-
KAJIAN SPASIAL DATA RESPON BALIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR
DARI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA TERNATE MENGGUNAKAN
SATELIT AQUA MODIS
Hanggar P. Kadarisman1 dan Eko Susilo1
1 Balai Penelitian dan Observasi Kelautan Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Jalan Baru Perancak Negara Jembrana Bali
email: [email protected]
Abstrak
Analisis data respon balik dari Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN) Ternate pada tahun 2011 memberikan 19 Informasi wilayah
penangkapan ikan pelagis besar. Persentase hasil tangkapan terbesar
berada pada perairan Bacan untuk ikan Cakalang (Katsuwonus
pelamis), Obi untuk Mandidihang (Thunnus albacares), Gane Barat
untuk Tongkol (Euthynnus sp.), dan Ternate untuk Tuna (Thunnus
sp.). Kajian spasial yang dilakukan adalah memantau lingkungan
perairan untuk parameter Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Klorofil a
di lokasi penangkapan tersebut melalui data satelit Aqua MODIS,
dengan jangka waktu kajian berulang pada tahun 2002 hingga 2011.
Hasil pemantauan dari ke empat lokasi kajian, didapatkan bahwa
fluktuasi SPL mencapai 1,5OC dengan nilai maksimal 2,88OC dari
kondisi rata - rata. Pada semua lokasi perairan, suhu terendah
dapat dijumpai pada musim timur sekitar bulan Juli dan Agustus,
yang diikuti dengan naiknya konsentrasi Klorofil -a pada masing -
masing perairan. Anomali positif lebih dari 1 derajat untuk SPL
mulai terlihat tinggi pada tahun 2008 dan memiliki tren terus naik
pada tahun berikutnya dengan hasil nilai terbesar berada pada
perairan Bacan. Hasil kajian ini memberikan informasi kondisi
lingkungan wilayah penangkapan ikan pelagis besar yang secara
langsung dapat dipantau dengan penginderaan jauh. Sehingga akan
dihasilkan data time series yang secara berkelanjutan merujuk
kepada prediksi karakteristik wilayah penangkapan untuk jenis ikan
yang spesifik. Kata Kunci: Klorofil a, Pelagis Besar, Respon Balik,
SPL.
PENGANTAR Ikan Pelagis merupakan kelompok
ikan yang hidup dan mencari makanan pada daerah pelagis
(perairan terbuka dan bebas dari dasar laut) dengan kedalaman
perairan mencapai 200 m (Dahuri et al., 2008). Ikan pelagis besar
memiliki kemampuan ruaya yang tinggi diantara laut lepas dan
wilayah pesisir (Beamish et al., 2005) dan menjadi primadona
penang-kapan ikan ekonomis penting utama nelayan di wilayah
perairan Indonesia, seperti Cakalang (Abdulah, 2011), Tuna (Habibi
et al., 2011), dan Tenggiri (Sudariastuti, 2011). Menurut DJPT
(2011) dalam publikasinya, memperlihatkan selama kurun waktu 5
tahun (2005 2010) ikan ini masih merupakan salah satu dari tiga
hasil tangkapan terbesar di Indonesia dengan jumlah total tangkapan
mencapai 1.156 Juta ton pada tahun 2010.
Produksi tangkapan ikan pelagis besar sebagian besar tersebar di
seluruh
perairan Indonesia, namum secara kese-luruhan dari sebelas
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) terdapat
beberapa wilayah yang memiliki dominasi produksi tertinggi,
diataranya adalah WPP-RI 573 (Perairan Samudera Hindia sebelah
selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan
Laut Timor bagian barat), WPP-RI 711 (Perairan Selat Karimata, Laut
Natuna dan Laut Cina Selatan), WPP-RI 715 (Perairan Teluk Tomini,
Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau), WPP-RI
716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), dan
WPP-RI 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik) (DJPT,
2011).
Jenis jenis ikan pelagis besar yang terdapat di perairan
Indonesia antara lain: Ikan Tuna besar meliputi: Madidihang
(Thunnus albacares), Tuna mata besar (Thunnus obesus), Albakora
(Thunnus alalunga), Tuna sirip biru selatan (Thunnus
-
maccoyii), Tuna ekor panjang (Thunnus tonggol), jenis ikan
Pedang/ Setuhuk yang meliputi: ikan Pedang (Xipian gladius),
Setuhuk biru (Makaira mazara), Setuhuk hitam (Makaira indica),
Setuhuk loreng (Teptapturus audax), ikan Layaran (Istiophorus
platypterus), jenis Tuna kecil meliputi: ikan Cakalang (Katsuwonus
pelamis), dan jenis ikan tongkol yang terdiri dari Euthynnus
affinis, Auxis thazard, dan Auxis rochei, Jenis ikan cucut yang
meliputi: Sphyrna sp., Carcharhinus longimanus, C. Brachyurus dan
lain lain (Mallawa, 2006).
