HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 1 /81 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan suatu prosedur yang invasif minimal, saat ini populer sebagai teknik operasi terkini dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung, tumor hidung dan sinus paranasal, dan kelainan lainnya. Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stammberger dan Kennedy dengan sebutan Functional Endoscopic Sinus Surgery. Tujuan utama BSEF adalah memulihkan aliran mukosilier di suatu daerah di dinding lateral rongga hidung yang disebut komplek ostiomeatal (KOM). Gangguan drenase sinus dapat menimbulkan rasa nyeri wajah, nyeri kepala, gangguan penghidu, serta bisa menimbulkan sejumlah komplikasi lain yang dapat berbahaya. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. 1 Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi 2 .Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005
81
Embed
Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia(2)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 1 /52
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS) merupakan suatu prosedur yang invasif minimal, saat ini populer sebagai
teknik operasi terkini dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung, tumor hidung
dan sinus paranasal, dan kelainan lainnya. Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh
Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stammberger dan Kennedy dengan sebutan
Functional Endoscopic Sinus Surgery. Tujuan utama BSEF adalah memulihkan aliran
mukosilier di suatu daerah di dinding lateral rongga hidung yang disebut komplek
ostiomeatal (KOM). Gangguan drenase sinus dapat menimbulkan rasa nyeri wajah, nyeri
kepala, gangguan penghidu, serta bisa menimbulkan sejumlah komplikasi lain yang dapat
berbahaya.
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit.1 Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan
Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan
Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi2 .Data dari Divisi
Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien
rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari
jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF. Karena berbagai kendala dari
jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi.3 Di Bagian THT RS Dr.
Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan FESS pada periode Januari 2005-
Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi Sinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai
sinusitis dan 30 kasus FESS disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi
sinusitis dan septum deviasi.4
Sekitar 0,2-1 % orang dewasa di Inggris pernah menderita polip hidung.6 Salah
satu etiologi terjadinya polip hidung adalah adanya peradangan kronik dan berulang pada
mukosa hidung dan sinus. Kekerapan polip hidung meningkat seiring dengan umur
sampai sekitar 59 tahun, dan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.6
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 2 /52
Perkembangan yang pesat di bidang kedokteran juga membawa perubahan dalam
penatalaksanan sinusitis. Tersedianya alat diagnostik CT scan telah membuat pencitraan
sinus paranasal lebih jelas dan terinci, sedangkan dipopulerkannya pemakaian alat
endoskop untuk operasi bedah sinus menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal
tetapi dapat lebih tuntas.
BSEF saat ini merupakan teknik terbaik penatalaksanaan sinusitis kronik dan akut
berulang. Dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang pada umumnya radikal
dengan morbiditas yang tinggi, maka BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang
rendah.7
Namun demikian seiring dengan perkembangannya BSEF juga dapat
menimbulkan komplikasi yang dapat terjadi selama atau setelah prosedur operasi. Untuk
itu diperlukan persiapan operasi dan perawatan pascaoperasi yang baik untuk
memperoleh hasil yang optimal. Selain itu diperlukan pula pengetahuan mengenai cara
penanganan bila terjadi penyulit dan komplikasi selama berlangsungnya prosedur bedah,
di samping teknik analgesia dan anestesia yang tepat.
Pada suatu penelitian retrospektif dan prospektif pada 200 pasien BSEF di
Houston Ear, Nose, and Throat Clinic, Amerika Serikat, didapatkan komplikasi minor
terjadi pada 8% pasien, dan hanya satu komplikasi mayor (0,05%). Dalam pengamatan
tindak lanjut selama rata-rata 17 bulan didapatkan 88% gejala penyakit hilang atau
mengalami perbaikan; namun demikian 41,5% masih memerlukan terapi
medikamentosa.8
Para dokter ahli THT yang melakukan teknik operasi ini harus memiliki
kompetensi dengan menguasai secara rinci pengetahuan anatomi hidung dan sinus
paranasal khususnya anatomi dinding lateral hidung; terampil menggunakan endoskop
baik untuk menegakkan diagnosis endoskopik maupun operasinya; terampil membaca
CT-scan hidung dan sinus paranasal. Untuk itu diperlukan latihan berulang dengan
mengikuti beberapa kali kursus diseksi kadaver.
I.2. Permasalahan
Dalam praktek sehari-hari, terdapat beberapa masalah utama seputar BSEF, yaitu:
1. Menentukan indikasi yang tepat
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 3 /52
2. SDM yang kompeten masih terbatas jumlahnya
3. Instrumentasi bedah yang relatif mahal
4. Teknik anestesi yang sesuai (hipotensi)
5. Faktor penyulit dari pasien sendiri
6. Tahapan tindakan operasi
7. Penentuan biaya operasi sesuai kategori tahapan tindakan berdasarkan berat-
ringannya prosedur operasi
8. Perlunya koordinasi antara berbagai cabang ilmu kedokteran spesialis yang
terkait: Bagian Anestesi, Bagian Radiologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian
Ilmu Kesehatan Anak dan Bagian Bedah Saraf.
I.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan menyusun kajian HTA ini adalah terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar
kebijakan penerapan teknologi BSEF di Indonesia.
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengkaji dan menyeragamkan penentuan indikasi operasi BSEF berdasarkan
bukti ilmiah kedokteran yang mutakhir dan sahih (evidence based medicine).
2. Mensosialisasikan indikasi-indikasi tersebut kepada seluruh dokter THT di
seluruh Indonesia agar dapat dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan
“manfaat dan risiko”
3. Mengkaji dan menentukan standarisasi teknik operasi BSEF yang aman, efektif,
efisien dengan biaya yang terjangkau serta dapat dikerjakan di seluruh Indonesia.
4. Mengkaji dan menentukan instrumentasi bedah termasuk biaya instrumentasi.
5. Meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM dengan mengusahakan bimbingan
teknologi dan pelatihan-pelatihan.
6. Menentukan standar biaya operasi sesuai dengan berat-ringannya prosedur
operasi, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat.
