FILSAFAT KEBAHAGIAAN MENURUT AL-GHAZALI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Disusun oleh: Muhammad Fauzi NIM: 1113033100014 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019
81
Embed
FILSAFAT KEBAHAGIAAN MENURUT AL-GHAZALI · membuktikan bahwa kebahagiaan materi bukan kebahagiaan yang utama dan pokok. 2. Di sisi lain, ada tokoh Muslim yang bernama Imam al-Ghazali
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
FILSAFAT KEBAHAGIAAN MENURUT AL-GHAZALI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Disusun oleh:
Muhammad Fauzi
NIM: 1113033100014
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
iv
ABSTRAK
Filsafat Kebahagiaan Menurut al-Ghazali
Oleh: Muhammad Fauzi
. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa itu kebahagiaan dan
bagaimana cara memperolehnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis. Sementara itu, teknik dalam pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini ialah kajian pustaka (Library research) dengan mengunakan
buku terjemahan dari buku original yang berjudul “Al-Kimiyyah al-Sa’adah”. Atau
bila diartikan ke dalam bahasa Indonesianya berjudul “Kimia Kebahagiaan”. Bahkan
diterbitkan ulang oleh Mizan, judulnya menjadi “Metode Mengapai Kebahagiaan:
Kitab Kimia Kebahagiaan”. karya al-Ghazali. Buku ini menjadi sumber primernya
bagi penulis.
Menurut al-Ghazali, kebahagiaan adalah perasaan tenag atau senang. Caranya
dengan memahami empat teori dasar. Pertama mengetahui tentang diri. Siapakah
anda, dan dari mana anda datang, dan kemana anda pergi. Kedua, mengetahui tentang
Tuhan. Menyadari tuhan adalah pencipta dan kita hanya manusia biasa. Ketiga,
mengetahui tentang dunia ini. Menyadari bahwasannya Tuhan bukan menciptakan
manusia saja, tapi ada ruang, waktu dan lain-lain. Keempat, mengetahui tentang
akhirat. Kita harus menyadari bahwa ada dunia lain setelah dunia hidup ini, yakni
dunia akhirat.
v
KATA PENGANTAR
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji serta syukur kita kehadirat Allah Swt,
yang telah memberikan rahmatnya, taufiknya serta hidayahnya kepada kita semua
wabil khusus buat diri saya pribadi, yang Alhamdulillah telah diberikan jalan
kelancaran kemudahan untuk membuat proses berjalannya pembuatan skripsi ini,
mudah-mudahan skripsi ini bermanfa’at dan berkah dunia akhirat. Aamiiin
Allahumma Aamiiiiiin…
Sholawat serta salam marilah kita haturkan kepada paduka yang mulia yakni
Habibana wa syafi’ina wa qurro a’yunina wamaulana Muhammad Saw, yang mana
telah membawa kita selaku umatnya. Minazzulimati ilannur.
Skripsi dengan judul “Filsafat Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali” adalah
dibuat untuk diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai Sarjana Agama (S.
Ag.) di Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ucapan terima kasih,
penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam
penulisan skripsi ini. yakni di antaranya:
1. Dra. Tien Rohmatin, M.A., selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
beserta jajarannya. Mereka sangat setia melayani penulis dalam mengurus segala
keperluan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
2. M. Iqbal Hasanuddin. M. Hum. Selaku dosen pembimbing. Beliau rela
mengorbankan waktu, pikiran dan tenaga, tujuannya adalah untuk membimbing
dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
vi
3. Keluarga besar "ABAH": Abah, H. Sanwani, Umi Hj. Siti Ruminah, Aa
Syarifudin Juhri, Aa. Abdurrahman, Muhammad Hidayat, Siti Suryani, Siti Nur
Laila, Siti Qomariah, Siti Nur Hasanah, Siti Julaeha. Mereka mendukung,
mendoakan keselamatan dan kesuksesan penulis selama berjuang di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Keluarga Besar Majelis Ta’lim Annibros Habib Ali Bin Musthofa Bin Ali Bin
Syeikh Alatthos dan Umi Faizah Syarifah Binti Agil al-Atthos, sebagai orang tua
anggat penulis, ketika menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
dalam https://youtu.be/YGo8CJSyovQ, diakses pada hari Rabu, 8 Mei 2018, jam 18.41 WIB. 21
Drijarkara, Percikan Filsafat (Jakarta: PT. Pembangunan, 1981), cet. ke-4, h. 26-27.
20
kodratnya, hanya saja manusia saja yang lupa dan melalaikan. Dengan demikian,
kehendak atau niat atau tekad yang merupakan sendi moral adalah sebagai penunjuk
arah bagaimana manusia untuk merealisasikan kodratnya itu. Sebut saja dalam hal ini
kehendak untuk menuju kebahagiaan dengan kodratnya sebagai manusia yang
menginginkan kebahagiaan dengan melakukan hal-hal baik saja dalam hidup ini.
Oleh karenanya, kehendak menjadi langkah awal manusia menuju kebahagiaan itu.
Niat dan kehendak artinya apa yang ada di pikiran dan di hati manusia
idealnya harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari atau segala hal yang
dianggap baik dalam hati dan pikiran manusia harus diwujudkan. Jika tidak, maka
kebahagiaan tidak akan dirasakan. Tidak salah kiranya banyak manusia yang tidak
bahagia di dunia ini, karena begitu banyak yang dianggapnya baik, dalam hati dan
pikirannya kenyataanya sedikit yang diwujudkan. Contoh, manusia menganggap baik
sedekah. Namun, dalam kenyataannya manusia tidak mau bersedekah maka
kebahagiaan tidak akan dirasakan, karena apa yang dianggapnya baik dalam hati dan
pikirannya tidak diwujudkan.
Selanjutnya, kebahagiaan dapat dicapai melalui upaya terus-menerus
mengamalkan perbuatan yang terpuji berdasarkan kesadaran dan kemauan. Artinya
manusia tidak hanya cukup paham dan sadar mengenai kebahagiaan tersebut tapi juga
harus dipraktekan sehingga menjadi kebiasaan. Siapa yang merindukan kebahagiaan,
maka wajiblah ia berusaha terus-menerus menumbuhkan dan mengembangkan sifat-
sifat baik yang terdapat dalam jiwa secara potensial, dan dengan upaya-upaya
demikian, sifat-sifat baik itu akan tumbuh dan berurat berakar secara aktual dalam
21
jiwa. Latihan adalah unsur yang penting, kata al-Farabi, untuk memperoleh akhlak
terpuji atau tercela, dan dengan latihan terus-menerus terwujudlah kebiasaan.22
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa jika seseorang ingin mencapai
puncak kebahagiaan, maka wajiblah bagi dia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan sifat-sifat baik-baik yang ada pada dirinya, sehingga sifat-sifat
tersebut menjadi sebuah kebiasaan (habit). Selain itu, menurut al-Farabi, bangsa dan
warga kota untuk mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat adalah
ketika manusia memenuhi sifat-sifat utama/ keutamaan. Sebelum menjelaskan sifat-
sifat keutamaan itu kita jelaskan dulu apa itu keutamaan.