Penginderaan jauh (inderaja) memiliki peranan penting dalam
pemantauan kondisi lingkungan di Indonesia. Lillesand dan Kiefer
(1994) menunjukkan gambaran yang luas dalam bukunya mengenai Remote
Sensing and Image Interpretation, dan memberikan kontribusi yang
besar di bidang inderaja hingga perkembangannya saat ini. Pada
bidang kelautan dan perikanan, inderaja dapat memberikan solusi
dalam banyak hal mengenai pengamatan lingkungan, mengingat
Indonesia merupakan negara maritim dengan potensi baharinya yang
tinggi. Inderaja dapat digunakan sebagai kajian spasial maupun
temporal untuk beberapa pemantauan kondisi lingkungan perairan,
seperti; SPL, klorofil a, mangrove, garis pantai, maupun sebaran
terumbu karang, dan merupakan suatu implementasi yang dapat
membantu mengumpulkan informasi secara geografis sehingga dapat
dianalisis.
Salah satu satelit yang dapat melakukan pemantauan berkala
dengan resolusi temporal tinggi adalah satelit Aqua Moderate
Resolution Imaging Spectroradiometer (Aqua-MODIS)/ EOS PM1 yang
diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics and Space
Administration) pada tanggal 4 Mei 2002 (Savtchenko et al., 2004).
Satelit ini berfungsi untuk memberikan informasi global tentang
permukaan bumi, atmosfer, atau fenomena laut dengan orbit
ketinggian adalah 705 km yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai
pihak di seluruh dunia (free).
Penelitian terkait dengan kajian informasi inderaja dan
penangkapan ikan di Indonesia; Hendiarti et al., (2004) membe-rikan
gambaran melalui pergerakan air di musim timur (Juni hingga
September) di selat Sunda yang ditunjukkan dengan suhu yang lebih
hangat (SPL lebih tinggi dari
29,5OC) dan konsentrasi klorofil a lebih dari 0,5 mg/m3, kondisi
ini berpengaruh pada kelimpahan ikan di perairan tersebut, dimana
penangkapan ikan bertepatan dengan masuknya air dari laut jawa yang
mengantarkan ikan-ikan pelagis untuk beruaya menuju kesana. Selain
itu, kajian yang terkait dengan hal tersebut juga ditunjukkan oleh
Sartimbul et al., (2010) mengenai pengaruh klorofil a terhadap
hasil tangkapan (CpUE) ikan lemuru di Selat Bali.
Faktor sumber makanan dan kesesuaian lingkungan habitat untuk
hidup di perairan menjadikan hal utama dalam mempelajari sumberdaya
hayati ikan. Merujuk pada ikan pelagis besar dengan habitatnya,
beberapa tulisan telah dibuat, diantaranya oleh Zainuddin (2011)
untuk ikan cakalang, Tuna Mata besar oleh Wibawa, 2011; Brill et
al., 2005, dan ikan pedang oleh Boyce et al., 2008, dimana semuanya
memiliki kesamaan yang terletak pada parameter lingkungan seperti
SPL dan klorofil -a (yang diteliti) dengan spesies ikan, sebagai
kajian habitat organisme.
Data respon balik merupakan informasi log book lokasi
penangkapan dan informasi jumlah hasil tangkapan ikan-ikan yang
didaratkan ke pelabuhan perikanan. Analisis data respon balik bisa
menggambarkan pola penangkapan dan kecenderungan hasil tangkapan
pada musim musim tertentu.
Pemanfaatan terhadap data respon balik ini, memberikan beberapa
masukan dalam melakukan kajian perikanan khususnya pada bidang
observasi lingkungan perairan, diantaranya adalah informasi
mengenai kondisi fisik dan biologi lingkungannya melalui pemantauan
satelit inderaja.
Kajian data spasial yang diambil dari data respon balik dengan
melihat lokasi tangkapan ikan pelagis besar merupakan suatu studi
awal untuk memperlihatkan kondisi lingkungan secara time series
terkait dengan pola habitat ikan menggunakan satelit inderaja.
Hasil yang diharapkan kedepannya adalah untuk mencapai suatu
prediksi habitat suatu jenis ikan melalui pendekatan informasi
lingkungan dari penginderaan jauh yang dikaji dari validasi data
insitu.
