkandhani

Ngandikane pakdhi dhele-dheleBai dapat dadi tempi jarenePa hiya ko gik ora

85

Page 93: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Pa hiya ko gik ora(LD, him. 15)

Teman-teman kuberitahu

Kata paman kedelai-kedelaiDapat dibuat teiiq)e katanyaApakah benar jangan-jangan tidakApakah benar jangan-jangan tidak

Dunia orang dewasa dapat masuk ke dalam kalei-doskop duniaanak-anak yang penuh dengan kejenakaan. Kebiasaan anak-anak yangpaling suka bergurau itu sering dimanfaatkan untuk memasukkan ajaran-ajaran atau nasihat. Geguritan Ngasah Grip *Mengasah Grip' mengung-irapkan tentang wajah coreng-moreng anak yang ceroboh dalam meng-gunakan alat tulis grip. Secara komikal, dalam baris ke-7 dan 8 diimg-kapkan rasa takut melihat wajah yang berlepotan wama hitam. Sepertitercermin dalam kutipan berikut.

Sek-esek-isik

S^-esek-esik, gungSek-esek-isek

Sapa ngasah grip kuwiAja dha sembrana tangani ndang diwisuhiJa diusapake ngrai rmmdhak ting clirong medeniHi-hi alM wedU

Hi'hi aku wedi

(LD, him. 21)

Sek-esek-esek

Sek-esek-esek, gungSek-esek-esek

Siapa mengasah grip ituJangan sembrono tanganmu lekas dibasuhJangan diusapkan wajah supaya tidak belepotan menakutkanHi-hi aku takut

Hi-hi aku takut

86

Page 94: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Anafora yang dimunculkan dalam puisi tersebut berupa kata sek-esek *tiruan bimyi orang mengasah grip* dan hi-hi (ungkapan tawa) yangberfiingsi mengajak anak-anak untuk menjaga kebersihan saat meng-gimakan alat tulis grip. Bentuk nasihat tersebut dapat juga berupa untukmenggugah semangat anak-anak muda. Dalam geguritan yang beijudulWiting Klapa *Pohon Kelapa* penggunaan anafora berupa kata witingkiapa di setiap awal bait yang dimaksudkan untuk memotifasi generasimuda untuk giat bekeija dan memelihara kesehatan jasmani dengan rajinberolahraga. Di sanq)ing itu, anak-anak muda dih^pkan tetap meles-tarikan salah satu kebudayaan Jawa, yaitu menembcmg (menyanyikangeguritan Jawa). Nasihat untuk berbakti pada orang tua tampaknya jugaterdapat di dalam geguritan yang beijudul Pucuk Gunung 'Pun(^ Gu-nung' melalui penggunaan anafora ibu. Dengan anafora tersebut, geguritan itu menggambarkan besamya cinta kasih anak kepada ibu yangdiwujudkan dengan pemberian buah tangan berupa buah-buahan.

Ajaran maupun nasihat (^am puisi kanak-kanak itu kadang se-macam sindiran agar orang d^at merubah kebiasaan buruknya. Dalamgeguritan yang beijudul Kembang Mlathi *Bunga Melati' penggunaananafora berupa kata selak dhidhe *cepat supaya jangan kesiangan*.Anafora itu merupakan sindiran yang ditujukan bagi perenqiuan yangbangun kesiangan. Sindiran bagi orang kaya yang sombong dapat dibacadalam gggnnm/z kanak-kanak beijudul Aroio-Airoro *Kroto-Kroto*. Penggunaan anafora dalam geguritan itu berupa kata lakme 'perbuatannya'yang bermaksud menyindir sikap sombong orang yang telah berhasilmenjadi juragan. Sindiran yang bertujuan untuk mengubah sifat burukjuga terungkap dalam geguritan Kembang Kates *Bunga Pepaya*. Penggunaan anafora dalam geguritan tersebut berupa kata kembang kates'bunga pepaya' dan dimaksudkan untuk menyindir anak muda yang tidakdapat bekerja tet^i berlagak congkak. Sindiran serupa terlukis jugadalam puisi Aja Ngewak-Ewakake *Jangan Membuat Tidak Senang*.Geguritan itu memunculkan anafora berupa kata rumangsani *perasaan-nya' yang berfiingsi menegaskan bahwa anak yang merasa dirinya palingpandaijustru bukan anak terpandai. Nasihat untuk tidak bersikapsom-

87

Page 95: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

bong juga dapat dilukiskan melalui binatang. Dalam Jago Kate 'JagoKate' penggunaan anafora jranthal menandaskan kecepatan menghindardari bahaya akibat kesombongan sendiri. Dalam geguritan Kutut-KututManggung 'Buning-Bunmg Perkutut Bersenandung' juga terkandungnasihat agar orang selalu menjaga tingkah laku dan ucapannya yang baik.Di dalam geguritan itu, anafora iya radoen *Ya radoen' menandaskanbahwa harga diri seseorang tergantung pada tingkah laku dan ucapannyasendiri.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia orang dewasa temyataterserap juga dalam geguritan anak-anak. Dalam geguritan yang berjudulDonging-Dongeng 'Dongeng-Dongeng' menggambarkan sifat manusiayang tidak dapat bertanggung jawab pada pekerjaan yang dipikulnya.Begitu buruknya sifat orang tersebut sehingga diibaratkan hanya pantasterjadi di sebuah dongeng seperti teitulis di larik pertama geguritanberikut.

Dongeng, dongengDimoti pari sagedheng, mengklengDimoti pari sawuwa, nglompraDimoti pari salumbung, mamprungDimoti pari sa-amet, ngremetDimoti pari sa-uli, matifAPN, hln. 24)

Dongeng-dongengDimuati padi segenggam, telungkupDimuati padi setumpuk, tak kuatDimuati padi satu lumbung, kosongDimuati padi sedikit, tak berartiDimuati padi sangat sedikit, mati

Penggunaan anafora dimoti pari 'dimuati padi' dalam geguritan diatas semacam kesaksian adanya bermacam-macam sifat manusia di duniaini seperti layaknya dalam dongeng. Menurut Hartoyo (1991: 48) puisikanak-kanak dalam geguritan tradisional Jawa sebagian besar bertolak

Page 96: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

dari bunyi-bunyi kata dan tidak mementingkan pengertian kata. Olehkarena itu, jika didengarkan akan timbul anggapan betapa tidak logisnyakata-kata dalam setiap larik puisi itu. Akibatnya, sering ditemui kesulitanuntuk menerjemahkan puisi tersebut dari bahasa asalnya ke dalam bahasalain. Jika teijemahan tersebut semata-mata bertolak dari pengertian katasaja akan menjadi lebih sulit dalam mencari imbangan bunyi-bunyi darikata atau yang mendekati bunyi kata dalam bahasa aslinya.

Jamuran 'Jamuran' adalah geguritan tradisional yang biasa di-nyanyikan untuk mengiringi permainan jamuran. Geguritan tersebut jugabertolak dari bunyi-bunyi kata, dan bukan pengertian kata. Judul geguritan yang sama dengan nama permainan kanak-kanak im padamulanya lahir disesuaikan dengan bentuk permainan jamuran di halamanAnak-anak saling bergandengan tangan membentuk sebuah lingkaranbesar seperti jamur. Satu orang anak berada di tengah lingkaran. Setelahbergandengan tangan mereka bergerak berputar sambil menyanyikangeguritan itu. Pada penghadapan nyanyian, anak-anak yang membentuklingkaran menanyak^ jamur apa yang dimaksud oleh anak yang beradadi tengah lingkaran. Jika ada anak yang kurang cepat menanggapi perin-tah tersebut, ia akan menggantikan posisi anak yang ada di tengahlingkaran. Demikianlah seterusnya permainan itu dilakukan berulang-ulang. Pemunculkan anafora berupa kata Jamur untuk menandaskanbahwa geguritan tersebut pengiring permainan jamuran. Demikianlahgeguritan tersebut tidak kehilangan wataknya yang khas sebagai puisikanak-kanak, kata-kata larik yang satu dengan ladk yang lain tidak salingberhubungan karena dalam pembentukannya banyak bertolak dari bunyikata dan bukan dari pengertian kata. Hal serupa juga dapat dibaca dalamgeguritan Lepetan 'Lepetan*. Anafora di dalam gegunron tersebut berupakata lepetan (nama jenis penganan tradisional Jawa) yang berfiingsisebagai penegas untuk mengiringi permainan anak-anak lepetan.

Anak-anak paling suka bergurau dan bemyanyi sambil menirukanapa saja yang ada di sekelilingnya, termasuk tingkah laku binatang yangmenumbuhkan perasaan gembira. Demikian pula pada geguritan Ris-Irisan Tila 'Irisan-Irisan Ketela' yang dilagukan anak-anak sambil menarimenirukan riangnya kicau burung kepodang. Geguritan tersebut memun-culkan anafora berupa kata unine 'bunyinya* dan dimaksudkan untuk

89

Page 97: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

memperindah geguritan saat dilagukan.Peristiwa yang dapat menimbulkan rasa cinta pada kebudayaan

sendiri juga mewamai geguritan kanak-kanak dalam nyanyian tradisional.Dalatn geguritan Mengko Sor4 Ning Nggonku 'Nanti Sore di Tempatku'menggambarkan kecintaan seorang anak pada kebudayaan leluhumya,berupa wayang kulit. Penggunaan anafora dalam geguritan tersebutberupa kata ingik-engok melukiskan keriangan hati anak yang berkesem-patan menyaksikan pertunjukan wayang kulit di desanya.

Dilihat dari segi penempatan kata-kata, jenis sajak dalamlah yangsering muncul pada geguritan tradisional Jawa. Sajak dalam, yakni sajakyang terd^at dalam satu larik. Sajak dalam geguritan tradisional JawaBabonku 'Ayam Betinaku' berupa bunyi u pada babonku 'ayam betinaku*dan wolu Melapan' (larik ke-2). Bunyi e pada 'gedhe' dan 'payune'juga,merupakan ulangan pada larik keenq)at sehingga iramanya pun menjadilebih dinamik dan melodius dalam larik itu.

