FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN SEBAGAI PENDEKATAN KONTEMPORER Muhammad Burhanuddin Ubaidillah 1 Abstract: The interpretation of al-Qur'an textual-literal and ignoring revelation and interpretation context, the results of previous scholars' studies, especially in the fields of interpretation and fiqh which have been considered final, cause every new problem does not refer to al-Qur’an as a source of teachings Islam to explore meaning in accordance with the current social context. This condition is supported by the fact of social context in the XXI th century is different from the socio-historical context of muslim society when the al-Qur'an was revealed, it was necessary to reinterpret the Qur'an text according to the present context with methodologies and approaches could be scientifically accounted for. This article is intended to review fiqh tafsīr and ta’wīl offered by Abdulah Saeed using his a new approach that is contextualist approach, which noticed to the socio-historical context that they can be separated from the reluctance of legalistic-literalistic approaches has been dominated interpretation of tafsīr and fiqh. Fiqh tafsīr and ta’wīl offered by Abdullah Saeed, in fact, applied in four rigid steps, they are; encounter with the world of the text, critical analysis, meaning for the first recipients and meaning for the present. The Abdullah Saeed's aim is to look for justification of the al-Qur'an interpretation based on the socio-historical context in reinterpreting the Qur'anic tests according to the present social reality. Keywords: fiqh tafsīr, ta’wīl, contextualist approach, socio-historical context Pendahuluan Farid Essack menyatakan bahwa praktik hermeneutika (tafsīr ta’wīl) sebenarnya sudah dilakukan umat Islam sejak lama, terutama dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, seperti kajian asbāb al-nuzūl dan nāsikh wa al-mansūkh. 2 Tafsīr didefinisikan Amir Abdul Aziz sebagai ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dalam segi asbāb al- nuzūl, muhkam dan mutasyābih, nāsikh dan mansūkh, dan lain sebagainya. Sedangkan ta’wīl didefinisikan dengan mengalihkan ayat kepada makna yang lain agar bisa lebih dimengerti. Jika tafsīr berkaitan dengan penjelasan lafadz al-Qur’an dari satu segi saja, maka ta’wīl berkaitan dengan pemilihan satu makna dari berbagai makna yang berbeda. 3 Menurut Hasan Hanafi, tafsīr ta’wīl tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga ilmu tentang penerimaan wahyu, sejak dari tingkat perkataan 1 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Krempyang Nganjuk. 2 Farid Essack, Qur’an: Pluralism and Liberation (Oxford: One World, 1977), 161. 3 Amir Abdul Aziz, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1983), 142-144.
14
Embed
FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM
PENAFSIRAN AL-QUR’AN SEBAGAI PENDEKATAN
KONTEMPORER
Muhammad Burhanuddin Ubaidillah1
Abstract: The interpretation of al-Qur'an textual-literal and ignoring revelation and
interpretation context, the results of previous scholars' studies, especially in the fields of
interpretation and fiqh which have been considered final, cause every new problem does
not refer to al-Qur’an as a source of teachings Islam to explore meaning in accordance
with the current social context. This condition is supported by the fact of social context
in the XXIth century is different from the socio-historical context of muslim society
when the al-Qur'an was revealed, it was necessary to reinterpret the Qur'an text
according to the present context with methodologies and approaches could be
scientifically accounted for. This article is intended to review fiqh tafsīr and ta’wīl
offered by Abdulah Saeed using his a new approach that is contextualist approach,
which noticed to the socio-historical context that they can be separated from the
reluctance of legalistic-literalistic approaches has been dominated interpretation of tafsīr
and fiqh. Fiqh tafsīr and ta’wīl offered by Abdullah Saeed, in fact, applied in four rigid
steps, they are; encounter with the world of the text, critical analysis, meaning for the
first recipients and meaning for the present. The Abdullah Saeed's aim is to look for
justification of the al-Qur'an interpretation based on the socio-historical context in
reinterpreting the Qur'anic tests according to the present social reality.
