FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM (DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA) PENDIDIKAN MELALUI KOMPONEN-KOMPONEN PENDIDIKAN) FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM (DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA) PENDIDIKAN MELALUI KOMPONEN- KOMPONEN PENDIDIKAN) MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Ujian Akhir Semester Pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam Program Studi Pendidikan Islam Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam Oleh: Khambali NPM 20010011005 Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir, MA Sobar Al Ghazal, Drs., M.Pd
45
Embed
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM (DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA) PENDIDIKAN MELALUI KOMPONEN-KOMPONEN PENDIDIKAN) FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM (DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA) PENDIDIKAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM (DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA) PENDIDIKAN MELALUI KOMPONEN-KOMPONEN PENDIDIKAN)
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM(DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA) PENDIDIKAN MELALUI KOMPONEN-
KOMPONEN PENDIDIKAN)
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi SyaratUjian Akhir Semester Pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Program Studi Pendidikan IslamKonsentrasi Manajemen Pendidikan Islam
Oleh:
Khambali
NPM 20010011005
Dosen Pengampu:Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir, MASobar Al Ghazal, Drs., M.Pd
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
B A N D U N G1433 H / 2012 M
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAMI(DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA) PENDIDIKAN MELALUI KOMPONEN-
KOMPONEN PENDIDIKAN)Oleh Khambali
NPM 20010011005
ABSTRAK
Pendidikan merupakan topik pembicaraan yang tak pernah ada ujungnya. Selalu adausaha untuk memperbaiki dalam setiap persoalannya. Ada yang berhasil, tetapi tidaksedikit yang gagal. Dalam upaya memecahkan persoalan (agenda) pendidikan,khususnya pendidikan Islami, maka diperlukan upaya yang dapat merancangbangundan memperbaiki pendidikan Islami dewasa ini. Penulis mencoba merumuskanformula pendidikan dengan maksud dapat merancabangun dan memperbaiki melaluikajian komponen-komponen pendidikan (hakikat manusia, hakikat pendidikan, dasarpendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, peserta didik, kelembagaan
pendidikan, proses pendidikan, dan pengembangan pendidikan). Rumusan formulapendidikan dalam upaya memecahkan persoalan (agenda) pendidikan yang dimaksudadalah sebagai berikut: a) pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri darikomponen-komponen penting yang saling berhubungan. Oleh karena itu, dalam upayamemecahkan persoalan (agenda) pendidikan, maka komponen-komponen pendidikantersebut harus dipahami dan diinternaslisasi secara integral dan sesuai denganperkembangan zaman saat ini, baik itu dilihat dari sisi keilmuan, teknologi informasi,maupun dilihat dari sisi manusia itu sendiri, yakni makhluk sosial, religius dan lainsebagainya; b) perlu adanya upaya memupuk pemahaman yang sesuai dengankebutuhan dan persoalan yang harus dijawab oleh pendidikan tentang apa, siapa,mengapa dan bagaimana manusia itu? sehingga harapan dalam pendidikan itusendiri dapat tercapai, disebabkan pendidikan dapat membantu manusia dalammemanusiakan manusia. Dengan kata lain bahwa pengetahuan, pemahaman danpemaknaan akan hakikat manusia itu sendiri merupakan komponen pendidikan yangharus diperbaiki; c) Untuk merealisasikan tujuan pendidikan, yakni memanusiakanmanusia, haruslah memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, memilikipengetahuan. Intinya manusia harus mampu berpikir benar, baik dan indah; d)pendidikan akan selalu diwarnai oleh pandangan hidup (way of life). Maka mendesainpandangan hidup sesuai dengan kebutuhan dan harapan perkembangan zamanmerupakan salah satu faktor yang penting, dengan menetapkan danmempertimbangkan norma-norma atau nilai nilai kebenaran, kebaikan dankeindahan; e) sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam, makatujuan pendidikan yang diselenggarakan adalah tujuan yang memiliki orientasi untukmemanusiakan manusia secara kenegaraan (Indonesia), lebih jauh lagi memanusiakanmanusia Indonesia dengan tujuan memiliki kepribadian Islami; f) perlu mendesainmodel kurikulum. Model kurikulum harus didesain berdasakan paradigma denganmengutamakan pendidikan akhlak (pendidikan Agama); g) perubahan yang terjaditerhadap istilah dan bahkan makna dari istilah murid menjadi peserta didik,menyebabkan pendidik/guru tidak dapat berperan penuh dalam melakukanpembimbingan dan pelatihan terhadap peserta didik. Oleh karena itu perlu adanyamendesain/memperbaiki istilah tersebut yang merepresentasi dari tugas pendidikterhadap peserta didik; h) lembaga pendidikan (sekolah) dibentuk untuk melakukanproses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Tiga tujuan setidaknya ingindicapai melalui sekolah yakni moralitas (akhlak), civic (cinta tanah air), danberpengatahuan; j) proses pendidikan pada dasarnya mambangun sebuahinternalisasi content pendidikan, Baik itu terkait dengan internalisasi pengetahuanterlebih lagi internalisasi nilai. Ada rambu-rambu penting yang perlu diperhatikanagar sebuah proses sukses melakukan internalisasi. Ada tiga tujuan pembelajaran,yaitu 1) tahu (knowing); 2) mampu melaksanakan apa yang diketahui (doing); dan 3)
menjadi apa yang telah dilaksanakan itu (being). Untuk itu ada dua langkah pentingyang perlu dipersiapkan dan didesain oleh sebuah proses pendidikan, yaituketeladanan dan pembiasaan; dan k) pengembangan pendidikan merupakankomponen pendidikan yang terakhir, yang menjadi tonggak akhir dalam upayamemperbaiki dan memajukan pendidikan saat ini. Maka terdapat dua langkah pentingyang harus segera diambil, yaitu: Pertama, mengubah paradigma denganmengutamakan agama. Jadikan agama sebagai core sistem pendidikan. Kedua,mendesain model kurikulum. Model kurikulum harus didesain berdasakan paradigm,dan harus memperhatikan fitrah manusia dan perkembangan dunia modern. Iniberarti harus mengandung muatan lokal, nasional, dan global.
KATA KUNCI: Filsafat Pendidikan Islam dan Komponen.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri dari
komponen-komponen penting yang saling berhubungan. Kompenen-
komponen yang ada pada sistem tersebut merupakan bagian-bagian
yang mendukung satu salama lain, sehingga jika komponen/bagian
tersebut mengalami kerusakan atau tidak berjalan dengan baik,
maka yang menjadi cita-cita pendidikan akan tidak tercapai.
Dewasa ini, pengkajian terhadap komponen-komponen pendidikan
tersebut, memang menjadi bahan diskusi yang tetap aktual dan
menarik, sebab kesemuanya memiliki peran dan fungsi yang urgen
dalam mendukung dan menentukan keberhasilan pendidikan dan dalam
memecahkan persoalan (agenda) pendidikan. Untuk itu, kajian dan
diskusi tentang bagaimana filsafat pendidikan Islam dalam untuk
memecahkan persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-
komponen pendidikan sangat dibutuhkan harus dikembangkan secara
dinamis sesuai dengan kebutuhan pelaku pendidikan Islam sesuai
dengan tuntutan zaman.
