1 E. Perilaku Ekonomi dan Pola Konsumsi Perilaku Konsumen (consumer behavior) didefinisikan sebagai studi tentang unit pembelian (buying units) dan proses pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumsi dan pembuangan barang, jasa, pengalaman serta ide-ide. Definisi yang sederhana ini mengandung sejumlah konsep penting. Deliarnov (1997; 131-133) menjelaskan pola perilaku orang terikat dengan masyarakat sekeliling, dan orang dalam tingkah lakunya berusaha ikut menunjang terhadap perkembangan masyarakat. Orang berusaha menghindari perbuatan yang akan merugikan orang banyak. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang dalam masyarakat kapitalis finansil di Amerika ialah orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri saja, dan tiidak terlalu tertarik dengan kepentingan masyarakat banyak.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
E. Perilaku Ekonomi dan Pola Konsumsi
Perilaku Konsumen (consumer behavior) didefinisikan sebagai studi
tentang unit pembelian (buying units) dan proses pertukaran yang
melibatkan perolehan, konsumsi dan pembuangan barang, jasa,
pengalaman serta ide-ide. Definisi yang sederhana ini mengandung
sejumlah konsep penting.
Deliarnov (1997; 131-133) menjelaskan pola perilaku orang terikat
dengan masyarakat sekeliling, dan orang dalam tingkah lakunya berusaha
ikut menunjang terhadap perkembangan masyarakat. Orang berusaha
menghindari perbuatan yang akan merugikan orang banyak. Tetapi apa yang
dilihatnya sekarang dalam masyarakat kapitalis finansil di Amerika ialah
orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri saja, dan tiidak terlalu
tertarik dengan kepentingan masyarakat banyak.
Berarti hal yang diperhatikan sekarang hanya uang, orang tidak peduli
apakah perilaku ekonominya merugikan orang lain atau tidak. Orang
berlomba-lomba mencari dan memperebutkan harta tanpa peduli akan cara.
Hal ini disebabkan anggapan bahwa hanya harta yang mampu menaikkan
status, harga diri atau gensi seseorang dalam masyarakat.
Jika harta telah terkumpul, orang yang punya banyak waktu untuk
bersenang-senang (leisure). Dengan demikian pada masa sekarang
2
kemampuan untuk hidup bersenang-senang juga dijadikan sebagai alat
untuk memperlihatkan derajat atau status seseorang. Makin mampu ia tidak
bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan produktif (leisure), makin tinggi derajat
dalam masyarakat. Penyakit seperti ini banyak menghinggapi kaum wanita,
dimana mereka memakai gaun mode mutakhir hanya sekedar untuk
mengumumkan pada orang-orang bahwa ia absen dari pekerjaan produktif.
Penyakit suka pamer ini menurut Veblen cepat berjangkit dalam
masyarakat. Dalam hal ini ia memberi contoh, kalau seorang boss berlibur
selama sebulan menggunakan yacht pribadi ke Bermuda, maka
sekertarisnya dengan segala upaya (mungkin dengan menghabiskan seluruh
tabungannya selama setahun) berusaha agar dapat berlayar selama
seminggu ke Karibia. Kecendrungan perilaku konsumsi seperti ini disebut
Veblen dengan istilah Conspicious consumption, yaitu konsumsi barang-
barang dan jasa-jasa yang bersifat ostentatious (pamer, melagak), yang
dimaksudkan membuat orang kagum. Sebagaimana diungkapkan oleh
Veblen : “Conspicious consumption of value goods is a means of reputability
to the gentlement of leisure”.
Yang jadi incaran konsumsi bagi masyarakat leisure ini terutama
barang-barang sangat mahal, tidak peduli apakah barang itu tidak berguna
bagi kehidupan sehari-hari atau tidak. Manfaat yang diperoleh dari
pengkonsumsian barang-barang mahal tersebut memang tidak diperoleh dari
3
barang itu sendiri, tetapi lewat dampaknya melalui orang lain. Apa yang
dikatakan Veblen tentang perilaku konsumsi bermewah-mewahan di atas,
yang faedahnya tidak diperoleh langsung dari konsumsi barang itu sendiri,
melainkan dari dampaknya terhadap orang lain, Duesenberry
mengembangkan lebih lanjut yang dikenal dengan istilah demonstrations
effects.
Bagi Veblen gambaran di atas sungguh terbalik dengan tesis kaum
Klasik dan Neo-Klasik yang mengatakan bahwa orang akan selalu memilih
alternatif konsumsi terbaik untuk memperoleh kepuasan sebesar-besarnya.
Perilaku tersebut juga bertentangan dengan anggapan kaum Klasik bahwa
tiap keputusan konsumen didasarkan pada rasio, bukan emosi.
Menurut pandangan Veblen orang yang membeli sesuatu barang
yang melebihi proporsi yang wajar jelas tidak rasional, dan yang lebih para
lagi, kadang-kadang tingkah laku konsumsi mereka seperti orang “norak” Hal
seperti ini sering terjadi pada golongan nouve riche, atau di Indonesia
dikenal dengan istilah Orang Kaya Baru (OKB). Golongan ini umumnya
berasal dari orang miskin yang kemudian berhasil meningkatkan status
finansilnya, karena kurang terbiasa dengan pola hidup orang-orang kaya,
maka perilaku konsumsinya menjadi seperti tidak wajar.
4
Veblen melihat bahwa perilaku conspicous consumption, dan
pecuniary emulation semakin menggejala dalam masyarakat kapitalis finansil
liberal Amerika.
Aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam memahami
perilaku konsumen menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1995 ;3) sebagai
tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan
menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang
mendahului dan menyusuli tindakan ini. Perilaku konsumen memiliki
kepentingan khusus bagi orang yang karena pelbagai alasan, berhasrat
mempengaruhi atau mengubah perilaku itu, termasuk mereka yang
kepentingan utamanya adalah pemasaran, pendidikan dan perlindungan
konsumen, serta kebijaksanaan umum.
Schiffman dan Kanuk (1994 ; 7) “The term consumer behavior refers
to the behavior that consumers display in searching for, purchasing, using,
evaluating, and disposing of products and services that they expect will
satisfy their needs”.
Istilah perilaku konsumen diartikan sebagai perilaku yang diperlihatkan
konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan
menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan akan memuaskan
kebutuhan mereka.
5
Sedangkan Engel, Blackwell dan Miniard (1993 ; 4) mengartikannya
sebagai “We define consumer behavior as those activities directly involved
in obtaining, consuming, and disposing, of products and services, including
the decision processes that precede and follow these action”.” Kami
mendifinisikan perilaku konsumen sebagai suatu tindakan yang langsung
terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan
jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan
ini.”
Perilaku konsumen pada hakikatnya untuk memahami “why
consumers do what they do”. Perilaku konsumen adalah semua kegiatan,
tindakan, proses membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa
setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan yang mengevaluasi. Studi
perilaku konsumen adalah suatu studi mengenai bagaimana seorang
individu membuat keputusan untuk mengalokasikan sumberdaya yang
tersedia (waktu, uang, usaha, dan energi).
Secara sederhana , studi perilaku konsumen meliputi hal-hal sebagai berikut:
Apa yang dibeli konsumen ?(what they buy ?), mengapa konsumen
membelinya? (why they buy it ?), kapan mereka membelinya? (when they
buy it ?), di mana mereka membelinya ? (where they buy it ?), berapa sering
mereka membelinya ? (how aften they buy it?), dan berapa sering mereka
menggunakannya ? (how often they use it ?).
