BAB I PENDAHULUAN Disfungsi berkemih merupakan suatu abnormalitas pengisian atau pengosongan urinaria (vu) yang dapat disebabkan oleh aktivitas otot dinding vu yang inappropriate yaitu otot-otot yang mengontrol untuk memulai atau menghentikan aliran urin keluar dari sfingter atau otot-otot di dasar panggul, gangguan neurologis dan obat-obatan juga berkontribusi untuk terjadinya disfungsi berkemih 1. . Disfungsi berkemih merupakan masalah urinary yang paling banyak ditangani oleh dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi pada pasien-pasien rehabilitasi yang menjalani rawat inap. Masalah – masalah dalam berkemih dapat timbul sebagai akibat dari obat-obatan, perubahan kognitif, kelainan-kelainan fisik atau penyebab-penyebab neurogenik. Identifikasi perawatan dan follow up dengan tepat pada pasien dengan disfungsi berkemih merupakan hal yang penting karena disfungsi berkemih baik pada pria dan wanita dapat menyebabkan dampak yang serius pada kehidupan sehari-hari seperti dapat menyebabkan munculnya rasa malu pada pasien, mengganggu terapi, meningkatkan morbiditas dan pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan untuk berintegrasi dalam 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Disfungsi berkemih merupakan suatu abnormalitas pengisian atau pengosongan
urinaria (vu) yang dapat disebabkan oleh aktivitas otot dinding vu yang inappropriate
yaitu otot-otot yang mengontrol untuk memulai atau menghentikan aliran urin keluar
dari sfingter atau otot-otot di dasar panggul, gangguan neurologis dan obat-obatan juga
berkontribusi untuk terjadinya disfungsi berkemih1..
Disfungsi berkemih merupakan masalah urinary yang paling banyak ditangani
oleh dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi pada pasien-pasien rehabilitasi yang
menjalani rawat inap. Masalah – masalah dalam berkemih dapat timbul sebagai akibat
dari obat-obatan, perubahan kognitif, kelainan-kelainan fisik atau penyebab-penyebab
neurogenik. Identifikasi perawatan dan follow up dengan tepat pada pasien dengan
disfungsi berkemih merupakan hal yang penting karena disfungsi berkemih baik pada
pria dan wanita dapat menyebabkan dampak yang serius pada kehidupan sehari-hari
seperti dapat menyebabkan munculnya rasa malu pada pasien, mengganggu terapi,
meningkatkan morbiditas dan pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan untuk
berintegrasi dalam masyarakat dan terkurung dalam rumah atau tergantung perawatan
dirumah1,2,3.
Penatalaksanaan disfungsi berkemih harus melibatkan semua pihak, baik medis,
paramedis, pasien dan keluarganya, dimana tujuan dari penatalaksanaan disfungsi
berkemih adalah untuk mencegah komplikasi traktus urinarius bagian bawah, memelihara
traktus urinarius bagian atas dan melaksanakan program manajemen urinaria yang
realistik4.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Disfungsi berkemih merupakan suatu abnormalitas pengisian atau pengosongan
urinaria (vu) yang dapat disebabkan oleh aktivitas otot dinding vu yang inappropriate
yaitu otot-otot yang mengontrol untuk memulai atau menghentikan aliran urin keluar
dari sfingter atau otot-otot di dasar panggul, gangguan neurologis dan obat-obatan juga
berkontribusi untuk terjadinya disfungsi berkemih1.
Disfungsi berkemih dapat meliputi gejala-gejala seperti inkontinensia,
retensi ,kesulitan dalam memulai berkemih serta hilangnya sensasi untuk berkemih5.
2. ANATOMI
2.1. Traktus Urinarius Atas
Ginjal , secara anatomis terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medula ginjal.
Di dalam kortek terdapat berjuta-juta nefron sedangkan didalam medula banyak terdapat
duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus
kontortus proksimalis, tubulus kontortus distal dan duktus koligentes. Darah ynag
membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi (disaring) didalam glomeruli
kemudian di tubuli ginjal beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mangalami
reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk
urine. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi didalam glomerulus dan
menghasilkan urine 1-2 liter. Urine yang terbentuk didalam nefron disalurkan melalui
piramida ke sistem pelvikalikes ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter6.