Geguritan tradisional Jawa juga memunculkan sajak dalam. Antaralain, dalam Rerepen Sore 'Nyanyian Sore' terdapat sajak dalam berupabunyi ang pada kata kang, girang (bait I, larik ke-3) dan bunyi a padakata cahya, salaka (bait H, larik ke-1). Geguritan Kaendahaning Jagad'Keindahan Dunia' memunculkan sajak dalam berupa bunyi a pada katapadha 'sama',. nglelena 'berkelana' (bait I, larik ke-1) dan bunyi i padakata bund, asri (bait I, larik ke-3).

Sajak yang sering sekali dipergunakan dalam geguritan tradisionalJawa, yalcni sajak akhir berangkai a-a-b-b. Jenis sajak tersebut dapat kitatemukan dalam geguritan tradisional Rembulan 'Rembulan'. DalamBabonku 'Ayam Betinaku' juga dimunculkan sajak akhir berangkai a-a-b-b yang berfimgsi sebagai pembagus bentuk sehingga bemilai estetis.

Geguritan tradisiond yang beijudul Pitikku bersajak akhir terns a-a-a-a yang juga berfimgsi sebagai alat untuk memperindah bentuk.Geguritan tr^isional Cem-Cempa pada bait kedua bersajak akhir berangkai a-a-b-b. Dalam Rerepen Sor4 'Nyanyian Sore' pada bait pertama jugabersajak akhir berselang a-b-a-b.

Persajakan lain yang m^mpunyai firekuensi tinggi adalah sajaktengah, yaitu persamaan bunyi yang terd^at di tengah larik di antara dualarik. Geguritan tradisional Jagone Kluruk 'Ayam Jantan Berkokok' me-

90

Page 98: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

munculkan sajak tengah benipa bunyi o pada 'ayo-ayo' ke-4).Sajak tengah tersebut memberikan intensitas tertentu dalam menum-buhkan suasana puitik, yakni ajakan untuk bekeija. Persamaan bunyiyang berupa sajak teng^ tidak mesti berupa kata, tetapi dapat jugaberupa persamaan suku kata seperti yang dimnncnllcan oleh KucingkuCilik *Kucing Kecilku* berupa bunyi e pada kata gedhe *besar' (larik ke-3) dan njagakke 'menJagalauiXlarik ke-4).

Berdasarkan data di atas, tanq)ak bahwa geguritan tradisional Jawadalam penggantian arti lebih menekankan pada rima. Rima dfliam geguritan Jawa sangat berkaitan dengan bunyi-bunyi indah yang berkaitandengan nyanyian. Pada dasamya, puisi Jawa tradisional {geguritan)sangat menekankan bunyi-bunyi berulang agar mudah diingat dan dipa-hami oleh yang mendengar atau membaca. Puisi Jawa sangat eratkaitannya dengan pelajaran budi pekerti. Oleh karena itu, puisi-puisiJawa tradisional lebih banyak menggunakan kata-kata sederhana dansuku-suku kata yang tidak bermakna dalam rangka meraih suasana yanglebih estetis.

91

Page 99: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

BABm

MAKNA GEGURTTAN TRADISIONAL JAWA

Seni sastra pada hakikatnya adalah bingkisan kata yang dikirimkan olehseniman sebagai hadiah kepada masyarakat. Hadiah itu bam bermaknajika masyarakat yang menyambutnya dapat memahami maksudnya.Ciptaan sastra, walaupun tidak d^at ditangkap maksudnya, tetapditerima masyarakat. Untuk dapat memahami maksudnya, masyarakatmembutuhkan perenungan (Slametmuljana, 1956: 20). Pemyataaan inisangat relevan kalau riik-aitkan dengan keberaradaan geguritan tradisionaiJawa. Banyak geguritan tradisionai Jawa yang hidup di tengah masyarakat Jawa, tetapi sulit untuk diketahui maksudnya. Oleh karena sulitdipahami maksudnya, makna yang terkandung di dalam geguritan tradisionai Jawa kurang mendapat apresiasi yang baik. Agar makna yang terkandung di dalam geguritan tersebut dapat diapresiasi, dalam Bab Ul inidibahas dan diungkapkan maknanya. Berdasarkan pengamatan atas datayang dipergunakan di dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa geguritan tradisionai Jawa mengandung berbagai makna yang sangatpenting untuk diungkapkan kepada masyarakat luas karena di dalamnyaterkadung hal-hal yang berkaitan dengan budi pekerti.

Dalam tradisi sastra Jawa tradisionai, karya sastra ditulis dengantujuan untuk memberikan pendidikan kepada pembacanya. MenumtSastroatmodjo (1989:60) sastra Jawa ditulis tidak hanya sebagai perlam-bang (simbol) atau sindiran, tetapi juga terkandung beberapa maksud,yaitu (1) sebagai wujud rasa s^ing menyentuh dan memiliki antar-manusia; (2) sebagai ungkapan saling mengoreksi diri sendiri ataumengoreksi terhadap kemanusiaan; (3) sebagai ekspresi keberanian danpembaman linginmgan hidup yang tidak terbatas oleh mang dan waktu;dan (4) sebagai bentuk rasa mulia yang berkaitan langsung dengan keles-

92

Page 100: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

tarian bumi, tanah, dan air. Dikaitkan dengan kenyataan itu, sastra Jawatradisional, sepertiyang terlihatdalamgegMn'm/itradisional, mempunyaifungsi sebagai penjaga keselamatan setiap anggota masyarakat dansebagai bentuk penegakan cita-cita sosial bagi keharmonisan dan ke-utuhan masyarakat (lihat Bachtiar, 1981:42). Geguritan tradisional Jawasebagai karya seni puisi menjadi terikat oleh dasar-dasar pemikiran yangistimewa. Menurut Slametmulyana (1956: 25—26), puisi memiliki dalil-dalii yang khas, yaitu (1) puisi mempunyai nilai seni jika pengalamanjiwa yang menjadi dasamya dapat dijelmakan ke dalam kata sehingganilai seni itu bertambah tinggi bersama dengan semakin lengkapnyapengalaman; (2) pengalaman jiwa itu semakin tinggi nilainya apabilapengalaman itu semakin banyak meliputi keutuhan jiwa; (3) pengalamanjiwa itu semakin tinggi jika pengalaman kian menguat; dan (4) pengalaman itu makin tinggi nilainya apabila isi pengalaman itu semakinbanyak (makin luas dan makin jelas perinciannya). Dengan kata lain,membaca puisi berarti ikut mengalami dan mengambil bagian padakehidupan rohani orang lain, lepas dari tekanan beban kesadaran daningin aktif berusaha, menitis dalam kekuatan yang lebih besar danterhimpun dalam hal lain, sanggup menyerahkan dirinya tanpa syarat.Pelepasan diri itu menjelma dalam keinginan bersatu dengan pramanusia(alam), dengan sesama manusia, dan dengan supramanusia (Tuhan).

Geguritan tradisional Jawa sebagai karya seni dalam mengeks-presikan dunia pemikiran Jawa mengait erat dengan persoalan alam,manusia, dan Tuhan. Ketiga komponen itu merupakan satu dunia yangselalu dijaga hubungannya agar terjadi keseimbangan. Dengan keseim-bangan di antara ketiganya, maka hubungan antara manusia dengan alamdan Tuhan akan berlangsung selaras. Keselarasan, pada akhimya, akanmembawa pada suasana damai demi cita-cita luhur seperti yang digam-barkan dalam dunia pewayangan Jawa, yaitu tata-titi-tentrem kenara-harja, gemah ripah loh jinam 'aman tenteram berkecukupan, bertanahsubur, dan berkelimpahan'. Gambaran ini sangat terasa di dalam gegu-n'rfln. tradisional Jawa karena sebagian besar isinya mengekspresikan hubungan antara alam, manusia, dan Tuhan, baik secara langsung maupUntidak langsung (melalui simbol-simbol). Kenyataan ini menunjukkan

_ hubungan fungsi seni dengan sastra dalam masyarakat tradisional (lihat

93

Page 101: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Teeuw, 1983: 30). Diterangkan lebih lanjut oleh Teeuw bahwa sastradalam masyarakat tradisional merupakan performing art^ tidak dibacasendirian oleh seorang pencipta sastra, tetapi dibacakan bersama, di-mainkan, ditarikan, dan dinyanyikan. Geguritan tradisional Jawa padakenyataannya memang performing art karena dinyanyikan, ditarikan, dandibacakan secara bersama. Oleh karena itu, sastra—tradisional dalam halini geguritan tradisional Jawa—berbeda dengan karya sastra modem.Perbedaan itu muncul karena teks sastra tradisional tidak peraah menjadimonumen mati aiau tulisan mati (ecriture). Sastra tardisional, geguritan,selalu dibaca sebagai sebuah pendidikan yang relevan dengan masya-rakatnya.

Berkaitan dengan hal di atas, geguritan tradisional Jawa sebenamyamerupakan media pendidikan yang selalu hidup di tengah-tengah masyarakat. Teks geguritan tradisional Jawa tidak hanya sekadar sebagaisebuah tulisan yang mati, tetapi selalu akan diinterpretasikan oleh kha-layaknya sebagai manifestasi dan keselarasannya dengan alam, manusia,dan Tuhan. Berikut deskripsi makna geguritan tradisional Jawa yangdipergunakan sebagai bahan analisis.

3.1 Makna yang Berkaitan dengan AlamDalam geguritan tradisional Jawa, keterikatan manusia dengan alamdiekspresikan dalam berbagai bentuk dan simbol. Bentuk-bentuk dansimbol-simbol yang sering diangkat ke dalam geguritan tradisional Jawaadalah hal-hal yang berkaitan dengan berbagai jenis burung, tumbuh-tumbuhan, alam, dan sebagainya. Dalam kehidupan manusia, padaumumnya burung, dinilai sebagai makhluk yang indah. Keindahannyatidak hanya dilihat dari segi fisiknya O^entuk, bulu, dan sebagainya), tetapi juga dari segi suaranya. Salah satu seni hidup orang Jawa, di antaraseni-seni lain, yang dihayati dan digemari dengan tata cara kontinyu danintensif adalah memelihara bumng perkutut (Suryadi Ag., 1993: 99).Burung perkutut menjadi salah satu lambang keberadaan orang Jawakarena burung tersebut sering dikaitkan dengan keberuntungan, kesak-tian, dan kesakralan. Menumt Suryadi Ag. (1993: 105), suara bumngperkutut menyimpan lambang yang khas bagi banyak pihak. Dalamdunia modem, bumng perkutut menjadi lambang bagi lembaga yang

94

Page 102: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

bercorak auditif seperti yang dipergimakan oleh RRI Stasiun Yogyakarta.Semenjak tahun 1950, stasiun radio itu, saat akan memulai acara beritaberbahasa Jawa selalu memutar rekaman suara buning perkut. Suaraburung itu temyata mampu menanq)ilkan citra imajinatif kebudayaanJawa di dalam kesadaran etnik budaya Jawa Pedalaman bagian tengahdan selatan. Berkaitan dengan hal ini, burung perkutut juga menjadilambang kemaskulinan. Seorang lelaki Jawa belum lengkap disebut laki-laki kalau ia belum memiliki salah satu persyaratannya, yaitu burungperkutut 'kukila\ di samping syarat-syarat yang lain berupa wisma*rumah' dan curiga 'keris'.

