“ FU’A AULILUK ” (SUATU TINJAUAN TEOLOGIS-ANTROPOLOGIS TERHADAP MAKNA FU’A AULILIUK DALAM KEKRISTENAN JEMAAT SYLOAM LOLE- MAKU ROTE NDAO ) Oleh, DYAN RUTHALIA DJANI 712007045 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi Program Studi Teologi FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA Salatiga 2015
29
Embed
Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
“ FU’A AULILUK ”
(SUATU TINJAUAN TEOLOGIS-ANTROPOLOGIS TERHADAP MAKNA
FU’A AULILIUK DALAM KEKRISTENAN JEMAAT SYLOAM LOLE-
MAKU ROTE NDAO )
Oleh, DYAN RUTHALIA DJANI
712007045
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Salatiga
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tak terkira kepada Tuhan Sang Pencipta alam semesta, karena
hanya atas anugerah dan kasih-NYA sajalah penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir
ini. Sekian proses baik suka maupun duka dalam Tugas Akhir ini. Bersyukur karena saat
mengalami beberapa kesulitan dalam proses pembuatan Tugas Akhir ini, penulis masih
merasakan dukungan bukan hanya dari orangtua dan sanak saudara saja tapi terlebih dari Tuhan
yang selalu dengan caraNya menyertai dan menuntun hingga penulis mampu menyelesaikan
tugas ini dengan baik. Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan kuasa Tuhan nyata
dalam penulisan ini
Penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membimbing dan
memungkinkan penulis berproses di Fakultas Teologi UKSW.
1. Pdt. Dr. Retnowati selaku pembimbing 1 dan dosen yang sangat menginspirasi dengan
ketulusan dan kebaikab yang dimiliki. Terima kasih ibu untuk ilmu, waktu, pengalaman
dan semua yang telah diberikan. Dan untuk Ibu Ira Mangililo selaku pembimbing dua,
terima kasih untuk ilmu dan berbagai masukan yang sangat bermanfaat bagi saya
dikemudian hari.
2. Dekan, Kaprogdi dan seluruh dosen serta staff Fakultas Teologi UKSW yang telah
membantu saya menyelesaikan perkuliahan ini dan menjadi bekal bagi saya dalam
mempersiapkan diri menjadi calon pelayan Tuhan.
3. Bapak, Mama, Kakak , Adik, Keluarga, Suami dan Juga Buah Hati tercinta yang tak
pernah ada batasnya memberikan cinta. Kasih sayang dan juga dukungan, serta rela
melakukan apapun sehingga saya tetap mampu dan bertahan dalam bangku perkuliahan
sampai selesai.
4. Terimakasih juga untuk teman–teman Teologi 2007 ( Peace In reanbow), buat Kris calon
doktor, terimakasih banyak buat bantuan, masukan, berbagai pengalaman serta ilmu
pengetahuan yang sangat berguna .
5. Buat saudara-saudara di Kontrakan, K’Ela, Nona. Mici, Novi dan Ega. Terimakasih
banyak buat dukungannya selama ini.
6. Ketua Majelis jemaat Pdt. Imelda Tuulima S.Th beserta majelis dan Jemaat yang telah
meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam memberikan segala informasi yang
sangat bermanfaat guna penyusunan Tugas Akhir ini. Tuhan selalu memberkati dalam
tugas dan pelayanan.
7. Terimakasih untuk keluarga besar di Kupang dan Rote buat dukungan, bantuan dan
doanya.
8. Untuk semua orang yang namanya belum dapat disebutkan satu persatu, terimakasih
untuk semuanya
Salatiga, 14 Januari 2015
Dyan Ruthalia Djani
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pulau Rote adalah salah satu pulau yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT). Pulau Rote merupakan pulau paling selatan di Indonesia, dapat dijangkau dari Kota
Kupang dengan menggunakan transportasi laut. Pulau Rote sangat terkenal dengan berbagai
macam pariwisata, alat musik tradisional, tari-tarian dan juga kebudayaan-kebudayaan
lainnya.1
Masyarakat Rote sangat menghormati dan menghargai budaya yang mereka anut dan
warisan budaya tersebut masih terus di pertahankan hingga saat ini. Budaya yang dianut
sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial mereka. Masyarakat Rote sebelumnya telah
memiliki dan menganut sebuah sistem kepercayaan atau agama suku yang mereka sebut
“Halaik. Halaik adalah agama asli orang Rote. Dalam konsep kehidupan akan alam gaib,
orang-orang Rote juga percaya akan adanya dewa, Misalnya Dewa Nutu Bek (dewa untuk
pertanian), dan dewa Nade Dio (dewa pemberi kemakmuran). Konsep wujud tertinggi
dikenal dengan apa yang disebut dengan Mane Tua Lain atau Lama Tuak sebagai suatu
wujud tertinggi. Sistem kepercayaan yang dianut oleh orang Rote dan komunitasnya masih
dianut sampai sekarang dan dianggap sebagai suatu ibadah agama dan kegiatan adat.
Gereja dalam hal ini mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk masuk ke dalam
kehidupan orang Rote. Hal ini dapat dibuktikan dengan populasi mayoritas masyarakat Rote
yang telah menjadi Kristen. Akan tetapi, pada umumnya budaya atau pengaruh agama Halaik
(nilai-nilai yang diwariskan) masih mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa, kebudayaan masih sangat kuat dan dipegang teguh oleh orang Rote.
Salah Satu upacara adat tradisi orang Rote dan masih dijalankan sampai saat ini adalah Fu’a
Auliliuk.
Fu’a Auliliuk merupakan istilah atau sebutan yang dipakai oleh orang Rote dalam
ritual setelah selesai kerja sawah atau ucapan syukur atas hasil panen dan pengambilan hasil
1 Parera. Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor: Suatu Kajian Peta Politik Pemerintahan Kerajaan-
kerajaan di Timor Sebelum Kemerdekaan RI, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1994), 38.
