B6 REPUBLIKA ● AHAD, 3 APRIL 2011 tema utama B7 REPUBLIKA ● AHAD, 3 APRIL 2011 tema utama Oleh Nidia Zuraya S ejak berdiri pada 907 H/1501 M hingga runtuh pada 1134 H/1722 M, tercatat sebanyak 18 orang penguasa memerintah di Kerajaan Safawi. Di antara para penguasa Safawi yang paling menonjol adalah Syah Isma’il I, Syah Tahmasp, Syah Isma’il II, Syah Abbas I, dan Syah Sulaiman. ● Syah Isma’il I (907-930 H/1501-1524 M) Ia merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Safawi. Ketika men- gukuhkan dirinya sebagai raja (syah), Isma’il pun memproklamasikan Syiah Isna Asyariyah (dua belas) sebagai agama negara. Namun, karena wilayah Persia sebelumnya berada di bawah kekuasaan Sunni, Syah Isma’il terpaksa harus mendatangkan beberapa ulama Syiah dari wilayah yang kuat mempertahankan tradisi Syiah, seperti Irak, Bahrain, Jabal Amil, dan Lebanon. Semasa berkuasa, ia terus melancarkan ekspansi ke seluruh Iran dan ke wilayah bagian timur sampai ke Heart dan Diyarbakr (Turki), serta Baghdad (Irak). Ekspansi itu didukung oleh pasukan Qizilbasy yang sangat fanatik dan ekstrem mendukung Syah Isma’il. Sebagaimana ayah dan kakeknya yang cen- derung menggunakan kepercayaan Syiah ekstrem yang memandang para pemimpinnya (imam) sebagai Tuhan, Syah Isma’il pun melakukan hal yang sama. Ia mengklaim dirinya sebagai titisan Tuhan dan wakil Imam Mahdi melalui keturunan Imam Ketujuh (Musa al-Kazim) dari dua belas Imam Syiah Isna Asyariyah. Sesungguhnya klaim seperti ini bertentang- an dengan tradisi kepercayaan Syiah Isna Asyariyah yang ia proklamasikan sendiri sebagai agama atau ideologi negara. Namun dengan cara ini, ia dapat menuntut kepatuhan mutlak dari para pendukung dan rakyatnya. ● Syah Tahmasp (920-984 H/1514-1576 M) Ketika Syah Isma’il wafat, anaknya yang tertua, Tahmasp, baru berusia 10 tahun. Pada usia ini, Tahmasp menggantikan ayahnya sebagai raja. Sebelum Tahmasp dewasa dan mampu mengendalikan kekuasaannya, telah terjadi konflik internal antaranggota kelom- pok Qizilbasy yang memperebutkan kepen- tingan politik. Situasi konflik ini berlangsung sampai 939 H/1533 M. Di samping itu, sampai 960 H/1553 M, pemerintahan Syah Tahmasp harus berhadapan dengan kekuatan luar, yakni Uzbek dan Usmani. Tidak seperti ayahnya, Syah Tahmasp tidak mengklaim dirinya sebagai wakil Imam Mahdi dan keturunan Imam Ketujuh. Sebaliknya, ia menekan para pengikutnya yang ekstrem, yang memandang dirinya sebagai figur atau titisan Tuhan. Lebih jauh, ia membasmi kelompok tarekat yang menganggapnya sebagai Imam Mahdi. Antiekstremisme terhadap tradisi tarekat ini terus berlangsung sampai menjelang akhir kekuasaannya. Namun, dalam hal kebijakan yang berkaitan dengan upaya mendatangkan para ulama Syiah yang berada di wilayah berbahasa Arab, seperti Bahrain, Irak, dan Libanon, Syah Tahmasp meneruskan jejak ayahnya. ● Syah Abbas I (996-1038 H/1588-1629 M) Konflik internal yang berkepanjangan telah menyebabkan situasi politik di Kerajaan Safawi semakin kritis. Dalam situasi seperti ini, Syah Abbas I memulai kepemimpinannya. Untuk mewujudkan stabilitas politik, ia berusaha melepaskan diri dari ketergantung- an Kerajaan Safawi terhadap dukungan keku- atan militer Qizilbasy. Sebagai gantinya, ia membentuk kekuatan militer yang terdiri dari budak Kaukasus dan Georgia, Asia Tengah, yang pernah menjadi tawanan pada masa kekuasaan Syah Tahmasp. Strategi ini telah memperlihatkan hasilnya dalam rentang waktu satu dasawarsa pertama masa kekuasaannya. Atas dasar ini, pada 1007 H/1598 M, ia berhasil mengusir keku- atan Uzbek di Khurasan. Antara 1603-1607, ia pun sukses menyingkirkan kelompok Usmani dari Azerbaijan. Tujuh belas tahun kemudian, Baghdad dan seluruh Irak jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Safawi. Dalam hal ideologi Syiah, Syah Abbas I melanjutkan kebijakan Syah Isma’il I dan Syah Tahmasp, yakni mengembangkan ajaran Syiah. Adapun terhadap tradisi tarekat yang dianggap ekstrem, sikapnya sangat keras. Strategi yang dijalankan para pendahulunya untuk mendatangkan para ulama Syiah dari Lebanon dan Bahrin semakin diperkuat. ● Syah Sulaiman (1070-1106 H/ 1666-1694 M) Pengganti Syah Abbas II adalah Syah Sulai- man. Ia merupakan pemimpin yang bukan saja tidak cakap dalam masalah politik kenegaraan, tetapi juga perhatiannya sangat kecil terhadap pemerintahan dan kemasyarakatan. Selain itu, Syah Sulaiman sangat kecanduan oleh minuman keras dan memiliki kesenangan yang berlebihan terhadap wanita. Di samping persoalan poltik dari luar, faktor ini telah menyebabkan muncul- nya gejala keruntuhan Kerajaan Safawi. Lemahnya pemerintahan Syah Sulaiman telah menjadi peluang bagi kalangan ulama untuk memainkan peranan politiknya, teruta- ma mereka yang datang dari kalangan rasion- alis, yang mengklaim bahwa ulama adalah wakil umum Imam Mahdi. Gerakan politik ulama ini terutama dipimpin oleh Muhamma Baqir Majlisi, yang menjadi Syekh al-Islam Isfahan pada 1098 H/1687 M dan Mullabasyi (ketua ulama) pada 1106 H/1694 M. Akibat dari makin lemahnya sistem ke- kuasaan politik, ini telah membuat sistem per- tahanan militer Kerajaan Safawi semakin rapuh terhadap ancaman kekuatan militer asing. Ka- renanya, pada 1134 H/1722 M, pasukan Af- ghan yang berkekuatan sekitar 20 ribu tentara telah berhasil merebut ibu kota Kerajaan Safawi, Isfahan. Sejak itu, kekuasaan politik Kerajaan Safawi berakhir. ■ ed: heri ruslan Oleh Nidia Zuraya D alam bidang ilmu pengetahuan, Per- sia dikenal sebagai bangsa yang ber- peradaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Karenanya, pada masa Kerajaan Safawi (907- 1134 H/1501-1722 M), ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan ini telah melahirkan sejumlah nama besar yang ahli di berbagai disiplin kelimuan. Beberapa nama ilmuwan, sejarawan, dan sastrawan terkemuka di era Safawi antara lain Muhammad bin Husain al- Amili al-Juba’i, Muhammad Baqir Astarabadi, dan Sadruddin Muhammad bin Ibrahim Syirazi. * Muhammad bin Husain al-Amili al-Juba’i Nama lengkapnya adalah Syekh Bahauddin Muhammad bin Husain al-Amili al-Juba’i. Ia merupakan ulama Syiah yang terkenal pada masa pemerintahan Syah Abbas I. Beliau berasal dari Jabal Amil, Lebanon, suatu wilayah yang telah menjadian acuan sejak masa Syah Isma’il I dan Syah Tahmasp untuk mencari ulama Syiah guna didatangkan ke Kerajaan Safawi. Syekh Bahauddin hidup pada periode 953 H hingga 1030 H. Ia termasuk salah satu ulama Syiah yang memiliki peranan penting dalam menyebarluaskan ideologi Syiah di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Kerajaan Safawi. Ia merupakan guru utama Syiah pada lembaga pendidikan Syiah yang didirikan oleh Syah Abbas I di Kota Isfahan. * Muhammad Baqir Astarabadi Nama lengkapnya adalah Muhammad Baqir Astarabadi, namun lebih dikenal dengan pang- gilan Mir Damad. Ia adalah salah seorang ulama terbesar di zamannya dan guru terke- nal yang mengajarkan filsafat peripatetik (masyai), filsafat iluminasi (isyraqi), irfan, fikih, dan ilmu keislaman lainnya. Ia hidup pada masa pemerintahan Syah Abbas I, dan wafat pada 1040 H/1631 M. Ia dilahirkan di Khurasan pada 969 H atau 1562 M, dan menghabiskan masa remajanya di Masyhad, ibu kota Khurasan. Di negeri asalnya, Persia, Mir Damad juga dikenal luas sebagai pendiri aliran Isfahan, yakni sebuah aliran tasawuf yang mengembangkan ajaran filsafat ketuhanan (al-Hikmah al-Ilahiyyah). Aliran tasawuf filsafat ini kemudian terkenal dengan sebutan filsafat pencerahan (isyraqi). * Mulla Sadra Nama lengkapnya adalah Sadruddin Muhammad bin Ibrahim Syirazi. Namun, beliau lebih dikenal dengan nama Mulla Sadra. Ia dilahirkan di Kota Syiraz (Iran) pada 979 H/1571 M, dan wafat di Kota Bashrah (Irak) pada 1050 H/1640 M dalam perjalanan ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji yang ketujuh. Mulla Sadra merupakan tokoh terbesar aliran tasawuf filsafat ketuhanan. Ajaran tasawuf filsafat ketuhanan ini ia pelajari lang- sung dari Syekh Bahauddin Muhammad bin Husain al-Amili al-Juba’i di Kota Qazwin. Sebagai seorang filsuf, nama Mulla Sadra setara dengan para ahli filsuf Muslim yang hidup pada masa sebelum maupun sesudah- nya, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Nasiruddin at-Thusi, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Miskawaih. ■ ed: heri ruslan Ulama dan Ilmuwan dari Persia Oleh Nidia Zuraya SYAH ABBAS I BERHASIL MENCIP- TAKAN SISTEM POLITIK YANG KUAT, SEHINGGA PROSES PEMUSATAN PEMERINTAHAN DAN EKONOMI BERJALAN EFEKTIF. T ak bisa dimungkiri lagi, ajaran Syiah meng- alami perkembangan yang pesat di era pemerintahan Kerajaan Safawi. Kebijakan penguasa Safawi yang menjadikan Syiah sebagai ideologi negara merupakan faktor utama yang mendorong penyebarluasan ajaran ideologi ini ke wilayah-wilayah Kerajaan Safawi yang semula merupakan basis pengikut Sunni. Program Syiahisasi terhadap para pengikut Sunni itu gencar dilakukan pada masa pemerintahan Syah Isma’il I. Dan keberhasilan pelaksanaan program ini ditandai dengan berdirinya sekolah teologi Syiah di zaman Syah Abbas I. Penguasa keempat Kerajaan Safawi ini juga menetapkan ibu kota Isfahan sebagai pusat pendidikan Syiah. Puncak kejayaan Kerajaan Safawi memang terca- pai pada masa kekuasaan Syah Abbas I. Karenanya ia mendapat gelar Syah Abbas Agung. Sistem pendidikan Syiah yang diciptakan Syah Abbas I itu memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan di dunia Sunni sejak periode Bani Seljuk sebelumnya. Sistem pen- didikan tersebut juga merupakan rintisan yang kelak menjadi model pada masa Dinasti Qajar yang telah melahirkan pusat kajian Syiah di Najaf, Qum, dan Masyhad. Ketiga kota itu sekarang telah menjadi pusat kajian yang sangat penting di dunia Syiah. Politik dan pemerintahan Dalam bidang pemerintahan, Syah Abbas I melaku- kan perubahan struktur birokrasi dalam lembaga politik keagamaan. Lembaga Sadarat (semacam kementerian agama) yang dibentuk pada masa Syah Isma’il I secara berangsur-angsur digantikan oleh lembaga ulama yang dipimpin oleh seorang Syekh al-Islam. Dalam tradisi Sunni, lembaga tersebut menunjukkan pemisahan struktur kekuasaan politik antara ulama dan umara (pemimpin). Menurut tradisi atau budaya politik, kekuasaan ulama berada di bawah kendali umara. Syah Abbas I pun mewarisi budaya politik tersebut. Namun, sejarah mencatat bahwa Syah Abbas I telah berhasil mencip- takan kemajuan pesat dalam bidang keagamaan yang membuat ideologi Syiah semakin dikukuhkan. Sebagai raja, Syah Abbas I berhasil menciptakan sistem politik yang kuat, sehingga proses pemusatan pemer- intahan dan ekonomi ber- jalan efektif. Perubahan sistem pertahanan dan kea- manan yang semula bertumpu pada dukungan prajurit Qizilbasy yang berasal dari ketu- runan Turki dan kemudian digan- tikan oleh prajurit keturunan Kaukasus, merupakan salah satu upaya pemusatan pemerintahan paling berhasil yang pernah dilakukan Syah Abbas I. Meski kebijakan politik ini menimbulkan gejala per- tentangan etnis baru—di samping pertentangan etnis lama yang tumbuh sejak masa kekuasaan Syah Isma’il I antara unsur Persia dan unsur Turki—karena keberanian dan kemampuan penguasaan strategi politik yang dimi- likinya, Syah Abbas I berhasil meredam pertentangan etnis tersebut. Pemusatan ekonomi Perubahan sistem pertahanan dan keamanan ter- pusat yang dilakukan oleh Syah Abbas I menuntut adanya dukungan sistem ekonomi yang memadai untuk mendanainya. Atas dasar itu, Syah Abbas I pun melakukan pemusatan kekuasaan dengan cara meng- alihkan tanah negara yang semula berada di bawah pemerintahan provinsi menjadi tanah raja yang dikuasai langsung oleh pemerintah pusat. Perkembangan dalam bidang pendidikan di masa Syah Abbas I juga tidak dapat dipisahkan dari kebijakan pemusatan ekonomi, terutama dalam bidang per- tanian. Para penguasa Safawi memang dikenal gemar bercocok tanam. Karenanya, tak mengherankan jika lahan pertanian milik syah ( khasha atau khalisha) terus bertambah. Guna mendukung sistem pertanian ini, Pemerintah Safawi juga melakukan pem- benahan terhadap sistem perwakafan. Perolehan negara dari sektor pertanian yang terus bertambah ini telah memung- kinkan Syah Abbas I mampu mem- bangun dan membiayai penerapan sistem pendidikan Syiah yang diciptakannya. Kebijakan pemusatan ekonomi juga dilakukan di lingkungan rumah tangga raja, yakni dengan mengembangkan sejumlah bengkel kerja yang dipim- pin oleh seorang yang disebut buyutat-i khashsha-yi syarifa. Bengkel kerja ini meng- hasilkan barang-barang seperti tekstil dan karpet, yang tak hanya untuk memenuhi kebutuhan istana, tetapi juga kepentingan ekspor ke Eropa dan India. Hasil barang dagangan ekspor ini masuk ke kas istana. Dalam kaitan dengan perekonomian modern, bengkel kerja tersebut dapat dibandingkan dengan lembaga industri kerajinan. Kebijakan pemusatan ekonomi ini semakin ditingkatkan oleh para penguasa Kerajaan Safawi setelah Syah Abbas I. Pada masa pemerintahan Syah Safi (1038-1052 H/1629-1642 M), misalnya, Provinsi Qazvin, Jilan, Mazandaran, Yazd, Kirman, Khurasan, dan Azerbaijan dikendalikan dari pusat, walaupun pada masa perang dikembalikan kepada pemerintahan provinsi. Masa pemerintahan Syah Abbas I juga ditandai dengan kemajuan dalam bidang pemikiran tasawuf. Kemajuan di bidang tasawuf ini ditandai dengan berkembangnya filsafat ketuhanan (al-Hikmah al- Ilahiyyah, yang kemudian terkenal dengan sebutan fil- safat pencerahan (isyraqi) atau aliran Isfahan. Namun, kemajuan dalam bidang politik, ekonomi, dan keagamaan yang dicapai pada masa Syah Abbas I ini tidak berhasil dipertahankan oleh penggantinya, yaitu cucunya Syah Safi. Ia terkenal tak saja karena tidak cakap memimpin kerajaan, tetapi juga perhatian- nya sangat kecil terhadap persoalan politik pemerintahan. ■ ed: heri ruslan Oleh Nidia Zuraya S afawi merupakan salah satu kerajaan Islam besar yang muncul pada awal abad ke-16 M. Kerajaan itu didirikan oleh Syah Isma’il I pada 907 H/1501 M di Tabriz, Iran (ketika itu masih bernama Persia). Tabriz merupakan ibu kota Kerajaan Alaq Koyunlu, kerajaan suku Turki di wilayah Iran bagian barat yang ditundukkan oleh Syah Isma’il. Cikal bakal Kerajaan Safawi ini berasal dari tradisi tarekat. Nama Safawi sendiri dinisbahkan kepada tarekat Safawiyah yang didirikan Syekh Safiuddin Ishaq (650-735 H/1252-1335 M) pada 1300-an di Ardabil, wilayah barat laut Iran. Tarekat ini berkembang luas dalam periode Dinasti Ilkhaniyah antara abad ke-7 dan 8 H. Selain sebagai guru tarekat (mursyid), Syekh Safiuddin juga dikenal sebagai pedagang dan politkus. Namun, ia kurang berambisi terhadap kekuasaan politik. Ia justru lebih tertarik dalam bidang sosial, terutama yang terkait dengan masalah perlindungan terhadap kaum miskin dan kalangan yang lemah. Syekh Safiuddin memiliki pengikut yang banyak, tidak terbatas hanya di wilayah Ardabil. Para muridnya juga datang dari wilayah Oxus sampai Teluk Persia, dan dari wilayah Kaukasus hingga Mesir. Kepemimpinan tarekat Safawiyah dilanjutkan oleh anak cucu Syekh Safiuddin, seperti Syekh Khwaja Ali (wafat 832 H/1429 M). Sekitar satu abad setelah wafat Syekh Safiuddin, tidak ada cukup informasi tentang perkembangan tarekat terse- but. Baru pada 851 H/1447 M atau sekitar 18 tahun setelah Khwaja Ali wafat, keberadaan tarekat itu mulai ter- dengar lagi. Pada tahun itu, Syekh Junaid yang tak lain merupakan kakek Syah Isma’il I diangkat menjadi syekh keempat tarekat Safawiyah. Politik dan kekuasaan Sejak Junaid menjadi syekh, aliran tarekat itu mengala- mi perubahan faham dan cara bertarekat. Di bawah kepemimpinan Syekh Junaid, tarekat Safawiyah dikem- bangkan dari lembaga tasawuf yang mempunyai kencen- derungan pada hal-hal yang bersifat ukhrawi (mengabaikan urusan duniawi) menjadi aliran agama yang mempunyai kecenderungan pada politik dan kekuasaan. Para pengikut tarekat dikerahkan dengan cara militer untuk melakukan gerakan menentang negara tetangga yang beragama Kristen ataupun untuk memanfaatkan situasi pertentangan antara penguasa Kara Koyunlu dan Alaq Koyunlu. Berawal dari sinilah, lalu muncul istilah sufi dan gazi (tentara agama) yang terus digunakan oleh Dinasti Safawi, setidaknya sampai masa pemerintahan Syah Isma’il II (984-985 H/1576-1577 M). Dalam perkembangannya, para pengikut dan murid Syekh Junaid dikenal sangat fanatik dan ekstrem. Bahkan, setelah kematian Syekh Junaid, ada sebagian para pengikutnya yang menasbihkannya sebagai Tuhan. Sepeninggal Syekh Junaid, kedudukannya digantikan oleh anaknya, Haidar. Haidar perlahan-lahan mengor- ganisasi kekuatan dengan memanfaatkan pola kepemimp- inan karismatik warisan ayahnya yang telah dianggap sebagai Tuhan oleh para pengikutnya. Atas dasar inilah, kemudian Haidar pun dianggap sebagai anak Tuhan oleh mereka. Untuk meneruskan kepemimpinan dan ambisi politik ayahnya, Haidar mengorganisasi kekuatan pengikutnya yang fanatik menjadi semacam kesatuan tentara agama yang dikenal dengan sebutan Qizilbasy (si kepala merah, karena memakai topi warna merah). Sementara untuk mewujudkan ambisi kekuasaannya, ia melancarkan serangan ke wilayah Kaukasus Utara (Rusia) sebanyak dua kali, masing-masing pada 888 H/1483 M dan 892 H/1487 M. Setelah Kaukasus Utara, Haidar pun merencanakan untuk merebut kekuasaan kerajaan kecil Syirwanid. Dengan kemampuannya dalam berdiplomasi, Haidar berhasil meyakinkan penguasa Syirwanid, Syirwan Syah Khalilullah, bahwa ia sesungguhnya memerlukan persetu- juan untuk melintasi wilayah Syirwanid guna mengadakan serangan terhadap wilayah Kaukasus Utara. Persetujuan ini tidak berlaku bagi Farrukh Yasar, penguasa Syirwanid sepeninggal Syirwan Syah Khalilullah. Haidar tetap dianggap sebagai ancaman bagi penguasa Alaq Koyunlu, Sultan Ya’qub—anak pamannya, Uzun Hasan. Atas dasar itu, ketika untuk ketiga kalinya Haidar melancarkan serangan ke Kaukasus Utara dengan melin- tasi wilayah perbatasan Syirwanid pada 893 H/1488 M, ia diadang oleh pasukan Farrukh Yasar dan Sultan Ya’qub. Dalam pertempuran tersebut, Haidar menemui ajalnya. Sepeninggal Haidar, anak-anaknya diasingkan ke Fars, kemudian kembali ke Ardabil ketika Alaq Koyunlu meng- hadapi kemelut politik internal akibat perebutan kekuasaan. Pada 900 H/1495 M, anak tertua Haidar, Sultan Ali, meninggal dunia di tangan penguasa Alaq Koyunlu, Rustam. Kepemimpinan tarekat Safawiyah kemudian beralih ke tangan putra termuda Haidar, yakni Isma’il. Untuk melarikan diri dari kejaran tentara Rustam, Isma’il tinggal di Lahijan selama lima tahun sejak kakak tertuanya itu meninggal dunia. Selama tinggal di Lahijan, Isma’il hidup di bawah pen- gawasan Karkiya Mirza Ali. Untuk mengajari Isma’il penge- tahuan agama, Karkiya mendatangkan seorang ulama Syiah. Ulama inilah yang kemudian menjabat posisi penting sebagai sadr (menteri agama) setelah Isma’il berhasil mendirikan Dinasti Safawiyah. Terbunuhnya penguasa Alaq Koyunlu, Sultan Rustam, pada 902 H/1497 M membuat Isma’il bebas mengorganisasi dan mengerahkan para pengikutnya yang fanatik, yang kebanyakan keturunan Turki (dikenal dengan sebutan Qizilbasy). Dengan kekuatan sekitar 7.000 pasukan Qizilbasy, pada pertengahan Sya’ban 900 H/Maret 1500 M, Isma’il bergerak menyerang Arzinjan di Anatolia Timur. Delapan bulan kemudian, yakni pada Jumadil Awal 906/Desember 1500, pasukan Isma’il bergerak menuju wilayah Syirwanid. Di perkampungan Jabani dekat ibu kota Syirwanid, Syamakhi, pasukan Isma’il bertempur melawan pasukan Farrukh Yasar. Karena kali ini Syirwanid tidak dibantu oleh Alaq Koyunlu, maka dengan mudah pasukan Isma’il berhasil mengalahkan tentara Syirwanid. Kemenangan ini telah membuka jalan bagi berdirinya Dinasti Safawiyah sekitar setahun kemudian. Sementara itu, penguasa Alaq Koyunlu, Sultan Alwand, terancam oleh kemenangan Isma’il atas Farrukh Yasar. Mengetahui Isma’il sedang merencanakan penyerangan terhadap Kerajaan Alaq Koyunlu, Sultan Alwand pun melarikan diri. Sejak saat itu, wilayah Kerajaan Alaq Koyunlu berada di bawah kekuasaan Isma’il. ■ ed: heri ruslan Oleh Nidia Zuraya I sfahan menjadi ibu kota dan kota yang indah di bawah kekuasaan Kerajaan Safawi. Bangunan masjid, rumah sakit, sekolah, istana raja, dan jembatan berdiri megah di Isfahan. Pada masa pemerintahan Dinasti Safawi, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi (sekolah), 1800 penginapan, dan 273 tempat pemandian umum (hamam). Dalam bidang seni, gaya arsitektur bangunan-bangunan dari era Kerajaan Safawi sangat kentara, misalnya Masjid Shah (Masjid-I Shah), Masjid Syaikh Lutfallah, dan Jembatan Khaju yang dibangun pada masa Syah Abbas I. Unsur seni lainnya seperti kerajinan tangan, karpet, permadani, pakaian, keramik, tenunan, tembikar, dan seni lukis. Seni lukis mulai dirintis pada masa Syah Tahmasp. ● Maidan Imam Peninggalan bangunan monumental dari masa kejayaan Kerajaan Safawi di Isfahan bisa disaksikan di Maidan Imam, sebuah kompleks seluas 500x160 meter persegi. Maidan Imam menjadi simbol utama pemerintahan Dinasti Safawi. Kini kompleks Maidan Imam menjadi tujuan wisata utama para pelancong dunia. Lapangan megah ini dikelilingi tembok memanjang pada keempat sisinya. Di mana pada masing-masing sisi terdapat bangunan peninggalan Kerajaan Safawi, yakni Masjid Shah di sisi selatan, Masjid Syaikh Lutfallah di timur, Istana Ali Qapu di barat, dan pintu masuk utama kompleks yang terkenal dengan sebutan Bazaar di bagian utara. ● Masjid Shah Masjid yang mulai dibangun pada 1611 M itu terletak di sisi selatan kompleks Maidan Imam. Keberadaan bangunan masjid ini sebagai simbol penguasa Kerajaan Safawi. Karenanya, masjid ini kemudian disebut Masjid Shah—sebutan untuk penguasa monarki di Persia. Pembangunan masjid ini hingga masa Syah Safi (1629- 1642 M), pengganti Syah Abbas I, belum selesai. Bagian kubah masjid baru selesai dibangun pada 1638 M. Dari segi tata letak masjid, terlihat perbedaan cukup prinsip dibanding dengan masjid-masjid kerajaan di negeri-negeri Muslim pada masa itu yang kebanyakan menyatu dengan istana raja. ● Masjid Syekh Lutfallah Masjid Syekh Lutfallah yang berada di sisi timur kompleks Maidan Imam tidak besar jika dibandingkan dengan bangunan di sekitarnya. Namun, bangunannya indah dan unik bila dibandingkan dengan masjid lain sezamannya. Berdasarkan prasasti yang terdapat pada portal (pintu gerbang utama) masjid, tertulis bahwa Masjid Syekh Lutfallah mulai dibangun pada 1012 H atau sekitar 1603-1604 M. Nama pelukis kaligrafi Ali Riza al-Abbasi yang kemudian membuat kaligrafi Masjid Shah juga tertera dalam tulisan prasasti tersebut. Prasasti lainnya yang terdapat pada ruang dalam kubah tertera tahun pembuatan dekorasi masjid, 1025 H atau 1616 M. Sementara pada prasasti ketiga tercatat nama sang arsitek masjid, Muhammad Riza, dan tanggal penyelesaian pem- bangunan, yakni pada 1028 H atau 1618-1619 M. ● Istana Ali Qapu Istana Ali Qapu merupakan tempat tinggal para amir Kerajaan Safawi waktu itu. Dilihat dari kejauhan, bangunan istana ini tampak berwarna biru keemasan. Bagian dinding istana dihiasi keramik ubin biru kehijauan dan pernik keemasan, prasasti-prasasti besar, serta desain geometri dan flora tumbuhan. Istana ini juga menjadi akses masuk ke taman kerajaan seluas tujuh hektare yang terdiri dari lapangan, kebun tanaman, dan paviliun. Di belakang taman istana terdapat area khusus bagi sang Syah, istrinya, dan para anggota keluarga kerajaan lainnya. ● Jembatan Khaju Jembatan Khaju adalah salah satu jembatan yang paling terkenal di Isfahan. Jembatan itu dibangun pada masa Syah Abbas I. Jembatan ini sempat rusak dan kemudian dibangun kembali oleh Syah Abbas II. Jembatan Khaju mempunyai luas 23 meter persegi dengan panjang 105 meter dan lebar 14 meter. Saluran yang melewati jembatan selebar 7,5 meter terbuat dari batu bata dengan ukuran 21 untuk saluran yang kecil dan 26 untuk saluran yang besar. Jembatan ini juga berfungsi sebagai bendungan, dengan pintu air di bawah lengkungan. Ketika pintu ditutup, tinggi muka air di belakang jembatan dinaikkan untuk mengairi taman-taman di sepanjang Sungai Zayandeh. ■ ed: heri ruslan Warisan Kerajaan Safawi Peradaban Islam DI ERA SAFAWI DI BAWAH KEPEMIM- PINAN SYEKH JUNAID, TAREKAT SAFAWIYAH BERUBAH MENJADI ALIRAN YANG GANDRUNG PADA POLITIK DAN KEKUASAAN. Para Penguasa Safawi Dari Sufisme Gelanggang Politik KERAJAAN SAFAWI MENUJU FOTO-FOTO: WIKIMEDIA.COM FOTO-FOTO: WIKIMEDIA.COM