-
BAHAN DAN METODE Data Respon Balik
Pengumpulan data respon balik difokuskan pada Pelabuhan
Perikanan Nusantara Ternate pada tahun 2011 dengan informasi data
bulanan, mengambil potensi ikan pelagis besar sebagai kajian
spasial dominasi lokasi penangkapannya melalui informasi jumlah
hasil tangkapan bulanan (Januari hingga November). Data Satelit
SPL sangat berperan penting dalam perubahan kondisi lingkungan,
dan merupakan faktor pembatas dalam kehidupan organisme (Laivastu
dan Hela (1970); Rounsefell dan Everhart (1962)).
Fitoplankton merupakan mata rantai dasar dari rantai kehidupan
di perairan, terutama di laut (Adnam, 1998). Pengambilan data
fitoplankton melalui citra satelit dapat dilakukan dengan melihat
konsentrasi klorofil a (Khalil, 2007).
Data SPL dan klorofil a diambil melalui satelit Aqua MODIS
daytime level 3 SMI (Standard Mapped Image) bulanan dengan tahun
perekaman Juli 2002 hingga Desember 2011, resolusi pixel 4,6 km
(OBPG, 2007) dari oceancolor.gsfc.nasa. gov. Proses
Pengolahan menitikberatkan pada analisis kondisi SPL dan
Klorofil a melalui kajian berulang (2002 2011) di lokasi
penangkapan ikan dominan, dari informasi respon balik untuk
mengetahui garis waktu fluktuasi, rentangg dan variasi nilai SPL
dengan klorofil a, sehingga memberikan gambaran umum tentang
lingkungan penangkapan ikan di daerah tersebut.
Nilai rata - rata SPL dan klorofil a digunakan sebagai analisis
untuk mengetahui fenomena yang terjadi di perairan tersebut, dengan
menggunakan nilai anomali (Sartimbul et al., 2010)
sebagai indikator penyimpangannya. Nilai anomali diperoleh
dengan membuat komposit bulanan selama 2002 hingga 2011 per satuan
bulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Respon Balik
Pengumpulan data respon balik dari PPN Ternate tahun 2011
memberikan ulasan menarik mengenai lokasi penangkapan ikan di
WPP-RI 715 dan WPP-RI 716 (selanjutnya kita akan sebut perairan
Halmahera dan Ternate). Meskipun informasi yang didapatkan tidak
secara keseluruhan dari Tempat Pendaratan Ikan di wilayah itu, dan
hanya terpantau setiap bulannnya mulai tahun 2011, bisa dikatakan
informasi ini membantu menunjukkan gambaran penangkapan ikan di
Indonesia dalam skala wilayah kecil, yang memiliki kekuatan pada
informasi lokasi dan hasil tangkapan ikannya.
Hasil analisis yang didapat, lokasi penangkapan ikan (fishing
ground) di sekitar perairan Halmahera dan Ternate berjumlah 19,
disebutkan dalam nama lokal, yaitu Bacan, Batang Dua, Gane Barat,
Haltim, Jailolo, Kayoa, Loloda, Makian, Morotai, Moti, Oba, Obi,
Patani, Sanana, Sofifi, Ternate, Tidore, Tobelo, dan Weda.
Hasil tangkapan khusus ikan pelagis besar, sebagian besar
didominasi oleh ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan total
volume penangkapan 1.962,7 ton, yang merupakan penyumbang nilai
produksi terbesar di Ternate (Abdullah, 2011), kemudian ikan
Tongkol (Euthynnus sp.) sebesar 1.068,9 Ton, Tuna (Thunnus sp.)
391,2 Ton, dan satu persennya adalah ikan Madidihang (Thunnus
albacares) atau Yellowfin Tuna. Lokasi penangkapan dari keempat
ikan tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.
-
Gambar 1. Persentase dominasi lokasi penangkapan untuk ikan
Cakalang, Madidihang, Tongkol dan
Tuna (persentase tangkapan tertinggi ditunjukkan dengan tanda
panah).
Melihat dari dominasi lokasi
penangkapan, rutinitas yang dilakukan oleh nelayan setiap
tripnya membentuk sebuah pola yang menunjukkan ikan ikan ini
dominan tertangkap pada lokasi berbeda (Gambar 1). Merujuk pada
hasil analisis, Ikan Cakalang ternyata sering tertangkap di daerah
Bacan dengan persentase 62,21% sebesar 1.221 Ton, Madidihang
sebesar 55,55% (12,3 Ton) di daerah Obi, kemudian Tongkol 23,61%
(252,4 Ton) berada di
Gane Barat, dan untuk ikan Tuna sering tertangkap di daerah
Ternate dengan persentase 29,28% (154,2 ton). Hasil ini menunjukkan
bahwa kecenderungan dari perbedaan lokasi penangkapan ikan pelagis
ini bisa saja memiliki habitat toleransi berbeda antara satu dengan
yang lain (Boyce et al., 2008; Brill et al., 2005) sehingga jenis
jenis ikan ini lebih memilih lingkungan yang cocok untuk
hidupnya.