2
panen yang dilaksanakan pada pertengahan agustus sampai akhir oktober atau setelah masa
panen, yang dianggap membawa keuntungan dan kesejahteraaan.2
Fu’a Auliliuk juga merupakan ekspresi tersendiri dari masyarakat Rote Lole untuk
menunjukkan rasa syukur atas berkat yang didapat. Karena setiap pribadi atau kelompok
masyarakat memiliki cara tersendiri dalam mengekspresikan budayanya tetapi apa yang
mereka gunakan bersifat kemasyarakatan.3 Fu’a Auliliuk terdiri dari dua suku kata yaitu:
Fu’a dan Auliliuk yang berasal dari bahasa Rote Lole. Fu’a artiya menaikkan atau
mempersembahkan, sedangkan auliliuk artinya memukul. Jadi, Fu’a Auliliuk berarti
menaikkan persembahan dengan cara memukul hewan dan alat bertani sehingga hewan dan
alat-alat bertani tersebut dapat berfungsi dengan baik dalam musim bertani dan panen
berikutnya. Secara umum Fu’a aliliuk sendiri adalah ritual setelah selesai kerja sawah
(pengucapan syukur setelah selesai kerja sawah). Ritual tersebut dilakukan dengan cara
mengumpulkan semua petani, keluarga dari petani dan alat-alat kerja. Ritual ini juga
dilakukan dengan membaca mantra kepada alat-alat bertani dan hewan. Selain itu, terdapat
persembahan kepada dewa-dewa atau leluhur. Dengan tujuan supaya alat-alat bertani dan
hewan tersebut dapat berguna dengan baik pada musim bertani dan panen berikutnya.4
Fu’a Auliliuk yang merupakan ritual agama asli suku Rote, sangat melekat dalam
kehidupan Kekristenan Jemaat GMIT Syloam-Rote Lole, Maku karena sebagian besar jemaat
masih ikut mempraktikkan ritual tersebut. Mereka percaya bahwa ketika melakukan ritual
tersebut akan mendapatkan berkat yang melimpah, kemakmuran, dan kesejahteraan melalui
hasil panen, dan diwaktu yang akan datang hasil panen berikutnya juga akan lebih baik. Hal
ini menunjukkan bahwa sadar ataupun tidak sadar, kebudayaan dalam ritual-ritual masyarakat
Rote masih terus dijalankan sampai saat ini oleh Jemaat GMIT Syloam- Rote Lole Maku.
Yang menjadi masalah dalam ritual Fu’a Auliliuk adalah adanya pembacaan mantra dan
persembahan kepada leluhur. Dari masalah ini sikap gereja bisa dikatakan masih mendua,
karena disatu sisi ritual ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Maku, tetapi di
sisi lain ritual ini sangat bertentangan dengan iman Kristen. Jadi bisa dipahami bahwa gereja
belum menemukan jalan keluar terbaik untuk masalah ini.
Masalah tersebut kemudian menjadi alasan mendasar yang memunculkan suatu ide
menarik untuk dilakukannya penelitian ini secara mendalam mengenai kebudayaan
2 Biro Humas Setda Propinsi NTT, Hole Ritual Budaya Masyarakat Sabu ( Kupang 2004), 29. 3 Richard Neibuhr,Kristus dan Kebudayaan, ( Jakarta: Petra Jaya,1949), 37 4 A.K., wawancara, (Kupang : 12 September 2014).
3
masyarakat Rote khususnya tradisi Fu’a Auliliuk di Jemaat GMIT Syloam Rote Lole.
Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah pertama Apa makna Fu’a Auliliuk
dalam Budaya Rote ? kedua mengapa budaya Fu’a Auliliuk masih dilaksanakan oleh
warga jemaat di gereja GMIT Syloam Lole-Maku ?
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama menjelaskan makna Fu’a Auliliuk dalam
budaya Rote. Kedua menjelaskan alasan budaya Fu’a Auliliuk masih dilaksanakan oleh
jemaat di gereja GMIT Syloam Lole Maku. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah secara
teoritis sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi pengembangan mata kuliah agama dan
budaya yang berhubungan dengan ritual syukur hasil panen khususnya dalam kebudayaan
masyarakat Rote. Secara praktis sebagai salah satu upaya untuk mengangkat makna budaya
yang masih dilestarikan secara teologis khususnya tradisi Fu’a Auliliuk dalam masyarakat
Rote.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif.5 Yakni penelitian yang
berusaha menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek yang diteliti, dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Secara holistik, dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.6
Teknik Pengumpulan data
Wawancara. Dalam wawancara terjadi proses tanya jawab yang terdiri dari
pertanyaan yang sedemikian rupa sehingga informan tidak terbatas memberikan keterangan
sebanyak mungkin dan jawaban-jawaban berbentuk keterangan secara lisan. Pertanyaan yang
diberikan adalah pertanyaan yang terarah sehingga mudah diolah kembali agar pemecahan
masalah lebih mudah dan memungkinkan dianalisa secara deskriptif serta kesimpulan yang
diperoleh bisa dipertanggungjawabkan.7Serta orientasi lapangan yaitu dari pihak – pihak
5 W. Lawrence Neuman, Social research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, (USA:
Allyn and Bacon, 1999), 21. 6 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006), 6. 7 Cholid Narbuko & H. Abu Achmadi, Metode Penelitian ( Jakarta : PT. Bumi Aksara,2007,83
4
yang berkaitan: tokoh-tokoh adat,serta jemaat yang masih melakukan ritual tersebut dengan
data yang relevan.
Satuan pengamatan dan analisa
Lokasi dari penelitian ini adalah Pulau Rote Ndao tepatnya di desa Lole Maku.
Subyek analisa dari penelitian ini adalah Masyarakat Rote Lole yang masih melakukan
tradisi FU’A ALULILIUK tersebut untuk menggali apa alasan FU’A AULILIUK masih
dilaksanakan sampai saat ini. Masyarakat Lole serta ketua adat yang menjadi informan kunci
bagi penulis dalam penelitian ini.
LANDASAN TEORI
Pada bagian ini penulis membahas tentang Persembahan secara umum, dan
persembahan secara teologis.
Persembahan Secara Umum
Persembahan merupakan sebuah ritual dan merupakan salah satu cara agar dapat
membangun hubungan dengan apa yang mereka percayai atau imani dan merupakan
ekspresi-ekpresi simbolik dari realitas sosial yang digunakan untuk kekuatan, penjagaan,
penyegar dan solidarita sebuah kelompok. Persembahan dalam setiap ritus keagamaan
merupakan sebuah ritual yang sangat penting, sehingga persembahan selalu diikutsertakan di
dalamnya baik dalam kepercayaan primitif atau yang masih bersifat tradisional maupun
dalam kalangan penganut agama modern.8
Persembahan biasa disebut korban, hadiah, upah yang secara umum dalam bahasa
Ibrani disebut “ mikha “.9 Melalui korban yang dipersembahkan dalam suatu ritus manusia
yakin bahwa hidupnya akan tentram, aman dan bahagia. Dengan kata lain manusia
mempersembahkan korban dengan maksud tujuan ,agar mereka diberkati dan mendapatkan
apa yang diinginkan.Hal ini dapat dipahami karena persembahan atau korban merupakan
sarana atau alat untuk menyenangkan dewa-dewa atau ilah-ilah.10 Pada jaman dulu manusia
mempersembahkan korban kepada dewa atau ilah yang disembah dan dipercayai dengan
8 Emile Duekheim, The Elementary Forms of Religius Life, (New York : Free Press,1915), 63. 9 R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta, BPK Gunung Mulia,1998),54. 10 G.E. Wright & A.de Kuiper, Perjanjian Lama Terhadap sekitarnya, (Jakarta BPK Gunung
Mulia,1976),120
5
maksud mengadakan suatu persekutuan antara si penyembah dengan dewanya.11 Hal tersebut
menunjukkan bahwa antara manusia dengan dewa atau ilah-ilah yang dipercayai berada
dalam suatu ketergantungan serta masih menjalin relasi yang baik.
