FISIOLOGI MENSTRUASI Pada siklus menstruasi normal, terdapat
produksi hormon-hormon yang paralel dengan pertumbuhan lapisan
rahim untuk mempersiapkan implantasi (perlekatan) dari janin
(proses kehamilan). Gangguan dari siklus menstruasi tersebut dapat
berakibat gangguan kesuburan, abortus berulang, atau keganasan.
Gangguan dari sikluas menstruasi merupakan salah satu alasan
seorang wanita datang ke dokter.Siklus menstruasi normal
berlangsung selama 21 35 hari, 2 8 hari adalah waktu keluarnya
darah haid yang berkisar 20 60 ml per hari. Penelitian menunjukkan
wanita dengan siklus mentruasi normal hanya terdapat pada 2/3
wanita dewasa, sedangkan pada usia reproduksi yang ekstrim (setelah
menarche dan menopause) lebih banyak mengalami siklus yang tidak
teratur atau siklus yang tidak mengandung sel telur. Siklus
mentruasi ini melibatkan kompleks hipotalamus hipofisis
ovarium.Gambar 1. Kompleks Hipotalamus-Hipofisis-Ovarium
Siklus Menstruasi NormalSikuls menstruasi normal dapat dibagi
menjadi 2 segmen yaitu, siklus ovarium (indung telur) dan siklus
uterus (rahim). Siklus indung telur terbagi lagi menjadi 2 bagian,
yaitu siklus folikular dan siklus luteal, sedangkan siklus uterus
dibagi menjadi masa proliferasi (pertumbuhan) dan masa sekresi.
Perubahan di dalam rahim merupakan respon terhadap perubahan
hormonal. Rahim terdiri dari 3 lapisan yaitu perimetrium (lapisan
terluar rahim), miometrium (lapisan otot rehim, terletak di bagian
tengah), dan endometrium (lapisan terdalam rahim). Endometrium
adalah lapisan yangn berperan di dalam siklus menstruasi. 2/3
bagian endometrium disebut desidua fungsionalis yang terdiri dari
kelenjar, dan 1/3 bagian terdalamnya disebut sebagai desidua
basalis.
Sistem hormonal yang mempengaruhi siklus menstruasi adalah:1.
FSH-RH (follicle stimulating hormone releasing hormone) yang
dikeluarkan hipotalamus untuk merangsang hipofisis mengeluarkan
FSH2. LH-RH (luteinizing hormone releasing hormone) yang
dikeluarkan hipotalamus untuk merangsang hipofisis mengeluarkan
LH3. PIH (prolactine inhibiting hormone) yang menghambat hipofisis
untuk mengeluarkan prolaktin
Gambar 2. Siklus Hormonal
Pada setiap siklus menstruasi, FSH yang dikeluarkan oleh
hipofisis merangsang perkembangan folikel-folikel di dalam ovarium
(indung telur). Pada umumnya hanya 1 folikel yang terangsang namun
dapat perkembangan dapat menjadi lebih dari 1, dan folikel tersebut
berkembang menjadi folikel de graaf yang membuat estrogen. Estrogen
ini menekan produksi FSH, sehingga hipofisis mengeluarkan hormon
yang kedua yaitu LH. Produksi hormon LH maupun FSH berada di bawah
pengaruh releasing hormones yang disalurkan hipotalamus ke
hipofisis. Penyaluran RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik
estrogen terhadap hipotalamus. Produksi hormon gonadotropin (FSH
dan LH) yang baik akan menyebabkan pematangan dari folikel de graaf
yang mengandung estrogen.
Estrogen mempengaruhi pertumbuhan dari endometrium. Di bawah
pengaruh LH, folikel de graaf menjadi matang sampai terjadi
ovulasi. Setelah ovulasi terjadi, dibentuklah korpus rubrum yang
akan menjadi korpus luteum, di bawah pengaruh hormon LH dan LTH
(luteotrophic hormones, suatu hormon gonadotropik). Korpus luteum
menghasilkan progesteron yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
kelenjar endometrium. Bila tidak ada pembuahan maka korpus luteum
berdegenerasi dan mengakibatkan penurunan kadar estrogen dan
progesteron. Penurunan kadar hormon ini menyebabkan degenerasi,
perdarahan, dan pelepasan dari endometrium. Proses ini disebut haid
atau menstruasi. Apabila terdapat pembuahan dalam masa ovulasi,
maka korpus luteum tersebut dipertahankan.
Pada tiap siklus dikenal 3 masa utama yaitu:1. Masa menstruasi
yang berlangsung selama 2-8 hari. Pada saat itu endometrium
(selaput rahim) dilepaskan sehingga timbul perdarahan dan
hormon-hormon ovarium berada dalam kadar paling rendah2. Masa
proliferasi dari berhenti darah menstruasi sampai hari ke-14.
