BAB I
PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangTingkat kesadaran akan keselamatan
kerja dan beraktivitas di kehidupan sehari-hari yang rendah
merupakan faktor utama terjadinya trauma maksilofasial yang
berakibat salah satunya pada terjadinya diskotinuitas jaringan
keras maksilofasial. Selain itu, salah satu faktor utama terjadinya
diskontinuitas jaringan keras atau fraktur adalah kecelakaan
kendaraan bermotor. Realita saat ini menunjukkan begitu besarnya
angka kecelakaan di negeri kita. Masyarakat memiliki kesadaran yang
rendah dalam hal keselamatan berkendara, sehingga hal tersebut
membuat resiko kecelakaan yang terjadi menjadi semakin tinggi.
Fraktur akibat kecelakaan sering terjadi pada bagian tengah wajah.
Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan
mandibula merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila
terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu
kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan wajah tersebut
terganggu fungsi estetisnya, juga dapat menyebabkan terjadinya
gangguan pada proses mastikasi dan gangguan fonetik. Fraktur juga
sering terjadi pada daerah persendian (sutura) yang merupakan titik
rawan terjadinya pemutusan jaringan keras. Fraktur-fraktur yang
terjadi akan mampu mengganggu fungsi tubuh, terutama jika fraktur
yang terjadi sangat kompleks, maka dampak terburuk adalah kematian.
Oleh sebab itu, mahasiswa Kedokteran Gigi diharapkan mampu memahami
dengan baik trauma serta fraktur-fraktur yang terdapat pada
dentomaksilofasial sehingga kelak akan mampu melakukan perawatan
dan diagnosa yang tepat.1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan tutorial yang bertema Fraktur dan
Trauma Maksilofasial ini, yaitu:1. Mahasiswa diharapkan mampu
mengetahui, memahami dan menjelaskan etiologi dan faktor
predisposisi fraktur dan trauma maksilofasial.
2. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui, memahami dan
menjelaskan klasifikasi fraktur maksilofasial.
3. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui, memahami dan
menjelaskan Pemeriksaan klinis dan penunjang fraktur
maksilofasial.1.3 Manfaat
Manfaat dari pembuatan laporan tutorial yang bertema Fraktur dan
Trauma Maksilofasial ini, yaitu:1. Mahasiswa mampu mengetahui,
memahami dan menjelaskan etiologi dan faktor predisposisi fraktur
dan trauma maksilofasial.
2. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan
klasifikasi fraktur maksilofasial.
3. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan
Pemeriksaan klinis dan penunjang fraktur maksilofasial.
BAB IIPEMBAHASAN
STEP I
1. Hematom adalah pengumpulan darah pada daerah tertentu akibat
trauma karena dinding pembuluh darah rusak, berwarna biru keunguan,
terasa nyeri, dan ada pembengkakan.2. Vulnus scisium adalah luka
iris yang ditandai dengan tepi luka berupa garis lurus.3. Open bite
adalah keadaan adanya ruangan oklusal/insisal dari gigi saat RA dan
RB dalam keadaan oklusi sentrik.4. Krepitasi adalah sensasi
berderak pada tulang rawan sendi saat membuka diskus artikularis,
saat melewati permukaan yang tidak rata, pada ujung tulang yang
mengalami fraktur, akibat kerusakan pada sendi, digunakan untuk
mendiagnosa adanya fraktur pada sendi/tulang rawan.5. Fraktur
dentoalveolar adalah kerusakan/putusnya kontinuitas yang terjadi
pada tulang alveolar dan gigi yang berhubungan.6. Fraktur segmental
maksila sinistra adalah fraktur sebagian maksila sebelah kiri
berupa garis patah dan tidak berhubungan.
7. Maloklusi adalah bentuk hubungan RA dan RB oklusi tidak
normal, karena gigi RA dan RB terdapat kelainan.8. Suspek fraktur
infra orbita sinistra adalah dugaan sementara adanya fraktur di
daerah bawah mata bagian kiri.STEP II
1. Apa saja etiologi dan faktor predisposisi fraktur dan trauma
maksilofasial?
2. Apa saja klasifikasi fraktur dan trauma maksilofasial?
3. Bagaimana pemeriksaan klinis dan penunjang fraktur
maksilofasial?