Sistem kepercayaan atau religi adalah rangkaian keyakinan dari suatu kelompok
masyarakat manusia terhadap sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena
manusia menginginkan kehidupan yang tentram dan bahagia maka para ahli antropologi
berpendapat bahwa manusia harus melaksanakan sistem religi yang juga termasuk dalam
berbagai aktivitas upacara religius atau ritual-ritual serta sarana yang berfungsi melaksanakan
komunikasi antara manusia dengan kekuatan gaib. Dalam melaksanakan ritual tersebut,
terdapat berbagai macam upacara seperti yang ada pada berbagai agama dan religi.
Misalnya, berdoa, bersujud, berkorban, berpuasa, memberikan persembahan, makan, menari,
menyanyi, bersesaji dan bertapa. Benda-benda yang dipakai dalam upacara sebagai simbol
seperti patung, batu, tongkat, altar, pedupaan, hewan, tumbuhan, serta pepohonan. Benda-
benda tersebut merupakan wujud fisik dari sistem religi.
Victor Turner berpendapat bahwa kegiatan persembahan-persembahan yang umum
atau penghormatan kepada dewa-dewa,pemberian hadiah, penebusan dosa, komunikasi antara
yang suci atau kudus dan fana yang dapat dipahami sebagai perwujudan dari negoisasi. 12
Berhubungan dengan apa yang dikemukakan oleh Turner yang menyatakan bahwa
persembahan merupakan suatu perjanjian. ” do ut des : saya memberi supaya engkaupun
memberi ”. Van der Leeuw mengemukakan bahwa persembahan adalah mempersembahkan
sesuatu kepada seseorang: merupakan bagian dari dirinya sendiri; sedemikian pula menerima
sesuatu dari orang lain adalah menerima bagian dari kodrat spritualnya atau dari jiwanya;
dalam keadaan itu,kodrat dari pemberian yang timbal balik sangat tampak. 13
Persembahan atau hadiah dan imbalannya tidaklah gratis atau sukarela seperti
kelihatannya. Karena pada dasarnya tidak ada hadiah yang benar-benar gratis menurut
Mauss. Hadiah mencakup kewajiban untuk membalas hadiahnya haruslah sesuai dengan apa
yang sudah diminta sebelumnya. 14
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa mempersembahkan korban merupakan suatu
perbuatan pembunuhan binatang dalam upacara ritus keagamaan, dan mempunyai maksud
bahwa binatang yang dibunuh dianggap sebagai simbol atau lambang-lambang dewa-dewa
11 C. Barth, Theologi Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1970), 302. 12 Jefferey Cartes, Understanding Religious Sacrifice (New York 2003-reprinted 2006 Meidek
Menurut kitab imamat persembahan memiliki arti sebagai “penyajian”atau “barang-
barang yang di bawa dekat.21 Sesaji merupakan suatu wujud atau tindakan pemberian
persembahan yang menggambarkan pemberian sesutau kepada makhluk sepernatural. Tylor
mendefenisikan bahwa persembahan sama dengan sesaji. Sesaji atau hadiah juga diberikan
kepada dewa-dewa dengan keyakinan bahwa ada nilai timbal balik yang terdapat di
dalamnya.22 Marsel Mauss juga mendefenisikan bahwa pada kenyataannya jumlah sesaji
yang diberikan walaupun terlihat sedikit namun itu bukanlah intinya, karena yang dilihat
adalah nilai dari pemberian persembahan itu sendiri.23
Persembahan Secara Teologis
Secara Teologis persembahan merupakan bagian yang penting. Karena persembahan
merupakan salah satu bagian dalam ritual kekristenan. Mempersembahkan suatu
persembahan kepada Allah dengan maksud untuk memperoleh kemurahan hati Allah.24
Persembahan juga merupakan relasi antara manusia dengan Tuhan yang secara mendasar
mengandung ungkapan syukur jemaat untuk saling melengkapi tubuh Kristus.25 Hal ini dapat
dilihat dalam alkitab PL dan PB yang dijelaskan sebagai berikut :
Persembahan dalam PL. Dalam bahasa Ibrani persembahan berarti korban.26 Selain ”
minkha ” dalam istilah umum persembahan (hadiah atau pemberian) dalam perjanjian Lama
ada kata-kata lain yang dipakai dalam istilah korban yaitu ”syelem, dan ” ola ” yang pada
zaman kemudian disebut ” korban penghapusan dosa ” (khattah) dan ” korban penutup salah
” (asyam).27
R. D. Dussaud menyatakan bahwa latar belakang sistem korban, dipengaruhi oleh
bangsa Kanaan yang menduduki Israel. Tradisi pemberian korban tidak terbatas pada orang-
orang Israel saja,tetapi dalam tradisi-tradisi gereja bangsa disekitar Israel, ada upacara-
upacara pemebrian korban kepada dewa ( Hakim-Hakim 16 : 23 ; I Samuel 6 :4; II Raja-Raja
3 : 27; 5 : 17).28 Kemudian V. Maag mengambil latar belakang kehidupan para gembala.
Kebudayaan-kebudayaan gembala migran para bapa-bapa leluhur yang hidup dari padang
21 W.S. Lasor, D.A. Hubbard, F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, (jakarta : BPK Gunung Mulia 2012), 217.
22 Jefferey Cartes, Understanding Religious Sacrifice ( New York 2003 reprinted 2006 Meidek Lane),12-38.
23 Ibid.,88-99. 24 F L Baker, Sejarah Kerajaan Allah Perjanjian Lama. (Jakarta BPK Gunung Mulia,1990), 367. 25 A.M Tambunan, Persembahan Persepuluhan ( Jakarta : BPK, 1952),16. 26 R. Soedarmo, Kamus,......,54. 27 Th.C.Vriezen, Agama Isreal Kuno. (Jakarta, BPK Gunung Mulia,2003),88. 28 Ed.M.A J.D Douglas,BD, The Illustrated Bible Dictionary part 3, ( Tyndale House Publishare
Intervarsity Press ) 358-368.
8
rumput Asia yang luas. Persembahan korban yang mereka sajikan adalah untuk makanan para
dewa,oleh darah yang tercurah dari korban,dewa akan membalas pada si pemberi korban.29
Dalam kitab Kejadian disinggung tentang Kain dan Habel yang mempersembahkan
persembahan, kata yang dipakai untuk menunjuk persembahan ini adalah ” minha ” (gandum
dan terigu), persembahan ini berupa padi-padian yang jumlahnya tidak ditentukan, bisa juga
menunjuk pada korban binatang ( Kejadian 4: 2; I Samuel 2: 29; 26 : 19 ). Persembahan ini
selain berupa padi-padian juga berupa tepung (Imamat 2 : 1-3), kue-keu yang dibakar
(Imamat 4:4-10), gandum mentah (Imamat 2 : 14-16) bersama dengan minyak dan getah
damar yang harum. Berbeda dengan ”zebhahim” (menyembelih atau korban yang dibunuh)
(Kejadian 4 :3-4). Korban ini menunjuk pada penggunaan Altar,juga pada Kejadian 8 :20 di
mana Nuh mempersembahkan ” ola ” (persembahan yang dibakar) pada sebuah altar.