Pengembangan dan pengkajian dalam diskusi atau seminar
pendidikan Islam, mengenai filsafat pendidikan Islam dalam
memecahkan persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-
komponen pendidikan tersebut harus dilakukan, khususnya para
pelaksana pendidikan Islam. Karena jika dalam memecahkan
persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-komponen
pendidikan yang digunakan masih bersifat taqlid, statis dan
cenderung tidak mengalami perubahan yang signifikan sesuai dengan
perkembangan zaman, maka akan berdampak terhadap kualitas
pendidikan umat Islam, terlebih lagi kualitas kehidupan umat
Islam itu sendiri yang akan terus terbelakang dan menjadi bulan-
bulanan institusi atau lembaga pendidikan yang menggunakan sistem
pendidikan selain Islam, lebih lagi institusi pendidikan yang
tidak mengatasnamakan Islam. Memang ada kecenderungan selama ini,
bahwa dinamika pendidikan Islam dalam tataran pelaksanaanya
kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain. Hal
itu tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya
adalah faktor dalam merumuskan atau merencanakan dan prosedur
yang diterapkan dalam perencanaan tersebut, yang seharusnya
mengadopsi dari konsepsi filsafat pendidikan Islami yang utuh dan
sesuai dengan tuntutan perkembanagan zaman, sehingga dapat
merancangbangun dan menyelenggarakan pendidikan yang baik atau
memperbaiki pendidikan yang selalu menjadi perhatian khalayak
para pelaksana pendidikan untuk dipecahkan.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang apa, bagaimana dan
mengapa persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-
komponen pendidikan menjadi tokoh atau pemeran utama dalam makalah
ini? maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan mendalam
tentang persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-
komponen pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam.
Makalah ini sengaja disusun dengan harapan, kajian ini memberikan
pemahaman yang lebih utuh tentang konsep filsafat pendidikan
Islam dalam memecahkan persoalan (agenda) pendidikan melalui
kajian komponen-komponen pendidikan, sehingga memberikan
kontribusi yang jelas terhadap pengembangan keilmuan di bidang
pendidikan Islam, khususnya di wilayah kajian filsafat Pendidikan
Islam. Namun, apa yang tertulis secara eksplisit dalam makalah
ini tentu kurang memadai untuk memenuhi harapan tersebut tanpa
adanya kritik, saran dan diskusi lebih lanjut tentang gagasan-
gagasan yang ada. Maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif dari pembaca sehingga apa yang diharapkan
dapat terpenuhi dengan baik.
PEMBAHASANFILSAFAT PENDIDIKAN ISLAMI (DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA)PENDIDIKAN MELALUI KOMPONEN-KOMPONEN PENDIDIKAN)
Dalam upaya memecahkan persoalan (agenda) pendidikan, maka
terlebih dahulu yang harus dipahami adalah apa, siapa, di mana,
kapan, mengapa dan bagaimana persoalan pendidikan dewasa ini?
Sehingga menurut hemat penulis, persoalan yang terjadi dewasa
ini, dapat ditemukan titik-titik fokus yang menjadi sumber
permasalahan yang selalu dinamis dan semakin kompleks. Penulis
berasumsi bahwa persoalan (agenda) pendidikan saat ini adalah
dampak dari pemahaman, perumusan, pelaksanaan dan pengendalian
(evaluasi) yang tidak dapat menjawab kebutuhan dan kesesuaian
dalam pendidikan dewasa ini.
Penulis mencoba membuat titik-titik fokus yang menjadi
sumber persoalan yang termuat dalam komponen-komponen pendidikan
itu sendiri, meliputi; hakikat manusia, hakikat pendidikan, dasar
pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, peserta didik, kelembagaan
pendidikan, proses pendidikan, dan pengembangan pendidikan yang pada
makalah ini, penulis akan menjabarkan secara padat dan utuh
dengan harapan dapat menjawab persoalan pendidikan dewasa ini.
A. HAKEKAT MANUSIA
Setiap orang memiliki filsafat yang berbeda-beda, baik itu
yang berupa ide-ide tentang benda-benda, sejarah, arti kehidupan,
mati, Tuhan, benar atau salah, maupun tentang keindahan atau
kejelekan dan sebagainya. Namun bagaimana persepsi filsafat
terhadap apa yang menjadi subyek dan kadang menjadi obyek dalam
berfilsafat tersebut? Oleh karena itu, penulis akan mengungkapkan
hakikat dari subjek/obyek yang berfilsafat (manusia) yang
merupakan subjek/obyek yang menjadi bagian integral dalam komponen-
komponen pendidikan dan menjadi subjek/obyek dalam memecahkan
persoalan (agenda) pendidikan.
Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa karena pendidikan
adalah usaha untuk membantu manusia untuk memanusiakan dirinya,
maka pada pembahasan kali ini, akan dibahas tentang hakekat
manusia. Ada dua sudut pandang yang digunakan; manusia menurut
manusia, dan manusia menurut Tuhan, yang pada kesempatan ini akan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Manusia Menurut Manusia
a) Socrates mengungkapkan bahwa manuisa adalah sentral segalanya.
Dia akan mengatur dirinya dan alam dengan peraturan yang dia buat
sendiri.
b) Plato (murid Socrates) menyebutkan bahwa manusia perlu
mengetahui siapa dirinya sebelum mengetahui yang ada di luar
dirinya. Dan untuk mengetahui sesuatu itu, manusia perlu
bertanya. Untuk itu dia perlu bantuan orang lain untuk menjawab
pelbagai pertanyaannya. Manusia terdiri dari jiwa (ada sebelum
kelahiran) dan tubuh (fisik). Jiwa akan abadi sedangkan tubuh
akan musnah. Jiwa manusia terdiri dari 3 elemen; kuda putih
(roh), kuda hitam (nafsu), dan kusir (rasio). Kuda hitam dan
putih secara bersama menarik kereta. Rasio bertugas mengendalikan
kereta. Pendidikan bertugas membantu rasio dalam mengendalikan
kereta tersebut.
c) Rene Descartes (1596-1650) mengartikan ciri rasional pada
manusia adalah adanya kebebasan memilih dalam bertingkah laku.
Pada binatang kebebasan itu tidak ada. Maka berfikir itu sangat
sentral pada manusia.
d) Immanuel Kant (1724-1804) memberi definisi bahwa manusia itu
adalah makhluk rasional yang bertindak berdasarkan alasan moral
yang bukan hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Jadi
ciri manusia adalah berfikir baru bertindak. Pada binatang itu
tidak terjadi.
2. Manusia Menurut Tuhan
Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa penjelasan terbaik
tentang siapa manusia itu berasal dari pencipta manusia. Dan
karena Al-Quran adalah kitab yang masih asli dari Tuhan, maka
dari sanalah kita mengetahui apa yang Tuhan katakan tentang
manusia. Menurut Tuhan manusia adalah diciptakan oleh Tuhan. Al-
Quran menyebutkan bahwa manusia memiliki unsur jasmani, maka
perlu makan dan minum (QS. 7:31). Juga memiliki unsur akal, dan
ruh. Menurut Al Syaibani, jasmani, akal, dan ruhani membangun
manusia laksana segitiga sama sisi. Ketiganya sama pentingnya
untuk dikembangkan.
Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang digunakan dalam
menunjukkan tentang manusia, yakni: insan, basyar dan bani Adam.
Basyar banyak mengacu pada pertian manusia dari segi fisik dan
nalurinya yang berbeda dengan makhluk lainnya. Sementara insan
menunjukkan manusia dengan segala totalitasnya, jiwa dan raga.
Manusia (insan) yang berbeda antara seorang dengan seorang yang
lain karena perbedaan fisik, mental dan kecerdasan. Bani Adam
menunjukkan pada semua manusia sebagai makhluk sosial (M. Quraish
Shihab, 1997 : 278).
Konsep manusia dalam Islam juga dapat diambil dari QS. Al-
Mu’minun ayat 12-14 menunjukkan bahwa manusia diciptakan Allah
dari saripati tanah yang dijadikan sperma (nuthfah) dan disimpan
di tempat yang kokoh. Kemudian nuthfah itu dijadikan segumpal
darah. Segumpal darah itu dijadikan segumpal daging. Lalu
segumpal daging dijadika tulang. Tulang dibalut dengan daging
yang kemudian dijadikan Allah sebagai makhluk. Sedangkan dalam
QS. As-Sajadah ayat 7-9 ditegaskan pula bahwa setelah kejadian
manusia dalam kandungan mengambil bentuk, ditiupkan oleh Allah
ruh ke dalam tubuhnya, dan dijadikannya pendengaran, penglihatan
dan perasaan. Dengan demikian, QS. Al-Mu’minun ayat 12-14 dan QS.