Farid Essack menyatakan bahwa praktik hermeneutika (tafsīr ta’wīl) sebenarnya
sudah dilakukan umat Islam sejak lama, terutama dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an,
seperti kajian asbāb al-nuzūl dan nāsikh wa al-mansūkh.2 Tafsīr didefinisikan Amir
Abdul Aziz sebagai ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dalam segi asbāb al-
nuzūl, muhkam dan mutasyābih, nāsikh dan mansūkh, dan lain sebagainya. Sedangkan
ta’wīl didefinisikan dengan mengalihkan ayat kepada makna yang lain agar bisa lebih
dimengerti. Jika tafsīr berkaitan dengan penjelasan lafadz al-Qur’an dari satu segi saja,
maka ta’wīl berkaitan dengan pemilihan satu makna dari berbagai makna yang
berbeda.3
Menurut Hasan Hanafi, tafsīr ta’wīl tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori
pemahaman, tetapi juga ilmu tentang penerimaan wahyu, sejak dari tingkat perkataan
1Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Krempyang Nganjuk. 2Farid Essack, Qur’an: Pluralism and Liberation (Oxford: One World, 1977), 161. 3Amir Abdul Aziz, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1983), 142-144.
sampai ke tingkat dunia, dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis dan
dari pikiran Tuhan sampai manusia.4 Sebagai contoh Fakhruddin al-Rāzi, seorang
mufassir klasik, memasukkan temuan-temuan ilmiah pada masanya ke dalam kitab
tafsirnya Mafātih al-Ghayb untuk menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an dalam bidang
sains.5
Ide perpaduan beberapa disiplin ilmu terus berlanjut di kalangan sarjana muslim
pada abad XX-XXI. Amin al-Khuli, seorang pemikir Islam dalam bidang tafsir dari
Mesir, mengemukakan ide perlunya menggunakan teori-teori sastra modern di samping
teori-teori ilmu tafsir klasik dalam menafsirkan al-Qur’an.6 Ide ini kemudian dilanjutkan
oleh ‘Aisya ‘Abdurrahman bint al-Syati’ yang mengelaborasi keindahan bahasa al-
Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesan ilahi.7 Muhammad Ahmad Khalaf Allah
meneliti seni Qur’ani dalam memaparkan kisah-kisah tentang umat terdahulu.8 Hasan
Hanafi menggunakan pendekatan tafsīr ta’wīl dalam merekontsruksi ilmu ushul dalam
menafsirkan fenomena keagamaan dan keberagamaan, sekaligus melakukan kajian
kritis terhadap hermeneutika eksistensial dalam Perjanjian Baru. Muhammad Arkoun
juga menggunakan semiotik dalam menginterpretasikan al-Qur’an.
Fazlur Rahman merupakan tokoh garda depan dalam penafsiran al-Qur’an
modern. Orang pertama yang mengkampanyekan gagasan konteks historis al-Qur’an
dalam konteks kekinian pada penafsiran al-Qur’an melalui teori double movement
setelah berinteraksi dengan konsep hermeneutik yang diutarakan Hans George Gadamer
dan Emilio Betti.9 Nasr Hamid Abu Zayd juga salah satu scholar yang menggeluti
secara intensif kajian hermeneutika dalam tafsir klasik, termasuk dalam bukunya
berjudul Ishkaliyat al-Qira’at wa ‘Aliyat al-Ta’wil.10 Pada titik ini, Abdullah Saeed
hadir sebagai pendukung dan penterjemah serta penyempurna gagasan Fazlur Rahman
4Fahrudin Faiz, Hermeneutika Qur’ani (Yogyakarta: Qalam, 2002), 13. 5Rotraud Wielandt, “Tafsir Al-Qur’an: Masa Modern dan Kontemporer,” terj. Sahiron Syamsuddin,
Jurnal Tashwirul Afkar, Vol. 18 (2004), 69-70. 6Amin al-Khuli, Manahij Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab (Kairo: Dar al-
Ma‘rifah, 1961). 7‘A’isya Abdurrahman, al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1990). 8Muhammad Ahmad Khalaf Allah, al-Fann al-Qasas fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Maktabat al-Anglo
al-Misriyah, 1953). 9Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: a Framework for Interpreting the Ethico-legal Content of the Qur’an”
dalam Soha Taji-Farouki (ed), Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (London: Oxford University
Press, 2004), 37-65. 10Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika
Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan (Jakarta: ICIP, 2004).
