Top Banner
MINGGU 27 AGUSTUS 2017 13 14 CERPEN Beni Setia Mengenai Anak-anak Gadis Kita HARI PUISI Berbeda Jalan Menuju Revolusi Narasi empat tahun masa Revolusi Nasional Indonesia (1945 - 1949) ditarik kembali dalam pertunjukanteater berjudul Jejak Tak Bertoreh di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat, Jumat malam lalu (18/8). Pidato heroik Bung Tomo pada 10 November 1945 di Surabayadiperdengarkan pada penonton berbarengan dengan penayangan gambaran pertempuran masa itu. Penghadiran tersebut barangkali untuk mengapungkan kembali memori kolektif penonton, sebagai pengantar suasana pertunjukan, atau malahan untuk menguji sejauh mana penonton mengetaui mengenai revolusi Indonesia. terlihat perdebatan alot tentang perjanjian Renville. Dalam pertunjukan tersebut Alimin menganggap bahwa dalam perjanjian tersebut NICA memanfaatkan kebodohan para birokrat. Sementara itu Bagus lebih realistis, ia lebih melihat bahwa perjanjian tersebut sebagai ikhtiar agar tidak terjadi pertumpahan darah. Pada fragmen lain, kisah cinta juga tidak terelakkan dalam pementasan tersebut, antara Chairul dan Suwar- sih. Tapi kisah percintaan tersebut tidak terkesan banal karena dibumbui dengan perdebatan ideologis. Su- warsih menganggap Chairul “mental rombengan” karena memilih akan mengundurkan diri sebagai war- tawan dan memilih berwiraswasta. Chairul mengang- gap banyak cara untuk membantu revolusi, termasuk dengan menjadi pedagang. Sementara itu Suwarsih lebih melihat bahwa masih banyak tokoh (termasuk Tan Malaka) yang sedang merintis jalan baru bagi revolusi. Perdebatan mengenai perbedaan pandangan mengenai revolusi ala Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka selalu menjadi persoalan dalam pertunjukan Jejak Tak Bertoreh hingga akhir. Revolusi bagi Tan Malaka, mengutip Goenawan Mohamad dalam tulisan Tan Malaka, Sejak Agustus Itu, tampaknya seperti kehendak untuk menjalanakan tesis Trotsky “revolusi terus-menerus” . Berbeda dengan Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Hal inilah yang terus dipertentangkan oleh pelakon dalam pementasan Jejak Tak Bertoreh. Bahkan kematian Tan Malaka menjadi persoalan yang kemu- dian membuat kandas kisah cinta Chairul dan Suwarsih dalam pertunjukan tersebut. Suwarsih, dalam perannya sebagai sekretaris tidak memberi tahu mengenai upaya untuk pembungkaman Tan Malaka. Rangkaian fragmen dalam pementasan Reza Astika memang menjadi alternatif lain bagaimana sejarah dibaca dalam pertunjukan teater. Tatanan waktu se- ngaja hadir tidak linear, putus-bersambung, dan mengambil wacana terpenting dan berhubungan saja. Perdebatan para pelakon mengenai bagaimana se- harusnya revolusi itu memangdapat dirujuk pada catatan kesejarahan. Penonton juga dapat memilih, seperti perdebatan para pelakon di atas panggung, membenarkan revolusi menurut pandangan satu tokoh dan mengentengkan pandangan yang lain. Sepertinya perihal itu sudah dimaklumi oleh Tan Malaka jauh hari, bahwa: “Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.” Dan Tan Malaka mati, percintaan Suwarsih dan Chairul kandas karena merasa sudah berbeda jalan dalam menempuh revolusi.Randi dan Nabil di masa yang lain juga berbeda dalam memandang sejarah dan turut memperdebatkan siapa sebenarnya pantas disebut sebagai pahlawan. (*) 15 P ertunjukan Jejak Tak Bertoreh yang disutradarai Reza Astika (naskah Edi Suisno)—dalam rangka Ujian Akhir Pen- ciptaan Seni Teater Pascasarjana ISI Padangpanjang— sepertinya memang tak hendak berleha-leha meng- hadapkan gambaran perjuangan revolusi fisik pada penonton. Namun lebih pada dinamika pemikiran The Founding FathersIndonesia dalam masa revolusi. Pada pementasan tersebut Tan Malaka disebut-sebut oleh para pelakon, ia hadir secara ideologis, tapi absen sebagai sosok. Pertunjukan Jejak Tak Bertoreh seakan menjadi parafrase atas teks kesejarahan. Dengan memberikan penawaran pada penonton bahwa wacana kesejarahan tidak tunggal. Beberapa fragmen perdebatan para pelakon mengenai bagaimana seharusnya Indonesia menjadi, bagaimana kemerdekaan diraih, bagaimana revolusi seharusnya bergerak, dan para tokoh bangsa mana yang ideologinya harus diikuti rakyat menjadi tatanan dialogis dalam pertunjukan tersebut. Upaya untuk menghubungkan “yang lampau” dengan “yang Oleh ESHA TEGAR PUTRA Mahasiswa Pascasarjana Departemen Susastra Universitas Indonesia hari ini” turut dihadirkan. Barangkali upaya tersebut untuk memberi tafsir bagaimana “yang hari ini” me- mandang “yang lampau” . Dua orang muda-mudi, bernama Randi dan Nabil, menjadi pembuka pertunjukan tersebut sebagai per- wakilan “yang hari ini” . Mereka hadir dengan mengawali perdebatan mengenai Bung Hatta, mengenai siapa yang pantasi disebut pahlawan. Peristiwa-peristiwa lain menyusul kemudian seperti fragmen putus-putus, dengan waktu dan peristiwa berbeda, dalam wacana tetap berkaitan. Peristiwa selanjutnya merupakan percakapan antara Wikana, Alimin, Bagus di sebuah ruangan seakan jauh mundur ke belakang. Perdebatan antara ketiga pelakon tersebut seakan mengantarkan penonton pada peristiwa pasca 10 November 1945. Wikana dan Alimin, dalam pertunjukan seakan perwakilan sosok pemikiryang mendukung per- juangan fisik (non-cooperative) sementara itu Bagus seakan gambaran tokoh yang lebih mengutamakan di- plomasi(cooperative). Dalam perdebatannya, terlihat Wikana dan Alimin, merupakan pengagum pemikiran Tan Malaka dan menganggap Tan sudah memperca- yakan revolusi pada orang yang salah, yaitu Soekarno. “...lihat di Surabaya yang berdarah-darah. Mestinya Soekarno berada di tengah para pejuang dan memang- gul senjata. Bukankah itu yang dilakukan Lenin saat Bolshevik meletus! Atau paling tidak di depan mikrofon sambil memekikkan merdeka atau mati seperti yang dilakukan Bung Tomo,” kata Wikana. Bagus seakan menjadi sosok lebih tenang dalam perdebatan tersebut. Sosok pendukung Soekarno. Fragmen selanjutnya dalam pertunjukan Jejak Tak Bertoreh terjadi antara Kasman, Yamin, dan Chairul. Fragmen ini merupakan perdebatan tiga orang tersebut dalam memandang peristiwa Rawagede dan propa- ganda Tan Malaka. Perdebatan mengenai bagaimana Tan Malaka memandang revolusi dibanding Soekarno, Hatta, dan Sjahrir memang seakan menjadi maklumat utama dalam pertunjukan. Pada fragmen selanjutnya, dialog antara Kasman dan Soewarsih; antara Bagus dan Wikana; antara Kasman, Yamin, dan Cahirul, dst; seakan memberi petunjuk, mana di antara pelakon nenempatkan diri sebagai pendukung idelogi Tan Malaka atau sebaliknya. Lompatan-lompatan peristiwa dalam tiap fragmen pertunjukan Jejak Tak Bertoreh seakan mengupayakan mengambil bagian-bagian penting dari peristiwa revolusi, menafsir keputusan dan kebijakan dalam menjalanlan revolusi, dan sikap-sikap para pemikir bangsa. Dalam sebuah dialog antara Alimin dan Bagus RANGKAIAN fragmen dalam pementasan Reza Astika memang menjadi alternatif lain bagaimana sejarah dibaca dalam pertunjukan teater. PARAFRASE atas teks kesejarahan. REVOLUSI timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan. 16 Keletakan Makam-Makam Kuno di Luhak Tanah Data PACO-PACO MINANGKABAU FOTO: VIKRI MULHUDA FOTO: VIKRI MULHUDA FOTO: VIKRI MULHUDA
1

FOTO: VIKRI MULHUDA Berbeda Jalan Menuju Revolusi filedisutradarai Reza Astika (naskah Edi ... lain menyusul kemudian seperti fragmen putus-putus, dengan waktu dan peristiwa berbeda,

Apr 09, 2019

Download

Documents

nguyenkhue
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: FOTO: VIKRI MULHUDA Berbeda Jalan Menuju Revolusi filedisutradarai Reza Astika (naskah Edi ... lain menyusul kemudian seperti fragmen putus-putus, dengan waktu dan peristiwa berbeda,

MINGGU 27 AGUSTUS 2017 13

14 CERPENBeni Setia Mengenai Anak-anakGadis Kita

HARIPUISI

Berbeda Jalan Menuju RevolusiNarasi empat tahun masa Revolusi

Nasional Indonesia (1945 - 1949) ditarikkembali dalam pertunjukanteater

berjudul Jejak Tak Bertoreh di TeaterUtama Taman Budaya Sumatera Barat,Jumat malam lalu (18/8). Pidato heroikBung Tomo pada 10 November 1945 di

Surabayadiperdengarkan padapenonton berbarengan dengan

penayangan gambaran pertempuranmasa itu. Penghadiran tersebut

barangkali untuk mengapungkankembali memori kolektif penonton,

sebagai pengantar suasana pertunjukan,atau malahan untuk menguji sejauh

mana penonton mengetaui mengenairevolusi Indonesia.

terlihat perdebatan alot tentang perjanjian Renville.Dalam pertunjukan tersebut Alimin menganggapbahwa dalam perjanjian tersebut NICA memanfaatkankebodohan para birokrat. Sementara itu Bagus lebihrealistis, ia lebih melihat bahwa perjanjian tersebutsebagai ikhtiar agar tidak terjadi pertumpahan darah.

Pada fragmen lain, kisah cinta juga tidak terelakkandalam pementasan tersebut, antara Chairul dan Suwar-sih. Tapi kisah percintaan tersebut tidak terkesan banalkarena dibumbui dengan perdebatan ideologis. Su-warsih menganggap Chairul “mental rombengan”karena memilih akan mengundurkan diri sebagai war-tawan dan memilih berwiraswasta. Chairul mengang-gap banyak cara untuk membantu revolusi, termasukdengan menjadi pedagang. Sementara itu Suwarsihlebih melihat bahwa masih banyak tokoh (termasuk TanMalaka) yang sedang merintis jalan baru bagi revolusi.

Perdebatan mengenai perbedaan pandanganmengenai revolusi ala Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan TanMalaka selalu menjadi persoalan dalam pertunjukanJejak Tak Bertoreh hingga akhir. Revolusi bagi TanMalaka, mengutip Goenawan Mohamad dalam tulisanTan Malaka, Sejak Agustus Itu, tampaknya sepertikehendak untuk menjalanakan tesis Trotsky “revolusiterus-menerus”. Berbeda dengan Soekarno, Hatta, danSjahrir. Hal inilah yang terus dipertentangkan olehpelakon dalam pementasan Jejak Tak Bertoreh. Bahkankematian Tan Malaka menjadi persoalan yang kemu-dian membuat kandas kisah cinta Chairul dan Suwarsihdalam pertunjukan tersebut. Suwarsih, dalam perannyasebagai sekretaris tidak memberi tahu mengenai upayauntuk pembungkaman Tan Malaka.

Rangkaian fragmen dalam pementasan Reza Astikamemang menjadi alternatif lain bagaimana sejarahdibaca dalam pertunjukan teater. Tatanan waktu se-ngaja hadir tidak linear, putus-bersambung, danmengambil wacana terpenting dan berhubungan saja.Perdebatan para pelakon mengenai bagaimana se-harusnya revolusi itu memangdapat dirujuk padacatatan kesejarahan. Penonton juga dapat memilih,seperti perdebatan para pelakon di atas panggung,membenarkan revolusi menurut pandangan satu tokohdan mengentengkan pandangan yang lain. Sepertinyaperihal itu sudah dimaklumi oleh Tan Malaka jauh hari,bahwa: “Revolusi timbul dengan sendirinya sebagaihasil dari berbagai keadaan.”

Dan Tan Malaka mati, percintaan Suwarsih danChairul kandas karena merasa sudah berbeda jalandalam menempuh revolusi.Randi dan Nabil di masayang lain juga berbeda dalam memandang sejarah danturut memperdebatkan siapa sebenarnya pantasdisebut sebagai pahlawan. (*)

15

P ertunjukan Jejak Tak Bertoreh yangdisutradarai Reza Astika (naskah EdiSuisno)—dalam rangka Ujian Akhir Pen-

ciptaan Seni Teater Pascasarjana ISI Padangpanjang—sepertinya memang tak hendak berleha-leha meng-hadapkan gambaran perjuangan revolusi fisik padapenonton. Namun lebih pada dinamika pemikiran TheFounding FathersIndonesia dalam masa revolusi. Padapementasan tersebut Tan Malaka disebut-sebut olehpara pelakon, ia hadir secara ideologis, tapi absensebagai sosok.