As-Sajdah ayat 7-9 jelas menegaskan bahwa manusia tersusun dari
dua unsur materi dan immateri, jasmani dan rohani. Unsur materi
(tubuh) manusia berasal dari tanah dan ruh manusia berasal dari
subtansi immateri. Tubuh mempunyai daya-daya fisik jasmani, yaitu
mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium, dan daya gerak. Ruh
mempunyai dua daya, yakni daya berpikir yang disebut akal yang
berpusat di kepala, dan daya rasa yang berpusat di hati (Rohiman
Notowidagodo, 1996 : 17). Unsur-unsur immateri yang lain yang ada
pada manusia itu terdiri dari ruh, aqal, dan nafsu (Mustafa
Zahri, 1976 : 121).
Dari uraian yang singkat tentang hakikat manusia, maka penulis
menyebutkan bahwa upaya yang pertama dan menjadi dasar dari
pemecahan persoalan (agenda) pendidikan adalah sejauh mana
pendidikan dapat memanusiakan manusia dengan pendidikan itu
sendiri? Oleh karena itu, perlu adanya upaya memupuk pemahaman
yang sesuai dengan kebutuhan dan persoalan yang harus dijawab
oleh pendidikan tentang apa, siapa, mengapa dan bagaimana manusia
itu? sehingga harapan dalam pendidikan itu sendiri dapat
tercapai, disebabkan pendidikan dapat membantu manusia dalam
memanusiakan manusia. Dengan kata lain bahwa pengetahuan,
pemahaman dan pemaknaan akan hakikat manusia itu sendiri merupakan
komponen pendidikan yang harus diperbaiki.
B. HAKEKAT PENDIDIKAN
1. Arti Pendidikan
Komponen pendidikan yang menjadi tolak ukur dalam
keberhasilan pendidikan adalah bagaimana memaknai hakikat pendidikan
itu sendiri. Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa orang Yunani
(600 SM) telah mengatakan bahwa pendidikan adalah
usaha mambantu manusia menjadi manusia. Pengertian ini
sesungguhnya masih sangat relevan hingga saat ini. Juga sangat
relevan dengan konsep Al-Quran.
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih
sempurna dan komperhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya
yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang
paling sempurna, Islam memili sumber ajaran yang termuat di dalam
Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang telah dibuktikan oleh para peneliti
ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan
dan pengajaran.Nabi Muhammad Saw., telah mencanangkan program
pendidikan seumur hidup (long life education). Dengan demikian, Islam
sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada Al-Qur’an dan
Al-Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang
pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini
ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan
manusia dan memecahkan persoalan manusia itu sendiri. Oleh karena
itu, Islam menegaskan bahwa pendidikan merupakan jembatan yang
menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan
dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi
merdeka, dan seterusnya.
Selanjutnya bagaimanakah pandangan para ahli dari Barat
mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam praktek
pendidikan? A. Yunus (1999:7) mengemukakan beberapa definisi
pendidikan menurut para ahli, diantaranya adalah :
a) Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna
pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa
atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula
terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan
kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan
perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia
hidup;
b) H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi)
dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang
telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar
kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar
intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia;
c) Frederick J. Mc Donald, pendidikan adalah suatu proses atau
kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia.
Yang dimaksud dengan behavior adalah setiap tanggapan atau
perbuatan seseorang, sesuatu yang dilakukan oleh sesorang; dan
d) M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi
antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau
suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.
2. Pendidikan, Masalah yang Tidak Pernah Selesai
Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa kapanpun dan di Negara
manapun baik negara berkembang maupun negara yang sudah maju
sekalipun, pendidikan selalu menjadi topik pembicaraan yang tak
pernah selesai. Selalu ada usaha untuk memperbaikinya. Ada yang
berhasil tetapi tidak sedikit yang gagal. Hal ini sesuai dengan
sifat manusia yang tidak pernah puas dan cenderung menyukai hal
baru (J.P. Sartri).
Sajjad Husein & Ali Ashraf (1986:98) mengungkapkan bahwa
dewasa ini dunia Islam tengah menghadapi berbagai permasalahan
seputar krisis pendidikan Islam serta problem lain yang sangat
menuntut upaya pemecahan secara mendesak. Sejalan dengan hal ini,
Khursid Ahmad menyatakan bahwa di antara persoalan-persoalan yang
dihadapi dunia Islam masa kini tentang persoalan pendidikan
adalah tantangan yang paling berat. Masa depan Islam akan sangat
tergantung pada bagaimana dunia itu menghadapi tantangan ini
(Machnun Hussein, 1983:ix). Oleh karena itu, inilah yang menuntut
agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal
pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat
Islam.
Dari uraian di atas tentang hakikat pendidikan yang merupakan
bagian integral dari komponen-komponen pendidikan, maka penulis
berpendapat bahwa terdapat dua kata yang perlu digarisbawahi
mengenai hakikat pendidikan yaitu “membantu” dan “manusia” dan
ini yang menjadi tujuan pendidikan itu sendiri untuk memanusiakan
manusia. Untuk merealisasikan tujuan ini manusia haruslah
memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, memiliki
pengetahuan. Karena itulah manusia itu menjadi tujuan pendidikan
yang harus memiliki pengetahuan yang tinggi. Intinya manusia
harus mampu berpikir benar, baik dan indah. Selain itu, dalam
proses pendidikan, yakni memanusiakan manusia, maka tidak dapat
dipungkiri keberadaannya bahwa masalah-masalah dalam proses
pendidikan akan selalu ada, terlebih lagi bagi pendidikan Islam.
Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mampu dan dapat bersaing
dalam memajukan kualitas mansia itu sendiri sesuai dengan tujuan
pendidikan, lebih khusus lagi sesuai dengan tujuan pendidikan
Islam.
C. DASAR PENDIDIKAN
Dasar pendidikan merupakan konsepsi awal berpijaknya
pendidikan dimanapun, kapanpun dan siapapun. Ia merupakan
komponen pendidikan yang menyatu dan beriringan dengan tujuan
pendidikan itu sendiri. Dasar pendidikan terletak pada bagaimana
ia berpandangan? Ketika yang menjadi pandangan hidupnya adalah
agama, maka dasar dari pendidikannya pun akan sesuai dengan
pendangan hidupnya. Demikian pula, jika pandangan hidupnya adalah
Pancasaila dan UUD 1945, maka dasar pendidikannya pun akan
selaras dengan pandangan hidupnya.
Konsep Dasar pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia
termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 yaitu :
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; Setiap warga negara wajibmengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; Pemerintahmengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yangmeningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang; Negaramemprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaranpendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerahuntuk memenuhi kebutuhan n penyelenggaraan pendidikan nasional; dan Pemerintahmemajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilaiagama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umatmanusia.
Berdasarkan UUD 1945 pasal 31 di atas, maka sistem
pendidikan nasional dituangkan dalam UU No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa,
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demikian pula Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa dasar
pendidikan yang digunakan, tidak keluar dari dasar negara
Pancasila. Namun, Pancasila belum diturunkan 100% ke dalam UU
Sisdiknas 2003 yang dipakai saat ini oleh pendidikan di
Indonesia. Lebih lanjut Ahmad tafsir mengungkapkan bahwa sebelum
mengetahui apakah dasar pendidikan dewasa ini sudah mengacu
kepada Pancasila? Maka terlebih dahulu pahamilah istilah berikut
ini, sebagai gambaran dasar pendidikan saat ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Rasionalisme
Rasionalisme berpegang pada prinsip bahwa akal adalah
pencari kebenaran. Dan kebenaran diukur dengan akal. Kebenaran
harus dimiliki agar derajat kemanusiaan semakin tinggi. Manusia
yang sebenarnya adalah yang derajat kemanusiaannya tinggi.