Tuhan memerintahkan untuk memberikan korban dengan maksud untuk memperbaiki
hubungan antara bangsa Israel dan Tuhan. Korban bisa bertujuan melakukan silih yang
menyingkirkan kenajisan maupun dosa. Dalam mempersembahkan korban kepada Allah
haruslah disertai pertobatan, penyerahan diri kepada Allah dan disertai dengan rasa
terimakasih dan kesetiaan kepada Nya.30
Dari pembahasan mengenai korban dalam perjanjian lama, korban atau persembahan
merupakan suatu wujud atau bentuk ekspresi ibadah manusia terhadap Allah,baik secara
pribadi maupun kelompok. Dapat dilihat bahwa motivasi yang mempengaruhi persembahan
adalah didorong oleh keinginan rohani untuk: yang pertama ”sebagai ucapan syukur kepada
Allah.” Rasa syukur diungkapkan dengan pemberian yang terbaik untuk Tuhan dan
dilakukan dengan sepenuh hati dan secara spontan untuk menanggapi kebaikan Tuhan.
”Bagaimana akan kubalas kepada Tuhan ?” (Mazmur 116: 12). Yang kedua ” sebagai
penghormatan ”. Penghormatan ini diungkapkan dengan prinsip terutama didasarkan atas
pengakuan bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan Tuhan ( Kejadian 22). Yang ketiga ”
pertobatan”. Maksud dari pertobatan adalah untuk penyesalan terhadap dosa dan kesalahan
yang telah dilakukannya.31
Persembahan dalam PB. Dalam perjanjian baru tidak diberlakukan ibadah korban
seperti yang terdapat dalam Perjanjian Lama sebab dalam perjanjian baru korban telah
dipersembahkan sekali untuk selamanya ( Efesus 5 : 2; Ibrani 9 :2,17 ). Yesus Kristus sebagai
imam besar telah mengorbankan diriNya sendiri. Melalui korban tersebut,persekutuan
29 Ibid., 358. 30 H.H. Rowley. Ibadat Israel Kuno, (Badan Penerbit Kristen, Jakarta 1981 ),70. 31 Ibid., 107.
9
dibangun,manusia diperdamaikan dengan Allah. Yesus Kristus telah menyerahkan diriNya
sebagai korban untuk segala dosa.32
Korban yang telah dipersembahkan oleh Yesus melandasi dan menentukan pemberian
persembahan orang-orang Kristen. Kristus telah mengorbankan diriNya bagi keselamatan
umat manusia. Sebagai respon dari pengorbanan Kristus, maka sebagai orang Kristen kita
harus turut serta mengambil bagian di dalam pelayanan Kristus yang merupakan wujud dari
perintah dan tugas yang diberikan melalui persembahan yang diberikan oleh orang-orang
Kristen. Di sinilah kita dapat melihat bahwa persembahan orang-orang Kristen dalam
Perjanjian baru adalah partisipasi dan dukungan di dalam pelayanan Kristus untuk
menyatakan kasih Allah kepada dunia dan kepada sesama.33
Pemahaman tentang persembahan menurut gereja abad pertama yang tertulis dalam
Kisah Para Rasul,menunjukkan perbedaan dasariah dibandingkan dengan persembahan dalam
ibadah-ibadah agama Yahudi, Kanaan, Romawi dan Yunani ditandai dengan persembahan
yang bersifat kultus dan ritual. Orang memberi persembahan supaya diimbali, supaya
mendapat pahala dan supaya dibalas dengan kekayaan, kemakmuran, keselamatan dan
lainnya. Di situ ada unsur ”aku memberi supaya aku diberi”. Gereja justru mengembangkan
pemahaman yang sebaliknya, yaitu kita memberi karena kita sudah diberi.34
Tradisi Alkitab mengungkapkan, setiap kali umat Allah datang menghadap hadirat
Tuhan (beribadah), mereka selalu membawa persembahan kepada Tuhan. Hal ini dilakukan
sesuai dengan perintah Tuhan kepada mereka bahwa : setiap orang yang datang menghadap
Tuhan, janganlah ia menghadap dengan tangan hampa, tetapi masing-masing membawa
persembahan sesuai dengan berkat yang diberikan Tuhan kepadanya. Bentuk dari pemberian
persembahan ada bermacam-macam. Ada persembahan mingguan, bulanan dan tahunan.
Semuanya diberikan kepada gereja dengan maksud sebagai pengucapan syukur kepada Allah
atas berkat yang ia limpahkan.35
Menurut Alkitab ada beberapa nilai dari suatu persembahan yang dikehendaki oleh
Tuhan: Pertama, bila persembahan adalah yang terbaik, (Keluaran 23 19). Persembahan itu
terbaik atau tidak,ditentukan oleh sikap hati. (bnd, persembahan Kain dan Habel, Kejadian 4
:3-7. Habel, memilih anak sulung kambing dombanya, sedangkan Kain mempersembahkan
sebagian dari hasil pertaniannya dengan berat hati. Alkitab mengatakan persembahan Habel
32 J.L.Ch.Abineno, Unsur-unsur Liturgika yang dipakai oleh Gereja-Gereja di Indonesia (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1960), 103.
manusia dengan Tuhannya,manusia dengan manusia, manusia dengan alam, ataupun alam
dengan manusia. Setiap bagian dari alam semesta mempunyai tempat dan peranan masing-
masing yang penuh arti.44
Fu’a Auliliuk Dalam Budaya Rote
Makna Fu’a Auliliuk
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti menurut beberapa tokoh
adat, Fu’a Auliliuk terdiri dari dua suku kata yaitu Fu’a dan Auliliuk yang berasal dari bahasa
Rote Lole, Fu’a artinya menaikkan atau mempersembahkan, sedangkan Auliliuk artinya
memukul. Menaikkan, mempersembahkan dan memukul yang dimaksudkan oleh tokoh adat
ini yaitu menaikkan persembahan dengan cara memukul hewan (kerbau) yang digunakan
sebagai alat bantu dalam melirik sawah. Fu’a Auliliuk adalah upacara sakral yang berasal dari
agama suku Halaik yang ditandai dengan ritual adat istiadat pemberian persembahan sebagai
tanda atas ungkapan syukur atas hasil panen yang didapatkan dan permohonan terhadap alat-
alat bertani dan juga hewan (kerbau). Ritual tersebut dilakukan setelah selesai kerja sawah
(pengucapan syukur setelah kerja sawah). Ritual tersebut dilakukan dengan cara
mengumpulkan semua petani, keluarga dari petani dan alat-alat kerja, ritual ini juga
dilakukan dengan membaca mantra kepada alat-alat bertani dan hewan,dan juga memberikan
persembahan kepada dewa-dewa atau leluhur. Dengan tujuan supaya alat-alat bertani dan
hewan tersebut dapat berguna dengan baik pada musim bertani dan panen berikutnya.45
Persembahan Fu’a Auliliuk ini diberikan kepada Ledoh, Ndun dan Bulan karena
mereka mempercayai bahwa merekalah yang menciptakan dan menjadikan segala sesuatu
yang ada dibumi ini. Hal ini dilakukan sebagai salah satu wujud ungkapan syukur dari
manusia kepada sang pencipta atas segala kebaikan, kesejahtraan dan kemakmuran yang
diperoleh. Ledoh, Ndun dan Bulan memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam masyarakat
Rote selayaknya orang Kristen mempercayai Allah Bapa sebagai pencipta manusia dan
segala sesuatu yang ada di alam semesta.46
Selain sebagai ungkapan syukur kepada sang pencipta, tradisi Fu’a Auliliuk ini juga
diakukan untuk memberi makna sebagai ritual ucapan terimakasih kepada leluhur atas
penjagaan dan pemberi kekuatan, kesehatan terhadap hewan (kerbau) yang digunakan
44 O.H., Wawancara, (2 November 2014) 45 Ibid., A. K. 46 J.B., wawancara, (01 November 2014)
13
sebagai alat pembantu dalam melirik sawah. Bisa dikatakan bahwa lewat ritual memukul
hewan (kerbau) dengan menggunakan kayu maka hal tersebut dipercayai oleh manusia bahwa
ketika memukul hewan tersebut, maka hewan tersebut akan diberkati, mendapat kekuatan,
kesehatan dan tidak merasa sakit pada saat melirik sawah. Hewan tersebut dipukul dengan
kayu pemukul (Dilla sinak), kayu pemukul ini digunakan untuk sawah pertama (tuan sawah),
di pukul pada pertama kali setelah itu disimpan dan digunakan pada panen berikutnya. Ritual
tersebut dilakukan di dalam kandang kerbau yang telah dibersihkan karena mereka percaya
bahwa ketika mereka melakukannya ditempat tersebut maka apa yang menjadi permintaan
mereka akan terkabul.
Bagi orang Rote adat istiadat merupakan tradisi turun-temurun dari para leluhur,
berupa pesan-pesan dan janji-janji nenek moyang yang diterima sebagai peraturan yang
senantiasa harus diikuti. Orang Rote percaya bahwa dengan menaati peraturan-peraturan dari
nenek moyang yang dipandang sebagai syariat agama dan adat-istiadat, sekaligus juga
menaati kepada Ledoh, Ndun dan Bulan yang mereka sembah. Karena bagi mereka
menghormati nenek moyang atau leluhur yang sudah meninggal adalah kewajiban anak cucu
yang masih hidup.47
Upacara adat ini dipimpin oleh Manusonggo yang adalah ketua adat, yang bertugas
untuk memimpin upacara-upacara adat atau ritual yang ada di pulau Rote. Fu’a Auliliuk
dilaksanakan pada pertenghan bulan agustus sampai akhir oktober yang merupakan bulan
hasil panen dalam tahun adat yang berjalan.48
Secara historis Manetuansai dan Danggalenaliu adalah leluhur pertama orang Rote
yang melakukan ritual Fu’a Auliliuk, dimana mereka mempunyai kekuatan, ternak dan juga
orang pertama yang mempunyai sawah dan kerbau. Oleh karena itu masyarakat Rote sangat
menghargai dan menghormati leluhur mereka sehingga sampai saat ini mereka masih
melaksanakan ritual Fu’a Auliliuk tersebut. Ritual Fu’a Auliliuk yang mereka lakukan
diyakini mempunyai kuasa yang besar dan membawa harapan baru untuk kehidupan yang
lebih baik di masa panen yang akan datang. Orang Rote selalu terikat dengan tradisi atau
budaya turun temurun, mereka harus selalu menjalankan tradisi-tradisi yang ada termasuk
Fu’a Aulilik.49
47 Ibid., 48 Tokoh adat Abed A. Z. (4 November 2014) 49 Ibid.,
14
Ritual-Ritual Dalam Upacara Adat Fu’a Auliliuk
Upacara Fu’a Auliliuk dilakukan selama dua bulan dengan berbagai kegiatan sebagai
berikut:
Pertama. Membersihkan kandang kerbau (Taok ma lakuk kamba lalau). Sebelum
melakukan ritual, kandang kerbau dibersihkan terlebih dahulu dengan tujuan pembersihan
diri dari dosa-dosa agar ritual yang nantinya dilakukan dapat diterima oleh leluhur-leluhur.
Membersihkan kandang adalah tugas dari warga masyarakat maku sendiri.
Kedua. Berkumpul bersama dalam kandang. Sebelum ritual dilaksanakan
Manusonggo, anak-anak, para petani dan masyarakat Maku masuk bersama-sama dalam
kandang. Sebelum itu kerbau-kerbau sudah terlebih dahulu memasuki kandang tersebut.
Ketiga. Doa untuk peralatan-peralatan. Doa ini dipimpin oleh Manusonngo, doa ini
dilakukan dengan membaca mantra-mantra supaya peralatan - peralatan yang telah dipakai
dapat digunakan kembali pada musim panen berikutnya.
Keempat. Air kelapa atau Lonulak Oe’k. Air kelapa ini digunakan untuk membasuh
kayu (Dillak Sinak) yang akan dipakai untuk memukul kerbau pada saat lirik sawah agar
kerbau tidak merasa sakit. Setelah itu buah kelapa tersebut ditaruh di depan pintu kandang
kerbau, dengan tujuan supaya kemana kerbau itu pergi mereka harus kembali ke kandang
mereka.
Kelima pengantaran makanan. Dalam kegiatan ini seorang perempuan memasak nasi
dan kemudian menaruhnya dalam nyiru (Oko), setelah itu nasi tersebut diantar kedalam
kandang kerbau.
Keenam. Memotong ayam jantan putih (manu fullak). Dilakukan setelah pengantaran
makanan, ayam tersebut disembelih dalam kandang,setelah itu dibakar dan di taruh didalam
nyiru yang sudah berisi nasi.
Terakhir. Makan nasi dan daging dalam nyiru (mua kakau no mba nai oko dalek).
Dalam kegiatan dilakukan makan bersama yang dilakukan oleh anak-anak, biasanya anak
perempuan lebih banyak dari anak laki-laki, dengan maksud supaya kerbau-kerbau yang
dipakai dapat berkembangbiak dengan baik. Makanan tersebut harus dihabiskan dan tulang-
tulang ayam tidak boleh patah.
Fu’a Auliliuk dalam Pandangan Jemaat GMIT Syloam Maku
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia hidup tidak terlepas dari berbagai tradisi yang
bersifat mengikat dan dilakukan secara turun-temurun. Setiap suku memiliki budaya masing-
masing yang menjadi identitas khusus yang membedakan suku tersebut dengan suku lainnya.
15
Hal tersebut bisa dikatakan bahwa dalam hal ini mencakup ritual-ritual yang menjadi
penunjuk identitas dari suku yang menganutnya. Hal itu juga berlaku bagi orang Kristen
khususnya jemaat GMIT Syloam Maku.
Gereja dalam hal ini Majelis jemaat memandang bahwa tradisi tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan jemaat GMIT Syloam Maku. Namun gereja dalam hal ini pendeta yang baru
bertugas di jemaat ini, lebih beranggapan bahwa jemaat belum mengerti secara mendalam
iman Kristen sehingga permasalahan ini di sisi yang lain menjadi pergumulan gereja. Lebih
lanjut ia berpandangan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan dalam melayani khotbah
minggu belumlah kontekstual. Sering menggunakan istilah-istilah yang sulit dipahami pada
konteks berjemaat GMIT Syloam Maku. Pada akhirnya ketika membahas tentang tradisi ini
sikap yang diambil masih mendua karena di satu sisi tradisi ini merupakan bagian dari
kehidupan mereka namun di sisi yang lain bertentangan dengan iman kristen.50
Secara umum, warga jemaat Syloam melihat bahwa tradisi atau budaya Fu’a
merupakan sebuah budaya yang baik untuk tetap dipertahankan dengan pemahaman bahwa
iman mereka tetap hanya kepada Allahnya orang Kristen. Fu’a Auliliuk hanyalah tradisi atau
adat istiadat turun-temurun yang sama sekali tidak mempunyai tendensi apapun terhadap
kepercayaan mereka kepada Yesus Kristus dan tradisi ini mempunyai kuasa dalam kehidupan
mereka. Walaupun demikian, jemaat ini masih terus menjalankan dan mengikuti upacara
Fu’a Auliliuk dengan alasan:
a. Fu’a memiliki fungsi yang sangat kental yaitu sebagai wadah untuk lebih
mempererat tali persaudaraan dan persatuan dalam sistem kekerabatan orang
Rote.51
b. Fu’a Auliliuk merupakan identitas atau jati diri orang Rote. Mereka percaya bahwa
kehidupan orang Rote saat ini tidak terlepas dari adanya para leluhur di masa lalu
sehingga sebagai bentuk penghormatan maka mereka harus terus menjalankan
tradisi yang telah diwariskan.52
c. Tradisi ini adalah satu-satunya wadah berkumpulnya keluarga sehingga terjadi
proses pengenalan kepada para leluhur yang telah tiada dan menjadi sejarah
didalam keluarga mereka.53
50 Pdt. Imelda Tuulima (2 November 2014). 51 Wawancara Y.DJ (3 November 2014) 52 Ibid., 53 Ibid.,
16
d. Karena sebagai petunjuk identitas maka sudah seharusnya terus dilestarikan agar
generasi penerus orang Rote di masa yang akan datang tetap mengenal dan
mencintai budaya mereka.54
e. Ritual Fu’a Auliliuk juga bisa menjadi sarana dalam menambah penghasilan bagi
masyarakat Rote.55
Dari beberapa alasan diatas maka tidaklah mengherankan jika sampai sekarang
seluruh masyarakat Rote (Kristen maupun non Kristen) terus mempertahankan tradisi Fu’a
Auliliuk. Memang diakui bahwa tradisi ini sangat bertentangan dengan ajaran Kekristenan.
Tetapi terdapat nilai-nilai positif yang bisa dipetik diantaranya, adanya persekutuan,
semangat kekeluargaan, solidaritas yang erat, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
penghormatan kepada para leluhur serta ajaran untuk lebih menghargai alam dan juga tempat
mereka hidup dan berkembang. Bagi orang Rote menjaga keseimbangan alam dan relasi yang
baik dengan Tuhan dan sesama adalah hal yang baik. Orang Rote memaknai bahwa ketika
mereka melakukan apa yang baik maka kebaikan itu juga yang akan kembali kepada
mereka.56
Tentunya jemaat memahami dengan baik bahwa budaya Rote tidak bisa dilepaskan
begitu saja dari struktur kehidupan mereka, dengan keyakinan bahwa budaya adalah identitas
yang dilestarikan tanpa mengurangi nilai-nilai iman mereka. Mereka mengimani dan
menghidupi nilai-nilai kekristenan tersebut didalam sikap hidup mereka sehari-hari yaitu
tentang bagaimana menjaga perilaku hidup, menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan dan
sesama, nilai-nilai religius, sifat terbuka terhadap perubahan dan nilai-nilai kekeluargaan.57
Namun sebagian jemaat Syloam tidak menyetujui lagi pemahaman bahwa Fu’a
Auliliuk dapat membawa berkat, kemakmuran bagi kehidupan mereka. Mereka percaya
bahwa segala berkat yang mereka dapat semata-mata berasal dari Allah. Fu’a Auliliuk tetap
dilakukan karena merupakan budaya atau jati diri yang tentu tidak dapat mereka tinggalkan
begitu saja dan sebagai wadah penghormatan terhadap leluhur.58
Sangat disadari bahwa walaupun Agama Kristen sudah lama terlibat dalam kehidupan
orang Rote, namun sejauh ini belum ada dialog yang mempertemukan gereja dengan
penganut kepercayaan Halaik. Oleh karena itu sebagai orang yang telah menganut agama
Kristen diakui bahwa budaya yang adalah jati diri mereka ini adalah budaya yang
54 Wawancara EL.D (3 November 2014) 55 Wawancara Y.H, S,dan S. T, jemaat GMIT Syloam- Maku (2 November 2014) 56 D.P (Anggota Jemaat) wawancara (4 november 2014) 57 DJ.M ( Anggota Jemaat ) wawancara (1 november 2014) 58 Ibid., D. P.
17
memberikan dukungan tentang nilai-nilai kekristenan mereka, sehingga yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana menerima budaya tersebut sebagai penopang dalam menjalani
iman dan kepercayaan mereka kepada Tuhan Allah, karena ritual Fu’a Auliliuk ini memiliki
nilai positif untuk tetap dipertahankan.59
ANALISA MASALAH
Pada bagian ini penulis akan melakukan analisis tentang eksistensi, makna dan sikap
gereja terhadap upacara Fu’a Auliliuk dalam masyarakat Rote jemaat Syloam Maku.
Makna Fu’a Auliliuk
Makna sentral yang dapat dipahami dari upacara ini adalah persembahan yang dapat
dimaknai sebagai tanda ucapan syukur terhadap hasil panen yang didapatkan. Hal ini dapat
dilihat melalui beberapa ritual seperti,pemotongan ayam jantan putih (manu fullak),
persembahan animistik semacam ini identik dengan persembahan darah. Persembahan
tersebut dipersembahkan kepada dewa-dewa serta tubuh yang diserahkan untuk dimakan.60
Namun perbedaannya adalah persembahan yang dilakukan dalam upacara Fu’a Auliliuk ini
dulunya memang ditujukan pada para leluhur dan dewa-dewa yang disembah seperti dewa
Bulan, Ledoh dan Ndun.
Pada masa masuknya agama Kristen pemaknaan ini ditujukan pada Tuhan (Yesus
Kristus) dan juga para leluhur sebagai wujud penghargaan. Itu artinya terjadi pergeseran
makna yang dikontekskan pada konteks masa kini akibat dari hadirnya agama modern yakni
kekristenan dan alasan pelestarian budaya.
Pemaknaan secara mendalam akhirmya dinilai sebagai wujud yang mendalam dari
kehidupan mereka dan menjadi landasan dasar dalam bermasyarakat secara umum dan secara
khusus dalam hal keagamaan. Sebab selain ucapan Syukur alasan lainnya yang menarik
adalah Orang Rote percaya bahwa makna dari persembahan ini juga menggarisbawahi
adanya ketaatan terhadap apa yang telah dilakukan oleh para leluhur. Karena bagi mereka
ritual ini sekaligus merupakan salah satu sarana menjalankan syariat agama dan adat-istiadat.
59 Wawancara P.M, J M (3 november 2014).
18
Secara Antropologis menurut Victor Turner upacara yang dilakukan ini merupakan
proses negosiasi.61 Alasannya karena ritual yang dilakukan mempunyai harapan bahwa
dengan dilangsungkannya upacara ini akan mendapatkan hasil panen yang lebih baik dari
yang sekarang dimasa depan. Fungsi upacara ini juga dipandang sebagai wadah
berkumpulnya keluarga sehingga terjadi proses pengenalan kepada para leluhur yang telah
tiada yang menjadi sejarah di dalam keluarga mereka. Fungsi tersebut menurut Suh Sung Min
tujuannya untuk tetap memelihara hubungan keluarga dengan para mendiang.62 Khususnya
para leluhur.
Menurut Strauss mempersembahkan korban kepada orang-orang yang sudah
meninggal khususnya para leluhur merupakan bagian terpenting. Karena tujuannya dari
persembahan tersebut adalah untuk menangkal kuasa maut, memperoleh kekuasaan dan
kebahagiaan.63 Pada dasarnya persembahan yang dilakukan juga memiliki tujuan yang sama
dalam hal menghormati para leluhur dan sekaligus berharap agar hasil panen berikutnya jauh
lebih baik dari yang sekarang ini.
Secara teologis persembahan juga merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan. Gereja
dalam hal ini memandang bahwa apa yang dilakukan oleh jemaat yang masih mengikuti
tradisi ini sebagai tradisi yang tidak terlepas dari kehidupan mereka. Disisi yang lain gereja
menentang jemaat mengikuti tradisi ini dengan memandang bahwa jemaat belum mengerti
secara mendalam iman Kristen. Hal ini sejalan dengan sikap gereja-gereja pada umumnya
yang cenderung menentang dan menganggap pembunuhan hewan hewan korban
bertentangan dengan perintah pertama Dekalog.64 Lebih lanjut mempersembahkan makanan
dan lain-lain kepada leluhur atau dalam hal ini orang-orang yang sudah meninggal dianggap
sebagai sejenis penyembahan berhala.
Padahal persembahan sangatlah sentral dalam kehidupan bergereja. Gereja
memandang persembahan sebagai wujud ungkapan syukur yang mendalam kepada Tuhan.
Penghayatan yang demikian menyebabkan persembahan sangat berarti universal bagi
komunitas gereja. Karena tiap individu dalam komunitas menaikan mengungkapkan ras
syukurnya pada yang Maha Kuasa. Pertentang dari gereja pada umumnya bisa dipahami
61 Understanding Religious Secrefice......,293-300. 62 Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, (Yogyakarta: Media Pressindo , 2001) hlm
70-75. 63 Lewis Strauss dalam bukunya Georg Kirchberger, dan Jhon Mansford Prior, Iman dan
TransformasiBudaya, (Ende: Nusa Indah, 1996), 216. 64 George Kirchberger, & Jhon Mansford Prior, Iman dan Transformasi Budaya, (Ende: Nusa
Indah,1996),216.
19
demikian karena diantara gereja dan tradisi masyarakat setempat belum di temukannya titik
temu yang mempertemukannya serta dialog yang mendalam. Artinya ada ruang dimana
gereja dan tokoh adat dapat membicarakan dan menyepakati makna-makna khusus yang
ditransformasikan guna membangun iman jemaat. Hal ini dengan mempertimbangkan
kenyataan bahwa pengaruh iman kristen cukup kuat. Buktinya terjadi pergeseran makna dari
yang dulunya rasa syukurnya ke dewa-dewa setempat bergeser ke rasa syukur kepada Yesus
Kristus sebagai pemberi berkat.
Menurut Stephen B. Bevans teologi dewasa ini harus mengindahkan semua segi
menyangkut konteks. Lebih lanjut teologi harus menyadari bahwa banyak dari antara segi-
segi ini sebenarnya sudah bergiat di dalam ihwal mengembangkan kesaksian kitab suci serta
kesaksian tradisi, karena konteks merupakan titik tolak bagi refleksi teologis.65
Pada kenyataan jemaat Syloam Maku, telah merefleksikan Fu’a a Auliliuk sebagai
ungkapan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus. Makna atau refleksi ini sangat membantu
dalam merekonstruksi suatu teologi tentang persembahan syukur melalui upacara ini dengan
mempertimbangkan pengalaman masa lampau dan masa kini. Apalagi lahan pertanian
ataupun peternakan, proses bekerjanya dimulai dari menanam padi atau mengembangbiakan
ternak semuanya dapat dikatakan hampir seluruhnya mengandalkan faktor alam yang berada
di luar jangkauan manusia. Tentunya ungkapan syukur berdasarkan alasan tersebut akan
sangatlah mendalam ketika dimaknai sebagai anugerah Tuhan semata dan penghormatan
kepada leluhur memainkan fungsi membangun solidaritas kasih diantara sesama dengan
mengenang dan menghormati tradisi turun-temurun ini. Tujuan dari solidaritas kasih ini
adalah untuk saling melengkapi tubuh Kristus di dalam konteks kehidupan berjemaat dan
bermasyarakat.
Model semacam ini juga dapat ditemukan dan direfleksikan dalam konteks alkitab
perjanjian lama maupun perjanjian baru yang mana perjanjian lama banyak membahas
tentang korban persembahan yang terbaik sebagai proses perbaikan hubungan manusia
dengan Allah, sedangkan dalam perjanjian baru mengacu pada anugerah Allah melalui Yesus
Kristus sebagai korban penebusan dosa. 66 Selain itu, makna lain yang dapat ditarik dari
tradisi ini adalah tradisi yang dilaksanakan dengan kemampuan ekonomi yang warga jemaat
miliki menunjukkan bagaimana ketulusan mereka yang tidak dengan berat hati, maupun
65 Stephen B. Bevans. Model Model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero, 2002), 9. 66 A.M. Tambunan, Persembahan Persepuluhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1952), 16.