STEP III
I. Etiologi Fraktur dan Trauma Maksilofasial
1. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya fraktur maksilofasial dapat
digolongkan sebagai penyebab langsung dan penyebab tidak
langsung.
Langsung
Apabila gigi langsung terkena benda penyebab trauma.
Tidak langsung
Misalnya, trauma pada mandibula yang mengakibatkan trauma pada
gigi insisivus atas.
2. Faktor PredisposisiFaktor predispoisi dari trauma maksilo
fasial dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor intrinsik dan
ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain daya tahan untuk timbulnya
fraktur, elastisitas, kepadatan tulang, dan kapasitas absorpsi.
Sedangkan faktor ekstrinsik tergantung pada tekanan, besar dari
tekanan, waktu dan arah tekanan.
Kelainan-kelainan atau penyakit tertentu dapat menyebabkan
tulang menjadi rapuh dan dapat menyebabkan fraktur spontan seperti
saat mengunyah ataupun berbicara, misalnya kista atau tumor jinak
pada rahang, osteomyelitis, osteopororsis, osteogenesis imperfekta,
atrofi tulang, metabolic bone disease. Selain itu post normal
oklusi, overjet yang melebihi 4mm, anatomi gigi serta riwayat medis
juga dapat mempengaruhi tulang untuk mudah terjadi fraktur
II. Klasifikasi Fraktur dan Trauma Maksilofasial
1. Fraktur Dentoalveolar
Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau
terlepasnya gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan
dengan fraktur yang terjadi di alveolus, dan mungkin terjadi
sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan setiap bentuk
fraktur lainnya.
Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan terjadinya
injuri wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang menimbulkan
fraktur dengan atau tanpa terbukanya saluran pulpa.
Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar Menurut WHO:1. Infraksi
Mahkota
Fraktur sebagian atau pecahnya enamel tanpa kehilangan substansi
gigi lainnya.
2. Fraktur Mahkota
Fraktur yang mengenai enamel dan dentin tanpa mengenai
pulpa.
3. Komplikasi Fraktur Mahkota
Fraktur mahkota yang tidak hanya mengenai enamel dan dentin,
namun juga pulpa.
4. Fraktur Mahkota-akar
Fraktur yang mengenai enamel, dentin dan sementum namun tidak
mengenai pulpa.
5. Komplikasi Fraktur Mahkota-akar
Fraktur yang melibatkan kerusakan enamel, dentin, sementum dan
pulpa.
6. Fraktur Akar
Fraktur yang mengenai dentin, sementum dan pulpa.
2. Fraktur Maksila
Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur
maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur,
yakni; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa
hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur maksila ini
masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.
A. Fraktur Le Fort I Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai
suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur fraktur Le
Fort II dan III.
Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur
transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar
ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior
yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila
dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah
sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini
sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.
B. Fraktur Le Fort II Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi,
dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur
horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus,
fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura
zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering
terkena.
Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang
atas, bisa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan.
Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort
I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort
I.
C. Fraktur Le Fort III Fraktur craniofacial disjunction,
merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar
terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini
biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian
yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa
mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan
trauma intrakranial.
3. Pola FrakturA. Fraktur UnilateralHanya tunggal atau lebih
dari satu fraktur pada satu sisi mandibula. Seperti fraktur pada
korpus mandibula unilateral paling sering terjadi.B. Fraktur
BilateralSering terjadi dari satu kombinasi antara kecelakaan
langsung dan tidak langsung. Sering terjadi pada fraktur yang
menyangkut angulus dan bagian leher kondilar.C. Fraktur
MultipelSeperti pada impak yang tepat mengenai titik tengah dagu
yang mengakibatkan fraktur pada simfisis dan kedua kondil.
Banks, Peter. 1992. Fraktur pada Mandibula menurut Killey.
Yogyakarta: UGM Press.4. Fraktur Mandibula
Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan istilah:A.
SimpleatauClosed: merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka
terbuka keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membran
periodontal.B. CompoundatauOpen: merupakan fraktur yang disertai
dengan luka luar termasuk kulit, mukosa, maupun membran
periodontal, yang berhubungan dengan patahnya tulang.C. Comminuted:
merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.D.
Greenstick: merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang
patah, satu sisi lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada
anak-anak.E. Pathologic: merupakan fraktur yang terjadi sebagai
luka yang cukup serius yang dikarenakan adanya penyakit tulang.F.
Multiple: sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur
pada tulang yang sama tidak berhubungan satu sama lain.
A. Greenstick, B. Simple, C. Komminuted, D. Kompon (Hupp dkk,
2008)
III. Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan Penunjang Fraktur
Maksilofasial
Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maksilofasial
dapat dilakukan dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra
oral dan intra oral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografis
yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosa dari fraktur
maksilofasial.
Tanda Klinis Fraktur
1. Perubahan oklusi
Biasanya ditemukan tanda klinis pada pasien mengalami maloklusi
open bite yang disebabkan karena terganggunya keseimbangan
maksilofasial.
2. Pergerakan mandibula yang abnormal pada fraktur mandibula
Adanya fraktur pada beberapa bagian mandibula menyebabkan adanya
gerakan abnormal seperti gerakan lateral.
3. Perubahan kontur wajah
Wajah nampak asimetris dikarenakan terjadinya tulang yang nampak
lebih menonjol pada wajah disertai dengan pembengkakan.
4. Laserasi dan hematoma pada jaringan lunak sekitar tulang yang
fraktur
Fraktur pada maksilofasial juga memberikan tanda klinis pada
jaringan di sekitarnya, misalnya ditemukan laserasi atau luka robek
pada wajah, labial, atau jaringan lunak disekitarnya. Adanya
hematoma seperti kulit yang nampak berwarna biru keunguan yang
menunjukkan terjadinya cedera pembuluh darah pada jaringan
disekitar tulang yang fraktur.5. Kesulitan atau ketidakmampuan
membuka dan menutup mulut pada fraktur mandibula.A. Fraktur
Dentoalveolar
Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar dilakukan dalam
dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya laserasi,
edema dan ekimosisi pada daerah bibir. Sedangkan secara palpasi
terdapat pecahan gigi pada jaringan bibir. Pada pemeriksaan intra
oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya laserasi pada permukaan lidah dan
sulkus labial, avulsi dan subluksasi. Sedangkan secara palpasi
terdapat deformitas tulang, krepitus.
B. Fraktur Maksila
Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan
Le Fort III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur
Le Fort tersebut berbeda.
1. Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada
bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan
secara palpasi terdapat rasa nyeri.
2. Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama
tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi
terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati
rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan
fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya
lengkung rahang atas.
3. Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara
ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan
dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan
pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha
untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan
pergeseran seluruh bagian atas wajah.C. Fraktur Mandibula
Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya hematoma,
pembengkakan pada bagian yang mengalami fraktur, perdarahan pada
rongga mulut. Sedangkan secara palpasi terdapat step deformity.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya gigi
yang satu sama lain, gangguan oklusi yang ringan hingga berat,
terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami
fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak
enak pada garis fraktur serta pergeseran.STEP IV
STEP VMahasiswa diharapkan mampu mengetahui, memahami, dan
menjelaskan:
1. Etiologi fraktur dan trauma maksilofasial 2. Klasifikasi
fraktur dan trauma maksilofasial3. Pemeriksaan klinis dan penunjang
fraktur dan trauma maksilofasialSTEP VII1. Etiologi Fraktur dan
Trauma Maksilofasial
Overjet > 3 mm, overjet yang melebihi dari 3 mm merupakan
posisi dimana insisial gigi insisiv rahang bawah berkontak dengan
gigi insisiv rahang atas pada bagian dekat dengan cervical.
Cervical terletak dekat dengan tulang alveolar, sehingga bila
terkena trauma yang terus menerus dapat mempermudah untuk
terjadinya fraktur. Selain itu juga karena pada cervical komposisi
enamelnya lebih sedikit, padahal enamel merupakan komponen yang
paling kuat pada gigi. Bila komposisi enamel sedikit, maka bagian
tersebut lebih rawan untuk terjadi fraktur jika diberi tekanan
terus menerus.
Adanya Penyakit Diabetes melitus Tipe 2 menyebabkan adanya
komplikasi yang salah satuya adalah kerapuhan tulang. Sehingga daya
tahan tulang terhadap tekanan menjadi rendah dan kemungkinan
terjadinya fraktur akan semakin tinggi (Lusi, 2012). Fraktur yang
terjadi pada mandibula dapat terjadi karena pencabutan gigi impaksi
dengan pembedahan yang tidak dilakukan secara hati-hati dan
dikeluarkan secara paksa (Dicky, 2008).2. Klasifikasi Fraktur dan
Trauma MaksilofasialKlasifikasi fraktur maksilofasial dibagi
menjadi beberapa bagian antara lain: Fraktur VertikalSeparasi
setengah bagian maksila yang melewati 1 atau 2 os nasal dan bagian
tipis dari proc. Palatina
Fraktur dasar Orbitaa. Orbital Blow out FractureFragmen fraktur
dasar orbita berpindah tempat ke bawah masuk ke dalam rongga
antrum. Fraktur ini menyebabkan diplopia dan gangguan gerakan bola
mata ke arah lateral atas.b. Orbital blow in FractureFraktur ini
jarang terjadi. Fragmen dasar orbita menekuk ke dalam cavum occuli.
Fraktur arkus ZigomaticusDitandai dengan adanya depresi sepanjang
2,5 cm. Terdapat 2 jenis:a. Tripe Fraktur: berbentuk huruf V.
b. Fraktur Komunitif: bagian fraktur mengalami reposisi sendiri
karena tarikan fasia temporalis dan gerakan proc. Coronoideus.
Klasifikasi Trauma pada Jaringan Periodontal: ConcussionTrauma
pada jaringan pendukung gigi tanpa disertai kehilangan gigi.
SubluxationTrauma pada jaringan sekitar gigi disertai adanya
kehilangan jaringan yang abnormal namun tidak ada peristiwa
lepasnya gigi. Intrusive Luxation (central dislocation)Lepasnya
gigi dari tulang alveolar disertai dengan fraktur pada soket
alveolar. Extrusive luxation (peripheral dislocation, Partial
avulsion)Lepasnya gigi sebagian diluar soket alveolar.
Lateral luxationLepasnya gigi pada arah selain axial, biasanya
disertai dengan fraktur soket alveolar. Retained Root
FractureFraktur dengan retensi pada segmen akar namun kehilangan
segmen mahkota diluar soket alveolar. Exarticulation (complete
avulsion)Lepasnya gigi secara keseluruhan dari alveolar soket
Klasifikasi Fraktur Mandibula Berdasarkan Lokasi Anatomi:
Fraktur DentoalveolarFraktur yang terjadi pada tulang alveolar,
gigi, dan juga melibatkan jaringan pendukung gigi, gingiva ataupun
labial. Fraktur SymphisisFraktur pada regio insisivus mandibula
yang memanjang dari prosessus alveolar ke batas inferior secara
vertikal. Fraktur Body MandibulaFraktur yang muncul dari foramen
mentale dan distal molar kedua dan memanjang dari processus
alveolar ke batas inferior mandibula. Fraktur AngelFraktur yang
terjadi pada sudut mandibula (angel). Fraktur ini terjadi pada
titik temu body dan ramus mandibula pada retromolar menuju inferior
body mandibula dan posterior border ramus mandibula. Fraktur
Processus CondylusFraktur yang melibatkan condylus. Fraktur yang
memanjang dari sigmoid notch ke posterior border ramus mandibula
sepanjang aspek superior.Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Penyebab
Terjadinya: Fraktur SpontanFraktur ini terjadi akibat tekanan dari
dalam rongga mulut, misalnya tekanan oklusi, tekanan dari tumpatan
pada gigi karies, tekanan karena menggigit benda keras, dan
lain-lain. Fraktur TraumatikFraktur ini terjadi akibat adanya
trauma yang datang dari ekstraoral, misalnya benturan, kecelakaan,
dan lain-lain.Klasifikasi Fraktur Mandibula Berdasarkan Pola
Fraktur: Fraktur UnilateralFraktur Unilateral yaitu fraktur yang
hanya terjadi pada satu sisi mandibula. Fraktur BilateralFraktur
Bilateral yaitu fraktur yang terjadi pada dua sisi mandibula.
Fraktur MultipleFraktur Multiple yaitu variasi pada garis fraktur,
dimana terdapat dua atau lebih garis fraktur yang tidak saling
berhubungan pada satu sisi mandibula.3. Pemeriksaan Klinis dan
Penunjang Fraktur dan Trauma MaksilofasialPemeriksaan Lokal pada
frakturSebelum melakukan pemeriksaan klinis fraktur, secara
berhati-hati wajah harus dibersihkan perlahan-lahan dengan air
hangat atau menyekanya untuk menghilangkan bekas-bekas darah yang
mengering, kotoran dari jalan, dan sehingga memungkinkan evaluasi
secara cermat. Mulut juga harus diperiksa, setiap darah beku harus
dibersihkan dengan kain yang dipegang forsep yang tidak bergigi.
Setelah dibersihkan dengan berhati-hati baru dimungkinkan
mengevaluasi besar injuri secara cermat. Bila pemeriksaan injuri
secara hati-hati selesai lalu kranium serta servikal spine dengan
hati-hati diinspeksi dan dilakukan palpasi dengan halus untuk
melihat tanda-tanda injuri, kemudian fraktur diperiksa (Peter
banks, 1992).
Pemeriksaan KlinisPendekatan awal terhadap pasien trauma
oromaksilofasial akut sedikitberbeda dengan cedera yang lain.
Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernapasan,
adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal. Sebelum
melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, gangguan saluran
pernapasan dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus
ditangani terlebih dahulu. Kemudian baru dilakukan pemeriksaan
tanda-tanda vital dan status neurologis (paling tidak mengenai
tingkat kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dan tempat).
Pembukaan mata merupakan alat pemeriksan yang berharga
untukmenentukan tingkat kesadaran dan dinilai berdasarkan kemampuan
pasien membuka matanya jika diberi stimuli tertentu, termasuk
stimuli yangmenyakitkan, apabila diperlukan. Durasi amnesia paska
trauma merupakan indikator yang baik untuk menunjukkan tingkat
kerusakan otak, bila ada (Pedersen, 1996).Pasien yang mengalami
cedera maksilofasial biasanya disertai dengan tersumbatnya jalan
pernapasan akibat perdarahan eksternal, perdarahan internal, atau
benda asing. Pemeriksaan fisik baru dapat dilakukan setelah pasien
dalam kondisi stabil, perdarahan dan jalan pernapasan telah
ditangani. Adapunpemeriksaan fisik tersebut meliputi (Marciani dkk,
2009):1. Pemeriksaan KepalaPemeriksaan ini meliputi seluruh
kerangka kraniomaksilofasial danjaringan lunak disekitarnya. Pasien
harus dibersihkan dari semua darah dan benda asing secara
hati-hati. Seluruh cedera yang mengenai jaringan lunak sebaiknya
dicatat pada saat ini, begitu juga dengan cedera yang mengenai
tulang. Traumapada jaringan lunak dapat dikarakteristikan menjadi
abrasi, kontusio, luka bakar,avulsi, dan laserasi. Seluruh luka
laserasi dan avulsi harus dicatat kedalaman dan keterkaitannya
dengan struktur vital, seperti saraf, glandula parotis dan
sebagainya(Marciani dkk, 2009).Rangka kraniofasial terdiri dari
pertautan dan penonjolan tulang, makapemeriksaannya harus meliputi
ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas,pergeseran, dan
hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hati
terhadap cranium, sambungan daerah fronto-orbital, naso orbital
kompleks artikulasi zygomatik, dan mandibula (Marciani dkk,
2009).2. Pemeriksaan Wajah Bagian TengahEvaluasi wajah bagian
tengah dimulai dengan memperkirakan adanyamobilitas dari maksila
sebagai struktur maksila itu sendiri atau hubungannya dengan zygoma
atau tulang nasal. Untuk memeriksa adanya mobilitas maksila,kepala
pasien harus distabilisasikan dengan cara menekan kening pasien
cukup kuat dengan satu tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk tangan
lainnya mencengkram maksila pada satu sisi, dan digerakkan dengan
tekanan yang stabil sehingga dapat diperoleh kepastian ada atau
tidaknya dapatkan mobilitas maksila (Hup dkk, 2008).Cara melakukan
pemeriksaan manual atau digital adalah dengan mempalpasi dimulai
dari superior ke inferior. Lebih baik memeriksa pasien
yangmengalami cedera fisik dari arah belakang apabila memungkinkan.
Pemeriksaan dimulaidari aspek medial dari cincin supraorbital
secara bilateral.Tulang nasal dan saluran nasofrontalis dipalpasi
secara bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi diteruskan ke
arah lateral menyilang cincin supraorbital menuju sutura zygomatiko
frontalis. Jaringan lunak yang menutupinya digeser dan sutura
dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin infraorbital
dipalpasi dari medial ke lateral untuk mengevaluasi sutura
zygomatik omaksilaris. Bagian-bagianyang mengalami nyeri tekan, dan
baal juga dicatat, karena halini menunjukkan adanya fraktur atau
cedera pada saraf. Arcus zygomatikus dipalpasi bilateral dan
diamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri, dari aspek posterior
atau superior. Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi
pergeseran septum, dan adanyaperdarahan atau cairan (Pedersen,
1996).Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih
dahulu,karena trauma dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan.
Hampir40% frakturtengah wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan
yang akurat sulit dilakukanpada pasien yang mengalami cedera
neurologis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan hitungan
jari, deteksi gerakan, atau penggunaan sinar (Marciani dkk,
2009).Hematoma aurikuler telinga harus segera didiagnosa dan
dilakukan terapi. Mastoid harus diperiksa dari kemungkinan adanya
ekimosis yang disertai dengan hemotimpanum dan otorrhea, karena
merupakan indikasi terjadinya fraktur basistulang kranial. Adanya
laserasi dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda waspada
terhadap kemungkinan cedera pada kondil mandibula (Marciani dkk,
2009).Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat. Adanya
fraktur septum hidung dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi
hidung. Hematoseptum hidung harus didiagnosa dan dievakuasi segera
untuk menghindari terjadinya nekrosis tulang rawan septum hidung
yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan bentuk hidung
(Marciani dkk, 2009).Tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa
untuk kemungkinan terjadinya anestesi atau parestesi (Marciani dkk,
2009). Saraf kranialis ketiga, empat, lima,enam dan tujuh dites
untuk mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasien mengangkat
alisnya dan meretraksi sudut mulut? Apakah bola mata bisa
bergerakbebas, dan apakah pupil bereaksi terhadap sinar dan
berakomodasi? (Pedersen,1996).3. Pemeriksaan MandibulaLokasi
mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah,
terjadi pergeseran lateral, atau inferior? Pergerakan mandibula
juga dievaluasidengan jalan memerintahkan pasien melakukan
gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada penyimpangan juga
dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah dan jarak
interinsisal dicatat. Apabila ada meatus akustikus eksternus penuh
dengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan
telapakmengarah ke bawah dan ke depan untuk melakukan palpasi
endaural terhadapcaput condilus pada saat istirahat dan bergerak.
Pada fraktur subcondilus tertentu,bisa dijumpai adanya nyeri tekan
yang Amat sangat atau caput mandibula tidakterdeteksi. Tepi
inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari prosesus
kondilaris sampai ke simphisis mandibula. Sekali lagi nyeri tekan
atau baal, dan kelainan kontinuitas harus dicatat (Pedersen,
1996).Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi
anatomi, yaitu kondilar, ramus, angle, body, simphisis, alveolar,
dan daerah prossessuskoronoid (gambar 5). Selain itu fraktur
mandibula juga dapat diklasifikasikanberdasarkan tipe frakturnya,
yaitu fraktur greenstick, simpel, kominuted, dan kompon (gambar
6).
Gambar5.Distribusi anatomik dari fraktur mandibula (Hupp dkk,
2008).4. Pemeriksaan Tenggorokan dan Rongga MulutPertama kali yang
dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dapatkah gigi dioklusikan
seperti biasanya? Dataran oklusal dari maksila dan mandibula
diperiksa kontinuitasnya, dan adanya step deformitas. Bagian yang
gigi yang mengalami pergeseran karena trauma atau alveoli yang
kosong karena gigi avulsi,juga dicatat. Apabila pasien menggunakan
protesa, maka protesa tersebut harus dilepas dan diperiksa apakah
ada rusak atau tidak. Jaringan lunak mulut diperiksa dalam
kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi, ekimosis, dan hematom.
Lidah disisihkan, sementara itu dasar mulut dan orofaring
diperiksa, apakah terdapat serpihan-serpihan gigi, restorasi, dan
beku darah. Arcus zygomatikus dan basisnya dipalpasi bilateral.
Maksila harus dicoba degerakkan dengan memberikan tekananpada
prosesus alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala.
Akhirnyagigi-gigi dan prosesus alveolaris dipalpasi untuk
mengetahui nyeri tekan atau mobilitas (Pedersen, 1996).Pemeriksaan
ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi yang hilang.
Adanya gigi yang terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan
melakukanradiografi pada dada dan perut. Gigi tiruan yang lepas
juga dapat menyebabkan tersumbatnya jalan pernapasan. Adanya step
dan pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya fraktur
dentoalveolar ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka lateral (open
bite lateral) juga dapat mengindikasikan adanya fraktur
mandibulaatau gangguan TMJ. Sedangkan gigitan terbuka anterior
(open bite anterior) mengindikasikan adanya fraktur Le Fort (I, II,
maupun III) (Marciani, 2009).Pemeriksaan Penunjang1. Fraktur
DentoalveolarPemeriksaan fraktur dentoalveolar dilakukan dengan
radiograf intra-oral dan panoramik.2. Fraktur Maksilaa. Le Fort
IPemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan
proyeksi wajah anterolateral.b. Le Fort IIDilakukan dengan
pemeriksaan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah
polos, dan CT scan.c. Le Fort IIIDilakukan dengan pemeriksaan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos, dan CT
scan.3. Fraktur MandibulaPada fraktur mandibula dilakukan
pemeriksaan foto rontgen proyeksi oklusal dan periapikal, panoramik
fotografi (panorex) dan helical scan.BAB III
KESIMPULAN
Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat melukai
jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab dari trauma ini dibagi
menjadi faktor utama dan faktor predisposisi. Faktor utama
digolongkan menjadi langsung dan tidak langsung. Sedangkan faktor
predisposisi dibagi menjadi faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik.
Trauma pada jaringan keras wajah dapat menyebabkan fraktur pada
wajah, diantaranya adalah fraktur mandibula, fraktur maksila,
fraktur nasalis, dan fraktur orbita yang masing-masing mempunyai
klasifikasi dan gambaran klinis yang berbeda. Dari gambaran klinis
yang diperoleh dapat dilakukan pemeriksaan dan penanganan pada
fraktur tersebut, diantaranya adalah pemeriksaan mobilitas, visual,
radiografis, dan CT-Scan.
DAFTAR PUSTAKA
Hupp JR, Ellis E, Tucker ME. Contemporary Oral and
MaxillofacialSurgery. Ed. Ke-5. Mosby Elsevier. St. Louis.
2008.
Marciani RD, Carlson ER, Braun TW. Oral and Maxillofacial
Surgery Volume II. Ed. Ke-2. Saunders Elsevier. St. Louis.
2009.
Pedersen GW. BukuAjar Praktis Bedah Mulut. Penerjemah: Purwanto
dan Basoeseno. EGC. Jakarta. 1996.
Fauzi, Muchlis. 2010. Insidensi Fraktur Maksilofasial Akibat
Kecelakan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor di RSUP H. Adam
Malik Medan. Universitas Sumatera Utara Pers Banks, Peter. Fraktur
pada Mandibula Menurut Killey.Yogyakarta: Press UGM.1992. Fonseca
R. J. et all. Oral and Maxillofacial Trauma Third
Edition.Philadeplhia:W.B. Saunders Co.2005. Wati,Lusi.2012.Hubungan
Penurunan tulang alveolar dan penipisa tulang kortikal mandibula
pada penderita periodontitis disertai Diabetes Mellitus tipe 2
menggunakan radiografi Cone Bean Computed Tomografi 3. IJAS vol. 2
no. 2 Firmansyah,dicky dkk. Fraktur Patologis Mandibula akibat
komplikasi odontektomi gigi molar 3 bawah.Journal of dentistry
.2008.Etiologi
Utama
Faktor Predisposisi
Klinis
Pemeriksaan
Klasifikasi
Penunjang
Fraktur maksilofasial
14