Di dalam geguritan tradisional Jawa gambaran tentang burung per-kukut boleh dikatakan sulit ditemukan. Kenyataan itu sangat dimung-kinkan karena kedudukan atau fimgsi burung perkutut yang erat ber-hubungan dengan kesakralan. Oleh karena itu, orang Jawa yang senangmemelihara burung perkutut dan percaya terhadap daya kesakralannyaakan menempatkan burung itu dalam suatu sangkar yang baik dan indahserta akan merawamya dengan baik. Kemungkinan serupa itu men-jadikan orang Jawa tidak sembarangan menempatkan atau menggam-barkan burung perkutut sebagai sebuah puisi. Berikut puisi Jawa tradisional yang berkaitan dengan burung perkutut.

Kutut-kutut manggungManggunge cara Salalya, radoenSipat angandikaDadi kondhang sanagaralya, radoen(JMK, him. 155;

Kutut-kutut bersenandungBersenandung gaya Salalya, radenSifat dirimu

Menjadi terkenal di seluruh negaralya, raden

95

Page 103: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Gambaran yang terlihat dalam geguritan tradisional Jawa tersebutmemperlihatkan bahwa buning perkutut sangat berkaitan erat dengankeberadaan seseorang (manusia) yang memeliharanya. Bunmg perkututyang baik, kalau bersenandung mengeluarkan bunyi yang merdu danmembuat orang yang mendengarkan tergetar. Bunmg perkutut seperti ituakan mengantarkan orang yang memeliharanya menjadi terkenal. Bah-kan, burung perkutut yang memiliki suara merdu dipercaya dapat mem-bawa sifat yang baik. Geguritan tersebut juga memperlihatkan bahwakedudukan burung perkutut terkait dengan strata sosial tertentu dalammasyarakat Jawa, yaitu raden. Strata sosial ini, dalam geguritan tersebut, tidak hanya untuk mengimgkapkan kondisi fisik, tetapi jugakenyataan nonfisik (mental-sifat). Kenyataan ini juga dapat dilihat dalampuisi berikut.

Tes-tes gungto gung, to gung

Uncak-lincak neng delanggungndho lincak ning delanggung

Nek manggung brekukut dalemmho demek, to gung, to gung, to gungdelanggung manira denggungsapa duwe iro menggung

Dalem semhir

denggung perkutut dalemamanggung berkutut dalem

Wedang bubuk gula pasirdalem tak dalem senthir

dalem dalem semhir

(JMK, him. 156)

Tes-tes gungto gung, to gung

Lincak-lincak di jalan besarduduk di lincak di jalan besar

Kalau bersenandung burung perkututku

96

Page 104: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

kupegang, to gung, to gung, to gung

jalan besar dirimu berada di depan

siapa punya engkau tuan menggungDi dalam diyan

bersenandung burung perkututku

bersenandung burung perkututku

Air panas bergula pasirdi dalam di dalam pelitadi dalam-dalam senthir.

Geguritan tradisional Jawa yang berjudul Tis-Tis Gung Tes-Tes

Gung' itu secara gramatikal sulit untuk dipahami kata-katanya, tetapi

makna yang terkandung di dalamnya dapat dilihat dari siratan-siratannya.Di dalam geguritan itu digambarkan bahwa setiap orang yang memilikiburung perkutut yang baik adalah orang yang pantas menjadi tuan menggung (kepangkatan di dalam keraton Jawa). Akan tetapi, strata sosialtersebut tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga bersifat rohani. Hal inidilukiskan bagaimana seorang menggung juga hams dapat memberikanteladan bagi orang lain.

Selain bumng perkutut, geguritan tradisional Jawa juga meng-gambarkan bumng-bumng lain, misalnya jalak, podang, dara *merpati',wulung 'sebangsa elang', dan cingcohung. Bumng-bumng tersebutdipergunakan orang Jawa sebagai simbol tertentu karena sangat akrabdengan kehidupan, baik manusia dewasa maupun anak-anak. Di sampingingin memperkenalkan nama-nama dan jenis-jenis burung, geguritantradisional Jawa juga ingin memberikan pendidikan budi pekerti. Hal initampak dalam puisi yang berjudul Jalak-Jalak Ucul 'Burung JalakLepas' berikut.

Jalak-jalak ucul

Maburi mincok wuwungan

Kanca-kanca wuwungan kuning ning

97

Page 105: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Mlembar ngalor dioyak cah klambi bagorJcdak ucul sing ngoyak cah klambi bagorMakbleber mabur ngalor sing ngoyak cah klambi bagor.PJ, him. 30)

Jalak-jalak lepasTerbang hingga di atas gentingTeman-teman gentingnya bercat kuning ningTerbang ke utara dikejar bocah berbaju bagorJalak lepas yang mengejar anak berbaju bagorTerbang ke utara yang mengejar bocah berbaju bagor.

Geguritan di atas menggambarkan burung jalak (Stumupostorjalla)yang terlepas dari sangkar lalu hinggap di atas genting. Setelah itu, iaterbang ke utara dan dikejar bocah berbaju kuning. Tampaknya geguritan tersebut sangat sederhana, baik bentuk maupun bahasa ver-balnya, tetapi kalau dilihat pesan yang terkandung di dalanmya tersiratsuatu makna yang cukup menarik. Di sanq)ing ingin memperkenalkannama atau jenis burung Jalak, geguritan tersebut juga ingin menggambarkan situasi masyarakat pada masa tertentu ketika kebutuhan akansandang sulit didapatkan. Di dalam geguritan itu diceritakan seoranganak berbaju bagor 'barang tenun kasar dari daun rumbia* mengejarburung Jalak yang terlepas. Puisi atau geguritan itu ingin mengajarkanbahwa pada masa tertentu, berpakaian hanya dapat dicukupi denganbagor, bukan dengan kain. Pada zaman penjajahan Jepang, pakaianbagor dipergunakan oleh anak-anak desa dari kalangan orang bawahyang sangat miskin. Dengan demikian, secara tidak langsung, geguritanitu ingin memberitahukan tentang makna keprihatinan yang senantiasahams diingat bagi setiap orang. Keprihatinan itu ditunjukkan dengansimbol-pakaian bagor, sesuatu yang sangat tidak mengenakkan unmkdipakai mbuh, tetapi hams dipergunakan apabila mbuh ingin tidak te-lanjang. Lewat bumng Jalak, geguritan tersebut dapat mengantarkanpembaca/penikmat untuk memahami keterkaitan simbol dengan manusia.

Bumng merpati atau bumng dara mempakan salah satu bumngyang amat digemari manusia. Burung tersebut mempunyai nilai ekono-

98

Page 106: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

mis dan praktis. Secara ekonomis, bunmg dara kadang-kadang diper-lombakan kecepatan terbangnya. Apabila dapat terbang dengan kecepatantinggi, bunmg tersebut berharga tinggi. Secara praktis, bunmg merpatijuga sering dipergunakan sebagai sarana komunikasi (mengantarkansurat). Bahkan, di dalam tradisi orang Jawa, bunmg dara juga sangaterat kaitannya dengan kepercayaan. Pada saat orang Jawa mempunyaihajat nyewu dina (peringatan seribu hari bagi orang yang sudii me-ninggal), orang Jawa akan melepaskan sepasang bunmg dara sebagaisimboi telah diselesaikannya tugas keluarga yang ditinggalkan oleh orangyang meninggal itu dalam melaksanakan darma bakti. Di samping itu,dengan dilepaskannya bunmg dara, orang Jawa yang menyelenggarakannyewu dina berharap agar roh keiuarganya yang meninggal dapat mem-peroleh kedamaian dan masuk ke swarga 'sorga'.

Dara-dara manglung, iyungSari nyamplung, iyungMambu kenanga ijoSireh-sereh

Bok bok ayu sira dhodhokaDang dhodhok, tak dhodhok(JMK. him. 157)

Dara-dara menjulurkan lehemya, aduhSari buah nangka, adhuhBerbau kenanga ijoLepas-lepasBok ayu kau jongkoklahSegera jongkok, kujongkok

Geguritan tersebut memperlihatkan bahwa bunmg dara berkaitdengan sesuatu yang dinilai sebagai simboi kesakralan (bunga kenanga).Bunga kenanga {Canagium odoratum) merupakan salah satu bunga se-taman yang sering dipergunakan sebagai sarana sesaji. Oleh karena itu,dalam geguritan tersebut bunmg merpati dapat dimalmai sebagai sebuahsimboi yang berkaitan erat dengan kesakralan (bunga kenanga). Kesak-

99

Page 107: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

ralan itu akan memberikan kecantikan (ayu) apabila orang mau meren-dahkan hatinya (jongkok) di hadapan orang lain. Dengan tidak menyom-bongkan diri, seseorang akan meiiq)eroleh kedamaian karena ia tidakakan menjadi sandungan bagi orang lain.

Geguritan tradisional Jawa yang berkaitan dengan tumbuh-tum-buhan temyata ditulis berdasarkan ide dari berbagai konnponen yang adadi alam sekitar, misalnya yang berkaitan dengan bunga (1) KembangManggis 'Bunga Manggis', (2) Kembang Jagung 'Bunga Jagung', dan(3) Kembang Menur 'Bunga Menur'. Berikut ini kutipannya.