6
Proses keputusan konsumen dalam membeli atau mengkonsumsi
produk dan jasa akan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu ; (a) kegiatan
pemasaran yang dilakukan oleh produsen dan lembaga lainnya, (b) faktor
perbedaan individu konsumen (c) faktor lingkungan konsumen. Proses
keputusan konsumen akan terdiri atas tahap pengenalan kebutuhan,
pencarian informasi, evaluasi alternatif pembelian, dan keputusan
konsumen. Pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan konsumen akan memberikan pengetahuan kepada pemasar
bagaimana menyusun strategi dan komunikasi pemasaran yang lebih baik
(Sumarwan. 2003 ; 32 –33).
Ketika seseorang lapar atau haus, maka ia akan segera mencari
makanan atau minuman untuk menghilangkan rasa lapar dan haus tersebut.
Rasa lapar dan haus mendorong seseorang untuk mencari makanan dan
minuman. Dorongan tersebut disebut motivasi.
Schifman dan Kanut (2000 ;63) mendefinisak motivasi “Motivation can be described as driving force within individuals that impels them to action. This driving force is produced by state of tension, which exists as tehe rresult of an unfulfilled needs”
Solomon (1999 ; 104) mendefinisikan “Mitivation refers to the processes that cause people to behave as they do, It occurs whwn a need is aroused that the consumer wishes to satisfy. Once a need has been activated, a state of tension exists that drives the consumer to attempt to reduce or elminate the need”.
Mowen dan Minor (1998 ; 160) mendifinisikan “Motivation refers to an activated statate within a person that leads to goal-directed behavior, It
7
consists of the drives, urges, wishes, or desires that initeate the sequence of events leading to a behavior”.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi
muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen.
Kebutuhan sendiri muncul karena konsumen merasakan ketidak nyamanan
(state of tension), antara yang seharusnya dirasakan dan yang
sesungguhnya dirasakan. Kebutuhan yang dirasakan tersebut mendorong
seseorang untuk melakukan tindakan memenuhi kebutuhan tersebut, inilan
yang disebut motivasi (Sumarwan 2000 ; 35)
Bagaimana motivasi terbentuk bisa dilihat pada gambarr 1. Stimulus
atau ransangan (misalnya rasa lapar) akan menyebabkan pengenalan
kebutuhan (need recognation). Ransangan tersebut bisa datang dari dalam
diri seseorang (kondisi fisiologis). Ransangan terjadi karena adanya gap
antara apa yang dirasakan dengan apa yang seharusnya dirasakan. Gap
inilah yang mengakibatkan adanya pengenalan kebutuhan akan makanan
dan minuman (need recornation : unfulfilled needs, wants, and desires).
8
Belajar
Dan k terpenuhi
Gambar : 2. 1 Model Motivasi Shiffman dan Kanuk
Pengenalan kebutuhan akan menyebabkan tekanan (tension) kepada
konsumen sehingga adanya dorongan pada dirinya (drive state) untuk
melakukan tindakan yang bertujuan (goal-directed behavior). Tindakan
tersebut bisa berbagai macam. Pertama, konsumen akan mencari informasi
mengenai produk, merek atau toko. Kedua konsumen mungkin akan
berbicara kepada teman atau saudara atau mendatangi toko. Ketiga
konsumen mungkin membeli produk, atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Tindakan tersebut akan menyebabkan tercapainya tujuan
konsumen atau terpenuhinyakebutuhan konsumen (goal or fulfillent) atau
Kebutuhan dan Keinginan yang tidak Terpenuhi
Tekanan Dorongan Perilaku
TujuanMemenuhiKebutuhan
ProsesKohnitif
TekananBerkurang
9
konsumen memperoleh insentif (incentive objects atau consumer incentives).
Insentif bisa berbentuk produk, jasa, informasi yang dipandang bisa
memenuhi kebutuhan konsumen. Gambar 1 memperliharkan bagaimana
proses motivasi terjadi.
Kebutuhan yang dirasakan konsumen (felt need) bisa dimunculkan
oleh faktor diri konsumen sendiri (fisiologis), misalnya rasa lapar, haus.
Kebutuhan juga bisa dimunculkan oleh faktor luar konsumen, misalnya
aroma makanan yang datang dari restoran sehingga konsumen teransang
ingin makan. Iklan dan komunikasi pemmasaran lainnya bisa
membangkitkan kebutuhan yang dirasakan konsumen. Kebutuhan yang
datang dari diri seseorang disebut sebagai kebutuhan fisiologis atau
biologis. Misalnya kebutuhan akan makanan air, udara, pakaian rumah.
Kebutuhan tersebut biasa disebut kebutuhan primer. Produk tersebut
dibutuhkan konsumen untuk mempertahankan hidupnya.
Selain kebutuhan primer ada juga kebutuhan sekunder. Kebutuhan
sekunder diciptakan adalah kebutuhan yang muncul sebagai reaksi
konsumen terhadap lingkungan dan budayanya. Kebutuhan tersebut
biasanya bersifat fsiologis karena berasal dari lingkungan konsumen .
Kebutuhan yang dirasakan sering kali dibedakan berdasarkan kepada
manfaat yang diharapkan dari pembelian dan penggunaan produk. Pertama
adalah kebutuhan ultilitarian (ultilitarian needs), yang mendorong konsumen
10
membeli produk karena manfaat fungsional dan karakteristik objektif dari
produk tersebut. Kedua adalah kebutuhan ekspresive atau hedonik
(expressive needs atau hedonic needs), yaitu kebutuhan yang bersifat
psikologis seperti rasa puas, gengsi, emosi, dan perasaan subjektif lainnya.
Kebutuhan ini sering kali muncul untuk memenuhi kebutuhan sosial dan
estetika. Seorang konsumen selalu memakai dasi ketika berada di kantor.
Dasi mungkin tidak memberikan manfaat fungsional bagi tubuh konsumen.
Dasi memberikan manfaat estetika dan tuntutan sosial.
Perilaku (tindakan) adalah berorientasi tujuan (goal-oriented
behavior). Artinya untuk memenuhi kebutuhannya, seorang konsumen harus
memiliki tujuan akan tindakannya. Tujuan adalah suatu cara untuk
memenuhi kebutuhan.
Tujuan ada karena adanya kebutuhan. Tujuan dibedakan kedalam tujuan
generik (generic goals), yaitu kategori umum dari tujuan yang dipandang
sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan.
Seorang konsumen mengatakan bahwa ia ingin memiliki rumah, maka
ia telah manyatakan tujuan generiknya. Rumah akan memberikan
perlindungan fisik dan khusus phikis kepada konsumen, yaitu kebutuhan
akan rasa aman. Kedua tujuan produk khusus (spesific produc goals), yaitu
produk atau jasa dengan merek tertentu yang dipilih oleh konsumen sebagai
tujuannya. Ketika konsumen menyatakan ingin membeli rumahdi komplek
11
Villa Duta Bogor, maka konsumen telah menyatakan spesific product goals.
Para pemasar harus memahami tujuan generik dari seorang konsumen,
kemudian mengarahkannya ke spesific product goals. Misalnya konsumen
haus ia mencari minuman (tujuan generik), maka produk minuman harus
mengarahkan konsumen dengan mengatakan jika anda haus, maka
minumlah teh sosro. Dengan pernyataan seperti ini, maka pemasar telah
mengarahkan konsumen kepada product sfesific goals (Sumarwan, 2003 ;37
–38).
