1 Laporan Penelitian GAMBARAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 20 (SNOT-20) PADA PENDERITA RINOSINUSITIS DI DESA YEH EMBANG NEGARA, DESA TAMBLANG SINGARAJA DAN DESA TIHINGAN KLUNGKUNG Oleh: Putu Dian Ariyanti Putri, Sari Wulan Dwi Sutanegara Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Rinosinusitis adalah peradangan yang mengenai mukosa hidung dan sinus paranasal. Penyakit ini hingga saat ini masih merupakan tantangan di bidang THT-KL, karena berdampak besar dalam berbagai aspek antara lain aspek kualitas hidup dan aspek sosioekonomi masyarakat. Penyebabnya bermacam – macam, antara lain alergi, infeksi bakteri, virus, dan jamur, perubahan cuaca, hormonal, obat - obatan. 1 Rinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang signifikan sebagai cermin dari peningkatan frekuensi rinitis alergi dan berakibat dalam masalah keuangan yang besar untuk masyarakat. Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-nasional Questionnaire survey yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10% dari keseluruhan populasi. Prevalensi dari rinosinusitis kronis juga dilaporkan terjadi pada 16% orang dewasa di Amerika Serikat. Prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia dimana pada kelompok usia 20-29 tahun dan 50 -59 tahun mencapai 2.7% dan 6.6%. Rinosinusitis kronis lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan dengan pria. Di Indonesia prevalensi rinosinusitis kronis pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita rinosinusitis kronis. 1,2,3 Kualitas hidup merupakan konsep yang mencakup karakter fisik maupun psikologis dalam konteks sosial. Dalam dunia kedokteran kualitas hidup juga
27
Embed
GAMBARAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 20 (SNOT-20) PADA ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Laporan Penelitian
GAMBARAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 20 (SNOT-20) PADA
PENDERITA RINOSINUSITIS DI DESA YEH EMBANG NEGARA, DESA
TAMBLANG SINGARAJA DAN DESA TIHINGAN KLUNGKUNG
Oleh:
Putu Dian Ariyanti Putri, Sari Wulan Dwi Sutanegara
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher
FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Rinosinusitis adalah peradangan yang mengenai mukosa hidung dan sinus
paranasal. Penyakit ini hingga saat ini masih merupakan tantangan di bidang
THT-KL, karena berdampak besar dalam berbagai aspek antara lain aspek kualitas
hidup dan aspek sosioekonomi masyarakat. Penyebabnya bermacam – macam,
antara lain alergi, infeksi bakteri, virus, dan jamur, perubahan cuaca, hormonal,
obat - obatan.1
Rinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang signifikan sebagai
cermin dari peningkatan frekuensi rinitis alergi dan berakibat dalam masalah
keuangan yang besar untuk masyarakat. Insiden dari rinosinusitis akut
berdasarkan Multi-nasional Questionnaire survey yang dilakukan pada tahun
2011 mencapai 6-10% dari keseluruhan populasi. Prevalensi dari rinosinusitis
kronis juga dilaporkan terjadi pada 16% orang dewasa di Amerika Serikat.
Prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia dimana pada kelompok
usia 20-29 tahun dan 50 -59 tahun mencapai 2.7% dan 6.6%. Rinosinusitis kronis
lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan dengan pria. Di Indonesia
prevalensi rinosinusitis kronis pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan
perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita rinosinusitis kronis.1,2,3
Kualitas hidup merupakan konsep yang mencakup karakter fisik maupun
psikologis dalam konteks sosial. Dalam dunia kedokteran kualitas hidup juga
2
sangat terkait dengan status kesehatan. Dewasa ini aspek kualitas hidup mulai
dipertimbangkan sehubungan dengan pengambilan keputusan untuk
penatalaksanaan pasien. Adanya penilaian kualitas hidup terkait status kesehatan
berguna untuk mengetahui dampak suatu penyakit terhadap penderita dan untuk
mengevaluasi efek terapi. Rinosinusitis masih merupakan tantangan dan masalah
dalam praktik kedokteran. Rinosinusitis secara nyata menyebabkan gangguan fisik
yang cukup serius sehingga mengakibatkan penurunan kualitas hidup terkait
kesehatan. 4
Sino-Nasal Outcome Test – 20 (SNOT-20) merupakan salah satu
instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas hidup dari penderita dengan
rinosinusitis. SNOT 20 terdiri dari 20 poin yang dinilai secara personal oleh
penderita rinosinusitis. Hingga saat ini belum ada data tentang karakteristik
penderita rinosinusitis berdasarkan kuisioner SNOT-20, maka peneliti ingin
melakukan penelitian tentang gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis
berdasarkan SNOT-20.5
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah
gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis berdasarkan SNOT-20?
I.3. Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup penderita
rinosinusitis berdasarkan SNOT – 20.
I.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui karakterisktik penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang
Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung.
2. Mengetahui dampak rinosinusitis terhadap kualitas hidup penderita
rinosinusitis di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan
Desa Tihingan Klungkung.