Gambar 2. Lokasi Penang-
kapan Ikan. Ikan Cakalang dan Madidihang sering ter-tangkap
disebelah tenggara Ternate dan cenderung men-jauh dari pesisir
dengan posisi pusat koordinat adalah 0O 21 00 LS 126O 7 30 BT dan
1O 3 00 LS 126O 36 00 BT, sedangkan untuk ikan Tongkol dan Tuna,
penang-kapan masih di wilayah perairan dekat pesisir dimana
ditunjukkan masih dekat dengan wilayah kep. Maluku dengan pusat
koordinat adalah 0O 48 00 LU 127O 15 00 BT dan 0O 18 00 LS 127O 18
00 BT.
-
Gambar 3. Fluktuasi SPL di lokasi penangkapan ikan pelagis besar
(kotak merah menunjukkan suhu
tertinggi dan kotak biru menunjukkan suhu terendah, selama
periode 10 tahun terakhir).
Gambar 4. Konsentrasi Klorofil a di lokasi penangkapan ikan
pelagis besar (kotak merah menunjukkan
konsentrasi tertinggi dan kotak biru menunjukkan konsentrasi
terendah, selama periode 10 tahun terakhir).
Kondisi SPL dan Klorofil a
Hasil analisis dari citra satelit, menunjukkan SPL pada empat
lokasi penangkapan ikan tersebut terlihat menurun drastis pada
tahun 2004 (Gambar 3) dengan suhu terendah terlihat pada bulan
Agustus di perairan Bacan (26,76OC) dengan fluktuasi mencapai
-1,07OC dari nilai normal rata - rata (27,83OC). sedangkan puncak
suhu tertinggi juga terjadi di perairan Bacan pada bulan Januari
tahun 2009 sebesar 32,32OC dengan fluktuasi sebesar 2,62OC dari
suhu rata - rata (29,67OC). Kondisi ini berbalikan dengan klorofil
a pada lokasi kajian, yang menunjukkan peningkatan fluktuasi
positif pada peraian.
Gambar 4. Menunjukkan Konsen-trasi klorofil -a tertinggi muncul
pada bulan- bulan Juli hingga Agustus dengan fluktuasi bisa
mencapai lebih dari 0,6 mg/m3 dan
termasuk kedalam katagori konsentrasi tinggi (Arsjad et al.,
2004), Sedangkan konsentrasi terendah terdapat pada bulan Desember
hingga Maret dengan tingkat konsentrasi bisa mencapai 0,06 mg/m3.
Nilai konsentasi tertinggi terlihat di perairan Gane Barat pada
bulan Juli 2004 sebesar 1,46 mg/m3 (kotak warna merah). Sedangkan
konsentrasi klorofil -a terendah berada di perairan Obi pada bulan
Desember 2010 (kotak warna biru). Fluktuasi klorofil -a tertinggi
terjadi pada bulan Juli hingga Agustus disaat angin muson timur
datang dan mulai menurun setelah satu bulan kemudian, hingga
Desember. Karakteristik ini memperlihatkan suatu hubungan korelasi
negatif (Sartimbul et al., 2010; Hendiarti et al., 2004) yang dapat
dideskripsikan dengan contoh penurunan SPL dapat berhubungan
-
dengan kenaikan konsentrasi klorofil a (Gambar 5).
Gambar 5. Fluktuasi Tahunan SPL (kiri) dan klorofil a (kanan)
pada tahun 2002 2011.
Pola fluktuasi musiman SPL (2002
2011) yang dimiliki keempat lokasi tangkapan menunjukkan
kemiripan antara satu dengan yang lain (Gambar 5 (kiri)). Puncak
suhu tertinggi terjadi pada bulan November disaat angin muson barat
tiba, dengan suhu rata rata di atas 30OC, kemudian melemah hingga
bulan Januari dan mulai naik lagi secara bertahap hingga bulan
April. Sedangkan lembah suhu terendah didapati pada bulan Agustus
saat musim timur, dengan rata rata suhu dapat mencapai di bawah
29OC (didapati pula hingga di bawah 28OC pada perairan Bacan dan
Obi). Penurunan suhu saat musim timur ini direspon positif oleh
konsentrasi klorofil a, terlihat pada Gambar 5 (kanan) terjadi
peningkatan yang diawali oleh perairan Gane Barat pada bulan
Juli,
kemudian bulan Agustus diikuti lokasi lainnya.