Maslow dalam Sumarwan mengemukakan lima kebutuhan manusia
berdasarkan tingkat kepentigannya mulai dari yang paling rendah, yaitu
kebutuhan biologis (physiological or biogenic needs) sampai paling tinggi
yaitu kebutuhan psikogenik (psyhogenic needs). Menurut teori Maslow
manusia berusaha memenuhi kebutuhan tingkat rendahnya terlebih dahulu
sebelum memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Konsumen yang telah bisa
memenuhi kebutuhan dasarnya, maka kebutuhan lainnya yang lebih tinggi
biasanya muncul dan begitulah seterusnya. Model hirarki kebutuhan
Maslow dapat dilihat pada gambar 2 berikut ;
12
Aktualisasi diri (sukses,Kuasa)
Kebutuhan Ego (Status, Percaya Diri, Harga)
Kebutuhan Sosial (Dihormati, Berteman, Rasa Memiliki)
Kebutuhan Rasa aman dan Keamanan Perlindungan, Peraturan, dan Undang-Undang
Kebutuhan Fisiologis(Makanan, Air, Udara, Sex)
Gambar : 2.2 Model Hirarki Kebutuhan Maslow
1. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan dasar manusia, yaitu
kebutuhan tubuh manusia untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan
tersebut meliputi makanan,air, udara, rumah, pakaian, dan seks. Seorang
13
ekonom yang bernama Engel membuat suatu teori yang terkenal dengan
teori Engel, yang menyatakan bahwa semakin sejahtera seseorang maka
semakin kecil persentase pendapatannya untuk membeli makanan.
Dari data survei susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional, 1999)
diketahui bahwa persentase pengeluaran rata-rata perkapita sebulan untuk
makanan adalah 63 %, sedangkan untuk bukan makanan adalah 37 %.
Angka ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia masih bergelut untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu makanan. Pengeluaran bukan
makananpun sebenarnya sebagian untuk memenuhi kebutuhan fisiologis
manusia. Jika angka untuk pengeluaran pakaian dan rumah dijumlahkan
kepada pengeluaran makanan, maka angka persentasenya semakin besar.
Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen Indonesia masih
belum sejahtera.
2. Kebutuhan Rasa Aman (Safety Needs)
Kebutuhan rasa aman adalah kebutuhan tingkat kedua setelah
kebutuhan dasar. Ini merupakan kebutuhan perlindungan bagi fisik manusia.
Manusia membutuhkan perlindungan dari gangguan kriminalitas, sehingga ia
bisa hidup dengan aman dan nyaman ketika berada di rumah maupun ketika
bepergian. Keamanan secara fisik akan menyebabkan diperolehnya rasa
aman secara psikis, karena konsumen tidak merasa was-was dan khawatir
serta terancam jiwanya di mana saja dia berada.
14
3. Kebutuhan Sosial (Social Needs)
Kebutuhan dasar dan rasa aman terpenuhi, manusia membutuhkan
rasa cinta dari orang lain, rasa memiliki dan dimiliki, serta diterima oleh
orang-orang sekelilingnya. Inilah kebutuhan tIngkat ketiga dari Maslow, yaitu
kebutuhan sosial. Kebutuhan tersebut berdasarkan kepada perlunya
manusia berhubungan satu dengan yang lainnya. Pernikahan dan keluarga
adalah cermin kebutuhan sosial yang diperaktikkan oleh manusia. Keluarga
adalah lembaga sosial yang mengikat anggota-anggotanya secara fisik dan
emosional. Sesama anggota saling membutuhkan, saling menyayangi, saling
melindungi, dan saling mendukung. Keluarga yang satu akan berhubungan
dengan keluarga lain sehingga membentuk hubungan sosial yang lebih luas,
karena sesama keluarga saling membutuhkan agar bisa diterima dan
berkomunikasi. Sesama individu juga saling membutuhkan untuk
berhubungan karena karena mereka perlu berteman dan bersahabat.
4. Kebutuhan Ego (Egoistic or Esteem Needs)
Kebutuhan ego atau esteem adalah kebutuhan tingkat keempat, yaitu
kebutuhan untuk berprestasi sehingga mencapai derajat yang lebih tinggi
dari yang lainnya. Manusia tidak hanya puas dengan telah terpenuhinya
kebutuhan dasar, rasa aman dan sosial. Manusia memiliki ego yang kuat
untuk bisa mencapai prestasi kerja dan karier yang lebih baik untuk dirinya
maupun lebih baik dari orang lain. Manusia berusaha mencapai prestis,
15
reputasi dan status yang lebih baik. Bahkan seorang individu ingin dikenal
sebagai orang yang berprestasi maupun sukses.
5. Kebutuhan Aktualisasi diri (Needs for Self-Actualization)
Derajat tertinggi dari kebutuhan adalah keinginan dari seorang
individu untuk menjadikan dirinya sebagai orang yang terbaik sesuai dengan
potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Seorang individu yang ingin
mengekspressikan dirinya dalam suatu aktivitas untuk membuktikan dirinya
bahwa ia mampu melakukan hal tersebut. Seorang yang berbakat menjadi
olah ragawan akan terdorong untuk meraih prestasi tertinggi dalam bidang
olah raga, untuk menjadi juara pada berbagai pesta olah raga yang bergensi
seperti kejuaraan nasional, olimpiade. Kebutuhan aktualisasi diri juga
menggambarkan keinginan seseorang untuk mengetahui, memahami dan
membentuk suatu sistem nilai, sehingga ia bisa mempengaruhi orang lain.
Kebutuhan aktualisasi diri adalah keinginan untuk bisa menyampaikan ide,
gagasam dan sistem nilai yang diyakininya kepada orang lain.
6. Teori Motivasi McClelland
David McClelland mengembangkan suatu teori motivasi yang disebut
sebagai McClelland’s Theory of learned Needs. Teori ini menyatakan bahwa
ada tiga kebutuhan dasar yang memotivasi seorang individu untuk
berperilaku, yaitu (1) Kebutuhan untuk sukses (Needs for Achivement), (2)
16
kebutuhan untuk afiliasi (Needs for Affiliations), dan (3) kebutuhan
kekuasaan (Needs for Power).
Kebutuhan Sukses adalah keinginan manusia untuk mencapai prestasi,
reputasi, dan karier yang baik. Seseorang yang memiliki kebutuhan sukses
akan bekerja keras, tekun dan tabah untuk mencapai cita-cita yang
diinginkannya. Ia akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi, mampu
menghadapi segala tantangan dan masalah demi mewujudkan cita-citanya.
Kebutuhan sukses memiliki kesamaan dengan kebutuhan ego dan
kebutuhan aktualisasi diri dari teori Maslow.
Kebutuhan afiliasi adalah keinginan manusia untuk membina hubungan
dengan sesamanya, mencari teman yang bisa menerimanya, ingin dimiliki
oleh orang-orang sekelilingnya, dan ingin memiliki orang-orang yang bisa
menerimanya. Seseorang yang memiliki kebutuhan afiliasi akan terlibat aktif
dalam kegiatan sosial, maupun kegiatan yang melibatkan banyak orang. Ia
akan memilih produk dan jasa yang disenangi atau disetujui oleh teman dan
kerabat dekatnya. Kebutuhan afiliasi memiliki kesamaan dengan kebutuhan
sosial dari Maslow.
Kebutuhan kekuasaan adalah keinginan seseorang untuk bisa
mengontrol lingkungannya, termasuk mempengaruhi orang-orang
disekelilingnya. Tujuannya adalah agar ia bisa mempengaruhi,
mengarahkan, dan mengatur orang lain (Sumarwan, 2003 ; 34 – 42).
17
Budaya menurut Syafar (2001 : 99-100) merupakan suatu pola
kepercayaan dan harapan yang dimiliki bersama oleh para anggota
organisasi. Kepercayaan dan harapan tersebut menghasilkan peraturan
tentang perilaku normal yang secara kuat membentuk perilaku peribadi dan
kelompok organisasi.