7. Meningkatkan koordinasi dengan cabang ilmu yang terkait.
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 4 /52
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
II.1. Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan
elektronik: Pubmed, British Medical Journal, Ovid, dalam 10 tahun terakhir (1995-
2005).
Kata kunci yang digunakan adalah functional endoscopic sinus surgery,endoscopic sinus
dan atau emfisema kelopak mata secara tidak langsung terjadi akibat trauma pada lamina
papirasea. Proyeksi medial lamina papirasea pada rongga hidung dan struktur tulangnya
yang lembut menyebabkan lamina papirasea mudah trauma selama prosedur bedah
dilakukan. Kejadian rusaknya lamina papirasea sekitar 0,5-1,5% di tangan seorang ahli
yang sudah berpengalaman. Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5 hari tanpa
diperlukan pengobatam khusus.
Perdarahan retrobulbar. Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi yang
berbahaya. Tandanya adalah proptosis mendadak, bola mata keras disertai edema kelopak
mata, perdarahan subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi, dan proptosis. Seiring dengan
meningkatnya tekanan intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan kehilangan
penglihatan, midriasis dan defek pupil. Karenanya saat prosedur pembedahan, mata
pasien agar selalu tampak dalam pandangan operator.
Kerusakan nervus optikus. Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah
dilaporkan. Visualisasi yang kurang adekuat selama pembedahan, yang dapat pula
disebabkan oleh adanya perdarahan, serta buruknya pemahaman mengenai anatomi bedah
merupakan penyebab terjadinya trauma pada n.optikus yang dapat menyebabkan
gangguan penglihatan.
Gangguan pergerakan otot mata. Pembedahan pada dinding medial dapat
menyebabkan trauma atau putusnya otot rektus medialis atau otot oblikus superior mata
serta kerusakan pada saraf yang menginervasinya.
3. Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pemula.
Cara diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah rawan tembus di CT scan
preoperasi (tipe Keros) akan menghindarkan komplikasi ini. Kebocoran cairan
serebrospinal selama prosedur bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Insidensi
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 31 /52
komplikasi ini dilaporkan sebanyak 0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi harus segera
dilakukan penambalan menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka media dan
septum. Jika terjadi pasca operasi dapat diobservasi karena 90% diharapkan dapat
menutup sendiri.
4. Komplikasi Sistemik
Walaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah.
Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus
adalah pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome (TSS).
Kondisi ini ditandai dengan adanya demam dengan suhu lebih tinggi dari 39,50 C,
deskuamasi dan hipotensi ortostatik. Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) dihasilkan
oleh strain Stafilokokus aureus. Jacobson dkk melaporkan insidensi TSS adalah
16/100.000 kasus yang dilakukan bedah sinus endoskopik. Bila digunakan tampon
setelah operasi, direkomendasikan untuk memberikan bacitrasin yang merupakan agen
yang efektif melawan Stafilokokus aureus.
Penyulit Selama Prosedur Bedah Berlangsung dan Penanganannya
Penyulit infundibulotomi. Penyulit yang dapat terjadi di tahap awal ini adalah
kesulitan insisi infundibulotom jika letak unsinatus terlalu dislokasi ke lateral atau ada
konka media yang paradoksikal. Insisi sulit dan ujung pisau dapat melukai orbita ini. Hal
ini diatasi dengan meluksasi unsinatus ke medial menggunakan ujung bengkok ostium
seeker, kemudian potong dengan backbiting. Cara ini terbukti menurunkan komplikasi ke
orbita.
Penyulit pelebaran ostium. Penyulit juga dapat terjadi jika pasca
infundibulotomi, ostium tidak langsung tampak. Seringkali akibat infundibulotomi yang
tidak sempurna, sehingga masih ada sisa unsinatus yang menutupi ostium. Keadaan ini
diatasi dengan mengangkat sisa unsinatus dengan backbiting. Jika ostium tetap tidak
dapat ditemukan meskipun tidak ada lagi sisa unsinatus, lakukan palpasi dengan kuret J
di sepanjang pertautan tulang konka inferior. Palpasi jangan terlalu ke atas karena dapat
menembus orbita. Adanya gelembung udara menunjukkan lokasi ostium yang dicari.
Harus diingat bahwa lokasi ostium adalah di pertemuan aspek antero-superior dan
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 32 /52
postero-inferior infundibulum dan berada di depan aspek anterior bula etmoid.
Karenanya, adanya bula etmoid dapat membantu menentukan lokasi ostium, sehingga
dianjurkan supaya pengangkatan bula setelah identifikasi ostium sinus maksila. Pelebaran
ostium dapat dilakukan ke arah posterior menggunakan gunting atau cunam Blakesley
lurus, selipkan salah satu ujungnya ke sisi dalam fontanel posterior. Pelebaran ke arah
anterior menggunakan backbiting dan ke inferior menggunakan sidebiting. Pelebaran
ostium dapat juga menggunakan kuret J. Pelebaran ostium hanya pada 1 atau 2 sisi, tidak
dibenarkan memperlebar ke semua arah, karena akan terjadi jaringan ikat melingkar dan
gangguan drenase di kemudian hari. Dengan membiarkan 1 atau 2 sisi ostium utuh,
kemungkinan obliterasi dicegah. Ostium asesori yang ditemukan harus disatukan dengan
ostium asli, agar tidak menyebabkan infeksi berulang.
Penyulit etmoidektomi. Penyulit pada tahap ini adalah saat identifikasi dan
menembus lamina basalis. Identifikasi sering sulit karena perubahan patologik atau
variasi anatomi, misalnya adanya sinus lateralis diantara dinding belakang bula dan
lamina basalis atau adanya sel etmoid anterior yang meluas ke belakang dan menekan
dinding lamina basalis menjadi berbenjol-benjol. Seringkali atap etmoid diduga sebagai
lamina basalis. Operator harus yakin betul identifikasi lamina basalis sebelum
menembusnya agar tidak terjadi kebocoran cairan otak. Lamina basalis bagian superior
dan anterior berdekatan dengan dasar otak, tetapi karena dinding lamina berjalan ke arah
posterior dan inferior, maka makin ke belakang makin jauh jaraknya terhadap dasar otak.
