FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM USAHA JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG–UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Hukum (S.H.) Oleh : LABIBAH KHOIRUNNISA NIM : 11170480000062 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA
PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM
USAHA JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG–UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Hukum (S.H.)
Oleh :
LABIBAH KHOIRUNNISA
NIM : 11170480000062
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/2021 M
1
FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA
PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)
DALAM USAHA JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Hukum (S.H.)
Oleh :
LABIBAHKHOIRUNNISA
NIM : 11170480000062
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/2021 M
i
FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA
PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM
USAHA JASAKONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2
Labibah Khoirunnisa NIM 11170480000062, “FORCE MAJEURE SEBAGAI
ALASAN TIDAK TERPENUHINYA PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE
2019 (COVID-19) DALAM USAHA JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-
UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)”. Strata Satu (S1), Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas
Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442
H/2021 M, xii 67 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk memecahkan permasalahan penelitian force majeure dalam usaha jasa konstruksi yang terdampak pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19).
Secara khusus, skripsi ini mencoba mendalami penerapan pasal 47ayat (1) huruf j Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang mengatur mengenai keadaan memaksa dalam penerapannya pada usaha jasa konstruksi yang terdampak penyebaran
pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19). Dalam pasal aquo tidak dijelaskan secara
mendalam bentuk-bentuk apa saja suatu usaha jasa konstruksi dapat dinyatakan mengalami
force majeure, sehingga penerapan pasal ini dalam suatu kasus sering memunculkan ketidakpastian hukum. Pembahasan ini merupakan hal yang pentingkarena penyebaran
pandemi COVID-19 bagi usaha jasa konstruksi telah menimbulkan perdebatan mengenai
relevansi penerapan keadaan memaksa bagi usaha jasa konstruksi yang mengalami hambatan dalam menyelesaikan kegiatan usahanya.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif melalui pendekatan perundang-
undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selain itu, penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi pustaka. Melalui studi pustaka ini
peneliti mengumpulkan dokumen dan data untuk diolah menggunakan metode analisis isi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan force majeure pada usaha jasa
konstruksi yang terdampak pandemi COVID-19 adalah hal yang relevan untuk diterapkan. Hal ini sesuai dengan klasifikasi pembagian force majeure dalam beberapa bidang tertentu,
seperti relatif, subjektif, temporer, khusus, dan eksklusif. Selain itu, terdapat akibat hukum
penerapan force majeure dalam usaha jasa konstruksi, yaitu penghentian sementara kontrak, renegosiasi, dan pemberiankompensasi kepada buruh dalam usaha jasa konstruksi tersebut.
.
Kata Kunci :Force Majeure, Jasa Konstruksi, Corona Virus Disease 2019
Pembimbing Skripsi : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.Dra.
Ipah Farihah, M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1990 sampai Tahun 2020
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak
terhingga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw,
beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Dengan
mengucap Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan
penelitian skripsi dengan judul
“FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA
PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM USAHA
JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017
TENTANG JASA KONSTRUKSI).”
Skripsi ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa selain Allah
S.W.T. dan bantuan serta dukungan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini
berlangsung.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
pihak yang telah memberikan peranan secara langsung maupun tidak langsung atas
pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jajarannya.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu
Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H. M.H. dan Dra. Ipah Farihah. M.H.
vi
Pembimbing Skripsi. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Penasehat Akademik yang
telah memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam membimbing peneliti
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Hamka Nurul Huda dan Ibu Suciyati
yang selalu memberikan dukungan, baik materil maupun imateriil berupa
motivasi, do’a, bahkan kepercayaan untuk dapat duduk di bangku kuliah hingga
menyelesaikan gelar sarjana ini.
5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan.
6. Pihak-pihak lainnya yang telah memberikontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.
Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang setara
kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan
semoga pula skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 11 April 2021
Labibah Khoirunnisa
NIM. 11170480000062
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYAT HALAMAN JUDUL .................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ......................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................... 6
D. Metode Penelitian .......................................................................... 7
E. Sistematika Pembahasan .............................................................. 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG FORCE MAJEURE DALAM
HUKUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERIKATAN
A. Kerangka Teori ........................................................................... 14
B. Kerangka Konseptual .................................................................. 23
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu............................................ 27
BAB III DAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DESEASE 2019 (COVID-
19)TERHADAP USAHA JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA
A. Moratorium Penyelesaian Proyek Pemerintah ............................. 30
B. Instruksi Menteri Tentang Penghentian Sementara Usaha Jasa
akibat-pandemi-covid-19 diakses pada tanggal 20 November 2020, pukul 02.35 WIB. 4 https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4963966/kontraktor-sebut-banyak-jalan-ditutup-
bikin-proyek-konstruksi-mandek diakses pada tanggal 20 November 2020, pukul 02.45 WIB. 5 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah Hukum,
2002), h. 160. 2 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2007), h. 141. 3 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 2007), h. 49. 4Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam KontrakKomersial,
(Yogyakarta: Laks Bang Mediatama, 2008), h. 14.
14
15
Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat
adanya suatu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain atau
dapat juga dikatakan hukum perjanjian adalah suatu hukum yang
terbentuk akibat seseorang yang berjanji kepada orang lain untuk
melakukan sesuatu hal. Dalam hal ini, kedua belah pihak telah
menyetujui untuk melakukan suatu perjanjian tanpa adanya paksaan
maupun keputusan yang hanya bersifat satu pihak.
Perjanjian dalam Hukum Belanda, yaitu Bugerlijk Wetbook
(BW) disebut overeenkomst yang bila diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia berarti perjanjian. Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa
hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atua dua orang
saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Menurut Munir Fuady banyak definisi tentang kontrak dan perjanjian
telah diberikan dan masing-masing bergantung kepada bagian-
bagian mana dari kontrak dan perjanjian tersebut yang dianggap
sangat penting. Bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi
tersebut5.
Menurut M. Yahya Harahap suatu perjanjian adalah suatu
hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang
memberikan kekuatan hak pada suatu pihak uuntuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk
melaksanakan prestasi6. Pengertian kontrak atau perjanjian yang
dikemukakan para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi
Pasal 1313 BW, sehingga secara lengkap pengertian kontrak atau
perjanjian adalah perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih7.
Ada 5 (lima) sifat umum perjanjian, yaitu: harus sudah
tertentu atau dapat ditentukan, dapat dimungkinkan, diperbolehkan
Citra Aditya Bakti, 2000), h. 2. 6 Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: Rjagrafindo Persada, 2006), h.1. 7 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Kebebasan Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, (Jakarta: Prenada Media, 2019), h. 18.
16
oleh hukum, harus ada manfaat bagi para pihak dalam perikatan, dan
dapat terdiri dari satu atau beberapa perbuatan. Akibat dari tidak
dilaksanakannya prestasi di dalam perikatan disebut dengan
wanprestasi. Wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan
tidak melakukan atau memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan
dalam perikatan. Terdapat 2 (dua) macam tidak dipenuhinya
kewajiban; pertama, karena kesalahan, kesengajaan atau kelalaian
salah satu pihak. Beberapa bentuknya adalah tidak memenuhi
prestasi sama sekali yang menjadi kewajiban yang telah disanggupi,
prestasi telah dipenuhi tetapi keliru dan tidak sesuai dengan apa yang
telah dijanjikan, prestasi telah dipenuhi tetapi tidak tepat waktu atau
terlambat dari waktu yang telah ditentukan bersama, melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan8.
Hubungan hukum yang didasarkan pada perjanjian berfungsi
untuk menjamin bahwa sekuruh harapan yang dibentuk dari janji-
janji para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Sehinggaa perjanjian
merupakan sarana untuk memastikan bahwa apa yang hendak dicapai
oleh para pihak dapat diwujudkan. Dapat dikatakan bahwa Hukum
perjanjian merupakan instrumen hukum yang mengatur terjadinya
pertukaran dan memberikan bentuk perlindungan bagi pihak yang
dirugikan. Menurut P.S Atijah, kontrak memiliki tiga tujuan, yaitu
kontrak wajib dilaksanakan (memaksa), serta memberikan
perlindungan terhadap suatu harapan yang wajar, kontrak berupaya
mencegah terjadinya suatu penambahan secara tidak adil, dan
kontrak bertujuan untuk mncegah terjadinya kerugian tertentu dalam
hubungan kontraktual9.
Menurut Beatson terdapat dua fungsi penting dari perjanjian,
yaitu untuk menjamin terciptanya harapan atas janji yang telah
dipertukarkan dan mempunyai fungsi konstitutif untuk memfasilitasi
transaksi yang direncanakan dan memberikan aturan
8 Fajar Sugianto, Perancangan & Analisis Kontrak, (Surabaya: R.A.De.Rozarie, 2017), h. 2. 9 P.S Atijah, An Introduction to the Law of Contract, 4thEd, (New York: Oxford University
Press Inc, 1996), h. 35.
17
bagi kelanjutannya ke depan10. Dalam kaitan dengan fungsi
perjanjian bagi perencanaan transaksi, Beatson memberikan
perhatian pada empat hal, yaitu kontrak pada umumnya menetapkan
nilai pertukaran (the value of exchange), dalam kontrak terdapat
kewajiban timbal balik dan standar pelaksanaan kewajiban, kontrak
membutuhkan alokasi pengaturan tentang risiko ekonomi (economic
risks) bagi para pihak, dan kontrak dapat mengatur kemungkinan
kegagalan dan konsekuensi hukumnya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa,
perjanjian pada dasarnya menetapkan nilai-nilai yang dipertukarkan,
dengan meletakan kewajiaban secara timbal balik dengan segala
resiko yang mungkin timbul serta kemungkinan terjadinya
konsekuensi terjadinya kegagalan atau resiko.