3
I.4. Manfaat
Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tentang gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis di Desa Yeh
Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung.
Disamping itu hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan dasar strategi
manajemen penyakit secara holistik, terapi dan edukasi, sehingga diharapkan
dapat mencegah rekurensi dari penyakit ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal
Struktur hidung luar berbentuk piramida tersusun oleh sepasang tulang
hidung pada bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral.
Struktur tersebut membentuk piramid sehingga memungkinkan terjadinya aliran
udara di dalam kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka
inferior, media, superior dan meatus. Meatus merupakan ruang diantara konka.
Meatus media terletak diantara konka media dan inferior yang mempunyai peran
penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini kelompok
sinus anterior berhubungan dengan hidung.6,7
Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas lamina
perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan kolumela
membranosa. Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi
hidung dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks
ostiomeatal dan hambatan aliran sinus. Meatus inferior berada diantara konka
inferior dan rongga hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral terdapat muara
duktus nasolakrimalis. 6,7
4
Gambar 1. Penampang sagital dari hidung dan sinus paranasal.6
Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior
cabang dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum
dan dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid anterior,
sedangkan cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya mensuplai area
olfaktorius. Terdapat anastomosis diantara arteri-arteri hidung di lateral dan arteri
etmoid di daerah antero-inferior septum yang disebut pleksus Kiesselbach. Sistem
vena di hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran
infeksi menuju sinus kavernosus. Persarafan hidung terutama berasal dari cabang
oftalmikus dan cabang maksina nervus trigeminus. 6,7
Fungsi fisiologi hidung adalah penghidu, filtrasi, proteksi, humidifikasi,
penghangat udara dan resonansi suara. Saat inspirasi udara masuk ke vestibulum
dengan arah vertikal oblik dan mengalami aliran laminar. Ketika udara mencapai
nasal valve terjadi turbulen sehingga udara inspirasi langsung mengadakan kontak
dengan permukaan mukosa hidung yang luas. Aliran turbulen tersebut tidak hanya
meningkatkan fungsi penghangat dan humidifikasi tetapi juga fungsi proteksi. 6,7
Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus
etmoid, sinus sfenoid dan sinus frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel
respiratorius pseudostratified yang terdiri atas empat jenis sel yaitu sel kolumnar
bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel basal. Membran
mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium sinus dan bergabung
5
dengan sekret dari hidung. Jumlah silia makin bertambah saat mendekati ostium.
Ostium adalah celah alamiah tempat sinus mengalirkan drainasenya ke hidung.7
Secara klinis berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding
lateral hidung, sinus dibagi menjadi kelompok sinus anterior dan posterior.
Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila dan etmoid anterior
yang bermuara ke dalam atau dekat infundibulum. Kelompok sinus posterior
terdiri dari etmoid posterior dan sinus sfenoid yang bermuara di atas konka media.
Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan sebagai
pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme yaitu terbukanya
kompleks osteomeatal, transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal.8
Gambar 2. Penampang Koronal 4 pasang sinus paranasal. 6
Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase
kelompok sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur
semilunaris, infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus
frontal. KOM bukan merupakan struktur anatomi tetapi merupakan suatu jalur
yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang inflamasi atau massa yang
akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis silia dan terjadi infeksi sinus.6,7,9
6
Gambar 3. Kompleks ostiomeatal (KOM), potongan koronal.6
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus paranasal
terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila dan palatum
durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina. Gigi premolar kedua,
gigi molar pertama dam kedua tumbuh dekat dengan dasar sinus dan hanya
dipisahkan oleh membran mukosa, sehingga proses supuratif di sekitar gigi
tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus. Silia sinus maksila membawa mukus
dan debris langsung ke ostium alamiah di meatus media. Perdarahan sinus maksila
dilayani oleh cabang a.maksila interna yaitu a.infraorbita, a.sfenopalatina cabang
nasal lateral, a.palatina descendens, a.alveolar superior anterior dan posterior.
Inervasi mukosa sinus maksila dilayani oleh cabang nasal lateroposterior dan
cabang alveolar superior n. infraorbital.6,7
Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel etmoid
anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal. Perdarahan
dilayani oleh cabang supratroklear dan suborbital a. oftalmika, sedangkan vena
dialirkan ke sinus kavernosus. Inervasi mukosa dilayani oleh cabang
supratrokhlear dan supraorita n. V1. 6,7
Sinus etmoid terdiri dari sel etmoid anterior yang bermuara ke
infundibulum di meatus media dan sel etmoid posterior yang bermuara ke meatus
superior. Cabang nasal a.sfenopalatina dan a.etmoid anterior dan posterior, cabang
a.oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus etmoid dan aliran venanya
menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh cabang nasal posterior nervus V2
dan cabang etmoid anterior dan posterior nervus V1. 6,7
7
Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan
yaitu pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak dekat dengan sinus ini
yaitu n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons serebri di
posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis
superior, a.karotis dan beberapa serabut nervus kranialis. Perdarahan dilayani oleh
cabang a.sfenopalatina dan a.etmoid posterior. Inervasinya dipersarafi oleh cabang
etmoid posterior nervus V1 dan cabang sfenopalatina nervus V2. 6,7
Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus paranasalis adalah
patensi KOM, fungsi transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal.