Ureter, adalah organ berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urine
dari pielum ginjal ke dalam vu. Pada orang dewasa panjangnya kurang lebih 20cm.
Dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional , otot-otot polos
sirkuler dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan perilstatik (berkontraksi) guna
mengeluarkan urine ke vu. Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju vu, secara
2
anatomis terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya relative lebih sempit
daripada di tempat lain, sehingga batu atau benda-benda lain yang berasal dari ginjal
seringkali tersangkut ditempat ini. Tempat-tempat penyempitan ini adalah : (1) pada
perbatasan antara pelvis renalis dan ureter atau pelvi-ureter junction, (2) tempat ureter
menyilang arteri iliaca di rongga pelvis, dan (3) pada saat ureter masuk ke vu. Ureter
masuk ke vu dalam posisi miring dan berada di dalam otot vu (intramural); keadaan ini
dapat mencegah terjadinya aliran balik urine dari vu ke ureter atau refluks vesiko-ureter
pada saat vu berkontraksi6.
2.2. Traktus Urinarius Bagian Bawah
Vu adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling
beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot
sirkuler, dan yang paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa vu terdiri atas sel-sel
transisional yang sama seperti pada mukosa-mukosa pada pelvis renalis, ureter dan uretra
posterior. Pada dasar vu kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk
suatu segitiga yang disebut trigonom vu. Secara anatomis bentuk vu terdiri atas 3
permukaan, yaitu (1) permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum, (2)
dua permukaan inferiolateral, dan (3) permukaan inferiolateral dan (3) permukaan
posterior. Permukaan superior merupakan lokus minoris dinding vu. Vu berfungsi
menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam
mekanisme miksi (berkemih). Dalam menampung urine, vu mempunyai kapasitas
maksimal yang volumenya untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300-400 cc. Pada
saat kosong, vu terletak di belakang simfisis sehingga dapat dan diperkusi. Vu yang terisi
penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan menyebabkan aktivasi pusat miksi
di medula spinalis segmen sacral S2-4. Hal ini menyebabkan kontraksi otot detrusor,
terbukanya leher vu dan relaksasi uretra sehingga terjadilah proses miksi6.
3
Gambar 1. Vesica Urinaria7.
Uretra, merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari vu melalui proses
miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga menyalurkan cairan mani. Uretra
diperlengkapi dengan uretra interna yang terletak pada perbatasan vu dan uretra, serta
uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. uretra interna
terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatis sehingga saat vu penuh, ini
terbuka. uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang
dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing ini terbuka dan
tetap tertutup pada saat menahan kencing. Panjang uretra wanita kurang – lebih 3-5 cm,
sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23-25 cm. Uretra posterior pada pria terdiri
atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat dan
uretra pars membranasea6.
4
3. NEUROANATOMI
3.1. Jalur perifer
3.1.1. Serabut-serabut eferen
Eferen Otonom
- Eferen parasimpatis dari S2-S4 berjalan meleui nervus pelvicus (juga disebut nervus
splanikus/nervus erigentes) ke reseptor parasimpatis (kolinergik muskarinik M2)
didisrtribusikan di sepanjang otot detrusor (lebih banyak dibadan vu daripada
didasarnya). Stimulasi ini menyebabkan kontraksi vu (yaitu pengosongan)3,4.
- Eferen simpatis dari Th11-L2 berjalan melalui pleksus hipogastrik ke reseptor-reseptor
simpatis (α2 dan β2 adrenergik) . Stimulasi reseptor β2 berlokasi terutama pada dasar
vu menyebabkan kontraksi (yaitu penutupan) sfingter uretra internum pada saluran
keluar detrusor (otot-otot polos melingkari saluran keluar vu) meningkatkan
penyimpanan urine. Reseptor α lebih banyak terdapat pada dasar vu dan uretra
prostatika, stimulasi reseptor ini menyebabkan otot-otot polos berkontraksi sehingga
meningkatkan tahanan saluran keluar vu dan uretra prostatika3,4.