2. Memperkuat Dasar Bagi Nilai-nilai
Terdapat 3 nilai dasar dalam hidup, yaitu benar-salah, baik-
buruk, indah-tidak indah. Seiap orang meninginkan nilai yang
diyakininya dapat lestari. Munculnya budaya yang beragam di
masyarakat merupakan bukti keinginan itu. Jadi budaya tidak lain
adalah bukti nyata adanya nilai. Nilai atau budaya mana yang
ingin dikembangkan oleh pendidikan? Setidaknya ada dua aliran
budaya yang tengah berebut pengaruh di dunia pendidikan
kita. Pertama, budaya yang berdasar pada nilai falsafah bangsa
Pancasila yang core nilainya Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua budaya
Barat. Budaya Barat yang falsafahnya dibangun dari Humanisme dan
Realisme yang melahirkan Positivisme yang menghasilkan metode
ilmiah dan metode riset. Seluruh produk metode riset digunakan
untuk mengatur kehidupan manusia maupun mengatur alam. Inti dari
budaya Barat adalah budaya mendewakan akal. Apakah budaya barat
memang pilihan, ataukah Pancasila? Tidak jarang sebagian para
pendidik secara tidak sadar talah memuja Barat. Padahal
sesungguhnya Barat sendiri mengakui bahwa budaya mereka adalah
budaya yang tidak memanusiakan manusia karena manusia yang unik
telah demikian disederhanakan. Manusia dianggap (diperlakukan)
seperti barang-barang produksi mesin.
Dari uraian singkat tentang dasar pendidikan yang masih terikat
menjadi bagian dari komponen-komponen pendidikan, maka penulis
berasumsi bahwa pendidikan akan selalu diwarnai oleh pandangan
hidup (way of life). Salah satu pandangan hidup adalah rasionalisme,
yang beranggapan bahwa kebenaran itu diperoleh melalui akal, atau
dengan kata lain akal itulah alat pencari dan pengukur kebenaran,
orang-orang sophis dalam penggunaan akal amatlah radikal.
Sekalipun akal yang berperan tetapi bukan merupakan satu-satunya
jalan. Bagi bangsa Indonesia, pandangan hidup yang harus
dijadikan pegangan adalah Pancasila, dan bukan hanya akal yang
menjadi pandangan hidup. Terlebih lagi bagi Muslim, tentunya
tidak hanya akal yang mereka gunakan saja melainkan potensi hati
dan jasad yang dapat mendesign pendidikan menjadi lebih baik.
Selanjutnya ketika membicarakan mengenai design pendidikan tidak
akan terlepas dari nilai atau norma yang akan diterapkan.
Biasanya nilai baik dan buruk digunakan untuk menetapkan nilai,
adapun nilai indah dan tidak indah biasanya dikaitkan dengan
seni.
C. TUJUAN PENDIDIKAN
Tujuan pendidikan merupakan tempat perhentian dari seluruh
komponen pendidikan, tanpa tujuan pendidikan yang menjadi ruh
pada komponen-komponen pendidikan, maka pendidikan hanya tinggal
nama, karena tidak memiliki arah dan tujuan ke mana akan
berlabunya pendidikan. Oleh karena itu dalam pendidikan. wajib
hukumnya menentukan tujuan pendidikan sesuai dengan apa, di mana,
kapan, siapa, mengapa dan bagaimana manusia itu akan menjalani
kehidupan dengan diiringi proses pendidikan.
Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa tujuan pendidikan
merupakan wujud dari pandangan hidup (why of life) dari orang yang
merumuskannya. Karena rumusan pendidikan dibuat oleh para manusia
(salah satunya wakil rakyat, DPR) maka pandangan hidup mereka
turut mewarnai bahkan tidak jarang terjadi perdebatan diantara
mereka. Asalkan rumusannya tidak terlalu jauh dari Pancasila dan
tidak mengancam keutuhan bangsa.
Lebih lagi bagi Islam, yang merupakan dien yang sempurna
yang telah menjawab segala macam permasalahan pendidikan dari
dulu hingga sekarang. Oleh karena itu sebagai seorang muslim
tentunya harus yakin akan sistem pendidikan yang berlandaskan
Islam tentunya akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Salah
satu yang menjadi landasan berpijak dalam sistem pendidikan Islam
adalah tujuan pendidikan. Tujuan dari pendidikan Islam yang
diselenggarakan adalah memiliki lulusan yang diharapkan
seharusnya, memiliki; badan yang sehat, sehinga menjadi manusia
produktif; cerdas, sehingga dapat menyelesaikan persoalan dengan
cepat dan tepat; dan beriman kuat, karena tidak semua masalah
bersifat rasional (dapat diselesaikan dengan kecerdasan). Ketiga
karakter tersebut dapat diuraikan lagi menjadi; lulusan harus
disiplin; jujur; kreatif; ulet; berdaya saing; dapat hidup
berdampingan (living together); demokratis; menghargai waktu; dan
mampu mengendalikan diri.
Secara umum tujuan pendidikan adalah manusia yang baik yang
akan membentuk masyarakat yang baik. Normatif memang. Lalu apa
ciri normarifnya? Masyarakat yang baik sering disebut
sebagai masyarakat madani dengan tiga ciri utama, yakni adanya
hukum yang manusiawi; adanya masyarakat yang taat hukum dan
kesamaan dimuka hukum; dan adanya penegak hukum yang berwibawa.
Selain itu, bagaimana tujuan pendidikan Islami itu? Tujuan
pendidikan Islam adalah dalam hal ini mempunyai upaya yang
terstruktur dan terprogram dalam manjalankan sistem pendidikannya
yang tidak lain bertujuan membentuk manusia yang memiliki hal-hal
sebagaimana penulis akan kemukakan berikut, yaitu:
1. Berkepribadian Islam
Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim,
yakni seorang muslim harus dapat memegang tegas identitasnya
sebagai seorang muslim dalam seluruh aspek kehidupan. Yaitu
mempunyai pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang
berlandaskan Islam. Ada tiga langkah yang pernah diterapkan
Rasulullah Saw. dalam membentuk pola pikir (aqliyah) dan pola
sikap (nafsiyah) Islam yaitu: Pertama, menanamkan aqidah Islam dengan
metode yang tepat, yakni sesuai dengan kategori aqidah aqliyah
(aqidah yang keyakinannya dicapai dengan melalui proses
berfikir); Kedua, mengajaknya untuk senantiasa menegakkan
bangunan cara berfikir dan berprilaku berlandaskan pondasi Islam;
dan Ketiga, mengembangkan kepribadiannya dengan cara membakar
semangatnya untuk bersungguh-sungguh dalam memperdalam tsaqofah
Islam dan mengamalkannya di seluruh aspek kehidupan sebagai wujud
ketakwaan terhadap Allah Swt.
2. Menguasai Tsaqafah Islam
Tujuannya yaitu tidak lain merupakan konsekuensi kemusliman
seseorang. Islam mendorong setiap muslim untuk menjadi manusia
yang penuh ilmu. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi
ilmu dalam dua kategori dilihat dari sisi kewajibannya yaitu:
Pertama, Ilmu yang digolongkan sebagai fardlu ‘ain, yakni ilmu yang
wajib dipelajari oleh setiap individu muslim yaitu ilmu-ilmu
tsaqafah Islam seperti: pemikiran Islam, ide dan hukum (fiqh)
Islam, bahasa arab, Al-Qur’an dan Al-Hadist dan sebagainya; dan
Kedua, Ilmu yang digolongkan sebagai fardlu kifayah, yaitu ilmu yang
wajib dipelajari oleh sebagian dari umat Islam seperti ilmu
kedokteran, pertanian, teknik, matematika dan sebagainya.