ke dalam langkah-langkah rigid penafsiran dan mengulas lebih dalam nilai-nilai dalam
al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam bukunya berjudul Interpreting the Qur’an:
Towards a Contemporary Approach.
Artikel ini mengkaji Fiqh Tafsīr dan Ta’wīl yang ditawarkan Abdulah Saeed
dengan pendekatan kontekstual yang memperhatikan socio-historical context agar
terlepas dari keterbelengguan legalistic-literalistic approach yang mendominasi
interpretasi tafsir dan fiqh sejak periode pembentukan hukum Islam sampai saat ini.
Pembahasan
A. Kegelisahan Akademik Abdullah Saeed
Abdullah Saeed, berangkat dari kegelisahan maraknya tafsir tekstual-literal,
menyatakan perlunya pendekatan baru model contextualist approach.11 Pendekataan ini
diharapkan mampu melepaskan keterbelengguan umat Islam dari legalistic-literalistic
approach yang mendominasi interpretasi tafsir dan fiqh sejak periode pembentukan
hukum Islam sampai era modern saat ini.12 Menurut Abdullah Saeed, penafsiran literer
telah mengabaikan konteks pewahyuan maupun penafsiran. Berangkat dari kaca mata
ini, Abdullah Saeed membangun model tafsir peka konteks dalam membangun landasan
teoritis sampai masuk kepada prinsip-prinsip epistimologinya.
Pendekatan ini ditawarkan karena adanya gap antara kebutuhan kompleks
muslim yang berkembang pesat pada abad XXI dengan pemahaman ayat al-Qur’an
yang masih diinterpretasikan secara literal dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari, sebagaimana kehidupan sosio-religious pada masa awal Islam. Padahal realitas
konteks sosial abad XXI sangat berbeda dengan konteks sosio-historis masyarakat
muslim pada saat al-Qur’an diturunkan. Abdullah Saeed selanjutnya menyebutkan
tokoh-tokoh kategori ini seperti Ahmad Peryez, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun,
Farid Esack dan Khaled Abou el-Fadl.13 Para reformis Islam ini menangkap adanya
jarak antara al-Qur’an dengan realitas dan menolak pendekatan tradisional dalam
11Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (Oxon: Routledge,
2006), 3. 12Ibid, 1. 13Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction (New York: Routledge, 2008), 220-222.
menafsirkannya dalam kehidupan sehari-hari yang mereduksi al-Qur’an dibatasi
menjadi kitab hukum.14
Kegelisahan Abdullah Saeed, di samping persoalan di atas, juga dilatarbelakangi
oleh kondisi mayoritas umat Islam yang merasa bahwa hasil kajian ulama terdahulu,
terutama dalam bidang fiqh, sudah final. Hal ini menyebabkan setiap muncul persoalan
baru, para ulama Islam tidak merujuk kepada al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam
untuk digali makna yang sesuai dengan konteks sosial kekinian, tetapi hanya merujuk
kepada kitab-kitab fiqh klasik yang secara sosio-historis, kultur dan nilai, berbeda
dengan kondisi masa sekarang.15 Hal ini menyebabkan ilmu-ilmu keislaman mengalami
stagnasi, karena nilai-nilai dan makna yang ada dalam al-Qur’an tidak lagi digali dan
dijadikan rujukan utama.
