Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018 IMPLEMENTASI FIQIH MU’AMALAH DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH Oleh: Dr. Jamaludin Acmad Kholik, Lc. MA. (Dosen Pasca Sarjana IAIN Kediri Jawa Timur) A. PENGERTIAN FIQIH MU'AMALAT MALIYAH Mu'amalat secara bahasa merupakan jama' dari kata mu'amalah, diambil dari kata 'âmaltu al rajula u'âmiluhu mu'âmalatan, yang berarti berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan mâliyah berasal dari kata mâl yang berarti harta. Mu'amalat secara terminologi memiliki dua pengertian, pengertian yang luas dan pengertian yang sempit, dengan pengertian yang luas mu'amalat berarti: hukum-hukum syari'at yang mengatur hubungan sesama manusia di dunia, baik yang berkaitan dengan harta maupun wanita. Pengertian ini seperti yang didefinisikan oleh Dr.Abdul Sattar Fathullah Sa’id: “Fiqh mu’amalat ialah hukum syari’ah yang berkaitan dengan transaksi manusia mengenai jual beli, gadai, perdagangan, pertanian, sewa, menyewa, perkongsian, perkawinan, penyusuan, thalak, ‘iddah, hibah & hadiah, washiat, warisan, perang dan damai” 1 . Dalam konteks mu’amalah dalam makna luas, Ibnu Abidin membagi mu’amalah kepada 5 bidang: • Mu’awadhah Maliyah (Hukum Tukar menukar harta) • Munakahat (Hukum perkawinan) • Mukhashamat (Hukum Acara) • Amanat dan ‘Ariyah (Pinjaman) • Tirkah (harta warisan) Sebagian ulama mengkhususkan mu'amalat pada hukum-hukum yang berkaitan dengan harta, dengan membagi fikih Islam menjadi: Ibadat, mu'amalat, munakahat, 'uqubat. Sebagaimana Ustadz Ali Fikri mendefinisikan mu'amalat sebagai berikut: "mu'amalat adalah 1 Dr.Abdul Sattar Fathullah Sa’id, "Al-mu'amalah fil Islam", Makkah: Rabithah alam Al-Islami, hlm.12.
24
Embed
FIQIH MU'AMALAH FORDEBI · kekayaan, hak-hak dan penyelesaian sengketa”1. Perbedaan pengertian mu'amalah dalam arti sempit dan luas adalah dalam cakupannya, pengertian yang luas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
IMPLEMENTASI FIQIH MU’AMALAH DALAM LEMBAGA
KEUANGAN SYARI’AH Oleh: Dr. Jamaludin Acmad Kholik, Lc. MA.
(Dosen Pasca Sarjana IAIN Kediri Jawa Timur)
A. PENGERTIAN FIQIH MU'AMALAT MALIYAH
Mu'amalat secara bahasa merupakan jama' dari kata mu'amalah, diambil dari kata 'âmaltu
al rajula u'âmiluhu mu'âmalatan, yang berarti berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan
mâliyah berasal dari kata mâl yang berarti harta.
Mu'amalat secara terminologi memiliki dua pengertian, pengertian yang luas dan
pengertian yang sempit, dengan pengertian yang luas mu'amalat berarti: hukum-hukum syari'at
yang mengatur hubungan sesama manusia di dunia, baik yang berkaitan dengan harta maupun
wanita. Pengertian ini seperti yang didefinisikan oleh Dr.Abdul Sattar Fathullah Sa’id: “Fiqh
mu’amalat ialah hukum syari’ah yang berkaitan dengan transaksi manusia mengenai jual beli,
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
ilmu yang mengatur pertukaran harta dan manfaat antar sesama manusia dengan perantaraan
akad-akad dan kewajiban-kewajiban".
Dr. Musthafa Ahmad Zarqa juga mendefinisikan mu'amalat dengan: “Hukum-hukum
tentang perbuatan manusia yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia mengenai harta
kekayaan, hak-hak dan penyelesaian sengketa”1. Perbedaan pengertian mu'amalah dalam arti sempit dan luas adalah dalam cakupannya,
pengertian yang luas mencakup mu’awadhat maliyah, munakahat, warisan, politik dan pidana.
Sedangkan dalam makna sempit cakupannya hanya tentang ekonomi (iqtishadiyah).