Keutamaan menurut al-Farabi adalah keadaan jiwa yang menimbulkan
tindakan yang mengarah pada kesempurnaan teoritis. Artinya,keutamaan dari sesuatu
adalah sesuatu yang menghasilkan keunggulan dan kesempurnaan dalam keberadaan
dan tindakannya.23
Adapun keutamaan-keutamaan tersebut yaitu, pertama,
keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang diperoleh orang sejak
semula tanpa dirasai, tanpa diketahui cara dan asalnya diperoleh, dan juga diperoleh
dengan renungan kontemplatif, penelitian dan juga dari mengajar dan belajar.24
Kedua, keutamaan intelektual atau pemikiran, yaitu keutamaan yang dengannya
memungkinkan orang mengetahui apa yang paling bermanfaat dalam tujuan yang
utama. Termasuk dalam hal ini, kemampuan untuk membuat aturan-aturan, karena itu
22Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 65.
23Afifeh Hamedi, “Farabi‟s View on Happiness”, International Journal of Advanced
Research, vol. 1, issue 7, 2013, h. 475. 24
Abu Nashr al-Farabi, Tahshil al-Sa‟adah., h. 25-26.
22
disebut dengan keutamaan pemikiran budaya (fadha‟il fikriyyah madaniyyah).25
Ketiga, keutamaan akhlaki, yaitu keutamaan yang bertujuan untuk mencari kebaikan.
Keempat, keutamaan amalia atau praktis yang dapat diperoleh dengan dua cara,
pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan yang merangsang.26
Kemudian dengan keutamaan yang tengah-tengah bagi al-Farabi adalah tidak
berlebihan yang dapat merusak jiwa dan jasad. Hal itu dapat ditentukan dengan
melihat kepada zaman, tempat, dan orang yang melakukan hal itu serta tujuan yang
dicari, cara yang digunakan dan semua syarat yang memenuhinya. Berani adalah sifat
yang terpuji dan sifat ini terletak antara dua sifat yang tercela: membabi buta
(tahawwur) dan penakut (jubn). Kemurahan (al-karam) adalah terletak di antara dua
sifat yang tercela: kikir dan boros (tabdzir). Memelihara kehormatan diri („iffah)
terletak antara dua sifat: keberandalan (khala‟ah) dan tidak ada rasa kenikmatan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada empat jalan
memperoleh kebahagiaan menurut al- Farabi, yaitu: pertama, niat dan kehendak,
artinya apa yang ada di pikiran dan di hati manusia idealnya harus direalisasikan
dalam kehidupan sehari-hari atau segala hal yang dianggap baik dalam hati dan
pikiran manusia harus diwujudkan. Kedua, upaya terus menerus mengamalkan
perbuatan yang terpuji berdasarkan kesadaran dan kemauan. Artinya manusia tidak
hanya cukup paham dan sadar mengenai kebahagiaan tersebut tapi juga harus
dipraktekan sehingga menjadi kebiasaan (habit). Ketiga, memiliki pemahaman-
25
Abu Nashr al-Farabi, Tahshil al-Sa‟adah., h. 57. 26
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam., h. 48.
23
pemahaman tentang sifat-sifat keutamaan, yaitu keutamaan teoritis, keutamaan
intelektual, keutamaan akhlaqi, dan keutamaan praktis. Keempat, memiliki
keutamaan yang tengah-tengah, yaitu keutamaan yang tidak berlebihan yang dapat
merusak jiwa dan jasad (moderat). Akhirnya, saat empat jalan tersebut telah dipahami
dan diaplikasikan manusia dalam kehidupannya, maka perlahan akan mengarahkan
manusia untuk menuju jalan kesempurnaan, karena telah memiliki kematangan
spritual, berada dekat dengan Allah SWT. maka manusia akan merasakan
kebahagiaan. Dalam kitab yang berjudul “Risalah fi Tanbih „ala as-Sabil as-
Sa‟adah” al-Farabi menjelaskan bahwa akhlak itu bertujuan untuk memperoleh
kebahagiaan27
yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui dan diusahakan oleh
setiap manusia.28
Kemudian, pendapat al-Farabi tentang mengaitkan akhlak dengan
kebahagiaan merupakan hal yang penting, karena setiap orang ingin mengenyam
kebahagiaan, dan akhlak bisa membawanya menuju kebahagiaan. Akhlak terkait
dengan masalah baik dan buruk, benar dan salah. Akhlak ingin agar manusia menjadi
baik, karena hanya dengan baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya orang
baik adalah orang yang sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam
berbagai macam kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa
mengenyam segala macam kesenangan jasmaninya, seperti merasakan berbagai
merasakan macam rasa makanan atau minuman yang disantapnya. Terkadang kita
27
Abu Nashr al-Farabi, Risalah Tanbih „ala Sabil as-Sa‟adah., h. 17. 28
Ahmad daudy, Kuliah Filsafat Islam., h. 47.
24
mengalami “mati rasa,” tidak bisa membedakan rasa manis, asin, atau pahit saat kita
flu atau menderita penyakit sejenisnya. Itu terjadi karena fisik kita sakit. Sebaliknya,
bila fisik kita sehat, maka bukan saja kita bisa membedakan aneka rasa, bahkan dapat
membedakan tingkat rasa, seperti kemanisan, kurang manis, atau tidak manis.
Demikian pula, kalau jiwa manusia sakit, misalnya ketika mengidap penyakit iri.
Manusia yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilannya yang biasa, tiba-tiba
karena sakit iri, manusia tidak merasa bahagia kala tetanggnya lebih beruntung
darinya. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (hasad) bisa menghapus rasa bahagia yang
selama ini manusia rasakan.29
Dalam sebuah diskusi ada seseorang yang menanyakan
tentang iri kepada Mulyadi Kartanegara dikutip dari bukunya Panorama Filsafat
Islam, pertanyaanya “bukankah rasa iri itu manusiawi karena hampir tidak ada
orang yang tidak pernah merasakannya? Jawabnya, “ya, iri memang manusiawi
(karena tidak ada malaikat yang iri hati) tetapi tidak berarti bahwa tidak perlu
dibersihkan dari hati kita sebab bukankah “bisul” di wajah kita juga manusiawi.