20
semampunya dalam mempersembahkan sesuatu kepada Allah sebagai ungkapan syukur
mereka kepada Allah.67
Eksistensi Fu a Auliliuk dalam Masyarakat Rote Jemaat Syloam Maku masa kini
Fu’a Auliliuk adalah upacara sakral yang berasal dari agama suku Halaik yang
ditandai dengan ritual adat istiadat pemberian persembahan. Keberadaan Fu’a Auliliuk yang
masih berlangsung hingga saat ini karena adanya kesadaran tentang pentingnya budaya
sebagai identitas masyarakat khususnya di Rote jemaat Syloam Maku. Selain itu budaya
dilihat bukan hanya sekedar ritual melainkan norma-norma yang mengatur, sekaligus
mempersatukan mereka dan merupakan ekpresi-ekspresi simbolik dari realitas sosial yang
digunakan untuk kekuatan, penjagaan, penyegar dan solidaritas sebuah kelompok.68
Oleh sebab itu, keberadaan upacara ini secara langsung dapat dipahami terlebih
sebagai gambaran siklus hidup dari masyarakat Rote Jemaat Syloam Maku sehari-hari. Siklus
ini akan terus berlangsung dan berkembang sesuai dengan konteks masyarakat dan peradaban
yang ada. Namun yang perlu untuk di kembangkan adalah sikap gereja dalam membangun
sebuah teologi yang kontekstual dan lintas budaya. 69 Peran ini dimainkan oleh tokoh-tokoh
agama merupakan bagian dari masyarakat yang terus belajar. Selain itu teolog mencari
kebenaran, bukan hanya mengulang apa yang disebutkan dalam doktrin-doktrin dan ajaran
lama sebab Teolog dalam hal ini juga pendeta mengerti bahwa teologi itu sifatnya dinamis
dan tanpa akhir, tidak statis dan tertutup.
Selain itu mengingat fungsi dan peran tradisi ini sebagai sebuah norma hidup maka,
adat yang menjadi kebiasaan ini seharusnya menjadi peluang yang baik karena dalam konteks
masyarakat purba dan merujuk pada Indonesia sifat adat yang wajib menjadi kekuatan
sekaligus bahaya. Apalagi sifat wajib adat yang tidak terelakan adalah yang membuat orang
perorangan maupun buat suku bangsa menentukan hidup-matinya.70 Sekarang tinggal
bagaimana sikap gereja bekerja sama dengan tokoh masyarakat yang menjalankan tradisi ini
untuk membuat suatu kesepakatan makna bersama yang juga tidak bertentangan dengan nilai-
nilai kekristenan maupun adat istiadat setempat.
67 Ibid., 21-25. 68 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religius Life, (New York : Free Press,1915),63. 69 Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya Refleksi Barat di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006),
10-11. 70 Lothar Screiner, Adat dan Injil Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak,(BPK
Gunung Mulia, 2008), 18-21.
21
Ritual yang dilakukan oleh jemaat Syloam Maku merupakan suatu kegiatan yang
dianggap sakral dalam menjalani kehidupan mereka di masa yang akan datang. Ritual
tersebut dilakukan di dalam kandang ternak yang telah dibersihkan, karena hal tersebut
merupakan tradisi turun temurun yang terus dilakukan sebagai kekuatan yang dipercaya akan
mendatangkan berkat, kemakmuran dan kesejahteraan.
KESIMPULAN
Berdasarkan rangkaian hasil penelitian ini secara keseluruhan maka dapat
disimpulkan bahwa makna Fu’a Auliliuk dalam Budaya Rote dimaknai awalnya sebagai
ungkapan syukur kepada para dewa-dewa dan leluhur karena hasil panen yang didapatkan.
Selanjutnya pada perkembangannya pemaknaan ini tidak lagi dimaknai sebagai ungkapan
syukur kepada dewa-dewa namun mengalami pergeseran makna yang difokuskan kepada
Tuhan dan penghormatan kepada para leluhur atas hasil panen yang didapatkan dan berharap
untuk hasil panen dimasa depan akan lebih baik lagi dari yang sekarang didapatkan.
Alasan utama dari budaya ini Fu’a Auliliuk masih dilaksanakan oleh warga jemaat di
gereja GMIT Syloam Lole-Maku karena memiliki nilai-nilai budaya yang dapat
mempersatukan mereka lewat dilangsungkannya tradisi ini.
Saran
Bagi Gereja
· Khususnya majelis jemaat agar dapat menempatkan posisi dan meengupayakan
suatu teologi yang kontekstual dengan mempertimbangkan budaya ini sebagai
landasan berteologi guna membangun iman jemaat yang sesuai dengan kebutuhan.
· Gereja perlu mengadakan dialog tentang budaya Rote mengenai tradisi-tradisi yang
telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Rote dan juga
mengembangkannya dalam wawasan Kristiani yang pada akhirnya tidak bertolak
belakang dengan budaya yang ada. Tentu saja dilakukan melalui khotbah-khotbah,
pendidikan warga gereja, ceramah, bimbingan dan usaha-usaha sosial lainnya.
Bagi Warga Masyarakat
· Agar tetap mempertahankan budaya ini mengingat fungsi tradisi ini yang
fungsinya dapat sebagai pemersatu atau membangun solidaritas diantara sesama
dan proses mengenal asal usul dari tiap-tiap keluarga yang ada di Masyarakat
Rote Jemaat GMIT SYLOAM MAKU.
22
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J. D. Teologi Lintas Budaya Refleksi Barat di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Abineno, Ch. L. J. Unsur-unsur Liturgika yang dipakai oleh Gereja-Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1960.
Bevans, B. S. Model Model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002. Barth, C. Theologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1970. Biro Humas Setda Propinsi NTT. Hole Ritual Budaya Masyarakat Sabu. Kupang 2004. Cartes, Jefferey. Understanding Religious Sacrifice. New York 2003 reprinted 2006 Meidek
Lane. Durkheim, E. The Elementary Forms of Religius Life. New York : Free Press, 1915. Douglas B. D. M. A. J. D. The Illustrated Bible Dictionary part 3, Tyndale House Publishare:
Intervarsity Press, Lasor, W.S., Hubbard, D.A., & Bush, W. F. Pengantar Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK
Gunung Mulia 2012. Moleong, J. L. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Narbuko, C. & Achmadi, A. H. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007. Neuman, L. W. Social research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, USA:
Allyn and Bacon, 1999. Neibuhr, R. Kristus dan Kebudayaan.Jakarta: Petra Jaya,1949. Kirchberger G., & Prior, M. J. Iman dan Transformasi Budaya. Ende: Nusa Indah, 1996. Parera. Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor: Suatu Kajian Peta Politik Pemerintahan
Kerajaan-kerajaan di Timor Sebelum Kemerdekaan RI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Rowley, H. H. Ibadat Israel Kuno. Badan Penerbit Kristen, Jakarta: 1981. Screiner, L. Adat dan Injil Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak. BPK
Gunung Mulia, 2008. Soedarmo, R. Kamus Istilah Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998. Sung Min, Suh. Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, Yogyakarta: Media Pressindo, 2001. Tambunan, A.M. Persembahan Persepuluhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1952. Vriezen, C. Th. Agama Isreal Kuno. Jakarta, BPK Gunung Mulia,2003 Wright, G. E. & Kuiper, A de. Perjanjian Lama Terhadap sekitarnya. Jakarta: BPK Gunung
Mulia,1976. Dhavamony, Mariasuasi. Fenomenologi Agama, Yogyakarta; kanisius 1995 Koentjaraningrat, Pokok-pokok Antropologi Sosial, Jakarta: PT Dian Rakyat, 1974 Sumber data