Kembang manggisPista raja mbangsal manisYa bapak, ya ndaraKundur nangis, kundur nangisKemutan sing nyamping rengganis.(JMK, him. 40)

Bunga manggisPesta raja di bangsal muliaYa bap^, ya tuanPulang dengan menangis, pulang menangisTeringat yang berkain rengganis.

Oi kembang JagungTinandur ing pereng gunungYa bapak, ya ndaraSing disuwun, sing disuwunMung supaya bisa agung ndara.(IMK, him. 40)

Oi bunga jagungDitanam di lereng gunungYa bapak, ya tuanYang diminta, yang dimintaHanya supaya ̂ pat menjadi tuan besar.

100

Page 108: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Ima-ima kembang menurTinandur pinggiring sumurYa bapak, ya ndaraMambak mawur, mambak mawur

Agawe asrining ptmgkur.(JMK, him. 41)

Inilah bunga menurDitanam di pinggir sumurYa Bapak, ya tuanTersebar beserakan, tersebar berserakan

Membuat indah di sekitamya.

Bunga manggis, bunga jagung, dan bunga menur adalah jenis-jenisbunga yang sangat akrab dengan masyarakat pedesaan dan para petani.Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kaiau bunga-bunga tersebutdipergunakan sebagai simbol dalam kehidupan manusia, khususnya yangbekaitan dengan keindahan dan harapan. Di dalam geguritan KembangManggis 'Bunga Manggis*, bunga manggis dipergunakan untuk perlam-bang cinta seorang (laki-laki) terhadap wanita. Cinta muncul ketika laki-laki itu melihat kecantikan seorang wanita yang berkain rengganis dalamsebuah pesta. Di dalam Kembang Jagung digambarkan harapan sese-orang agar dapat menjadi seorang yang agung (besar), dan di dalamKembang digambarkan tentang keindahan alam yang dimunculkanoleh bunga tersebut. Walaupun hanya ditanam di sekitar sumur, tetapibunga menur mampu membuat alam sekitar menjadi asri. Sumur atausumber adalah perlambang tentang tempat air berasal dan sumbermerupakan lambang yang manq)u memberikan kehidupan bagi manusia(Tuhan). Dengan kata lain, dari Tuhanlah manusia memperoleh artikehidupan yang sesungguhnya.

Berdasarkan uraian di atas, geguritan tradisional Jawa temyatacukup banyak yang menggambarkan keterkaitannya dengan alam. Geguritan lain yang senada dengan contoh-contoh di atas, misalnya BayemSekul 'Bayam Putih', Lintang 'Bintang', Rembulan 'Bulan', Dhele'Kedelai', Uwiku 'Talesku', Katis 'Pepaya', Pariku 'Padiku*, Udhung-

101

Page 109: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Ledhung 'Subur', Empon-empon 'TumbuhanMlaihi 'Bunga-Bunga Melati'. Puisi-puisi tradisional Jawa tersebut me-ngandung pelajaran mengenai budi pekerti yang digambarkan melaluitumbuh-tumbuhan. Dengan penggambarkan tersebut, secara tidak lang-sung pembaca atau pendengar diperkenalkan dengan sesuatti yang ada disekitamya. Melalui sarana tumbuh-tunibuhan, pembaca atati pendengardapat menq)erkaya pengetahuan yang mungkin tidak didapat dalampelajaran-pelajaran formal di sekolah. Pertalian yang erat antara puisitradisioanal Jawa dengan alam dan isinya merupakan sarana untuk men-ciptakan keseimbangan antara jiwa dan fisik melalui karya sastra.

Geguritan tradisional Jawa yang isinya berkaitan dengan alam,selain menggambarkan kehidupan binatang juga menggambarkan tumbuh-tumbuhan. Dalam geguritan tradisional Jawa, tumbuh-mmbuhantemyata dapat dipergtmakan sebagai sarana penyampai pelajaran tentangkehidupan manusia secara utuh. Dengan kata lain, selain ingin mem-berikan pelajaran tentang alam lingkungan, geguritan tradisional Jawaitu juga dapat memberikan pelajaran mengenai budi pekerti.

3.2 Makna yang Berkaitan dengan KetuhananGeguritan Jawa sangat erat kaitannya dengan masalah Ketuhanan. Geguritan tradisional Jawa yang menggambarkan mengenai Ketuhanan yangsangat populer beijudul Ilir-Ilir 'Mencari Angin'. Menurut Hutomo(1988: 124) geguritan tersebut mempunyai banyak versi. Munculnyaversi-versi itu menunjukkan bahwa geguritan itu sangat disukai. Ilir-Ilir'Mencari Angin' merupakan puisi bersuasana pedesaan dan berhubungandengan iklim, geografi, lingkungan, dan Ketuhanan sosial (Hutomo,1988:125). Berikut kutipangegnman beijudul Ilir-Ilir *Mencari Angin'.

Ur ilir tandure wis sumilir

Takijo royo-royo taksenngguh pengantin anyarBocah angon pendkna blimbing kuwiLunyu-lunyu penekna kanggo masuh dododiraDododira kumitir bedhah ing pinggirDomana jumlatana kanggo seba mengko soreMumpung gedhe rembulani mumpung jembar kalangane

102

Page 110: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Ayo surak-surak hore(JMK, him. 284)

Angin berhembus sepoi tanaman sudah miilai berbuahKehijau-hijauan kukira penganten baruAnak pengggembala tolong ambilkan belimbing ituWalaupun pohonnya agak licin tolong ambilkanuntuk mencuci pakaianmuPakaianmu diterpa angin sobek di pinggirJahitlah ambbilM untuk pertemuan nanti soreKetika rembulan besar bersinar

Ayo bersoraklah hore.

Geguritan tersebut di atas termasuk istimewa karena tidak hanyadisukai oleh anak-anak, tetapi juga disukai oleh orang dewasa. Banyakorang dewasa yang mendiskusikannya pada kesempatan-kesempatan ter-tentu karena tembang tersebut dianggap mengandung perlambang hidup(Hutomo, 1988: 124).

Menurut Mojo (1937) geguritan Ilir-Ilir 'Mencari Angin' mem-punyai makna yang amat dalam. Kedalaman makna geguritan itu dapatdisimak baik dari rangkaian kata-kata maupun larik-lariknya. Ilir-Ilirberarti 'mencari pegangan atau pengikat hidup'; tandure wis sumilirberarti 'kalau tidak mendapat pegangan hidup, orang tidak akan tahu artikehidupan yang sebenamya'; takijo royo-royo berarti 'setelah orangmampu mengerti arti kehidupan yang sebenamya ia akan gilang-gemi-lang seperti cahaya yang besinar'; taksengguh penganten anyar berarti'jangan heran kalau orang banyak akan memandang orang yang sepertiitu laksana hidup kembali dari kematian yang pernah dialaminya'; bocahangon berarti 'orang tersebut sudah diayomi oleh yang menjaga kehidupan (Tuhan)'; penekna blimbing kuwi berarti 'untuk setemsnyaorang itu harus selalu berhati-hati agar tidak kelim menghadapi segalakemungkinan yang datang dari lima penjum (seperti yang terlihat darisudut-sudutbuah belimbing)'; lunyu-lunyupinel^berarti 'jangan takutmengahadapi segala kemungkinan yang teijadi'; kanggo masuh dododiraberarti 'orang akan terhindari dari bencara apabila ia dapat member-

103

Page 111: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

sihkan dirinya dari segala kemungkinan jahat yang menyelimuti hidupmanusia'; dododira ktmitir bedhah ing pinggir terarti 'kejahatan dan ke-nisakan selalu melingkari kehidupan manusia*; dondomcma jlumatanaberarti 'manusia hams menyingkirkan kejahatan dan kerusakan dalampikirannya'; kanggo s4ba mengko sori berarti 'orang dapat menghadapTuhan kalau ia telah manq)u membersihkan diri dari segala hal yangbumk'; mumpung gedhe re/nhnto/te berarti 'dari awal orang hendaknyasenantiasa man bersikap seperti itu'; mumpung jembarkalanganeheTaiti'kalau persiapan sudah dimulai sejak awal orang akan menq)erolehkeselamatan'; ayo surak hore berarti 'mantapkanlah hati setiap orangmelihat petunjuk ini*.

Dari pemaknaan tersebut, tampak bahwa geguritan tradisional Ilir-Ilir sangat erat berkaitan dengan masalah religiusitas. Religiusitas didalam geguritan itu menggambarkan sebuah proses kehidupan dan per-jalanan manusia selama di dunia. Manusia yang cendemng berbuat tidakbaik diingatkan agar menjauhi hal tersebut apabila ia ingin memperolehkebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hal senada juga diungkapkanoleh S. Wardi (dalam Hutomomo, 1988: 128). Menumt S. Wardi,geguritan Ilir-Ilir mempakan lukisan mengenai keadaan manusia yangmerasa lega dan gembira karena berhasil dalam bercocok tanam. Yangdimaksudkan dengan bercocok tanam di sini adalah penyebaran agamaIslam, sedangkan orang yang bercocok tanam adalah Wall Sanga. Padawaktu itu, para wali yang berjumlah sembilan orang berpakaian hijauhingga menarik orang yang belum memeluk agama Islam (di dalamgeguritan itu digambarkan melalui perwujudan anak gembala atau bocahangon). Oleh para wali, anak gembala itu disumh memanjat pohonbelimbing dan mengambil buah pohon itu. Yang dimaksud dengan buahbelimbing adalah Rukun Islam (buah belimbing bersudut lima). Walau-pun licin hendaknya dipetik sebab buah itu akan dipergunakan untukmembersihkan dodod 'pakaian'. Pakaian yang dimaksudkan dalamgeguritan itu adalah jasmani dan rohani manusia. Dikatakan dalamgeguritan itu: 'pakaianmu sobek di bagian pinggir, supaya dijahit sebabakan dipergunakan untuk menghadap ratu nanti sore*. I^imat tersebutberarti bahwa jasmani dan rohani yang sudah msak hendaknya diper-baiki agar diterima di haribaan Tuhan (dengan memeluk agama Islam).

104

Page 112: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Kesen:q)atan untuk melakukan hal itu masih banyak dan hendaknyadigunakan sebaik-baiknya. Senian tersebut hendaknya diterima denganseren^ak.

Geguritan Ilir-Ilir 'Mencari Angin' merupakan puisi tradisionalJawa yang sangat popular. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknyapenafsiran atas puist tersebut. Endraswara (1999) menafsirkan lain daripenafsiran-penafsiran di atas. Menurut Endraswara, geguritan tersebutmempunyai makna yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Siklusitu digambarkan dengan kelahiran hingga kematian manusia. Bayi Tidakberbeda dengan pengantin baru, misalnya dipuji-puji dan setiap orangselalu ingin menyaksikannya. Bayi itu merupakan ibarat dari tanamanyang baru bangun. Semua tergantung orang tua dari bocah angon *anakgembala)', hams dapat mengambilkan buah belimbing yang bergerigilima buah. Hal ini mempakan gambaran lima indera manusia yang hamsdilatihkan orang ma kepada anaknya agar anaknya tidak tersesat karenalima indera im mempakan pinm atau jalan dari baik dan bumk.

Kalau orang ma dapat mengajarkan dengan baik mengenai limaindera (dilukiskan dengan kata menikake 'memanjatkan') walaupun sulit(dilukiskan dengan kata lunyu *licin'), kelak anak tersebut dapat mencuci(dilukiskan dengan kata masuh 'mencuci *) pakaian (dodod). Dengan katalain, kesalahan orang ma dapat dibersihkan oleh perbuatan baik sanganak. Oleh karena im, orang ma hams berikhtiar semasa anak masihmempunyai wakm yang panjang dalam menapaki kehidupannya {mum-pung jembar kalangane, mumpung padhang rembulan) karena usaha inimempakan bekal bagi orang ma dalam menghadap Tuhan {kanggo sebamengko sore). Pengajaran orang ma kepada anaknya mengenai limaindera tersebut juga mempakan amal yang akan memberikan kegem-biraan (dilukiskan dengan kata surak).

Geguritan tradisional Jawa yang menggambarkan tentang Kem-hanan juga dijunq)ai dalam Sluku-Sluku Bathok 'Sluku-Sluku Bathok',Cublak-Cublak Sicweng 'Cublak-Cublak Suweng'.

SlukU'Sluku bathok

Bathoke ela-elo

Si rama menyang Sala

105

Page 113: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Leh-olehe payung mothaDigarki nang sor nangkaDingkupke nang sor bendhaMak jenthit lo la bahMak jenthit lo lo bahGna Tnati ora obah

Ndk obah medini bocah

Nek urip goleka dhuwit(JMK, him. 109j

Duduklah seperti batokBatoknya bemyanyiSi ayah pergi ke SalaMembawa oleh-oleh payung layarDikembangkan di bawah pohon nangkaDitutup di bawah pohon bendhaMak jenthit lo lo bahMak jenthit lo lo bahCina mati tidak gerakKalau gerak membuat anak takutKalau hidup carilah uang.

Geguritan tersebut di atas temyata bukan hanya sekadar puisi yangdinyanyikan anak-anak sewaktu terang bulan karena di dalamnya ter-dapat ajaran mengenai masalah Kehphanan. Menurut Endraswara (1999)geguritan itu dapat ditelusur dari segi sufisme Jawa, yaitu filsafat Jawayang sudah terpengaruh oleh ajaran Islam sehingga berbau mistik. Larikyang berbunyi sluku-sluku bathok berkaitan dengan 'ghusluk-ghuslukbamaka' yang berarti 'bersihkanlah batinmu'. Makna dari larik ituadal^ berupa perintah agar mencegah hawa nafsu terutama yang berkaitan dengan isi perut karena perut merupakan gambaran mengenaimikrokosmos. Di dalam perut dapat ditemul^ jagad cilik 'dunia keciryang menggambarkan alam semesta. Hal ini dapat disejajarkan dalamlakon wayang "Dewa Ruci**. Pada lakon tersebut, Bima digambarkanmasuk ke dalam perut Dewa Ruci. Di sana Bima dapat melihat alam

106

Page 114: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

semesta yang utuh. Di samping itu, membersihkan penit juga dapat ber-arti mengheningkan cipta atau menyucikan hati dengan menyebut lafalbathoke ela-elo 'batnaka lailaha ilallah' yang berarti tidak ada Tuhanselain Allah. Larik itu pada hakikatnya merupakan kalimat tauhid yangdalam dan dalam sufisme Jawa diseyogial^ agar ketika berdzikirdengan mengucapkan lailaha ilallah. Hal ini berarti ketika membersihkan batin (mengheningkan cipta) disertai dengan falsafah eling *sadar'.Dengan langkah itu, manusia akan selalu menyadari san:q)ai di lubukhatinya bahwa tidak ada Pangeran Tuhan' kecuali Allah ta'ala.

Kalimat tauhid tersebut di dalam agama Islam sering disebutKalimat Syahadat. Kalimat Syahadat, yaitu dirinya mempercayai kalautidak ada Tuhan kecuali Allah dan mengakui kalau Muhammad SAWmerupakan utusan Allah. Di dalam puisi Jawa tradisional yang bemafas-kan sufisme Jawa, kenyataan itu juga ditemukan, yaitu di dalam baris Sirama menyang Sala 'siruma yasluka'. Kata-kata 'siruma yasluka' dapatberarti dari kata salaka 'berjalanlah' di jalan yang dijalani oleh NabiMuhammad SAW. Artinya, percaya dan taklit terhadap sunah-sunahrasul.

Di dalam mengimani sebuah keyakinan tidak cukup hanya disertaidengan sikap eling 'sadar' saja karena masih perlu digenapi dengan larikleh-olehe payung motha 'la ilaha ilallah hayim wal mauta*. Artinya, selalu lafalkanlah 'la ilaha ilallah' sejak dini sampai penghujung kehidupanagar mendapatkan kematian yang khusnul khotimah. Di dalam falsafahkehidupan orang Jawa, hal itu mempunyai makna yang mengisyaratkanagar seseorang menjadi "manusia sempuma" atau "manusia sejati".Sampai pada tataran tersebut, manusia belum dapat mencapai kesem-pumaan kalau belum dapat melakukan seperti yang tertera pada larikmak jenthit lo lo bah 'mandzolik moqorobah'. Kata mandzolik berasaldari kata mandzalika yang berarti berhati-hatilah dengan kesalahanmu.Frasa mak jenthit berasal dari perubahan kata mukhasib yang berarti'berhitunglah atas segala kesalahanmu'. Dua kata tersebut punya ke-miripan. Menurut Ensdraswara (1999) kata moqorobah dapat diartikan'instropeksi, mawas diri', atau 'meneliti segala kesalahan yang pemahdiperbuat*. Dengan demikian, dari larik geguritan tersebut dapat ditariksuatu pemahaman bahwa manusia hidup harus selalu dapat mengoreksi

107

Page 115: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

diri dan mengakui kesalahan yang diperbuatnya. Di dalam filsafat orangJawa, hal ini dapat diartikan sebagai pertobatan. Orang yang man mengakui kesalahan yang telah dilakukannya sendiri ch^at disebut sebagaisatriyapinandhita 'satria yang berwatak pendeta atau orang yang mem-punyai kelebihan'. Orang yang sudah mencapai tataran seperti itu dapatdisebut sebagai manusia yang selalu dapat menjaga perdamaian duniadan selalu menjaga perdamaian batin, baik terhadap dirinya sendirimaupun terhadap alam semesta sehingga ia telah manq)u memayu hayu-ning bawana 'menciptakan ketenteraman dunia'.

Orang yang berwatak satriya pinandhita selalu mendasari dirinyadengan sikap religius. Hal ini diungkapkan dalam larik wong mati oraobah 'hayun wal mauta inalillah'. Artinya, mati dan hidup hanyalahmilik Allah. Dalam filsafat orang Jawa, manusia hams sudah mengetahuisangkan paraning dumadi 'asal dan tujuan orang hidup'. Hal ini ter-gambar dalam larik ndk mati ora obah *mahabatan mahrojuhu taubatan',yang berarti hendaklah berbakti kepada Yang Membuat Hidup agardicintai. Agar dikasihi Allah, manusia hams 'mahrojuhu' atau mencarijalan terang melalui cara pertobatan. Dengan bertobat, manusia diharap-kan dapat mendekat pada Pangeran 'Tuhan'. Di samping itu, ia hamsmengetahui tujuan hidup manusia melalui manunggaling kawula lawanGusti 'bersatunya manusia dengan Tuhan'. Untuk mencapai tataran itu,manusia hams selalu pasrah sumarah 'pasrah dengan segenap hati' terhadap kodratnya. Agar dapat pasrah dengan segenap hati, manusia hamsmemahami arti kehidupan seperti yang tergambar dalam larik nek uripgoleka dhuwit 'yasml iimal khalagnal insana min maindhofiq'. Kata'yasrifii' bermakna bahwa hidup manusia dapat mencapai kemuliaandapat dicapai dengan cara selalu mengingat dan mengerti kalau hidupnyasebenamya selalu dalam perintah (dari Tuhan) untuk memahami hidupdan matinya. Oleh karena itu, manusia tidak diperkenankan sombong.

Dengan deskripsi di atas, tampak bahwa geguritan yang berjudulSluku-Sluku Bathok menq)imyai makna yang sangat dalam. Di dalamgeguritan tersebut terkandung filsafat luhur hidup orang Jawa. OrangJawa menyadari sikap pasrah dengan bentuk pasrah sumarah dan pertobatan (mau mengakui dan memperhatikan kesalahannya). Dengan sikapseperti itu, orang Jawa diminta dapat manghayu hayuning bawana 'men-

108

Page 116: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

jaga ketenteraman dunia' sehingga kelak dapat bersatu dengan Tuhanatau manunggaling kawula lawan Gusti. Dengan demikian, ia akan dapatdisebut manusia mulia atau manusia sejati.

Gambaran tentang Ketuhanan juga ditemukan di dalam geguritantradisional yang berjudul Cublak-Cublak Sicweng 'Bunga Giwang Cub-lak*. Berikut kutipan geguritan tersebut.

Cublak-cublak suwengiraSigelentdr mambu ketundhung mundhingEmpak-empong lira-lirulyeku swarantaMlebu metu ingaran lira-liruIng suwung kang mengku anaMungguh sajroning ngaurip.(JMK, him. 172;

tempat giwangTerns berjalan diseruduk kerbauKeliru minta apiItulah ucapanmuKeluar masuk dinyatakan keliruDi dalam kekosongan ada yang menjagaItulah makna selama kehidupan.

Geguritan tradisional Jawa tersebut sebenamya merupakan peng-ibaratan terjadinya manusia. Menurut Endraswara (1999), geguritantersebut berkisah tentang burung bangau botak yang bertelur di ladangluas yang sepi. Burung bangau botak tersebut sebenamya merupakanisbat Mbarat' alam yang tergelar. Kalau teiur bumng bangau itu diambilakan terjadi kegoncangan dunia. Telur pada hakikamya adalah ibarat darihawa, dan hawa hanya berada di udara awang-awung 'alam kosong'.Hawa dan udara memang tidak dapat dipegang, tetapi eksistensinya ada.Hawa pada hakikamya diam dan hanya akan bergerak karena pengaruhdari Hyang Bayu (Dewa Angin). Hawa yang dipengaruhi oleh HyangBayu ialu bergerak menjadi angin, dan anginlah yang membangunkan

109

Page 117: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

napas manusia. Manusia hidup tidak dapat lepas dari napas. Hidup dannafas itu menyatu. Kata cublak ibarat yang berarti tempat untuk menanihsesuatu; suweng 'giwang' adalah ibarat dari suwung 'kosong'; sigel^erberati *terus berjalan', 'tidak berhenti'; mundhing ibarat yang berarti'kerbau' atau 'anak kerbau'. Dengan demikian, di dalam hidup manusiadan di dalam jagad serta isinya, mereka senantiasa dipengaruhi olehnapas yang selalu keluar dan masuk. Manusia sebenamya bodoh sepertikerbau, ia tidak dapat melihat itu walaupun semua ada dan nyata. Napasitu eksistensi manusia yang selalu ada di dalam hidup empdk empong danselalu keluar dan masuk. Dengan adanya napas yang bersemayam didalam manusia, manusia diaharapkan selalu dalam kesadaran untukmencapai arti hidup yang sebenamya.

Mistik Jawa juga ditemukan di dalam geguritan yang berjudul EDhayohe Teka 'E Sang Tamu Datang' berikut.

E dhayohe tekaE gelama klasaE klasane bedhah

E tambalen jadahE jadahe mambuEpakakna asuE asune mati

E buwangen kaliE kalini banjirE buwangen pinggirE pinggire lunyuE ayo dha mlaku.(JMK, him. 173;

E tamunya datangE gelarkanlah tikarE tikamya rusakE t^bah dengan juadahE Tambah denganE juadahnya bau

110

Page 118: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

E berikanlah anjingE anjingnya matiE buanglah ke sungaiE sungainya banjirE buanglah di pinggirE sebelah pinggir licinE ayo kita berjalan.

Menunit Endraswara (1999), geguritan tersebut menggambarkanfilsafat yang berkaitan dengan siklus kelahiran manusia. Kata dhayoh'tamu' secara filosofis dapat diartikan *telah lahir seorang bayi'. Bayiyang baru lahir itu kemudian ditaruh di atas tikar untuk dirawat, sejakawal sampai di kelak kemudian hari ketika ia mulai memasuki alamberumah tangga. Kata klasa *tikar' secara filosofis berarti bumi atautempat (alam semesta) untuk hidup. Alam raya ini tidak selamanya mem-berikan kenikmatan karena kadang-kadang sering memberikan kesu-sahan. Kesusahan yang muncul di dunia ini dilambangkan dengan katabedhah 'rusak'. Oleh karena itu, kewajiban orang tua (orang hidup)adalah menjaga supaya papan itu tetap dalam keadaan tertata dan ten-teram kerta raharja.

Untuk menjaga keadaan yang tenteram kerta raharja seperti itu,manusia hams berikhtiar. Ikhtiar tersebut digambarkan dengan caraselalu menambal bagian-bagian tikar yang bedhah 'yang msak'. Bagianyang msak itu ditambal dengan jadah 'juadah*. Juadah itu dibuat dariberas ketan. Beras ketan ketika belum dimasak masih belum lengket danmasih belum menyatu, tetapi sebaliknya sangat lengket ketika sudahdimasak. Gambaran seperti itu melukiskan keadaan manusia dalamtugasnya merawat dunia yang hams disertai dengan sikap mkun danmanunggal (cipta, rasa, dan karsa). Dalam larik-larik berikumyaditutur-kan kalau juadah itu bau hendaklah diberikan pada anjing; kalau anjingnya mati hendaklah dibuang di sungai. Larik-larik itu mempakan filsafatyang memberikan petunjuk bahwa papan yang ditempati 'bayi yang bamlahir tersebut msak' (sudah berbau tidak enak) akibat godaan hawa nafsu(nafsu hewan: anjing). Untuk menghilangkan sesuatu yang tidak enakhams dicuci di sungai yang aimya selalu mengalir. Air yang mengalir

111

Page 119: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

ini merupakan gambaran pikir-nalar yang dapat membersihkan nafsu.Oleh karena itu, kalau sungainya banjir (pikiran sedang tidak tenteram)jangan mencoba-coba bertindak untuk membuang nafsu. Untuk dapatmembuang nafsu, orang hams dalam keadaan yang tenang, dan untukmencapainya hams ditempuh dengan laku 'upaya yang bersifot mistis',yaitu dengan selalu waspada.

Gambaran mengenai mistik Jawa diungkapkan pula dalam gegu-ritan yang beijudul Kupu-Kupu 'Kupu-Kupu' sebagai berikut.

Kupu'kupu takincupiMung abure ngewuhakeNgtdor ngidul ngetan bali ngulonMrana-mrene mung saparan-paran

Mincok cegrok mabur kleperMentas mencok cegrok banjur mabur kleper.(JMK, him. 194)

Kupu-kupu kupegang kauTerbangmu membikin bingungKe utara ke selatan ke timur kembali ke barat

Ke Sana kemari semaumu sendiri

Hinggap lalu terbang kembaliBam hinggap lalu terbang kembali.

Menumt Endraswara (1998), geguritan di atas menggambarkansuatu simbolisasi metamorfose sebuah kehidupan manusia dari keseng-saraan hingga kemuliannya. Kemuliaan itu tidak berbeda dengan kupuyang terbang ke sana-kemari sehingga sulit dipegang. Orang yang dapatmemegang kupu ibaramya seperti manusia yang selalu dapat bersyukur.Dengan bersyukur, manusia akan dapat menangkap sesuatu yang selamaini sulit diperoleh. Menangkap sesuatu dalam pengertian ini adalah me-mahami atau mengerti sesuatu yang tersirat, yang tidak dijuiiq)ai dalamkeadaan Esik.

Gambaran mengenai Ketuhanan juga diungkapkandalamgegun'ronyang beijudul Kaendakani Jagad *Keindahan Dunia' berikut.

112

Page 120: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Mara padha nglelanaNonton jagad endahBumi asri wrata

Karya seneng manah

Celak tebih parannyaSuryane tan lincadBenter endah sunamyaBumi dados gemah

Neng barat Urn neng timurLangit biru ̂ ndahTut tan Mrang panglipurTiyang nyebut Allah.(SR, him. 5)

Marilah kita berkelana

Melihat keindahan jagadBumi asri merata

Membuat senang hati

Jauh dekat asalmu

Sinarmu tak berubah

Panas indah sinarmu

Bumi menjadi makmur

Di barat dan di timur

Langit biru indahDan tak kurang penghiburanOrang menyebut Allah.

Puisi tradisional Jawa tersebut mencoba menggambarkan keber-adaan Tuhan yang Maha Sempuma. Kesenpumaan Tuhan dilambangkandengan sinar mat^ari yang menerangi dunia. Sinar matahari, walaupunpanas, tetap memancarkan keindahan seperti yang terlihat dari wamanya

113

Page 121: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

(wama biru). Sinar matahari selain memberikan terang juga dapat mem-berikan kesuburan pada tetumbuhan yang hidup di diinia. Melalui panas-nya, sinar matahari membantu proses fotosintesis tumbuh-tumbuhansehingga tumbuh-tumbuhan itu dapat berkembang dan berbuah. Olehkarena itu, manusia sudah selayaknya hams bersyukur kepada Allahkarena Allah senantiasa memberikan kebahagiaan kepada manusia.

Kegembiraan manusia mempakan sesuatu yang sering diungkap-kan dalam lagu atau puisi. Orang Jawa, khususnya para petani, jugamengungkapkan kebahagiaannya ketika mereka berhasil ddam panen.Hal ini diungkapkan dalam geguritan yang bejudul Rerepin Pan^n 'Nya-nyian Panen' berikut.

Lah iku tandangnya rameAngundhuh rejekiWho ombak-ombak ajeneSemune wrata sri

Mara dhangidung Ian girangWong sungkan tan girang

Ambanjeng kang samya nggendhongKencana gendhenganM^ek-meyek dha Iwih abotNging tyas entheng girangMula ngidung murah buktiWong sungkan ya bukti

Lubkr pangganjare AllahMring tyang karya tlatdnNyebar nandur ing sedhenganBalabur ing pandnMula ngidung slamet ngundhuhWong sungkan tan ngundhuh

Sawamaning kasaenanIng Allah sangkannya

114

Page 122: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Kang ngingu salir tumitahKlayan wilasanyaMida ngidungl^ pamujaWong sungkan tan muja(SR, him. 8)

Tampak orang lamai bersemangatMemetik rezeki

Padi kuning berombak-ombakTaiiq)ak merata indahLekaslah menyanyi dan bergembiraOrang yang pemalas tak bergembira

Tampak berat orang yang menggendongEmas yang dibawanyaTertatih-tatih lebih berat

Tapi hatinya ringan bergirang -Nyanyilah agar murah panganOrang pemalas tak mal^

Berlin:q>ahan berkat AllahTerhad^ orang yang rajin bekerjaMenanam di tegalanBerlebihan dalam panenBemyanyilah agar selamat dalam panenOrang pemalas tak memetik

Berbagai macam kebaikan

Dari Allah asalnyaYang menjaga setiap makhlukDengan kasih sayang-NyaBemyanyilah memujiOrang pemalas tak dapat memuji

115

Page 123: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Geguritan tersebut melukiskan para petani yang berhasil panen.Keberhasilan mereka berpanen karena didukung oleh kerajinannya dalambekerja. Ungkapan kegembiraan diwujudkan dengan pujian kep^ Allahkarena Tuhan memberikan segala yang diminta manusia. Dengan de-mikian, dalam puisi tersebut gambaran mengenai Ketuhanan sangat jelas.Di samping itu, di dalamnya juga tampak suasana pedesaan yang sangatmenonjol. Suasana pedesaan seperti itu menjadikan geguritan tersebutmampu memberikan latar kehidupan sosiologis dunia petani.

Kehidupan manusia sering digambarkan seperti orang yang ber-istirahat untuk minum. Untuk itu, manusia hendaknya dapat menerimasegala sesuatu yang diberikan Tuhan. Hal ini digambarkan dalam geguritan yang berjudul Omah 'Rumah' berikut.

Griya gedhong griya gubugPomahan amba Ian ciyutKaluwihan Ian kacingkranganBecik saparingane PangeranJalma mung sithik butuheSajege neng rat keneTyang mondhok pira danguneMung kangelan manggon mulya.

De yen dugi janjinyaKe^ik maneh panganggenyaCiyut temen neng capuriNanging dhasar cekap ugiGusti yen nunggil Ian akuWlase ngadini omahkuLira gubug griya kulaKinarya wismaning raja.

Griya mlarat driya mulyaSima kabeh kabut dortyaNging daleme Rama langgengTyang ndhkr^k Gusti kang mlebet.(SR, him. 31)

116

Page 124: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Rumah gedung rumah gubugPekarangan lebar dan sennitKelebihan dan kekuranganLebih baik menerima yang diberikan TuhanManusia hanya sedikit kebutuhannyaSelama hidup di duniaOrang mondok berapa lamanyaHanya kesulitan bertempat mulia.

Oleh karena janji-NyaSedikit lagi yang kau pakaiSangat senq)it di rumahTetapi tetq) mencukupiTuhan kalau bersatu dengan akuKasihnya menyediakan rumah bagikuWalaupun seperti gubuk rumahkuSeperti rumah raja layaknya.

Rumah jelek rumah muliaSima semua kabut dunia

Di rumah Tuhan abadi

Manusia mengikut Tuhan akan masuk.

Geguritan Omah 'Rumah' tersebut menggambarkan kedudukanmanusia yang serba terbatas di hadapan Tuhan. Namun, di dalam keter-batasannya, apabila manusia mau bersikap nrima 'menerima terhadapsegala pemberiaanTuhan', ia akan memperoleh kegembiraan. Walaupunmiskin manusia akan menq)eroleh kebahagiaan karena ia menyadarikemiskinan yang bersifat profan itu tidak abadi. Keabadiaan itu hanyaakan ada dalam persatuannya dengan Tuhan. Tuhan mengasihi orangmiskin, karena d£u:i orang-orang seperti itulah diharapkan tumbuh suaturefleksi untuk melihat segala sesuatu dari kebersahajaan. Sebaliknya,orang kaya cenderung melihat segala sesuatu dengan cara berlebihansehingga sering berbuat sombong.

Dari uraian di atas tanq)ak bahwa geguritan tradisional Jawa ke-

117

Page 125: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

banyakan bersifat konten^latif dan kekotenq>latifan itu sangat berkaitandengan makna Ketuhanan.

3.3 Makna yang Berkaitan dengan PoiitikDi dalam geguritan tradisional sastra Jawa, ada tiga jalur yang berkaitandengan (1) kebatinan, (2) ketuhanan, dan (3) poiitik. Masaiah (1) dan (2)sud^ dibahas di depan, dan masaiah ketiga dibahas sebagai berikut.Menumt Pak Ton (1993), geguritan tradisional Jawa yang bermuatanmasaiah poiitik muncul sejak zaman pujanggga R.Ng. Ranggawarsita.Pada waktu itu, suasana penjajahan Belanda tidak hanya merasuk dalambidang poiitik praktis, tetapi juga memasuki wilayah kesenian (kesas-traan). Oleh karena itu, R.Ng. Ranggawarsita lalu menuliskan puisi-puisinya dengan bahasa tersamar di dalam bentuk sanepa, lambang, dansebagainya. R.Ng. Ranggarsita melakukan hal itu agar dapat meng-hindari konfrontasi langsung dengan pihak-pihak yang dikritiknya. Salahsatu bentuk kritiknya terhadap penjajahan muncul dalam geguritan ber-judul Semux Ireng 'Semut Hitam' sebagai berikut.

Semut ireng anak-anak sapiKebo bongkang anyabrang bengawanKeyong gondhang jrak sunguteTimun wusu godhong woluSurabaya geger kepatiGeger angoyak macanDdn wadhahi bumbungAlun-alun Kartasura

Gajah meta cinancang wit sidaguriMati cineker ayam.(SJ, him. 19)

Semut hitam beranak sapikerbau kecil menyeberang sungaiKeong besar berdiri sungutnyaTimun bungkuk berdaun delapanSurabaya sangat kacau

118

Page 126: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Kacau mengejar macanDiteropatkan di sebuah bambuAlun-dun Kartasura

Gajah marah ditambat di pohon sidaguriMati disepak ayam.

Menurut Pak Ton (1993), geguritan tersebut merapakan simboltentang Perang Pecinan pada zaman kerajaan Kartasura. Yang dimasud-kan dengan Perang Pecinan sebenamya adalah pemberontakan orang-orang Cina di Kartasura terhadap pemerintahan Sri Susuhunan Paku-buwana 11. Pemberontakan itu sebenamya hasil dari rekayasa penjajahBelanda. Dalam pemberontakan itu, Sri Susuhunan Pakubuwana n kalahdan melarikan diri ke daerah Pacitan.

Larik pertama semut ireng anak-anak sapi 'Semut hitam beranaksapi' secara semiotik sebenamya mempakan tanda yang menggambarkanorang kecil dengan simbol 'petani* yang meii^iki hewan piaraan(kerbau) untuk berolah pertanian. Orang kecil tersebut setia kepadarajanya seperti layaknya hewan ia piara (kerbau) yang juga setia kepada-nya; larik kedua kebo bongkang anyabrang bengawan *kerbau kecilmenyeberang sungai' merapakan simbol para birokrat kerajaan Kartasura. Ketika itu, para birokrat tersebut menghadap raja yang diketuaioleh patih raja yang bemama Pringgalaya. Ketika mereka meninggalkanpenghadapan dengan cara lampah dhodhog 'berjalan dengan lutut di-tekuk' mundur seperti kebo bongkang 'kerbau kecil', lalu menyeberangisungai. Hal ini merapakan gambaran simbolis dari para birokrat, ter-utama Pringgalaya, yang meninggalkan rajanya secara diam-diam untukmengikut musuh (Belanda). Larik ketiga Keong gondhang jrak smguti'Keong besar berdiri sungumya' merapakan lambang dari kekuatanpenjajah Belanda yang kian hari kian kuat menguasai tanah Jawa. Larikkeempat timim wusu godhong wolu Timun bungkuk berdaun delapan'menggambarkan keadaan kerajaan yang kian hari kian lemah karena pe-megang kekuasaan di kerjaaan Kartasura temyata mempunyai kebiasaanburak (menghisap candu) sehingga tubuhnya semakin lemah. Larikkelima, keenaam, dan kemjuh Surabaya geger kepati/ geger angoyakmacan/den wadhahi bumbung 'Surabaya sangat kacau'/ 'Kacau menge-

119

Page 127: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

jar macanV 'Diteiiq)atkan di sebuah bambu* adalah sebuah gambarantentang keadaan daerah itu ketika terjadi kekacauan akibat pemerintahandi pusat (Kartasura) dipimpin oleh raja yang bobrok. Larik kedelapan,kesembilan, dan kesepuluh alun-alim Kartasura/gajah meta cinancangwit sidaguri/matine cineker ayam 'Alim-alun KartasuraV 'Gajah marahditambat di pohon sidaguriV *Mati disepak ayam' merupakan perlam-bang bahwa di kerajaan Kartasura telah teijadi kekacauan akibat pembe-rontakan orang-orang Cina yang ditunggangi oleh Belanda. Kekacauansemakin meningkat karena Pringgalaya temyata juga terlibat dalampemberontakan itu sehingga Kartasura jatuh.

Geguritan Ilir-Ilir 'Mencari Angin' temyata juga mempuyai mak-na yang berkaitan dengan pclitik.

Lir ilir tandure wis sumilir

TaJdjo royo-royo taksenngguh pengantin anyarBocah angon penekna blimbing kuwiLunyu-lunyu p^kna kanggo masuh dododiraDo^dira kumitir bedhah ing pinggirDomanana jumlatana kanggo seba mengko soreMumpung gedhi rembulane mumpimg jembar kalanganeAyo surak'Surak hore(JMK. him. 284)

Angin berhembus sepoi ranaman sudah mulai berbuahKehijau-hijauan kukira pengantin baruAnak pengggembala tolong ambilkan belimbing ituWalaupun pohonnya agak licin tolong ambilkanuntuk mencuci pakaianmuPakaianmu diterpa angin sobek di pinggirJahitlah ambbillah untuk pertemuan nanti soreKetika rembulan besar bersinar

Ayo bersoraklah hore.

Menurut Sunamo Sisworahaija (1981), geguritan tersebut mem-punyai makna politik yang berkaitan dengan pemberontakan Pangeran

120

Page 128: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwana I). Pada waktu itu, tanahyang menjadi kekuasaan Pangeran Mangkubumi seluas 1000 ban beradadi lereng Gunung Lawu. Daerah itu kemudian dikenal dengan namaSukawati. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Belanda semakiningin berkuasa di tanah jawa, tanah seluas itu dikurangi separuh olehGuberaur Jenderal van Inhoff. Akibat perbuatan itu, Pangeran Mangkubumi lalu mengadakan perlawanan terhadap Belanda dan terhadap rajaSurakarta (Sri Susuhanan Pakubuwana II). Berkat perlawanannya, akhir-nya Pangeran Mangkubumi dapat mendirikan kerajaan sendiri yangkemudian dikenal dengan nama Yogyakarta.

Memperhatikan geguritan yang berjudul SermU Ireng *SemutHitam' dan Ilir-Ilir 'Mencari Angin', tampaknya terdapat suatu suasanayang sama. Di san:q)ing itu, latar ceritanya juga menq)unyai kesamaan(zaman Pakubuwana II). Melalui gambaran seperti itu, tidaklah ber-lebihan kalau geguritan tradisional Jawa dapat dikatakan sebagai salahsatu bentuk ekspresi seorang penyair dalam melawan penjajahan. Melaluicaranya (secara tidak langsung), geguritan temyata mampu menjadi alatpenyampai suasana zaman. Hal ini juga digambarkan dalam geguritanUntung Supati *Untung Surapati' berikut.

Untung Surapati prajurit utamaUntung Surapati perangan mungsuh LandaMbelani nusa Ian bangsaPerang tandhingPerang tandhing karo Kapten TakKarpten Tak mati ditumbak.(LD, him. 31)

Unmng Surapati prajurit utamaUntung Surapati berperang melawan BelandaMembela nusa dan bangsaPerang tandingPerang tanding melawan Kapten TackKapten Tack mati ditombak.

121

Page 129: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Kutipan di atas dengan gamblang menggambarkan kepatriotikanUntung Surapati, seorang budak Belanda yang kemudian bangkit me-lawan tuaimya (Belanda). Daiam khazanah kepahlawanan di Jawa,Untung Surapati menjadi salah seorang teladan yang sering menjadireferensi orang kecil daiam menggambarkan semangat Juang. Olehkarena itu, sikap kepahlawanannya sering dituangkan daiam berbagaibentuk karya seni Jawa, dan salah satunya daiam geguritan tradisionalJawa.

Dari semua uraian di atas, tampak bahwa geguritan tradisionalmempunyai makna yang berkaitan dengan alam, Ketuhanan, dan politik.Walaupun geguritan Jawa ditulis daiam bentuk yang sederhana temyatamengandung makna yang bersifat edukatif bagi pendengar atau pem-bacanya. Pendidikan yang terkandung di daiam puisi-puisi tradisionalJawa {geguritan) sangat menekankan pada pola yang bersifat indeksikalsehingga memudahkan daiam pemaknaannya.

122

Page 130: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

BAB IV

PENUTUP

Berdasarkan analisis terhadap Geguritan TradisioncU dalam Sastra Jawadi atas dapat ditaiik kesinq)ulan sebagai berikut.1. Geguritan tradisional dalam sastra Jawa beijtunlah sangat banyak.

Geguritan tersebut diikat oleh struktur formal yang universal. Melaluipenggantian bunyi (simile, personifikasi, sinekdoke, metafora, danmetonimi), penyin^angan arti (ambiguitas, kontradiksi, dan nonsens),dan penggantian arti (rima), geguritan tradisional Jawa mampu men-dayagunakan suku kata dan kata sebagai ekspresi estetika bahasa.Oleh karena itu, masalah-masalah yang diungkapkan di dalamnya ter-kandung makna yang beraneka macam. Secara keseluruhan bentukgeguritan tradisional dalam sastra Jawa tanq)ak sederhana. Olehkarena kesederhanaannya itu, geguritan tradisional Jawa sering di-kategorikan sebagai puisi anak-anak. Bahkan, geguritan tradisionaltersebut sering dinyanyikan pada saat tertentu untuk tujuan pendidik-an budi pekerti di kalangan anak-anak.

2. Geguritan tradisional di dalam sastra Jawa mengandung bermacam-macam makna yang berkaitan dengan kehidupan manusia, baik yangberkaitan dengan alam, Ketuhanan, maupun dengan masalah politik.Makna geguritan yang berkaitan dengan alam mempunyai mjuanuntuk memberikan pendidikan kepada pembaca agar selalu dapatmencintai dan melindungi alam sekitamya, baik itu yang berupatumbuh-tumbuhan maupun yang bempa binatang. Alam sangat ber-faedah bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, geguritan tradisional Jawa senantiasa memberikan fimgsi pendidikan dengan me-ngambil beberapa contoh tumbuh-mmbuhan dan binatang yang akrabdengan kehidupan manusia. Melalui contoh-contoh yang diperguna-

123

Page 131: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

kan di dalam geguritan itu, pembaca atau pendengar diingatkan kem-bali (bagi yang mulai melupakan) dan memperkenalkan (bagi yangbelum mengenal) terhadap kekayaan dan isi alam raya. Dengan polaseperti itu, geguritan tradisional Jawa mengungkapkan berbagaimasalah yang terkandung di dalamnya secara tidak langsung. Maknageguritan yang berkaitan dengan masalah Ketuhanan berfiingsi untukmendidik para pembaca atau pendengamya melalui lambang-lambangatau simboi-simbol sehingga pembaca tidak merasa digurui. Melaluisimbol-simbol atau lambang-lambang, geguritan tradisional Jawa ber-tujuan untuk mendekatkan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.Makna geguritan yang berkaitan dengan politik berfiingsi untuk mem-bangun semangat nasionalisme dan cinta kepada tanah air serta cintakepada pahlawan bangsa.

124

Page 132: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

DAFTAR PUSTAKA

Bahctiar, Harsya W. 1981. "Kesusastraan Indonesia dalam MasyarakatIndonesia". Dalam Kasiyanto dan Sapardi Djoko Damono (Ed.),Tifa Budaya: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: LEPPENAS.

Darusuprapta, 1982. "Jejer Kalenggahanipun Pujangga ing KasusastranJawi". Dalam Widyaparwa, No. 22.

Endraswara, Suwardi. 1999. "Lagu Dolanan: Wewadining Urip WongJawa?" Dalam Jaya Baya, No. 48.

Erlich, Vicoor. 1965. Russian Formalism: History-Doctrine (SecondEdition). The Hague: Mounton & Co.

Flower, Roger. 1987. A Literary Dictiormry. London-Portsmooth: TheGuensey Press Co. Ltd.

Guillen, Claudio. 1971. Literature As System. London: Metheun & Co.Ltd.

Hill, Knox C. 1966. Imerpreting Literature. Chicago: University Pressof Chicago.

Hutomo, Suripan Sadi. 1975. Telaah Kesusasteraan Jawa Modem.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1988. Problematik Sastra Jawa. Surabaya: Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Jawa FPBS IKIP Surabaya.Jefferson, Ann dan David Robey. 1991. Modem Literary Theory: A

Comparative Introduction. London: B.T. Batsford. Ltd.Junus, Umar. 1989. Fiksyen dan Sejarah: Suatu Dialog. Kuala Lumpur:

Dewan Bahasa dan Pustaka.

Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.Jakarta: Gramedia.

Mojo, Tinjo. 1937. "Tembang Ilir-Ilir". DeXam Kejawen, No. 21.

125

Page 133: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

Padmosoekotjo, S. 1960. NgengrenganKasusastranDjawa. Yogyakarta:Hien Hoe Sing.

PakTon. 1993. "Semut Ireng". Daiam Jaya BayOy No. 11.Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.Preminger, Alex dkk. 1974. Princeton Encyclopledia of Poetic.

Princeton: Princeton University Press.Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington dan London:

lUP.

Sastroatmodjo, Suryanto. 1989. "Rasa Rumangsa dalam MenjembataniDua Pola Kultur yang Berbeda". Dalam Poer Adhie Prawoto(Ed.), Kritik dan Esai Kesusasteraan Jawa Modem. Bandung:Angkasa.

Sayuti, Suminto A. 1983. "Pengantar Pengajaran Puisi". Yogykarta:YASBIT FKKS IKIP Muhammadiyah.

Slametmuljana. 1956. Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra. Bandung-Jakarta-Amsterdam: Ganaco.

Suryadi Ag., Linus. 1993. Regol Megal-Megol: Fenomena KosmogoniJawa. Yogyakarta: Andi Offset.

Teeuw, A. 1977. "Sastra dalam Ketegangan Antara Tradisi danPembaruan". YJaXam Bahasa dan Sastra, No. 3.. 1981. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

. 1983. Membaca dan MemUU Sastra. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Renne.dan Austin Warren. 1956. Theory of Literature. NewYork: Harcourt, Bruce & World, Inc.

Zainal, Baharudin. 1973. "Bahasa sebagai..Alat Pengucapan dalamKesusasteraan". DaHam Horison, No. 5—6.

126

Page 134: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

DAFTAR PUSTAKA DATA

Anonim, t.t. "Sulukan Jangkep".Anonim,t.t. "Serat Babad Pathi".

Anonim, t.t. "Serat Babad Sumenep".Anonim, 1953. Serat Rerepen. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.Hardjakismaja, Sukisma. 1966. Lagu Dolanan. Klaten: STI.Overback, H. 1938. Javaansche Meisjesspellen en Kinderlijiedjes.

Yogyakarta: Java-Institut.Pak Ar. 1957. Dolanan Djawi. Jakarta: Noordhoof-Kolff N.V.Soebrata, R.C. Hardja. 1940. Ayo Padha Nembang. Batavia-Centrum:

Noordhoof-Kolff N.V.

Tanoyo, R. 1966. Kidungan Purwajati. Surakarta: TB Pelajar.

127

Page 135: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

PERPUSTAKAANBADAfJ BAHASA

^^TEm/PENDiniKAN NASIONAI.

Page 136: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

DAFTAR PUSTAKA DATA

Anonim, t.t. "Sulukan Jangkep".Anonim,t.t. "Serat Babad Pathi".

Anonim, t.t. "Serat Babad Sumenep".Anonim, 1953. Serat Rerepen. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.Hardjakismaja, Sukisma. 1966. Lagu Dolanan. Klaten: STI.Overback, H. 1938. Javaansche Meisjesspellen en Kinderlijiedjes.

Yogyakarta: Java-Institut.Pak Ar. 1957. Dolanan Djawi. Jakarta: Noordhoof-Kolff N.V.Soebrata, R.C. Hardja. 1940. Ayo Padha Nembang. Batavia-Centrum:

Noordhoof-Kolff N.V.

Tanoyo, R. 1966. Kidungan Purwajati. Surakarta: TB Pelajar.

127

Page 137: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

PERPU3TAKAANBADAfi BAHASA

_DEMraEf^PEr;D!DIKAN NASIONAL

IAT

Page 138: GEGURITAN TRADISIONAL DALAM . SASTRAJAWA

<# •

899 (