Akan tetapi, apakah karena penyakit itu manusiawi, kita tidak perlu mengobatinya?
Tentu saja tidak. Tetap kita harus berusaha menyembuhkannya sehingga ia tidak
akan menimbulkan masalah.”30
Dengan demikian, jika manusia ingin bahagia,
manusia harus terlebih dahulu memperbaiki akhlaknya. Dengan memperbaiki akhlak,
maka manusia akan menjadi manusia yang baik (akhlak al-karimah), dan semakin
29
Mulyadi Kartanegara, “Membangun Kerangka Keilmuan IAIN perspektif Filosofis” dalam
http://icasparamadinauniversity.wordpress.com diakses pada tanggal 02 Oktober, 2017, jam 21.10
WIB. 38 30
Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Jakarta: Penerbit
Mizan, 2002), hlm. 69-70.
25
baik akhlak manusia semakin mudahlah jalannya untuk mencapai kebahagiaan.
Selanjutnya jika akhlak manusia telah sempurna tentu kebahagiaan sempurna akan
dirasakannya.31
31
Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas (Jakarta:
Erlangga, 2007), h. 139-140.
26
BAB III
BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup aL-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Al-
Ghazali1 Ath-Thusi, An-Nasayburi, Al-Faqih, As-Syufi, As-Syafi'i, Al-Asy'ari. Nama
Al-Ghazali sendiri diambil dari kata ghazzal ( dengan huruf Z double ) yang artinya
tukang pemintal benang, karena sesuai dengan pekerjaan ayahnya yaitu seorang
pemintal benang, selain itu juga ada yang mengatakan bahwa kata Al-Ghazali
dinisbatkan pada kampung kelahirannya yakni kampung Ghazalah yang bertempat
dikota Thus. terlepas dari kata mana yang benar, dengan jelas sebutan yang
terakhirlah yang banyak digunakan oleh masyarakat umum dan para pengkaji Al-
Ghazali.2
Duncan B. MacDonald mengaitkan Al-Ghazali dengan nama beberapa ulama
sebelumnya yang ia anggap sebagai sislsilah keturunan Al-Ghazali. sebelum Al-
Ghazali lahir, ada seorang ulama yang menyandang nama Al-Ghazali, yaitu Abu
hamid Al-Ghazali Al-Kabir yang disebut-sebut sebagai paman dari ayah Al-Ghazali.
Akan tetapi pendapat ini mendapat respon yang tidak baik dari para peneliti, sebab ia
tidak mempunyai bukti-bukti yang kuat dan tidak berpijak pada sumber-sumber yang
1Nama Muhammad disebut tiga kali yang berarti ayah dan kakeknya juga bernama
Muhammad. Selanjutnya ketika ia mempunyai seorang anak yang dinamai Hamid, maka iapun
dipanggil Abu ‘Hamid sesuai tradisi setempat yang artinya ayahnya Hamid. (Mahbub Djamaludin, Al-
Ghazali Sang Enslikopedi Zaman. Jakarta: Mizan, 2015), h.27. 2Mahbub Djamaluddin, Al-Ghazali Enslikopedi Zaman (Jakarta: Perpustakaan nasional,
2015),h.27-28.
27
ada.3 Akan tetapi pendapat ini mendapat respon yang tidak baik dari para peneliti,
sebab ia tidak mempunyai bukti-bukti yang kuat dan tidak berpijak pada sumber-
sumber sejarah yang ada.
Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H 1058 M di distrik tabaran, thus, yang
merupakan dari negeri khurasan4. Ia mempunyai saudara kandung yang bernama
Ahmad Al-Ghazali. Ayahnya bukan seorang sufi atau ulama, beliau hanya seorang
pemintal bulu domba. Kendati demikian sang ayah adalah sosok yang saleh, ia sangat
cinta terhadap ilmu. Sehingga dari beliaulah Al-Ghazali mendapatkan pendidikan
dasar keagamaan. Sang Ayah selalu berdo’a agar kedua anaknya menjadi orang yang
saleh seperti para wali, bahkan tidak jarang beliau membawa kedua anaknya hadir
dalam majelis-majelis ilmu, guna bertemu dengan orang-orang saleh agar mendapat
ilmu serta do’a dari mereka.5
Ketika ayah Al-Ghazali terserang sakit, menjelang wafatnya beliau berwasiat
kepada temannya agar senantiasa menjaga dan membimbing anaknya supaya kelak
menjadi ulama. Beliau menitipkan seluruh harta peninggalannya untuk bekal hidup
3Mahbub Djamaludin, Al-ghazali Sang Ensiklopedi Zaman (Jakarta: Perpustakaan
nasional,2015),h.27-28. 4Dalam Atshar al-Bilad Wa Akbar Al-Bad, al-Qazwini ( ahli geografi ) menyebutkan bahwa
thus pada abad ke-5 merupakan kota yang masyhur setelah kota Naisabur. Thus dikelilingi dengan
pohon-pohon serta limpahan air yang segar yang terbagi menjadi beberapa desa. Kala itu Thus terbagi
menjadi dua bagian yaitu Nauqan dan Thabaran. Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedia
Zaman., h, 2. 5Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman (Jakarta: Perpustakaan nasional,
2015), h.30.
28
dan pendidikan kedua anaknya.6 Saat itu kedua anaknya masih sangat kecil dan tidak
diketahui usia berapa Al-Ghazali ketika itu.7
B. Perjalanan Intelektual
latar belakang pendidikan Al-Ghazali pertama ia belajar dari ayahnya, mulai
dari belajar membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu dasar lainnya. Setelah ayahnya wafat,
temannya yang bernama Muhammad Al-Razikani yang juga seorang sufi yang
berilmu tinggi, merawat serta membimbing Al-Ghazali bersama saudaranya. Bersama
sufi ini Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih dan beberapa ilmu dasar yang lainnya.
Kehidupan mereka sangat sederhana dan pas-pasan, namun mereka tetap bisa mencari
ilmu sebagaimana yang diwasiatkan oleh ayahnya.8
Ketika pembekalan mereka sudah habis, al-Razikani meminta al-Ghazali dan
Ahmad untuk tinggal di Madrasah. Hal ini dilakukan agar mereka tetap bisa
melanjutkan pendidikannya.9 Sejalan dengan itu, memang pemerintahan Bani Saljuk
kala itu sedang gencar-gencarnya menggalakan program pembangunan seribu
madrasah dan sejuta beasiswa untuk masyarakat umum.10
Dengan demikian al-
Ghazali dan ahmad dapat dengan tenang belajar tanpa memikirkan biaya maupun
kebutuhan hidup.
6Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah. Terj. Yahya al-Mutamakkin (Semarang: PT Karya Toha
Putra Semarang, 2003), h. 13. 7Fadjar Noegraha Syamhodie, Tasawhuf Kehidupan AL-GHAZALI:Refleksi Petualangan
Intelektual dari Teolog, Filosof, Hingga Sufi (Ciputat Timur: CV Putra Harapan, 1999), h. 2. 8Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman (Jakarta Perpustakaan nasional,
2015), h. 31. 9Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah., h.12.
10Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklomedi Zaman, h.32.
29
Dibawah asuhan Ahmad ibn Muhammad al-Razakani disalah satu madrasah
yang dibangun Nizam al-Mulk, al-Ghazali menjadi seorang murid yang dengan cepat
menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan. Dengan usia yang masih sangat muda beliau
yaitu sekitar 465 H beliau pergi meninggalkan kampung halaman menuju jurjan.
Sesuai dengan tradisi pada masa itu setelah menguasai ilmu dasar seorang murid
harus meninggalkan daerahnya untuk mencari ilmu-ilmu yang belum dipelajari, di
jurjan inilah al-Ghazali berguru kepada Abu Qasim al-Isma’ili.11
Kepada beliaulah al-
Ghazali menta’liq. Sebuah karangan yang ia tulis sendiri dengan judul al-Ta’liqat fi
furu al-Mazhab.12
Setelah pendidikannya dijurjan, al-Ghazali kembali ketempat
kelahirannya yaitu Thus. Namun walaupun tinggal di Thus al-Ghazali masih selalu
diawasi oleh gurunya, dan terus menghapalkan at-Ta’liqat. Tiga tahun al-Ghazali
menghabiskan waktunya di Thus, pada tahun 468 H ia kembali melakukan
perjalanannya mencari ilmu menuju Naisabur. Di pusat kota ini berdiri sebuah
Universitas Nizamiyah yang terkenal akan ulamanya yang luas akan ilmu, oleh sebab
itu kota ini disebut dengan puasatnya ilmu. Al-Ghazali mendapat bimbingan dan
pengajaran dari seorang ulama besr yang bernama al-Juwaini.13
Dibawah bimbingan
11
Ada kekeliruan dalam beberapa catatan sejarah mengenai Guru al-Ghazali ini, dimana
diriwayatkan bahwa al-Ghazali berguru kepada Abu Nashr al-Isma’ili bukan kepada Abu Qasim al-
Isma’ili. Padahal al-Ghazali tidak pernah bertemu dengan beliau, sebab beliau wafat pada tahun 405 H
sedangkan al-Ghazali lahir pada tahun 450 H. nama lengkapnya Isma’il Ibn Mas’adah Ibn Isma’il Ibn
Imam Abubakar Ahmad Ibn Ibrahim al-Ismailiy al-Jurjainiy. Beliau adalah seorang Alim yang sangat
cerdas dan mahir dalam syair maupun prosa. Mahbub Djamaludin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi
Zaman., h.34. 12
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, h.34) 13
Nama lengkapnya adalah Abu al-Ma’ali Abd al-Mulk ibn Abdillah ibn Yusuf al-Juwainiy
an-Nasaiburi. Namun bisanya dipanggil al-Juwainiy. Al-Juwainiy merupakan sebuah nama warisan
30
beliaulah al-Ghazali mempelajari bermacam-macam bidang ilmu yang kelak akan
dijadikan Imam besar dengan segala pengetahuannya diantaranya ilmu-ilmu yang
dipelajari al-Ghazali adalah ushul fiqih, fiqih, kalam dan lain-lain. Bahkan buah dari
kesungguhannya mencari ilmu, al-Ghazali mampu menguasai berbagai macam
bidang ilmu, berdebat, ilmu Ushuluddin, dan sebagainnya.14
Adapun mengenai bidang filsafat, ada perbedaan pendapat tentang apakah al-
Ghazali mempelajari ilmu tersebut kepada al-Juwaini atau belajar aotodidak. Sebab
ada sebuah pengakuan al-Ghazali yang mengatakan bahwa ; ‘’aku segera
mengonsentrasikan diri untuk belajar filsafat. Aku kaji kitab-kitab mereka, meski
tanpa bantuan seorang guru. Aku lakukan itu disaat-saat senggang dari belajar dan
menulis, Waktu itu aku masih bertugas memberi kuliah pada sekitar tiga ratus
mahasiswa di Baghdad.
Dan alhamdulillah berkat taufiq Allah, dalam waktu kurang dari dua tahun
aku telah faham Seluk beluk falsafah. . .’’ pengakuan ini tercantum dalam
autobiografi intelektualnya ( al-Munqiz min al-Dalal ).15
Terlepas dari perbedaan
pendapat apakah al-Ghazali belajar filsafat dibawah bimbingan al-Juwaini atau tidak,
hal tersebut tidak bertentangan dengan pengakuan al-Ghazali di dalam al-Munqiz,
sebab sesuatu yang pasti adalah apa yang dilakukan oleh al-Ghazali di Baghdad untuk
yang dinisbatkan kepada ayahnya yang lahir di dusun Juwain. Yaitu salah satu bagian dari kota
Nasaibur, Al-Juwainiy mendapat gelar Imam al-Haramain yang artinya Imam dua tanah haram
(Makkah dan Madinah), ia lahir pada tanggal 18 Muharam 418 H. Mahbub Djamaludin, Al-Ghazali
Sang Ensiklopedi Zaman, h.36. 14
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.38. 15
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h39.
31
memperdalam pengetahuannya mengenai filsafat. Ketertarikannya dalam hal ini tidak
lain untuk membantah argumen-argumen para filosof yang dianggapnya tidak sesuai
dengan dalil-dalil al-Qur’an. Dari berbagai keritikan al-Ghazali terhadap filsafat
maka lahirlah sebuah karya dengan judul Tahafut al-Falasifah. Satu hal lagi yang
tidak dapat dinafikan dari imam al-Ghazali ialah bahwa pemikiran-pemikirannya
banyak dipengaruhi oleh al-Juwaini.16
Imam Haramain al-Juwaini wafat pada tanggal 25 rabi’ al-Tsani 478 H ketika
berusia 59 tahun. Takdir memisahkan beliau dengan al-Ghazali, hingga al-Ghazali
memutuskan untuk pergi meninggalkan Naisabur beliau pergi ke daerah Mu’askar
dan menghadiri majelis Al –Wazir Nizam al-Mulk. Daerah yang didatangi oleh al-
Ghazali ini pada dasarnya adalah sebuah komplek perumahan para pejabat
pemerintah yang letaknya tidak jauh dari Nausabur.17
Salah satu pejabat yang tinggal
di daerah ini adalah Wazir Nizam al-Mulk.18
Yaitu seseorang yang masyhur
kecintaanya terhadap ilmu dan ulama. Al-Ghazali mendapatkan sambutan hangat dari
para ulama maupun pejabat karena pandangan-pandangannya yang cemerlang. Tidak
jarang ketika majelis majelis Nizam al-Mulk mengadakan perkumpulan para ulama
dan membahas tema-tema keilmuan, maka al-Ghazali selalu hadir dalam argumentasi
16
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zama., h.39. 17
Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya yang berjudul Siyar A’lamu Nubala menyebut komplek
ini dengan istilah al-Mukim al-Shultani (kemah para pejabat). Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang
Ensiklopedi Zaman, h.41. 18
Nama aslinya adalah Abu Ali Hasan Ibn Ishaq at-Thusi, lahir di Nauqan, Thuspada 408 H.