Secara spasial kondisi tinggi rendahnya SPL dan konsentrasi
klorofil a tersebut diperlihatkan pada Gambar 6 dan 7 yang
merupakan hasil konposit bulanan pada bulan Januari (mewakili musim
barat) dan bulan Agustus (mewakili musim timur). Pada bulan Januari
suhu rendah masih nampak di perairan Ternate yang ditun-jukkan
dengan warna hijau, dibandingkan pada lokasi kajian lainnya.
Penurunan suhu sangat jelas terlihat pada bulan Agustus, bersamaan
itu terjadi peningkatan konsentrasi klorofil a yang cenderung
berada pada wilayah barat laut Halmahera dan Ternate, yaitu Obi,
Bacan, dan Gane Barat. Peningkatan tertinggi terlihat di sekitar
perairan Obi.
Gambar 6. Sebaran klorofil a (kiri) dan SPL (kanan) komposit
bulan Januari.
-
Gambar 7. Sebaran klorofil a (kiri) dan SPL (kanan) komposit
bulan Agustus.
Anomali SPL dan Klorofil a
Gambar 8. Anomali SPL (bar merah) dan klorofil a (bar hitam)
pada keempat lokasi kajian. Dari kiri atas ke kanan; Ternate, Obi,
Gane Barat, Bacan. Menunjukkan penyimpangan nilai yang berbeda tiap
tahunnya nampak jelas pada tahun 2010 terjadi penyimpangan nilai
rata - rata dari kondisi normal di semua lokasi kajian.
Gambar 8. Hasil anomali dari citra
Aqua-MODIS menunjukkan informasi SPL (Bar merah) memiliki
korelasi negatif dengan klorofil a (bar hitam). Nilai korelasi yang
diperoleh pada masing masing perairan adalah -0.45 untuk Bacan,
-0.26 untuk Gane Barat, -0,65 Obi, dan -0.64 untuk Ternate. Melihat
pada Sartimbul et al., 2010; Yapa, 2009; dan Hendiarti et al.,
2004, korelasi negatif ini, terbentuk karena keterpengaruhan
kondisi oseanografi salah satunya adalah upwelling, diperlihatkan
dengan suhu lebih rendah dari keadaan normal dan diindikasikan
terjadi pengadu-kan air laut, sehingga perairan kaya akan nutrien
dan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh fitoplankton untuk
membantu proses metabolisme, yang
diperlihatkan dengan tingginya konsentrasi klorofil a.
Trend yang ditunjukkan pada masing masing perairan memiliki
kecen-derungan naik untuk SPL dari tahun 2002 hingga 2011. Kenaikan
ini bisa jadi disebabkan karena pengaruh fenomena laut yang berada
di sekitar perairan tersebut, salah satunya adalah ENSO. Merujuk
pada Sukresno (2010) perairan Halmahera memiliki korelasi yang
tinggi dengan fenomena ENSO sehingga pada musim-musim tertentu
kondisi SPL bisa lebih tinggi dibandingkan dari suhu rata -
ratanya. Untuk tren nilai anomali konsentrasi klorofil a terlihat
berkebalikan dengan SPL, cenderung menurun dari tahun 2002 hingga
2011. Penurunan
-
konsentrasi klorofil -a ini apabila terjadi terus menerus, bisa
dipastikan akan memberikan efek pada siklus rantai makanan, karena
fitoplankton merupakan mata rantai dasar di perairan, sehingga
apabila kondisi ini terganggu, maka tidak akan ada makanan untuk
konsumen tingkat pertama dan akan beruntut dengan dampak terburuk
adalah berkurangnya hasil tangkapan di lokasi penangkapan ikan
tersebut. Variasi musiman SPL dan Klorofil a
Tingkat variasi SPL pada lokasi kajian memiliki pola keragaman
yang berbeda setiap bulannya. Standar deviasi yang ditunjukkan dari
hasil analisis, tingkat tertinggi dicapai pada bulan Juli hingga
Agustus diatas 0,5oC, yang berarti bahwa sebaran suhu permukaan
laut pada perairan tersebut cenderung tidak mendekati kondisi rata
- rata, hal ini juga diperlihatkan pada Gambar 8 dimana pada
bulan bulan tersebut anomali SPL terlihat menurun di bawah rata
- rata.
