Gangguan Perkembangan Sosial dan Emosional Anak
UsiaDinibyprimasucidalamPerkembangan AnakBAB IPENDAHULUANA. Latar
BelakangSeorang anak hidup paling aktif di dalam masa
perkembangannya. Kepribadian sedang dalam pembentukan dan di dalam
stadium perkembangan banyak sekali terjadi perubahan atau
modifikasi tingkah laku. Sebab itu kita perlu mengetahui ciri
tingkah laku normal pada setiap stadium perkembangan anak dan
membedakan setiap tingkah laku anak. Semua anak memiliki berbagai
kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk memastikan perkembangan
akan berlangsung baik. Anak-anak memang sangat tabah dan teguh.
Dalam kebanyakan kasus, dibutuhkan tekanan atau pengorbanan ekstrem
agar memberikan pemecahan yang signifikan dan berdampak lama.
Namun, jika anak tidak diberikan kebutuhan dasar dalam kadar yang
cukup, akibatnya mungkin terjadi kelambatan dalam
perkembangan.Seperti dalam hal penggunaan pendekatan perkembangan
untuk melihat kelainan yang diderita oleh anak sebenarnya
berlandaskan empat tema dasar atau prinsip, yaitu pertama kelainan
muncul atau terjadi hanya pada individu yang mengalami
perkembangan, prinsip yang kedua kelainan perkembangan atau
psikapatologi harus dipandang dalam kaitannya dengan perkembangan
yang normal, tugas-tugas perkembangan utama dan perubahan-perubahan
yang muncul sepanjang rentang kehidupan, selanjutnya prinsip yang
ketiga yaitu tanda-tanda awal dari perilaku berkelainan harus
dipelajarisecara serius, dan yang terakhir prinsip yang keempat
bahwa ada beragam patokan atau karakteristik perkembangan baik yang
normal maupun berkelainan .Dalam kenyataan sehari-hari yang kita
hadapi, tidak semua anak mengalami perkembangan yang normal sesuai
dengan usia dan rata-rata anak sebayanya. Ada anak-anak yang
membutuhkan perhatian khusus karena ia memiliki kebutuhan khusus
dalam aspek perkembangan. Pada masa lalu anak yang mengalami
gangguan dianggap mengganggu dan mendapatkan pendidikan tidak
selayak anak yang normal. Bahkan ada anggapan bahwa anak-anak
seperti itu tidak dapat dididik sehingga tidak perlu mendapatkan
pendidikan. Sementara anak-anak yang normal, namun mengalami
masalah pada satu atau beberapa aspek perkembangannya, dirasakan
menjadi masalah bagi kelancaran pendidikan dan teman-teman
sekelasnya.Anak yang mengalami gangguan adalah anak yang memiliki
kemampuan yang berada di luar rentang kemampuan anak sebayanya.
Sehingga guru dan orang tua perlu mengintervensi atau menangani
anak yang mengalami gangguan. Dalam pembahasan ini kelompok kami
akan membahas tentang gangguan sosial emosi anak usia dini. Kita
ketahui bahwa gangguan sosial emosi dapat terjadi pada setiap
individu dari semua usia. Keadaan tersebut biasanya ditandai dengan
ciri-ciri tertentu. Kebanyakan masalah sosial emosional dianggap
sebagai hasil faktor lingkungan, seperti penyiksaan terhadap anak,
pengasuhan yang tidak konsisten, kondisi hidup yang penuh tekanan,
lingkungan yang penuh dengan kekerasan,atau penggunaan alcohol dan
kekerasan fisik yang terjadi dalam keluarga. Pada saat yang
bersamaan, penyebab bilogis,seperti faktor keturunan,
ketidakseimbangan zat-zat kimia dalam tubuh, kerusakan jaringan
otak, dan penyakit yang diderita, juga berperan dalam masalah
sosial emosi anak.Perkembangan sosial dan emosi anak memainkan
peranan penting dalam hidup seseorang. Tiap bentuk emosi pada
dasarnya membuat hidup terasa lebih menyenangkan. Karena dengan
emosi dan hubungan sosial anak akan merasakan getaran-getaran
perasaan dalam dirinya maupun orang lain. Bulan-bulan serta
tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa yang penting dan
rawan dalam perkembangan sosial emosi anak. Bila orang tua kurang
menyadari pentingnya arti kualitas hubungan serta sikap penuh kasih
saying pada masa ini, maka anak bisa mengalami berbagai masalah dan
gangguan sosial emosional yang serius dikemudian hari. Tapi
sebaliknya bila kebutuhan sosial emosinya terpenuhi secara seimbang
dalam awal kehidupan, dikemudian hari ia pun akan berkembang
menjadi individu yang bahagia dan diharapkan mampu mewujudkan
potensi-potensinya secara optimal.B. Rumusan MasalahBerdasarkan
latar belakang diatas maka rumusan masalahnya yaitu sebagai
berikut:1. Apa yang dimaksud dengan Gangguan Perkembangan sosial
emosional anak usia dini?2. Apa saja jenis-jenis gangguan
perkembangan sosial emosi anak usia dini?3. Apa saja yang menjadi
faktor-faktor perkembangan sosial emosi anak usia dini?4. Bagaimana
upaya preventif dan intervensi gangguan perkembangan sosial emosi
anak usia dini?C. Tujuan PenulisanBerdasarkan rumusan masalah
diatas maka tujuan penulisannya adalah:1. Untuk mengetahui
pengertian dari gangguan sosial emosi anak usia dini2. Untuk
mengetahui jenis-jenis dari gangguan sosial emosi anak usia dini3.
Untuk mengetahui faktor-faktor dari gangguan perkembangan sosial
emosi anak usia dini4. Untuk mengetahui upaya preventif dan
intervensi dari gangguan sosial emosi anak usia diniBAB
IIPEMBAHASANA. Pengertian Gangguan Perkembangan Sosial dan
Emosional Anak Usia DiniGangguan sosial, emosional, dapat
dikonseptualisasikan sebagai suatu yang fokus di dalam diri anak.
Suatu harapan dan cita-cita dari para orang tua, guru, maupun
masyarakat pada umumnya untuk memiliki anak-anak yang sehat jasmani
dan rohani. Betapa tenang dan tentramnya hati bila melihat
anak-anak bermain dengan riang gembira, pandai,tekun dalam belajar
dan bekerja, bebas dan lincah dalam mengutarakan buah pikiran dan
kreativitasnya.Harapan ini tentu menyangkut pertumbuhan dan
perkembangan yang paling optimal dari segi fisik, emosi, mental dan
sosial setiap anak. Tetapi suatu kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri adalah danya sejumlah anak yang memperlihatkan perilaku
sumbang, bertingkah laku yang tidak sesuai dengan norma yang
berlaku, baik norma budaya, norma umur,norma kecakapan/keterampilan
maupun norma sosial yang berlaku dalam lingkungan di mana anak
berada. Tingkah laku mereka mengalami gangguan dan kelainan, yang
biasanya lebih dirasakan oleh lingkungan daripada oleh anak sendiri
.Perkembangan emosi memainkan peran yang sedemikian penting dalam
kehidupan, maka penting diketahui bagaimana perkembangan dan
pengaruh emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial. Sukar
mempelajari emosi anak-anak karena informasi tentang aspek emosi
yang subyektif hanya dapat diperoleh dengan cara introspeksi
sedangkan anak-anak tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan
baik karena mereka masih berusia sedemikian muda. Bahkan sulit
mempelajari reaksi emosi melalui pengamatan terhadap ekspresi yang
jelas tampak, terutama ekspresi wajah dan tindakan yang berkaitan
dengan emosi,karena anak-anak suka menyesuaikan diri dengan
tuntutan sosial . Untuk mengetahuai apa itu gangguan perkembangan
sosial emosional anak yang perlu kita ketahui terlebih dahulu yaitu
pengertian gangguan. Gangguan adalah suatu kondisi yang menyebabkan
ketidaknormalan pada individu yang memiliki masalah dalam menguasai
keterampilan dan menunjukan kekurangan dalam berhubungan dengan
orang lain . Selanjutnya perkembangan sosial emosi anak usia dini
yaitu perkembangan yang berkaitan dengan emosi,kepribadian, dan
hubungan interpersonal. Selama tahun kanak-kanak awal, perkembangan
sosial emosi berkisar tentang sosialisas, yaitu proses ketika anak
mempelajari nilai-nilai dan perilaku yang diterima dari masyarakat
. Pada usia tersebut , terdapat tiga tujuan dalam perkembangan
sosial emosional anak, yaitu:1. Mencapai sense of self atau
pemahaman diri serta berhubungan dengan orang lain2. Bertanggung
jawab terhadap diri sendiri meliputi kemampuan untuk mengikuti
aturan dan rutinitas, menghargai orang lain, dan mengambil
inisiatif3. Menampilkan perilaku sosial , seperti empati,
berbagi,dan menunggu giliran.Gangguan sosial emosi dapat terjadi
pada setiap individu dari semua usia. Keadaan tersebut biasanya
ditandai dengan cirri-ciri tertentu, khususnya yang berhubungan
dengan kondisi emosi. Sepanjang kehidupan, kondisi emosi kita
memang tidak tetap, kadang naik atau turun. Tetapi, pada
orang-orang tertentu, mereka lebih banyak mengalami kondisi emosi
negatif. Kondisi ini akan mempengaruhi kualitas hidup dan kemampuan
mereka mengatasi persoalan sehari-hari serta tugas perkembangan
yang mereka jalani.Kebanyakan masalah sosial dan emosi dianggap
sebagai hasil faktor lingkungan,seperti penyiksaan terhadap anak,
pengasuhan yang tidak konsisten, kondisi hidup yang penuh tekanan,
lingkungan yang penuh dengan kekerasan,atau penggunaan alcohol dan
kekerasan fisik yang terjadi dalam keluarga. Pada saat yang
bersamaan, penyebab biologis, seperti faktor keturunan,
ketidakseimbangan zat-zat kimia dalam tubuh, kerusakan jaringan
otak, dan penyakit yang diserita juga berperan dalam masalah
perkembangan sosial dan emosi ( Cicchetti & Toth dalam Rini
Hildayani) .Menurut Undang-Undang bagi Pendidikan Individu
Penyandang cacat (IDEA) bahwa gangguan sosial emosi yaitu ketidak
mampuan atau mengatur hubungan interpersonal yang memuaskan dengan
teman sebaya dan guru .Rolf, edelbrock dan Strauss menemukan bahwa
anak-anak dengan masalah perkembangan sosial emosi cenderung
memiliki hambatan yang besar dalam pertemanan, penyesuaian sosial,
tingkah laku dan dan akademis apabila dibandingkan dengan kelompok
anak yang normal. Anak-anak dengan gangguan ini dianggap beresiko
terhadap sifat tersisih secara sosial, terisolasi penarikan diri,
pemalu dan kesepian .Dari penjelasan mengenai gangguan,
perkembangan sosial emosi secara umum maka disintesiskan gangguan
perkembangan sosial emosi anak usia dini yaitu ketidaknormalan yang
menghambat perkembangan anak usia dini kaitannya dalam mengelola
emosi, kepribadian, dan hubungan interpersonal anak dengan orang
lain.Emosi merupakan sesuatu yang muncul setiap hari, bahkan setiap
saat dalam kehidupan kita. Emosi merupakan suatu pola yang kompleks
dari perubahan yang terdiri dari reaksi fisiologis,
perasaan-perasaan yang subyektif, proses kognitif, dan reaksi
perilaku, yang semuanya itu merupakan respon atas situasi yang kita
terima (Duffy, 2002) Kita mengenal beberapa emosi dasar, yaitu
kegembiraan, kesedihan, ketakutan, kemarahan. . Selain itu kita
juga mengenal adanya emosi positif, seperti kegembiraan, dan emosi
negatif, seperti kemarahan dan kesedihan. Kemampuan untuk bereaksi
secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala
pertama perilaku emosional ialah keterangsangan umum terhadap
stimulasi yang kuat.a. Pola emosi PositifPola emosi positif adalah
yang berasal dari suatu kondisi yang menguntungkan Frederickson,
Mayne dan Bonnano mencatat bahwa banyak emosi positif dengan mudah
diidentifikasi dalam kecenderungan aksi. Emosi positif secara
sederhana diidentifikasi sebagai sesuatu yang baik atau diiginkan.