Sedangkan Nizam al-Mulk adalah sebuah gelar penghormatan yang diberikan oleh Bani Saljuk.
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedsi Zaman, h.42.
32
dan bukti-bukti yang sulit ditangkis.19
Disamping itu pandangan-pandangan yang dipresentasikan beliaupun sesuai
dengan pandangan-pandangan para ulama, yang hadir pada saat itu. Dengan demikian
hal ini menarik para pecinta ilmu untuk mengenal lebih jauh mengenai al-Ghazali.
Maka mencuatlah nama al-Ghazali dikalangan para cendikian dan diseantero daerah
yang ditinggalinya. Demikian Mu’askar dan para ulamanya menjadi saksi terbitnya
bintang gemilang di ufuk intelektual islam. Wazir Nizam al-Mulk meminta al-Ghazali
untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah Baghdad. Pada bulan jumad al-Awal tahun
484 H ia dilantik sebagai pengampu madrasah tersebut. Diusianya yang masih
terbilang muda yaitu 34 tahun, ia sudah mendapat gelar Syeikh al-Islam atau guru
besar, yang artinya sebuah pangkat tertinggi dari segi akademik dan keagamaan yang
resmi.20
Selama kurang lebih enam tahun tinggal di al-Mu’askar dan akhirnya pergi ke
Baghad. Namanya kian besar dan kedudukannya semakin tinggi. Banyak orang
berbondong-bondong jdatang ke Baghdad untuk mengikuti kajiannya. Sekitar 300
murid selalu mengikuti kajiannya, baik dari kalangan santri biasa maupun para ulama.
Disela-sela kesibukannya mengajar ia menyempatkan menulis buku dari berbagai
macam bidang keilmuan. Sekitar 20 buku dapat ia selesaikan dari sisa waktu
mengejarnya. Di samping itu iapun tidak pernah lupa untuk terus menggali
kemampuannya dengan menyisihkan kesempatan belajar dan menambah pundi-pundi
19
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h..45. 20
Mahbub Djmaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 47.
33
ilmu secara autodidak.
Banyak buku-buku falsafah yang ia baca, diantaranya karangan ibn sina (370-
428 H) yang berjudul as-Syifa. Selain itu al-Ghazali juga membaca dan menganalisa
pemikiran-pemikiran al-Farabi (261-339 H). Selama hampir dua tahun beliau terus
membaca buku-buku falsafah, kemudian al-Ghazali mencoba memahami dan
mempelajari maksud dari falsafah selama kurang lebih satu tahun.21
Demikian luas lautan ilmu yang diarungi oleh imam al-Ghazali. Semakin ia
menggali pengetahuannya akan ilmu yang belum diketahuinya. Namun hal ini
minumbulkan sederajat pertanyaan yang menghinggapi pikiran dan jiwanya, ia akan
menjadi skiptis apa yang sudah ia ketahui. Dari sinilah awal keraguan-keraguan al-
Ghazali terhadap argumen-argumen berbagai bidang ilmu yang selama ini di
dapatnya, menurut sejarahwan al-Ghazali menggalami dua kali konflik batin yang
pertama adalah skeptisnya terhadap semua bidang ilmu yang dipelajarinya, dan yang
kedua ialah konflik batin antara panggilan akhirat dan jeratan duniawi.22
Pada bulan Dzu al-Hijjah 488 H al-Ghazali meninggalkan Baghdad. Ia
menggenakan paiakan layaknya seseorang yang akan pergi haji, agar semua ulama
maupun masyarakat tidak curiga dengan kepergiannya yang tidak akan kembali. Al-
Ghazali bermaksud untuk mencari pengetahuan dzauq. Ia melakukan riyadah-riyadah
sufistik, mengasingkan diri ( Uzlah ) dari hiruk-pikuk urusan dunia, menyepi untuk
21
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.47. 22
Mahbub Djamaludin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.70.
34
beribadah (khalwat), dan menempa jiwa (mujahadah).23
Awal tahun 489 H al-Ghazali tiba di Damaskus dan memutuskan untuk
menziarahi tempat-tempat suci, pada tahun tersebutlah ia sampai di Baitul Maqdis (
Palestina ). Selama di Baitul Maqdis al-Ghazali tinggal di menara masjid dengan
selalu menguncinya dari dalam. Dirinya selalu disibukan dengan Berdzikir, ibadah
sunah, munajat, dan tafakur. Namun walaupun kondisi demikian, ia tetap tidak
meninggalkan keahliannya dalam menulis. Maka di dalam menara tesebut lahirlah
sebuah kitab yang ia beri judul al-Risalah al-Qudsiyyah yang dipersembahkan untuk
masyarakat Quds.24
Selang beberapa waktu al-Ghazali tinggal di Quds, ia kembali melakukan
perjalanan ke kota khalil (Hebron) yang bermaksud menziarahi makam Khalilullah,
Nabi Ibrahim Alaihi as-Salam. Selanjutnya banyak perbedaan pendapat dari
sejarawan mengenai kemana al-Ghazali pergi selepas menziarahi makam Nabi
Ibrahim As, namun mengambil riwayat yang lebih shahih mengenai hal ini ialah al-
Ghazali pergi ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji, yaitu pada bulan Dzu al-
Qo’dah dan Dzu-Hijjah masih ditahun 489 H. Selain itu juga al-Ghazali pergi
mengunjungi makam Rasulullah SAW. Di Madinah,25
Selepas keperluannya selesai di Mekkah dan di Madinah, al-Ghazali kembali
lagi ke Damaskus dan tinggal dimenara yang sebelumnya ia tempati. Yakni menara
23
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.71-72. 24
Kitab al-Risalah al-Qudsiyah dijadikan sebagian bagian dari kitab Ihya Ulum al-Din, yang
terletak pada bagian pembahasan Ibadah. Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman.,
h.72. 25
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.74.