Karenanya menembus lamina basalis di sebelah medial bawah merupakan tempat paling
aman.
Mencegah penetrasi intrakranial. Penyulit utama saat diseksi retrograde adalah
mencegah penetrasi intrakranial. Ketebalan tulang dasar otak tidak sama, bagian antero-
medial paling tipis, hanya 1/10 bagian lateral sehingga paling rawan tembus. Karenanya
dianjurkan untuk bekerja di sebelah lateral agar lebih aman. Daerah rawan lainnya adalah
pertautan atap etmoid (fovea etmoidales) dengan lamina kribosa yang disebut lamina
lateralis kribosa yang merupakan tulang tipis yang panjangnya bervariasi antara 3-16
mm. Berdasarkan bentuk dan panjang lamina lateralis ini, Kerose membaginya dalam 4
tipe. Ohnishi juga mendapatkan bahwa atap medial etmoid mempunyai banyak
dehiscence dan celah-celah. Daerah pertautan konka media pada dasar otak dan aspek
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 33 /52
antero-lateral dinding sel-sel etmoid juga merupakan daerah rawan tembus. Variasi
anatomi diatas dapat diketahui dari gambar CT scan dan sebaiknya operator menghindari
daerah ini atau jika terpaksa, bekerjalah ekstra hati-hati. Jika bekerja di daerah medial,
dianjurkan selalu menghadapkan cunam agak ke lateral.
Mencegah penetrasi orbita. Penyulit lainnya adalah mencegah penetrasi ke
orbita. Ini dapat terjadi saat membersihkan partisi sel etmoid yang melekat ke orbita
karena mungkin ada dehiscence sehingga mudah tertembus cunam. Saat bekerja disini,
arahkan cunam ke vertikal. Kadang-kadang di lamina papirasea ada penonjolan orbita
atau trochlea yang sering diduga sebagai sel etmoid. Jika diangkat maka terjadi penetrasi
dan lemak orbita akan keluar. Tidak perlu berusaha memasukkan kembali karena akan
menambah taruma orbita. Lemak ini akan masuk kembali tertekan oleh tampon hidung
yang dipasang pascaoperasi. Yang penting adalah mengetahui bahwa jaringan yang
diangkat adalah lemak orbita. Lemak orbita berwarna kekuningan berbentuk gelembung
bulat-bulat kecil dan melayang di dalam air. Sedangkan jaringan polip atau jaringan
rongga hidung lain akan tenggelam.
Emfisema subkutis merupakan komplikasi penetrasi orbita. Untuk menghindari,
jangan menggunakan insuflasi masker oksigen saat selesai anestesi dan pasien dilarang
menyringsing ingus selama 1-2 minggu pascaoperasi.
Perdarahan saat operasi. Perdarahan saat operasi adalah karena perdarahn
mukosa. Perdarahan ini ringan namun dapat mengganggu kelancaran bahkan
menggagalkan operasi bila operator tidak dapat melihat dengan jelas. Tindakan
vasokonstriktor yang baik praoperasi sangat berpengaruh disini disamping faktor-faktor
lain.
Kelancaran tindakan bedah sangat ditunjang oleh upaya mengeringkan lapangan
operasi dengan cara memasukkan kapas adrenalin ke lapangan operasi. Pada tindakan
dengan anestesi umum, dianjurkan anestesi kendali hipotensi. Dalam hal ini diperlukan
dokter anestesi yang handal.
Jika ada perdarahan maka perlu kesabaran untuk berulang kali mengeringkan
lapangan operasi dan membersihkan endoskop yang menjadi buram terkena darah. Ini
terutama pada pemula. Perdarahan yang cukup merepotkan biasanya terjadi pada daerah
yang udem atau radang, polip luas atau pasien dengan tekanan darah tinggi. Perdarahan
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 34 /52
juga dapat terjadi pada pasien koagulopati, pasien dengan penggunaan jangka lama obat-
obat yang memanjangkan masa perdarahan seperti salisilat atau obat-obat antiinflamasi
non steroid, persantin, dll. Obat dihentikan sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum
operasi.
Jika perdarahan berlanjut dan sulit diatasi, hentikan penggunaan endoskop dan
lakukanlah operasi secara konvensional. Pada pasien poliposis dengan kemungkinan
perdarahan, polip yang besar diangkat dulu tanpa penggunaan endoskop. Setelah
perdarahan berkurang, tindakan dilajutkan dengan endoskop. Dengan alat baru yang
sangat menguntungkan yaitu alat debrider yang dapat memotong langsung menghisap
polip sehingga perdarahan sangat minimal.
Perdarahan yang dapat berbahaya adalah perdarahan akibat trauma pada a.etmoid
anterior jika ujung arteri yang terputus mengalami retraksi dan masuk ke dalam orbita
menyebabkan perdarahan rongga orbita disebut hematoma retro-orbital. Mata menjadi
proptosis secara tiba-tiba dan dapat timbul kebutaan akibat regangan n.optikus.
Karenanya mata harus selalu berada dalam pandangan kita agar dapat dimonitor selama
operasi. Perdarahan paling berbahaya terjadi akibat ruptur a.karotis atau akibat penetrasi
intrakranial, maka ahli bedah saraf harus segera dipanggil dan tindakan kraniotomi
dianjurkan untuk mengatasi perdarahan ini.8
IV.8 Anestesi dan Analgesi
Teknik BSEF dapat dilakukan dalam anestesi lokal atau umum. Umumnya
anastesi lokal dilakukan jika prosedur ringan seperti BSEF mini atau lainnya.