Pertunjukan Jejak Tak Bertoreh seakan menjadiparafrase atas teks kesejarahan. Dengan memberikanpenawaran pada penonton bahwa wacana kesejarahantidak tunggal. Beberapa fragmen perdebatan parapelakon mengenai bagaimana seharusnya Indonesiamenjadi, bagaimana kemerdekaan diraih, bagaimanarevolusi seharusnya bergerak, dan para tokoh bangsamana yang ideologinya harus diikuti rakyat menjaditatanan dialogis dalam pertunjukan tersebut. Upayauntuk menghubungkan “yang lampau” dengan “yang

Oleh ESHA TEGAR PUTRAMahasiswa Pascasarjana Departemen

Susastra Universitas Indonesia hari ini” turut dihadirkan. Barangkali upaya tersebutuntuk memberi tafsir bagaimana “yang hari ini” me-mandang “yang lampau”.

Dua orang muda-mudi, bernama Randi dan Nabil,menjadi pembuka pertunjukan tersebut sebagai per-wakilan “yang hari ini”. Mereka hadir dengan mengawaliperdebatan mengenai Bung Hatta, mengenai siapayang pantasi disebut pahlawan. Peristiwa-peristiwalain menyusul kemudian seperti fragmen putus-putus,dengan waktu dan peristiwa berbeda, dalam wacanatetap berkaitan. Peristiwa selanjutnya merupakanpercakapan antara Wikana, Alimin, Bagus di sebuahruangan seakan jauh mundur ke belakang. Perdebatanantara ketiga pelakon tersebut seakan mengantarkanpenonton pada peristiwa pasca 10 November 1945.

Wikana dan Alimin, dalam pertunjukan seakanperwakilan sosok pemikiryang mendukung per-juangan fisik (non-cooperative) sementara itu Bagusseakan gambaran tokoh yang lebih mengutamakan di-plomasi(cooperative). Dalam perdebatannya, terlihatWikana dan Alimin, merupakan pengagum pemikiranTan Malaka dan menganggap Tan sudah memperca-yakan revolusi pada orang yang salah, yaitu Soekarno.“...lihat di Surabaya yang berdarah-darah. MestinyaSoekarno berada di tengah para pejuang dan memang-

gul senjata. Bukankah itu yang dilakukan Lenin saatBolshevik meletus! Atau paling tidak di depan mikrofonsambil memekikkan merdeka atau mati seperti yangdilakukan Bung Tomo,” kata Wikana. Bagus seakanmenjadi sosok lebih tenang dalam perdebatan tersebut.Sosok pendukung Soekarno.

Fragmen selanjutnya dalam pertunjukan Jejak TakBertoreh terjadi antara Kasman, Yamin, dan Chairul.Fragmen ini merupakan perdebatan tiga orang tersebutdalam memandang peristiwa Rawagede dan propa-ganda Tan Malaka. Perdebatan mengenai bagaimanaTan Malaka memandang revolusi dibanding Soekarno,Hatta, dan Sjahrir memang seakan menjadi maklumatutama dalam pertunjukan. Pada fragmen selanjutnya,dialog antara Kasman dan Soewarsih; antara Bagus danWikana; antara Kasman, Yamin, dan Cahirul, dst;seakan memberi petunjuk, mana di antara pelakonnenempatkan diri sebagai pendukung idelogi TanMalaka atau sebaliknya.

Lompatan-lompatan peristiwa dalam tiap fragmenpertunjukan Jejak Tak Bertoreh seakan mengupayakanmengambil bagian-bagian penting dari peristiwarevolusi, menafsir keputusan dan kebijakan dalammenjalanlan revolusi, dan sikap-sikap para pemikirbangsa. Dalam sebuah dialog antara Alimin dan Bagus

RANGKAIAN fragmen dalam pementasan Reza Astika memang menjadialternatif lain bagaimana sejarah dibaca dalam pertunjukan teater.

PARAFRASE atas teks kesejarahan.

REVOLUSItimbuldengansendirinyasebagai hasildari berbagaikeadaan.

16

KeletakanMakam-MakamKuno di LuhakTanah Data

PACO-PACOMINANGKABAU

FOTO: VIKRI MULHUDA

FOTO: VIKRI MULHUDA

FOTO: VIKRI MULHUDA