35
Masjid Jami al-Umawa tepatnya disebelah sisi menara sebelah barat. Aktivitas yang
ia lakukan di dalam menara tidak berbeda dengan pertama kali ia menempati menara
tersebut, yakni beri’tikaf dan menulis kitab Ihya Ulum al-Din. Dan pada saat itu sela-
sela waktunya al-Ghazalipun masih dapat bersahabat dan berguru kepada Syeikh Abu
al-Fath Nashr ibn Ibrahim.26
Tahun 490 H al-Ghazali menyudahi uzlahnya, setelah hampir dua tahun ia
melakukan perjalanan ruhaniah. Al-Ghazali meninggalkan Damaskus dan tinggal
sementara di kota Baghdad, al-Ghazali sempat menyebarkan kitab Ihya Ulum al-Din
yang telah selesai ia tuliskan di Damaskus. Setelah dari Baghdad kemudian langsung
pulang ke kota kelahirannya yaitu Thus untuk menemui keluarganya. Walaupun al-
Ghazali tidak lagi ber’uzlah dan tinggal dimenara yang sepi, beliau tetap menjaga
riyadah-riyadah kesufiannya, senantiasa berkhalwat dan bermujahadah, agar
kejernihan hatinya tetap terjaga.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keluarganya, al-Ghazali
tidak lagi menerima gaji dari pemerintah sesuai nadzar beliau ketika di makam Nabi
Ibrahim As. Ia bekerja sendiri dengan menjadi juru salin naskah, dimana pekerjaan
ini sudah ia tekuni selama ia ber’uzlah di Dmaskus.27
Adapun pada bulan Dzu al-Qo’dah tahun 499 H keadaan al-Ghazali berbeda,
ia meninggalkan pekerjaan dan khalwatnya karena mendapat tawaran kembali
mengajar di Madrasah Maimunah Nizamiah. Pada saat itu wazir provinsi Khurasan
26
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.75. 27
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.81-83.
36
bernama Fakhrul Mulk ‘Ali ibn Nizam al-Mulk datang langsung ke kota Thus untuk
meminta al-Ghazali meninggalkan Khalwatnya. Walaupun berat, namun dengan
pertimbangan yang matang akhirnya al-Ghazali bersedia kembali mengajar, ia
meniatkan seluruh pengabdiannya mengajar semata-mata sebagai petunjuk jalan bagi
para penuntut ilmu, dan memberi manfa’at kepada mereka. Selain itu tujuan beliau
mendakwahkan kebenaran illahi yang di dapatnya selama ber’uzlah. Maka demikian
alasan al-Ghazali kembali ke Madrasah 11 tahun28
menyibukan diri dengan riyadah-
riyadah ruhani dan menyendiri.29
Selang beberapa tahun al-Ghazali kembali ke kota kelahirannya.30
Ia
menyudahi pengabdiannya serta penyebaran ide-ide pembaharuannya di Baghdad.
Kemudian memilih mendirikan pesantren di kota Thus. Beliau mengajarkan
pengalaman-pengalaman sufistik kepada santri-santrinya, yang pada saat itu
berjumlah 150 orang. Tidak ada kesibukan lain yang dilakukan oleh al-Ghazali
kecuali menempa Madrasah. Hari-harinya ia fokuskan untuk mengamalkan ilmu yang
telah ia dapat sampai dihari-hari menjelang ia wafat.31
Sang Ensiklopedi zaman ini akhirnya menutup usianya pada hari senin
tanggal 14 jumadil al-Akhir 505 H, bertepatan dengan 18 Desember 1111 M,
28
Dalam hitungan Qomariyah al-Ghazali genap beruia sebelas tahun berkholwat pada bulan
Dzul al-Qa’dah tahun 499 H. Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.91. 29
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.92 30
Tidak diketahui secara pasti mengenai tahun berapa al-Ghazali kembali ke Thus, hanya saja
mengingat sejarah datangnya surat dari wazir di Baghdad pada tahun 504 H, menandakan pada tahun
itu al-Ghazali sudah tinggal lagi di Thus. Sebab isi yang disampaikan dalam surat tersebut adalah
meminta al-Ghazali kembali mengajar di Baghdad. Mahbub Djamaludin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi
Zaman., h. 92. 31
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.99.
37
Jenazahnya dimakamkan di kotanya sendiri yaitu Thus, tepatnya di Thabaran.32
C. Kondisi Sosial Politik dan Pemikiran Keagamaan
Pemikiran al-Ghazali tidak akan muncul dari sebuah ruang yang kosong,
tetapi memiliki setting waktu dan sosial historis. Maka dari itu seluruh perjalanan
intelektualnya dari waktu-kewaktu harus dibahas, agar pemahaman terhadap pola
pikir beliau lebih proposional dan tidak persial.33
Dari sisi Politik , peradaban islam kala itu dibagi menjadi tiga kekhalifahan;
Di Andalus terdiri kekhalifahan Umawiyah, di Baghdad berdiri kekhalifahan
Abbasiyah, dan di Afrika berdiri kekhalifahan dengan nama Fatimiyah. Namun dari
masing-masing kekhalifahan ini runtuh dari berbagai masalah yang mereka alami,
baik yang sifatnya intern maupun ekstern.
Misalnya kekhalifahan Umawiyah di Andalus yang sudah berdiri selama
hampir 3 abad akhirnya runtuh pada tahun 427 H. Keruntuhan ini terjadi akibat
persaingan antara raja-raja kecil (Mulk al-tawa’if) yang saling menjatuhkan demi
kekuasaan. Namun kekuasaan ini dapat disatukan kembali dalam satu kepemimpinan
oleh Yusuf ibn Tasyfin pada tahun 484 H. Sedangkan kehancuran kekhalifahan
fatimiyah diawali dengan lepasnya beberapa daerah kekuasaan, yang pada masa itu
dipimpin oleh Mustanshir Billah pada tahun 428-487 H. Selain itu faktor kehancuran
kekhalifahan ini juga dipicu oleh tingginya angka kelaparan pada tahun 459-464 H.
Kekhalifahan Fatimiyah semakin buruk setalah wafatnya Mustanshir pada tahun 487
32
Al-Ghazali,Mukhtashar Ihya Ulum al-Din., h. 9. 33
Yusuf al-Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran al-Ghazali (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h.5.