3. Menguasai Ilmu Kehidupan (Iptek dan Keahlian)
Kewajiban untuk menguasai ilmu kehidupan seperti iptek dan
keahlian sangat diperlukan agar umat Islam dapat mencapai
kemajuan material, sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai
khalifah di muka bumi. Sementara banyak dalam ayat Al-Qur’an yang
menyerukan untuk menggunakan akal untuk memikirkan segala
penciptaan Allah Swt. sehingga bisa didapat sains dan aplikasinya
berupa teknologi. Dari situlah akan membuahkan tambahan keimanan
kepada Allah Swt., terhadap semua penciptaan Allah Swt. dan
keagungan-Nya.
Dengan demikian, dari uraian singkat di atas tentang tujuan
pendidikan (bagian dari komponen pendidikan), maka penulis
menyatakan bahwa sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang
beragama Islam, maka tujuan pendidikan yang ditekankan pun bukan
hanya menjadi manusia yang berjiwa Pancasila, namun lebih dari
itu, yakni menjadi manusia yang memiliki kepribadian Islami dari
sisi aqidah, syariah dan akhlak, serta menguasai ilmu-ilmu
khazanah Islami. Selain itu, ia juga harus menguasai ilmu dan
teknologi yang sedang berkembang saat ini. Jadi, tujuan
pendidikan yang diselenggarakan adalah tujuan yang memiliki
orientasi untuk memanusiakan manusia secara kenegaraan
(Indonesia), lebih jauh lagi memanusiakan manusia Indonesia
dengan tujuan memiliki kepribadian Islami.
D. KURIKULUM PENDIDIKAN
Kurikulum merupakan komponen pendidikan yang sangat
mempengaruhi keberhasilan tujuan pendidikan, karena setiap apa
yang menjadi kebijakkannya adalah menghasilkan tercapai tidaknya
tujuan pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam merumuskan
kurikulum perlu juga mengamati dan mempertimbangkan komponen-
komponen yang lain, sehingga komponen pendidikan yang satu dengan
komponen pendidikan yang lain dapat berjalan dengan benar, baik
dan indah.
Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa kurikulum sering
diartikan sebagai program. Istilah ini sangat popular di dunia
pendidikan. Biasanya berisi daftar mata pelajaran. Tetapi
sebenarnya tidak harus demikian. Kurikulum dapar saja berisi
daftar kegiatan misalnya kegiatan mengelas, berlari, menulis, dan
seterusnya. Yang tidak kalah penting di sini adalah paradigma dan
pendekatan yang akan digunakan guna mencapai tujuan kurikulum.
Sebagaimana pembagian jenis ilmu, maka paradigma dalam
mengembangkan ilmu juga harus tepat. Ilmu pengetahuan sain dapat
dicapai dengan metode ilmiah – empiris, ilmu yang bersifat
filsafat maka paradigmanya adalah rasional (tanpa empiris),
demikian juga ilmu mistik memiliki paradimnanya sendiri
(suprarasional dan metarasional paradigma). Jangan pernah
memberikan pengetahuan tetapi menggunakan paradigma yang tidak
tepat. Pendidikan Barat contohnya, telah melakukan kesalahan
fatal ketikan mengkaji ilmu agama dengan paradigma sain –
empirik. Tentu saja kebanyakan mereka akan gagal.
Kurikulum ialah program dalam mencapai tujuan pendidikan.
Hal penting pertama yang harus diperhaikan ialah kurikulum itu
ditentukan oleh tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Sementara
tujuan pendidikan itu mesti ditetapkan berdasarkan kehendak
manusia yang membuat kurikuum itu. Tatkala, hendak merancang
kurikulum pendidikan, yang terbayang pada ialah apa indikator
manusia yang baik itu. Manusia yang baik ialah manusia yang
akhlaknya baik; memiliki pengetahuan yang benar; dan Menghargai
keindahan. Tiga pilar ini yang menjadi isi semua kurikulum.
Dalam memandang persoalan kurikulum Islami, maka masih
sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup
berbagai aspek kehidupan), sehingga peran pendidikan Islam di era
global sering hanya difahami sebagai pemindahan pengetahuan
(knowladge) dan nila-nilai (value) ajaran Islam yang tertuang
dalam teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial (Social Science)
dan ilmu-ilmu alam (Nature Science) dianggap pengetahuan yang umum.
Padahal Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan
tanpa terikat) antara ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam
Islam dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat
manusia (M. Shofan, 2004:109)
Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan
adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu,
persoalan dikotomik; tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam,
dan persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling
interdependensi antara satu dengan lainnya, yang pada kesempatan
ini akan diuraikan sebagai berikut:
Pertama, persolan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan
persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang.
Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama
dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu
agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang
Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari
Allah Swt. (Suroyo, 1991:45). Mengenai persoalam dikotomi,
tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah dengan
menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang
secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya
- yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari
Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah
bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni
membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang
kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan
keterkaiatan yang serius kepada Islam (Fazlur Rahman,
1982 :155,160). A.Syafi’i Ma’arif (1991 : 150), mengatakan bahwa
jika konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam
jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara
keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi;
Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga
pendidikan Islam (Anwar Jasin, 1985:15) yang ada; dan
Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri
pendidikan Islam “terlalu dominasi masalah-maslah yang
bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan
dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta
didik dipaksa tunduk pada suatu “meta narasi” yang ada, tanpa
diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan
Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya
sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi
atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang
telah ditentukan.
Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu
menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam
secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga
dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni
bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang
berkualitas, bermoral tinggi dalam
menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga
produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi
mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompetitif dan
proaktif dalam dunia masyarakat modern.
E. PESERTA DIDIK
Peserta didik dan pendidik merupakan satu kesatuan dalam
komponen-komponen pendidikan itu sendiri. Peserta didik tidak
akan dapat terdidik dan menjadi manusia seutunya, jika tanpa
dorongan, arahan dan bimbingan pendidik dalam upaya tercapainya
tujuan pendidikan.Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa ada tiga istilah yang sering
digunakan untuk menunjukkan peserta didik yakni murid, anak didik, dan
peserta didik. Ahmad Tafsir menanalisa alasan masing-masing penggunaan
istilah dan merekomendasikan untuk (tetap) menggunakan istilah
‘murid’. Adapun perbedaan istilah tersebut adalah sebagai berikut:
Murid Mengandung makna kesungguhan belajar, keprihatinan guru, pembelajaran lebih barokah dan manusiawi. Seorang murid mestilah mendahulukan kesucian jiwa, mengurangi keterkaitan dengan kesibukan duniawiyah, dan tidak sombong terhadap orang-orang berilmu.
Anak didik
Diharapkan guru mencintainya seperti mencintai anak sendiri.
Peserta didik
Istilah paling mutakhir yang sangat mementingkan ‘proses’ belajar. Peran guru semakin dikurangi hingga menjadi 25% saja atau jika mungkin 0%
Secara etimologi peserta didik dalam bahasa arab disebut
dengan tilmidz jamaknya adalah talamid, yang artinya adalah “murid”,
maksudnya adalah “orang-orang yang menginginkan pendidikan”.
Dalam bahasa arab dikenal juga dengan istilah thalib, jamaknya
adalah thullab, yang artinya adalah “mencari”, maksudnya adalah
“orang-orang yang mencari ilmu”. Ini sesuai dengan sabda
Rasulullah Saw: “Siapa yang menuntut ilmu dan mendapatkannya, maka Allah
mencatat baginya dua bagian”. (HR. Thabrani)
Namun secara definitif yang lebih detail para ahli teleh
menuliskan beberapa pengertian tentang peserta didik, yaitu
sebagai berikut:
1. Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memilki
sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan
(Samsul Nizar, 2002:25).