Eferen Somatis
Eferen somatis dari S2-S4 berjalan melalui nervus pudendus untuk menginervasi
otot-otot lurik sfingter uretra eksternum (EUS). EUS ditutup dengan tonus normal (untuk
mencegah pengosongan urin/kebocoran) dan terbuka secara pasif oleh dorongan aliran
urin disertai kontraksi detrusor dan otot-otot abdomen. Kontraksi yang disadari dapat
menahan urin dalam vu sampai batas waktu tertentu4.
3.2.2. Serabut Aferent
Sinyal-sinyal serabut aferen berjalan melalui nervus pudendus dan pelvikus ke
conus medularis dan melalui pleksus hipogastrik ke torakolumbal medula spinalis.
Sinyal-sinyal ini berasal dari reseptor-reseptor peregang otot detrusor, sfingter anus
eksternum dan sfingter uretra, perineum dan genetalia. Pengisian vu sampai ke suatu
tingkat ambang (tingkat awal/permulaan) mengaktifkan bagian-bagian reseptor di vu
yang mengirim impuls-impuls melalui saraf aferent (kemungkinan melalui nervus
5
pudendus/pelvicus, fisiologis secara tepatnya belum diketahui) menuju pusat miksi di
sakral untuk menstimulasi eferen parasimpatis, sehingga menghasilkan reflek kontraksi
detrusor, pembukaan sfingter dan pengosongan vu3,4.
3.2. Jalur Central (Pusat Berkemih)
Loop I (corticopontin-mesencepalic nuclei)
Berasal dari lobus parietal dan menghambat pengaruh dari pusat miksi sakral
parasimpatis (loop III) yang akan menyebabkan pengisian vu. Lesi pada loop I diatas
pusat miksi pada pontin (misalnya stroke, cedera otak traumatik, hidrocephalus, multiple
sklerosis, tumor otak dan parkinson) menyebabkan kurangnya efek penghambat kortek
serebri pada pusat miksi sakral (parasimpatis), sehingga menghasilkan ambang refluk
detrusor yang rendah (hipereflexic detrusor) dan kapasitas vu kecil. Karena pusat miksi di
pontin tetap utuh, tidak akan ada disenergia sfingter4.
Loop II (pontine-mesencepalic-sacral nuclei atau “ Pusat miksi dipontin”)
Mengkoordinasi interaksi detrusor dan sfingter yang efisien (yaitu selama
berkemih, mengkoordinasi kontraksi vu dan pembukaan sfingter) lesi setinggi pusat
miksi dipontin atau dibawahnya dan diatas medula spinalis setinggi sakral (misalnya
trauma medula spinalis, melitis transversum, multipel sklerosis yang melibatkan medula
spinalis, siringomylia dan tumor medula spinalis primer maupun metastasis) akan
menyebabkan hiperrefleksia detrusor dan disenergia sfingter detrusor sehingga
menyebabkan pola berkemih yang tidak efisien (misalnya kontraksi vu pada sfingter
yang tertutup dapat menyebabkan refluk vesikoureteral atau hidronefrosis)4.
Loop III (nuclei pelvicus dan pudendus atau “pusat miksi disakral”)
Bertanggung jawab untuk mengintegrasikan stimulus dari pusat cephalic dan
untuk memilah, mengedarkan dan memulai sensasi inhibisi dan eksitasi pada organ
tujuan. Ia juga memediasi reflek miksi parasimpatis pada sakral S2-S4 (yaitu
meregangkan otot-otot detrusor, menstimulasi eferen parasimpatis sehingga
menghasilkan reflek kontraksi detrusor dan pengosongan vu). Lesi yang melibatkan pusat
miksi disakral (contoh cedera pada conus dan cauda equina, herniasi diskus L4-5 atau L5-
S1, tumor primer atau metastasis, myelodisplasia, malformasi arteriovenosus/malformasi
6
AV, stenosis lumbal dan proses peradangan seperti arachnoiditis) atau syaraf-syaraf
perifer (contoh neuropati diabetes dan trauma pelvis) menyebabkan disinergia pada otot
detrusor dan disinergia pada interaksi sfingter eksternum sebagaimana disinergia pada
pusat miksi di sakral yang menghasilkan retensi urin (areflexic atau atonic bladder)4.