38
H. Hal ini karena perpecahan intern yang dilakukan oleh kedua putra mahkota yang
saling berbuat kekuasaan.34
Adapun kehancuran Abbasiyah tidak jauh berbeda dari kedua kekhalifahan di
atas. Ketika al-Ghazali lahir, kekuasaan Abbasiyah sudah dipimpin oleh bani saljuk
yang bermazhab sunni. Tiga tahun sebelum al-Ghazali lahir bani saljuk ini berhasil
menggulingkan sultan buwaihiyah yang pada saat itu menganut faham Syi’ah,
tepatnya pada tahun 447 H. Karena faham penguasanya inilah semua kebijakan dalam
pemerintahpun dikaitkan dengan syi’ah, sehingga ilmu pengetahuan pada masa itu
menggalami kemajuan yang sangat pesat. Alhasil berkat kemajuan ini lahirlah
pemikiran-pemikiran besar islam dari kalangan syi’ah dan mu’tazilah, seperti al-
Farabi, ibn Sina, ibn Maskaweh, dan kelompok kajian ikhwan as-Shafa.35
Faham syi’ah begitu melekat pada warna kekhalifahan Abbasiyah, sehingga
setelah bani Buwaihiyyah berkuasa selama satu tahun, dinasti saljuk sangat gencar
dan besar-besaran menanamkan pondasi sunni dalam kekuasaannya, khususnya
syafi’iyah. Namun usaha dinasti saljuk ini mendapatkan tantangan berat dari kalangan
Syi’ah Isma’iliyah Nizariyah di bawah pimpinan Hasan ash-Sabah merupakan
seseorang propagandis ulung yang banyak melakukan segala cara untuk
menghancurkan bani saljuk, untuk mencapai tujuan tersebut ia membuat laskar berani
mati (fada’ iyyun), melakukan propoganda keagamaan melalui dakwah batiniyah,
ataupun melakukan pemberontakan dengan mengundang keresahan masyrakat,
34
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.18. 35
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.18.
39
seperti pembunuhan, perampokan dan teror, bahkan benteng pertahanan Hasan ash-
Sabah di Alamut baru bisa dihancurkan oleh militer tetar ( Khulagu Khan ) pada 654
H.36
Kondisi Chaos ini semakin parah dengan munculnya permasalahan intern
setelah wafat Maliksyah dan Nizam al-Mulk pada tahun 485 H. Perebutan kekuasaan
antara pewaris tahta mengakibatkan mereka saling bunuh satu sama lain, bahkan
mereka memanfa’atkan kelompok Syi’ah Nizariyah untuk menghabisi lawan politik
mereka masing-masing. Hal ini melalaikan kesejahteraan warga dimana perhatian
mereka hanya terfokus pada permasalahan dalam kekhalifahan, bukan pada
masyarakat. Intrik-intrik dan fitnah sangat merajalela pada masa itu.37
Persoalan
politik yang terjadi selanjutnya menyentuh akar keagamaan dimana umat islam
terpecah menjadi beberapa golongan mazhab fiqih dan teologi. Bahkan para tokohnya
dengan sadar menamkan fanatisme golongan kepada umat. Jauh sebelum abad ke-5
telah terjadi perang antara mu’tazilah dan Ahl al-Sunah wa al-jama’ah yang banyak
menghilangkan tokoh-tokoh besar. Misalnya wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal
dalam tragedi mihnah dan banyak lagi kejadian lainnya.38
Selanjutnya pada abad ke-5 kembali terjadi pengusiran terhadap pembela
Asy’ariyah yakni Abu al-Ma’ali al-Juwaini dikota naisabur. Namun ketika Abbasiyah
kembali dipegang oleh golongan Asy’ariyah, al-Juwaini kembali dipanggil,bahkan
diberikan posisi penting di Madrasah an-Nizamiyah Naisabur. Ketika golongan Asy-
36
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.18-19. 37
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 20. 38
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 20-21.
40
ariyah memimpin Abbasyiah, syarat untuk menjadi pemimpin atau Greand Syakh
Madrasah Nizamiyah harus bermazhab Sunni Syafi’i. Pada tahun 447 H terjadi
pertikaian di Baghdad yang banyak memakan korban jiwa. Hal tersebut dilatar
belakangi oleh perbedaan pendapat antara mazhab Syafi’iyah dan hanbaliah tentang
membaca keras ”Bismillah” dalam sholat. Selanjutnya pada tahun 469dan 470 H
pertikaian ini kembali terulang, bahkan terulang kembali pada tahun 495 H. Peristiwa
demi peristiwa yang terjadi telah menandakan bahwa pertarungan antar aliran
pemikiran sudah semakin kuat hingga terseret keranah politik, dimana bila suatu
sipatisan memegang tampuk kekuasaan, maka golongan lawan akan banyak yang
disingkirkan dengan berbagai cara.39
Namun kondisi Chaos ini membawa perkembangan yang sangat pesat pada
bidang intelektual. Seabab para penguasa kala itu mensubsidi lembaga-lembaga
pendidikan dengan kas negara (wakaf kaum muslimin). Para pelajar yang masuk
untuk menuntut ilmu tidak dipungut biaya sedikitpun, bahkan mereka mendapat biaya
hidup dan tempat tinggal. Selain itu, para ulama yang mengampu madarasah-
madarasah tersebut juga mendapat fasilitas yang mewah. Dari banyaknya dororangan
pemerintah ini membuat para pelajar sangat gencar belajar, menghadiri majelis-
mejelis munazarah, mengarang buku dan lain-lain.40
Implikasi dari hal ini membawa para pelajar cinta terhadap dunia bukan
akhirat. Mereka berambisi pada kedudukan dipemerintaha, baik menjadi pengajar,
39
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.19-21. 40
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 21.
41
pengampu madrasah, maupun hakim (muftil/qadi) dan sebagainya. Kedudukan
duniawi menjadi incaran mereka setelah jadi sarjana, akibatnya madrasah mencetak
para alim (cendikiawan), para fuqaha, dan para ahli ilmu yang kosong secara spritual.