Definisi tersebut dapat dilihat bahwa budaya pada dasarnya
membentuk perilaku seseorang baik dalam pergaulan masyarakat maupun
dalam kelompok yang lebih kecil (organisasi). Budaya juga merupakan
motivator yang menggerakkan seseorang atau kelompok tertentu untuk
berkarya atau bekerja bersungguh-sungguh menciptakan sesuatu
(teknologi). Karena itu karsa dan karya manusia merupakan salah satu
wujud kebudayaan. Selanjutnya Koentjaraningrat (1985 : 99-104) dalam
Syafar membagi wujud kebudayaan dalam tiga dimensi yaitu (a) wujud
sebagai suatu kompleks gagasan, konsep dan pikiran manusia, (b) wujud
sebagai suatu kompleks aktivitas, dan (c) wujud sebagai benda.
Dimensi wujud pertama bersifat abstrak karena ia berada dalam alam
pikiran penganutnya. Model kebudayaan ini disebut oleh para antropolog dan
sosiolog sebagai sistem budaya (culture system). Sebagai sistem budaya, ia
mengatur dan mengendalikan perilaku penganutnya. Karena itu konsep
dalam wujud ini bermakna bahwa perilaku seseorang merupakan
pengejawantahan nilai budaya yang dianutnya.
18
Wujud kedua, kebudayaan sebagai kompleks aktivitas yang bersifat
lebih kongkrit dalam mana kebudayaan dapat diamati melalui interaksi
manusia. Dimensi ini disebut oleh para pakar antropologi dan sosiologi
sistem sosial (social system). Sebagai suatu sistem sosial, maka interaksi
manusia tidak muncul begitu saja, akan tetapi merupakan kegiatan yang lahir
dan dikendalikan oleh gagasan atau ide-ide. Interaksi ini memungkinkan
munculnya ide-ide baru yang sebagian dari itu berproses menjadi akar
budaya dari sistem yang bersangkutan.
Kebudayaan fisik yang berwujud sebagai benda-benda, pada
dasarnya merupakan hasil kegiatan interaksi antar manusia di dalam suatu
sistem budaya tertentu. Karena ini menghasilkan suatu karya nyata berupa
benda-benda, maka kebudayaan model ini sangat konkrit dan sering disebut
sebagai “material culture”.
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa ketiga wujud
kebudayaan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Ide sebagai konsep yang abstrak akan melahirkan karya dalam bentuk
benda-benda melalui interaksi manusia dalam suatu sistem sosial tertentu.
Sistem nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat telah menjadi
pedoman ideal dalam menyikapi obyek tertentu, tidak terkecuali terhadap
pembangunan ekonomi, pembangunan politik, sebagaimana Koencara
ningrat (1991) mengatakan bahwa nilai budaya menentukan sikap seseorang
19
trhadap objek tertentu. Dimana sistem nilai budaya terdiri dari konsep-
konsep yang hidup dalam pikiran mayoritas warga masyarakat.
Berarti sistem nilai budaya dalam masyarakat merupakan ciri khas serta
menjadi aturan sakral bagi perilaku setip orang dalam masyarakat yang
menyebabkan nilai budaya tersebut melekat serta sangat sukar mengalami
perubahan.
Sayogyo (1992) menguraikan pandangan umumnya tentang nilai budaya
bahwa faktor-faktor mental itu adalah pengetahuan mengenai sistem nilai
budaya atas cultural value sistem dan mengenai sikap atau attitudes. Kedua
hal itu menyebabkan timbulnya pola-pola cara berfikir tertentu pada warga
suatu masyarakat dan sebaliknya pola-pola cara berfikir cara inilah yang
mempengaruhi tindakan-tindakan dan kelakuan mereka maupun dalam hal
membuat keputusan-keputusan yang penting dalam hidup.
Sejalan dengan pengertian tersebut, maka sistem nilai budaya bukan
hanya berfungsi sebagai pedoman, tetapi juga sebagai pendorong kelakuan
manusia dalam melakukan aktivitas hidup termasuk dalam melakukan suatu
kegiatan usaha, serta berfungsi sebagai sistem tata kelakuan yang tertinggi
antara lain, seperti hukum, hukum adat, aturan sopan santun dan
sebagainya. Oleh karena itu, meskipun nilai budaya merupakan konsepsi
abstrak namun dapat mempengaruhi tindakan manusia secara langsung dan
20
menyebabkan timbulnya pola cara berfikir tertentu pada individu yang
bersangkutan.
Misalnya, ada nilai budaya yang menganggap penting suatu konsepsi bahwa
dalam kehidupan masyarakat itu orang yang sangat tergantung terhadap
sesamanya. Nilai budaya seperti itu menyebabkan bahwa dalam tindakan-
tindakan ia selalu memberi kunjungan makan kepada tetangga atau kenalan-
kenalannya, kalau dia mempunyai hajat atau selalu memberi oleh-oleh
kepada mereka kalau dia kembali dari suatu perjalanan jauh. Tindakan
seperti itu meskipun kadang-kadang dilakukan dengan pengeluaran-
pengeluaran tambahan yang sebenarnya di luar batas kemampuannya, toh
dirasionalisasikan sebagai suatu cara berfikir yang menganggap bahwa apa
yang telah dikeluarkan itu merupakan suatu harapan bahwa suatu saat
mereka mendapat balasan berupa kemauan baik dari orang yang diberikan,
seperti pertolongan mereka mendapat balasan berupa kemauan baik dari
orang yang diberikan, seperti pertolongan mereka berada dalam kesusahan.
Hal ini dipertegas oleh Sayogyo (1992) dengan menggambarkan bahwa baik
nilai budaya maupun sikap dapat mempengaruhi tindakan manusia.
Secara historis gagasan mengenai Utility (kepuasan) di dalam ilmu
ekonomi, pertama kali di perkenalkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832).
Sumbangan utama Bentham adalah mengembangkan gagasan kepuasan
dan membawa pertimbangan vaksinasi kepuasan ke dalam analisis
21
ekonomi. Kemudian Bentham mendefinisikan prinsip kepuasan sebagai
suatu prinsip moral untuk memaksimalkan kesenangan atau kesenangan
total minus kesedihan total. Bentham berpendapat bahwa semua
kesenangan adalah sama, terlepas dari sember-sumbernya. Kesenangan
yang diperoleh orang miskin adalah sama dengan kesenangan yang
dinikmati oleh orang yang sangat kaya. Walaupun doktrin Utiilitarianisme ini
keraguan sebagai petunjuk moral dan alat kebijaksanaan, namun
menimbulkan pula masalah-masalah yang akan membingunkan banyak ahli
ekonomi generasi selanjutnya, yaitu :
Pertama, meskipun Bentham berjuang untuk mewujudkan gagasan
kepuasan secara konkret, tetap tidak jelas bagaimana
seseorang dalam praktik, dapat mengulur gagasan yang sulit di
pahami ini. Juga tidak jelas bagaimana kita dapat, dalam praktik,
membandingkan atau menjumlahkan kesenangan dan kesedihan
yang dialami oleh orang yang berbeda-beda.
Kedua, banyak orang telah mengkritik Utilitarianisme yang menjadi doktrin
yang tak bermoral, karna mengabaikan pandangan keadilan atau
kejujuran dalam menilai tindakan pemerintah dan individu. Misalnya,
dibawah Utilitarianisme, diskriminasi akan dibenarkan jika bisa
menghasilkan kebahagiaan maksimum dalam negara.
22
Terakhir, ada dugaan terjadi komplik antara pandangan Bentham tentang
sifat manusia dengan pandanganya tentang moralitas.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan teorinya ini namun Bentham di juluki
sebagai bapak Utilitarianisme dan juga menjadi pemandu Filosofis bagi
banyak generasi ahli ekonomi yang mengikutinya.(Pressman .2000 : 37 –
42).
Leon Walras (1834-1910) bersama dengan William Stanley Jevons (1835-
1882), Carl Menger (1840-1921) dan Jonh Bates Clark (1847-1938) adalah
beberapa penemuan independen dari gagasan kepuasan marginal (marginal
utility).