2. Teori Hermeneutika Hukum
Pengertian (begreep) tentang hermeneutika hukum harus dilacak
terlebih dahulu pada arti kata hermeneutika. Secara etimologis, kata
“hermeneutic” atau “hermeneutika” merupakan padanan kata dari
bahasa Inggris, yaitu hermeneutic (tanpa’s’) dan ‘hermeneutics’
(dengan huruf’s’). Kata yang pertama dimaksudkan sebagai sebuah
bentuk adjective (kata sifat) yang apabila diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai tafsiran, yakni menunjuk
kepada ‘keadaan’ atau sifat yang terdapat dalam satu penafsiran.
Sementara kata kedua (hermeneutics) adalah sebuah kata benda (noun).
Kata ini mengandung tiga arti, yaitu ilmu penafsiran, ilmu untuk
mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan
penulis, serta penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada
penafsiran atas teks atau kitab suci.
Kata hermeneutics juga berasal dari turunan kata benda
“hermeneia” (bahasa Yunani) yang secara harfiah dapat diartikan
sebagai ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi: Dalam kosa-kata kerja,
ditemukan istilah “hermeneuo” dan/atau “hermeneuein. Hermeneuo
artinya mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata, dan
10 J. Beatson, Anson’s Lawof Contract, (New York: Oxford University Press, 2002), h. 2.
18
pengertian yang terakhir ini sebenarnya mau mengungkapkan bahwa
hermeneutika merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif
gelap ke sesuatu yang lebih terang11.
Kajian hermeneutika hukum mempuyai dua makna sekaligus,
yaitu hermeneutika hukum dipahami sebagai metode interpretasi atas
teks-teks hukum. Dimana interpretasi yang benar terhadap teks hukum
itu harus selalu berhubungan dengan kaidah hukumnya. Kedua,
hermeneutika hukum juga dapat dilakukan sebagai upaya penemuan
hukum. Hal ini ditunjukkan dalam kerangka lingkaran spiral
hermeneutika, yaitu proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-
fakta. Dalil hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus
mengkualifikasi fakta-fakta dalam hermeneutika sebagai metode
penemuan hukum melalui interpretasi teks hukum selalu menjadi
diskursus utama dalam setiap kajian hermeneutika hukum. Hal ini tidak
terlepas dari substansi filsafat hermeneutika adalah tentang hakikat
mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang
menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan
pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti
dan/atau interpretasi.
Menurut Bernard Arief Sidharta, dalam filsafat hermeneutika
khususnya pada peristiwa memahami atau menginterpretasi sesuatu,
subyek atau interpretator tidak dapat memulai upayanya dengan
mendekati obyek pemahamannya sebagai tabula rasa atau tidak
bertolak dari titik nol, sebab setiap orang terlahir kedalam suatu dunia
produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus menerus,
yakni tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasan- wawasan, pola-pola
perilaku dan sebagainya yang terbentuk dan berkembang oleh dan
dalam perjalanan sejarah. Jadi, tiap subyek, terlepas dan tidak
tergantung dari kehendaknya sendiri, selalu menemukan dirinya sudah
berada dalam suatu tradisi yang sudah ada12.
11 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme don Modernitas (Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah don Problem Modernitas), (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 37.
12 B. Arief Sidharta, “Makalah Hermeneutik : landasan kefilsafatan ilmu hukum dalam Bahan
Kuliah/Handout Mata Kuliah Filsafat Hukum”, (Program doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta, 2007), h. 9.
19
Lewat proses interaksi dengan dunia sekelilingnya, tiap orang
menyerap atau diresapi muatan tradisi tersebut dan dengan itu
membentuk pra-pemahaman terhadap segala sesuatu, yakni prasangka
berupa putusan yang diberikan sebelum semua unsur yangmenentukan
sesuatu atau suatu situasi ditelaah secara tuntas dan dengan itu juga
terbentuk cakrawala pandang, yakni medan pengamatan atau range of
vision yang memuat semua hal yangtampak dari sebuah titik pandang
subyektif tertentu.
Pra pemahaman dan cakrawala pandang itu akan menentukan
persepsi individual terhadap segala sesuatu yang tertangkap dan
teregistrasi dalam wilayah pandang pengamatan individu yang
bersangkutan. Dalam dinamika proses insterpretasi, pra-pemahaman
dan cakrawala pandang dapat mengalami pergeseran, dalam arti
meluas, melebar dan meningkat derajat kedalamannya. Pergeseran ini
dapat mengubah pengetahuan subyek karena akan dapat memunculkan
hal-hal baru dan aspek-aspek baru dari hal-hal yang tertangkap dalam
cakrawala pandang.
Proses interpretasi itu berlangsung dalam proses lingkaran
pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik atau hermeneutische
zirkel, yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau unsur-unsur dan
keseluruhan sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Dalam proses
pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat dipahami secara tepat dalam
konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat dipahami
berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya.
Lingkaran pemahaman ini dimungkinkan karena pada diri interpretator
sudah ada cakrawala pandang dan pra-pemahaman yang terbentuk
lewat interaksi dengan tradisi yang didalamnya ia menjalani kehidupan.
Bertolak dari pra- pemahaman dalam kerangka cakrawala pandangnya
tentang interpretandum atau ihwal yang mau dipahami sebagai suatu
keseluruhan, interpretator berusaha menemukan makna dari bagian-
bagian lalu berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian tersebut dalam
hubungan antara yang satu dengan yang lainnya berupaya memahami
interpretandum, hasilnya disorotkan pada bagian-bagian guna
memperoleh pemahaman yang lebih tepat untuk kemudian hasilnya
disorotkan balik pada keseluruhan dan demikian seterusnya
20
sampai tercapai suatu pemahaman yang utuh dan tepat13
Menurut Bernard Arief Sidharta, filsafat hermeneutika
memberikan landasan kefilsafatan, yaitu ontologikal dan
epsitemologikal pada ilmu hukum, atau filsafat ilmu dari ilmu hukum.
Hal ini dikarenakan dalam mengimplementasikan ilmu hukum untuk
menyelesaikan suatu masalah hukum, misalnya di pengadilan, kegiatan
interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan
juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang
bersangkutan.
Menurut Fahruddin Faiz, hermeneutika berusaha menggali
makna dengan mempertimbangkan horison/cakrawala yang melingkupi
teks. Horison yang dimaksud adalah horison teks, horisonpengarang dan
horison pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut,
diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan
rekonstruksi dan reproduksi makna teks, disamping menelusuri
bagaimana suatu teks itu dilahirkan oleh pengarangnya dan muatan apa
yang masuk atau ingin dimasukkan oleh pengarang kedalam teks yang
dibuatnya kemudian disesuaikan dengan kondisi yang ada14.
Melakukan hermeneutika hukum berarti melakukan penafsiran
atas hukum. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo secara garis besar
penafsiran dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu interpretasiharfiah,
interpretasi fungsional. Interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang
semata-mata menggunakan kalimat dari peraturan sebagai
pegangannya. Dengan kata lain, interpretasi harfiah merupakan
interpretasi yang tidak keluar dari litera legis, sedangkan interpretasi
fungsional disebut juga dengan interpretasi bebas. Disebut bebas
karena penafsiran ini tidak mengikatkan diri sepenuhnya kepada
kalimat dan kata-kata peraturan atau litera legis. Dengan demikian,
penafsiran ini mencoba untuk memahami maksudsebenarnya dari suatu
peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap
bisa memberikan kejelasan yang lebih
13 B. Arief Sidharta, “Makalah Hermeneutik : landasan kefilsafatan ilmu hukum dalam Bahan
Kuliah/Handout Mata Kuliah Filsafat Hukum”,..., h. 10-11. 14 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi,
(Yogyakarta: Kalimedia, 2002), h. 11.
21
memuaskan15.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan
beberapa metode penafsiran hukum yang lazim digunakan, yaitu:
a. Interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa,
merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling
sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-
undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan
kata atau bunyinya
b. Interpretasi teleologis atau sosiologis, tafsiran ini
menghubungkan makna undang-undang berdasarkan tujuan
kemasyarakatan. Jadi peraturan perundang-undangan bersifat
aktual.
c. Interpretasi sistematis atau logis, penafsiran ini digunakan
untuk menjelaskan hierarki peraturan perundang-undangan
dan hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya.
d. Interpretasi historis, makna ketentuan dalam suatu peraturan
perundang-undangan dapat juga ditafsirkan dengan cara
meneliti sejarah pembentukan peraturan itu sendiri.
e. Interpretasi komparatif atau perbandingan, metode
penafsiran yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan
antara beberapa aturan hukum. Tujuan hakim
memperbandingkan adalah dimaksudkan untuk mencari
kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan Undang-
Undang.
f. Interpretasi futuristis, metode penemuan hukum yang bersifat
antisipasi, yaitu menjelaskan ketentuan Undang-Undang yang
belum mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian,
interpretasi ini lebih bersifat ius constituendum daripada ius
constitutum16.
3. Teori Hukum Responsif
Hukum responsif adalah model atau teori yang digagas Nonet-
Selznick di tengah kritik Neo-Marxis terhadap liberal legalism.
Liberal legalism mengandaikan hukum sebagai institusi mandiri
dengan sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak,
dan benar-benar otonom. Ikon liberal legalism adalah otonomi hukum
dalam menjagaintegritasnya17.
Hukum adalah alat untuk manusia.Hukum merupakan
instrumen untuk melayani kebutuhan manusia. Dalam makna ini,
isolasi sistem hukum dari berbagai instrumen
15 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 95.
16 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 19.
17Bernadrd L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), h. 183.
22
sosial di sekitarnya, berdampak buruk bagi sisi kebutuhan manusia itu
sendiri. Hukum dengan mudah menjadi institusi yang melayani dirinya
sendiri, bukan melayanimanusia.
Hukum tidak lagi bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan
sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif. Akibatnya jelas
legitimasi sosial dari hukum itu merosot tajam18. Tanda bahaya tentang
terkikisnya otoritas tersebut dan macetnya keadilan substantif menjadi
fokus kritik terhadap hukum19. Ditengah rangkaian kritik inilah Nonet-
Selznick mengajukan model hukum responsif.
Nonet-Selznick menempatkan hukum sebagai sarana respon
terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan
sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankanakomodasi
untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan
dan emansipasipublik.
Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum
itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagaiproses dan
kekuatan dalam masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Edwin M.
Schur, sekalipun hukum itu nampak sebagai perangkat norma-norma
hukum, tetapi hukum merupakan hasil dari suatu proses sosial, sebab
hukum dibuat dan dirubah oleh usaha manusia dan hukum itu
senantiasa berada di dalam keadaan yang berubah pula20.
Dalam teori hukum responsif, hukum dijadikan alat yang
mampu menampung aspirasi masyarakat sebagai suatu keniscayaan
dan mampu bergerak aktif mengikuti perkembangan masyarakat itu
sendiri.
Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang
dibutuhkan dalam masa transisi karena terlibat dalam perubahan situasi
masyarakat. Hukum harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya.
Hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem hukum yang
terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan, yaitu
tujuan sosial yang ingin dicapainya, serta akibat-akibat
18Eugene B. Rostow, Is Law Dead?, (New York: Simon and Schuster, 1971), h.7. 19 Phillipe Nonet and Phiip Selznick, Law and Society in Transition : TowardTanggapanive
Law, (London: Harper and Row Publisher, 1978), h. 5. 20 Satjipto Rahardjo. Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), h. 17.
23
yang timbul dari bekerjanya hukum21.
Apa yang dikatakan Nonet dan Selznick ingin mengkritik
model analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang berkutat di
dalam sistem aturan hukum positif, model yang mereka sebut dengan
tipe hukum otonom. Hukum responsif, sebaliknya, pemahaman
mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan
looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu.
Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan dua“doktrin” utama.
Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan, dan
rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua
pelaksanaan hukum. Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi
sebagai norma kritik, maka tatanan hukum responsif menekankan:
Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum,
Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan,
Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi
kemaslahatan masyarakat, penggunaan diskresi sangat dianjurkan
dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada
tujuan, Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan,
Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan
hukum, kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum
dalam melayani masyarakat, Penolakan terhadap hukum harus dilihat
sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum, sehingga terjadi
akseptabilitas hukum dengan masyarakat. Akses partisipasi pubik
dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial22.
Dalam hal inilah hukum responsif merupakan teori hukum
yang sangat tepat untuk suatu penelitan tentang perubahan-perubahan
kondisi sosial di masyarakat dengan menghubungkannya dengan
tanggapan hukum sebagai institusi yang mengaturmanusia.
B. Kerangka Konseptual
1. Keadaan Memaksa
21 Phillipe Nonet and Phiip Selznick, Law and Society in Transition : Toward
Tanggapanive Law, (London: Harper and Row Publisher, 1978), h. 9. 22 Satjipto Rahardjo, “Hukum Progressif (Penjelasan Suatu Gagasan),” Makalah
disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, tanggal 4
September 2004, h. 206.
24
Keadaan memaksa atau disebut juga dengan istilah overmacht
atau force majeure adalah suatu keadaan diluar kendali manusia yang
terjadi setelah diadakannya perjanjian, yang menghalangi debitur
untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur, sedangkan menurut R.
Setiawan yang dimaksud dengan keadaan memaksa adalah suatu
keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi
debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat
dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat
menduga pada waktu persetujuan dibuat, seperti terjadi bencana alam,
gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor.
Akibat keadaan memaksa ini segala ketidakmampuan
pelaksanaan prestasi bisa ditoleransi. Force majeure atau overmacht
adalah suatu keadaan yang dialami oleh debitur yang berada diluar
kekuasaan dan kekuatannya sehingga ia tidak mampu melaksanakan
prestasinya23. Force majeure dalam pelaksanaannya dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu : force majeure absolut dan force majeure
relatif. Force majeure absolut adalah suatu keadaan dimana debitur
sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur,
oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar24,
sedangkan force majeure relatif adalah suatu keadaan yang
menyebabkan dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak
mungkin dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin
dilakukan.
Pembagian force majeure dapat juga dibedakan menjadi dua
hal, yaitu objektif dan subjektif. Force majeure objektif terjadi pada
benda yang merupakan objek dari kontrak tersebut, sehingga prestasi
tidak mungkin dipenuhi lagi, tanpa adanya kesalahan dari pihak
debitur, sedangkan force majeure subjektif adalah peristiwa yang
terjadi bukan terhadap benda yang merupakan objek dari kontrak yang
bersangkutan, melainkan dalam hubungan dengan keadaan atau
kemampuan dari debitur itu sendiri.25.
23 Firman Floranta Adonara, Aspek-aspek Hukum Perikatan, (Bandung: CV Mandar
Maju, 2014), h. 67. 24https://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmacht-dalam-
hukum-perdata/ diakses pada tanggal 13 Oktober 2020, pukul 15.57 WIB. 25https://awalbarri.wordpress.com/2009/03/23/pengantar-hukum-bisnis/ diakses pada
tanggal 13 Oktober 2020, pukul 15.51 WIB.
25
Dari jangka waktunya, force majeure terbagi menjadi dua, yaitu
temporer dan permanen. Force majeure temporer mengakibatkan tidak
dapat terlaksananya prestasi sampai kapan punsebagai pemenuhan dari
suatu kontrak, sedangkan force majeure permanen terjadi terhadap
pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut yang tidak mungkin
dilakukan untuk sementara waktu, dengan katalain setelah hilang efek
dari terjadinya peristiwa tertentu, maka prestasi tersebut dapat
dipenuhi kembali. Selain bentuk-bentuk di atas, terdapat pula bentuk
force majeure secara khusus dan eksklusif, dimana force majeure
khusus didasarkan karena undang-undang atau peraturan pemerintah
yang menyebabkan prestasi tidak dapat dilakukan, sedangkan force
majeure eksklusif berkaitan dengan bentuk klausula force majeure
yang tertera dalam perjanjian.26.
2. Corona Virus Disease 2019
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit
infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh severe acute
respiratory syndrome virus corona 2 (SARS-CoV-2) atau yang sering
disebut Virus Corona. Virus ini memiliki tingkat mutasi yangtinggi dan
merupakan patogen zoonotik yang dapat menetap pada manusia dan
binatang dengan presentasi klinis yang sangat beragam, mulai dari
asimtomatik, gejala ringan sampai berat, bahkan sampai kematian.
Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office
melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota
Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina
mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut
sebagai jenis baru corona virus (corona virus disease, COVID-19).
Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO telah menetapkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/ Public Health
Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC). Penambahan
jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi
penyebaran antar negara. Sampai dengan 3 Maret 2020, secara global
dilaporkan 90.870 kasus konfimasidi 72 negara dengan
26 Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, (Bandung:
Pustaka Sutra, 2008), h. 39.
26
3.112 kematian (CFR 3,4%)27.
Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari
manusia ke manusia melalui kontak erat ,droplet, dan melalui udara.
Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang
kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien
COVID-19. Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi
adalah melalui cuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan
bersin, menghindari kontak secara langsung dengan ternak dan hewan
liar serta menghindari kontak dekat dengan siapa pun yangmenunjukkan
gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin. Selain itu,
menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat berada di
fasilitas kesehatan terutama unit gawat darurat.
3. Jasa Konstruksi
Jasa konstruksi merupakan layanan usaha konsultasi konstruksi
dan/atau pekerjaan konstruksi. Pihak yang terlibat dalam usaha jasa
konstruksi ini adalah pengguna jasa dan penyedia jasa yangbisa berasal
dari orang perseorangan atau suatu badan. Hubungan kerja yang
digunakan dalam penyelenggaraan usaha jasa konstruksi ini
berdasarkan kepada perjanjian yang dibuat dan disepakati bersamaoleh
para pihak.
Sektor jasa konstruksi Indonesia, telah berkembang seiring
perkembangan Indonesia bahkan sektor ini telah berkembang sejak
jaman penjajahan. Sejarah mencatat, pemerintahan penjajahan Hindia
Belanda dan Inggris membangun beberapa prasarana penting
infrastruktur Indonesia, misalnya jalan-jalan di Pulau Jawa dari ujung
barat sampai ujung timur yang dikenal sebagai jalan Daendeles waktuitu,
bahkan rel kereta api yang ada saat ini, hampir seluruhnya dihasilkan di
jaman penjajahan Belanda dan ditemui bukti-bukti bahwa rel tersebut
adalah rel-ganda dibeberapa tempat tertentu. Setiap tahun, anggaran
jasa konstruksi baik yang dimiliki Pemerintahmaupun swasta jumlahnya
semakin besar. Setiap tahun anggaran jasakonstruksi, baik yang dimiliki
Pemerintah maupun swasta jumlahnyasemakin besar. Sebagai contoh
PENERAPAN FORCE MEJURE AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019
(COVID-19) DALAM USAHA JASA KONSTRUKSI
A. Klasifikasi Force Majeure Pada Usaha Jasa Konstruksi yang Terdampak
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Pandemi COVID-19 yang menyebar ke seluruh belahan bumi menjadikan berbagai
aktivitas manusia turut mengalami perubahan. Aktivitias normal manusia yang tadinya
bisa bekerja keluar rumah dan masuk kantor pada hari-hari biasa, kini mengalami
perubahan yang signifikan, dimana setiap orang diharuskan untuk bekerjadi dalam rumah
dan tidak bepergian kemanapun, termasuk ke tempat kerja.
Perubahan aktivitas bekerja tersebut membawa masalah pada keberlangsungan
pekerjaan itu sendiri. Banyak dari jenis pekerjaan tertentu tidak dapat berjalan
maksimal, bahkan harus dihentikan sementara. Hal ini menyebabkan hubungan-
hubungan hukum yang dijalin sebelum dan pada saat pekerjaan tersebut berlangsung
mengalami hambatan. Hubungan hukum tersebut terjalin dalam lingkup perdatadimana
perjanjian pengadaan suatu kerja sama tertentu dalam menyelenggarakan usaha terpaksa
tidak dapat berjalan seperti biasa. Hal ini terjadi akibat salah satu pihak tidak dapat
memenuhi prestasinya terhadap pihak lainnya. Kondisi inilah yang disebut dengan
wanprestasi1.
Dalam usaha jasa konstruksi kondisi berhentinya pekerjaan tersebut memberikan
dampak yang besar, yaitu pekerja dirumahkan tanpa pemberian upah dan jadwal
penyelesaian proyek yang mengalami kemunduran. Hal ini menempatkan usaha jasa
konstruksi berada dalam kondisi ingkar janji. Namun, kondisi ingkar janji tersebut bisa
ditinjau kembali dengan kondisi objektif situasi usaha jasa konstruksi yang terdampak
pandemi COVID-19.
1 Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), h.175.
39
40
Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang kemudian diubah dengan
pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro menyebabkan
terjadinya hal-hal yang berada di luar jangkauan perkiraan para pihak sebelum perjanjian
kerja diberlakukan. Social distancing dan work from home dijadikan alasan bagi usaha
jasa konstruksi untuk tidak melaksanakanprestasinya terlebih dahulu2.
Hal ini pun seakan didukung oleh lahirnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun
2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) yang memberi sumber legitimasi penerapan ketentuan force majeure dalam
usaha jasa konstruksi. Jika kita melihat pada ketentuan force majeure pada KUHPerdata,
maka pengaturan dalam KUHPerdata tidak memberikan definisi yang jelas dan rigid
mengenai force majeure, melainkan hanya menekankan tata cara penggantian biaya,
rugi, dan bunga yang dapat dijadikan acuan sebagai pengaturan force majeure3. Dalam
teori hukum perjanjian, terdapat beberapa asas yang harus dipenuhi dalam suatu kontrak,
yaitu:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Perjanjian yang disebut, juga mengikat para pihak
sebagaimana mengikatnya sebuah Undang- Undang yang dapat diartikan bahwa para
pihak harus tunduk pada perjanjian yang telah mereka buat, sama seperti mereka
tunduk pada Ketentuan Undang-Undang. Indonesia menganut sistem terbuka dalam
hukum perjanjiannya. Berlakunya asas kebebasan berkontrak ini tidaklah mutlak,
KUHPerdata memberikan pembatasan atau ketentuan terhadapnya, inti pembatasan
tersebut dapat dilihat antara lain:
a. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, bahwa perjanjian tidak sah apabila dibuat
tanpa adanya sepakat dari pihak yang membuatnya;
b. Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata, kebebasan yang dibatasi oleh kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian;
2Annisa Dian Arini, Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeure Dalam Suatu Kontrak Bisnis, (Supremasi
Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta), Vol. 9, No. 1 Juni 2020, h. 43. 3Agri Chairunisa Isradjuningtias, Force Majeure Dalam Hukum Kontrak Indonesia, (Veritas Et Justitia,
Universitas Parahyangan), Vol. 1, No. 1 2015, h. 140.
41
c. Pasal 1320 ayat (4) jo Pasal 1337 KUH Perdata, menyangkut causa yang
dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau
bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Pasal 1332 KUH Perdata batasan kebebasan para pihak untuk membuat
perjanjian tentang objek yang diperjanjikan;
e. Pasal 1335 KUH Perdata, tidak adanya kekuatan hukum untuk suatu perjanjian
tanpa sebab, atau sebab yang palsu atau terlarang; dan
f. Pasal 1337 KUH Perdata, larangan terhadap perjanjian apabila bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan baik atau ketertiban umum
b. Asas Konsensual
Pasal 1320 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perikatan ini berasaldari
kata latin “Consensus” yang berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya
kesepakatan. Arti asas konsensualisme adalah pada dasarnya perjanjian sudah lahir
sejak dari terciptanya kesepakatan.
c. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian
Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menerangkan:
“Segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”, artinya tersirat pula ajaran asas kekuatan mengikat yang
dikenal juga adagium “Pacta sunt servanda” yang berarti janji yang mengikatdan juga
sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa
tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak4.
d. Asas Iktikad Baik
Pasal 1338 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu asas yang
mengajarkan bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus benar-benar
mempunyai maksud untuk mentaati dan memenuhi perjanjian dengan sebaik-
baiknya. Menurut Subekti, pengertian Itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda
(pengertian subjektif), maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam
Pasal 1338 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (pengertian objektif),
itikad baik dalam pelaksanaan kontrak adalah berarti kepatuhan, yaitu penilaian
terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang
4 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta:PT. Intermasa, 2010), h. 27.
42
telah dijanjikan dan bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak patut dan
sewenang-wenang dari salah satu pihak5. Asas iti-kad baik terbagi menjadi dua
macam,yakni itikad baik nisbi dan itikad baikmutlak. Pada itikad yang
pertama,seseorang memperhatikan sikap dantingkah laku yang nyata dari
subjek.Pada itikad yang kedua, penilaian terletakpada akal sehat dan keadilan serta
dibuatukuran yang obyektif untuk menilai kea-daan (penilaian tidak memihak)
menurutnorma-norma yang objektif. Berbagaiputusan Hoge Raad (HR) yang
eratkaitannya dengan penerapan asas itikadbaik dapat diperhatikan dalam kasus-
kasus posisi berikut ini. Kasus yang pa-ling menonjol adalah kasus SarongArrest dan
Mark Arrest. Kedua arrestini berkaitan dengan turunnya nilaiuang(devaluasi)
Jerman setelah Perang DuniaI
e. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan yang dimaksud ialah bahwa setiap orang yang akanmengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dikemudian
hari. Asas kepercayaan sendiri sangat penting dalam membuat kontrak, karena
kepercayaan dapat menimbulkan keyakinan bagi para pihak bahwa kontrak akan
dilaksanakan oleh para pihak yang membuat kontrak tersebut. Oleh karena itu, para
pihak terlebih dahulu harus menumbuhkan kepercayaan diantara mereka, bahwa satu
sama lain akan memenuhi janji yang disepakati atau melaksanakan prestasinya
dikemudian hari. Dengan kepercayaan, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada
kontrak yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang sebagaimana
ditentukan dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Yang berarti semua perjanjian
yang dibuat secara sah dan berlaku seperti Undang- Undang bagi mereka yang
membuat perjanjian tersebut. Kepercayaan sebagaimana dimaknai seperti diatas,
dipahami sebagai faktor yang menentukan kekuatan mengikat suatu perjanjian.
f. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan disini ialah suatu asas yang menghendaki kedua belah pihak
memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk
menuntut haknya atau prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut prestasi
5 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2007), h. 30.
43
terhadap debitur atau pihak terkait, namun debitur memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
g. Asas Kepatutan
Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana berkaitan dengan
ketentuan mengenai isi perjanjian. Suatu perjanjian yang didalam terdapat prestasi
maka para pihak yang terkait didalamnya harus memenuhi prestasi yang telah
disepakati.
h. Asas Kebiasaan
Diatur dalam Pasal 1339 jo. Pasal 1347 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Pasal
1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berbunyi: Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan,
atau undang-undang.
i. Asas Kepribadian
Asas kepribadian (personality). Asas kepribadian tercantum dalam Pasal 1340 KUH
Perdata: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat
pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam
Pasal 1317”. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang
tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana pengantar
dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,
atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian
untuk diri sendiri, melainkan juga untukkepentingan ahli warisnya dan untuk orang-
orang yang memperoleh hak dari padanya.
Berdasarkan asas tersebut terdapat beberapa asas yang terlanggar dengan
terjadinya wanprestasi, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya suatu
perjanjian, asas iktikad baik, asas kepercayaan, dan asas keseimbangan. Sifat
44
wanprestasi yang menegasikan kesepakatan yang telah dibuat dalam suatu perjanjian
telah menghilangkan sifat konsensualisime yang mengikat dalam perjanjian tersebut.
Terlanggarnya perjanjian tersebut pula merupakan tanda hilangnya iktikad baik yang
menggerus kepercayaan salah satu pihak dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Pada
akhirnya, yang hilang dalam asas perjanjian tersebut adalah asas keseimbangan. Dimana
suatu perjanjian hanya dilaksanakan oleh satu pihak, sedangkan pihak lain tidak
menjalankan perjanjian yang sudah disepakatati bersama.
Namun, kondisi tersebut berbeda ketika kondisi tidak terlaksananya suatu
perjanjian tidak didasarkan wanprestasi, tetapi force majeure. Sebagai salah satu konsep
yang terdapat dalam hukum perdata, force majeure sangat erat hubungannya dengan
masalah ganti rugi pada suatu kontrak atau perjanjian. Hal tersebut dikarenakan force
majeure membawa konsekuensi hukum, tidak hanya hilang atau tertundanya kewajiban-
kewajiban dalam suatu kontrak untuk melaksanakan prestasi, tetatp force majeure dapat
membebaskan para pihak untuk memberikan ganti rugi akibat tidak terlaksananya
kontrak. Pada dasarnya pengaturan dalam KUHPerdata hanyalah mengatur masalah
force majeure dalam hubungannya dengan pergantian ganti rugi dan bunga saja.
Keadaan memaksa atau force majeur diatur dalam buku IIIKUHPerdata Pasal 1244 dan
1245.
Dalam Pasal 1244 KUH Perdata jika ada alasan untuk si berutang harus dihukum
menggangti biaya, rugi, dan bunga, bila ia tidak membuktikan bahwa hal tidak
dilaksanakannya atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu,
disebabkan karena suatu hal yang tak terduga tak dapat dipertanggung jawabkan
padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya, sedangkan
dalam Pasal 1245 KUHPerdata dijelaskan tentang pembebasan pembayaran biaya, rugi,
dan bunga oleh debitur apabila telah terjadi keadaan memaksa atau karena suatukeadaan
yang tidak disengaja, sehingga mengakibatkan debitur berhalangan memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal- hal yang sama telah melakukan
perbuatan yang terlarang. Pada dasarnya sama dengan pasal sebelumnya yaitu
menjelaskan tentang pembebasan debitur dalam membayar ganti rugi kerugian
45
jika dirinya melakukan wanprestasi. Tidak dilaksanakannya prestasi tersebut
dikarenakan adanya suatu keadaan yang memaksa atau tidak disengaja6.
Pada klausa force majeure memberikan perlindungan yang diberikan terhadap
kerugian yang disebabkan oleh kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan atau
bencana alam lainnya, pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang,
invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi,
blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu
pemerintahan yang pada intinya setiap keadaan tersebut diterjemahkan sebagai keadaan
memaksa dan tidak terduga bagi para pihak pada saat kontrak tersebut dibuat. Hal ini
membuat pemenuhan prestasi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada masing-
masing pihak.
Jika kita vis a vis kan ketentuan force majeure tersebut dengan kondisi pandemi
COVID-19 yang datang secara tiba-tiba, maka dapat dikatakan bahwa pandemi
COVID-19 adalah keadaan memaksa yang tidak dapat diprediksi sebelumnya oleh
para pihak pada saat suatu kontrak dibuat. Terlebih, dalam konsep force majeure
terdapat pembagian variabel, yaitu force majeure absolut dan force majeure relatif,
serta force majeure objektif dan force majeure subjektif.
Untuk konsep force majeure absolut, debitur berada dalam keadaan memaksa
apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur impossibilitas) dilaksanakan
oleh siapapun juga atau oleh setiap orang. Dalam ajaran ini pikiran para sarjana tertuju
pada bencana alam atau kecelakaan yang hebat yang menyebabkan pihak tertentu berada
dalam posisi mustahil untuk memenuhi prestasi.
Berbeda dengan konsep force majeure relatif yang menandai kondisi debitur yang
masih memungkinkan memenuhi perutangan sebagai kewajibannya menjalankanprestasi,
tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang apabila prestasi
dilaksanakan atau kekuatanjiwa di luar kemampuan manusia atau dan menimbulkan
kerugian yang sangat besar7.
6 Ahmadi Miru, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456, (Jakarta: Rajawali Pers
Raja Grafindo Persada, 2016), h. 13. 7Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A (Jogjakarta: Seksi
Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), h. 20.
46
Begitu juga dengan konsep force majeure objektif dan subjektif. Dalam konsep
force majeure objektif salah satu pihak berada dalam kondisi barang yang dijanjikan
musnah atau hilang, sehingga prestasi tidak bisa dijalankan sebagaimana yang
dijanjikan. Hal ini terdapat dalam pasal 1444 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa,”Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan musnah, tidak lagi dapat
diperdagangkan atau hilang sedemikian hingga sama sekali tidak diketahui apakah
barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya”8, sedangkan pada force majeure
subjektif peristiwa yang terjadi bukan terhadap benda yang merupakan objek dari
kontrak yang bersangkutan, melainkan dalam hubungan dengan keadaan atau
kemampuan dari debitur itu sendiri, misalnya, jika debitur sakit berat atau cacat seumur
hidup sehingga tidak mungkin lagi melakukan prestasi. Inilah yang menyebabkan
konsep ini dikatakan force majeure subjektif karena alasan bisa atau tidaknya prestasi
dipenuhi kembali kepada nilai subjektif masing-masing pihak9.
Berdasarkan variabel konsep force majeure ini, maka kondisi pelaku usaha jasa
konstruksi yang tidak mampu memenuhi prestasi dapat digolongkan kepada force
majeure relatif dan force majeure subjektif. Hal ini dikarenakan kondisi pandemi
COVID-19 yang menyebar luar di Indonesia bersifat sementara (relatif), sehingga
pelaku usaha jasa konstruksi dapat menjalankan kewajiban prestasinya apabila pandemi
COVID-19 telah selesai atau setidak-tidaknya dapat dikontrol oleh pemerintah melalui
penanganan yang baik, selain itu pandemi COVID-19 juga bisa digolongkan pada force
majeure subjektif mengingat tidak semua kondisi pelaku usaha dapat serta merta
dikategorikan force majeure akibat pandemi COVID-19, melainkan harus diteliti
terlebih dahulu secara kontekstual.
Hal ini seperti dalam kasus usaha jasa konstruksi yang mengalami hambatan
penyelesaian pada saat pandemi COVID-19, yaitu usaha jasa konstruksi Proyek
Pembangunan/Peningkatan Jalan Poros Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna
Barat, dengan kontrak Nomor 014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 tanggal 8 Mei 2020.
Berdasarkan Surat Perjanjian Mulai Kerja (SPMK) proyek peningkatan jalan ini harus
selesai selama 150 hari kalender dan pekerjaan harus sudahselesai pada tanggal 04
Oktober 2020, namun terhambat akibat penyebaran COVID-19
8Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001), h. 25. 9Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka Sutra,
2008), h. 40.
47
menjadikan pembangunan proyek terhambat10. PT. Aneka Sukses Reksa Graha
mengeluarkan Surat Permohonan Perpanjangan Waktu Penyelesaian Pekerjaan Selama
50 hari yang ditujukan kepada Kuasa Pengguna Anggaran selaku pejabat pembuat
komitmen yang didalamnya menyebutkan kendala pekerjaan yang dihadapi adalah
penghentian pengoperasian Kapal Tongkang yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
setempat.
Setelah Pemerintah Daerah Kabupaten Muna Barat melakukan justifikasi teknik
pekerjaan peningkatan jalan poros waturempe – tiworo jalur II sebagai tanggapan dari
surat permohonan PT. Aneka Sukses Reksa Graha, Pemerintah Daerah Kabupaten Muna
Barat menemukan salah satu kendala yang dihadapi dalam proyek ini adalah
merebaknya virus COVID-19 di Provinisi Sulawesi Tenggara yang menjadikan
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara memberlakuan PSBB terkait akibat dampak
COVID-19. Berdasarkan hal ini, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
Kabupaten Muna Barat mengeluarkan Surat Penetapan Penambahan Waktu
Penyelesaian Pekerjaan yang memberikan legitimasi penambahan waktu 50 hari kepada
PT. Aneka Sukses Reksa Graha.
Berdasarkan contoh kasus yang telah peneliti paparkan, maka dapat kita lihat
pengaruh penyebaran pandemi COVID-19 dalam sektor jasa usaha konstruksi. Pengaruh
ini sudah pasti membawa perubahan yang signifikan dalam proses pelaksanaan proyek,
yang akibatnya segala hal yang terjadi berada di luar dugaan para pihak pada saat
membuat kontrak dikategorikan sebagai keadaan memaksa dalam perjanjian. Selain itu,
dalam konsep force majeure juga terdapat bentuk-bentuk khusustidak dapat dipenuhinya
prestasi oleh pihak tertentu, salah satunya adalah akibat dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan oleh pemerintah11.
Berdasarkan hal ini, keluarnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang
Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
sebagai Bencana Nasional pada tanggal 13 April 2020 yang menetapkanstatus bencana
nasional non-alampada pandemi COVID-19, kemudiandisusuldengan
hingga-2022-akibat-pandemi diakses pada tanggal 28 Januari 2020, pukul 20.11 WITA. 11Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka Sutra,
terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial
Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah
mewajibkan setiap orang untuk melakukan social distancing, work from home,
pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang secara teori hukum
responsif merupakan bentuk terobosan hukum pemerintah dalam melakukan
pembaharuan aktivitas masyarakat sebagai upaya penanganan pandemi COVID-19.
Secara diakronik, berdasarkan hal ini dapat kita lihat bahwa force majeure akibat
pandemi COVID-19 masuk ke dalam bentuk khusus force majeure akibat peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
B. Interpretasi Penerapan Pasal 47 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi Terhadap Ketentuan Force Majeure Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Usaha jasa konstruksi merupakan usaha jasa yang memiliki peranan penting dan
strategis dalam pembangunan suatu wilayah. Dengan peran pentingnya tersebut, jasa
konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lain, baik
berupa sarana maupun prasarana yang nanti akan menjadi pendukung kemajuan di
bidang ekonomi, sosial maupun budaya.
Pengadaan jasa konstruksi yang memenuhi tata nilai pengadaan dan kompetitif
akan sangat penting peranannya bagi ketersediaan infrastruktur yang berkualitas,
sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik dan pengembangan
perekonomian daerah12. Mengingat pentingnya peranan jasa kontruksi inilah, maka
diperlukan peraturan atau payung hukum mengenai tata cara pemilihan penyedia jasa
konstruksi yang jelas dan komprehensif, termasuk pengaturan mengenai segala hal yang
mungkin terjadi apabila penyelenggaraan usaha jasa konstruksi mengalami masalah.
Berdasarkan hal ini, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi yang lahir sebagai pembaharuan terhadap Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang dipandang belum dapat memenuhi tuntutan
12 Point menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
49
kebutuhan tata kelola yang baik dan dinamika perkembangan penyelenggaraan jasa
konstruksi13.Dalam Undang-Undang a quo terdapat ketentuan mengenai kontrak jasa
konstruksi, yakni Pasal 47 ayat (1) huruf J yang menyebutkansuatu hal yang harus ada
dalam penyusunan kontrak jasa konstruksi, yaitu klausula keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dalam pasal tersebut didefinisikan sebagai ketentuan yang
memuat tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Secara lebih rinci, eksposisi pasaltersebut
berada dalam penjelasan pasal demi pasal yang menjelaskan dikotomi keadaan memaksa
tersebut, yakni keadaan memaksa yang bersifat absolut, yaitu kondisi dimana para pihak
tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya, serta keadaan memaksa yang
bersifat tidak mutlak (relatif), yakni keadaan dimana para pihak masih dimungkinkan
untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, namun bersifat sulit. Hal ini membuktikan
bahwa force majeure dalam usaha jasa konstruksimemiliki pijakan legitimasi.
Jika kita melihat definisi keadaan memaksa dalam Pasal 47 ayat (1) huruf j
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, dapat kita lihat bahwa
definisi yang diberikan tidak cukup untuk memberikan kepastian hukum. Hal ini
dikarenakan terdapat hal-hal yang menimbulkan multiinterpretasi dalam penerapannya.
Dalam pasal a quo tidak diatur mengenai contoh keadaan-keadaan yang menjadi
keadaan memaksa tersebut, misalnya bencana alam, gunung meletus, banjir, tanah
longsor, bencana non-alam, huru hara, dan lain-lain.
Titik inilah yang menjadikan penerapan keadaan memaksa pada penyebaran
pandemi COVID-19 bagi usaha jasa konstruksi menjadi perdebatan jika dikaitkan
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Disinilah perlu
dilakukan metode penemuan hukum berdasarkan teori hermeneutika hukum untuk
membaca teks dan konteks yang terjadi pada Pasal 47 ayat (1) huruf j Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dan kondisi penyebaran pandemi corona
virus disease 2019 (COVID-19).
13 Point menimbang huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
50
Pendekatan teori hermeneutika yang merupakan metode penemuan hukum
dengan cara interpretasi dapat digunakan sebagai alternatif dalam memahami makna
hakiki “teks” atau “sesuatu”. Menurut JJ. H. Bruggink, dalam hal ini ditampilkan
lingkaran hermeneutical, yaitu berupa proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan
fakta-fakta sebab dalil hermeneutika menyatakan bahwa orang harus mengkualifikasi
fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam
cahaya fakta-fakta, termasuk dalam paradigma dari teori penemuan hukum dewasa ini14.
Dalam hal lain pendekatan hermeneutika hukum dapat dilakukan sebagai upaya
membangun penafsiran hukum yang komprehensif, sehingga konstruksi hukum tidak
terjebak pada penafsiran teks semata sebagaimana selama ini cenderung dilakukan oleh
hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan force majeure, khususnya
pemberlakukan pasal 47 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi. Pendekatan teori hermeneutika hukum mempertimbangkan keterkaitan
antara teks, konteks dan kontekstualiasasi yang sejalan dengan metode yang diterapkan
oleh penemuan hukum dalam memahami serta mengungkapkan kebenaran.
Berbasis pada interpretasi teks hukum dan pemaknaan falsafati hukum, pendekatan
hermeneutika membuka kesempatan bagi seseorang tidak hanya berkutat dengan
paradigma positivis dengan penafsiran gramatikal dan otentiknya, yang selama ini
dianggap melanggengkan pemikiran kaku. Kajian hermeneutika hukum mengajak para
pengkaji hukum agar menggali dan meneliti makna-makna hukum dari persperktif para
pengguna dan/atau para pencari keadilan sehingga kajian hermeneutik ini perlu bagi
hakim yang dalam kesehariannya bertugas memaknai hukum, agar putusannya dapat
memenuhituntutan keadilan masyarakat.
Letak penting dan kebaruan hermeneutika hukum, yaitu pada saat seseorang
menemukan hukum baik saat melakukan interpretasi hukum maupun konstruksihukum.
Pada saat melakukan interpretasi atas teks hukum/peraturan perundang- undangan yang
dijadikan dasar pertimbangannya, serta interpretasi atas peristiwa dan fakta hukumnya itu
sendiri. Salah satu metode penemuan hukum yang berkaitan dengan teori hermeneutika
hukum adalah penafsiran hukum.
14 Marthinus Mambaya, “Hermeneutika Hukum”, (Jurnal Hukum, Vol. XVII Edisi Khusus 2007,Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung), h. 96.
51
Penafsiran hukum merupakan salah satu metode penemuan hukum untuk mengetahui
makna undang- undang.Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan
ketentuan yang konkret dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri15.
Dari segi metode penafsiran hukum, terdapat beberapa metode yang dapat
digunakan, yaitu16:
a. Penafsiran gramatika (tata bahasa), yaitu mencari makna suatu ketentuan hukum
dari kata-katanya menurut pemakaian bahasa sehari-hari dan/atau pemakaian
secara teknis yuridis. Penafsiran ini merupakan sarana tertua yang dimiliki para
ahli hukum (yuris) untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan.
b. Penafsiran historis, dibedakan atas penafsiran sejarah hukum (rechtshisttories
interpretatie) dan penafsiran sejarah undang-undang (wetshistories interpretatie).
Dalam hal penafsiran sejarah hukum, hakim mencari makna atau arti aturan
hukum dari perkembangan suatu lembaga hukum (figur hukum), misalnya untuk
memahami kompetensi relatif dan absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan
tata usaha negara, maka ditelusuri melaui sejarah peradilan administrasi yang pada
mulanya berkembang dalam Hukum Administrasi Perancis. Di Perancis, segala
pelanggaran hukum administrasi diserahkan dan diselesaikan oleh suatu peradilan
khusus, yaitu tribunaux administratifs. Peradilan bandingnya yang merupakan
peradilan terakhir adalah wewenang Council d’Etat. Putusan-putusan badan
peradilan administrasi tertinggi ini merupakan sumber hukum terpenting dalam
hukum administrasi Prancis. Dalam hal penafsiran sejarah undang-undang, hakim
mencari makna atau arti suatu ketentuan Undang-Undang dengan menelusuri
riwayat pembentukan Undang-Undang tersebut. Sejarah Undang-Undang dapat
dipelajari dari risalah Undang-Undang, perdebatan-perdebatan di dalam sidang
DPR, jawaban dan keterangan eksekutif, serta dengar pendapat umum17.
15 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1993), h. 35. 16 I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum, (Pidato Pengenalan
Jabatan Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 10 April 1996), h.9. 17 Benyamin Mangkoedilaga, Kompetensi Relatif dan Absolut Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara, (Bandung: Angkasa, 1988), h. 25-26.
52
c. Penafsiran sistematis, adalah menentukan makna atau arti satu pasal peraturan
perundang-undangan dengan mengaitkannya pada pasal-pasal lainnya dalam
kerangka keseluruhan peraturan atau tata hukum yang berlaku. Contoh
penggunaan penafsiran sistematis dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pada makna Pasal 6 ayat (1) dikaitkan dengan Pasal 27
ayat (1). Menurut penafsiran secara sistematis ini Pasal 6 ayat (1) mengandung
makna sebagai aturan hukum yang bersifat exception (pengecualian) terhadap
ketentuan Pasal 27 ayat (1), sehingga syarat “Presiden harus orang Indonesia asli”
tidak bertentangan dengan HAM.
d. Penafsiran sosiologis atau teleologis, yakni hakim memberi arti suatu ketentuan
hukum menurut tujuan sosial yang ditetapkan pembentuk UU, dengan
memperhatikan perkembangan masyarakat ketika UU itu diterapkan. Perlu
diketahui bahwa tujuan pembentuk UU identik dengan tujuan UU, tetapi berbeda
dengan tujuan hukum yang sifatnya umum dan ditentukan oleh doktrin hukum.
e. Teori penafsiran filosofis (what is philosophical thought behind the ideas
formulated in the text) Penafsiran dengan fokus perhatian pada aspek filosofis.
Misalnya, ide Negara hukum dalam Kostitusi Republik Perancis Article 66: “No
person may be detained arbitrarily”. Ide negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum. Contoh lain lagi adalah rumusan ide
demokrasi terpusat (centralized democrazy) dalam Konstitusi Cina.
f. Teori penafsiran teleologis (what does the articles would like to achieve by the
formulated text) Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-
kaidah hukum menurut tujuan dan jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta
bahwa pada kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan dan
bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran
demikian juga diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan yang aktual.
g. Penafsiran otentik atau resmi.
53
Penafsiran otentik ini sesuai dengan tafsir yang dinyatakan oleh pembuat undang-
undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri, misalnya arti kata yang
dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Jikalau ingin mengetahui apa yang
dimaksud dalam suatu pasal, maka langkahpertama adalah lihat penjelasan pasal itu.
Oleh sebab itu, penjelasan undang- undangselalu diterbitkan tersendiri, yaitu dalam
Tambahan Lembaran Negara, sedangkan naskah undang-undang diterbitkan dalam
Lembaran Negara18.
Berdasarkan hal teori hermeneutika hukum dan penafsirannya, terdapat dua
metode yang menjadi dasar legitimasi penerapan keadaan memaksa pada pandemi
COVID-19 terhadap usaha jasa konstruksi, yaitu metode penafsiran sistematis dan
metode penafsiran sosiologis. Dalam metode penafsiran sistematis eksposisi force
majeure dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
terdapat dalam atribusi Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden a quo adalah Peraturan Presiden yang
menjadi bagian dari penyelenggaraan usaha jasa konstruksi dalam menjalankan
usahanya. Dalam Pasal 91 Peratruan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah memberikan pengertian keadaan kahar atau
keadaan memaksa, yaitu sebagai suatu keadaan yang terjadi diluar kehendak para
pihak, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat
dipenuhi yang penggolongan keadaan kahar atau keadaan memaksa tersebut menurut
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintahmencakup bencana alam, bencana non alam, bencanasosial, pemogokan,
kebakaran, dan gangguan industri lainnya19.
Dalam ketentuan a quo, bencana non alam juga dikateogikan sebagai bagian
dari force majeure, yang menjadikan sama dengan pandemi COVID-19 berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 yang menyatakan pandemic COVID-19
sebagai bancana non alam. Berdasarkan hal ini, kita dapat melihat bahwa
18 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, cet. XI,
(Jakarta : Ichtiar Baru, 1983), h. 208. 19 Pasal 91 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
54
penyebaran pandemi COVID-19 memiliki dasar legalitas yang jelas dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Dasar legalitas force majeure tersebut juga memiliki batasan yang diberikan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yaitu keadaan tersebut
harus tidak dapat diduga atau diluar kemauan penyedia jasa, keadaan tersebut berada
diiluar kemampuan penyedia jasa untuk melaksanakan pekerjaan, dan terjadi kerugian
bagi pengguna jasa20. Keadaan konteks terjadinya suatu hal harus dianalsis terlebih
dahulu untuk dinyatakan sebagai keadaan memaksa.
Konteks keadaan tersebutlah yang dapat dikaitkan dengan penafsiran sosiologis
dalam usaha penemuan hukum force majeure dalam pandemi COVID-19 bagi usaha jasa
konstruksi. Penyebaran pandemi COVID-19 yang meluas dan cepat di masyarakat
mendeskripsikan suatu keadaan bahaya yang memaksa masyarakat berada dalam kondisi
waspada. Indonesia saat ini berada di posisi ke-19 dunia dengan mengonfirmasi total
kasus positif sebanyak 1.577.526 dan angka ini diperoleh setelahada penambahan 5.702
kasus baru dalam 24 jam terakhir. Sementara jumlah kematianbertambah sebanyak 126
jiwa dalam 24 jam terakhir, sehingga membuat total yang meninggal dunia secara
kumulatif menjadi 42.782 orang. Pasien yang dinyatakan sembuh dari virus mematikan
ini secara kumulatif adalah 1.426.145 orang, dan masihmenyisakan 108.599 kasus aktif
pada pagi ini dari seluruh wilayah di Indonesia21.
Kondisi genting penyebaran COVID-19 ini menggambarkan terpenuhinya
konteks penerapan force majeure dan interpretasi sosiologis dalam pemberlakukan force
majeure. Dimana secara kontektual dan sosiologis pasal 47 ayat (1) huruf j Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi memberikan ketentuan keadaan
memaksa sebagai syarat yang harus ada dalam suatu perjanjian sebagai bentuk
perlindungan hukum bagi para pihak dari hal-hal yang tidak dapat diprediksi
sebelumnya dan menyebabkan kerugian.
20Herman Brahmana Bismar Nasution, Suhaidi, Mahmul Siregar, Eskalasi dan Force Majeure Dalam
Perundang-Undangan Jasa Konstruksi, (USU Law Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), Vol. 3,No. 2, Agustus 2015, h. 82.
21 https://tirto.id/update-corona-indonesia-14-april-dunia-kasus-harian-ri-naik-lagi-gcly diakses pada
tanggal 17 April 2021 pukul 14.52 WIB.
55
Selain itu, interpretasi sosiologis penerapan force majeure dalam pandemi
COVID-19 juga dapat dibuktikan melalui dikotomi force majeure dalam Undang-
Undang Jasa Konstruksi, yaitu force majeure absolut danforce majeure relatif. Dalam
force majeure absolut dikatakan bahwa suatu kegiatan secara mutlak benar-benar tidak
dapat dilaksanakan oleh para pihak22. Hal ini merujuk kepada kondisi-kondisi bencana
alam yang mengancam nyawa atau menghilangkan objek perikatan yang diperjanjikan
oleh para pihak, sedangkan force majeure relatif menunjukkan kondisi dimana dalam
keadaan normal perjanjian tidak bisa dilaksanakan, walaupun masih ada kemungkinan
dalam keadaan tidak normal perjanjian tersebut masih bisa dilaksanakan.
Jika kita melihat perkembangan pandemi COVID-19 sejak penyebarannya hingga
sekarang, pandemi COVID-19 merupakan virus yang menyebar lewat udara dan
menyerang sistem pernapasan. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada
sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian23.Berdasarkanhal ini,
pandemi virus corona bisa menyasar kepada siapa saja dan kapan saja. Dari hal inilah
pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang
kemudian diubah menjadi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Kondisi ini menjadikan masyarakat harus mengubah pola hidupnya dimana ada
kegiatan yang bisa dilaksanakan di kantor dan ada yang harus dilaksanakan di rumah.
Kegiatan yang bisa dilaksanakan di kantor pun harus tetap mengikuti protokol kesehatan
yang diberlakukan oleh pemerintah, seperti social distancing dan pembatasan jumlah
pekerja maksimal 50%, serta apabila terdapat pekerja yang COVID-19 tidak menutup
kemungkinan perusahaan atau lokasi tempat kerja orang tersebut akan diliburkan untuk
sementara waktu.
Dalam keadaan yang demikian, usaha jasa konstruksi berada dalam kondisi yang
tidak menentu. Dimana bisa saja tetap menjalankan proyeknya tetapi tidak akan
maksimal dan mencapai target yang ditentukan atau meliburkan pekerjanya sama sekali.
Hal inilah yang menjadikan PT. Aneka Sukses Reksa Graha mengajukan permohonan
tidak tercapainya penyelesaian proyek sesuai Kontrak Nomor 014/KTRK/DISPUPR-
22 Daryl John Rasuh, Kajian Hukum Keadaan Memaksa Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jurnal Lex Privatum), Vol. IV, No. 2, 2016, h. 178. 23 Yuliana, Corona Virus Disease (Covid-19); Sebuah tinjauan literature, (Wellnes And Healthy Megazine,
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung), Vol. 2, No. 1, Februari 2020, h. 189.
56
BM/2020 yang ditujukan kepada Kuasa Pengguna Anggaran selaku pejabat pembuat
komitmen.
Dari permasalahan ini, terlihat kondisi pembangunan proyek yang dilaksanakan
usaha jasa konstruksi berada dalam kondisi fluktuatif dan akibatnya rentan mengalami
wanprestasi pada perjanjiannya, maka sesuai dengan analsisi kondisi relatif force
majeure dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, maka
dapat dikatakan bahwa penyebaran pandemi COVID-19 ini dapat dikategorikansebagai
force majeure relatif sesuai dengan Pasal 47 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Relevansi keadaan pandemi COVID-19 dengan klausula force majeure dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 adalah suatu keniscayaan. Hal ini karena jika kita
melihat Pasal 2 huruf J Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
dikatakan bahwa asas penyelenggaraan usaha jasa konstruksi adalah keamanan dan
keselamatan. Dimana ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 4 ayat (1) huruf C yang
menyatakan bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab atas terselenggaranya jasa
konstruksi yang sesuai dengan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan
keberlanjutan. Menerapkan force majeure pada pandemi COVID-19 merupakan
kewajiban bagi pemerintah untuk menjaga dan menyelematkan pekerja yang ada dalam
lingkungan jasa konstruksi dan untuk menciptakan lingkungan yang aman di
masyarakat.
Respon hukum yang memberikan wadah bagi keadaan tidak terduga untuk
menciptakan kepastian hukum di masyarakat merupakan bentuk hadirnya hukum
responsif. Dalam paham Phillipe Nonet dan Selznick, hukum yang responsif itu adalah
hukum yang siap mengadopsi paradigm barudanmeninggalkan paradigm yang lama,
artinya hukumtidaklagidilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia harus
mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk mengadopsi
kepentingan-kepentingan yang ada didalam masyarakat24.
24Sanusi, Kus Rizkianto, Kanti Rahayu, Hukum Yang Responsif Terhadap Revolusi Industri 4.0 Dalam
Perspektif Pancasila, (Prosiding Seminar Nasional Hukum dan Industri, Universitas Muhammadiyah Surakarta), h. 177.
57
Konsep pembangunan hukum responsif yang dirumuskan oleh Philippe Nonet dan
Philip Selznick menekankan sebuah konsep hukum yang memenuhi tuntutan- tuntutan
agar hukum dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang sangat
mendesak dan terhadap masalah-masalah keadilan sosial sambil tetap mempertahankan
hasil-hasil institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasar hukum. Konsep
hukum responsif ini merupakan jawaban atas kritik bahwa seringkali hukum tercerai
berai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri.
Menggunakan pisau analisis teori hukum responsif inilah dapat kita lihat sisi- sisi
kepentingan hukum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi yang harus cepat merespon dan memberikan wadah ketika penyebaran
pandemi COVID-19 merebak di seluruh wilayah Indonesia yang menempatkan setiap
pelaku usaha jasa konstruksi berada pada situasi yang berat dan sulit untuk
melaksanakan kegiatan konstruksinya. Hal ini untuk menghadirkan keadilan dan
kepastian hukum dalam pelaksanaan usaha jasa konstruksi itu sendiri.
Hal ini juga mengingat terdapat asas keseimbangan dalam pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan jasa konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin
terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya25.
Digariskan dalam ketentuan ini bahwa pengguna usaha jasa konstruksi wajib
memerhatikan ketentuan dalam asas ini. Artinya, pandemi COVID-19 yang
memberatkan pelaku usaha jasa konstruksi untuk memenuhi targer penyelesaian suatu
proyek sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama haruslah menjadi perhatian
serius pengguna usaha jasa konstruksi.
Dalam pelaksanaan usaha jasa konstruksi pun ditekankan pentingnya asas
proporsionalitas, yaitu asas yang menekankan proses negosiasi kontrak antara pengguna
jasa konstruksi dengan penyedia jasa mengenai akibat hukum serta pelaksanaan
pekerjaan setelah terjadinya keadaan force majeure, dalam negoisasi tersebut jika
tercapai kesepakatan dan terhadap pekerjaan masih dimungkinkan untuk dilaksanakan,
maka kontrak dilanjutkan atau dihentikan sementara (ditunda),
25 Penjelasan Pasal 2 huruf E Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
58
kemudian kesepakatan tersebut dituangkan dalam perubahan kontrak / addendum, jika
pelaksanaannya tidak mungkin dilanjutkan kontrak akan dihentikan26.
Berdasarkan asas proporsionalitas tersebut, segala kerugian akibat force majeure
bisa jadi tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada penyedia jasa dan apa
yang telah dikerjakan penyedia jasa dibayar oleh pengguna jasa. Dengan demikian
klausula force majeure dalam kontrak jasa konstruksi pengguna jasa menjamin
pelaksanaan hak dan mendistribusikan kewajiban penyedia jasa secara proporsional.
Asas-asas tersebut merupakan asas-asas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
yang merupakan bagian dari implementasi teori hermeneutika hukum dalam membacateks
suatu Undang-Undang.
C. Akibat Hukum Force Majeure Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Terhadap Perjanjian Usaha Jasa Konstruksi
Perikatan pada usaha jasa konstruksi merupakan perikatan yang lahir karena
perjanjian. Perjanjian tersebut harus merujuk kepada syarat sah perjanjian yang terdapat
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu harus ada kata sepakat
antara para pihak, para pihak harus cakap hukum, terdapat objek tertentu yang
diperjanjikan, dan klausula halal atau isi perjanjian tidak melanggar undang- undang,
kesusilaan, dan juga ketertiban umum. Pemenuhan empat syarat sah perjanjian ini
memberikan dampak kepada posisi perjanjian dalam usaha jasa konstruksi itu sendiri
dalam pandangan hukum, yaitu setara dengan undang-undang (pacta sunt servanda)27.
Posisi pacta sunt servanda inilah yang mengharuskan seseorang melaksanakan
perjanjian dengan iktikad baik. R. Subekti dan Wirjono Prodjodikoro menyebut iktikad
baik sebagai suatu kejujuran untuk melaksanakan kontrak yang terbagi atas dua hal,
yaitu kejujuran pada saat berlakunya hubungan hukum dan kejujuran pada saat
pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam suatu hubungan hukum28.Posisi
iktikad baik ini juga yang menentukan apakah seseorang benar
26Herman Brahmana Bismar Nasution, Suhaidi, Mahmul Siregar, Eskalasi dan Force Majeure Dalam
Perundang-Undangan Jasa Konstruksi, (USU Law Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), Vol. 3,
No. 2, Agustus 2015, h. 84. 27Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 2012), h. 60.
28Wijono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011), h. 102-107.
59
melakukan wanprestasi atau tidak, termasuk dalam hal menentukan apakah suatu
kondisi dapat dikatakan force majeure atau tidak.
Akibat hukum yang diberikan pun berbeda. Apabila suatu kondisi dinyatakan
sebagai wanprestasi, maka seseorang akan diberikan teguran berupa somasi dan
berlanjut ke persidangan perdata di pengadilan negeri, sedangkan apabila suatu kondisi
tidak terpenuhinya prestasi akibat force majeure, maka pihak yang tidak melaksanakan
prestasi tidak dapat digugat ke pengadilan. Dengan demikian, dalam hal terjadinya
keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalamperjanjian timbal
balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap
gugur/terhapus.
Salim H.S mengemukakan tiga akibat dari keadaan memaksa, yaitu debitur tidak
perlu membayar ganti rugi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1244 KUHPerdata,
kemudian beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara, dan
kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari
kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi29. Ketiga akibat tersebut lebih lanjut
dibedakan menjadi dua macam, yaitu akibat keadaan memaksa absolut yang terdapat
pada akibat hukum dalam butir a dan c, dan akibat hukum keadaan memaksarelatif, yaitu
akibat hukum yang terdapat pada butir b.
Akibat hukum dari force majeure juga disampaikan oleh Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan yang mengatakan bahwa akibat hukum dari keadaan memaksa harus dibedakan
dari sifatnya yang sementara atau tetap. Dalam hal keadaan memaksa sementara, akibat
hukum tidak terpenuhinya prestasi hanya mempunyai daya menangguhkan untuk
sementara waktu dan kewajibannya untuk berprestasi hidup kembali jika faktor yang
menjadikan suatu kondisi keadaan memaksa itu sudah tidak ada lagi, sedangkan akibat
hukum bagi force majeure yang tetap secara otomatis akanmengakhiri untuk selamanya
kontrak tersebut30. Konsekuensi dari perikatan yang batal ialah pemulihan kembali
dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan jika perikatan itu
sudah dilaksanakan, tetapi jika satu pihak sudah mengeluarkan biaya untuk
Melihat akibat hukum ini Proyek Pembangunan /Peningkatan Jalan Poros
Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna Barat masih tetap ada dan berjalan,
namun karena situasi pandemi COVID-19 yang mengurangi daya kerja PT. Aneka
Sukses Reksa Graha yang menjadikan penyelesaian tidak sesuai pada waktu yang
ditentukan, kasus ini masuk pada kategori force majeure relatif karena sempat ada
penundaan pekerjaan karena adanya beberpa kebijakan Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tenggara mengeluarkan Himbauan Nomor 443/4724 tentang PeningkatanPelaksanaan
Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan Penularan Corona Virus Disease – 19
(COVID-19) dan Surat Edaran Nomor 443/1436 tentang Perpanjangan Penerapan
Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara Dengan Menjalankan Tugas Kedinasan Dengan
Bekerja Di Rumah/Tempat Tinggalnya/Work From Home (WFH) Di Lingkungan
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini juga disusul dengan dikeluarkannya
Instruksi Walikota Kendari Nomor 443.1/907/2020 tentang Pengawasan Wilayah
63
Perbatasan Kota Kendari yang meminta masyarakat tidak meninggalkan wilayah kota
Kendari32.
Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan keadaan memaksa ini adalah
debitur atau pihak penyedia jasa konstruksi tidak dapat mengemukakan adanya keadaan
memaksa itu dengan jalan penangkisan (eksepsi), dan berdasarkan jabatan hakim tidak
dapat menolak gugatan yang didasarkan kepada keadaan memaksadimana penyedia jasa
konstruksi memikul beban dan harus membuktikan adanya keadaan memaksa.
Akibat dari adanya force majeure selanjutnya adalah penentuan mengenai pihak
yang menanggung resiko dari adanya peristiwa force majeure tersebut. Dalam Pasal
1237 KUHPerdata dinyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan
suatu kebendaan tertentu, maka sejak perikatan-perikatan dilahirkan, benda tersebut
menjadi tanggungan pihak debitur. Dan jika terjadi force majeure atas kontrak, maka
resikonya ditanggung oleh pihak penerima prestasi. Apabila pihak debitur lalai dalam
memberikan prestasi, maka sejak kelalaiannya tersebut menjadi resiko pihak debitur
untuk menanggung resiko33.
Berdasarkan ketentuan ini, maka yang menjadi pihak penanggung resiko force
majeure dalam usaha jasa konstruksi adalah pihak penyedia jasa konstruksi karena
walaupun tidak ada unsur kesalahan dari penyedia jasa konstruksi, kewajiban memenuhi
prestasi tetap tidak hilang sifatnya. Dalam hal ini, pengguna jasa tidak menanggung
resiko dan tidak menanggung kerugian atas peristiwa itu, kecuali ada kesepakatan lain
antara para pihak dalam perjanjian.
Berdasarkan doktrin para ahli hukum, karena walaupun tidak ada kesalahan dari
penyedia jasa, penyedia jasa tetap menanggung beban kompensasi. Pemberian beban
kompensasi akibat force majeure di masa pandemi COVID-19 ini harus dinilai
berdasarkan kasuistik, yaitu harus menilai berdasarkan objektifikasi keadaan usaha jasa
konstruksi itu sendiri.
Pada dasarnya setiap pelaku usaha jasa konstruksi yang terdampak COVID-19
32https://www.mnctrijaya.com/news/detail/35868/covid-19-meningkat-di-sultra-gubernur-keluarkan- himbauan diakses pada tanggal 5 Maret 2021, pukul 20.18 WITA.
33 Riza Fibriani, Kebijakan Hukum Pembatalan Kontrak Dalam Keadaan Force Majeure Pandemi Covid 19
Di Indonesia, (Humani, Universitas Semarang), Vol. 10, No.2, November 2020, h. 211.