Para alim ini selanjutnya bersaing dan bertarung demi kedudukan tersebut, satu sama
lain saling menyingkirkan dengan berbagai cara. Al-Ghazali menyebutkan ulama ini
dengan ulama as-su ‘’Ulama duniawi’’ yaitu para alim yang berahlak buruk.41
Adapun ilmu tasawuf pada saat itu sangat pasif setelah al-Hallaj dieksekusi
diatas tiang kayu palang.42
Banyak para sufi yang menarik piri dari kehidupan
duniawi, dengan hidup mengembara, bahkan mereka menghindari debat-debat
keilmuan. Nereka tidak semangat dalam mempelajari ilmu atau membelah buku-buku
para pengarang, tidak juga mengkaji pendapat atau dalil-dalil. Sikap para sufi yang
seperti ini menjadi bahan olok-olokan para ahli kalam, ahli falsafah, dan ahli fiqih,
sikap para sufi yang ekstrim ini banyak membuat kalangan awam yang kurang
terpelajar salah paham terhadap tasawuf. Mereka mengklaim diri mereka sebagai
penempuh jalan ruhani (sufi), akan tetapi prilakunya jauh dari tasawuf. Akibatnya
muncul aliran sufi baru yang dinamakan sufi ibahiyyah yang mengklaim bahwa
aturan-aturan keagamaan hanyalah untuk orang-orang awam saja. Aliran ini
membolehkan pengikutnya mengerjakan perbuatan-perbuatan yang terlarang dan
haram secara syar’i.43
41
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 22. 42
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983),
h.199. 43
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 23.
42
Situasi ini banyak membingungkan masyarakat awam, sehingga ini
menjadikan kesempatan baik bagi syi’ah Isma’iliyah Nazariyah yang merupakan
kelompok oposisi Abbasiyah. Di bawah pimpinan Hasan al-Sabah, mereka gencar
mengirimkan para penda’i untuk mempropoganda aliran Batiniyyah. Dengan
disebarnya da’i yang mahir debat, secara sembunyi-sembunyi merekamengungkit-
ungkit perbedaan mazhab dan aliran pemikiran, lalu mereka menawarkan imam yang
ma’sum (dijamin oleh Allah terbatas dari kekeliruan) untuk dijadikan teladan hidup.
Gerakan ini bertujuan untuk berkerut kaum awam agar mengikuti mazhab mereka.
Dan hasilnya banyak diantara mereka yang masuk dalam mazhab ini tanpa tahu lebih
dalam apa sebenarnya tujuan politis Syi’ah Isma’iliyah Nazariyyah.44
Namun justru ketika panasnya persaingan aliran pemikiran banyak
bemunculan tokoh-tokoh besar yang ikut andil dalam perkembangan intelektual.
Masing-masing tokoh ahli beberapa bidang ilmu seperti kalam, filsafat, tasawuf, fiqih
dan lain-lain. Di antara al-Baghawi (433-516), al-Raghib al-Isfahani (w.502H./1108
M), Ali ibn Utsman al-Jullabi al-Hujwiri yang wafat pada tahun 465 H. Selanjutnya
ada imam al-Zamakhsyari (467-538 H), Abu ishaq as-Syirizi (393-476 H), Abu al-
Ma’ali al-Juwaini (w. 477 H), Umar Khayyam (433-517 H), Abul Wafa Ali ibn Aqil
(432-513 H), Abu Khithab al-Kalwadzani al-Baghdadi (432-510 H), Syeikh Abdul
Qodir al-Jailani (w. 521 H), dan diantara daftar nama-nama tokoh besar tersebut
tentulah tercatat nama Abu Hamid al-Ghazali sang mujaddid abad ke-5 yang menjadi
44
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 24.
43
pembahasan dalam skripsi ini.45
Dari sekian banyak kemajuan intelektualisme pada saat itu, maka al-Ghazali
mengategorikan hal tersebut menjadi empat aliran pemikiran keagamaan, yaitu
Mutakalimin, Filosof, Batini46
dan Sufi, Keempat sisitem pehaman inilah yang
mewarnai pemikiran umat Islam pada masa al-Ghazali. Demikian abad ke-5 yang
diliputi oleh kebingungan-kebingunan manusia dengan simpan-siurnya dunia
intelektual dan spritual.47
D. Guru dan Pembimbing
Selama proses mencari ilmu banyak Guru yang membimbing dan menjadi
panutan al-Ghazali. Mereka telah berhasil membentuk al-Ghazali menjadi ulama
yang masyhur dan terkemuka. Diantara guru yang paling dikenal adalah sebagai
berikut ;
1. Ahmad bin Muhammad al-Razikani; Guru al-Ghazali ketika masih
kecil di kota Thus
2. Abu Qasim al-Isma’ili; Guru saat belajar di kota jurjan
3. Abu al-Ma’aly Imam Haromain; Guru saat belajar di kota Naisabur
4. Yusuf al-Sajaj; Guru saat belajar di kota Thus
45
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 24-25. 46
Batiniyah bukan hanya aliran dalam keagamaan, akan tetapi ini juga merupakan gerakan
politik. Aliran ini adalah aliran ta’limat dan batiniyat. Batiniyat digunakan sebagai nama golongan
yang mempunyai paham bahwa setiap ayat yang zahir mempunyai arti batin. Sedangkan maksud
ta’limiyat adalah pengajaran dari seorang imam kepada orang lain dengan maksud untuk memahami
arti batin. Aliran-aliran yang masuk dalam katagori batiniyat diantaranya Qaramitat, Ta’limiyat dan
lain-lain. Aliran-aliran ini termasuk Syi’ah Isma’iliyat.Fadjar Noegraha Syamhoedi, Tasawuf
Kehidupan al-Ghazali: Refleki Pertualangan Intelektual dari teolog, Filosof hingga Sufi., h.7 47
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 24.
44
5. Imam Muhammad al-Farimidy
6. Abu Sahl al-Hafsyi
7. Abu al-Fath al-Hakimi
8. Abdullah bin Muhammad al-Khawari
9. Muhammad bin Yahya as-Suja’i
10. Al-Hafiz Umar al-Dahistani
11. Nasahr bin Ibrahim al-Maqdisi48
E. Karya-karya aL-Ghazali
Al-Syafi’iyyah karya Muhammad bin Abdullah al-Husaini al-Wasiti (w. 776 )
menyebutkan bahwa karya yang ditulis oleh al-Ghazali mencapai 98 judul.
Sedangkan al-Subki di dalam Tabaqat al-Syafi’iyyah menyebutkan sebanyak 58
karangan. Adapun Kubra Zadeh di dalam Miftah Al-Sa’adah wa Misbah al-Siyadah
menyebutkan karya al-Ghazali sebanyak 80 buah. Lain halnya dengan Dr.
Abdurrahman Bdawi yang menyebutkan lebih banyak jumlahnya karya yang di
karang oleh imam al-Ghazali. Hal ini tercantum dalam bukunya Mu’allafat al-
Ghazali, mencatat sebanyak 457 buah.49
Perbedaan ini memang sangat di maklumi mengingat karya yang banyak
dinisbatkan kepada al-Ghazali. Disisi lain ada juga naskah atau risalah, surat-surat,
dan fatwa-fatwa al-Ghazaliyang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para
sejarahwan, sebab hal-hal tersebut termasuk kedalam karyanya atau tidak. Demikian