William Stanley Jevons terkenal karena usahanya untuk membawa analisis
kepuasan ke dalam ilmu ekonomi. Jevons, JB. Clark dan Menger secara
terpisah, menemukan gagasan kepuasan subyektif dan prinsip,dari
kepuasan marginal yang menurun (diminishing marginal utility). Penemuan
prinsip kepuasan marginal yang menurun tampaknya telah terjadi pada akhir
1850 an ketika Jevons sedang bekerja di Australia. Dan beberapa tahun
kemudian Jevons (1871) mengemukakan dengan lebih tepat perbedaan
penting antara kepuasan total dan kepuasan marginal. Perbedaan ini
menghasilkan perkembangan dari teori perilaku konsumen modern. Jevons
mengatakan bahwa ketika orang-orang mengkonsumsi barang yang semakin
lama semakin banyak, kepuasan total yang mereka peroleh dari konsumsi
23
barang tersebut pada umumnya meningkat. Tetapi ketika konsumsi orang-
orang bertambah banyak, kepuasan yang mereka dapatkan dari sertiap
kuantitas tambahan dari barang tersebut akan menurun, Jevons melangkah
lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa setiap konsumen berada dalam
keseimbangan apabila penambahan dalam pengeluaranya tidak dapat
meningkatkan kepuasan totalnya.selanjunya, Jevons menerapkan gagasan
kepuasan kepada tenaga kerja. Dengan penerapan ini, dia membantu
menunjukkan begaimana upah ditentukan dan bagaimana para tenaga kerja
beroperasi. Jevons mengasumsikan bahwa pekerjaan itu tidak
menyenangkan dan karenanya para buruh mengalami kepuasan negatif atau
ketidak puasan. Di pihak lain pekerjaan juga memberikan kepuasan positif
karena para buruh dibayar untuk pekerjaan mereka dan buruh dapat
menggunakan pendapatannya ini untuk memberi barang. Karena itu individu-
individu ini terus mengembangkan antara ketidak puasan dalam pekerjaan
dengan kepuasan dari penggunaan barang yang dapat mereka beli dengan
uang hasil kerjanya tersebut. Sepanjang kepuasan konsumsi melebihi
ketidak puasan bekerja, maka orang-orang akan terus bekerja. Pada titik
dimana ketidak puasan kerja melebihi kepuasan konsumsi orang-orang akan
berhenti bekerja dan menikmati waktu luangnya. Aplikasi analisis kepuasan
untuk pasar tenaga kerja ini mempunyai beberapa konsekwansi penting,
antara lain :
24
Pertama, perbedaan antara tenaga kerja yang produktif dan tidak, yang
pertama kali dikemukakan Francoisonesnay (1694-1774), tampak
menjadi tidak tepat. Semua tenaga kerja adalah produktif dalam
pengertian bahwa pekerjaan ini menghasilkan kepuasan bagi para
individu pekrja, yang dapat mengambil cek pembayaran mereka
dan membeli barang dengan uang tersebut.
Kedua, dengan masuknya teori kepuasan kedalam studi tenaga kerja
menimbulkan keragu-raguan terhadap teori upah klasik, manusia
tidak berada dalam kenyamanan dengan upah subsistensi ;
penawaran tenaga kerja tergantung kepada upah yang berlaku.
Jika upah telalau rendah, pekerja akan mengundurkan diri dari
pasar dan menikmati kesenangan.
Ketiga, bertentangan dengan David Ricardo (1772-1823) dan Karl Marx
(1818-1883), bagi Javons tidak ada pertentangan antara tenaga kerja
dan modal. Tenaga kerja membuat keputusanya sendiri apakah ia
mau bekerja atau tidak, dengan cermat menyeimbangkan keuntungan
dan kerugian dari pekerjaan. Kapitalis juga membuat keputusan
serupa ketika memutuskan apakah ia akan berinvestasi dan
mempekerjakan lebih banyak pekerja atau tidak. (Pressman. 2000 :
82 – 87).
25
CarlL Menger (1840-1921) adalah salah seorang dari ahli ekonomi
pertama yang menemukan teori keputusan marginal dari nilai dan perinsip
kepuasan marginal yang semakin berkurang. Bertentangan dengan ahli
ekonomi klasik Inggeris, Menger berpendapat bahwa nilai lebih ditentukan
oleh factor subyektif (kepuasan atau permintaan) ketimbang factor obyektif
(biaya produksi atau persediaan). Menurut Menger, nilai berasal dari
kepuasan kebutuhan manusia. Manusia perlu menciptakan permintaan akan
barang-barang, mereka menjadi kekuatan penggerak dari pertukaran
ekonomi dan membantu menentukan harga. Lebih jauh Menger berpendapat
, karena kebutuhan manusia lebih besar dari pada barang yang tersedia
untuk memuaskan kebutuhan ini orang-orang akan memilih secara rasional
diantara semua barang alternatif yang tersedia untuk mereka. Menger juga
mengakui bahwa ketika semakin banyak jumlah barang yang dibeli
seseorang, setiap urutan kuantitas yang dibeli akan mengurangi kepuasan
konsumen. Yaitu, orang akan mengalami kepuasan marginal yang menurun
ketika mereka semakin banyak mengkonsumsi barang. Sayangnya Menger
hanya memberikan sedikit contoh dari barang-barang konsumsi tersebut,
dan juga tidak menjelaskan mengenai apa yang sebenarnya yang diukur
(keinginan atau kepuasan relatif yang diterima dari konsumsi barang-barang)
(Pressman, 2000; 87-92).
26
Pendekatan kedua untuk menjelaskan perilaku konsumen dalam
upaya mencapai maksimisasi kepuasan (utility maximization) adalah
pendekatan ordinal atau pendekatan kurve indiferens. Pendekatan kurve
indiferens ini pertama kali ditemukan oleh Francis Ysidro Edgeworth.
Sumbangan penting dari Francis Ysidro Edgworth (1845 – 1926) adalah
gagasan tentang kepuasan yang semakin bertambah. Edgeworth
memindahkan focus perhatian ahli ekonomi dari kepuasan pokok (cardinal)
menuju kepada kepuasan ordinal, yang menyangkut pengurutan preferensi
konsumen berdasarkan kepuasan yang diperoleh dari masing-masing
barang. Kepuasan ordinal tidak terlalu sulit dibandingkan dengan kepuasan
cardinal, karena kepuasan ordinal mensyaratkan konsumen cukup
mengetahui bahwa mereka lebih menyukai barang A dari pada barang B,
atau sebaliknya, atau bahwa mereka tidak tertarik dengan kedua barang
tersebut. Edgeworth kemudian menggunakan pandangan kepuasan ordinal
untuk mengembangkan gagasan kurve indiferens. Kurve ini adalah
serangkaian titik yang merepresentasikan kombinasi dari dua barang yang
memberi jumlah yang sama dari kepuasan untuk individu tertentu.
Edgeworth mengasumsikan bahwa kurve indiferens tidak akan berbentuk
garis lurus namun berbentuk garis cekung dari titik origin. Hal ini disebabkab
adanya kepuasan marginal yang menurun (diminishing marginal utility)
Edgeworth kemudian mengaplikasikan alat jurve indiferens ini untuk
27
menganalisis pertukaran antara dua orang (batter), dan kemudian
dikembangkan lagi oleh para ahli ekonomi kontenporer untuk menganalisis
perdagangan antar dua negara (Pressman, 2000; 99 – 105).