2. Pasal 1 ayat 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyatakan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat
yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan
pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
3. Abu Ahmadi (Abu Ahmadi, 1991:26) mengungkapkan bahwa peserta
didik adalah orang yang belum dewasa, yang memerlukan usaha,
bantuan, bimbingan orang lain untuk menjadi dewasa, guna dapat
melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai umat
manusia, sebagai warga Negara, sebagai anggota masyarakat dan
sebagai suatu pribadi atau individu
Dari definisi-definisi yang diungkapkan oleh para ahli di
atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah orang yang
mempunyai fitrah (potensi) dasar, baik secara fisik maupun
psikis, yang perlu dikembangkan, untuk mengembangkan potensi
tersebut sangat membutuhkan pendidikan dari pendidik.
Samsul Nizar (2002:20) sebagaimana yang dikutip oleh
Ramayulis (2008:36) mengklasifikasikan peserta didik sebagai
berikut:
1. Peserta didik bukanlah miniature orang dewasa tetapi memiliki
dunianya sendiri.
2. Peserta didik memiliki periodisasi perkembangan dan
pertumbuhan.
3. Peserta didik adalah makhluk Allah SWT yang memiliki perbedaan
individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan
dimana ia berada.
4. Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani,
unsur jasmani memiliki daya fisik dan unsur rohani memiliki daya
akal hati nurani dan nafsu.
5. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah
yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis
Abdul Mujib dalam Ramayulis (2004: 98) mengungkapkan bahwa
Al-Ghozali memberikan penjelasan tentang kewajiban peserta didik,
yaitu sebagai berikut:
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh kepada Allah
SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut
untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang
tercela. Allah SWT berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Ad- Dzariat: 56)
“Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-
An’am: 163)
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah
ukhrowi. Allah SWT berfirman: “Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih
baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”(QS. Adh-Dhuha: 4).
3. Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan
kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
4. Menjaga pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai
aliran.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun
untuk duniawi.
6. Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang
mudah menuju pelajaran yang sukar.
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada
ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu
pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari.
9. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan,
yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akherat.
11. Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.
Selanjutnya, siapakah pendidik sebenarnya? Orang tua adalah
pendidik paling utama. Kepolisian, LSM, parpol, termasuk (juga)
guru adalah sebagai pendidik pada batas-batas wewenangannya
masing-masing. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam UU
No.20 Tahun 2003, Pasal 39 ayat 2 dijelaskan bahwa Pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
perguruan tinggi. Selanjutnya dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1
BAB 1 tentang Ketentuan umum menyebutkan bahwa Tenaga
Kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
F. LEMBAGA PENDIDIKAN
Lembaga pendidikan merupakan komponen pendidikan yang
menjadi tempat atau lingkungan pendidikan, yang menurut hemat
penulis bahwa lembaga pendidikan di sini adalah dapat
diistilahkan dengan lingkungan pendidikan yang meliputi,
lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah. Namun dengan
berjalannya pengertian-pengertian baru, maka lembaga pendidikan
yang dimaksud saat ini lebih cenderung kepada lembaga pendidikan
dalam bentuk sekolah. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan
oleh Ahmad Tafsir (2006) yang menyatakan bahwa secara konseptual
lembaga pendidikan (sekolah) dibentuk untuk melakukan proses
pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Tiga tujuan
setidaknya ingin dicapai melalui sekolah
yakni moralitas (akhlak), civic (cinta tanah air), dan
berpengatahuan. Lebih lanjut, Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa
untuk pendidikan untuk masa depan dan kecenderungan abad ke-21
ialah terjadinya globalisasi dan pasar bebas menuntut tambahan
kemampuan lulusan sebuah lembaga pendidikan. Dunia yang tanpa
batas (borderless word), pasar bebas (WTO-word trade organization) telah
diciptakan, dan tatanan dunia baru telah lahir. Namun demikian,
dunia pendidikan Indonesia masih menghadapi tiga masalah besar,
yaitu; sistem yang terlalu kaku, budaya korup (peringkat 2
dunia), dan belum berorientasi pada pemberdayaan dan
mengantisipasi abad 21. Model Sekolah abad 21 haruslah menekankan
pada kompetensi, pendidikan agama sebagai landasan terbentuknya
karakter dan kepribadian; bahasa Inggris aktif; pendidikan sains;
dan pendidikan keterampilan.
G. PROSES PENDIDIKAN
Proses pendidikan merupakan salah satu dari komponen
pendidikan yang menurut Ahmad Tafsir (2006) adalah satu hal yang
penting untuk diperhatikan yang menjadi topik dalam pembahasan
ranah filsafat bahwasanya sebuah proses pendidikan mestilah
mambangun sebuah internalisasi content pendidikan. Baik itu
terkait dengan internalisasi pengetahuan terlebih lagi
internalisasi nilai. Ada rambu-rambu penting yang perlu
diperhatikan agar sebuah proses sukses melakukan internalisasi.
Ada tiga tujuan pembelajaran, yaitu 1) tahu (knowing); 2) mampu
melaksanakan apa yang diketahui (doing); dan 3) menjadi apa yang
telah dilaksanakan itu (being). Tiga hal tersebut berlaku untuk
semua disiplin ilmu baik ilmu yang tidak bersifat nilai, apalagi
yang bersifat nilai. Untuk itu ada dua langkah penting yang perlu
dipersiapkan dan didesain oleh sebuah proses pendidikan, yaitu
keteladanan dan pembiasaan.
Pada pendidikan nilai, khususnya agama (Islam) dalam
pelaksanaan keteladanan dan pembiasaan, mestilah ada action nyata.
Untuk itu perlu juga diketahui dan diperhatikan tahap-tahap
berikut khususnya ketika menginternalisasi praktik ibadah.
Menurut Al-Ghazali, ibadah itu melalui tahapan sebagai berikut:
1. Tahap ilmu, beribadah harus dengan ilmu sesuai dengan
petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
2. Tahap taubat, dengan taubat maka dosa akan diampuni, akan
mendapat pertolongan, dan ibadah akan diterima.
3. Tahap godaan, godaan dapat berupa dunia, makhluk, syetan,
hawa nafsu.
4. Tahap penghalang, penghalang dapat berupa rezeki dan
tuntutan hawa nafsu, kurang ridho, dan musibah.
5. Tahap pendorong, khauf dan raja’.
6. Tahap perusak, riya’ dan ujub.
7. Tahap puji dan syukur, jika semua tahap 1-6 dapat dilalui
dengan baik, maka seorang akan dapat merasakan nimatnya
beribadah. Maka pantaslah ia bersyukur dengan memuji
kebesaran Allah.
Satu lagi hal penting yang perlu diperhatikan dan
dipraktikkan dalam proses pendidikan yaitu doa. Doa adalah
kekuatan yang efektif. Doa yang paling efektif adalah yang
dilakukan oleh orang lain untuk saudaranya.
Terkait dengan biaya pendidikan, maka Ahmad Tafsir (2006)
menyatakan bahwa sumber daya terbesar yang harus dikeluarkan
dalam pendidikan sesungguhnya adalah pada proses. Di Indonesia,
pendidikan Islam khususnya, seringkali menjadikan biaya yang
besar sebagai alibi keterbalakangan. Tetapi penulis kurang
sependapat jika dikatakan kita ini miskin. Yang benar adalah kita
tidak mampu mengelola harta, kurang bisa membuat skala prioritas
dalam beribadah. Ambil contoh, misalnya ibadah haji. 200.000
orang setiap tahunnya menunaikan haji ke Baitullah. 4%
diantaranya adalah orang yang sudah pernah berhaji. Jika 4 persen
(8.000 orang) ini mau menyisihkan uangnya untuk invertasi
pendidikan, maka akan ada 8.000 orang x Rp30.000.000 = 240
milyar. Bagaimana jika 10 tahun uang itu dideposito, maka akan
bertambah 200%. Belum lagi deposito tahun ke-2, ke-3, dst. Dan
masih ada lagi potensi lain; zakat, infaq, dll. Sayangnya, ummat
Islam – meminjam istilah Sutan Takdir Alisyahbana – masih sangat
menganut budaya ekspresif (rasa) dari pada progresif.
H. PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
Pengembangan pendidikan merupakan komponen pendidikan yang
terakhir, yang menjadi tonggak akhir dalam upaya memperbaiki dan
memajukan upaya-upaya pendidikan.
Pengembangan pendidikan jika ditinjau dari sisi filsafat
pendidikan Islam, maka akan sesuai dengan apa yang diungkapkan
oleh Ahmad Tafsir (2006) yang menyatakan bahwa pancasila adalah
dasar Negara dan harus mampu diturunkan ke dalam UUD. Selanjutnya
harus diturunkan secara konsisten ke dalam semua UU, termasuk UU
Sisdiknas. Jika dilihat dari sisi filsafat, sesungguhnya
Pancasila memiliki 4 ide (bukan 5 ide), yaitu; (1) Kemanusiaan
yang berdasarkan keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2)
Persatuan yang berdasarkan keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa,
(3) Kerakyatan yang berdasarkan keimanan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dan (4) Keadilan sosial yang berdasarkan keimanan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa. UU Sisdiknas haruslah menjadi salah satu
wujud dari empat ide tersebut. UU Sisdiknas yang baru no. 20
tahun 2003, setidaknya telah mencoba menerjemahkan ide tersebut.
Pada UU tersebut tertuang tujuan pendidikan yaitu untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, … (BAB II pasal
3). Persoalanya adalah kalimat “beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa” belum amat jelas maksudnya. Ini menjadi pangkal
persoalan untuk kemudian terjadi inkonsistensi. Jikapun ini
dianggap telah konsisten, tetapi pada tataran teknis
inkonsistensi terulang lagi. Tidak adanya spirit “beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” begitu terasa dalam permen-
permen, maupun PP tentang pendidikan Indonesia. Untuk
menyempurnakan kurikulum pendidikan, diusulkan agar ditegaskan
bahwa “keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
adalah core (inti) sistem pendidikan Indonesia” dan sekaligus
dijadikan sebagai paradigma pendidikan Indonesia.
Ahmad Tafsir lebih lanjut mengungkapkan bahwa persoalan
pendidikan saat ini begitu kompleks, sehingga membutuhkan
perbaikan secara signifikan. Ia menyebutkan bahwa untuk
memperbaiki pendidikan saat ini terdapat dua langkah penting yang
harus segera diambil, yaitu: Pertama, mengubah paradigma dengan
mengutamakan pendidikan akhlak. Ini berarti pendidikan agama.
Jadikan agama sebagai core sistem pendidikan. Kedua, mendesain
model kurikulum. Model kurikulum harus didesain berdasakan
paradigm, dan harus memperhatikan fitrah manusia dan perkembangan
dunia modern. Ini berarti harus mengandung muatan lokal,
nasional, dan global.
Ahmad Tafsir pun menggugat pendidikan saat ini, yang masih
menghasilkan lulusan yang suka menang sendiri dan memaksakan
kehendak, suka narkoba dan tawuran, suka curang dan tidak punya
kepekaan sosial, bahkan suka serakah dan korupsi. Padahal itu
semua, termasuk koruptor adalah orang yang gagal menjadi manusia
sekalipun dia seorang pejabat atau pengusaha sukses. Jadi
kegagalan pendidikan bukan hanya tidak memenuhi standar lapangan
kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan saat ini belum
dapat menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia. Lebih lanjut
Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa, bangsa-bangsa yang dimusnahkan
Tuhan itu bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai,
tapi karena buruknya akhlak. Bukankah orang yang tidak berakhlak
itu derajatnya lebih rendah dari binatang. Oleh karena itu, kata
para filosof, pendidikan dimakudkan untuk membantu memanusiakan
manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani
dan kalbu, perpaduan ketiga unsur itu dalam desain pendidikan
akan menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi
Insya Allah.
Selanjutnya, dalam persoalan tantangan paradigma pendidikan
Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan
memasuki era millennium ketiga, yang seakan-akan menyudutkan dan
menganaktirikan sistem pendidikan Islami klasik, maka para ahli
pendidikan Islam sudah seharusnya memiliki formula dalam
merancabangun dan memperbaiki pendidikan saat ini. Hal tersebut
terungkap dengan sebuah pertanyaan, yaitu desain pendidikan
Islami yang bagaimana, yang mampu menjawab tantangan
perubahan ini? Desain pendidikan Islami yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain
ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (a) model
pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja
untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-
mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-
persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman,
(b) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara
materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan
intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (c) model
pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep
Islam, (d) atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus
mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep
dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia,
dan (e) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah
tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama
dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan
masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya.
Kedua, disain “pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi”, yakni :
(a) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat
mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam
hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus
mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui
pengembangan Iptek, dan (b) dimensi ketunduhan vertikal,
pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara
sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan
misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati
pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati (M. Irsyad
Sudiro, 1995:2).
Ketiga, sepuluh paradigma digunakan untuk membangun paradiga
baru pendidikan Islam, yakni (a) pendidikan adalah proses
pembebasan; (b) pendidikan sebagai proses pencerdasan; (c)
pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak; (d) pendidikan
menghasilkan tindakan perdamaian; (e) pendidikan adalah proses
pemberdayaan potensi manusia; (f) pendidikan menjadikan anak
berwawasan integrative; (g) pendidikan wahana membangun watak
persatuan; (h) pendidikan menghasilkan manusia demokratik; (i)
pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan;
dan (j) sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan (Djohar,
1999:12).
Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain
pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma
pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman
modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, “kecenderungan
perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman
merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat
sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi
dan harapan terhadap pendidikan” (S.R.Parker, 1990), sehingga
tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap
persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan
post masyarakat modern.
Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya
berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan
lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan
pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan
sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi
secara keseluruhan. Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan
oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar (1993), tidak lagi dipandang
sebagai bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam
pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan
yang bersifat sementara. Tetapi, merupakan suatu bentuk investasi
sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan
utama; pertama, pendidikan dapat membantu meningkatkan
ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif
sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan pendidikan
di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan memberikan
pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan
(equality of education opportunity) (A. Malik Fadjar, 1995:1).
Selain itu dalam menghadapi era milenium ketiga ini
nampaknya pendidikan Islam harus menyiapkan sumber daya manusia
yang lebih handal yang memiliki kompotensi untuk hidup bersama
dalam era global. Menurut Djamaluddin Ancok (1998:5), “salah satu
pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah
kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa
diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu
berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa
diprediksi. Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk
melihat adanya stabilitas tersebut. Apa yang terjadi di depan
semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak
terpolakan dan tidak lagi bersifat linier”. Maka, pendidikan
Islam sekarang ini desainnya tidak lagi bersifat linier tetapi
harus didisan bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman
yang begitu cepat dan tidak terpolakan.
Untuk itu, lebih lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip
Hartanto, Raka & Hendroyuwono (1998) mengatakan bahwa pendidikan
(termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan ada empat kapital
yang diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital
intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini
tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak
tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan
perubahan atau mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi,
fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat meneuhi
tuntatan perubahan yang semakin cepat.
Dari pembahasan di atas mengenai perkembangan pendidikan
pada abad modern, maka dapat disimpulkan bahwa : (1) Dalam
menghadapi perubahan masyarakat modern, secara internal
pendidikan Islam harus menyelesaikan persoalan dikotomi, tujuan
dan fungsi lembaga pendidikan Islam, dan persolalan kurikulum
atau materi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan. (2)
Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendesain ulang fungsi
pendidikan, dengan memilih model pendidikan yang relevan dengan
perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. (3) Pendidikan Islam
didesain untuk dapat membantu meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat
meningkatan kerja lulusan pendidikan di masa datang. Selain itu
perlu disain pendidikan Islam yang tidak hanya bersifat linier
saja, tetapi harus bersifat lateral dalam menghadapi perubahan
zaman yang begitu cepat. (4) Pendidikan Islam harus mengembangkan
kualitas pendidikannya agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat yang selalu berubah-berubah. Lembaga-lembaga
pendidikan Islami harus dapat menyiapkan sumber insani yang lebih
handal dan memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam ikatan
masyarakat modern.