Pengkhususan mu'amalat untuk hukum-hukum yang hanya berkaitan dengan harta lebih tepat.
Pengertian yang khusus (sempit) inilah yang sama maknanya dengan "fiqih mu'âmalah mâliyah".
Dengan demikian fiqih mu'amalat maliyah bisa kita artikan sebagai "hukum-hukum
syari'at yang mengatur hubungan manusia yang berkaitan dengan harta", sehingga mencakup
akad-akad tukar-menukar; seperti jual beli dan sewa, akad-akad sosial; seperti hibah, wakaf dan
wasiat, akad pembebasan; seperti pembebasan dari hutang, akad-akad musyarakah dan jaminan;
seperti gadai, kafalah dan hiwalah (transfer)2. Atau dengan bahasa lain fiqih mu’amalah mâliyah
ialah : “Aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
memperoleh dan mengembangkan harta benda” atau “Aturan-aturan Allah tentang kegiatan
ekonomi manusia”.
B. URGENSI FIQIH MU'AMALAT MALIYAH
Urgensi fiqih mu'âmalah dapat dilihat dari keterkaitannya yang sangat erat dengan
syari'at Islam, karena fiqih mu'amalat adalah bagian integral dari syari'at Islam yang tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Syari'at Islam tidak dapat tegak dari sisi amali kecuali
dengan menerapkan fiqih mu'amalat, baik yang berkaitan dengan aktivitas individu maupun
kolektif3.
1 Dr.Musthafa Ahmad Zarqa, " Al-Madkhal al-Fiqh Al-Am", Damaskus: Al-Adib, 1966-1967, hlm. 55. 2 Dr. Muhammad 'Utsman Syabir, “al Mu'amalat al maliyah al mu'ashirah”, Jordan: Dar al nafais, cet. III tahun 1419 H/1999 M, hal. 10. 3 Prof. Dr. Nashr Farid Washil, Buhûts wa Dirasât fî: al 'Uqûd al ribawiyyah wa al mu'amalât al mashrafiyyah wa
al siyasah al naqdiyyah, Cairo: Maktabah al shafa, cet. I th. 1420 H/ 2000 M, hal. 23.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Apabila ekonomi konvensional –dengan sebab situasi kelahirannya- terpisah secara
sempurna dari agama. Maka keistimewaan terpenting ekonomi Islam adalah keterkaitannya
secara sempurna dengan Islam itu sendiri, yaitu aqidah dan syariah1.
Ekonomi Islam adalah aturan Tuhan, setiap ketaatan terhadap aturan ini merupakan
ketaatan kepada Allah Swt. setiap ketaatan kepada Allah adalah ibadah, jadi menerapkan sistem
ekonomi Islam adalah ibadah2. Ini sesuai dengan misi diciptakannya manusia, yaitu untuk
menyembah Allah Swt, sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur'an:
نس الجن خلقت ﴿وما 3لیعبدون﴾ إلا والإ
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".
n Hukum Mempelajari Fiqih Mu’amalat
Memahami/mengetahui hukum mu’amalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun
untuk menjadi expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah.
Kewajiban itu disebabkan setiap muslim tidak terlepas dari aktivitas ekonomi. Bahkan
sebagian besar waktu yang dihabiskan seorang manusia adalah untuk kegiatan mu'amalah,
seperti mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, bahkan negara. Kalau kita
perhatikan perbandingan alokasi waktu untuk ibadah mahdhah dan mu'amalah seperti berikut:
Ibadah Mahdhah 5 x 10 menit = 50 menit, sedangkan mu'amalah (mencari nafkah/kerja)
dilakukan manusia mulai jam 7 pagi sd jam 19.00 = 12 jam. Hanya saja materi ibadah mahdhah
merupakan materi yang dominan dibahas para ustadz saat ini, sedangkan materi mu'amalat
cenderung diabaikan dalam pengajian.
n Akibat mengabaikan kajian mu'amalah
Apabila kajian fiqih mu'amalah diabaikan, akan mempunyai implikasi yang buruk bagi
umat Islam, diantaranya:
1 Prof. Dr. Ahmad Muhammad ‘Assal & Prof.Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim, An-Nizham al-Iqtishadi fil Islam,
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
• Umat Islam kurang faham praktek mudharabah, musyarakah, ijarah, murabahah dan 40 lebih
jenis transaksi mu'amalah lainnya.