Pada anastesi lokal, manipulasi daerah lamina papirasea dan dasar otak akan
menghasilkan rasa nyeri dan ini merupakan tanda untuk mencegah penetrasi, tetapi
menurut kepustakaan, tidak terbukti anestesi lokal lebih aman dibanding anestesi umum
dengan teknik hipotensi kendali pada operasi endoskopik.34
Diperlukan teknik anestesi lokal yang mampu memberikan vasokonstriksi yang
baik. Anastesi topikal adalah dengan larutan lidokain/pantokain/xylokain 2% dicampur
epinefrin 1:100.000 dalam konsentrasi 4:1. Kapas kecil bertali dibasahi larutan ini,
diperas kuat-kuat, dimasukkan ke meatus medius dan agger nasi dengan panduan
endoskop dan dibiarkan selama 10 menit. Dapat pula memakai analgesi-vasokonstriktor
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 35 /52
kuat seperti Co-phenylcaine Forte spray. Anestesi infiltrasi adalah dengan lidokain 2%
dan epinefrin 1:80.000-100.000, disuntikkan dengan jarum panjang di atas perlekatan
konka media, prosesus unsinatus dan foramen sfenopalatina.8
Saat ini anastesi umum dengan teknik hipotensi terkendali merupakan teknik
anastesi yang paling populer baik di negara Barat maupun di Indonesia. Teknik kendali
hipotensi akan mengurangi perdarahan sehingga lapang pandang operasi lebih jelas dan
kemungkinan komplikasi terhindar, disamping pasien lebih nyaman demikian pula
operator dapat bekerja lebih baik dan tenang.
Namun demikian hipotensi kendali ini memiliki risiko pada beberapa pasien
misalnya pasien geriatri. Disamping itu penggunaan halotan bersama vasokonstriktor
dapat menimbulkan risiko iritabilitas jantung.39
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 36 /52
BAB V
BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL PADA ANAK
Data yang berasal dari bagian THT dan bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo pada tahun 1999 menunjukkan prevalensi rinosinusitis maksila
akut pada anak yang telah didiagnosis sebagai ISNA adalah 25%.40 Angka ini 2-3 kali
lebih tinggi daripada angka yang dilaporkan di Amerika dan Eropa. Anak lebih rentan
terhadap infeksi virus karena maturitas sistem imun yang dimiliki belum sempurna.
American Academy of Pediatrics memperkirakan anak menderita 6-8 kali infeksi virus
pada saluran napas atas dalam 1 tahun, dan 5-13% dapat berlanjut menjadi rinosinusitis
bakteriil.41
Pada anak batasan waktu untuk rinosinusitis kronik adalah ≥12 minggu dan lebih
sering frekuensi episode serangan akutnya (≥6 kali serangan / tahun). Kriteria untuk
menegakkan rinosinusitis kronik juga sesuai dengan didapatkannnya 2 kriteria mayor
atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Terdapat 2 kriteria mayor tambahan pada
anak yaitu batuk dan iritabilitas14. (Tabel 2).
Peningkatan insidensi infeksi pernapasan atas akibat virus ( 6-8 episode per
tahun) dan rinitis alergi musiman (10-15% pada anak) merupakan predisposisi
meningkatnya insidensi sinusitis pada anak.
Petunjuk baku yang dikeluarkan oleh AAP merekomendasikan pemberian
antibiotika untuk terapi rinosinusitis akut, karena angka keberhasilan respons kliniknya
baik dan dapat mempercepat proses penyembuhan (recovery). Persentase anak dengan
rinosinusitis akut yang memperoleh antibiotika menunjukkan kesembuhan dan perbaikan
klinik pada hari ke 3 adalah 83%, sedangkan yang mendapat plasebo hanya menunjukkan
perbaikan sebesar 51%. 41
Sinusitis kronik pada anak adalah penyakit multifaktorial, dan banyak memiliki
gejala klinik yang mirip dengan rinitis alergi dan infeksi virus pada saluran napas atas.
Sebaliknya anak yang menderita rinitis alergi dan sering mengalami infeksi virus
merupakan anak dengan risiko tinggi untuk menderita sinusitis kronik. Penyakit refluks
gastroesofagus juga merupakan faktor risiko lain pada sinusitis kronik pada anak yang
tidak sembuh dengan terapi medikamentosa agresif bahkan terapi bedah. Penyakit yang
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 37 /52
mengakibatkan gangguan pada sistem transpor mukosilier juga merupakan faktor risiko
terjadinya sinusitis kronis, seperti pada penyakit fibrosis kistik dan sindrom Kartagener.
Pada anak dengan sinusitis kronik yang gagal diterapi secara medikamentosa,
bedah sinus endoskopik fungsional, yang diperkenalkan oleh Stammberger pada pasien
dewasa pada tahun 1986, dapat merupakan terapi primer. Bedah sinus endoskopik
fungsional secara esensial telah menggantikan lavage dan nasal antral windows, namun
masih merupakan hal yang kontroversial jika menyangkut luasnya pembedahan yang
harus dilakukan..42 Pendekatan minimal dengan BSEF mini, yaitu hanya melakukan
unsinektomi dan mengidentifikasi ostium sinus maksila dan melakukan irigasi melalui
ostium alamiah sinus maksila merupakan tindakan yang banyak dilakukan. Kennedy
melaporkan berdasarkan investigasinya bahwa tindakan ini akan memperbaiki kelainan
penyakit yang lebih luas. Dengan tindakan BSEF minimal, maka tidak diperlukan lagi
second look endoscopic examination, yaitu pemeriksaan endoskopik pasca operasi yang
dilakukan untuk pembersihan hidung pasca BSEF.
Studi meta-analisis bedah sinus endoskopik fungsional untuk menilai efektivitas
dan keamanan pembedahan pada anak dilaporkan oleh Herbert42 pada 832 anak berusia
11 bulan – 18 tahun. Rinosinusitis kronis yang dibuktikan dengan tomografi komputer
sebelum dilakukan tindakan BSEF, menunjukkan perbaikan gejala pasca BSEF berkisar
antara 77-100%, dengan rerata 88,4%. Jika terdapat penyakit penyerta berupa fibrosis
kistik akan didapatkan hasil yang lebih buruk yaitu 0-57% dan cenderung memerlukan
prosedur BSEF ulangan. Komplikasi yang terjadi sebesar 0,6%, yaitu 2 kasus
memerlukan transfusi darah dan 2 kasus menderita meningitis pasca BSEF. Dari studi
meta-analisis ini dilaporkan bahwa BSEF adalah prosedur yang aman dan efektif untuk
terapi rinosinusitis kronik pada anak yang refrakter terhadap terapi medikamentosa.