Loop IV (kortek motorik ke nekleus pudendus)
Bertanggung jawab pada kontrol volunter (kontraksi atau penghambatan) dari
sfingter uretra eksternum4.
Gambar 2. Inervasi (jalur perifer) pada vesika urinaria8.
7
4.FISIOLOGI
Fungsi urinaria (vu) normal terdiri dari 2 fase, pengisian (penyimpanan) dan
pengosongan (berkemih). Siklus berkemih normal menyebabkan vu dan uretra bekerja
bersama-sama sebagai sebuah unit yang terkoordinir untuk penyimpanan dan
pengosongan urin. Selama penyimpanan urin, vesika urinaria bertindak sebagai suatu
wadah bertekanan rendah, sedangkan sfingter mempertahankan tahanan tinggi terhadap
aliran urin untuk menjaga saluran keluar vu tertutup. Selama pengeluaran urin, vu
berkontraksi untuk mengeluarkan urin sementara sfingter urin terbuka (tahanan rendah)
sehingga aliran urin tidak terhambat dan terjadi pengosongan vu.
4.1. Fase Pengisian
Selama fase pengisian, terjadi akumulasi peningkatan volume urin sedangkan
tekanan didalam vu tetap rendah. Selama fase pengisian, tekanan didalam vu harus lebih
rendah daripada tekanan uretra. Jika tekanan vu lebih besar daripada tekanan uretra
(tahanan), dapat terjadi kebocoran urin. Pengisian vu tergantung pada sifat
viskoelastisitas intrinsik vu dan inhibisi dari saraf parasimpatis, jadi pengisian vu
terutama merupakan suatu mekanisme yang pasif.
Saraf simpatis juga memfasilitasi penyimpanan urin melalui cara-cara berikut :
- Saraf simpatis menginhibisi saraf parasimpatis yang memicu kontraksi vu
- Saraf simpatis secara langsung menyebabkan relaksasi otot detrusor
- Saraf simpatis menutup leher vu dengan mengkontraksikan sfingter uretra
internum.
Saat pengisian vu, nervus pudendus menjadi tereksitasi. Stimulasi dari nervus
pudendus menghasilkan kontraksi sfingter uretra eksternum. Kontraksi sfingter eksterna
dan interna, menjaga tekanan uretra (tahanan) lebih besar dari tekanan vu yang normal.
Kombinasi dari kedua sfingter ini dikenal sebagai mekanisme kontinensia. Tekanan
dalam vu dan uretra memainkan peranan yang penting dalam miksi yang normal. Selama
tekanan uretra lebih besar daripada tekanan pada vu, pasien dapat mempertahankan
8
kontinensia. Jika tekanan uretra abnormal rendah atau jika tekanan intravesikal abnormal
tinggi, hal ini dapat menyebabkan inkontinensia urin3,9.
4.2. Fase Pengosongan
Saat vu terisi penuh, reseptor-reseptor peregang yang berada dalam dinding vu
mengirimkan sinyal ke sacral cord. Sacral cord pada gilirannya mengirimkan pesan
kembali ke vu yang mengindikasikan bahwa inilah saatnnya untuk mengosongkan vu.
Pada titik ini, nervus pudendus menyebabkan relaksasi levator ani sehingga otot-otot
dasar panggul menjadi rileks. Nervus pudendus juga mengirimkan sinyal ke sfingter
eksternum supaya terbuka. Saraf simpatis menggirimkan pesan ke sfingter internum agar
terjadi relaksasi sfingter (sfingter membuka), yang menghasilkan tahanan uretra yang
rendah. Ketika terjadi pembukaan dan relaksasi sfingter uretra, saraf parasimpatis
memicu kontraksi detrusor. Ketika vu berkontraksi, tekanan yang dihasilkan oleh vu
melebihi tekanan pada uretra, yang menghasilkan aliran urin. Seluruh rangkaian proses
ini menyebabkan terjadinya pengosongan urin3,9.
Gambar 3. Siklus Berkemih10.
9
5. PATOFISIOLOGI
Suatu kondisi disfungsi berkemih dapat menghasilkan gejala yang berbeda, mulai
dari retensi urin akut sampai pada suatu kondisi vu overaktif atau bahkan kombinasi
keduanya. Hal ini tergantung pada sistem saraf yang terlibat, meliputi otak, pons, sacral
cord dan saraf perifer9.
5.1. Lesi di Otak
Lesi pada otak diatas pons menghancurkan pusat kendali miksi, menyebabkan
hilangnya kontrol berkemih yang komplit. Reflek-reflek berkemih pada traktus urinarius
bawah tetap utuh. Pasien menunjukkan gejala inkontinensia urgensi, atau vu yang spastik
(hiperreflek atau overaktif vu). Pengosongan vu terlalu cepat dan terlalu sering, dengan
jumlah yang secara relatif rendah dan penyimpanan urin pada vu menjadi terganggu.
Biasanya pasien dengan gangguan ini menjadi terburu-buru ke kamar mandi bahkan
mengalami kebocoran urin sebelum mencapai tujuan. Contoh lesi di otak seperti stroke,
tumor otak, parkinson3,9.
5.2. Lesi di Medula Spinalis
Penyakit atau trauma pada medula spinalis antara pons dan sacral cord juga
menghasilkan vu yang spastik atau overaktif dengan gejala inkontinensia urgensi.
Pengosongan vu terlalu cepat dan terlalu sering. Gangguan berkemih ini mirip dengan
lesi pada otak kecuali sfingter eksternal dapat mengalami kontraksi. Jika vu dan sfingter
eksterna menjadi spastik pada saat yang bersamaan, pasien dapat merasakan hasrat unutk
berkemih namun hanya sedikit urin yang dapat di keluarkan. Istilah secara medis
disinergia detrusor-sfingter karena vu dan sfingter tidak bekerja dengan sinergis3,9.
5.3. Lesi di Sacral Cord
Cedera pada sacral cord dan akar saraf yang berhubungan dengan sacral cord
dapat menghambat pengosongan vu. Jika ada sensory neurogenic bladder pada vu,
pasien tidak dapat merasakan sensasi ketika vu penuh. Pada kasus motor neurogenic
10
bladder, pasien dapat merasakan sensasi ketika vu penuh namun detrusor tidak
berkontraksi, kondisi ini dikenal sebagai arefleksia vu. Pada pasien dengan gangguan ini
memiliki kesulitan mengeluarkan urin dan pada akhirnya dapat menyebabkan
inkontinensia overflow; vu mengalami overdistensi secara bertahap sampai urin tumpah
keluar. Penyebab-penyebab lesi pada sacral cord adalah tumor sacral cord, herniasi
diskus, dan trauma pada pelvis. Kondisi ini juga dapat terjadi setelah laminektomi
lumbal, histerektomi radikal atau reseksi abdominoperineal3,9.
5.4. Lesi Perifer
Terdapat etiologi yang berbagai macam untuk lesi perifer yang dapat
menyebabkan gangguan berkemih. Penyebab paling umum adalah neuropati perifer yang
disebabkan oleh diabetes mellitus (DM). Neuropati perifer lain yang dihubungkan dengan
disfungsi berkemih meliputi alkoholisme kronis, herpes zoster, sindrom Guillain Barre,
dan pembedahan pada pelvis3,9.
Tabel 1. Pola disfungsi berkemih pada gangguan neurologis11 .
Detrusor Activity
Striated Sphincter Comments
Suprapontine Hyperreflexic Synergic
Brain tumor, cerebral palsy Detrusor-sphincter dyssynergia may occur in those with spinal cord damage; voluntary control may be impaired
Cerebrovascular accident Voluntary control may be impaired
Delayed central nervous system maturation
Persistence of uninhibited bladder beyond age 2-3 years; enuresis later
Dementia Voluntary control is impaired
Parkinson disease Detrusor contractility and voluntary control may be impaired
Pernicious anemia Bladder compliance may be decreased