• Umat Islam tidak faham perbedaan bank Islam dengan bank konvensional, perbedaan margin
murabahah dengan bunga, perbedaan bunga dan bagi hasil.
• Umat Islam memandang sama saja bank Islam dan bank konvensional, asuransi Islam dan
konvensional, dll.
• Umat Islam memandang kalau Ekonomi Islam sama saja dengan ekonomi konvensional.
• Umat Islam tidak memahami fungsi uang, sehingga tanpa rasa berdosa mempraktekkan riba di
bank, asuransi, pasar modal dan kredit-kredit lainnya.
Karena pentingnya fiqih mu'amalat, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan
berkata :
لا یبع في سوقنا إلا من قد تفقھ في الدین
“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang telah mengerti fiqh (mu'amalah)
dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi)
Dalam konteks ini Allah Berfirman:
أصلواتك تأمرك أن نترك مایعبد ءابآؤنآ أو أن نفعل في أموالنا مانشاء إنك قالوا یاشعیب ﴿
شید 1﴾ لأنت الحلیم الر
"Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang kami atau melarang kami memperbuat
apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang
penyantun lagi berakal”
Ayat di atas mengisahkan perdebatan kaum Nabi Syu’aib yang mengingkari agama yang
dibawanya yang mengajarkan I’tiqad dan iqtishad (aqidah dan ekonomi)
Nabi Syu’aib mengingatkan mereka tentang kekacauan transaksi mu'amalah ekonomi yang
mereka lakukan selama ini. Ayat ini berisi dua peringatan penting, yaitu aqidah dan mu'amalah.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa pencarian dan pengelolaan rezeki (harta) tidak boleh
1 QS. Hud: 87
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
sekehendak hati, melainkan mesti sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah, yang disebut
syari’ah.
C. KARAKTERISTIK FIKIH MU'MALAT MALIYAH
Fiqih mu'amalat memiliki keistimewaan tersendiri dari cabang-cabang fiqih lainnya, yang
harus dipahami oleh setiap muslim yang berinteraksi dengan permasalahan-permasalahan fiqih
mu'amalat kontemporer. Keistimewaan itu bisa kita lihat pada karakteristik fiqih mu'amalat
seperti di bawah ini:
1. Fiqih mu'amalat didasarkan kepada prinsip-prinsip umum
Fiqih mu'amalat seperti cabang-cabang fiqih Islam lainnya sumbernya bersifat rabbani,
yaitu bersumber kepada Al Qur'an dan sunnah. Hanya saja fiqih mu'amalat didasarkan pada
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah umum, tidak berkutat pada hal-hal yang rinci. Ini memberi
ruang pada para fuqaha untuk berijtihad dalam memberikan solusi hukum bagi permasalahan-
permasalahan yang baru muncul.
Diantara prinsip-prinsip tersebut adalah:
a. Diharamkan memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur'an , Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu."
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, Padahal kamu mengetahui."
Ayat ini adalah salah satu kaidah pokok dalam mu'amalat, sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu al 'Arabi ketika menafsirkan ayat di atas: "ayat ini merupakan salah satu kaidah
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
mu'amalat dan dasar untuk transaksi tukar-menukar"1. Larangan ini mencakup perjudian,
penipuan, ghashab, penjualan khamer, suap dan lain-lain.
b. Dihalalkan jual beli dan diharamkan riba
Allah Swt. berfirman:
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
c. Dilarang berbuat gharar (ada unsur ketidak jelasan)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkata:
2نھى رسول الله صلى الله علیھ وسلم عن بیع الغرر
"Rasulullah saw. melarang jual beli yang ada unsur ketidak jelasan"
Larangan berbuat gharar ini merupakan prinsip pokok yang mencakup banyak permasalahan
dalam bab jual beli.
d. Memperhatikan tujuan (maqâshid)
Seorang muslim dituntut untuk menjaga harta dan menginvestasikannya, sehingga dapat
melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’ kepadanya, bahkan Islam menganggap
hifdzul mal (menjaga harta) merupakan salah satu dari lima tujuan syari’ah (maqashid syari’ah)
yang menjadi pondasi tegaknya suatu kehidupan.