Kelemahan studi analisis ini adalah tidak digunakannya kriteria keberhasilan BSEF yang
obyektif dan terstandardisasi. Populasi sample pada penelitian meta-analisis ini juga
sangat heterogen, karena masing-masing penelitian serial bervariasi dalam kriteria
seleksi, derajat beratnya sinusitis dengan sistem penderajatan sinusitis yang tidak
seragam, dan penyakit sistemik yang mendasari. Jenis tindakan pada BSEF yang
dilakukan juga bervariasi. Sebagian besar anak hanya memerluakan antrostomi meatus
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 38 /52
medius dan etmoidektomi anterior sedangakan beberapa anak memerlukan tindakan
bedah yang lebih luas.
Walner43 dkk menilai efektivitas BSEF pada 23 anak berusia 2-13 tahun
menggunakan survei keberhasilan klinik modifikasi SF-36 global health assessment.
Gejala utama pra BSEF adalah sekret hidung purulen, dan hidung tersumbat kronis.
Penyakit penyerta yang ditemukan pada populasi ini adalah alergi 70%, asma 35%,
imunodefisiensi 4%, nasal polip 13%. Tindakan BSEF revisi dilakukan pada 2 anak
(9%). Penelitian survei yang dilakukan ini menunjukkan pernurunan skoring gejala pada
9 kategori dari 15 kategori, yaitu frekuensi batuk, hidung tersumbat, kunjungan ke dokter,
gangguan aktivitas sehari-hari, gangguan performa di sekolah, performa orang tua di
tempat kerja dan gangguan performa orang tua di rumah sehubungan dengan kondisi
anak. Hasil penelitian survei ini menunjukkan perbaikan gejala klinik dan nilai kualitas
hidup berdasarkan laporan orang tua yang memiliki anak yang menjalani BSEF karena
sinusitis kronik. Walaupun terdapat kasus sinusitis kronis bakterial yang sembuh dengan
terapi medikamentosa yang adekuat atau adenoidektomi, penelitian ini menyimpulkan
bahwa BSEF pada anak memainkan peranan penting sebagai terapi efektif untuk
penderita sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan terapi medik adekuat. Kelemahan
dari penelitian ini adalah jumlah sampel yang relatif kecil yaitu 23 anak, tidak terdapat
kelompok control walaupun hasil survei pra-operatif dilakukan untuk pembanding. Yang
lebih ideal lagi survei serupa juga dilakukan pada kelompok anak atau orangtua dengan
sinusitis yang diobati tanpa pembedahan, untuk menilai efek dari waktu berjalannya
penyakit alamiah atau hasil terapi non-bedah. Studi perbandingan dengan kelompok-
kelompok ini akan lebih meningkatkan keyakinan tentang keuntungan pembedahan bagi
anak dengan sinusitis kronik.
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 39 /52
BAB VI
HASIL DAN DISKUSI
1. Indikasi
Indikasi umumnya adalah untuk sinusitis kronik atau sinusitis akut berulang yang
tidak mengalami perbaikan setelah diberi terapi obat yang optimal dan polip hidung
yang tidak berespons terhadap pengobatan medikamentosa. Indikasi absolut BSEF
termasuk didalamnya adalah sinusitis dengan komplikasi ke orbita, intrakranial dan
perluasannya, mukokel, sinusitis jamur dan sinusitis jamur invasif.36
Indikasi BSEF yang diperluas adalah untuk pengangkatan tumor jinak dan ganas
pada hidung dan sinus paranasal, tumor hipofisis, menambal kebocoran likuor
serebrospinal, dakriosistorinostomi, biopsi dan pengangkatan tumor retroorbita yang
meluas ke hidung dan sinus paranasal, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus,
ligasi arteri sfenopalatina pada epistaksis dan terapi bedah pada atresia koana.
2. Efektivitas
a. Kualitas Hidup (QOL: quality of life)
Pada suatu penelitian non randomized, prospektif, clinical trial oleh
Bhattacharyya N44 untuk menentukan efektivitas bedah sinus endoskopik pada pasien
dengan sinusitis kronik terhadap gejala klinis dan pemakaian obat, 100 pasien dewasa
dengan sinusitis kronik yang refrakter terhadap pengobatan dinilai berdasarkan
Rhinosinusitis Symptom Inventory. Sebelum dilakukan terapi, rata-rata skor gejala
mayor berkisar antara 2,5-3,5 ( skala Likert, 0 [tidak ada gejala] sampai 5 [gejala
maksimal] dan gejala minor berkisar antara 0,8 sampai 2,8). Setelah dilakukan
pembedahan, gejala mayor dan minor menurun signifikan secara statistik (p<0,001).
Perbaikan klinis antara sebelum dan sesudah operasi sangat terlihat pada gejala klinis
nyeri wajah, penyumbatan, obstruksi hidung, rinore, dan sakit kepala (nilai absolut
>0,85). Lamanya penggunaan obat kortikosteroid meningkat dan menurun pada
penggunaan antihistamin. Penurunan kebutuhan penggunaan antibiotik juga terlihat
setelah dilakukan bedah sinus endoskopik.