Setelah menstruasi berakhir, dimulailah fase proliferasi dimana
terjadi pertumbuhan dari desidua fungsionalis untuk mempersiapkan
rahim untuk perlekatan janin. Pada fase ini endometrium tumbuh
kembali. Antara hari ke-12 sampai 14 dapat terjadi pelepasan sel
telur dari indung telur (disebut ovulasi)3. Masa sekresi. Masa
sekresi adalah masa sesudah terjadinya ovulasi. Hormon progesteron
dikeluarkan dan mempengaruhi pertumbuhan endometrium untuk membuat
kondisi rahim siap untuk implantasi (perlekatan janin ke rahim)
Siklus ovarium :1. Fase folikular. Pada fase ini hormon
reproduksi bekerja mematangkan sel telur yang berasal dari 1
folikel kemudian matang pada pertengahan siklus dan siap untuk
proses ovulasi (pengeluaran sel telur dari indung telur). Waktu
rata-rata fase folikular pada manusia berkisar 10-14 hari, dan
variabilitasnya mempengaruhi panjang siklus menstruasi
keseluruhan2. Fase luteal. Fase luteal adalah fase dari ovulasi
hingga menstruasi dengan jangka waktu rata-rata 14 hari
Siklus hormonal dan hubungannya dengan siklus ovarium serta
uterus di dalam siklus menstruasi normal:1. Setiap permulaan siklus
menstruasi, kadar hormon gonadotropin (FSH, LH) berada pada level
yang rendah dan sudah menurun sejak akhir dari fase luteal siklus
sebelumnya2. Hormon FSH dari hipotalamus perlahan mengalami
peningkatan setelah akhir dari korpus luteum dan pertumbuhan
folikel dimulai pada fase folikular. Hal ini merupakan pemicu untuk
pertumbuhan lapisan endometrium3. Peningkatan level estrogen
menyebabkan feedback negatif pada pengeluaran FSH hipofisis. Hormon
LH kemudian menurun sebagai akibat dari peningkatan level
estradiol, tetapi pada akhir dari fase folikular level hormon LH
meningkat drastis (respon bifasik)4. Pada akhir fase folikular,
hormon FSH merangsang reseptor (penerima) hormon LH yang terdapat
pada sel granulosa, dan dengan rangsangan dari hormon LH, keluarlah
hormon progesteron5. Setelah perangsangan oleh hormon estrogen,
hipofisis LH terpicu yang menyebabkan terjadinya ovulasi yang
muncul 24-36 jam kemudian. Ovulasi adalah penanda fase transisi
dari fase proliferasi ke sekresi, dari folikular ke luteal6. Kedar
estrogen menurun pada awal fase luteal dari sesaat sebelum ovulasi
sampai fase pertengahan, dan kemudian meningkat kembali karena
sekresi dari korpus luteum7. Progesteron meningkat setelah ovulasi
dan dapat merupakan penanda bahwa sudah terjadi ovulasi8. Kedua
hormon estrogen dan progesteron meningkat selama masa hidup korpus
luteum dan kemuadian menurun untuk mempersiapkan siklus
berikutnya
a. Fase Proliferasi Dinamakan juga fase folikuler, yaitu suatu
fase yang menunjukan waktu (masa) ketika ovarium beraktivitas
membentuk dan mematangkan folikel-folikelnya serta uterus
beraktivitas menumbuhkan lapisan endometriumnya yang mulai pulih
dan dibentuk pada fase regenerasi atau pascahaid.
Pada siklus haid klasik, fase proliferasi berlangsung setelah
perdarahan haid berakhir, dimulai pada hari ke-5 sampai 14
(terjadinya proses evolusi). Fase proliferasi ini berguna untuk
menumbuhkan lapisan endometrium uteri agar siap menerima sel ovum
yang telah dibuahi oleh sel sperma, sebagai persiapan terhadap
terjadinya proses kehamilan.
Pada fase ini terjasi pematangan folikel-folikel di dalam
ovarium akibat pengaruh aktivitas hormone FSH yang merangsang
folikel-folikel tersebut untuk menyintesis hormone estrogen dalam
jumlah yang banyak. Peningkatan pembentukan dan pengaruh dari
aktivitas hormone FSH pada fase ini juga mengakibatkan terbentuknya
banyak reseptor hormone LH dilapisan sel-sel granulose dan cairan
folikel-folikel dalam ovarium. Pembentukan hormone estrogen yang
terus meningkat tersebutsampai kira-kira pada hari ke-13 siklus
haid (menjelang terjadinya proses ovulasi)akan mengakibatkan
terjadinya pengeluaran hormone LH yang banyak sebagai manifestasi
umpan balik positif dari hormone estrogen (positive feed back
mechanism) terhadap adenohipofisis.
Pada saat mendekati masa terjadinya proses ovulasi, terjadi
peningkatan kadar hormone LH di dalam serum dan cairan
folikel-folikel ovarium yang akan memacu ovarium untuk mematangkan
folikel-folikel yang dihasilkan di dalamnya sehingga sebagian besar
folikel di ovarium diharapkan mengalami pematangan (folikel de
Graaf). Disamping itu, akan terjadi perubahan penting lainnya,
yaitu peningkatan konsentrasi hormone estrogen secara
perlahan-lahan, kemudian melonjak tinggi secara tiba-tiba pada hari
ke-14 siklus haid klasik (pada akhir fase proliferasi), biasanya
terjadi sekitar 16-20 jam sebelum pecahnya folikel de Graaf,
diikuti peningkatan dan pengeluaran hormone LH dari adenohipofisis,
perangsangan peningkatan kadar hormone progesterone, dan
peningkatan suhu basal badan sekitar 0,5C. Adanya peningkatan
pengeluaran kadar hormone LH yang mencapai puncaknya (LH-Surge),
estrogen dan progesterone menjelang terjadinya proses tersebut di
ovarium pada hari ke-14 siklus haid.
Di sisi lain, aktivitas hormone estrogen yang terbentuk pada
fase proliferasi tersebut dapat mempengaruhi tersimpannya
enzim-enzim dalam lapisan endometrium uteri serta merangsang
pembentukan glikogen dan asam-asam mukopolisakarida pada lapisan
tersebut. Zat-zat ini akan turut serta dalam pembentukan dan
pembangunan lapisan endometrium uteri, khususnya pembentukan stroma
di bagian yang lebih dalam dari lapisan endometrium uteri. Pada
saat yang bersamaan terjadi pembentukan system vaskularisasi ke
dalam lapisan fungsional endometrium uteri.
Selama fase prolferasi dan terjadinya proses ovulasidi bawah
pengaruh hormone estrogenterjadi pengeluaran getah atau lendir dari
dinding serviks uteri dan vagina yang lebih encer dan bening. Pada
saat ovulasi getah tersebut mengalami penurunan konsentrasi protein
(terutama albumin), sedangkan air dan musin (pelumas) bertambah
berangsur-angsur sehingga menyebabkan terjadinya penurunan
viskositas dari getah yang dikeluarkan dari serviks uteri dan
vaginanya tersebut. Peristiwa ini diikuti dengan terjadinya
proses-proses lainnya di dalam vagina, seperti peningkatan produksi
asam laktat dan menurunkan nilai pH (derajat keasaman), yang akan
memperkecil resiko terjadinya infeksi di dalam vagina. Banyaknya
getah yang dikeluarkan dari daerah serviks uteri dan vagina
tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya kelainan yang disebut
keputihan karena pada flora normal di dalam vagina juga terdapat
microorganisme yang bersifat pathogen potensial. Sebaliknya,
sesudah terjadinya proses ovulasi (pada awal fase luteal)di bawah
pengaruh hormone progesteronegetah atau lendir yang dikeluarkan
dari serviks uteri dan vagina menjadi lebih kental dan keruh.