2. “Pada dasarnya semua aktivitas mu'amalah adalah boleh kecuali ada dalil yang
melarangnya”
Kaidah fiqih mu'amalat ini berbeda dengan kaidah dasar dalam masalah ibadah yang
berbunyi: “Pada dasarnya dalam ibadah adalah haram, kecuali ada dalil yang membolehkannya”.
Maka dalam masalah mu'amalat tidak dilarang untuk melakukan suatu aktivitas, kecuali ada nash
(teks) syari'ah yang melarangnya secara jelas, baik dari segi dilalahnya maupun ketetapannya.
Perbedaan prinsip ibadah dan mu'amalah dapat kita lihat pada tabel berikut ini:
No. Ibadah Mu'amalah
1 Ibnu al 'Arabi, "Ahkâm al Qur'ân", Beirut: Dâr al kutub al 'ilmiyyah, cet. 3 th. 1424 H/ 2003 M. juz 1 hal. 137. 2 Ibnu Majah, "Sunan Ibnu Majah", tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dâr Ihyâ' al Kutub al 'Arabiyyah- Faishal
'Isâ al Bâbi al Halabî, juz 2 hal. 739, nomer hadits: 2195. Hadits senada diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Shahih Muslim", Beirut: Dâr ihyâ' al Turâts al 'Arabiyyah, tahqîq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, 3/1153, nomer hadits: 1513.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
1 Bersifat tetap (ثابتة) Bersifat Elastis (متغیرة)
2 Tidak bisa berkembang Dapat berkembang sesuai dengan
zaman & tempat
3 Bersifat khusus,eksklusif Bersifat universal, inklusif
4 Nash-nash lebih terinci (tafshili) Nash-nash umumnya general
5 Peluang Ijtihad sempit Peluang ijtihad luas
3. Fiqih mu'amalat didasarkan kepada 'illat dan kemashlahatan
Jika kebanyakan masalah ibadah dalam Islam bersifat ta'abbudiyyah tidak
memperhatikan masalah rasionalisasinya, seorang muslim dituntut untuk melaksanakannya
meski tidak mengetahui 'illat ataupun hikmahnya, seperti jumlah rakaat dalam sholat, mencium
hajar aswad. Berbeda dengan fiqih mu'amalat yang kebanyakan bukan hal yang ta'abbudiyyah,
tapi melihat kepada 'illat dan alasan disyari'atkan suatu hukum yang bisa dicerna oleh akal
seorang muslim. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Al Syathibi dalam kitabnya:
وأصل المعاني، إلى الالتفات دون التعبد المكلف إلى بالنسبة العبادات في الأصل
1المعاني إلى الالتفات العادات
"Pada dasarnya hukum dalam ibadah bagi seorang mukallaf adalah ta'abbud tanpa melihat
kepada makna-makna, sedangkan hukum dasar dalam masalah 'âdât (kebiasaan) adalah melihat
kepada makna-makna".
Kemashalahatan yang dimaksudkan dalam fiqih mu'amalat adalah dengan mendahulukan
kemaslahatan dharuriat (primer) kemudian hajiat (skunder) baru kemudian tahsiniyat (tersier).
Seluruh syari'at Islam adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, semua bertujuan
untuk mewujudkan kebahagiaan dan kemashalatan manusia secara riil, baik yang bersifat
individu maupun kolektif (jama'ah)2.
4. Fiqih mu'amalat menggabungkan antara perkara permanen dan fleksibel
1 Syathibi, "al muwâfaqât", muhaqqiq: Abu 'ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Dâr Ibnu 'Affan, cet. 1 th. 1417 H./ 1997 M. juz 2 hal. 513.
2 Prof. Dr. Nashr Farid Washil, hal. 26.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Sebagian hukum mu'amalat bisa berubah sesuai dengan perubahan 'illat dan
kemashlahatan, dan sebagian lagi merupakan hukum yang permanen tidak bisa berubah meski
kondisi, tempat dan zaman telah berubah. Dengan demikian fiqih mu'amalat menggabungkan
antara hukum yang permanen dan yang fleksibel.
Diantara hukum-hukum yang permanen adalah harus ada rasa suka sama suka (tarâdhi)
dalam melakukan transaksi, diharamkan riba, penipuan dan penimbunan barang, serta hukum-
hukum yang berkaitan dengan tujuan-tujuan syari'ah seperti mewujudkan keadilan, larangan
melakukan kedzaliman, dan menjaga harta.
Sedangkan hukum-hukum yang berkaitan dengan wasail (sarana/teknis) atau ditetapkan
dengan ijtihad yang didasarkan kepada tradisi, maka bisa berubah dengan berubahnya wasail dan
tradisi. Misalnya uang merupakan alat untuk membeli suatu barang, dahulu dibuat dari emas dan
perak, namun sekarang menggunakan logam dan kertas, yang bisa dianggap sebagai uang yang
sah, meski bukan dari emas dan perak.
Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang faqih untuk mengetahui perbedaan antara
hukum yang permanen dan yang fleksibel, agar dapat menentukan hukum permasalahan-
permasalahan mu'amalat kontemporer yang muncul secara tepat1.
D. AKAD-AKAD DALAM FIQIH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM LKS
1. Pengertian akad dalam fiqih
Secara bahasa akad berarti ikatan antara dua ujung-ujung sesuatu, baik ikatan itu secara
fisik maupun maknawi, dari satu pihak atau dari dua pihak.
Menurut terminologi/istilah fikih, akad berarti:
محلھ فى رهثأ یثبت روعمش جھو على ولبقب بیجاإ طتباار
Hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya
pengaruh/akibat hukum pada obyek akadnya2.
Pengertian Akad Dalam Fatwa DSN & KHES
Dalam Fatwa DSN:
1 Dr. 'Utsman Syabir, hal. 25-26. 2 Dr. Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa adillatuh, 4/433.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
§Akad adalah pertalian (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan)
yangdibuat antara dua pihak atau lebih, sesuai prinsip syariah (Fatwa 88)
§Akad adalah transaksi atau perjanjian syar’i yang menimbulkan hak dan kewajiban serta
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Line Facility (Fatwa 45)
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES):
Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu (Pasal 20 angka 1 KHES).
2. Rukun akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab-qabul. Adapun orang yang
mengatakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikatagorikan
rukun sebab keberadaanya sudah pasti.
Menurut jumhur ulama rukun akad ada tiga:
1. ‘aqid (orang yang melakukan transaksi)
2. Ma’qud ‘alaih (obyek akad)
3. Shighah (ijab dan qabul) 1
Menurut Fatwa DSN Rukun Akad terdiri dari:
1. Kesepakatan Untuk Mengikatkan Diri (Shighat al‘Aqd/Ijab wa Qabul);
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 98
d. Murabahah
Jual beli murabahah secara bahasa diambil dari kata الربح yang artinya keuntungan, bai’
al murabahah berarti jual beli menggunakan modal dengan mendapatkan tambahan yang
diketahui1.
Jual beli murabahah secara istilah fiqih dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam al
Mughni: “Makna jual beli murabahah adalah jual beli dengan modal dan keuntungan yang
diketahui, dan disyaratkan kedua pihak mengetahui besar modal, misalnya mengatakan: modalku
untuk barang ini adalah seratus, aku jual kepadamu dengan keuntungan sepuluh, transaksi ini
diperbolehkan tanpa ada perbedaan pendapat tentang keabsahannya.2”
Penerapan akad murabahah dalam Lembaga keuangan syari’ah bisa digunakan untuk
pembiayaan dalam pembelian barang-barang, seperti rumah, mobil, tanah dan lain-lain.
1 Ibrahim Madkur, “al Mu’jam al wasith”, hal. 322. 2 Ibnu Qudamah, “al Mughni”, 4/129.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 107.
e. Bai’ Salam
Secara bahasa al salam adalah mashdar dari kata aslama, yang mashdar haqiqinya adalah
al Islâm, yang berarti: menyegerakan dan mendahulukan modal1.
Salam disebut juga dengan salaf, salam adalah bahasa penduduk Hijaz, sedangkan salaf
adalah bahasa penduduk Iraq, seperti yang diungkapkan oleh Imam Mawardi. Akad ini disebut
salam karena adanya penyerahan modal di tempat akad, dan dinamakan salaf karena adanya
penyerahan modal terlebih dahulu2.
Sedangkan salam dalam istilah fuqaha, ada yang mendefinisikan: “Akad terhadap barang
yang ditentukan sifatnya dalam tanggungan, dengan imbalan yang diserahkan di depan”3.