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 40 /52
Tabel 3. Sinonasal Symptom Scores Before and After Endoscopic Sinus Surgery* Dikutip dari: Bhattacharyya44
Gambar 1. Changes in symptom domain scores after endoscopic sinus surgery (ESS). The range for the scores was 0 to 100. Dikutip dari: : Bhattacharyya42
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 41 /52
Tabel 4 Medication Use Before and After Endoscopic Sinus Surgery Dikutip dari: Bhattacharyya44
Peningkatan kualitas hidup pada pasien sinusitis kronik setelah dilakukannya
bedah sinus endoskopik fungsional juga didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Damm45,dkk. Mereka melakukan uji klinis prospektif terbuka pada 279 pasien
setelah menjalankan bedah sinus endoskopik fungsional di Departemen THT
Universitas Cologne, Jerman dari tahun 1995 sampai 1999. Setelah pengamatan
selama 31,7 bulan, peningkatan kualitas hidup mencapai 85%, 12% tidak ada
perubahan, dan 3% mengalami perburukan kualitas hidup. Peningkatan ini terlihat
jelas pada penurunan gejala obstruksi nasal (84%), sakit kepala (82%), dan post nasal
drip (78%); (P<0,01), dimana berkorelasi secara signifikan dengan obstruksi nasal
(r=0,59), sakit kepala (r=0,39), dan post nasal drip (r=0,55); (P<0,01).
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tindakan bedah sinus endoskopik
fungsional pada pasien dengan sinusitis kronik dapat menurunkan gejala kinis dan
memperbaiki kualitas hidup pasien.
b. Analisis Biaya dan QALY (Quality Adjusted Life Year)
Kualitas hidup rinosinusitis kronik berdasarkan time trade-off analysis adalah
0.87. Pada populasi, penderita terbanyak rinosinusitis kronik berusia 30 tahun, dengan
angka harapan hidup penderita adalah 65 tahun. Jika penderita ini menjalani tindakan
BSEF, maka akan terjadi peningkatan kualitas hidup sebesar 0.95, dengan length of
life 30 tahun maka QALY = (0.95 – 0.87) X 30 tahun = 2,4.
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 42 /52
Biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien untuk membayar biaya paket
operasi khusus sesuai kamar perawatan kelas III di RSCM adalah sesuai komponen
biaya berikut:
KOMPONEN BIAYAJumlah
Rp Persentase
Jasa medis operator 800.000,- 20
Jasa medis anestesi 275.000,- 7
Tim pembantu operasi 100.000,- 2.5
Kamar Operasi 200.000,- 5
Alat BSEF 1.000.000,- 25
Barang Farmasi 1.200.000,- 30
Instalasi Bedah Pusat 100.000,- 2.5
Risiko Pengelola 325.000,- 8.125
TOTAL 4.000.000,- 100
Sehinga untuk meningkatkan 1 QALY diperlukan biaya:
Rp 4.000.000,- / 2.4 = Rp 1.666.666,-, dibulatkan menjadi Rp 1.700.000,-
Bila kita berbicara mengenai dampak ekonomi suatu penyakit, perlu
diperhatikan dampak secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung
mudah untuk dinilai dan termasuk didalamnya obat-obatan, biaya perawatan di rumah
sakit, kunjungan dokter, dan biaya pembedahan bila ada. Biaya tidak langsung lebih
sulit untuk dinilai dan termasuk diantaranya disabilitas pasien dan hilangnya
produktivitas. Ray46,dkk memperkirakan dampak ekonomi akibat sinusitis di Amerika
(hanya dampak langsung) adalah sebesar $5,8 bilion pada tahun 1996, dimana $1,8
bilion (30,6%) untuk anak 12 tahun atau lebih muda.
Gliklich dan Metson47 meneliti dampak ekonomi bedah sinus endoskopik pada
rinosinusitis kronik. Dilaporkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan pasien yaitu
sekitar $1220 setiap tahunnya untuk pengobatan sinusitis sebelum dilakukan bedah
sinus endoskopik. Setelah dilakukan tindakan bedah biaya ini turun 48% menjadi
$629 (p<0,0001). Biaya bedah dilaporkan yaitu $6490 per pasien, dengan break event
point dalam waktu 7 tahun.
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 43 /52
3. Standardisasi Alat & Harga :
1. teleskop 4 mm 00 35.773.920 – 45.987.7002. teleskop 4 mm 300 37.269.360 – 47.410.0003. cable light 3.284.760 - 7.547.4304. light source (sumber cahaya) 91.852.800 – 293.908.0005. sistim kamera + CCTV6. monitor 2.000.000 -7. teleskop 4 mm 700 (tambahan untuk melihat lebih luas ke
arah frontal dan maksila)37.269.360
8. teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk pasien anak)
1. Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8mm, Luer-lock)
Penggolongan biaya ini berdampak kepada jasa medis operator dan jasa
medis anestesi saja. Peningkatan jasa medis sesuai dengan peningkatan klasifikasi
operasi merupakan penghargaan terhadap kemampuan, keterampilan dan
kompetensi operator yang semakin tinggi.
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 47 /52
BAB VII
REKOMENDASI
1. Indikasi BSEF adalah sinusitis kronik atau sinusitis akut berulang yang tidak
mengalami perbaikan setelah diberi terapi obat yang optimal dan polip hidung yang
tidak berespons terhadap pengobatan medikamentosa. Indikasi absolut BSEF adalah
sinusitis dengan komplikasi ke orbita, intrakranial dan perluasannya, mukokel,
sinusitis jamur dan sinusitis jamur invasif. (Rekomendasi A)
2. Indikasi BSEF yang diperluas adalah untuk pengangkatan tumor jinak dan ganas pada
hidung dan sinus paranasal, tumor hipofisis, menambal kebocoran likuor
serebrospinal, dakriosistorinostomi, biopsi dan pengangkatan tumor retroorbita yang
meluas ke hidung dan sinus paranasal, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus,
ligasi arteri sfenopalatina pada epistaksis dan terapi bedah pada atresia koana.