Senada dengan Edgeworth, Vilredo Pareto (1848 – 1923) juga
mengubah focus ahli-ahli ekonomi dari kepuasan kardinal (pokok) menjadi
kepuasan ordinal. Pareto berpendapat bahwa kepuasan ordinal seharusnya
membentuk basis analisis ekonomi ketimbang kepuasan pokok. Dengan
mengukur dalam konteks kepuasan ordinal, konsumen individu diasumsikan
mengetahui bahwa barang A lebih disukai ketimbang barang B, dan juga
mengetahui berapa banyak barang A yang lebih disukai ketimbang barang
B . Karena itu menurut Pareto, dengan memindahkan focus kepada
kepuasan ordinal dapat menggunakan ilmu ekonomi lebih realistis dalam
menggambarkan perilaku manusia. Dan juga dengan memindahkan
kepuasan ordinal kita tidak perlu lagi risau tentang bagaimana kepuasan
diukur atau bagaimana agar dapat membandingkan kepuasan dari orang
yang berbeda (Pressmann,2000;111-116).
Hasil penelitian Saleh (1984; 374) bahwa proporsi pendapatan
rumah tangga yang dikonsumsi makin mengecil searah dengan makin
sempitnya tanah sawah yang dimiliki oleh rumah tangga tersebut. Dan
t4 = 3,638; Sig=0,000; td = 0,577; Sig = 0,565 berarti pengeluaran untuk
kesehatan dan pakaian merupakan barang normal bagi masyarakat
61
transmigran di Kabupaten Parigi Moutong baik transmigran asal Bali maupun
transmigran Jawa, karena dengan menggunakan variabel dummy
perbedaannya tidak signifikan.
Barang normal (normal good) menurut Mankiw adalah sebuah barang
yang jika pendapatan meningkat akan mendorong peningkatan tehadap
permintaan barang tersebut, dengan menganggap hal lainnya tetap.
(Mankiw.1998;79).
Sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab terdahulu bahwa hasil
peritungan fungsi konsumsi pada masyarakat transmigran Kabupaten Parigi
Moutong, baik yang berasal dari Bali maupun yang berasal dari Jawa adalah
sebagai berikut:
Fungsi konsumsi Masyarakat Transmigran di Kabupaten Parigi
Moutong ditunjukkan MPC sebesar 0,768 dan MPS sebesar 0,232 .
Sedangkan fungsi konsumsi Transmigran yang berasal dari Bali
menghasilkan MPC sebesar 0,712 dan MPS sebesar 0,288. Sementara
untuk transmigran asal Jawa MPC-nya sebesar 0,817 dan MPS-nya sebesar
0,183.
Dari hasil ini terlihat ada perbedaan antara Hasrat untuk konsumsi
antara masyarakat transmigran yang berasal dari Bali dan dari Jawa.
Perbedaan ini mengindikasikan bahwa walau pun kedua komunitas ini sama-
sama transmigran namun berbeda dalam hasrat konsumsi dan dengan
62
sendirinya berbeda dalam hasrat untuk menabung yang tercermin pada
perbedaan MPC (Marginal Propensity to consume) dan MPS (Marginal
Propensity to Save) kedua komunitas ini. MPC masyarakat Bali lebih rendah
daripada masyarakat Jawa. Sedang MPS transmigran Bali lebih besar
daripada MPS transmigran Jawa
Masyarakat yang tingkat konsumsinya lebih rendah dan hasrat
menabungnya lebih tinggi akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk
mendorong pendapatan dan kesejateraannya ketingkat yang lebih tinggi
karena ia dapat melakukan akumulasi kapital untuk investasi dalam usaha
yang digelutinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa transmigran asal
Jawa yang MPC-nya lebih tinggi ketimbang MPC transmigran asal Bali jelas
menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi rumah-
tangga.
Hal ini didukung oleh hasil uji beda kebiasaan konsumsi masyarakat
transmigran asal Bali dan Jawa berbeda sangat signifikan, karena kebiasaan
konsumsi transmigran asal Bali didominasi berdasarkan pendapatan yang
diperoleh (61,6%), diikuti berdasarkan budaya (30,1%) dan mengikuti
kemampuan. Sedangkan trnsmigran asal Jawa didominasi kebiasaan
konsumsi berdasarkan kemampuan (52,1%), diikuti konsumsi yang
berasarkan pendapatan yang diperoleh petani (46,6%) dan kebiasaan
konsumsi dari budaya asal (1,4%) (lampiran 11).
63
Besarnya MPC masyarakat Jawa tidak terlepas dari besarnya jumlah
tanggungan dalam rumah-tangga, yang mana rata-rata jumlah anggota
rumah-tangga masyarakat Jawa lebih besar daripada masyarakat Bali.
Demikian pula, pengaruh pendapatan pada kedua komunitas ini. Hasil
penelitian memperlihatkan, walaupun rata-rata pendapatan rumah-tangga
transmigran asal Bali lebih rendah daripada pendapatan rumah-tangga
transmigran asal Jawa. Namun dilihat dari sudut pendapatan per kapita
kedua komunitas transmigran ini, ternyata pendapatan per kapita
transmigran asal Bali lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan perkapita
transmigran asal Jawa. Dengan demikian, jelaslah terlihat bahwa jumlah
tanggungan keluarga berpengaruh terhadap tingkat konsumsi rumah-tangga.
Demikian pula kalau dikaitkan dengan pola pengeluaran kedua
komunitas asal transmigran ini. Yaitu pola pengeluaran antara transmigran
asal Bali dan transmigran asal Jawa. Pengeluaran masyarakat Bali teralokasi
pada: makanan sebesar 53,35 %, pakaian sebesar 5,56 %, pendidikan
sebesar 17,5 %, kesehatan sebesar 5,57 %, dan pengeluaran lainnya
sebesar 18,01 %. Sedangkan pengeluaran masyarakat Jawa tercurah pada:
makanan sebanyak 53,46 %, Pakaian sebanyak 5,24 %, pendidikan
sebanyak 17,7 %, kesehatan sebanyak 6,23 %, dan pengeluaran lainnya
sebanyak 17,37 %. Dari hasil lapang ini juga terungkap bahwa pengeluaran
untuk makanan kedua komunitas ini cukup besar dibandingkan dengan
64
pengeluaran untuk keperluan lain. Keduanya mempunyai pengeluaran lebih
dari 53 %, namun demikian terungkap pula bahwa pengeluaran makanan
transmigran Jawa lebih besar daripada pengeluaran untuk makanan
transmigran Bali.
Proporsi pengeluaran makanan (pangan) jauh melampaui
pengeluaran lainnya rupanya telah menjadi fenomena tersendiri masyarakat
tani di Pedesaan, sebagaimana terungkap dari hasil penelitian Suryana dan
Djauhari (1988) yang mengatakan bahwa pengeluaran pangan per kapita di
pedesaan Jawa Barat menghabiskan sekitar 70 % dari total pengeluaran
konsumsi. Demikian pula di daerah penghasil padi di pedesaan Jawa Timur,
yang mana total pengeluaran pangan dilaporkan sebesar 53 % dari
pengeluaran total konsumsi dan pengeluaran untuk padi-padian sebesar 30
% dari pengeluaran pangan (Hernanto dan Andriati, 1986). Sedang di
Sumatera barat, seperti yang diungkapkan Mewa dan Simatupang (1988)
bahwa pengeluaran pangan sebesar 58 % dari pengeluaran total konsumsi.
65
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dengan mengacu pada paparan seperti yang telah diuraikan pada
bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Motivasi afiliasi transmigran asal Bali diterapkan dalam budaya
bercocok tanam sistim Subak Abian, jika dikaitkan dengan koefisien
regresi tenaga kerja, ternyata transmigran asal Bali dengan koefisien
48,33 % lebih tinggi daripada koefisien regresi transmigran asal Jawa
(25,48 %). Konsekuensi dari keofisien regresi tersebut adalah apabila
ada penambahan tenaga kerja 10 % menyebabkan produksi
meningkat lebih tinggi transmigran asal Bali (4,83 %) daripada Jawa
(2,55%).
2. Berdasarkan pendekatan efisiensi teknik, secara empirik ternyata,
kedua komunitas baik yang berasal dari Bali maupun Jawa belum
efisien. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh angka rata-rata efisiensi,
masyarakat transmigran Bali sebesar 0,98 (belum efisien) dan
transmigran asal Jawa memperlihatkan angka rata-rata 1,01 (tidak
efisien). Namun demikian, peluang untuk meningkatkan produksi baik
bagi masyarakat Bali maupun Jawa masih dapat dilakukan bila
penggunaan kapasitas produksi ditingkatkan. Sedang dengan
menggunakan pendekatan efisiensi ekonomi dan efisiensi harga,
kedua transmigran (Bali dan Jawa) sama-sama belum efisien. Kedua
66
komunitas mendapatan angka: Bali senilai 0,92 (untuk efisiensi
ekonomi) dan 0,94 (untuk efisiensi harga) sedang Jawa mendapatkan
nilai 0,88 (untuk efisiensi ekonomi) dan 0,87 (untuk efisiensi harga).
3. Perbedaan besarnya porsi pengeluaran untuk konsumsi rumah
tangga transmigran asal Bali yang pendapatannya untuk makanan >
50 persen adalah 69,86 persen sebesar 30,14 persen pengeluaran
untuk makanan kurang dari 50 persen, sedangkan transmigran asal
Jawa pengeluaran pendapatan untuk makanan
> 50 % adalah 83,56 dan 16,44 persen proporsi pengeluaran untuk
makanan < 50 %.
4. Terdapat perbedaan pola konsumsi makanan bagi masyarakat
transmigran asal Bali (53,41%) dan Jawa (54,41%) dengan elastisitas
0,682 dengan uji t yang sangat nyata (sig 0,000) hal ini menandakan
bahwa bahan makanan merupakan barang normal, berarti apabila
terjadi peningkatan pendapatan akan menyebabkan peningkatan
pengeluaran untumk makanan yang proporsinya lebih kecil dari
peningkatan pendapatan. Proporsi pengeluaran untuk makanan lebih
dari 50 % sebanyak 76,71 persen mereka yang berpendapatan
rendah 51,37 dan untuk masyarakat yang berpendapatan tinggi 25,34
persen. Fenemona ini relevan dengan teori yang dikemukakan Engel
bahwa makin rendah pendapatan masyarakat, maka porsi
67
pengeluaran makanan makin besar.
5. Terdapat perbedaan proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan
bagi masyarakat transmigran asal Bali dan Jawa di Kabupaten Parigi
Moutong sebesar 53,41 %,untuk pakaian 5,4%, untuk pendidikan
17,6%, untuk kesehatan 5,9% dan pengeluaran lainnya 17,69%.
6. MPC Transmigran asal Bali lebih kecil yaitu 0,712 dibanding MPC
transmigran asal Jawa 0,817 sehingga kemampuan untuk menabung
juga berbeda. Hal ini berkaitan dengan hasil uji beda yang diperoleh
bahwa terdapat perbedaan sangat signifikan antara kebiasaan
konsumsi transmigran asal Bali dan Jawa.
7. Kesejahteraan kehidupan ekonomi rumah tangga transmigran asal
Bali dan Jawa dipengaruhi oleh variabel pendidikan kepala rumah
tangga, kekayaan, kesehatan dan pendapatan anggota rumah tangga.
Dari ke empat variabel tersebut di atas yang mempunyai pengaruh
signifikan adalah kekayaan rumah tangga, artinya secara signifikan
kekayaan rumah tangga apabila disertai dengan penyediaan lapangan
kerja, akan menyebabkan peningkatan pendapatan rumah tangga
karena pendapatan rumah tangga mempunyai pengaruh langsung
yang signifikan dengan kesejahteraan kehidupan ekonomi rumah
tangga masyarakat transmigran di Kabupten Parigi Moutong.
68
Saran
Dengan mencermati kesimpulan seperti yang tersari di atas, maka
penting dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi Transmigran asal Bali dan Jawa masih mempunyai peluang
untuk mmeningkatkan efisiensi teknik, efisiensi ekonomi dan efisiensi
harga melalui penggunaan faktor-faktor produksi secara optimal yang
dibarengi dengan bimbingan berusaha tani.
2. Transmigran Bali dan Jawa perlu melakukan penghematan terutama
untuk kegiatan konsumtif sehingga peluang untuk meningkatkan
tabungan untuk investasi pada musim tanam yang akan datang
menjadi lebih besar.
3. Untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi Rumah Tangga
masyarakat transmigran asal Bali dan Jawa perlu menyisihkan
sebahagian pendapatannya untuk menambah asset yang produktif,
sehingga menjadi modal untuk meningkatkan pendapatan Rumah
Tangga.
4. Perlu diadakan penelitian lanjutan untuk mengetahui perilaku ekonomi
rumah-tangga yang telah mencapai efisiensi ekonomi.
69
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, Sri. 1999. Ekonomi Mikro. Penerbit BPFE Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Anonim, 1991. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Transmigran. Penerbit Departemen Transmigran Pusat Penelitian dan Pengembangan Transmigran Jakarta.
..........., 1996. Strategi Pembinaan Usha Ekonomi Daerah Transmigran Melalui Kerja sama Dunia Usaha Dalam Rangka Peningktan Kesejahteraan Transmigran. Penerbit Departemen Transmigran dan Pemukiman Perambah Hutan Jakarta.
.........., 1996. Pembangunan Keluarga Sejahtera Dalam Rangka Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan, Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Jakarta.
Arbuckle, J, L., 1999. Amos Users’ Guide, Version 3. 6. Chicago : Smallwaters Corporation.
Arief, Sritua, 1996. Teori Ekonomi Mikro dan Makro Lanjutan. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada Jakarta.
Banoewidjojo, Moeljadi. 1983. Pembangunan Pertanian. Penerbit Usaha Nasional Surabaya.
Basri, Hasan. 1999. Pembangunan Ekonomi Rakyat di Pedesaan Sebagai Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Penerbit Bina Rena Pariwara.Jakarta.
Beattie, Bruce R. & Robert Taylor. 1996. Ekonomi Produksi (Terjemaha). Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta
BPS. 2000. Sulawesi Tengah Dalam Angka.Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengan.
...........2002. Sulawesi Tengah Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah.
70
...........2004, Sulawesi Tengah Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah.
...........2002. Kabupaten Parigi Moutong Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah.
.......,2004. Kabupaten Parigi Moutong Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah.
........2004 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kota Menurut lapangan Usaha di Sulawesi tengah. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah.
Deliarnov,1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Edisi Revisi. Penerbit Raja Grapindo Persada.Jakarta.
Departemen Transmigran dan PPH. 1997. Proyek Dukungan Teknis Perencanaan Pemukiman dan Prasarana Transmigran Pusat. Laporan akhir. PT. Saran Widya Sempurna. Jakarta.
Engel, James F. Blackwell Roger D. Miniard Paul W. 1994. Perilaku Konsumen jilid I (Terjemahan). Penerbit Binarupa Aksara Jakarta.
Deaton, A. J. Muellbaner. 1984. Economics and Consumer Behaviour. Cambridge University Press, London.
Nurland, F., 1993. Alokasi Waktu dan Pengeluaran Rumah Tangga Etnit Bugis, Makassar dan Mandar dalam Masyarakat Nelayan di Sulawesi Selatan. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Universitas Hasanuddin Ujung Pandang.