KESIMPULAN
Sesuai dengan apa yang menjadi permasalahan dalam penulisan
makalah ini, yaitu penulis ungkapkan dalam bentuk pertanyaan;
bagaimana filsafat pendidikan Islami dalam upaya memecahkan
persoalan (agenda) pendidikan Islami melalui kajian komponen-
komponen pendidikan? Dan bagaimana upaya komponen-komponen
pendidikan dalam merancangbangun dan memperbaiki pendidikan Islam
dewasa ini? Dari kedua pertanyaan tersebut, maka penulis mencoba
merumuskan formula pendidikan untuk menjawab pertanyaan seputar
pendidikan tersebut dengan maksud dapat merancabangun dan
memperbaiki melalui komponen-komponen pendidikan (hakikat manusia,
hakikat pendidikan, dasar pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan,
peserta didik, kelembagaan pendidikan, proses pendidikan, dan pengembangan
pendidikan). Rumusan formula pendidikan dalam upaya memecahkan
persoalan (agenda) pendidikan yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-
komponen penting yang saling berhubungan. Oleh karena itu, dalam
upaya memecahkan persoalan (agenda) pendidikan, maka komponen-
komponen pendidikan tersebut harus dipahami dan diinternaslisasi
secara integral dan sesuai dengan perkembangan zaman saat ini,
baik itu dilihat dari sisi keilmuan, teknologi informasi, maupun
dilihat dari sisi manusia itu sendiri, yakni makhluk sosial,
religius dan lain sebagainya.
2. Perlu adanya upaya memupuk pemahaman yang sesuai dengan
kebutuhan dan persoalan yang harus dijawab oleh pendidikan
tentang apa, siapa, mengapa dan bagaimana manusia itu? sehingga
harapan dalam pendidikan itu sendiri dapat tercapai, disebabkan
pendidikan dapat membantu manusia dalam memanusiakan manusia.
Dengan kata lain bahwa pengetahuan, pemahaman dan pemaknaan akan
hakikat manusia itu sendiri merupakan komponen pendidikan yang
harus diperbaiki.
3. Terdapat dua kata yang perlu digarisbawahi mengenai hakikat
pendidikan yaitu “membantu” dan “manusia” dan ini yang menjadi
tujuan pendidikan itu sendiri untuk memanusiakan manusia. Untuk
merealisasikan tujuan ini manusia haruslah memiliki kemampuan
dalam mengendalikan diri, memiliki pengetahuan. Intinya manusia
harus mampu berpikir benar, baik dan indah.
4. Pendidikan akan selalu diwarnai oleh pandangan hidup (way of
life). Maka mendesain pandangan hidup sesuai dengan kebutuhan dan
harapan perkembangan zaman merupakan salah satu factor yang
penting, dengan mempertimbangkan norma-norma atau nilai nilai
kebenaran, kebaikan dan keindahan.
5. Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam, maka
tujuan pendidikan yang diselenggarakan adalah tujuan yang
memiliki orientasi untuk memanusiakan manusia secara kenegaraan
(Indonesia), lebih jauh lagi memanusiakan manusia Indonesia
dengan tujuan memiliki kepribadian Islami.
6. Perlu mendesain model kurikulum. Model kurikulum harus
didesain berdasakan paradigm dengan mengutamakan pendidikan
akhlak (pendidikan Agama),
7. Perubahan yang terjadi terhadap istilah dan bahkan makna dari
istilah murid menjadi peserta didik, menyebabkan pendidik/guru
tidak dapat berperan penuh dalam melakukan pembimbingan dan
pelatihan terhadap peserta didik. Oleh karena itu perlu adanya
mendesain/memperbaiki istilah tersebut yang merepresentasi dari
tugas pendidik terhadap peserta didik.
8. Lembaga pendidikan (sekolah) dibentuk untuk melakukan proses
pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Tiga tujuan
setidaknya ingin dicapai melalui sekolah
yakni moralitas (akhlak), civic (cinta tanah air), dan
berpengatahuan.
9. Proses pendidikan pada dasarnya mambangun sebuah
internalisasi content pendidikan, Baik itu terkait dengan
internalisasi pengetahuan terlebih lagi internalisasi nilai. Ada
rambu-rambu penting yang perlu diperhatikan agar sebuah proses
sukses melakukan internalisasi. Ada tiga tujuan pembelajaran,
yaitu 1) tahu (knowing); 2) mampu melaksanakan apa yang diketahui
(doing); dan 3) menjadi apa yang telah dilaksanakan itu (being).
Untuk itu ada dua langkah penting yang perlu dipersiapkan dan
didesain oleh sebuah proses pendidikan, yaitu keteladanan dan
pembiasaan.
10. Pengembangan pendidikan merupakan komponen pendidikan yang
terakhir, yang menjadi tonggak akhir dalam upaya memperbaiki dan
memajukan pendidikan saat ini. Maka terdapat dua langkah penting
yang harus segera diambil, yaitu: Pertama, mengubah paradigma
dengan mengutamakan agama. Jadikan agama sebagai core sistem
pendidikan. Kedua, mendesain model kurikulum. Model kurikulum
harus didesain berdasakan paradigm, dan harus memperhatikan
fitrah manusia dan perkembangan dunia modern. Ini berarti harus
mengandung muatan lokal, nasional, dan global.
DAFTAR PUSTAKA
A. Malik Fadjar. (1995). Menyiasati Kebutuhan Masyarakat ModernTerhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan LokakaryaPengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN,Cirebon.
A. Yunus. (1999). Filsafat Pendidikan, Bandung: CV. Citra SaranaGrafika.
A. Syafi'i Ma'arif. (1991). Pendidikan Islam di Indonesia antara Citadan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Abdul Mujid. (2004). Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia.
Abu Ahmadi. (1991). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmad Tafsir. (2006). Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani,Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: RemajaRosdakarya.
Anwar Jasin. (1985). Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan IslamTinjauan Filosofis, Jakarta: Conference Book, London.
Depag RI. (1994). Al-Qur’an dan Terjemah. Semarang: PT KumudasmoroGragindo.
Djamaluddin Ancok. (1998). Membangun Kompotensi Manusia dalam MileniumKe Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi,Nomor : 6 Tahun III, UII.
Djohar. (1990). Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, Koran Harian"Kedaulatan Rakyat".
Fazlur Rahman. (1982). Islam and modernity, Transformation IntelectualTradition. Chicago: The University Chicago Press.
H.A.R. Tilar. (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan NasionalDalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia.
Himpunan Peraturan Perundangan-undangan. (2009). Undang-undangSisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Bandung: Fokusmedia.
Husain, Sajjad, dan Ali Ashraf. (1986). Crisis Muslim Education(Krisis Pendidikan Islam), terj., Rahmani Astuti. Bandung:Risalah.
M. Irsyad Sudiro. (1995). Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern,Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama LuarSekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon.
M. Shofan. (2004). Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta:Ircisod-UMG Press.
M. Quraish Shihab. (1997). Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atasPelbagai Persoalan Umat. Bandung : Penerbit Mizan.
Machnun Husein. (1983). Pendidikan Agama Dalam Lintasan Sejarah , Cet. 1. Mustafa Zahri. (1976). Kunci Memahami Tasawuf , Surabaya: BinaIlmu.
Ramayulis. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Rohiman Notowidagdo. (1996). Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al Qur'andan Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soroyo. (1991). Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan SosialMenjangkau Tahun 2000, dalam Buku: Pendidikan Islam di Indonesiaantara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana. Diposkan oleh Prof Hambali di 23.06 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest