BAB I PENDAHULUAN FPDA DALAM SECURITY COMPLEX ASIA (STUDI KASUS SECURITY COMPLEX MALAYSIA DAN CHINA DALAM KONFLIK PEREBUTAN PULAU SPARATLY DAN PARACEL DI LAUT CHINA SELATAN) 1.1. Latar Belakang Sebagaimana menjadi mafhum bersama di antara sekian banyak fenomena keamanan yang ada, fenomena tentang security complex regional sejatinya menjadi salah satu fenomena yang cukup menarik untuk dikaji dan ditelaah bersama, bukan karena fenomena yang tercakup dalam security complex itu sendiri namun karena keberadaan security complex yang penuh akan dinamika dan teka-teki di mana hal tersebut pastinya membuat banyak pihak terangsang untuk mengikuti dan menelusurinya. Lebih dari itu, satu hal yang paling krusial untuk diperhatikan tekait dengan security complex regional adalah persoalan security merupakan suatu hal yang relatif relational. Dikatakan demikian karena situasi dan kondisi keamanan suatu kawasan disadari atau tidak akan banyak ditentukan oleh dua hal yaitu amity dan anmity. Dua hal inilah yang kemudian mengilhami penulis tertarik untuk mengangkat security complex yang terjadi di Asia. Dalam analisa kami dalam satu dekade terakhir security complex sedikit banyak telah terjadi di Asia yaitu ketika
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
FPDA DALAM SECURITY COMPLEX ASIA
(STUDI KASUS SECURITY COMPLEX MALAYSIA DAN CHINA DALAM
KONFLIK PEREBUTAN PULAU SPARATLY DAN PARACEL DI LAUT CHINA
SELATAN)
1.1. Latar Belakang
Sebagaimana menjadi mafhum bersama di antara sekian banyak fenomena keamanan
yang ada, fenomena tentang security complex regional sejatinya menjadi salah satu fenomena
yang cukup menarik untuk dikaji dan ditelaah bersama, bukan karena fenomena yang
tercakup dalam security complex itu sendiri namun karena keberadaan security complex yang
penuh akan dinamika dan teka-teki di mana hal tersebut pastinya membuat banyak pihak
terangsang untuk mengikuti dan menelusurinya. Lebih dari itu, satu hal yang paling krusial
untuk diperhatikan tekait dengan security complex regional adalah persoalan security
merupakan suatu hal yang relatif relational. Dikatakan demikian karena situasi dan kondisi
keamanan suatu kawasan disadari atau tidak akan banyak ditentukan oleh dua hal yaitu amity
dan anmity. Dua hal inilah yang kemudian mengilhami penulis tertarik untuk mengangkat
security complex yang terjadi di Asia.
Dalam analisa kami dalam satu dekade terakhir security complex sedikit banyak telah
terjadi di Asia yaitu ketika meletus konflik di lautan China Selatan yang melibatkan
sedikitnya 6 negara Asia, di mana motif konflik dipicu oleh perebutan kepulauan Spratly dan
Paracel. Kepulauan Spratly dan Paracel secara ekplisit merupakan salah satu titik konflik di
kawasan Asia. Wilayah yang saat ini diklaim oleh kurang lebih 6 negara ini belum
menemukan titik terang tentang siapa yang berhak untuk memiliki yuridiksi di sana. China,
Taiwan, Vietnam, Philipina, Malaysia, Brunei mengklaim bahwa gugusan kepulauan karang
yang berada di Laut China Selatan adalah teritorinya.
Ketegangan di antara negara-negara yang memperebutkan kepulauan ini terjadi karena
China sebagai salah satu negara yang mengklaim kepemilikan sering kali melakukan
manuver-manuver militernya di kawasan ini, baik yang dilakukan oleh angkatan udara
maupun angkatan lautnya. Adapun di antara enam negara yang terlibat dalam konflik China
selatan Malaysia adalah salah satu negara yang paling terlibat langsung dan paling intens
dalam konflik tersebut mengingat kedekatan geografis Malaysia dengan kedua pulau tersebut,
karena itu keanggotaan Malaysia dalam aliansi Five Power Defence Arrangement (FPDA)
bersama negara-negara besar seperti Australia, Selandia Baru, Singapura, Malaysia dan
Inggris dalam perkembangannya disadari atau tidak telah berpengaruh terhadap semakin
alotnya security complex yang terjadi di kawasan Asia pada umumnya dan kawasan ASEAN
pada khususnya. Inilah yang melarbelakangi penulis tertarik mengangkat pemasalahan ini
untuk diangkat dalam tugas mata kuliah studi keamanan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Mengapa security complex terjadi di Asia?
2. Bagaimanakah peran FPDA dalam security complex yang terjadi di Asia?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan menganalisa mengapa security complex di Asia terjadi
2. Untuk mengetahui dan menganalisa peran FPDA dalam security complex yang terjadi
di Asia
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Untuk menganalisa FPDA dalam security complex Asia (STUDI KASUS SECURITY
COMPLEX MALAYSIA DAN CHINA DALAM KONFLIK PEREBUTAN PULAU
SPARATLY DAN PARACEL DI LAUT CHINA SELATAN) penulis menggunakan
tinjauan teoritis sebagaimana berikut:
2.1. Aliansi Dalam Prespektif Realis
Sehubungan dengan fenomena ini realis memandang bahwa kerjasama yang
dilakukan dengan aliansi dimungkinkan bagi negara yang tidak memiliki atau kurang
mempunyai power sebagai cara bagi suatu negara untuk meningkatkan kapabilitas
powernya. Tujuan dari kerjasama ini selain untuk melindungi diri dari serangan lawan
tetapi dapat dijadikan sebagai upaya untuk membuat balance of power terhadap musuh
yang lebih kuat. “The suggest of Melian dialogue alliance also useful mechanism to deny
allies to rival and potential adversaries ” (Buzan, 1991). Aliansi juga menjadi sebuah
mekanisme yang dilakukan untuk menangkal serangan maupun mendapatkan bantuan
ketika sebuah negara diserang oleh musuhnya. Lebih lanjut, Sebuah aliansi sejatinya
memiliki sebuah negara besar sebagai penjamin kemanan dan pertahann atau negara yang
memiliki kekuatan besar yang melebihi negara-negara yang ada dalam aliansi tersebut.
Hal ini dalam prakteknya akan turut mencerminkan kredibilitas dari aliansi serta negara
yang terkuat akan menjadi pemimpin dari negara-negara anggotanya.
Dalam kenyataannya negara besar tersebut tentu saja akan menjadi pemasok senjata
dan teknologi maupun pelindung bagi anggotanya baik secara politis maupun secara
militer. Aliansi dibentuk dalam kerangka geografis untuk menjaga atau melindungi
anggota aliansi serta kepentingan nasional negara besar di sebuah kawasan atau regional
tertentu. Mengacu pada tinjauan aliansi ini maka bergabungnya Malaysia dalam aliansi
Five Power Defence Arrangement yang terdiri dari negara-negara besar sekaliber Inggris,
Australia, Selandia Baru dan Singapura secara otomatis pastinya akan menjadikan
Malaysia semakin kuat dan semakin confident dalam menghadapi segala kemungkinan
yang bakalan terjadi termasuk dalam konflik di laut China Selatan karena jika
kemungkinan terburuk konflik di Laut China selatan berujung pada perang Malaysia jelas
tidak sendirian, ia tentu akan disokong oleh negara-negara aliansinya karena jika suatu
negara anggota aliansi diserang atau terlibat konflik dengan negara lain maka secara
otomatis negara aliansi lain akan turut terlibat karena inilah prinsip aliansi itu sendiri.
2.2. Regional Security Complexes Theory sebagai Landasan Teoritis
Dalam memahami dan menganalisa isu keamanan suatu kawasan regional penulis
menggunakan pendekatan yang digunakan oleh Barry Buzzan, secara ekplisit Buzan
menyatakan bahwa keamanan pada dasarnya merupakan fenomena yang relasional. Oleh
karena itu, keamanan suatu negara dan suatu kawasan tidak dapat dipahami tanpa
memahami pola saling ketergantungan keamanan diantara negara-negara dikawasan
tersebut. Dalam memahami keamanan regional ini maka Buzan menawarkan suatu
konsep yang disebutnya sebagai phenomena security complex. Yang dimaksud dengan
security complex oleh Buzan didefinisikan sebagai “a group of states whose primary
security concern link together sufficiently closely that their national security cannot
realistically be considered apart from one another” (Buzan, 2003).
Dengan demikian, konsep security complex ini mencakup aspek persaingan dan juga
kerjasama diantara negara-negara yang terkait. Karakter Security Complex yang
mencakup “interdependence of rivalry as well as that of shared interest” yang berarti
bahwa saling ketergantungan antara rivalitas yang terjadi sama seperti dalam pembagian
kepentingan. Ini yang selanjutnya oleh Buzan di istilahkan dengan pola amity dan enmity
di antara negara-negara.Yang dimaksud dengan amity adalah hubungan antar negara yang
terjalin berdasarkan mulai dari rasa persahabatan sampai pada ekspektasi (expectation)
akan mendapatkan dukungan (support) atau perlindungan satu sama lain. Sedangkan yang
dimaksud dengan enmity oleh Buzan digambarkan sebagai suatu hubungan antar negara
yang terjalin atas dasar kecurigaan (suspicion) dan rasa takut (fear) satu sama lain. Masih
tetap dipertahankannya FPDA oleh negara-negara anggotanya (baca: Malaysia) salah
satunya adalah karena perkembangan militer China terkait konflik perebutan pulau
Sparatly dan Paracel di kawasan Laut China Selatan di mana hal ini dalam
perkembangannya rupanya sedikit banyak berimplikasi terhadap terjadinya security
complex di Asia.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Tinjaun tentang FPDA
Sejarah berdirinya Five Power Defence Arrangement dimulai pada tanggal 15 dan 16
April 1971 ketika Perdana Menteri Australia, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, dan
Inggris bertemu dan mengeluarkan pengumuman resmi tentang sebuah susunan politik
baru yang disebut FPDA. Hal ini adalah kejadian bersejarah dalam relasi Inggris dengan
bekas koloninya, singapura dan Malaysia. Jika dirunut ke belakang terjadinya penurunan
relatif Inggris sebagai kekuatan ekonomi militer pada akhir 60an secara otomatis
memunculkan kebutuhan urgen baru pemerintah Inggris yaitu menaksir ulang
prioritasnya. Hasilnya, pemerintah Inggris mengumumkan pada Januari 1968 bahwa
Inggris akan menarik pasukan tentaranya keluar dari Singapura dan Malaysia pada tahun
1971. Konsekuensinya, muncul keperluan untuk meninjau persetujuan pertahanan Anglo-
Amerika 1957 dan keputusan dibuat untuk menggantikan lepasnya kerangka politik
konsultatif. Sebagai gantinya, Inggris akan memberikan jaminan-jaminan kongkret untuk
Malaysia dan Singapura dalam hal jika terjadi sebuah serangan atau ancaman terhadap
keduanya yaitu berupa diikutsertakannya kedua koloni tersebut dalam aliansi FPDA.
Terkait dengan ini PM Asutralia, Selandia Baru, Inggris akan mengonsultasikan secara
bersama untuk tujuan pemutusan apakah ukuran-ukuran akan diambil secara bersama-
sama atau terpisah dalam hubungannya dengan serangan atau ancaman yang dihadapi
oleh Malaysia dan Singapura.
FPDA secara historis didirikan pada tahun 1971 yaitu untuk memperlengkapi
pertahanan udara semenanjung Malaysia dan Singapura yang diikuti penarikan kekuatan
militer Inggris. Sepanjang dekade pertama dari eksistensinya, FPDA mengendalikan
sedikit latihan-latihan pertahanan udara. Semenjak kemudian, program latihan reguler
meningkat dalam ukuran, skop, dan kompleksitasnya. Semenjak akhir 1980 FPDA
terlihat sebagai sebuah kebangkitan antusiasme negara-negara anggota terhadap latihan-
latihan multilateral. Tidak hanya memiliki ukuran latihan yang meningkat tapi skop dan
kompleksitas latihan telah meluas. Tahun 1997 terlihat sebagai inaugurasi EX FLYING
FISH, sebuah kombinasi dari EX STARFISH dan MAJOR ADEX yang melibatkan 35
perahu, 140 aircraft dan 2 kapal selam. Elemen paling tampak dari FPDA adalah markas
besar sistem defence area yang terintegrasi. Markas besar yang dikomandoi oleh marshal
royal angkatan udara Australia, terdiri dari 40 orang, yang ditarik dari lima negara aggota
FPDA. Peran inisialnya benar-benar mengakar dalam pertahanan udara dari perbatasan
udara Malaysia dan Singapura. Hal tersebut, sekarang secara reguler menggunakan
kekuatan FPDA dalam dua hal yaitu kekuatan udara dan operasi naval yang bergerak atas
integrasi lengkap elemen-elemen tentara yang diarahkan sebagaimana diarahkan oleh
para PM 5 negara anggota FPDA pada tahun 2000. (lihat di www.globalsecurity org.)
3.2. FPDA dalam Security Complex Asia/Studi Kasus Konflik Laut China Selatan
(sebuah telaah tentang security complexes Malaysia-China).
Dilihat dari sisi amity, hubungan antar Malaysia-China sejauh ini banyak dipengaruhi
oleh hubungan bilateral keduanya utamanya dalam sektor perdagangan. Dalam sektor ini,
China Malaysia terlihat cukup harmonis karena keduanya saling menggantungkan satu
sama lain, China membutuhkan pangsa pasar untuk memasarkan produk dalam negerinya
begitupun juga Malaysia. Namun dilihat dari sisi anmity hubungan keduanya tidaklah
demikian dalam beberapa dekade terakhir China sejatinya telah menjelma sebagai salah
satu kekuatan militer terbesar di kawasan Asia. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai
pengembangan senjata yang dilakukan oleh China, baik pada angkatan darat, laut dan
udara. Merujuk kepada data yang dirilis oleh Global Future Institute secara ekplisit
menyebutkan bahwa Tentara Aktif China berjumlah 2.255.000 (dua juta dua ratus lima
puluh lima ribu) orang. Tentara cadangan, 800.000 (delapan ratus ribu) orang. Para
militer aktif 3.969.000 (tiga juta sembilan ratus enampuluh sembilan ribu) orang. Dalam
Angkatan Darat, China memiliki senjata bebasis darat sejumlah 31.300, tank sejumlah
8200, kendaraan pengangkut pasukan sebesar 5000, meriam sejumlah 14.000, senjata
pendorong 1.700, sistem peluncur roket 2.400, mortir sejumlah 16.000, senjata kendali
anti tank 6500, dan senjata anti-pesawat 7.700. Di aspek laut, China pun cukup berjaya.
China memiliki kapal perang yang berjumlah 760 unit, kapal pengangkut 1822 unit,
pelabuhan utama 8, pengangkut pesawat 1 unit, kapal penghancur 21 unit, kapal selam 68
unit, fregat 42 unit, kapal patroli pantai 368 unit, kapal penyapu ranjau sekitar 39 unit,
dan kapal amphibi sekitar 121 unit. Dalam bidang Angkatan Udara, China mempunyai
jumlah pesawat 1900 unit. Helikopter 491 unit, lapangan udara 67 unit.
Dalam perkembangannya, China dengan kualitas ekonomi dan kualitas militer yang
sangat besar akan terus berkembang dan pelan tapi pasti akan muncul sebagai sebuah