(Rekomendasi C)
3. Melakukan tindakan BSEF sesuai standar prosedur dengan mengingat kompetensi
operator dan ketersediaan alat. Tindakan dilakukan dalam anestesi umum dengan
teknik hipotensi terkendali atau anestesi lokal jika tidak memungkinkan anestesi
hipotensi terkendali. (Rekomendasi C)
4. Menyediakan fasilitas yang dibutuhkan untuk melakukan prosedur BSEF terdiri dari
perangkat keras yaitu, sumber cahaya, teleskop dan sistem kamera serta memenuhi
kebutuhan standar minimal perangkat lunak yaitu instrumen bedahnya (pisau sabit,
forsep dan lain-lain). (Rekomendasi C)
5. Meningkatkan kerjasama dengan cabang ilmu terkait yaitu bagian Radiologi,
Anestesi, Anak, dan Penyakit Dalam dalam penatalaksaan pasien yang akan
menjalani BSEF. Menyebarkan pengetahuan mengenai anatomi radiologik dinding
lateral hidung dan teknik hipotensi terkendali kepada dokter ahli Radiologi dan
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 48 /52
mengenai teknik anestesi hipotensi terkendali kepada dokter ahli Anestesi di seluruh
Indonesia. (Rekomendasi C)
6. Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL membuat standar
biaya operasi sesuai dengan berat-ringannya prosedur operasi, dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat. (Rekomendasi D)
7. Institusi pendidikan dan / PERHATI-KL menyelenggarakan kursus dan pelatihan,
bimbingan teknologi untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM.
(Rekomendasi D)
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 49 /52
KEPUSTAKAAN
1. Pola Penyakit 50 Peringkat Utama Menurut DTD Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Indonesia Tahun 2003. Depkes RI
2. Survei Kesehatan 3. Data Poli Rawat Jalan Sub Bagian Rinologi, Bagian THT FKUI – RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta 2000-2005.4. Data Poli Rinologi , Bagian THT FK UNHAS - Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Makasar Januari
2005-Juli 20065. Data Poli Rinologi, Malang6. Dalziel K, Stein K, Round A, Garside R, Royle P. Systematic Review Of Endoscopic Sinus
Surgery For Nasal Polyps. Health Technology Assessment 2003;17(7).7. Nizar NW, Mangunkusumo E, Polip Hidung. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: BP FK UI, 2003:968. Soetjipto D. Teknik dan Tip Praktis Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Kumpulan Naskah
Lengkap, Kursus, Pelatihan dan Demo BSEF. Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung & Tenggorok. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
9. Smith LF, Brindley PC, Indications, evaluation, complication and results of functional endoscopic sinus surgery in 200 patients. Department of Otolaryngology, University of Texas Medical Center, Galveston
10. Roos K. The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis. In Rhinosinusitis: Current Issues in Diagnosis and Management. Lund V. Corey J (Eds). The Royal Society of Medicine Press Limited, London, UK, Round Table Series 1999; 67: 3-9
11. Soetjipto D. Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis. Dipresentasikan pada Malam Klinik Perhati Jaya, Jakarta, 14 Mei 2000.
12. Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis. Dipresentasikan di PIT PERHATI, Palembang 2001.13. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: BP FK UI, 2003: 124.14. Kennedy DW, International Conference On Sinus Disease, Terminology, Staging, Therapy. Ann
Otol Rhinol Laryngol 1995; 104 (Suppl. 167):7-3015. Meltzer EO, Hamilos DL, Hadley JA, et al. Rhinosinusitis: Establishing definitions for clinical
research and patient care. Otolaryngol Head Neck Surg 2004; 131(supl):S1-S62.16. Antonio T, Hernandes J, Lim M, Mangahas L et al. Rhinosinusitis in Adult. In: Clinical Practise
Guideline. The Task Force on CPG. Philippine Society Otorhinolaryngology – Head and Neck Surgery 1997; 16-20.
17. Soetjipto D, Bunnag C, Fooanant T, Passali D, Clement PAR, Gendeh BS, Vicente G (Working Group). Management of Rhinosinusitis For The Developing Countries. Presented in The Seminar on Standard ORL Management in Developing Countries, Bangkok, 29 January 2000.
18. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Retno SW, Umar SD, Nizar NW. A Comparative Study of Levofloxacin and Amoxicillin/Clavulanic Acid for the Treatmen of Acute and Subacute Bacteriil Rhinosinusitis. Presented at the 6th Western Pacific Congress of Chemotherapy and Infectious Disease. WESPAC 98, Malaysia 29th November – 3rd December 1998.
19. Drake-Lee A. The Pathogenesis of Nasal Polyps. In Settipane GA, Lund VJ, Bernstein JM, Tos M eds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment. Providence: Oceanside Publication; 1997:57-64.
20. Pawankar R. Nasal Polyposis: A Multifactorial Disease. In: Proceeding of World Allergy Forum Symposia: Non Allergic Rhinitis and Polyposis. Sydney Australia: 2000 Oct. 17.
21. Woolford T. The Aetiology of Nasal Polyps: An On-going Mystery. ENT News 2002; 11(5):59-6122. Jareoncharsri P. Pathogenesis of Nasal Polyps: In Bunnag C, Muntarbhorn K eds. Asian
Rhinological Practise. Bangkok, 1997:54-63.23. Tos M, Larsen PL. Nasal Polyps: Origin, Etiology, Pathogenesis and Structure. In: Kennedy DW,
Bolger WE, Zienriech SJ eds. Diseases of the Sinuses: Diagnosis and Management. Ontario, BC Decker Inc: 2001:57-68.
24. Larsen PL, Tos M. Origin and Structure of Nasal Polyps. In: Mygind N, Lildholdt T. Nasal Polyposis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaarrd: 1997:120-36.
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 50 /52
25. Stammberger H. Examination and Endoscopy of The Nose and Paranasal Sinuses. In: Mygind N, Lildholdt T. Nasal Polyposis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaard; 1997:120-36
26. Mackay IS, Lund VJ. Imaging and Staging. In: Mygind N. Lildholt T. Nasal Polyposis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaard; 1997:137-44.
27. Stammberger H. Rhinoscopic Surgery. In: Settipane GA, Lund VJ, Berstein JM, Tos M eds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment, Providence: Oceanside Publication; 1997: 165-76.
28. Stammberger H. Functional Endoscopic Sinus Surgery, Philadelphia: BC Decker; 1991.29. Naclerio RM, Mackay IS. Guidelines for the Management of Nasal Polyposis. In: Mygind N,
Lildholt T. Nasal Polypsis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaard; 1997: 177-80.
30. Mygind N, Lildholt T. Medical Management. In: Settipaned GA, Lund VJ, Bernstein JM, Tos M eds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment Providence: Oceanside Publication: 1977: 147-55.
31. Lund VJ. Surgical Treatment – Nasal Polyps: In Settipaned GA, Lund VJ, Bernstein JM, Tos M eds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment Providence: Oceanside Publication: 1977: 157-63.
32. Roezin A, Mangunkusumo E, Soetjipto D. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: BP FK UI, 2003:143.
33. Hosemann W. Role of Endoscopic Surgery in Tumor. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ. Diseases of The Sinuses, Diagnosis and Management, London: Hamilton; 2001.
34. Iriani AH, Widiantoro R, Arfandy RB. Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Tanpa Tampon. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia (Perhati), Batu Malang: 1996.
35. Slack R, Bates G. Functional Endoscopic Sinus Surgery. Am Fam Phys, 1998:36. Kennedy DW. Functional Endoscopic Sinus Surgery: Concepts, Surgical, Indication and
Instrumentation. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the Sinuses, Diagnosis and Management. London: Hamilton;2001
37. Schlosser RJ, Kountakis S, Gross CW. Postoperative Management of Endoscopic Sinus Surgery. Curr Opin in Otol Head Neck Surg, 2002; 10: 36-9.
38. Neurman, Thomas R, Turner, William J. Complications of Endoscopic Sinus Surgery, Ear Nose Throat J, 1994; 73(8):
39. Lanza DC, Kennedy DW. Endoscopic Sinus Surgery. Dept of Otolaryngology, The Cleveland Clinic Foundation, Cleveland, Ohio
40. Hutagaol R. Prevalens Rinosinusitis Maksila Akut Pada Anak Dengan Infeksi Saluran Napas di Bagian THT dan Ilmu Kesehatan Anak, RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo, Skripsi Akhir Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Studi Ilmu Penyakit THT, Jakarta; FKUI, 2000.
41. American Academy of Pediatric. Clinical Practise Guidelines for The Management of Rhinosinusitis . London; Microwatch Meditech Media Limited, 2002:
42. Herbert Rl, Bent JP. Meta-Analysis of Outcomes of Pediatric Functional Endoscopic Sinus Surgery, Laryngoscopie, 1998;108(6): 796-9.
43. Welner……44. Bhattacharrya N. Symptoms Outcomes After Endoscopic Sinus Surgery for Chronic
Rhinosinusitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg, 2004; 130:329-33.45. Damm M, Quante G, Jungehuelsing M, Stennert E. Impact of Functional Endoscopic Sinus
Surgery on Symptoms and Quality of Life in Chronic Rhinosinusitis. Laryngoscope, 2002; 112:310-5.
46. Ray NF, Baraniuk JN, Thamer M, Rinehart CS, Gergen PJ, Kaliner M. Healthcare Expenditures for SInusisit in 1996: Contributions on Asthma, Rhinitis, and Other Airway Disorders. J Allergy Clin Immun 1999;103:408-14.
47. Glicklich RE, Metson R. Economic Implications of Chronic Sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg, 1998;118:344-9.
48. Bhattacharrya T, Piccirillo J, Wippold JF. Relationship Between Patient Based Description of Sinusitis and Paranasal Sinus Computed Tomographics Findings. Arch Otolaryngol Head Neck Surg, 1997;123:1189-92.
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 51 /52
49. Bradley DT, Kountakis SE. Correlation Between Computed Tomography Scores and Symptomatic Improvement After Endoscopic Sinus Surgery. Laryngoscope, 2005; 115: 466-9.
50. Stewart MG, Johnson RF, Chronic Sinusitis: Symptoms versus CT Scan Findings. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg, 2004; 12: 27-9.
51. Pryor SG, Moore Ej, Kasperbauer Jl. Endoscopic versus Traditional Approaches For Excition of Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Laryngoscope,2005; 115:1201-7.
52. Wormald PJ, Ooi E, van Hasselt A, Nair S. Endoscopic Removal of Sinonasal Inverted Papilloma Including Endoscopic Medial Maxillectomy. Laryngoscope, 2003;113:867-73.
53. Ramadan HH. Surgical Management of Chronic Sinusitis in Children. Laryngoscope, 2004;114(2):2102-9.
54. Ramadan HH. Relation of Age to Outcome After Endoscopic Sinus Surgery in Children. Arch Otolaryngol Head Neck Surg, 2003;129:175-7.
55. Eberhart LHJ, Folz BJ, Wulf H, Geldner G. Intravenous Anesthesia Provides Optimal Surgical Conditions During Microscopic and Endoscopic Sinus Surgery. Laryngoscope, 2003;113:1369-73.
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 52 /52
PANEL AHLI
Dr. Damayanti S, Sp.THTPP PERHATI, Jakarta
Dr. Umar Said Dharmabakti, Sp.THTDepartemen Ilmu Telinga, Hidung dan TenggorokanFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo
Dr. Endang Mangunkusumo, Sp.THTDepartemen Ilmu Telinga, Hidung dan TenggorokanFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo
Dr. Rusdian Utama, Sp.THTDepartemen Ilmu Telinga, Hidung dan TenggorokanFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo
Dr.Retno S.Wardani, Sp.THTDepartemen Ilmu Telinga, Hidung dan TenggorokanFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo
Dr. Vika Aryan Sari, Sp.THTDepartemen Ilmu Telinga, Hidung dan TenggorokanFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo
Dr. Delfitri Munir, S.THTPERHATI Medan
Dr.Yan Edward, Sp.THTPERHATI Padang
Dr. Boy Arfandi Sp.THTPERHATI Makasar
Dr. Suharyanto, Sp.THTPERHATI Malang
Dr. Triece Harieti, Sp.THTPERHATI Semarang
Dr.Nugroho Sudarsono, Sp.THTPERHATI Surabaya
TIM TEKNISKetua : Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K)Anggota : Dr. Santoso Soeroso, Sp.A(K), MARS