Peranan angin muson mem-berikan kontribusi terhadap variasi SPL
di perairan ini. Pada saat bertiup angin muson barat, angin basah
yang dibawa dari Cina selatan memberikan pengaruh terhadap kenaikan
SPL di perairan Indonesia. Untuk perairan Halmahera dan Ternate,
kondisi itu nampak terlihat di bulan November hingga April.
Sebaliknya, pada angin muson timur, udara yang bertiup melewati
perairan Indonesia bersifat kering, memberikan efek penurunan SPL
yang ada di perairan Indonesia (Kunarso et al., 2011; Simbolon dan
Tadjuddah, 2008), pada wilayah kajian, penurunan SPL ini dimulai
bulan Mei, kemudian turun hingga Agustus. Pada musim dimana angin
muson timur bertiup. Beberapa tempat di Indonesia mengalami
upwelling seperti di laut Arafura, Maluku, dan Laut Banda
(Surinati,2009).
Gambar 9. Volume tangkapan (ton) menunjukkan pada bulan Juli
Agustus September terkonsentrasi penangkapan tertinggi ikan
Madidihang, Tongkol, dan Cakalang yang berlangsung pada saat musim
timur, sedangkan penangkapan ikan Tuna banyak terkonsentrasi pada
bulan Maret.
Gambar 10. Variasi rata rata kondisi (Kiri) konsentrasi klorofil
-a dalam mg/m3, (kanan) SPL dalam derajat celsius, dari tahun 2002
2011. Bar hitam pada setiap histogram menunjukkan nilai disaat
penangkapan tertinggi pada ikan Tuna (Maret), Madidihang (Juli),
Tongkol (Agustus), Cakalang (September).
-
Variasi SPL dan Klorofil a terhadap volume tangkapan
Hasil tangkapan menunjukkan ikan Cakalang, Madidihang, dan
Tongkol tertangkap dengan volume tangkapan tertinggi pada saat
terjadi penurunan SPL (Gambar 9 dan 10.).
Kondisi SPL dan klorofil a yang terekam saat penangkapan Ikan
Cakalang tertinggi (200,3 ton) adalah pada bulan September
dikisaran 28,50OC dan 0,23 mg/m3. Terkait dengan Zainuddin (2011),
hasil SPL dan klorofil a berada pada kisaran 28,5 hingga 32,5OC dan
0,1 hingga 0,7 mg/m3 memang merupakan habitat ikan Cakalang. Ikan
ini senang berkumpul pada zona konvergensi dengan batasan antara
masa air hangat dan dingin seperti upwelling FAO (1983).
Penangkapan tertinggi Ikan Madidihang berada pada bulan Juli
dengan volume tangkapan 5,9 ton. Perekaman citra satelit
menunjukkan pada bulan tersebut rata - rata SPL dan klorofil a
menunjukkan nilai 28,33OC dan 0,41 mg/m3. Ikan ini pada keadaan
tertentu dapat berenang mendekati permukaan (0 20 m) dan cenderung
menyukai tempat yang tidak memiliki gradien suhu dan bersifat
homogen (Cayr, 1991; FAO, 1983).
Pada jenis ikan Tongkol didapatkan kisaran nilai SPL 28,67OC dan
klorofil a 0,28 mg/m3, volume tangkapan tertinggi sebesar 62,3 ton
di bulan Agustus. Ikan yang termasuk dalam famili Scombridae ini
termasuk ikan yang menyukai habitat temperatur antara 18O - 29OC
dan bersifat neritik. Ikan ini cenderung bertelur ketika suhu
perairan menjadi hangat (FAO, 1983).
Berbeda dengan ikan Tuna, dimana penangkapan ikan ini terlihat
tinggi pada bulan Maret (29,96OC dan 0,19 mg/m3) yang secara normal
kondisi ini merupakan peralihan musim barat menuju musim timur dan
indikasi suhu di atas rata - rata (29,64OC) masih nampak pada bulan
ini (Gambar 5). Hal ini menunjukkan kemungkinan pada bulan dimana
upwelling dan konsentrasi klorofil -a tinggi tidak sepenuhnya
direspon oleh ikan ini, akan tetapi kecenderungan memilih habitat
yang cocok karena karakteristik lingkungan ikan sendiri sebagai
faktor pembatas itulah yang sebenarnya mendukung keberadaan ikan
itu baik secara horizontal maupun vertikal (Laivastu dan Hela,
1970; Rounsefell dan Everhart,1962; Masrikat,2002).