Setelah terjadinya proses ovulasi, getah tersebut mengalami
perubahan kembali dengan peningkatan konsentrasi protein, sedangkan
air dan musinnya berkurang berangsur-angsur sehingga menyebabkan
terjadinya peningkatan viskositas dan pengentalan dari getah yang
dikeluarkan dari serviks uteri dan vaginanya. Dengan kata lain,
pada fase ini merupakan masa kesuburan wanita.
b. Fase Luteal Dinamakan juga fase sekresi atau fase prahaid,
yaitu suatu fase yang menunjukan waktu (masa) ketika ovarium
beraktivitas membentuk korpus luteum dari sisa-sisa folikel
matangnya (folikel de Graaf) yang sudah mengeluarkan sel ovumnya
pada saat terjadinya ovulasi dan menghasilkan hormone progesterone
yang akan digunakan sebagai penunjang lapisan endometrium uteri
untuk bersiap-siap menerima hasil konsepsi (jika terjadi kehamilan)
atau melakukan proses deskuamasi dan penghambatan masuknya sel
sperma (jika tidak terjadi kehamilan). Pada hari ke-14 (setelah
terjadinya proses ovulasi) sampai hari ke-28, berlangsung fase
luteal. Pada fase ini mempunyai ciri khas tertentu, yaitu
terbentuknya korpus luteum ovarium serta perubahan bentuk (menjadi
memanjang dan berkelok-kelok) dan fungsi dari kelenjar-kelenjar di
lapisan endometrium uteri akibat pengaruh dari peningkatan hormone
LH yang diikuti oleh pengeluaran hormone progesterone. Adanya
pengaruh aktivitas hormone progesterone dapat menyebabkan
terjadinya perubahan sekretorik, terutama pada lapisan endometrium
uteri. Pengaruh aktivitas hormone progesterone selama fase luteal
dapat meningkatkan konsentrasi getah serviks uteri menjadi lebih
kental dan membentuk jala-jala tebal di uterus sehingga akan
menghambat proses masuknya sel sperma ke dalam uterus. Bersamaan
dengan hal ini, hormone progesterone akan mempersempit daerah
porsio dan serviks uteri sehingga pengaruh aktivitas hormone
progesterone yang lebih lama, akan menyebabkan degenerasi dari
lapisan endometrium uteri dan tidak memungkinkan terjadinya proses
nidasi dari hasil konsepsi ke dinding uterusnya.
Peningkatan produksi hormone progesterone yang telah dimulai
sejak akhir fase folikuler akan terus berlanjut sampai akhir fase
folikuler akan terus berlanjut sampai akhir fase luteal. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan aktivitas hormone estrogen dalam
menyintesis reseptor-reseptornya (reseptor hormone LH dan
progesterone) di ovarium dan terjadinya perubahan sintesis
hormon-hormon seks steroid (hormone estrogen menjadi hormone
progesterone) di dalam sel-sel granulose ovarium. Perubahan ini
secara normal mencapai puncaknya pada hari ke-22 siklus haid klasik
karena pada masa ini pengaruh hormone progesterone terhadap lapisan
endometrium uteri paling jelas terlihat. Jika proses nidasi
tersebut tidak terjadi, hormone estrogen dan progesterone akan
menghambat sintesis dan aktivitas hormone FSH dan LH di
adenohipofisis sehingga membuat korpus luteum menjadi tidak dapat
tumbuh dan berkembang kembali, bahkan mengalami penyusutan dan
selanjutnya menghilang. Di sisi lain, pada masa menjelang
terjadinya perdarahan haid, pengaruh aktivitas hormone progesterone
tersebut juga akan menyebabkan terjadinya penyempitan
pembuluh-pembuluh darah yang diikuti dengan dengan terjadinya
ischemia dan nekrosis pada sel-sel dan jaringan endometrium
uterinya sehingga memungkinkan terjadinya proses deskuamasi lapisan
endometrium uteri yang disertai dengan terjadinya perdarahan dari
daerah tersebut yang dikeluarkan melalui vagina. Akhirnya,
bermanifestasi sebagai perdarahan haid.
Pada saat setelah terjadinya proses ovulasi di ovarium, sel-sel
granulosa ovarium akan berubah menjadi sel-sel luteal ovarium, yang
berperan dalam peningkatan pengeluaran hormon progesteron selama
fase luteal siklus haid. Faktanya menunjukan bahwa salah satu peran
dari hormon progesteron adalah sebagai pendukung utama terjadinya
proses kehamilan. Apabila proses kehamilan tersebut tidak terjadi,
peningkatan hormon progesteron yang terjadi tersebut akan mengikuti
terjadinya penurunan hormon LH dan secara langsung hormon
progesteron (bersama dengan hormon estrogen) akan melakukan
penghambatan terhadap pengeluaran hormon FSH, LH, dan LHRH, yang
derajat hambatannya bergantung pada konsentrasi dan lamanya
pengaruh hormon progesteron tersebut. Kemudian melalui mekamisme
ini secara otomatis hormon-hormon progesteron dan estrogen juga
akan menurunkan pengeluaran hormon LH, FSH, dan LHRH tersebut
sehingga proses sintesis dan sekresinya dari ketiga hormon
hipofisis tersebut, yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan
folikel-folikel dan proses ovulasi di ovarium selama fase luteal,
akan berkurang atau berhenti, dan akan menghambat juga perkembangan
dari korpus luteum. Pada saat bersamaan, setelah terjadinya proses
ovulasi, kadar hormon estrogen mengalami penurunan. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya puncak peningkatan kadar hormon LH dan
aktivitasnya yang terbentuk ketika proses ovulasi terjadi dan
berakibat terjadi proliferasi dari sel-sel granulosa ovarium, yang
secara langsung akan menghambat dan menurunkan proses sintesis
hormon estrogen dan FSH serta meningkatkan pembentukan hormon
progesteron di ovarium.
Di akhir fase luteal, terjadi penurunan reseptor-reseptor dan
aktivitas hormon LH di ovarium secara berangsur-angsur, yang
diikuti penurunan proses sintesis hormon-hormon FSH dan estrogen
yang telah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, pada masa akhir
fase luteal akan terjadi pembentukan kembali hormon FSH dan
estrogen dengan aktivitas-aktivitasnya di ovarium dan uterus.
Beberapa proses lainnya yang terjadi pada awal sampai
pertengahan fase luteal adalah terhentinya proses sintesis
enzim-enzim dan zat mukopolisakarida yang telah berjalan sebelumnya
sejak masa awal fase proliferasi. Akibatnya, terjadi peningkatan
permeabilitas (kebocoran) dari pembuluh-pembuluh darah di lapisan
endometrium uteri yang sudah berkembang sejak awal fase proliferasi
dan banyak zat-zat makanan yang terkandung di dalamnya mengalir
menembus langsung stroma dari lapisannya tersebut.
Proses tersebut dijadikan sebagai persiapan lapisan endometrium
uteri untuk melakukan proses nidasi terhadap hasil konsepsi yang
terbentuk jika terjadi proses kehamilan. Jika tidak terjadi proses
kehamilan, enzim-enzim dan zat mukopolisakarida tersebut akan
dilepaskan dari lapisan endometrium uteri sehingga proses nekrosis
dari sel-sel dan jaringan pembuluh-pembuluh darah pada lapisan
tersebut. Hal itu menimbulkan gangguan dalam proses terjadinya
metabolisme sel dan jaringannya sehingga terjadi proses regresi
atau deskuamasi pada lapisan tersebut dan disertai perdarahan.
Pada saat yang bersamaan, peningkatan pengeluaran dan pengaruh
hormon progesteron (bersama dengan hormon estrogen) pada akhir fase
luteal akan menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh-pembuluh
darah di lapisan endometrium uteri, yang kemudian dapat menimbulkan
terjadinya proses ischemia di lapisan tersebut sehingga akan
menghentikan proses metabolisme pada sel dan jaringannya.
Akibatnya, terjadi regresi atau deskuamasi pada lapisan tersebut
disertai perdarahan. Perdarahan yang terjadi ini merupakan
manifestasi dari terjadinya perdarahan haid.
c. Fase Menstruasi Dinamakan juga fase deskuamasi atau fase
haid, yaitu suatu fase yang menunjukan waktu (masa) terjadinya
proses deskuamasi pada lapisan endometrium uteri disertai
pengeluaran darah dari dalam uterus dan dikeluarkan melalui vagina.
Pada akhir fase luteal terjadi peningkatan hormon estrogen yang
dapat kembali menyebabkan perubahan sekretorik pada dinding uterus
dan vagina, berupa peningkatan produksi dan penurunan konsentrasi
getah yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vagina serta
peningkatan konsentrasi glikogen dalam serviks uteri dan vagina.
Hal ini memungkinkan kembali terjadinya proses peningkatan
pengeluaran getah yang lebih banyak dari serviks uteri dan
vaginanya serta keputihan.
Pada saat akhir fase luteal, peningkatan kadar dan aktivitas
hormon estrogen yang terbentuk kembali masih belum banyak sehingga
terjadinya proses-proses perangsangan produksi asam laktat oleh
bakteri-bakteri flora normal dan penurunan nilai derajat keasaman,
yang diharapkan dapat menurunkan resiko terjadinya infeksi di dalam
vagina menjadi tidak optimal, dan ditambah penumpukan getah yang
sebagian besar masih dalam keadaan mengental. Oleh karena itu, pada
saat menjelang proses perdarahan haid tersebut, daerah vagina
menjadi sangat beresiko terhadap terjadinya penularan penyakit
(infeksi) melalui hubungan persetubuhan (koitus).
Terjadinya pengeluaran getah dari serviks uteri dan vagina
tersebut sering bercampur dengan pengeluaran beberapa tetesan darah
yang sudah mulai keluar menjelang terjadinya proses perdarahan haid
dari dalam uterus dan menyebabkan terlihatnya cairan berwarna
kuning dan keruh, yang keluar dari vaginanya. Sel-sel darah merah
yang telah rusak dan terkandung dari cairan yang keluar tersebut
akan menyebabkan sifat bakteri-bakteri flora normal yang ada di
dalam vagina menjadi bersifat infeksius (patogen potensial) dan
memudahkannya untuk berkembang biak dengan pesat di dalam vagina.
Bakteri-bakteri infeksius yang terkandung dalam getah tersebut,
kemudian dikeluarkan bersamaan dengan pengeluaran jaringan dari
lapisan endometrium uteri yang mengalami proses regresi atau
deskuamasi dalam bentuk perdarahan haid atau dalam bentuk keputihan
yang keluar mendahului menjelang terjadinya haid.
Pada saat bersamaan, lapisan endometrium uteri mengalami
iskhemia dan nekrosis, akibat terjadinya gangguan metabolisme sel
atau jaringannya, yang disebabkan terhambatnya sirkulasi dari
pembuluh-pembuluh darah yang memperdarahi lapisan tersebut akibat
dari pengaruh hormonal, ditambah dengan penonjolan aktivasi kinerja
dari prostaglandin F2(PGF2) yang timbul akibat terjadinya gangguan
keseimbangan antara prostaglandin E2(PGE2) dan F2 (PGF2) dengan
prostasiklin (PGI2), yang disintesis oleh sel-sel endometrium uteri
(yang telah mengalami luteinisasi sebelumnya akibat pengaruh dari
homogen progesteroon). Semua hal itu akan menjadikan lapisan
edometrium uteri mengalami nekrosis berat dan sangat memungkinkan
untuk mengalami proses deskuamasi.
Pada fase menstruasi ini juga terjadi penyusutan dan lenyapnya
korpus luteum ovarium (tempat menetapnya reseptor-reseptor serta
terjadinya proses pembentukan dan pengeluaran hormon progesteron
dan LH selama fase luteal).
d. Fase Regenerasi Dinamakan juga fase pascahaid, yaitu suatu
fase yang menunjukan waktu (masa) terjadinya proses awal pemulihan
dan pembentukan kembali lapisan endometrium uteri setelah mengalami
proses deskuamasi sebelumnya. Bersamaan dengan proses regresi atau
deskuamasi dan perdarahan haid pada fase menstruasi tersebut,
lapisan endometrium uteri juga melepaskan hormon prostaglandin E2
dan F2, yang akan mengakibatkan berkontraksinya lapisan mimometrium
uteri sehingga banyak pembuluh darah yang terkandung di dalamnya
mengalami vasokontriksi, akhirnya akan membatasi terjadinya proses
perdarahan haid yang sedang berlangsung.
Di sisi lain, proses penghentian perdarahan haid ini juga
didukung oleh pengaktifan kembali pembentukan dan pengeluaran
hormon FSH dan estrogen sehingga memungkinkan kembali terjadinya
pemacuan proses proliferasi lapisan endometrium uteri dan
memperkuat kontraksi otot-otot uterusnya. Hal ini secara umum
disebabkan oleh penurunan efek hambatan terhadap aktivitas
adenohipofisis dan hipotalamus yang dihasilkan dari hormon
progesteron dan LH (yang telah terjadi pada fase luteal), saat
terjadinya perdarahan haid pada fase menstruasi sehingga terjadi
pengaktifan kembali dari hormon-hormon LHRH, FSH, dan estrogen.
Kemudian bersamaan dengan terjadinya proses penghentian perdarahan
haid ini, dimulailah kembali fase regenerasi dari siklus haid
tersebut
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus,
disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Sekarang diketahui
bahwa dalam proses ovulasi, yang memegang peranan penting adalah
hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium
(hypothalamic-pituitary-ovarium axis). Menurut teori neurohumoral
yang dianut sekarang, hipotalamus mengawasi sekresi hormon
gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sekresi neurohormon yang
disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat sirkulasi portal yang
khusus. Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi
dan disebut Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat
merangsang pelepasan Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle
Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis (Speroff, Glass and
Kase,1994; Scherzer and McClamrock, 1996; Wiknjosastro, Saifuddin
dan Rachimhadhi, 1999).
Penyelidikan pada hewan menunjukkan bahwa pada hipotalamus
terdapat dua pusat, yaitu pusat tonik dibagian belakang hipotalamus
di daerah nukleus arkuatus, dan pusat siklik di bagian depan
hipotalamus di daerah suprakiasmatik. Pusat siklik mengawasi
lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus haid yang
menyebabkan terjadinya ovulasi. Mekanisme kerjanya juga belum jelas
benar (Wiknjosastro, Saifuddin dan Rachimhadhi, 1999).
Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya
atas dua fase dan satu saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi,
dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar hormon sepanjang siklus
haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon
steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik
negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan
umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan balik positif
jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik terhadap hormon
gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus (Speroff, Glass and
Kase,1994; Scherzer and McClamrock, 1996; Wiknjosastro, Saifuddin
dan Rachimhadhi, 1999).
Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular dini,
beberapa folikel berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat.
Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi korpus luteum,
sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel,
produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel
yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia,
sedangkan folikel-folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH
juga meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya membantu
pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang cepat
pada fase folikel akhir ketika FSH mulai menurun, menunjukkan bahwa
folikel yang telah masak itu bertambah peka terhadap FSH.
Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen dalam plasma
jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara
berangsur-angsur, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini
memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan dengan
lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus, mengakibatkan
terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam
dan menurun pada fase luteal. Mekanisme turunnya LH tersebut belum
jelas. Dalam beberapa jam setelah LH meningkat, estrogen menurun
dan mungkin inilah yang menyebabkan LH itu menurun. Menurunnya
estrogen mungkin disebabkan oleh perubahan morfologik pada folikel.
Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh umpan balik negatif
yang pendek dari LH terhadap hipotalamus. Lonjakan LH yang cukup
saja tidak menjamin terjadinya ovulasi; folikel hendaknya pada
tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang untuk berovulasi.
Pecahnya folikel terjadi 16 24 jam setelah lonjakan LH. Pada
manusia biasanya hanya satu folikel yang matang. Mekanisme
terjadinya ovulasi agaknya bukan oleh karena meningkatnya tekanan
dalam folikel, tetapi oleh perubahan-perubahan degeneratif kolagen
pada dinding folikel, sehingga ia menjadi tipis. Mungkin juga
prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu (Speroff,
Glass and Kase,1994; Scherzer and McClamrock, 1996; Wiknjosastro,
Saifuddin dan Rachimhadhi, 1999).
Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar,
membentuk vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel
menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam lapisan granulosa juga
bertambah dan mencapai puncaknya pada 89 hari setelah ovulasi.4
Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat
progesteron banyak, dan luteinized theca cell membuat pula estrogen
yang banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat tinggi pada fase
luteal. Mulai 1012 hari setelah ovulasi, korpus luteum mengalami
regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya
kapiler-kapiler dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan
estrogen. Masa hidup korpus luteum pada manusia tidak bergantung
pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia berfungsi sendiri
(autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya
korpus luteum, diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis
pada ovarium tidak mungkin tanpa LH. Mekanisme degenerasi korpus
luteum jika tidak terjadi kehamilan belum diketahui. Empat belas
hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada siklus haid normal umumnya
terjadi variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh variasi
dalam fase folikular (Wiknjosastro, Saifuddin dan Rachimhadhi,
1999).
Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya
rangsangan dari Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dibuat
oleh sinsisiotrofoblas. Rangsangan ini dimulai pada puncak
perkembangan korpus luteum (8 hari pasca ovulasi), waktu yang tepat
untuk mencegah terjadinya regresi luteal. HCG memelihara
steroidogenesis pada korpus luteum hingga 910 minggu kehamilan.
Kemudian, fungsi itu diambil alih oleh plasenta.4 Dari uraian di
atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari
perubahan-perubahan kadar estrogen, pada permulaan siklus haid
meningkatnya FSH disebabkan oleh menurunnya estrogen pada fase
luteal sebelumnya. Berhasilnya perkembangan folikel tanpa
terjadinya atresia tergantung pada cukupnya produksi estrogen oleh
folikel yang berkembang. Ovulasi terjadi oleh cepatnya estrogen
meningkat pada pertengahan siklus yang menyebabkan lonjakan LH.
Hidupnya korpus luteum tergantung pula pada kadar minimum LH yang
terus-menerus. Jadi, hubungan antara folikel dan hipotalamus
bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan
berupa umpan balik positif atau negatif. Segala keadaan yang
menghambat produksi estrogen dengan sendirinya akan mempengaruhi
siklus reproduksi yang normal (Wiknjosastro, Saifuddin dan
Rachimhadhi, 1999).
DAFTAR PUSTAKAAlbar, Erdjan. 2007. Ilmu Kandungan Kontrasepsi.
Edisi kedua Cetakan Kelima. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Halaman 535-575Anonim. 2006. Implantasi sel Atipik
pada Abortus Spontan.
klinikmedis.com/archive/artikel/implantasi%20sel%20atipik%20pada%20abortus%20spontan.Anonim.
2007. Kehamilan Di Luar Kandungan.
cakmoki86.files.wordpress.com/2007/02/hamildiluarkandungan.pdfBaltzer,
F.R., et al. 1983. Landmarks during the first forty-two days of
gestation demonstrated by the B-sub-unit of human chorionic
gonadotropin and ultrasound. Am. J. Obstet. Gynecol.
146(8):973-979Datu, Abd. Razak. 2005. Cacat Lahir Disebabkan Oleh
Faktor Lingkungan.
med.unhas.ac.id/DataJurnal/tahun2005vol26/Vol26No.3ok/TP-4-3-%20Razak%20datu%20ok.pdfGranger
K, Pattison N. 1994. Vaginal Bleeding In Pregnancy J. Obstetri dan
Gynekologi. 20:14-16Hartanto, Hanafi. 1994. Keluarga Berencana dan
Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar HarapanMansjoer,A., dkk, 2005.
Kapita Selekta Kedokteran .Edisi ketiga Jilid 1 Cetakan Keenam.,
Jakarta : Media Aesculapius Fakultas kedokteran UI. Hal 261,
265-266, 375-376, 379.Moore, K. L. 1993. The Developing Human:
Clinically Oriented Embryology, 5th ed. Philadelphia: WB
SaundersNardho, Gunawan. 1991. Kebijaksanaan Dep.Kes. RI, dalam
upaya menurunkan kematian maternal. Simposium Kemajuan Pelayanan
Obstetri I. Semarang Penerbit UNDIP : 1-4Prawirohardjo, S.
&Wiknjosastro, H.. 2007. Ilmu Kandungan Mola Hidatidosa. Edisi
kedua Cetakan Kelima. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
PrawirohardjoScherzer WJ, McClamrock H. 1996. Amenorrhea. In: Berek
JS, Adashi EY, Hillard PA. Novaks gynecology. 12 th edition.
Baltimore: Williams & Wilkins : 820-832Sibuea, Daulat. 1992.
Penanganan Kasus Perdarahan Hamil Muda.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/20_PenangananKasusPerdarahanHamilMuda.pdf/20_PenangananKasusPerdarahanHamilMuda.htmlSoejoenoes,
A.& Wibowo, B. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Halaman 275-280, 303-308Speroff, L.,
et al. 1994. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility.
Baltimore: Williams and WilkinsSperoff L, Glass RH, Kase NG.
1994.Clinical gynecologic endocrynologi and infertility. Baltimore:
Williams & Wilkins : 401-456 Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T. 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo : 203-223Yuliatun, Laily. 2007. Hyperemesis
Gravidarum. nursingeducate.com/artikel/morningsickness.pdf
PMS (PRE MENSTRUASI SYNDROME)1. PENGERTIANPMS merupakan sejumlah
perubahan mental maupun fisik yang terjadi antara hari ke-2 sampai
hari ke-4 sebelum menstruasi dan segera mereda setelah menstruasi
selesai
2. PENYEBABa.Sekresi estrogen yang abnormalb.Kelebihan atau
defisiensi progesteronec.Kelebihan atau defisiensi kortisol,
sndrogen, atau prolaktind.Kelebihan hormone anti
dieresise.Kelebihan atau defisiensi prostaglandin
3. GEJALAa.Gejala psikologis yang khas, iritabilitas agresi,
ketegangan, depresi, mood berubah-ubah, perasaan lepas kendali,
emosi yang labilb.Rasa malas dan mudah lelahc.Nafsu makan
meningkat, BB bertambah karena tubuh menyimpan air dalam jumlah
yang banyakd.Gejala fisik yang sering adalah pembengkakan dan nyeri
pada payudara, dismenorrhoe (kram perut), sakit kepala, sakit
pinggang, pegal-pegal, pingsane.Paling sering menyebabkan distress
adalah gejala psikologis
4. PATOFISIOLOGIPenyebab sindrom premanstruasi ini belum
diketahui sebabnya, tetapi beberapa teori menunjukkan adanya
kelebihan estrogen atau deficit progesterone dalam fase luteal dari
siklus menstruasi. Teori lain mengatakan bahwa hormone yang tidak
teridentifikasi meyebabkan gejala pada waktu terjadi perubahan
menstruasi. Teori lainnya menunjuk pada aktivitas betaendorfin,
defisiensi serotonin, henti progesterone, retensi cairan, kenaikan
kadar prolaktin, metabolism prostaglandin abnormal, dan gangguan
aksis hipotalamik-pituitari-ovarium sebagai penyebabnya
5. PENATALAKSANAANa.Diet harian. Makan makanan dalam porsi
kecil, batasi konsumsi gula, garam, alcohol, nikotin. Pemberian
vitamin B6, Calsium, Magnesium. Melakukan olahraga dan aktivitas
lainnyab.Obat.Pil kontrasepsi oral atau progesterone misalnya
medroksi progesteron asetatNSAID, misalnya aspirin, naproksen,
indometasin, asam mefenamatProgesterone, dengan injeksi
6. ASUHAN KEPERAWATANa.PengkajianPerawat harus menjalin hubungan
saling percaya dengan pasien sambil mengumpulkan riwayat kesehatan,
mencatat kapan gejala mulai dan sifat serta intensitasnya.Perawat
kemudian dapat menentukan apakah awitan gejala terjadi sebelum atau
segera setelah aliran menstrual dimulai. Selain itu, perawat dapat
menunjukkan pada pasien cara untuk mengembangkan pencatatan tentang
waktu dan intensitas gejala. Untuk dapat bermanfaat, catatan harus
dipertahankan selama sedikitnya tiga siklus.Riwayat nutrisi juga
dikumpulkan untuk menentukan apakah diet mengandung tinggi garam
atau kafein atau diet nutrient esensial dan masukan
alcoholb.Diagnose keperawatan Ansietas berhubungan dengan efek PMS
Koping tidak efektif baik pada pasien maupun keluarga berhubungan
dengan efek PMS Kurang pengetahuan tentang penyebab dan
penatalaksanaan
B.AMENORRHOE1. PENGERTIANAmenorrhea adalah suatu keadaan tidak
adanya haid, selama 3 bulan atau lebih. Amenorrhea adalah tidak ada
atau terhentinya haid secara abnormal
2. PENYEBABa.Hymen imperforate, yaitu selaput dara tidak
berlubang sehingga darah menstruasi terhambat untuk keluar. Keluhan
pada kejadian ini biasanya mengeluh sakit perut tiap bulan. Hal ini
bisa diatasi dengan operasib.Menstruasi anovulatiore, yaitu
rangsangan hormon-hormon yang tidak mencukupi untuk membentuk
lapisan dinding rahim sehingga tidak terjadi haid/hanya sedikit.
Pengobatannya dengan terapi hormonec.Amenorrhoe sekunder, yaitu
biasanya pada wanita yang pernah menstruasi sebelumnya. Penyebab
amenorrhoe sekunder ini karena hipotensi, anemia, infeksi atau
kelemahan kondisi tubuh secara umum, stress psikologis.
3. TANDA DAN GEJALATanda dan gejala yang muncul
diantaranya:a.Tidak terjadi haidb.Produksi hormone estrogen dan
progesterone menurun.c.Nyeri kepalad.Lemah badan
4. PATOFISIOLOGIDisfungsi hipofise. Terjadi gangguan pada
hipofise anterior, gangguan dapat berupa tumor yang bersifat
mendesak ataupun menghasilkan hormone yang membuat menjadi
terganggu.Kelainan kompartemen IV (lingkungan). Gangguan pada
pasien ini disebabkan oleh gangguan mental yang secara tidak
langsung menyebabkan terjadinya pelepasan neurotransmitter seperti
serotonin yang dapat menghambat pelepasan gonadrotropin.Kelainan
ovarium dapat menyebabkan amenorrhea primer maupun sekuder.
Amenorrhea primer mengalami kelainan perkembangan ovarium ( gonadal
disgenesis ). Kegagalan ovarium premature dapat disebabkan kelainan
genetic dengan peningkatan kematian folikel, dapat juga merupakan
proses autoimun dimana folikel dihancurkan.Melakukan kegiatan yang
berlebih dapat menimbulkan amenorrhea dimana dibutuhkan kalori yang
banyaksehingga cadangan kolesterol tubuh habis dan bahan untuk
pembentukan hormone steroid seksual ( estrogen dan progesterone )
tidak tercukupi. Pada keadaaan tersebut juga terjadi pemecahan
estrogen berlebih untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar dan
terjadilah defisiensi estrogen dan progesterone yang memicu
terjadinya amenorrhea. Pada keadaan latihan berlebih banyak
dihasilkan endorphin yang merupakan derifat morfin. Endorphin
menyebabkan penurunan GnRH sehingga estrogen dan progesterone
menurun. Pada keadaan tress berlebih cortikotropin realizinghormone
dilepaskan. Pada peningkatan CRH terjadi opoid yang dapat menekan
pembentukan GnRH.
5. KOMPLIKASIKomplikasi yang paling ditakutkan adalah
infertilitas. Komplikasi lainnya adalah tidak percaya dirinya
penderita sehingga dapat mengganggu kompartemen IV dan terjadilah
lingkaran setan terjadinya amenorrhea. Komplikasi lainnya muncul
gejala-gejala lain akibat hormone seperti osteoporosis.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANGPada amenorrhea primer : apabila
didapatkan adanya perkembangan seksual sekunder maka diperlukan
pemeriksaan organ dalam reproduksi (indung telur, rahim, perekatan
dalam rahim). Melalui pemeriksaan USG, histerosal Pingografi,
histeroskopi dan Magnetic Resonance Imaging (MRI), apabila tidak
didapatkan tanda-tanda perkembangan seksualitas sekunder maka
diperlukan pemeriksaan kadar hormone FSH dan LH setelah kemungkinan
kehamilan disingkirkan pada amenorrhea sekunder maka dapat
dilakukan pemeriksaan Thyroid Stimulating Hormon (TSH) karena kadar
hormone thyroid dapat mempengaruhi kadar hprmone prolaktin dalam
tubuh.
7. PENATALAKSANAANPengelolaan pada pasien ini tergantung dari
penyebab. Bila penyebab adalah kemungkinan genetic, prognosa
kesembuhan buruk. Menurut beberapa penelitian dapat dilakukan
terapi sulih hormone, namun fertilitas belum tentu dapat
dipertahankan. Terapi Pengobatan yang dilakukan sesuai dengan
penyebab dari amenorrhea yang dialami, apabila penyebabnya adalah
obesitas maka diet dan olahraga adalah terapinya, belajar untuk
mengatasi stress dan menurukan aktivitas fisik yang berlebih juga
dapat membantu.Pembedahan atau insisi dilakukan pada wanita yang
mengalami Amenorrhea Primer.
8. ASUHAN KEPERAWATANa.AnamnesisAnamnesis yang akurat
berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan sejak kanak-kanak,
termasuk tinggi badan dan usia saat pertama kali mengalami
pertumbuhan payudara dan pertumbuhan rambut emaluan.Dapatkan pula
informasi anggota keluarga yang lain (ibu dan saudara wanita)
mengenai usia mereka pada saat menstruasi pertama, informasi
tentang banyaknya perdarahan, lama menstruasi dan periode
menstruasi terakhir, juga perlu untuk ditanyakan.Riwayat penyakit
kronis yang pernah diderita, trauma, operasi, dan pengobatan juga
penting untuk ditanyakan. Kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan
seksual, penggunaan narkoba, olahraga, diet, situasi dirumah dan
sekolah dan kelainan psikisnya juga penting untuk dianyakan.
b.Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik yang pertama kali
diperiksa adalah tanda-tanda vital dan juga termasuk tinggi badan,
berat badan dan perkembangan seksual.Pemeriksaan yang lain
adalah:Keadaan payudaraKeadaan rambut kemaluan dan genetalia
eksternalKeadaan vaginaUterus : bila uterus membesar kehamilan bisa
diperhitungkanServik : periksa lubang vagina
9. DIAGNOSA KEPERAWATANCemas berhubungan dengan krisis
situasiKurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi yang
didapat tentang penyakitnya (amenorrhea)Gangguan konsep diri ,
harga diri rendah yang dihubungkan dngan ketidak normalan
(amenorrhea primer)Koping keluarga tidak efektif berhubungnan
dengan komunikasi yang tidak ektif dalam keluarga.
C.DISMENOREA1. PENGERTIANDismenoroe adalah nyeri sewaktu haid.