Fattah, M.. 1999. Perilaku Ekonomi Masyarakat Pedesaan Studi kasus Dua Tipe Desa Masyarakat Suku Tolare Di Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Disertasi S3 pada Fakultas Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Fatmawati, 1998. Perilaku Petani dalam pemanfaatan Lahan Sawah,
Suatu analisis Antropologis di Kecamatan Maritengngae Kabupaten Sidenreng Rappang. Universitas Hasanuddin, Tesis tidak dipublikasikan.
71
Ferdinand, Augusty, 2002. Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen :Aplikasi Model-Model Rumit Dalam Penelitian Untuk Tesis Magister & Disertasi Doktor, BP UNDIP Semarang.
Gujarati, Damodar. 1993. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics. Four edition Penerbit Mc Graw Hill New York.
Hamid, Edy Suandi. 2003. Asumsi Homo Ekonomikus dan Manusia Rasional Dipertanyakan Sumber utama tulisan ini dari “Biviourist at the gates” dalam the Economict. Penerbit Pusat Studi ekonomi Pancasila Universitas Gajah mada.
Hanson.A.J. 1981. Transmigran dan Pengembangan Wilayah Marginal.Yayasan Obor Indonesia. Gramedia Jakarta.
Hair, J.F. Anderson, R. E. Tatham, R. L. And Black W. C. 1992. Multivariate Data Analisys. New York: McMillan Publishing Company.
Hartono, Jogiyanto. 1999. Teori Ekonomi Mikro Analisis Matematis. Penerbit Andi Yogyakarta.
Hayami, Yujiro dan Kikuchi Masao, 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perbahan Kelembagaan di Asia. Penerbit Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
Hermanto dan Audriati,1986. Pola Konsumsi Dalam F. Kasrino (eds.) Profil Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga Pedesaan Jawa Timur.Pusat Penelitian Agroekonomi, Bogor.
Ibrahim Indrawijaya,1989. Perilaku Organisasi. Penerbit Sinar Baru
Bandung.
Jogianto, Hartono. 1999. Teori Ekonomi Mikro, Analisis Matematis. Edisi pertama Yogyakarta.
Kasryno. Faisal. 1984. Prospek Pembanguna Ekonomi Pedesaan Indonesia. Penerbit Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
72
Kerlinger, Fred N. 2000. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1991. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
_____________, 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Koutsoyiannis, A. 1979. Modern Microeconomics second edition. Macmillan Education ltd, Printed in Hongkong.
Levang, Patrice. 2003. Ayo Ketanah Sabrang Transmigran di Indonesia (Terjemahan). Penerbit Gramedia Jakarta.
Mankiw, N. Gregory.2000. Principles of economics (terjemahan). Penerbit Erlangga.
Meier, Gerald M. 1976. Leading Issues in Economic Development third edition. Penerbit On Ford University Press. New York.
Mewa, dan Simatupang, P., 1988. Pola Konsumsi dan kecukupan Gizi Rumah Tangga di Pedesaan Sumatera Barat, Pusat Penelitian Agro-ekonomi, Bogor.
Mowen, John C. / Minor Michael. 2001. Perilaku Konsumen (Terjemahan). Penerbit Erlangga.
Nangoi, Ronald, 1993. Transmigran IndusriDimensi baru Berpotensi. PT. Rajgrafindo Persada. Jakarta.
Philips, L. 1974. Applied Consumption Analysis. North-Holland Publishing Company, Amsterdam-Oxford.
Pressman, Steven. 2000. Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia. Penerbit Raja grapindo Persada. Jakarta.
73
P, Robins Stephen, 2001. Perilaku Organisasi jilid 1 Edisi Kedelapan. Penerbit Prenhallindo Jakarta.
Pusat Pembinaan Sumberdaya Manusia. 1980. Pemantapan Usaha Pembangunan di Daerah Transmigran. Penerbit YTKI friedrich Eberto Stiftung. Jakarta Selatan
Saleh, Chaerul. 1984. Pola Pengeluaran Rumah Tangga dan Penguasaan Modal bukan Tanah, hal. 357-376. Dalam Kasryno F. ed. ”Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia”. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Saleh, A. Karim. 1982. Peranan Transmigran dalam Pembangunan Kabupaten Luwu Propinsi Sulawesi Selatan (Studi kasus penggunaan model input-output). Disertasi S3 pada Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sajogyo, 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Penerbit Yayasan Obor Indonesia dan Institut Pertanian Bogor.
Saefudin, AM. 1983. Pengkajian pemasaran komoditi pertanian. Pascasarjana IPB. Bogor.
Saragih, Bungaran. 2001. Suara Dari Bogor Membangun Sistim Agribisnis. Penerbit Pustaka Wirausaha Muda (Edisi kedua).
Schumacher, E.F. 1979. Kecil Itu Indah Ilmu ekonomi yang mementingkan rakyat kecil. Penerbit LP3ES. Jakarta.
Scott, James C. 1989. Moral Ekonomi Petani (Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara). Penerbit LP3ES.
S, Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pembangunan. Penerbit PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta.
............... 2001. Statistik Teori dan Aplikasi jilid 2 edisi keenam. Penerbit. Erlangga Jakarta.
Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Penerbit Rajagrapindo Persada Jakarta.
74
Soekartawi, A.Soeharjo, John L. Dillon, J. Brian Hardaker, 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Penerbit. Universitas Indonesia.
…………1995. Analisis Usaha Tani. Penerbit Universitas Indonesia UI Press Jakarta.
………..1987. Perinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasinya. Edisi Pertama. Penerbit CV. Rajawali. Jakarta.
Soemitro, Remi Sutyastie dan Tjiptoherianto Prijono, 2002 Kemiskinan dan Ketidak merataan di Indonesia. Edisi Indonesia Inggeris. Penerbit Rineka Cipta Jakarta.
Sumarwan Ujang, 2003. Perilaku Konsumen (Teori dan Penerapannya
dalam Pemasaran). Penerbit Ghalia Indonesia.
Sumodiningrat, Gunawan. 2000. Pembangunan Ekonomi Melalui Pengembangan Pertanian, Penerbit PT. Bina Rena pariwara. Jakarta.
……….. 2001 Menuju Swasembada Pangan Revolusi Hijau II Introduksi Manajemen dalam Pertanian. Penerbit RBI Jakarta.
Suparmoko, M. 1996. Metode Penelitian Praktis Edisi ke-3. Penerbit BPFE Universitas Gajah mada Yogyakarta.
Supranto, J. 1984. Ekonometrik buku dua. Penerbit Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Suryana, A. Dan Ahmad Jauhari, 1988. Konsumsi Makanan Jadi Rumah Tangga Pedesaan jawa barat. Penerbit EKI, Vol XXXVI No. 4 UI Jakarta.
Swasono, Sri-Edi, Dan Singarimbun Masri, 1985, Sepuluh Windu Transmigran di Indonesia. Penerbit Universitas Indonesia.
Syafar, Abdul Wahid, 1995. Studi Empirik Faktor-Faktor Kultural Dalam Gaya Kepemimpinan Dikalangan Ponggawa-Sawi Bugis Makassar, Disertasi Doktor Institut Teknologi Bandung.
............................., 2001. Kepemimpinan Teori, Gaya dan Analisis Perspektif Budaya. Universitas Tadulako Press. Palu.
75
Tjiptoherianto, Prijono. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia Dalam Rangka Globalisasi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Winardi, 1991. Marketing Dan Perilaku Konsumen. Penerbit Mandar Maju Bandung.
Weiner, Myron. 1980. Modernisasi dinamika Pertumbuhan. Gadjah Mada University Press.
Yudohusodo, Siswono. 1998. Transmigran Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen Dengan Persebaran Yang Timpang. Penerbit Aksara Grafika Jakarta.
76
Lampiran 5Data Konsumsi Transmigran di Kabupaten Parigi MoutongX1= Makanan; X2= Pakaian; X3= Pendidikan; X4=Kesehatan; X5 =Pengeluaran lain