B. Pijakan Fiqh Tafsīr dan Ta’wīl Abdullah Saeed
Abdullah Saeed merekontruksi konsep wahyu dalam membangun fiqh tafsīr dan
ta’wīl yang digagasnya. Dia mengakui al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw dan juga mengakui bahwa al-Qur’an yang ada sekarang
itu otentik.16 Namun dia mengkritik ilmuwan muslim klasik yang menganggap wahyu
hanya kalam Tuhan tanpa memberikan perhatian bahwa Nabi Saw dan masyarakat saat
itu tidak memiliki peran di dalamnya. Abdullah Saeed sepakat dengan pemikir
belakangan, seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Esack dan Ebrahim
Moosa, yang memasukkan religious personality Nabi Saw dan komunitasnya dalam
peristiwa pewahyuannya.17
Konsep ini tidak berarti wahyu merupakan karya Nabi Saw, tetapi menunjukkan
ada keterkaitan erat antara wahyu, Nabi Saw dan misi dakwahnya dengan konteks
sosio-historis, tempat al-Qur’an diwahyukan. Al-Qur’an diturunkan Allah Swt bukan
dalam ruang hampa budaya. Al-Qur’an, dalam pewahyuannya, benar-benar terlibat aktif
dalam sejarah.18 Abdullah Saeed juga sepakat bahwa al-Qur’an adalah ciptaan Allah
Swt. Namun dalam kapasitas al-Qur’an bisa dipahami manusia, wahyu harus
bersentuhan dengan manusia dan masyarakat yang menjadi subjek penerimanya.
14Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 17. Baca juga Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago:
University of Chicago, 1982), 2-5. 15Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 147. 16Ibid, 7. 17Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, 31. 18Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 7.
Melalui pemahaman wahyu yang demikian, konteks sosio-historis menjadi elemen
wahyu yang penting, sekaligus menjadi dasar argumennya bahwa interpretasi harus
berangkat dari realitas kondisi tempat wahyu itu diturunkan.19
Gambaran konsep wahyu yang ditawarkan (broader understanding of the
concept of Qur’anic Revelation) disebut sebagai pemahanam yang lebih luas, karena
Abdullah Saeed telah meluaskan konsep wahyu Tuhan. Menurutnya, wahyu tidak
terhenti dengan berhentinya pewahyuan al-Qur’an. Wahyu, meskipun bentuknya tidak
tertulis dan tidak melalui perantara Nabi Saw, akan terus menerus turun kepada manusia
sepanjang masa. Melalui konsep ini Abdullah Saeed ingin menunjukkan bahwa
pewahyuan memiliki keterkaitan dengan peran Nabi Saw dan konteks sosio-historis
pada masa itu.20
Level Pewahyuan al-Qur’an
Tuhan
al-Lauh al-Mahfūdẓ
Langit Dunia
Malaikat Jibril
Nabi Muhammad Saw
al-Qur’an diterima oleh komunitas muslim pertama dan menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari mereka
al-Qur’an ditafsirkan dan diamalkan secara terus menerus; Tuhan tetap memberikan petunjuk-
Nya kepada mereka yang bertakwa kepada-Nya
Bagan tersebut dijelaskan dalam empat level. Pertama adalah dari Tuhan-al-
Lauh al-Mahfudz-Langit Dunia-Malaikat Jibril. Pada level ini pewahyuan berada pada
level ghaib. Metode transmisinya tidak dapat diketahui dan berada di luar jangkauan
manusia. Kedua adalah Malaikat Jibril-Nabi Muhammad Saw-eksternalisasi-konteks
sosio-historis. Pada level ini pewahyuan memasuki dunia fisik. Pewahyuan pada level
ini berlangsung dalam bentuk yang bisa dipahami manusia. Wahyu diturunkan ke dalam
bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Wahyu difirmankan dalam konteks manusia waktu
19Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 41. 20Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, 32.
itu dan berhubungan secara mendalam dengan kebutuhan dan persoalan Nabi Saw