Patensi KOM memiliki peranan yang penting sebagai tempat drainase mukus dan
debris serta memelihara tekanan oksigen dalam keadaan normal sehingga
mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor transport mukosiliar sangat tergantung pada
karakteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi
mukus juga bergantung kepada volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat
mempengaruhi transport mukosiliar.5,6
2.2. Definisi dan Epidemiologi Rinosinusitis
Rinosinusitis adalah proses inflamasi yang mengenai mukosa hidung dan
sinus paranasal. Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan dari
mukosa hidung, sehingga sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis dan
gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta hiposmia dijumpai pada rinitis maupun
sinusitis. 10,11
Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-nasional Questionnaire
survey yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10% dari keseluruhan
populasi. Prevalensi dari rinosinusitis kronis juga dilaporkan terjadi pada 16%
orang dewasa di Amerika Serikat. Prevalensi meningkat seiring dengan
peningkatan usia dimana pada kelompok usia 20-29 tahun dan 50 -59 tahun
mencapai 2.7% dan 6.6%. Rinosinusitis kronis lebih sering dijumpai pada wanita
dibandingkan dengan pria. Di Indonesia prevalensi rinosinusitis kronis pada tahun
2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk
menderita rinosinusitis kronis.1,2,3
8
2.3. Etiologi Rinosinusitis
Umumnya penyebab sinusitis adalah rinogenik yang merupakan perluasan
infeksi dari hidung dan dentogenik yang berasal dari infeksi pada gigi. Infeksi
pada sinus paranasal dapat disebabkan oleh interaksi dari beberapa etiologi seperti
faktor mikrobial, lingkungan, dan faktor host yang terdiri dari gangguan anatomi,
genetik fisiologi dan imunitas.11
2. 4. Patogenesis Rinosinusitis
Patogenesis sinus dipengaruhi oleh patensi dari ostium-ostium sinus dan
kelancaran pembersihan mukosiliar di dalam kompleks osteomeatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi mikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk ke saluran pernafasan.
Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan, edema atau polip maka
hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis. Bila ada
kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi
konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga
memperberat gangguan yang ditimbulkannya.10,11
Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM,
berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini
berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat
lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih. Apabila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak
dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan drainase dan
ventilasi sinus maksila dan frontal. Gangguan ventilasi akan menyebabkan
penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi
menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman
patogen. Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi
dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine,
proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lain-
lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan
akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukus
9
dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi
inflamasi akan kembali terjadi.10,11
Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya
sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir,
sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik. Bakteri juga akan memproduksi
toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan
menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan kista. Kuman didalam sinus
dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup ataupun merupakan
kuman komensal didalam rongga sinus. Virus dan bakteri yang masuk kedalam
mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel
polimorfonuklear, sel mast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat
kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan
vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan
terjadilah udema di submukosa. Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi
pada peradangan rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan
sistemik.10,11
Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, edema atau hipertrofi
konka, rinitis alergi, rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan
sebagainya. Faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi antara lain infeksi
saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM
yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar. 10,11
2. 5. Gejala dan Tanda Klinis
Berdasarkan anamnesis, penderita biasanya mengeluh adanya nyeri
terutama pada daerah sinus yang terkena disertai dengan sakit kepala, hidung
buntu, hidung berair atau gangguan penghidu. Keluhan lain yang antara lain
adanya rasa dahak di tenggorok, nyeri gigi, nafas berbau, nyeri telinga atau telinga
terasa penuh, nyeri pada gigi dan demam. 1,10,11
Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat terjadinya edema atau perubahan
warna pada daerah disekitar wajah. Bila terdapat sinusitis pada saat di palpasi
maka bagian disekitar pipi dan sekitar mata akan terasa sakit. Pemeriksaan
10
intraoral dilakukan untuk mengevaluasi keadaan gigi, dimana gigi yang terjadi
ganggren atau karies dapat menjadi penyebab terjadinya sinusitis dentogen. 10,11
Rinoskopi anterior dilakukan utnuk mengevaluasi keadaan mukosa
hidung, menilai adakah inflamasi, sekret pada mukosa hidung dan meatus media,
deformitas atau deviasi pada septum. 10,11
2. 6. Pemeriksaan Penunjang
Transluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai
untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan
radiologik tidak tersedia. Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain
Waters, PA dan Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto
rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema
permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan edema tampak
seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus. Pembengkakan
permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris antrum maksila
biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah periodontal. Jika
cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya air fluid
level pada foto dengan posisi tegak. 10,11
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada
penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-
Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal,
rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita,
lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek
osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas. 10,11
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan
sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk
digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.
Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi
Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid,
11
Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 :