Emosi positif terdiri dari perhatian atau minat, surprise atau
kekaguman, dan kegembiraan .b. Pola emosi NegatifSedangkan pola
emosi negatif menurut Lazarus (1991) berasal dari hubungan yang
mengancam atau kondisi yang menyakitkan. Reaksi emosi negative
terdiri dari marah, kecemasan, rasa malu, kesedihan, cemburu,
merasa takut, dan cemburu .B. Jenis-jenis Gangguan Perkembangan
Sosial dan Emosional Anak Usia DiniTerdapat banyak jenis gangguan
perkembangan sosial dan emosional pada anak usia dini, bahkan
setiap anak yang memiliki gangguan pada aspek perkembangan
fisik-motorik, perkembangan kognitif, perkembangan bahasa, dan
perkembangan moral pun juga selalu memiliki gangguan pada sosial
dan emosional masing-masing. Misalnya anak yang memiliki gangguan
pada fisiknya berupa cacat fisik (tuna daksa) baik dari lahir
maupun ketika sudah bertumbuh besar, dia memiliki ketidaknormalan
pada perkembangan sosial dengan orang lain dan emosional mereka.
Mereka merasakan bahwa dia berbeda dari teman kebanyakan
membutuhkan kemampuan penerimaann yang baik dan keiklhasan yang
lebih. Tentunya hal ini membutuhkan bantuan orang lain terutama
orang dewasa terdekatnya, yakni orang tua. Namun, apabila orang tua
pun tidak memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik sehingga
orang tua pun tidak mampu menerima kondisi anak tersebut, maka hal
ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan
emosional anaknya. Demikian pula pada anak-anak yang memiliki
gangguan-gangguan lain sehingga mereka dikatakan children with
special needs seperti tuna grahita, tuna rungu, learning
dissability, dan sebagainya masing-masing mereka memiliki kondisi
perkembangan sosial dan emosional yang tidak selalu seperti anak
lain yang tanpa gangguan pada perkembangannya.Gangguan-gangguan
perkembangan sosial dan emosi yang muncul seringkali berangkat dari
pola-pola emosi yang dikenal baik itu emosi positif maupun emosi
negatif. Seperti misalnya emosi negatif berupa marah atau menangis,
anak perlu dikenalkan dengan ekspresi marah dan menangis namun
ketika emosi tersebut diungkapkan dalam suatu perilaku yang muncul
secara berlebihan sehingga menjadi tantrum misalnya, maka hal ini
dikatakan sebagai suatu gangguan. Demikian pula pada emosi positif
seperti optimis dan percaya diri. Ketika emosi optimis dan percaya
diri tersebut muncul secara berlebih maka dapat mengarah pada
perilaku yang cenderung abisius, sombong, pada akhirnya dapat
mendorong seorang anak untuk melakukan segala cara sekalipun cara
tersebut dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal itu
disebut sebagai sesuatu yang mengalami gangguan dan perkembangan
emosional, dan ketika perilaku emosi yang muncul itu melibatkan
interaksi sosial mereka dengan orang lain, maka hal tersebut dapat
dikatakan menjadi gangguan sosial.Hasil survey yang dilakukan oleh
Izzaty dalam Mashar di Taman Kanak-kanak ditemukan adanya beberapa
permasalahan emosi atau gangguan emosi yang umumnya sering terjadi
pada anak usia Taman Kanak-kanak yaitu agresvitas, kecemasan,
temper tantrum, menarik diri (withdrawal), enuresis dan encopresis,
berbohong, menangis berlebihan, kebergantungan, pemalu, dan takut
berlebihan. Hasil survey ini dipertegas dengan hasil penelitian
mengenai masalah-masalah perilaku pada anak usia dini. Masalah yang
paling banyak muncul terdapat pada area conduct/restless yang salah
satunya adalah perilaku agresif, kemudian disusul dengan
permasalahan pada area emotional/miserable, dan terakhir
permaslaahn yang termasuk area isolated/immature.Mashar membatasi
jenis gangguan tersebut pada ranah gangguan emosi yang sering
muncul dan ditambahkan dari buku Nugraha dan Rachmawati serta
Plutchik yang keseluruhannya disebutkan ke dalam jenis gangguan
emosi antara lain: agresivitas, kecemasan, temper tantrum, menarik
diri, takut berlebihan, kekurangan afeksi, dan
hipersensitivitas.Jefery S. Nevid, dkk menyebutkan beberapa
gangguan kecemasan (anxciety) yang menjadi bagian dari gangguan
perkembangan emosional memiliki beberapa penggolongan, antara lain:
gangguan panik, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan fobia
(ketakuran berlebih), gangguan obsesif-impulsif, gangguan stress
akut dan gangguan stress pascatrauma. Di samping itu juga gangguan
emosi selain kecemasan menurut Nevid juga ada gangguan mood dan
bunuh diri, dengan tipe-tipe gangguan mood yang berupa gangguan
depresi (unipolar) berupa gangguan depresi mayor dan gangguan
distimik, gangguan perubahan mood (bipolar) yang berupa bipolar dan
gangguan siklotimik. Namun secara terbatas, dalam makalah ini akan
dibahas berkaitan dengan kecemasan yang sering dan mungkin terjadi
pada anak usia dini.Hewar & Orlansky seperti yang dikutip oleh
Jamaris megatakan bahwa Quay mengumpulkan sejumlah besar data yang
berkaitan dengan kelaian perilaku yang ditunjukkan anak, dan
penilaian guru dan orangtua terhadap perilaku tersebut melalui
angket yang disebarkan pada anak. Berdasarkan hasil analisis data
yang dikumpulkan, mereka menemukan bahwa kelainan perilaku
cenderung dilakukan anak secara berkelompok dalam kelompok kecil.
Pada akhirnya Quay dan kawan-kawannya mengklasifikasikan kelainan
perilaku ke dalam empat kelompok, yakni: conduct behavior,
personality disorder, immaturity, dan sosialized deliquency.Conduct
behavior merupakan kelainan perilaku yang meliputi menentang,
merusak, memicu perkelahian, angkuh, pemarah, dan tantrum.
Personality disorder meliputi perilaku suka menyendiri, cemas,
depresi, rendah diri, merasa bersalah, pemalu, dan tidak bahagia.
Immaturity ditandai dengan perilaku yang tidak dapat memusatkan
perhatian dalam waktu yang relatif lama, sangat pasif, pengkgayal,
lebih menyukai bermain dengan anak yang lebih muda usianya, kaku
atau aneh. Sedangkan sosialized deliquency menunjukkan perilaku
suka bolos sekolah, anggota gang, pencuri dan merasa bangga
terhadap kelompok lain.Gangguan emosional yang paling lazim
didiagnosis dalam masa kanak-kanak adalah gangguan perilaku
distruptif [menunjukkan agresi, penyimpangan, atau perilaku
antisosial (distruptif behavior disorder)] dan gangguan kecemasan
atau mood (perasaan sedih, tidak dicintai, gugup, takut, atau
kesepian). Beberapa masalah terlihat berhubungan dengan fase
tertentu dari kehidupan anak dan menghilang dengan sendirinya,
tetapi yang lain perlu dirawat untuk mencegah masalah di masa yang
akan datang (Achenbacg & Howell; USDHHS).Meskipun gangguan
sosial dan emosional yang kemudian berkembang menjadi istilah
emotional and behavior disorders ini memiliki makna yang sangat
luas secara definitif, akan tetapi penulis mencoba membatasi dan
mengklasifikasikan jenis-jenis gangguan sosial dan emosional yang
dapat dan seringkali terjadi pada anak usia dini antara lain
sebagai berikut:1. TunalarasAnak yang mengalami gangguan tingkah
laku lebih dikenal dengan istilah tunalaras. Samapi saat ini memang
belum ada definisi yang dapat diterima secara umum mengenai anak
tunalaras yang dapat memuaskan smua pihak. Pada kenyataannya,
batasan atau definisi yang dikemukakan oleh para profesional dan
para ahli yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda sesuai
dengan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing untuk keperluan
profesionalnya. Meskipun demikian, dari seluruh definisi yang
dikemukakan oleh para ahli, semua menganggap sama bahwa tunalaras
menampakkan suatu perilaku penentangan yang terus-menerus kepada
masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta kegagalan dalam belajar
di sekolah.Anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial
karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap
norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri,
mengganggu, dan menyakiti orang lain. Dengan kata lain menyusahkan
lingkungan. Akan tetapi, ada juga anak yang tidak mengganggu sama
sekali atau sama sekali tidak merugikan orang lain seperti
menyendiri, memiliki kebiasaan menyimpang, merusak diri sendiri,
dan berpakaian aneh dipertanyakan apakah termasuk katergori
antisosial atau tidak. Pertanyaan tersebut menimbulkan anggapan
lain, di mana letak kesalahan dianggap terdapat pada aspek perasaan
sehingga tunasosial dinyatakan juga sebagai gangguan emsosi.Istilah
gangguan emosi yang dipakai untuk menyebut mereka yang tunasosial
masih sering juga dipersoalkan. Sehingga kemudian muncul pertanyaan
apakah setiap perilaku antisosial selalu mengandung gangguan emosi
atau apakah semua perilaku antisosial selalu merupakan manifestasi
dari gangguan emosi? Dari hal itu timbul gagasan bahwa istilah yang
paling tepat adalah gangguan tingkah laku (behavior disorder).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977 menetapkan
batasan anak tunalaras adalah anak yang berumur 6 17 tahun dengan
karakteristik bahwa anak tersebut mengalami gangguan emosi dan
berkelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri
dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Sehingga dapat dipahami bahwa anak usia dini baru dapat dikatakan
mengalami gangguan ketunalarasan adalah ketika mereka memasuki usia
6 8 tahun.Sedangkan Kauffman dikutip oleh Sutjihati Somantri
mengemukakan batasan mengenai anak-anak yang mengalami gangguan
perilaku sebagai anak yang secara nyata dan menahun merespon
lingkungan tanpa ada kepuasan pribadi namun masih dapat diajarkan
perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dan dapat
memuaskan pribadinyaBerdasarkan berbagai definisi yang telah
dikemukakan, maka Sutjiani Somantri mendefinisikan tunalaras
sebagai anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku
sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan
diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini mengganggu
situasi belajarnya .Dilihat dari definisinya, maka yang termasuk
dalam tunalaras adalah bentuk agresivitas, mencuri, berbohong,
melanggar norma. Sedangkan menurut Sutjiahati Somantri, untuk
memudahkan pelayanan dan pengorganisasian pendidikan anak
tunalaras, maka perlu diadakan klasifikasi. S.A. Bratanata
mengemukakan bahwa anak tunalaras dicirikan oleh seberapa jauh anak
itu terlihat dalam tindakan kenakalan, tingkat kelaianan emosinya,
dan status sosialnyaSecara garis besar, anak tunalaras dapat
diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami kesukaran dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami
gangguan emosi. Tiap jenis anak tersebut dapat dibagi lagi sesuai
dengan berat dan ringannya kelainan yang dialaminya.Sehubungan
dengan itu, Willian M. Cruickshank mengemukakan bahwa mereka yang
mengalami hambatan sosial dapat diklasifikasikan ke dalam kategori
berikut ini:a. The semi-sosialize childAnak yang termasuk kelompok
ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada
lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan
ini terjadi pada anak yang datang dari lingkungan yang menganut
norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan
dengan norma yang berlaku di masyarakat. Di lingkungan sekolah,
karena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka
seringkali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau
terikat oleh peraturan di luar kelompoknya. Dengan demikian anak
selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar
kelompoknya.b. Children arrested at a primitive level or
sosializationAnak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya
berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak
yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan
terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang
dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari
orang tua, yang berakibat pada perilaku anak kelompok ini cenderung
dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih
dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.c. Children with
minimun sosialization capacityAnak pada kelompok ini tidak
mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial.
Ini disebabkan oleh pembawaan atau kelainan atau anak tidak pernah
mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini
banyak yang bersikap apatis dan egois.Demikian pula dengan anak
yang mengalami gangguan emosi, mereka dapat diklasifikasikan
menurut berat atau ringannya masalah atau gangguan yang dialaminya.
Anak-anak ini mengalami kesulitan dalam menyesuaikan tingkah laku
dengan lingkungan sosialnya karena ada tekanan-tekanan dari dalam
dirinya. Adapun anak yang mengalami gangguan emosi diklasifikasikan
sebagi berikut:a. Neurotic behavior (perilaku neurotik)Anak pada
kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi
mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikannya.
Mereka sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati,
perasaan marah, semas dan agresif, serta rasa bersalah di samping
juga kadang-kadang mereka melakukan tindakan lain seperti yang
dilakukan oleh anak unsosialized (mencuri, bermusuhan). Anak pada
kelompok ini dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan
neurotik ini biasanya disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga
yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta
pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga
adanya kesulitan belaajr yang berat.b. Children with psychotic
processesAnak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling
berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka
sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki
kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya
ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf
sebagai akibat dari keracunan. Misalnya: minuman keras dan
obat-obatan. Oleh karena itulah usaha penanggulannya lebih sult
karena anak tidak dapat berkomunikasi, sehingga layanan pendidikan
harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap
kesempatan yang memungkinkan.Sudah jelas bahwa dengan demikian anak
pada kelompok neurotik, mengalami gangguan yang sifatnya
fungsional, sedangkan pada kelompok psikotis di samping mengalami
gangguan fungsional, anak juga mengalami gangguan yang sifatnya
organis. Oleh karena itu, anak-anak yang termasuk psikotis
kadang-kadang memerlukan perawatan medis.Salah satu bentuk
ketunalarasan adalah agresivitas. Izzaty seperti yang dikutip oleh
Mashar memaparkan agresivitas sebagai istilah umum yang dikaitkan
dengan adanya perasaan-perasaan marah atau permusuhan atau tindakan
melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan secara fisik,
verbal, maupun menggunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang
mengancam atau merendahkan. Tindakan agresi pada umumnya merupakan
tindakan yang disengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Ada dua tujuan utama agresi yang saling bertentangan satu
dengan yang lain, yakni untuk membela diri di satu pihak dan di
pihak lain adalah untuk meraih keunggulan dengan cara membuat lawan
tidak berdaya.Nugraha dan Rachmawati mendefinisikan agresivitas
sebagai tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau
baru berupa ancaman yang disebabkan adanya rasa permusuhan dan
frustasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agresivitas
merupakan tindakan menyerang baik fisik, verbal, maupun ekspresi
wajah yang mengancam atau merendahkan untuk mencapai tujuan
tertentu, yang didasari adanya perasaan permusuhan atau
frustasi.Agresivitas pada anak TK memiliki beberapa bentuk umum.
Yang paling sering muncul adalah bentuk verbal, misalnya dengan
mengeluarkan kata-kata kotor yang terkadang anak tidak selalu
mengerti maknanya. Kedua, agresi dalam bentuk tindakan fisik.
Misalnya dengan menggigit, menendang, mencubit, mencakar, memukul,
dan semua tindakan fisik yang bertujuan untuk menyakiti fisik.
Biasanya sasaran perilaku agresi ini adalah orang-orang dekat yang
ada di sekitar anak, seperti orang tua, pengasuh, pendidik, teman,
dan objek fisik lain seperti tembok, lemari, sarana sekolah, atau
sasaran lainnya.Agresivitas pada anak usia dini dapat berdampak
psikologis dan sosial. Dampak psikologis yang mungkin muncul berupa
kecenderungan untuk meningkatkan perilaku agresi baik dalam
frekuensi maupun intensitas jika perilaku tidak ditangani secara
efektif. Selain itu, perilaku agresi juga dapat menyebabkan anak
cenderung menjadi antisosial karena ketidakmampuannya menahan emosi
dan lebih terjebak dalam perilaku-perilaku impulsif. Selain dampak
psikologis, dampak sosial bagi perilaku agresi anak juga dapat
mengakibatkan anak cenderung dikucilkan dan ditakuti oleh
teman-teman sebayanya.Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
menetapkan tunalaras , yaitu:1. PsikotesPsikotes dilakukan untuk
mengetahui kematangan sosial dan gangguan emosi. Sedangkan alat tes
yang lain yaitu tes proyektif yang memiliki beberapa jenis tes
yaitu :a. Tes RorchachTes ini memberikan gambaran mengenai
keseluruhan kepribadian, kelainan dan perlunya psikoterapi.
Gambaran ini ditafsirkan dari reaksi anak terhadap gambar-gambar
yang terbuat dari tetesan tinta.b. Thematic Apperception Test
(TAT)Tes ini memperlihatkan berbagai situasi-emosi dalam bentuk
gambar-gambar. Gambaran kepribadian nampak dari tafsiran anak
mengenai situasi emosi tersebut untuk itu disediakan skala
khusus.c. Tes Gambar OrangDalam tes ini persoalan-persoalan emosi
nampak dari gambar yang harus dibuat oleh anak. Gambarnya ialah
seorang laki-laki dan seorang perempuan.d. Dispert Fable TesTes ini
memberikan gambaran mengenai: iri hati, rasa dosa, rasa cemas,
tanggapan terhadap diri sendiri, ketergantungan kepada orang tua,
dan sebagainya.Yang berhak melakukan psikotes dan mengumumkannya
adalah psikolog, psikiater, dan counselor, atau orang lain di bawah
bimbingannya. Tenaga-tenaga ini ada yang membuka praktek sendiri,
ada pula yang tidak membuka praktek sendiri tetapi bekerja di
Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran, Lembaga Kesehatan Jiwa,
Balai Bimbingan dan Penyuluhan, Biro Konsultasi Psikologi, dan
sebagainya.2. SosiometriSosiometri adalah alat tes yang digunakan
untuk melihat/ mengetahui suka atau tidaknya seseorang. Caranya
ialah tanyakan kepada para anggota kelompok siapa diantara
anggotanya yang mereka sukai. Setiap anggota hendaknya memilih
menurut pilihannya sendiri. Dari jawaban itu akan diketahui siapa
yang lain disukai oleh para anggota.Perlu diperingatkan bahwa
hasil-hasil sosiometri adalah hasil sementara yang perlu ditelaah
lebih lanjut. Anak yang terpencil dalam suatu saat belum tentu anak
yang tunalaras, bahkan mungkin tidak terpencil lagi dalam
sosiometri berikutnya. Walaupun demikian, sosiometri dapat dipakai
bersama-sama dengan cara yang lain.3. Membandingkan dengan tingkah
laku anak pada umumnyaKeadaan tunalaras dapat diketahui dengan
jalan membandingkan tingkah laku anak dengan tingkah laku anak pada
umumnya. Pekerjaan membandingkan boleh dilakukan oleh setiap orang
dewasa.Anak yang jahat dapat diketahui jahatnya oleh masyarakat.
Demikian juga anak yang tidak jahat tetapi kelakuannya tidak sesuai
dengan norma yang berlaku, diketahui oleh masyarakat. Masyarakat
mempunyai ketentuan-ketentuan untuk menetapkan jahat dan tidaknya
atau serasi dan tidaknya tingkah laku para anggotanya. Siapa yang
melanggar ketentuan ini akan dibenci, dimarahi, diasingkan, malah
ditindak, tetapi yang baik akan dihargai , diterima kehadirannya
malah dipuji.Adanya gangguan emosi dan gangguan sosial karena
penyesuaian yang salah (maladjustment) tanda-tandanya antara lain
:a. Hubungan antar keluarga, teman sepermainan, teman sekolah,
ditanggapi dengan tidak menyenangkan.b. Segan bergaul, terasing.c.
Suka melarikan diri dari tanggung-jawab.d. Menangis, kecewa,
berdusta, menipu, mencuri, menyakiti hati dan sebagainya, atau
sebaliknya, sangat ingin dipuji, tak pernah menyulitkan orang lain
dan sebagainya.e. Penakut dan kurang percaya pada diri sendiri.f.
Tidak mempunyai inisiatif dan tanggung jawab, kurang keberanian dan
sangat tergantung pada orang lain.g. Agresif terhadap diri sendiri,
curiga, acuh tak acuh, banyak hayal.h. Memperlihatkan perbuatan
gugup misalnya: menggigit kuku, komat-kamit, dan sebagainya.Anak
tunalaras memiliki rasa harga diri kurang dengan tanda-tanda antara
lain :a. Terlalu mempersoalkan kekurangan diri, sering minta maaf,
takut tampil di muka umum, takut bicara dan sebagainya.b. Mengeluh
dengan nada nasib malang.c. Segan melakukan hal-hal yang baru atau
yang dapat mengungkapkan kekurangannya.d. Selalu ingin sempurna,
tidak puas dengan apa yang telah diperbuat.e. Sikap introvert
(lebih banyak mengarahkan perhatian kepada diri sendiri).Adapun
rasa harga diri kurang yang tersembunyi, antara lain:a. Bernada
murung, cepat merasa tersinggung.b. Merasa tidak enak badan, sakit
buatan, dan sebagainya.c. Berpura-pura lebih dari orang lain:
menonjolkan diri, bicara lantang, merendahkan orang lain.d. Membuat
kompensasi.e. Menjalankan perbuatan jahat.4. Memeriksakan ke Biro
Konsultasi PsikologKadang-kadang kita tidak dapat membedakan apakah
seorang anak tunalaras atau bukan. Dalam hal demikian kita dapat
meminta bantuan Biro Konsultasi Psikolog, karena biro tersebut
melibatkan tenaga ahli yang terkait. Wewenang biro ini terutama
adalah menentukan apakah seseorang mengalami gangguan emosi social
atau tidak.Setelah selesai ditelaah dan dianalisa biro tersebut
akan bersedia memberikan petunjuk terarah mengenai anak tersebut,
misalnya meminta agar kita lebih mendekati anak, menitipkannya di
salah satu lembaga pendidikan, dan sebagainya. Kalau perlu, biro
juga akan membuat keterangan agar dapat dipakai oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.5. Memeriksakan ke Klinik Psikiatri AnakBentuk
usaha lain untuk mengetahui anak tunalaras adalah dengan
memeriksakan ke klinik psikiatri anak. Tugas pokoknya ialah
melakukan usaha rehabilitasi dan penyembuhan terhadap mereka yang
mengalami kelainan psikis, tetapi juga dapat menetapkan apakah
seseorang mempunyai kelainan tunalaras atau tidak.Dalam surat
keterangan yang dikeluarkan oleh klinik psikiatri anak menyebutkan
istilah antara lain: anxiety hysteria, conversion hysteria, sexual
perversion, obsessional neurosis, psychose anak dll dengan arti
istilah-istilah tersebut adalah:a. Anxiety hysteria: merasa takut
pada sesuatu atau pada seseorang tanpa alasan yang dapat diterima.
Perasaan ini lahir dari usaha menekan hasrat-hasrat yang sifatnya
naluriah.b. Conversion hysteria: mempunyai gangguan pada fungsi
beberapa anggota tubuh, perbuatan gangguan pada pendirian. Gangguan
tersebut lahir dari usaha yang lama menekan hasrai-hasrat yang
sifatnya naluriah.c. Obsessional neurosis: cepat menuduh, banyak
dalih, menutup diri, kaku berjalan, dan sebagainya. Ini semua
adalah pernyataan dari hati yang sangat sensitive dan takut
diserang. Hal ini juga timbul dari usaha menoleh sesuatu hasrat.d.
Sexual perversion: suka menikmati sexual secara tidak wajar,
seperti mengintip, melakukan hubungan dengan teman sejenis.e.
Character neuroses: perubahan tingkah laku yang lahir dari konflik
batin yang tidak mendapat penyelesaian.f. Psychose Anak: mempunyai
kesulitan menyesuaikan diri terhadap segala-galanya2. Temper
TantrumTemper tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang
sering terjadi pada anak menunjukkan sikap negativistik atau
penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti
menangis dengan keras, berguling-guling di lantai, menjerit,
melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai
kegiatan.Perilaku tantrum dikatakan sebagai salah satu perilaku
distruptif menurut APA dan National Library of Medicine seperti
yang tertulis berikut :Perilaku tantrum dan membangkang, sering
bertengkar, permusuhan, dan perilaku mengganggu yang disengaja
lazim di antara anak-anak usia 4 5 tahun biasanya meningkat pada
masa kanak-kanak tengah. Ketika pola perilaku seperti itu bertahan
sampai usia 8 tahun, anak-anak (biasanya laki-laki) mungkin
didiagnosis gangguan ingkar (oppositional defiant disorder-ODD),
sebuah pola pembangkangan, ketidakpatuhan, dan permusuhan terhadap
figur otoritas dewasa yang berlangsung selama paling tidak 6 bulan
dan jauh di luar batas perilaku anak-anak normal. Awal munculnya
gejala biasanya usia 8 tahun. Anak-anak dengan ODD terus menerus
bertengkar, berbantahan, mudah kehilangan kesabaran, merebut
barang-barang, menyalahkan orang lain, pemarah dan dongkol,
memiliki sedikit teman, terus menerus bermasalah di sekolah, dan
menguji batas kesabaran orang dewasa.Temper tantrum sering dialami
pada anak usia dini karena ketidakmampuan mereka dalam mengontrol
emosi, mengungkapkan kemarahan dengan tepat, dan terjadinya kondisi
regresi atau fixasi dalam perkembangan. Menurut Freud, salah satu
self defence mechanism yang sering dikembangkan oleh anak adalah
dengan berhenti pada tahap perkembangan sebelumnya dengan tidak mau
menuntaskan tugas-tugas pada fase perkembangannya. Mereka tidak
berani memasuki fase perkembangan berikutnya, karena kecemasan
terhadap tuntutan yang lebih pada fase yang lebih tinggi.
Contohnya, pada anak TK yang masih menunjukkan perilaku temper
tantrum secara terus menerus, atau masih terus minum susu dengan
menggunakan dot, atau masih selalu mengompol dan BAB di
celana.Terdapat 3 jenis tantrum yang sering terjadi pada anak usia
dini:a. Manipulative TantrumManipulative tantrum merupakan salah
satu bentuk tantrum yang terjadi karena dibuat-buat oleh anak.
Biasanya anak melakukan hal ini dengan alasan menggunakan cara
tantrum ini sebagai senjata dia untuk mendapatkan apa dia inginkan,
atau mencari perhatian.b. Verbal frustration tantrumAnak yang
mengalami verbal frustration tantrum cenderung menujukkan kemarahan
yang berlebih dengan mengomel, banyak bicara sambil menangis dan
meraung.c. Temperramental TantrumPerilaku anak yang menunjukkan
temperramental tantrum, biasanya tidak cukup diatasi oleh orang tua
atau guru saja. Tetapi, membutuhkan bantuan ahli seperti: konselor
dan psikolog.Pemahaman terhadap temper tantrum tidak hanya dapat
dilakukan dengan mengamati penyebab munculnya perilaku tersebut,
tetapi dapat pula diamati dari gejala-gejala yang tampak. Terdapat
beberapa gejala yang dapat muncul pada anak temper tantrum ,
yaitu:a. Anak memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar
tidak teraturb. Sulit beradaptasi dengan situasi, makanan dan
orang-orang baruc. Lambat beradaptasi terhadap perubahan yang
terjadid. Mood atau suasanan hatinya lebih seing negatif. Anak
sering merespons sesuatu dengan penolakane. Mudah dipengaruhi
sehingga timbul perasaan marah atau kesalf. Perhatiannya sulit
dialihkang. Memiliki perilaku yang khas, seperti: menangis,
menjerit, membentak, menghentak-hentakkan kaki, merengek, mencela,
mengenalkan tinju, membanting pintu, memecahkan benda, memaki,
mencela diri sendiri, menyerang kakak/adik atau teman, mengancam,
dan perilaku-perilaku negatif lainnya.3. Menarik Diri
(Withdrawl)Withdrawl merupakan salah satu tipe emotional
disturbance yang diarahkan ke dalam diri. Berbeda dengan
agresivitas yang ekspresi emosinya diarahkan ke luar diri dengan
melakukan tindakan-tindakan agresi kepada orang atau benda-benda di
luar dirinya, withdrawl merupakan permasalahn emosi yang diarahkan
dalam diri dengan kecendurungan menarik diri dari interaksi sosial
menurut Hallahan & Kauffman seperti yang dikutip oleh Riana
Mashar . Menurut Izzaty, anak yang mengalami withdrawl akan sulit
bergaul, cenderung bermain sendiri, tidak dapat bersosialisasi dan
berbagi dengan teman sekolahnya.Anak yang mengalami withdrawl cukup
mudah diamati karena menunjukkan gejala-gejala umum, seperti :a.
Tidak mau bersosialisasi atau bergaul selain dengan keluargab.
Pendiam, rendah diri, malu, takut, tidak banyak bicara, dan bermain
sendiric. Sering melamun, menyendiri, dan tidak suka keramaiand.
Sibuk dengan kegiatan diri sendirie. Menjadi bahan olok-olokan
teman sebayaf. Cenderung tidak suka terlibat dalam kegiatan
kelompok4. Kecemasan (Anxiety)Anxietas atau kecemasan (anxiety)
adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak
hal yang harus dicemaskan-misalnya kesehatan kita, relasi sosial,
ujian, karier, relasi internasional, dan kondisi lingkungan adalah
beberapa hal yang menjadi sumber kekhawatiran. Hal yang normal dan
adaptif untuk sedikit merasa cemas mengenai aspek-aspek hidup
tersebut. Kecemasan bermanfaat bila hal tersebut mendorong kita
untuk melakukan pemeriksaan medis secara reguler atau memotivasi
kita untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan adalah respon yang
tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila
tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila
sepertinya datang tanpa ada penyebabnya yaitu, bila bukan merupakan
respon terhadap perubahan lingkungan. Dapat pula dikatakan bahwa
kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri
keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan,
dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.Di
samping itu, Cattel dan Scheier seperti yang dikutip oleh Mashar
mengemukakan bahwa kecemasan merupakan reaksi emosi sementara yang
timbul pada situasi tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman.
Kecemasan atau anxietas dapat pula diartikan sebagai rasa takut
pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang seringkali berlangsung
lama. Biasanya rasa takut ini juga disertai oleh kegelisahan dan
dugaan-dugaan akan terjadinya hal-hal buruk. Pada anak, rasa cemas
biasanya terjadi saat anak berusia tiga tahun, bentuknya dapat
berupa rasa cemas kehilangan kasih sayang orang tua, cemas akan
mengalami rasa sakit, cemas karena merasa berbeda dengan orang
lain, atau mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Pada usia
dua sampai enam tahun, pikiran tentang bahaya yang nyata maupun
yang ada dalam imajinasinya sendiri seringkali menjadi sumber
kecemasan. Pada anak pra sekolah, kecemasan yang banyak dialami
adalah kecemasan karena perpisahan (separation anxiety disorders)
dengan pengasuh terutama pada saat anak awal masuk sekolah.
Gejala-gejala yang dapat diamati saat anak mengalami kecemasan
diadaptasi dari Mashar antara lain berupa gelisah, menangis, sulit
tidur, mimpi buruk, sulit makan, gangguan pencernaan, kesulitan
pernapasan, dan ketidakmauan ditinggal sendiri.Dari beberapa tipe
gangguan kecemasan yang dipaparkan oleh Nevid, salah satu
diantaranya yang sering dialami oleh anak usia dini adalah takut
berlebihan (fobia). Fobia berasal dari kata Yunani phobos, yang
berarti takut. Konsep takut dan cemas bertautan erat. Takut adalah
perasaan cemas dan agitasi sebagai respon terhadap suatu ancaman.
Gangguan fobia adalah rasa takut yang persisten terhadap objek atau
situasi dan rasa takut ini tidak sebanding dengan ancamannya. Hal
yang aneh tentang fobia adalah biasanya melibatkan ketakutan
terhadap peristiwa yang biasa dalam hidup, bukan yang luar biasa.
Orang dengan fobia mengalami ketakutan untuk hal-hal yang biasa
yang untuk orang lain sudah tidak terpikirkan lagi. Fobia dapat
mengganggu bila mereka mempengaruhi tugas sehari-hari sepertu naik
bus, dalam gelap, dalam ketinggian, berbelanja, pergi ke luar
rumah.Tipe fobia yang berbeda biasanya muncul pada usia yang
berbeda-beda pula, seperti yang dapat dilihat pada tabel
berikut:Tipikal FobiaJumlah rata-rata kasus Rata-rata Usia
MunculFobia Binatang 50 7Fobia Suntikan 59 8Fobia Darah 40 9Fobia
Dental 60 12Fobia Sosial 80 16Claustrophobia 40 20Agorafobia 100
28Sumber: diadaptasi dari Ost dalam Jeffry S. Nevid, dkkUsia
kemunculan sepertinya merefleksikan tahap perkembangan kognitif dan
pengalaman hidup. Ketakutan terhadap binatang seringkali merupakan
subjek dari fantasi anak-anak. Sebaliknya, agorafobia biasanya
muncul mengikuti serangan panik yang mulai pada masa dewasa. Dan
jika diperhatikan, maka anak usia dini lebih sering mengalami fobia
tipe fobia binatang dan fobia suntikan.5.
HipersensitivitasHipersensitivitas adalah kepekaan emosional yang
berlebihan dan cukup sering dijumpai pada anak-anak. Anak dikatakan
hipersensitivitas bila ia mudah sekali merasa sakit hati dan
menunjukkan respons yang berlebihan terhadap sikap dan perasaan
orang lain. Anak yang hipersenditif ini tidak dapat menerima
penilaian, komentar, dan kritik orang lain tanpa rasa sakit hati.
Reaksi anak terhadap rasa sakit hati dapat berupa baik yang nyata
maupun yang hanya berdasar prasangkanya saja, dapat membangkitkan
perasaan kesal yang mendalam. Anak yang hipersensitif biasanya juga
mudah marah (temperamental) dan sering mengalami suasana hati yang
murung tanpa penyebab yang jelas.6. Bunuh DiriDalam Global Petang
tanggal 29 Mei 2006 yang silam diberitakan adanya seorang bocah
usia delapan tahun meninggal dengan cara gantung diri di tali
jemuran rumahnya setelah dimarahi guru di sekolah, karena belum
memotong kuku jari. Ada masih banyak lagi kasus serupa yang
mengindikasikan bahwa anak tidak memiliki kesiaptahanan dalam
menghadapi persoalan.Santrock menyatakan bahwa angka bunuh diri
berkembang pesat tiga kali lipat dalam 30 tahun terakhir. Laki-laki
diperkirakan lebih sering melakukan kecendurungan bunuh diri dari
perempuan, hal ini dapat pula disebabkan oleh metode-metode mereka
yang lebih aktif dalam mencoba bunuh diri misalnya dengan menembak.
Sebaliknya, perempuan cenderung menggunakan metode-metode pasif
seperti pil tidur, yang cenderung kurang mematikan.Bunuh diri
menurut Kristal dalam Mashar dalam beberapa budaya dapat diteruma
sebagai sebuah peristiwa heroik atau kepahlawanan. Bunuh diri tidak
selalu merupakan tindakan menyakiti atau merusak diri sendiri
tetapi merupakan sebuah tangiasn untuk meminta pertolongan. Bunuh
diri biasanya dikaitkan dengan adanya perasaan depresi dan
kehilangan. Sebagian besar korban bunuh diri adalah laki-laki.
Bunuh diri pada anak sebenarnya tidak ditujukan untuk mencari
kematian, tetapi sebagai manifestasi dari perasaan tidak dipahami
dan tidak dihargai.C. Faktor Penyebab Gangguan Sosial Emosional
Anak Usia DiniMengenai latar belakang timbulnya gangguan sosio
emosional telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang berkecimpung
dalam usaha penanggulangannya. Dinamika keadaan yang
melatarbelakangi anak gangguan sosio emosional beserta
gejala-gejalanya perlu ditelusuri untuk memberikan pemahaman yang
jelas tentang anak yang mangalami gangguan tersebut. Dengan
memahami hal itu akan mempermudah dalam usaha menanggulangi dan
memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan anak.Dari
berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah gangguan sosio
emosional, berikut dibahas mengenai kondisi/keadaan fisik, masalah
perkembangan, lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.1.
Kondisi/keadaan fisikTelah banyak tulisan maupun penelitian yang
mengupas masalah kondisi/keadaan fisik dalam kaitannya dengan
masalah gangguan tingkah laku, baik yang merupakan akibat langsung
maupun tidak langsung.Ada sementara ahli yang meyakini bahwa
disfungsi kelenjar endoktrin dapat mempengaruhi timbulnya gangguan
tingkah laku, atau dengan kata lain kelenjar endoktrin berpengaruh
terhadap respon emosional seseorang. Bahkan dari hasil
penelitiannya, Gunzburg seperti yang dikutif oleh Sutjihati
Somantri menyimpulkan bahwa disfungsi kelenjar endoktrin merupakan
salah satu penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endoktrin ini
mengeluarkan hormone yang mempengaruhi tenaga seseorang. Bila
secara terus menerus fungsinya mengalami gangguan, maka dapat
berakibat terganggunya perkembangan fisik dan mental seseorang
sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan wataknya.Kondisi
fisik ini dapat pula berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh
maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku sesorang.
Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya
keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya baik berupa kebutuhan
fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya.Masalah ini menjadi
kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negatif dari
lingkungannya. Sebagai akibatnya, timbul perasaan rendah diri,
perasaan tidak berdaya/tidak mampu, mudah putus asa, dan merasa
tidak berguna sehingga menimbulkan kecendrungan menarik diri dari
lingkungan pergaulan atau sebaliknya, memperlihatkan tingkah laku
agresif, atau bahkan memanfaatkan kelainannya untuk menarik belas
kasih lingkunggannya.2. Masalah PerkembanganDidalam menjalani
setiap fase perkembangan individu, sulit untuk terhindar dari
berbagai konflik. Mengenai hal ini, Erikson yang dikutif dalam
Sutjihati Somantri menjelaskan bahwa setiap memasuki fase
perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau
krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika
pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses
kematangan yang meyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi
krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga
individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial atau
masyarakatnya. Sebaliknya apabila individu tidak berhasil
menyelesaikan masalah tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi
dan tingkah laku. Konflik emosi ini biasanya terjadi pada masa
kanak-kanak dan masa puberitas.Adapun ciri yang menonjol yang
nampak pada masa kritis ini adalah sikap menantang dank eras
kepala. Kecenderungan ini disebabkan oleh karena anak sedang dalam
proses menemukan akunya. Anak merasa jadi tidak puas dengan
otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang
meledak-ledak, misalnya: marah, menentang, memberontak, dank eras
kepala. Emosi yang kuat seringkali meluap-luap sehingga dapat
menimbulkan ketegangan dan kecemasan. Mereka seringkali menentang
dan melanggar peraturan baik dirumah maupun disekolah.Kartini
Kartono (1982) menegaskan bahwa penghalang terhadap kelangsungan
fungsi-fungsi fisik atau psikis pada masa ini dapat mengakibatkan
kemunduran pada individu. Jiwa anak yang masih labil pada masa ini
banyak menagndung resiko berbahaya, jika kurang mendapatkan
bimbingan dan pengarahan dari orang dewasa maka anak akan mudah
terjerumus pada tingkah laku menyimpang.3. Lingkungan
KeluargaKajian terhadap lingkungan keluarga dalam kaitannya dengan
masalah ketunalarasan telah lama menjadi perhatian ahli. Sebagai
lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak, keluarga memilki
pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak.
Keluargalah peletak dasar perasaan aman (emotional security) pada
anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama
mengenai perasaan dan sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak
mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk perkembangan
sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku
anak.Mengingat banyak sekali faktor yang terdapat dalam lingkungan
keluarga yang berkaitan dengan masalah gangguan emosi dan tingkah
laku, maka dalam pembahasan berikut akan dikemukakan beberapa aspek
diantaranya:a. Kasih sayang dan perhatianKasih saying dan perhatian
orang tua dan anggota keluarga lain sangat dibutuhkan oleh anak.
Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua mengakibatkan anak
mencarinya diluar rumah. Dia bergabung dengan kawan-kawannya dan
membentuk suatu kelompok anak yang merasa senasib. Selain itu
memperoleh rasa aman dalam kelompoknya, dapat juga anak dengan
sengaja melakukan perbuatan tercela dan menetang norma lingkungan
untuk memperoleh perhatian orang tuanya. Menegenai hal ini, Sofyan
S. Willis dalam Sutjihati Somantri mengemukakan bahwa mereka
berkelompok untuk memenuhi kebutuhan yang hampir sama, antara lain
mendapatkan perhatian dari orang tua dan masyarakat.Selain sikap
diatas, tidak jarang diantara orang tua justru memberikan kasih
sayang, perhatian, dan bahkan perlindungan yang berlebihan (over
protective). Sikap memanjakan dapat menyebabkan ketergantungan pada
anak sehingga jika anak mengalami kegagalan dalam mencoba sesuatu
ia lekas menyerah dan merasa kecewa, sehingga pada akhirnya akan
timbul rasa tidak percaya diri/rendah diri pasda anak.b.
Keharmonisan keluargaBanyak tindakan kenakalan atau gangguan
tingkah laku dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari lingkungan
keluarga yang kurang harmonis. Ketidakharmonisan ini dapat
disebabkan oleh pecahnya keluarga atau tidak adanya kesepakatan
antara orang tua dalam menerapkan disiplin dan pendidikan terhadap
anak. Kondisi keluarga yang pecah atau rumah tangga yang kacau
menyebabkan anak kurang mendapatkan bimbingan yang
semestinya.Berdasarkan hasil studinya, Hetherington dalam Sutjihati
Somantri menyimpulkan hampir semua anak yang menghadapi perceraian
orang tua mengalami masa peralihan yang sangat sulit.Orang tua yang
sering berselisih paham dalam menerapkan peraturan atau disiplin
dapat menimbulkan keraguan pada diri anak akan kebenaran suatu
norma, sehingga akhirya anak mencari jalan sendiri dalam hal ini
dapat saja menjadi awal dari terjadinya gangguan tingkah laku.c.
Kondisi ekonomiLemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi
salah-satu penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan anak, padahal
sdeperti kita ketahui pada diri anak timbul keinginan-keinginan
untuk menyamai temannya yang lain, misalnya: dalam berpakaian,
kebutuhan akan hiburan, dan lain-lain. Tidak terpenuhinya kebutuhan
tersebut didalam kelaurga dapat mendorong anak mancari jalan
sendiri yang kadang-kadang mengarah pada tindakan anti sosial. G.W.
Bawengan (1977) menyatakan bahwa kondisi-kondisi seperti kemiskinan
atau pengangguran secara relative dapat melengkapi
rangsangan-rangsangan untuk melakukan pencurian, penipuan, dan
perilaku menyimpang lainnya.4. Lingkungan SekolahSekolah merupakan
tempat pendidikan yang kedua bagi anak setelah keluarga. Tanggung
jawab sekolah tidak hanya sekedar membekali anak didik dengan
sejumlah ilmu pengetahuan, akan tetapi sekolah juga bertanggung
jawab membina keprbadian anak didik sehingga menjadi seorang
individu dewasa yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya
sendiri maupun terhadap lingkungan masyarakat yang lebih luas. Akan
tetapi tidak jarang sekolah dapat menjadi penyebab timbulnya
gangguan tingkah laku pada anak seperti yang dikemukakan Sofyan
Willis (1978) bahwa dalam rangka pembinaan anak didik kearah
kedewasaan, kadang-kadang sekolah juga penyebab dari timbulnya
kenakalan remaja.Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan
lingkungan sekolah antara lain berasal dari guru sebagai tenaga
pelaksana pendidikan dan fasilitas penunjang yang dibutuhkan anak
didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak merasa
tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Anak lebih memilih
membolos dan berkeluyuran pada saat seharusnya ia berada didalam
kelas. Sebaliknya, sikap guru yang terlampau lemah dan membiarkan
anak didiknya tidak disiplin mengakibatkan anak didik berbuat
sesuka hati dan berani melakukan tindakan-tindakan menentang
peraturan.Selain guru, fasilitas pendidikan berpengaruh pula
terhadap terjadinya gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang
mempunyai fasilitas yang dibutuhkan anak didik untuk menyalurkan
bakat dan mengisi waktu luang mengakibatkan anak menyalurkan
aktivitasnya pada hal-hal yang kurang baik. Misalnya: karena tidak
ada tempat untuk bermain, anak berkeliaran ditempat-tempat umum
sehingga kadang-kadang anak mengabaikan waktu belajarnya.5.
Lingkungan MasyarakatLingkungan tempat anak berpijak sebagai mahluk
sosial adalah masyarakat. Apakah benar tingkah laku anak dibentuk
oleh lingkungan soisalnya? Yang jelas menurut Bandura (dalam Kirk
& Gallagher, 1986), salah satu hal yang nampak mempengaruhi
pola perilaku anakdalam lingkungan sosial adalah keteladanan, yaitu
menirukan perilaku orang lain.Disamping pengaruh-pengaruh yang
bersifat positif, didalam lingkungan masyarakat juga terdapat
banyak sumber yang merupakan pengarug negative yang dapat memicu
timbulnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat yang negative
ditambah banyaknya hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan
jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Hal
ini terutama terjadi dikota-kota besar dimana tersedia berbagai
fasilitas tontonan dan hiburang yang tidak tersaring oleh budaya
local.Masuknya pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan
tradisi yang dianut masyarakat yang diterima begitu saja oleh
kalangan remaja dapat menimbulkan konflik yang sifatnya negative.
Disatu pihak para remaja menganggap bahwa kebudayaan asing itu
benar, sementara di pihak lain masyarakat masih memegang
norma-norma yang bersumber pada adat dan istiadat agama.
Selanjutnya konflik juga dapat timbul pada diri anak sendiri yang
disebabkan norma yang dianut dirumah atau keluarga ditekankan pada
tingkah laku sopan dan menghargai orang lain, akan tetapi ia
menemukan kenyataan lain dalam masyarakat dimana banyak ditemukan
tindakan kekerasan dan tidak adanya sikap saling menghargai.Selain
faktor-faktor secara umu, berikut ini coba dikemukakan faktor
penyebab secara spesifik terhadap masing-masing jenis gangguan yang
dibatasi pada pembahasan makalah ini antara lain:1. Faktor pemicu
agresivitasAgresivitas terjadi pada setiap anak, terdapat beberapa
faktor yang dapat meneyebabkannya. Faktor ini dapat berupa faktor
biologis yang berasal dari dalam diri anak (internal) maupun faktor
lingkungan yang berasal dari luar diri anak (eksternal).
Faktor-faktor biologis dapat berupa pengaruh genetik, system otak,
dan kimia darah (hormone seks). Adapun faktor-faktor eksternal yang
dapat berupa kemiskinan, kondisi lingkungan fisik yang tidak
mendukung (suhu udara yang panas, oksigen yang terbatas), dan
kecendrungan meniru model kekerasan yang ada disekitarnya, baik
melalui pengamatan langsung terhadap figure-figur model yang ada
disekitarnya maupun pengamatan tidak langsung pada figur-figur
model kekerasan ditelevisi.Selain karena faktor-faktor yang telah
diuraikan tersebut, Izzaty menguraikan bahwa perilaku agresi dapat
terpicu oleh beberapa sumber yang berasal dari dalam diri anak
maupun lingkungan sekitarnya. Namun terkadang penyebab perilaku
agresi pada anak dapat disebabkan oleh pemicu yang berkaitan dengan
kondisi perkembangan, seperti kemampuan bicara belum lancar, energi
anak yang berlebihan, perasaan yang tertekan dan terluka, serta
keinginan mencari perhatian.2. Faktor pemicu kecemasanSebagian
faktor kecemasan dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua yang
kurang tepat, terutama saat awal kehidupan anak dalam membentuk
basic trust atau kepercayaan dasar. Anak yang tidak memilki rasa
aman dan memandang dunia diluar dirinya sebagai ancaman, ia
cendrung akan lebih muda mengalami kecemasan khususnya saat
mengalami berbagai perubahan situasi dan kondisi sekitar.Beberapa
penyebab kecemasan yang dialami anak yaitu:a. Orang tua yang
terlalu melindungi (over protective)b. Orang tua signifikan others
yang tidak konsisten, yang menyebabkan anak tidak mampu memprediksi
sesuatu yang akan terjadi.c. Aturan atau disiplin yang terlalu
berlebihan, sehingga menimbulkan rasa cemas pada anak jika
melakukan kesalahan karena adanya hukuman atau sanksi yang ditakuti
anak.d. Orang tua yang selalu menuntut kesempurnaan atas prestasi
anak, membuat anak selalu merasa dituntut melakukan yang terbaik.
Hal ini dapat menimbulkan ketegangan pada pada diri anak dan
membuat anak tidak dapat rileks dalam menghadapi berbagai
sesuatu.e. Anak yang selalu mendapat penghargaan bersyarat
(conditioning regard), akan cendrung mengalami kecemasan karena
anak akan menuntut dirinya sesuai tuntutan dari lingkungan dan
membuat anak tidak dapat berekspresi apa adanya.f. Kritikan yang
berlebihan dari orang tua atau orang dewasa disekitarnya.g.
Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang dewasa yang ada
disekitarnya. Anak yang selalu tergantung pada orang lain dan tidak
dibiasakan untuk mandiri, cendrung lebih mudah mengembangkan
kecemasan karena ketidakpercayaan pada diri sendiri bahwa ia
mampu.h. Anak yang cendrung tidak banyak bersosialisasi pada orang
lain.i. Figure model dari orang tua atau significan others yang
sering menunjukkan kecemasan.j. Adanya kegagalan atau frustasi yang
terus-menerus.Sedangkan faktor pemicu kecemasan berupa takut
berlebihan atau fobia ada beberapa hal antara lain: perasaan takut
ini biasanya muncul karena adanya peristiwa atau situasi yang
dianggap berbahaya. Terdapat beberapa sumber takut yang biasa
dialami oleh individu, yaitu hewan (serangga, ngengat, dan lalat),
benda-benda yang berbahaya seperti listrik, mobil, senjata, atau
tempat-tempat tertentu.3. Faktor pemicu Temper TantrumIzzaty dalam
Riana Mashar , menyatakan bahwa beberapa ahli menyebutkan penyebab
temper tantrum yang paling umum terjadi pada anak karena beberapa
hal, yaitu frustasi, lapar, sakit, kemarahan, kecemburuan,
perubahan dalam rutinitas, serta tertekan dirumah dan disekolah.4.
Faktor pemicu Menarik Diri (Withdrawl)Terdapat beberapa penyebab
withdrawl pada anak, yaitu faktor lingkungan yang kurang member
stimulasi dan dorongan untuk bersosialisasi; serta kecendrungan
tipe kepribadian anak yang menurut Jung mengarah pada tipe
kepribadian introvert. Atau ditinjau dari disposisi emosional
berdasar cairan tubuh yang dikemukakan Hippocrates, maka anak
tersebut cendrung termasuk dalam kategori melankolis. Selain kedua
faktor tersebut, Izaty dalam Riana Mashar mengungkapkan bahwa rasa
tidak puas pada diri anak terhadap lingkungan, ketiadaan minat yang
sama, dan perbedaan usia anak dengan teman sebayanya, dapat menjadi
faktor yang menimbulkan perilaku withdrawl.5. Faktor pemicu
HipersensitivitasHipersensitivitas dapat disebabkan karena perasaan
berbeda dengan orang lain. Anak merasa dirinya tidak sepandai,
semenarik atau sepopuler anak-anak lain. Selain itu, dapat pula
disebabkkan oleh adanya harapan-harapan yang tidak realistis. Bila
anak terlalu berharap dari orang lain, secara terus-menerus mereka
akan kecewa. Hipersensitivitas berkembang sejak anak menginginkan
adanya penerimaan yang total dari orang lain, setiap pertanda
adanya penolakan akan dirasakan sangat menyakitkan. Anak yang
hipersensitif memilki harapan yang tinggi bahwa orang lain akan
selau bersikap manis dan selalu memahami kebutuhan-kebutuhannya.
Kondisi tersebut biasanya terbentuk dari pola asuh dan sikap orang
tua yang overprotective dan memanjakan.6. Faktor pemicu Bunuh
DiriHidayat dalam Riana Mashar , menyatakan bahwa bunuh diri adalah
tindakan merusak diri sendiri yang mengakibatkan kematian. Bunuh
dari pada anak-anak umumnya disebabkan implusivitas dank karena
kekacauan dalam kelaurga. Menurut Sigmund Freund, bunuh diri pada
penderita kesedihan dan depresi ada hubungannya dengan agresi.
Kehilangan objek cinta menyebabkan agresi terhadap objek yang
hilang ini, kemudian berbalik pada diri sendiri (introspeksi).
Adapun pada penderita psikotik bunuh diri dapat berhubungan dengan
halusinasi atau waham yang diderita. Orang yang menderita kesulitan
hidup (terbelit utang) dan melakukan tindakan bunuh diri dapat
dijelaskan dengan menggunakan teori Nico Speijer, yang menyatakan
bahwa pada kejadian bunuh diri terdapat agresi hebat yang tidak
dapat disalurkan atau disublimasikan. Agresi timbul setelah orang
mengalami frustasi, misalnya karena tidak mampu membayar utang,
kehilangan harga diri, menyatakan bahwa integrasi sosial dan
regulasi sosial dapat mempengaruhi perilaku bunuh diri disuatu
masyarakat.D. Upaya Intervensi Gangguan Perkembangan Sosial dan
Emosional Anak Usia DiniSebelum melakukan intervensi, seperti yang
telah diketahui bahwa langkah awal adalah melakukan asesmen dahulu
sebagai bentuk deteksi dini pada kondisi anak agar dapat memastikan
jenis gangguan dan kondisi tingkat gangguan yang terjadi pada anak.
Dengan demikian, baik orangtua maupun guru dapat memberikan
intervensi atau penanganan atau tindakan yang tepat untuk
menghadapi anak yang mengalami gangguan sosial dan
emosional.Beberapa penanganan yang dapat dilakukan oleh orang
dewasa sebagai bentuk intervensi pada anak usia dini yang mengalami
gangguan sosial emosional tertentu seperti di bawah ini:1.
Agresivitas (salah satu bentuk ketunalarasan)Riana Mashar
mengatakan bahwa agresivitas pada anak usia dini yang tidak
ditangani dengan baik akan berpeluang besar menjadi perilaku yang
menetap dan menimbulkan masalah baru di masa perkembangan
selanjutnya. Berbagai perilaku antisosial, kenakalan remaja, putus
sekolah, perilaku-perilaku negatif lain dapat terjadi karena
agretivitas masa usia dini tidak tertangani dengan baik.Mengingat
pentingnya penanganan agretivitas sejak dini, maka orang tua dan
pendidik perlu memerhatikan beberapa perlakuan awal bagi anak
dengan perilaku agresi sebgaai berikut :1. Mengajarkan semua anak
tentang keterampilan sosila untuk berhubungan dengan orang lain.2.
Menciptakan lingkungan sekolah yang menekan tingkat frustasi atau
tekanan pada anak, sehingga lebih memberi keleluasaan anak dalam
beraktifitas selama proses pembelajaran, misalnya dengan penerapan
pembelajaran aktif.3. Anak yang berprilaku agresif dapat diatasi
dengan menerapkan peraturan yang disertai dengan pemberian penguat
atau positive reinforcement dan negative reinforcement.4. Orang tua
dan pendidik dapat pula menerapkan tekhnik penghapusan (extinction)
atau pengabaian, yaitu dengan mengabaikan perilaku agresi anak dan
tidak menunjukkan perhatian saat anak berperilaku agresi.5. Anak
diajarkan untuk lebih mengembangkan kecerdasan emosinya, dengan
melatih anak untuk mampu mengenali emosi, mengelola emosi,
berempati, mengembangkan hubungan baik dengan teman, dan motivasi
diri. Ini semua dapat diawali dengan relaksasi diri.2.
KecemasanBanyak hal yang menjadi sumber kecemasan pada anak,
beberapa penyebab kecemasan sebagaimana dipaparkan oleh Riana
Mashar yang dialami anak yaitu:1. Orang tua yang terlalu melindungi
( over protective)2. Orang tua atau siginificant others yang tidak
konsisten, yang menyebabkan anak tidak mampu memprediksi sesuatu
yang akan terjadi3. Aturan atau disiplin yang terlalu berlebihan,
sehingga menimbulkan rasa cemas pada anak jika melakukan kesalahan
karena ada hukuman dan sangsi yang ditakuti anak.4. Orangtua selalu
menuntut kesempurnaan atas prestasi anak, membuat anak selalu
merasa dituntut melakukan yang terbaik. Hal ini dapat menimbulkan
ketegangan pada diri anak dan membuat anak tidak dapat relaks dalam
menghadapi berbagai sesuatu.5. Anak yang selau mendapat penghargaan
bersyarat (conditioning regard), akan cenderung mengalami kecemasan
karena anak akan menuntut dirinya sesuai tuntutan dari lingkungan
dan membuat anak tidak dapat berekspresi apa adanya.6. Kritikan
yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa di sekitarnya.7.
Ketergantungan yang berlebihan pada orang dewasa yang ada di
sekitarnya .anak yang selalu tergantung pada orang lain dan tidak
dibiasakan untuk mandiri, cenderung lebih mudah mengembangkan
kecemasan karena ketidak percayaan kepada diri sendiri bahwa dia
mampu.8. Anak yang cenderung tidak banyak bersosialisasi dengan
orang lain.9. Figure model dari orang tua atau significan others
yang sering menunjukkan kecemasan.10. Adanya kegagalan atau
frustasi yang terus menerus.Penanganan kecemasan pada anak harus
didahului dengan penanganan terhadap orang tua. Beberapa cara yang
dapat ditempuh untuk menangani kecemasan pada anak adalah sebagai
berikut:1. Mencari sumber yang mebuat anak cemas2. Memberikan rasa
aman pada anak dengan menunujukkan sikap yang tenang, menerima
keadaan anak, dan tidak menambah beban psikologis pada anak dengan
mengancam, menakut-nakuti, atau memarahi anak.3. Membantu anak
mengatasi rasa cemasnya misalnya dengan menerapkan tekhnik
desentitasi sistematis, yaitu cara bertahap membantu anak sedikit
demi sedikit mengurangi kecemasannya secara bertahap.4. Mengalihkan
anak dari sumber rasa cemas dengan melatih anak untuk relaksasi
atau melakukan kegiatan-kegiatan lain yang menarik.5. Melakukan
hal-hal yang menenangkan, seperti mendengarkan music, cerita, atau
menggambar.6. Mengajak anak berbicara tentang sumber kecemasan yang
dialami dengan kata-kata yang menenangkan dan membuat ia merasa
nyaman.7. Membiasakan anak terbuka dan mampu mengekspresikan
perasaannya.8. Meminta bantuan ahli jika kecemasan anak
berlarut-larut.Selain itu Rini Hildayani mengatakan bahwa terdapat
beberapa bentuk kecemasan, yaitu fobia, fobia merupaka ketakutan
yang tidak realistik, intens dan mengganggu terhadap obyek atau
peristiwa yang relative tidak berbahaya. Penyebab fobia masih belum
diketahui secara pasti, apakah suatu stimulus akan mendatangkan
ketakutan tergantung pada perasaan aman yang dimiliki anak.
Perasaan aman ini sering dipengaruhi asing tidaknya setting fisik
dan sosial bagi anak, tingkat perkembangan kognitif yang menentukan
apkah sebuah peristiwa akan dikelompokkan sebagai suatu yang cukup
dikenal atau asing bagi anak, keadaan kesejahteraan anak dan
karakteristik temperamental jangka panjang, seperti kuat dan tabah
atau sensitive dan mudah merasa takut. Dalam penanganan fobia
adalah anda menjadi model yang baik bagi anak. Dengan modeling,
anak mengamati bagaimana anda berinteraksi secara adaptif dengan
objek yang ditakutinya. Hal lain yang juga dapat dilakukan adalah
juga participatory modeling, artnya anak bergabung dengan model
untuk mendekati, mengamati objek yang ditakutinya secara bertahap
dan perlahan.Salah satu ketakutan yang umum terjadi pada anak anak
adalah ketakutan pada sekolah atau biasa disebut fobia sekolah.
meskipun belum ditemukan adanya alas an yang jelas untuk terjadinya
serngan fobia, King, Hamilton, dan Ollendick. Wenar mengemukakan
bahwa perubahan sekolah, penyakit atau kematian orang tua, serta
kondisi yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah akibat sakit
atau kecelakaan dapat menjadi peristiwa-peristiwa umum yang
menyebabkan anak fobia terhadap sekolah. Selain itu sebuah
penelitian kecil tentang keluarga juga menemukan bahwa fobia
sekolah dapat terjadi pada anak-anak yang sangat dependen dan orang
tua yang terlibat secara berlebihan.Dalam penanganan fobia sekolah
ini Kearney dan Silverman mengemukaan bahwa penanganannya harus
disesuaikan dengan ketakutan yang dialami anak. Anak yang mengalami
ketakutan pada setting sekolah tertentu, misalnya guru, atau bis
sekolah, dapat ditangani dengan cara menghadirkan secara
perlahan-lahan objek yang ditakutinya. Anak yang ingin melepaskan
diri dari situasi sosial yang tidak menyenangkan misalnya hubungan
dengan teman yang tidak menyenangkan, ditanganani dengan tekhnik
modeling dan restrukturisasi kognitif. Adapun anak-anak yang
memperlihatkan keluhan fisik tetap ditempatkan di rumah dan
penanganan dilakukan dengan menginstruksikan orangtua untuk
mengabaikan anak, menempatkan anak di dalam kamar, dan memberi
pilihan pada anak untuk tinggal di rumah dengan konsekwensi
tertentu ( misalnya tidak diperkenankan menonton tv , tidak boleh
bermain dan lainnya) atau hadir di sekolah.Takut berlebihan atau
disebut juga fobia yang merupakan bagian dari kecemasan atau
anxietas. Perasaan takut yang berlebihan pada anak akan menghambat
anak dalam beraktifitas, sehingga perlu penanganan secara tepat.
Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketakutan yang
berlebihan pada anak antara lain :a. Mengidentifikasi ketakutan
anak dan tidak membebani anak dengan kecemasan-kecemasan yang
dirasakan oleh pendidik atau orang tuab. Memberi pengertian kepada
anak tentang sumber rasa takut dan jika memungkinkan menerapkan
prinsip desentisasi sistematis, yaitu tekhnik perubahan tingkah
laku dengan pembiasaan-pembiasaan terhadap sumber rasa takut secara
bertahap.c. Memberi antisipasi kepada anak dengan melatih mereka
untuk secara mandiri mampu mengatasi rasa takutnya, misalnya dengan
mengajak anak berinteraksi dan mengamati hal-hal yang menimbulkan
rasa takut.d. Memberi figure model agar ditiru anak untuk mengatasi
rasa takut.3. Temper TantrumAda beberapa cara sederhana dalam
menghadapi perilaku tantrum yang ditunjukkan oleh anak prasekolah
adalah mencoba mengerti dan memahami jenis tantrum yang dihadapi.
Sebagaimana diketahui bahwa ada 3 jenis Tantrum, setiap jenis
tantrm membutuhkan penanganan yang berbeda-beda.d. Penanganan
Manipulative TantrumBila anak menunjukkan manipulative tantrum maka
yang harus dilakukan adalah mengabaikan (ignorin) perilaku temper
tantrum anak dan tidak mempedulikan keinginan anak pada saat itu.
Jangan memperhatikan perilaku tantrum yang ditunjukkan aak. Cobalah
untuk melihat kea rah anak, dan tetap dengan tenang melakukan
pekerjaan anda yang lain.Tentu saja adalah hal yang sulit untuk
member perhatian pada anak yang sedang berteriak-teriak terutama di
dalam kelas dengan banyak siswa lain. Sedapat mungkin pisahkan anak
dari teman-temannya. Pindahkan anak pada tempat yang lebih tenang,
misalnya dipojokan atau ruangan lain yang anda pastikan
keamanannya. Katakan pada anak, kamu dapat kembali bergabung dengan
kami, bila kamu mengendalikan kemarahanmu atau untuk sementara kamu
diam dulu di ruangan ini sampai kamu bisa berhenti berteriak-teriak
seperti itu mintalah agar anak lain tidak mengacuhkan perilaku
temannya itu, katakana pada mereka bahwa si Dodi sedang dihukum
karena ibu guru tidak suka ada anak yang berteriak-teriak di dalam
kelas. Biar Dodi menghentikan teriakannya itu, dan kita tetap
belajar dengan baik. Tidak perlu memperhatikan dodi, sekarang
perhatikan ibu..Cara di atas biasa disebut sebagai model time out.
Time out merupakan salah satu cara termasuk dalam reducing excess
behavior. Hal ini berarti prosedur time out dapat digunakan untuk
menurunkan/mengurangi tingkah laku berlebihan yang ditunjukkan
seorang anak ketika ia melakukan temper tantrum. Seperti
dikemukakan oleh Tyler & Brown (1967 dalam Gelfand &
Hartmann, 1975) bahwa time out biasa digunakan untuk mengurangi
munculnya perilaku agresif dan tantrum pada anak.Time out artinya
memasukkan anak pada situasi dimana semua orang tidak ada yang
mempedulikannya. Time out diarahkan pada tingkah laku specific
(target perilaku yang tidak dikehendaki), dimana ketika perilaku
tersebut muncul, tidak diberikan /disediakan postif reinforcement
selama waktu tertentu. Dengan kata lain selama time out, anak
dijauhkan dari segala bentuk positif reinforcement yang biasa
diperolehnya.e. Menangani verbal frustration tantrumUntuk menangani
tantrum jenis kedua ini kita tidak dapat begitu saja mengacuhkan
perilaku tantrum anak, jangan membiarkan atau meningggalkan anak
karena hanya membuat anak semakin kecewa dan frustasi. Jika hal itu
terjadi di sekolah, bisa saja mengamuknya kemudia dialihkan ke
rumah karena masalah utamanya tidak terselesaikan.Maka yang harus
dilakukan adalah membantu anak mengenali apa yang dirasakan,
kemudian membantunya memecahkan masalahnya.Kebanyakan anak
melakukan tantrum karena anak tidak dapat menunjukkan atau
menjelaskan perasaan dan keinginannya melaui kata-kata. Cobalah
menunjukkan bahwa anda memahami keadaan anak. Dorong anak untuk
mengungkapkan dengan verbal perasaan dan keinginannya. Bila halini
sulit bagi anak, cobalah dengan kata-kata anda untuk mengartikan
perasaan dan keinginan anak melalui kata-kata hal ini akan membantu
mereka untuk memahami frustasi yang mereka rasakan.f. Menangani
Temperramental TantrumPenanganan pada tantrum jenis ketiga ini
hampir sama seperti pada verbal frustration tantrum dimana mereka
mengacuhkan perilaku tantrumnya maka hal ini tidak menyelesaikan
masalah. Dikarenakan anak sulit untuk dapat melakukan koktrol
terhadap dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Pada tantrum
jenis ini adakalanya anda membutuhkan ahli untuk
menanganinya.Berikutnya adalah mencatat hal-hal yang menjadi sumber
terjadinya tantrum. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi hal yang
dapat memunculkan perilaku tantrum. Hal yang umum memicu terjadi
tantrum adalah kondisi-kondisi seperti: anak sedang merasa lelah,
lapar atau tertekan oleh hal-hal tertentu.a. Mengendalikan
diriAdakalanya dalam menghadapi anak yang sedang tantrum, guru
terpancing secara emosial. Tetaplah bersikap tenang, tampilkan
sikap penghargaan pada anak tersebut, karena jika kita cenderung
bersikap emosi pula justru semakin memicu temper tantrum pada
anak.b. Hindari argumentasi dan penjelasan tindakan pada saat anak
sedang tantrumAnak yang sedang berada pada periode tantrum
tertinggi tidak dapat mendengar apa yang dikatakan pada mereka,
mereka sangat ketakutan bahkan tidak dapat menghentikan tanginan
dan teriakannya sendiri (Linsdown & Walker,1996). Argument
ataupun memberi alasan tentang tindakan anda tidaklah efektif pada
kondisi tersebut.c. Menghindari RewardHendaknya tidak terpengaruh
oleh tantrum meskipun saat itu kita merasa bodoh atau bersalah.
Kita harus berani mengatakan tidak sekalipun anak menunjukkan
perilaku tantrumnya, hal ini bertujuan untuk memberikan pelajaran
pada anak bahwa tidak semua keinginan harus dan dapat dituruti.
Anak diajarkan tentang hal-hal yang menjadi prioritas, hal-hal yang
bermanfaat pada dirinya atau tidak. Selain itu juga untuk membentuk
disiplin pada anak.d. Hindari penggunaan obatJangan menggunakan
obat untuk menghentikan perilaku tantrum pada anak, walaupun obat
tersebut cepat memberikan ketenangan pada anak. melatih anak
mengelola, mengontrol emosinya akan lebih baik sekaligus memberikan
dampak positif untuk meminimalisir bahkan menghilangkan perilaku
tantrum.Perilaku temper tantrum, dapat diatasi dengan perilaku
pendidik atau orang tua yang tetap mampu mengontrol emosi dengan
menunjukkan sikap yang tenang, lemah lembut, tidak terpancing untuk
ikut marah dan tegas. Jika orang tua atau pendidik memberikan
respons atau penguat positif bagi temper tantrum anak, sangat
mungkin perilaku ini akan terus menetap dan selalu dijadikan
sebagai senjata bagi anak untuk memperoleh apa yang
diinginkan.Riana Mashar memaparkan beberapa cara dalam menghadapi
anak temper tantrum sebagai berikut :a. Pencegahan dan mengenali
kebiasaan anak, mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi
seperti apa munculnya tantrum serta mengatur pola asuh dan pola
didik yang baik bagi orang tua dan pendidik.b. Ketika tantrum
terjadi maka hendaknya dipastikan bahwa lingkungan sekitar aman,
orang tua dan pendidik harus tetap tenang dan berupaya menjaga
emosinya sendiri agar tetap tenang, tidak mengacuhkan tantrum.
Setelah anak menunjukkan penurunan perilaku tantrum, maka orang tua
dan pendidik perlu egera mendekati anak, memeluk dan memberi
ketenangan kepada anak, setelah anak tenang baru orang tua member
pengertian tentang perilaku anak tanpa menyudutkan. Sebaiknya
hindari upaya menenangkan anak dengan memberi pelukan atau
perhatian berlebihan dan menuruti kemauan anak saat mengembangkan
perilaku tantrum karena hal ini akan menjadi penguat positif untuk
perilaku negative tersebut.c. Ketika tantrum telah berlalu maka
jangan diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, atau teguran maupun
sindirian-sindiran, jangan memberi hadiah apapun, berikanlah rasa
cinta dan aman pada anak,orang tua perlu bekerja sama dengan guru
dalam melakukan evaluasi terhadap perilaku tantrum anak.4. Menarik
Diri (With Drawl)Terdapat beberapa penyebab withdrawl pada anak,
yaitu faktor lingkungan yang kurang member stimulasi dan dorongan
untuk bersosialisasi, serta kecenderungan tipe kepribadian anak
yang menurut Jung mengarah pada tipe kepribadian introvert, atau
jika ditinjau dari disposisiemosional berdasar cairan tubuh yang
dikemukakan Hippocrates, maka anak tersebut cenderung termasuk
kategori melankolis. Selain kedua faktor tersebut, Izzaty
mengungkapkan bahwa rasa tak puas diri terhadap lingkungan,
ketiadaan minat yang sama, dan perbedaan usia anak dengan teman
sebayanya, dapat menjadi faktor yang menimbulkan perilaku
withdrawl.Withdrawl perlu penanganan serius mengingat besar
pengaruh sosialisasi dengan teman sebaya terhadap perkembangan
aspek perkembangan anak. Baik Piaget, Anna Freud, maupun Vygotsky
dalam kesimpulan penelitian-penelitian mereka menyatakan bahwa
interaksi dengan teman sebaya dapat meningkatkan kemampuan
kognitif, perkembangan bahasa, moral, emosi, dan keterampilan
sosial dalam diri anak. Hal ini poerlu menjadi perhatian bagi orang
tua dan pendidkk segera member intervensi yang memadai dalam
menangani anak-anak withdrawl .Terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam penanganan withdrawl diantaranya orang tua dan
pendidik perlu mengembangkan sikap penerimaan dan penghargaan
terhadap setiap ekspresi anak, baik perasaan, ide, pernyataan, atau
ungkapan-ungkapan verbal anak. Penghargaan dari lingkungan sekitar
akan menimbulkan percaya diri dan rasa aman pada anak. Selain itu,
anak juga perlu distimulasi guna mengikuti kegiatan-kegiatan
kelompok agar anak berinteraksi dengan banyak orang. Jika
permasalahan tersebut terus berlanjut, sebaiknya orang tua segera
mengkonsultasikan anak kepada ahli yang lebih kompeten.6.
HipersensitivitasHipersensivitas dapat disebabkan karena perasaan
berbeda dengan orang lain. Anak merasa tidak sepandai, semenarik
atau sepopuler anak-anak lain. Selain itu , dapat pula disebabkan
oleh adanya harapan-harapan yang tidak realistis. Bila anak telalu
berharap dari orang lain, secara terus menerus mereka akan merasa
kecewa. Hipersensivitas berkembang sejak anak menginginkan adanya
penerimaan yang yotal dari orang lain, setiap pertanda adanya
penolakan akan dirasakan sangat menyakitkan. Anak yang
hipersensitif memiliki harapan yang tinggi bahwa orang lain akan
selalu bersikap manis dan selalu memahami kebutuhan-kebutuhannya.