Biasanya terasa di perut bagian bawah. Nyeri tersebut dapat terasa
sebelum haid, selama, dan sesudah haid. Dapat bersifat kolik atau
terus-menerus, ini diduga karena adanya kontraksi uterus.Dismenoroe
dibedakan menjadi dua yaitu:a.Dismenorea Primer, yaitu menstruasi
yang sangat nyeri, tanpa patologi pelvis yang dapat diidentifikasi.
Dapat terjadi waktu menarche atau segera setelahnya. Dimenorea
ditandai dengan nyeri kram yang dimulai segera atau setelah awitan
aliran menstrual dan berlanjut selama 48 sampai 72 jam.Dismenore
diduga sebagai akibat dari pembentukkan prostaglandin yang
berlebihan, yang menyebabkan uterus untuk berkontraksi secara
berlebihan dan juga mengakibatkan vasospasme anteriolar.
Factor-faktor psikologi seperti anxiety dan ketegangan juga dapat
menyebabkan dismenore. Dengan bertambahnya usia wanita, nyeri
cenderung untuk menurun dan akhirnya hilang sama sekali setelah
melahirkan anak.b.Dismenorea sekunder. Pada dismenorea sekunder
terdapat patologi pelvis, seperti endometriosis, tumor, atau
penyakit inflamatori pelvic (PID). Pasien dengan dismenore sekunder
biasanya sering mengalami nyeri yang terjadi beberapa hari sebelum
haid, disertai ovulasi dan kadangkala melakukan hubungan seksual2.
PENYEBABa.Dismenore primerBanyak teori yang telah ditemukan untuk
menerangkan penyebab terjadi dismenore primer, tapi meskipun
demikian patofisiologisnya belum jelas.Etiologi dismenore primer di
antaranya yaitu:Faktor psikologisBiasanya terjadinya pada
gadis-gadis yang secara emosional tidak stabil, mempunyai ambang
nyeri yang rendah, sehingga dengan sedikit rangsangan nyeri, maka
ia akan sangat merasa kesakitan. Seringkali segera setelah
perkawinan dismenorea hilang, dan jarang sekali dismenorea menetap
setelah melahirkan. Mungkin kedua keadaan tersebut (perkawinan dan
melahirkan) membawa perubahan fisiologis pada genitalia maupun
perubahan psikis.Faktor endokrinPada umumnya nyeri haid ini
dihubungkan dengan kontraksi uterus yang tidak bagus. Hal ini
sangat erat kaitannya dengan pengaruh hormonal. Peningkatan
produksi prostaglandin akan menyebabkan terjadinya kontraksi uterus
yang tidak terkoordinasi sehingga menimbulkan nyeri.AlergiTeori ini
dikemukakan setelah memperhatikan hubungan asosiasi antara
dismenore dengan urtikaria, migren, asma bronchial, namun bagaimana
pun belum dapat dibuktikan mekanismenya.
Faktor neurologisUterus dipersyarafi oleh sistem syaraf otonom
yang terdiri dari syaraf simpatis dan parasimpatis. Jeffcoate
mengemukakan bahwa dismenorea ditimbulkan oleh ketidakseimbangan
pengendalian sistem syaraf otonom terhadap miometrium. Pada keadaan
ini terjadi perangsangan yang berlebihan oleh syaraf simpatis
sehingga serabut-serabut sirkuler pada istmus dan ostium uteri
internum menjadi hipertonik.ProstaglandinPenelitian pada beberapa
tahun terakhir menunjukkan bahwa prostaglandin memegang peranan
penting dalam terjadinya dismenorea. Prostaglandin yang berperan
disini yaitu prostaglandin E2 (PGE2) dan F2 (PGF2). Pelepasan
prostaglandin diinduksi oleh adanya lisis endometrium dan rusaknya
membran sel akibat pelepasan lisosim.Prostaglandin menyebabkan
peningkatan aktivitas uterus dan serabut-serabut syaraf terminal
rangsang nyeri. Kombinasi antara peningkatan kadar prostaglandin
dan peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan tekanan intrauterus
hingga 400 mmHg dan menyebabkan kontraksi miometrium yang hebat.
Selanjutnya, kontraksi miometrium yang disebabkan oleh
prostaglandin akan mengurangi aliran darah, sehingga terjadi
iskemia sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri
spasmodik. Jika prostaglandin dilepaskan dalam jumlah berlebihan ke
dalam peredaran darah, maka selain dismenorea timbul pula diare,
mual, dan muntah.
b.Dismenore sekunderFaktor konstitusi seperti : anemia.Faktor
seperti obstruksi kanalis servikalisAnomali uterus
congenitalLeiomioma submukosa.Endometriosis dan adenomiosis
3. MANIFESTASI KLINIKa.Dismenorea PrimerRasa nyeri di perut
bagian bawah, menjalar ke daerah pinggang dan paha. Kadang-kadang
disertai mual, muntah, diare, sakit kepala dan emosi yang labil.
Nyeri timbul sebelum haid dan berangsur hilang setelah darah haid
keluarb.Dismenorea SekunderCenderung timbul setelah siklus 2 tahun
teraturNyeri sering timbul terus menerus dan tumpulNyeri dimulai
saat haid dan meningkat bersamaaan dengan keluarnya darah
4. KOMPLIKASISyokPenurunan kesadaran
5. PENATALAKSANAAN MEDISTerapi medis untuk klien dismenore di
antaranya:Pemberian obat analgetik.Terapi hormonalTerapi dengan
obat nonsteriod antiprostagladin.Dilatasi kanalis serviksalisDapat
memberikan keringan karena memudahkan pengeluaran darah haid dan
prostaglandin
6. PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada klien dengan dismenore adalah:a.Tes
laboratoriumPemeriksaan darah lengkap : normal.Urinalisis :
normalb.Tes diagnostic tambahanLaparaskopi : penyikapan atas adanya
endomeriosi atau kelainan pelvis yang lain.
7. ASUHAN KEPERAWATANa.PengkajianHal-hal yang perlu dikaji pada
klien dengan dismenore adalah Karakteristik nyeri dan gejala yang
mengikutinya.b.Diagnose keperawatan Nyeri yang berhubungan dengan
meningkatnya kontraktilitas uterus, hipersensitivitas, dan saraf
nyeri uterus. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan adanya mual, muntah.