Akad salam pada perbankan Islam dipergunakan untuk memberi pembiayaan para petani,
khususnya ketika pemerintah atau suatu perusahaan penampung buah-buahan atau pabrik gula
misalnya berkomitmen untuk membeli hasil pertanian saat panen. Perbankan Islam memberikan
pembiayaan kepada petani, dengan membeli hasil pertanian dengan akad salam, kemudian
menjualnya setelah diserahterimakan dari penjual, sehingga bank mendapat keuntungan dari
selisih penjualan dan pembelian tersebut.
1 Ibnu Mandzur, Lisân al ‘Arab, 4/664. 2 Muhammad syarbini al Khathib, al Iqnâ’ 2/291, Muhammad Abdul Aziz Hasan Zaid, Bai’ al salam watathbiqâtuhu al mashrafiyyah al mu’âshirah, (Giza: Markaz al iqtishâd al Islâmi, al mashraf al Islâmi al dauli lil istitsmâr wa al tanmiyah, Cet. tanpa tahun, hal. 4. 3 Imam Nawawi, “Raudhatu al thâlibîn”, 4/3.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Akad salam juga digunakan dengan system parallel, ada dua akad salam, dengan cara
bank Islam membeli sejumlah barang komoditi yang dijelaskan sifat-sifatnya dan akan
diserahkan pada waktu yang akan datang. Kemudian menjual sejumlah barang yang sama,
dijelaskan juga sifat-sifatnya, dan dengan waktu penyerahan yang sama. Keuntungannya adalah
selisih dari harga pada saat membeli dan harga pada saat menjual1.
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 113.
f. Bai’ istishna’
Secara bahasa bai’ istishna’ dari kata isthana’a fulanan kadza, yang berarti minta
kepadanya dibuatkan sesuatu untuknya2.
Secara istilah al istishna’ adalah akad dengan orang yang membuat sesuatu untuk
mengerjakan sesuatu tertentu dalam tanggungan, seperti kesepakatan dengan tukang kayu untuk
membuat meja atau kursi3.
Dalam perbankan syari’ah istishna’ bisa digunakan untuk pembiayaan pembuatan
rumah, gedung, atau barang-barang.
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, 115.
1 Mundzir al Qahf, al iqtishâd al Islâmi ‘ilman wa ‘amalan, 179-180. 2 Muhammad bin Ahmad al Samarqandi “Tuhfatu al Fuqaha”, 2/362. 3 Dr. Wahbah Zuhaili, al Mu’amalat al Maliyah al Mu’ashirah, hal. 56.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
g. Ijarah
Ijarah secara bahasa berarti upah terhadap kerja, dan akad terhadap suatu manfaat dengan
imbalan1. Dan secara istilah ijarah adalah akad atas suatu manfaat yang diketahui dan
diperbolehkan dengan memberikan imbalan yang diketahui2.
Diantara ijarah dalam perbankan syari’ah ada yang disebut al ijarah al muntahiyah bi
tamlik, yaitu sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa
yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan
ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk al ijarah, dapat melakukan leasing, baik
dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya, bank-bank
tersebut lebih banyak menggunakan al ijarah al muntahiyah bittamlik karena lebih sederhana dari
sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan asset, baik
pada saat leasing maupun sesudahnya3.
Dalam perbankan bisa digunakan untuk pembiayaan kepemilikan rumah, gedung dan
barang-barang komoditi lain, dengan menggunakan akad ijarah muntahiyah bitamlik.
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 119.
E. IKHTITAM
Fiqh mu’amalah merupakan bagian dari sistem Islam yang komperehensiv,
suatu agama yang memiliki sistem dalam semua dimensi kehidupan manusia, mulai
1 Dr. Ibrahim Madkur, al Mu’jam al wasith, hal. 7. 2 Muhammad al Khathib al Syarbini, Mughni al Muhtaj, 2/332. 3 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 118-119.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
dari sistem politik, sistem ekonomi, sosial, dan moral disamping dimensi spritualnya.
Makalah yang sederhana ini mudah-mudahan dapat membantu pembaca dalam
memahami fiqih mu’amalah khususnya implementasi akad-akad fiqih mu’amalah
dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, dengan harapan kita bisa kembali menerapkan
ajaran-ajaran Allah di muka bumi.
in urîdu illa al ishlâha mastatha’tu wamâ taufîqi illâ billâh ‘alaiji tawakkaltu wailaihi unîb.