Kondisi tersebut biasanya terbentuk dari pola asuh dan sikap orang
tua yang over protective dan memanjakan.Beberapa hal yang perlu
dilakukan pendidik atau orang tua dalam menangani anak
hipersensitif diantaranya :a. Menghindari sikap overprotective pada
anak.b. Perlu membiasakan anak untuk menerima masukan, kritik, dan
saran dari lingkungan sekitarc. Perlu mengajarkan pada anak untuk
memandang dirinya secara lebih proporsionald. Anak perlu dilatih
untuk memiliki keterampilan menyelesaikan masalah7. Bunuh
DiriHidayat dalam Riana Mashar menyatakan bahwa bunuh diri adalah
tindakan merusak diri sendiri yang mengakibatkan kematian . bunuh
diri pada anak umumnya disebakan impulsivitas dan kekacauan dalam
keluarga. Menurut Sigmund Freud , bunuh diri pada penderita
kesedihan dan depresi adanya hubungannya dengan agresi. Kehilangan
objek cinta menyebabkan agresi terhadap objek yang hilang ini,
kemudian berbalik kepada diri sendiri (introspeksi).Berdasar kasus
bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak, terdapat bebrapa macam
faktor pencetus yang mengakibatkan anak melakukan bunuh diri.
Hidayat, mengamati terdapat dua faktor yang menyebabkan anak
melakukan percobaan bunuh diri. Faktor pertama karena anak tidak
mempunyai keterampilan hidup menghadapi stress. Adapun faktor kedua
orang tua gagal dalam mengajarkan keterampilan hidup pada anak.
Ketidakmampuan anak dalam mengahadapi stress dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan yang ada di sekitar anak. Lingkungan yang
mempunyai masalah sosial misalnya terjadi kekerasan, persaingan
ekonomi, dapat mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga dan
kondisi psikis anak. Anak-nak yang mengalami kekerasan, kecanduan,
kemiskinan, dan pelanggaran seksual dan atau emosional memiliki
resiko lebih tinggi terhadap percobaan bunuh diri. Selain itu,
lingkungan sekolah juga berpengaruh besar pada anak. Seorang guru
yang tidak bijak dapat menyebabkan stress pada diri anak, karena
dipermalukan di depan teman-teman.Tindakan preventif pada anak usia
dini untuk menghindari tindakan bunuh diri dari beberapa kesimpulan
pemicu tindakan bunuh diri adalah sebagai berikut :a. Penanaman
kecintaan Allah sebagai Pencipta yang Maha Pengasih dan
Penyayang.b. Pengasuhan dengan kasih sayang , menumbuhkan keyakinan
diri dan kepercayaan diri pada anak, serta mengarahkan anak pada
kegiatan peningkatan kemampuan individual anak .c. Peningkatan
keterampilan hidup pada anakd. Dalam bersosialiasi dengan teman dan
lingkungan sekitarnya hendaknya anak dibekali pula keterampilan
problem solving dalam mengatasi permasalahan yang muncul dalam
interaksinya dengan teman dan lingkungannya.e. Menciptakan
lingkungan yang nyaman dan ramah anak.Hal lain sebagaimana yang
dungkapkan Maslow (Hal, 1985 ) bahwa sekolah memainkan peranan,
gangguan sosial emosional yang dialami anak secara general jika
merujuk dari teori Maslow adalah merupakan kebutuhan aktualisasi
diri yang tidak dapat dicapai disebabkan oleh berbagai
sebabnya.Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
orang tua maupun para pendidik untuk mengatasi hal tersebut :a.
Berikan kesempatan kepada setiap anak untuk mengalami setiap
kejadian dengan hidup, penuh, tidak egois. Kita hendaknya
menciptakan situasi yang memungkinkan anak berkonsentrasi dengan
pengalaman tersebut dan biarkan pengalaman itu merasuk dalam diri
anakb. Kehidupan adalah proses terus menerus dari memilih keamanan
(aman dari rasa takut dan kebutuhan untuk memepertahankan diri) dan
risiko (untuk dapat tumbuh dan berkembang) ciptakan situasi yang
dapat menolong anak emilih resiko sehingga mereka akan selalu
tumbuh dan berkembangc. Apabila anak harus selalu berfikir, jangan
terlalu banyak member petunjuk. Biarkan anak mengatakan apa yang
mereka rasakan.d. Apabila anak dalam keraguan, dorong anak untuk
dapat mengatakan sejujurnya. Apabila anak melihat dirinya sendiri
dan berlaku jujur, mereka akan bertanggung jawab.e. Biarkan anak
mendengarkan seleranya sendiri dan bersiap untuk tidak popularf.
Berikan kesempatan pada anak untuk menggunakan kepandaiannya.
Dorong anak untuk bekerja sebaik mungkin sesuai dengan apa yang
ingin mereka kerjakan.g. Ajak anak untuk mempelajari apa yang
terbaik dan terburuk dari mereka dan bantu anak untuk menyingkirkan
segala ilusi dan keyakinan palsu.h. Minta anak untuk mengenali
dirinya sendiri, apa disukai dan tidak disukai, apa yang baik dan
buruk untuk mereka, ke mana arah dan tujuan mereka selain itu, anak
juga didorong untuk mengenali pertahanan dirinya dan menemukan
kekuatan untuk mengalahkanBAB IIIPENUTUPA. KESIMPULANBerdasarkan
pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:1. Pengertian gangguan
perkembangan sosial emosional anak usia dini adalah ketidaknormalan
yang menghambat perkembangan anak usia dini kaitannya dalam
mengelola emosi, kepribadian, dan hubungan interpersonal anak
dengan orang lain.2. Jenis-jenis gangguan perkembangan sosial
emosional anak usia dini sangat banyak mengingat definisi gangguan
sosial dan emosional pun amat luas dan beragam, namun jenis
gangguan perkembangan sosial emosional pada anak usia dini dapat
dikelompokkan menjadi: tunalaras (agresivitas, mencuri, berbohong),
kecemasan (fobia), menarik diri (withdrawal), temper tantrum,
hipersensitivitas, dan bunuh diri.3. Faktor penyebab gangguan
perkembangan sosial emosional anak usia dini antara lain:
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat,
kondisi fisik, masalah perkembangan.4. Intervensi gangguan
perkembangan sosial emosional pada anak usia dini beragam
bergantung pada jenis gangguan yang dialami oleh seperti anak
tunalaras (agresivitas, mencuri, berbohong), kecemasan (fobia),
menarik diri (withdrawal), temper tantrum, hipersensitivitas, dan
bunuh diri yang pada intinya semua memerlukan kerjasama yang baik
antara orang tua, guru, dan lingkungan masayarakat.B.
SARANPerkembangan sosial dan emosional merupakan faktor yang sangat
penting dan perlu diperhatikan. Selama ini masih banyak orang tua
yang mengesampingkan perkembangan emosi anak usia dini, yang tanpa
disadari ketika hambatan perkembangan emosi terhambat maka
perkembangan sosial dapat berpengaruh.Gangguan-gangguan yang
terjadi perkembangan sosial dan emosional ini perlu mendapat
penanganan yang cukup serius. Karena, kesuksesan seseorang ternyata
80% dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan kemampuan interaksi
sosialnya.DAFTAR PUSTAKADavidson Gerald C. dkk, 2006, Psikologi
Abnormal ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)De Clerq Linda, 1997,
Tingkah Laku Abnormal ( Jakarta: PT Grasindo)Hildayani Rini, 2011,
Psikologi Perkembangan Anak ( Jakarta: Universitas
Terbuka)Hildayani Rini, 2013, Penanganan Anak Bekelainan (Anak
Dengan Kebutuhan Khusus), Jakarta: Universitas TerbukaHurlock
Elizabeth B., Perkembangan Anak Jilid 1 ( Jakarta: Erlangga,
2011)Jamaris Martini, 2010, Orientasi Baru dalam Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: Pena Mas Murni)Mashar Riana, 2011, Emosi Anak
Usia Dini Dan Strategi Pengembangannya (Kencana: Jakarta)Nevid S.
Jefery, dkk, 2003, Psikologi Abnormal, (Jakarta: Erlangga)Nugraha,
2004, Strategi pengembangan sosial emosional. (Jakarta: Universitas
terbuka)Papalia, Olds, & Feldman, Human Development, 2009,
(Perkembangan Manusia), (Jakarta: Salemba Humanika)Santrock, 2002,
Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta: Penerbit
Erlangga)Somantri Sutjiati, 2007, Psikologi Anak Luar Biasa,
(Bandung: Refika Aditama)Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
2007, Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1 , (Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI)Supratiknya A., 1995, Mengenal Perilaku Abnormal
(Yogyakarta: Kanisius)Tandry Novita, 2011, Mengenal Tahap Tumbuh
Kembang Anak Dan Masalahnya (Libri:
Jakarta)http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=47diakses pada
tanggal 9 Mei 201308JUN2013
http://primazip.wordpress.com/2013/06/08/gangguan-perkembangan-sosial-dan-emosional-anak-usia-dini/,
diunduh 20 Feb 2014
Mengenal Kecerdasan Emosional pada anak usia dini
Anak adalah aset yang amat berharga bagi orangtua sekaligus
sebagai investasi nyata di masa mendatang. Setiap anak yang
dilahirkan, telah membawa karakter dan sifatnya sendiri. Termasuk
juga telah membawa kecerdasan intelektual yang dikenal sebagai
Inteligent Question dan kecerdasan emosional yang dikenal sebagai
Emotional Question. Keduanya akan sanagat mempengaruhi kepribadian,
bahkan dapat juga mempengaruhi keberhasilan atau kegagalannya.
Orangtua bersama para pendidik dan lingkungan memiliki peran yang
sangat penting dalam membantu anak mengembangkan potensi kecerdasan
yang dimilikinya tersebut.Kapasitas kecerdasan anak dimulai sejak
usia dini. Jauh di bawah usia sekolah. Hasil penelitian Depdiknas
menyebutkan pada usia 4 tahun, kecerdasan anak mencapai 50 persen.
Sedangkan pada usia 8 tahun kapasitas kecerdasan anak yang sudah
terbangun mencapai 80 persen. Kecerdasan baru mencapai 100 persen
setelah anak berusia 18. Karena itu, pendidikan pada usia dini
sangat penting untuk membantu anak mengembangkan
kecerdasannya.Sayangnya, pendidikan usia dini justru belum banyak
mendapat perhatian banyak pihak. Hasil pendataan Depdiknas tahun
2004, baru 31,4 persen dari 11,5 juta anak usia 06 tahun yang
mendapat pendidikan. Padahal, pendidikan anak dini usia merupakan
investasi untuk menyiapkan generasi penerus yang sehat, cerdas, dan
ceria.Ada persamaan persepsi di kalangan ahli pendidikan di seluruh
dunia tentang kesiapan anak untuk belajar saat memasuki jenjang
pendidikan dini. Mereka menekankan betapa pentingya pendidikan
prasekolah. Perluasan pendidikan yang mulai digalakkan untuk
pendidikan prasekolah sudah saatnya menjadi salah satu program
pembangunan pendidikan.Berbagai penelitian juga menyimpulkan,
perkembangan yang diperoleh pada masa usia dini sangat memengaruhi
perkembangan anak pada tahap berikutnya dan meningkatkan
produktivitas kerja di masa dewasanya. Pendidikan dini bukan hanya
memiliki fungsi strategis, tetapi juga mendasar dan memiliki andil
memberi dasar kepribadian anak dalam sikap, perilaku, daya cipta
dan kreativitas, serta kecerdasan kepada calon-calon SDM masa
depan. Para ahli teori perkembangan menyebut usia dini sebagai the
golden age (masa emas). Sejak lahir anak memiliki lebih kurang 100
miliar sel otak, sel-sel saraf ini harus rutin distimulasi dan
didayagunakan agar terus berkembang jumlahnya. Pertumbuhan otak
anak ditentukan bagaimana cara orangtua mengasuh dan memberikan
makan serta memberikan stimulasi pendidikan.Dari aspek pendidikan,
stimulan dini sangat diperlukan guna memberik