KESIMPULAN Hasil analisis kajian pada lokasi dominan penangkapan
ikan pelagis besar didapatkan informasi SPL dan klorofil a sebagai
berikut:
Perairan Bacan untuk penangkapan ikan Cakalang (Katsuwonus
pelamis) Nilai rata - rata SPL yang didapatkan dari lokasi
penangkapannya adalah 29,44OC dengan rentangg nilai minimum
mencapai 26,76OC dan nilai maksimumnya adalah 32,32OC, sedangkan
untuk konsentrasi nilai klorofil a rata rata didapatkan adalah 0,19
mg/m3 dengan rentangg nilai minimum mencapai 0,08 mg/m3 dan nilai
maksimumnya sebesar 0,95 mg/m3. Rata - rata suhu dan klorofil a
2002 2011 yang didapatkan bertepatan dengan tingginya hasil
tangkapan pada bulan September adalah 28,50OC dan 0,23 mg/m3.
Perairan Obi untuk penangkapan ikan Madidihang (Thunnus
albacares) Nilai rata - rata SPL yang didapatkan dari lokasi
penangkapan adalah 29,48OC dengan nilai maksimum 31,54OC dan nilai
minimum 26,82OC. sedangkan konsentrasi klorofil a rata - rata yang
didapatkan adalah 0,23 mg/m3 dengan nilai minimum maksimumnya
adalah 0,06 mg/m3 dan 0,77 mg/m3. Nilai rata - rata suhu dan
klorofil a 2002 2011 yang didapatkan bertepatan dengan tingginya
penangkapan pada bulan Juli adalah 28,33OC dan 0,41 mg/m3.
Perairan Gane Barat untuk penangkapan ikan Tongkol (Euthynnus
sp.) didapatkan nilai suhu rata - rata sebesar 29,76OC dengan
rentangg nilai minimum 27,61OC dan maksimal 31,35OC. untuk nilai
konsentrasi klorofil a rata - rata sebesar 0,25 mg/m3 dengan nilai
rentangg minimal maksimal adalah 0,11 dan 1,46 mg/m3. Sedangkan
rata - rata nilai klorofil a dan SPL 2002 20011 bertepatan dengan
tingginya hasil tangkapan pada bulan Agustus adalah 0,28 mg/m3 dan
28,67OC.
Perairan Ternate untuk penangkapan ikan Tuna (Thunnus
-
sp.) Nilai rata - rata SPL yang didapatkan dari lokasi
penangkapan ikan Tuna adalah 29,63OC dengan rentangg nilai minimum
mencapai 27,34OC dan nilai maksimumnya adalah 31,11OC, sedangkan
untuk konsentrasi nilai klorofil -a rata rata didapatkan adalah
0,19 mg/m3 dengan rentangg nilai minimum mencapai 0,10 mg/m3 dan
nilai maksimumnya sebesar 0,47 mg/m3. Rata - rata suhu dan klorofil
a 2002 2011 yang didapatkan bertepatan dengan tingginya hasil
tangkapan pada bulan Maret adalah 29,96OC dan 0,19 mg/m3.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, R. M. 2011. Keberlanjutan perikanan
pelagis di Ternate dan strategi pengembangannya. Sekolah Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Adnam, Q. 1998. Potensi aplikasi fitoplankton bagi bioteknologi
kelautan: Studi kasus Teluk Jakarta, Teluk Banten dan perairan
Surabaya. Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia 329 227.
Arsjad, AB. S. M., Y. Siswantoro, R. S. Dewi. 2004.
Inventarisasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup: Sebaran
chlorophyll a di perairan Indonesia. Pusat Survei Sumberdaya Alam
Laut BAKOSURTANAL. Jakarta.
Beamish, R. J., G.A. McFarlane, J. R. King. 2005. Migratory
patterns of pelagic fishes and possible linkages between open ocean
and coastal ecosystems off the Pacific Coast of North America.
Deep-Sea Res. II. 52: 739 755.
Boyce, D. G., D. P. Tittensor, B. Worm. 2008. Effects of
temperature on global patterns of Tuna and Billfish richness. Mar.
Ecol. Prog. Ser. 355: 267-276.
Brill, R. W., K. A. Bigelow, M. K. Musyl, K. A. Fritsches, E. J.
Warrant. 2005. Bigeye Tuna (Thunnus obesus) behavior and
physiology and their relevance to stock assessments and fishery
biology. Col. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 57(2): 142-161.
Cayr. P. 1991. Behaviour of Yellowfin Tuna (Thunnus albacares)
and Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) around Fish Aggregating
Devices (FADs) in the Comoros Islands as determined by ultrasonic
tagging. Aquat. Lining Resour. 4, 1-12.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, M. J. Sitepu. 2008.
Pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT Pradnya Paramitha.
Jakarta. 328 hal.
Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. 2011. Peta keragaan
perikanan tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP-RI). Direktorat Sumberdaya Ikan. Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
FAO. 1983. FAO species catalogue vol. 2 Scombrids of the world.
FAO Fisheries Synopsis No. 125. FIR/S125 Vol. 2. Rome.
Habibi, A., D. Ariyogagautama, Sugiyanta. 2011. Seri panduan
perikanan skala kecil: Perikanan Tuna panduan penangkapan dan
penanganan Ver.1. WWF.Indonesia. ISBN 978-979-1461-10-8.
Hendiarti, N., H. Siegel, T. Ohde. 2004. Investigation of
different coastal processes in Indonesian waters using SeaWiFS
data. Deep-Sea Res. II. 51: 85-97.
Khalil, I., B. 2007. Seasonal and spatial variability of Sea
Surface Temperature (SST) and Chlorophyll -a concentration using
MODIS data in East Kalimantan waters, Indonesia. Thesis Master of
Science. International Institute for Geo-Information Science and
Earth Observation, Enschede, The Netherlands. Netherland.
Kunarso, S. Hadi, N. S. Ningsih, M. S. Baskoro. 2011.
Variabilitas suhu dan klorofil a di daerah upwelling pada variasi
kejadian ENSO dan IOD di perairan Selatan Jawa sampai Timor. Ilmu
kelautan Vol. 16 (3): 171-180.
Laivastu, T and I. Hela. 1970. Fisheries oceanography: New ocean
environmental services. Coward and Gerrish Ltd. Inggris. 238
hal.
Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1994. Remote sensing and
image interpretation - 3th. John Wiley & Sons, Inc. United
States of America.
Mallawa, A. 2006. Pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan dan
berbasis masyarakat. Lokakarya Agenda Penelitian Program COREMAP
II. Selayar.
Masrikat, J. A. N. 2002. Karakteristik oseanografi fisik dan
distribus ikan di perairan Laut Cina Selatan. Sekolah Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ocean Biology Processing Group. 2007. SeaDAS training manual.
Access from www.oceancolor.gsfc.nasa.gov.
Rounseffel, G. A., dan W. H. Everhart. 1962. Fishery science:
Its methods and
-
aplications. John Wiley & Sons, Inc. United States of
America.
Sartimbul, A., H. Nakata, E. Rohadi, B. Yusuf, H. P. Kadarisman.
2010. Variations in chlorophyll a concentration and the impact on
Sardinella lemuru catches in Bali Strait, Indonesia. Oceanography
87: 168-174.
Savtchenko, A., D. Ouzounov, S. Ahmad, J. Acker, G. Leptoukh, J.
Koziana, D. Nickless. 2004. Terra and Aqua MODIS product available
from NASA GES DAAC. Adv. In Space Res. 34: 710-714.
Simbolon, D., dan M. Tadjuddah. 2008. Pendugaan front dan
upwelling melalui interpretasi citra suhu permukaan laut dan
clorofil a di Perairan Wakatobi sulawesi Tenggara. Buletin PSP Vol.
XVII. No. 3.
Sudariastuti, E. 2011. Pengolahan hasil perikanan: Pengolahan
ikan Tenggiri. Pusat Penyuluh Perikanan. Badan Pengembangan SDM
Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Jakarta. 49 hal.
Sukresno B. 2010. Empirical Orthogonal Functions (EOF) analysis
of sst variability in Indonesian water concerning with ENSO and
IOD. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing
and Spatial Information Science, Volume XXXVIII, Part 8. Kyoto,
Japan.
Surinati, D. 2009. Upwelling dan efeknya terhadap perairan laut.
Oseana. Vol. XXXIV. No. 4: 35-42.
Wibawa, T. A. 2011. Pemanfaatan data satelit oseanografi untuk
prediksi daerah potensial penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus
obesus) di Samudra
Hindia Selatan Jawa-Bali. Jurnal Segara. Vol. 7(1): 29-41.
Yapa, K. K. A. S. 2009. Upwelling phenomena in the southern
coastal waters of Sri Lanka during southwest monsoon period as seen
from MODIS. Sri Lanka Journal of Physics, Vol. 10: 7-15.
Zainuddin, M. 2011. Skipjack Tuna in relation to sea surface
temperature and chlorophyll -a concentration of Bone Bay using
remotely sensed satellite data. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis, Vol. 3, No. 1, Hal. 82-90.